19
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Telah dimaklumi bahwa seorang muslim apabila menghadapi suatu masalah tanpa dhobith dan kaidah akan terombang-ambing didalam perbuatannya terhadap diri, mau pun keluarganya, masyarakat serta umatnya. Dari sinilah kita mengetahui pentingnya ketentuan- ketentuan dan kaidah-kaidah itu karena dia akan mengatur akal seorang muslim didalam gambaran- gambarannya yang merupakan sumber dari perbuatannya didalam diri, keluarga, ataupun masyarakatnya.Dan salah satu kaidah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan dan Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi darurat ,harus disesuaikan menurut batasan ukuran yang dibutuhkan darurat tersebut B. RUMUSAN MASALAH 1.Apa definisi Yakin dan Syak (Ragu) ? 2.Apa contoh kasus dalam kaidah fikih yakin dan syak ini? 3.Apa isi dan contoh dari kaidah pembolehan kondisi darurat?

Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Telah dimaklumi bahwa seorang muslim apabila menghadapi suatu masalah tanpa dhobith dan kaidah akan terombang-ambing didalam perbuatannya terhadap diri, mau pun keluarganya, masyarakat serta umatnya. Dari sinilah kita mengetahui pentingnya ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah itu karena dia akan mengatur akal seorang muslim didalam gambaran-gambarannya yang merupakan sumber dari perbuatannya didalam diri, keluarga, ataupun masyarakatnya.Dan salah satu kaidah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan dan Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi darurat ,harus disesuaikan menurut batasan ukuran yang dibutuhkan darurat tersebut

B. RUMUSAN MASALAH1.Apa definisi Yakin dan Syak (Ragu) ?2.Apa contoh kasus dalam kaidah fikih yakin dan syak ini?3.Apa isi dan contoh dari kaidah pembolehan kondisi darurat?

Page 2: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

BAB II

PEMBAHASAN

1.Asal mula kaidah dan Pembahasan tentang Yakin dan Syak juga pembolehan kondisi darurat

Asal mula kaidah ini dari kitab Al-Asybah wan Nadhoir karangan Al-Imam Jalaluddin bin Adurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi,suatu kitab yang banyak dipakai dikalangan kebanyakan ulama Indonesia1.

A. Kaidah Yakin

Artinya : sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan pancaindera atau

dengan adanya dalil2

Ada pula yang mengartikan : sesuatu yang sudah yakin tidak akan dapat

dihilangkan dengan keragu-raguan.

Maksudnya ialah semua hukum yang sudah berlandaskan pada suatu

keyakinan itu, tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul

kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah

keyakinan, tidak akan bisa mnghilangkan hukum yakin yang telah ada

sebelumnya.

Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah

tercapainya suatu kemantapan hati pada suatu obyek yang telah dikerjakan, baik

kemantapan itu sudah mencapai pada kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau

baru sekadar dugaan kuat (asumtif/dzan). Makanya tidak dianggap suatu

kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada saat pekerjaan itu

dilaksanakanya, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukkan kedalam kategori yakin.

Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya, tidak dapat

disejajarkan dengan suatu yang sudah diyakini.

B. Dasar Hukum Kaidah Yakin

1. Al-Qur’an

Surat Yunus 36,

1 Drs.H.Abdul Mudjib.Kaidah-kaidah Ilmu Fikih Hal:v2 Prof.Dr.H.A.Djazuli:kaidah-kaidah fikih Hal:44

Page 3: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

Artinya : Dan kebanyakan dari mereka tidak mau mengikuti kecuali

persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna

untuk mencapai suatu kebenaran.

2. Hadits

a. HR Imam Muslim dari Abi Hurairah,

Artinya : jika seseorang menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu dia

ragu-ragu apakah sesuatu tersebut sudah keluar dari perutnya ataukah belum?,

maka baginya tidak boleh keluar dari Masjid sampai ia mendengar suara atau

menemukan bau.

b. HR. Imam Muslim dari ‘Ubbad bin Tamim dari pamannya:

Artinya : Nabi saw. Mendapatkan pengaduan bahwasannya seorang

laki-laki merasa bingung oleh sesuatu dalam salatnya, beliau

menjawab: janganlah ia pergi sehingga benar-benar mendengar suara

atau baunya. HR. Bukhari-Muslim.

c. HR. Muslim dari Sa’id al-Khudri, Rasulullah saw

Artinya : jika seseorang mengalami keragu-raguan dalam

mengerjakan salatnya, lalu dia tidak mengerti apakah salat yang

telah ia kerjakan itu sudah mendapatkan tiga rakaat?, maka ia harus

menghilangkan keragu-raguan dan berpegangan pada jumlah rakaat

yang benar-benar meyakinkan.

d. HR. Al-Turmuzhi dan Nasa’i dari Muhammad al-Hasan bin Ali bin

Abi Thalib

Artinya : Aku telah menghafal dari Rasulullah saw : tinggalkanlah

sesuatu yang meragukanmu dan ambillah sesuatu yang tidak

meragukanmu.

Dari semua hadits tersebut, dapat diambil pemahaman

bahwa hukum dari segala sesuatu itu, harus dilihat dari kondisi asal

yang meyakinkan. Maksudnya, jika kondisi asal batal, maka faktor

eksternal yang akan datang kemudian tidak dapat mempengaruhi

terhadap status hukum batal tersebut, sehingga hukumnya tetap

batal. Akan tetapi jika kondisi asalnya sah, maka hukum

Page 4: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

selanjutnya tetap sah, selama tidak ada bukti yang meyakinkan

yang mampu untuk merubahnya. Dari sini lah, terbangun kaidah

komprehensip mayor kedua, yaitu’’ ِّك� �لَّش� بِا اُل َز� ُي � َال �ُن �ِق�ْي �ْي �ل al-yaqin) ا

la yuzalu bi al-syakki.”)

C. Beberapa Kaidah Minor

Maksudnya ialah suatu perkara yang sudah berada pada satu

kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula,

selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain, sebab

dasar dari segala sesuatu adalah tidak berubahnya atau tetap seperti

sediakala, sedang kemungkinan untuk terjadi perubahan dari kondisi

semula adalah sesuatu yang baru dan sifatnya spekulatif, sehingga tidak

dijadikan sebagai pijakan hukum.

Dengan demikian, jika seseorang sedang mengalami keragua-

raguan tentang status hukum dari suatu perkara, maka yang diperlukan

adalah hukum yang telah ada atau hukum yang telah ditetapkan

sebelumnya, sampai ditemukan adanya hukum lain yang merubahnya,

sebab hukum yang telah ada lebih meyakinkan.

Berkaitan dengan kaidah kontinu ini, dalam ilmu ushul fiqh,

ditemukan adanya ketentuan bahwa kaidah kontinuitas ini sama dengan

dalil istishab, yaitu tetap memberlakukan ketetapan hukum yang telah

ditetapkan atau yang telah ada pada masa lampau sampai pada ditemukan

adanya hukum lain yang merubahnya. Maksudnya jika sebelumnya sudah

ada, maka selanjutnya tetap dihukumi ada. Akan tetapi jika sebelumnya

tidak ada, maka selanjutnya dianggap tidak ada.

Contoh :

1. Kasus orang ragu-ragu tentang apakah ia sudah berhadas

ataukah belum, maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi

yang telah ada sebelumnya, yaitu :

a. Jika kondisi sebelumnya ia belum wudlu, maka ia dianggap

batal

b. Jika kondisi sebelumnya ia sudah pernah berwudlu, maka

yang dianggap suci.

2. Kasus orang ketika salat jum’ah, yang meragukan apakah salat

yang dilakukan itu sudah keluar dari waktu atau belum? Maka

Page 5: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

keraguan seperti ini tidak bisa mempengaruhi akan keafsahan

salat yang yang sedang ia lakukan, sebab keluarnya waktu

merupakan suatu kemungkinan yang sifatnya baru, padahal

kondisi asalnya adalah tetap masih adanya waktu salat jum’ah,

sehingga secara otomatis kondisi asal tersebut tetap bertahan

sampai salat selesai dilaksanakan.

3. Kasus orang berwudlu yang sudah berniat wudlu sebelum

membasuh muka yang merupakan permulaan rukun wudlu.

Niat tersebut ia ucapkan pada saat melaksanakan kesunahan

wudlu, baik saat ia berkumur atau memasukkan air kelubang

hidung. Ketika mulai membasuh muka, baru muncullah keragu-

raguan dalam hati tentang apakah niat yang sudah dilakukan

sejak berkumur itu masih tetap ada atau sudah hilang.

Dalam kondisi ini, status hukum berwudlu tetap dianggap sah,

sebab keraguan tersebut baru muncul dan sifatnya spekulatif,

sedang kondisi sebelumnya ia sudah yakin bahwa dirinya

sudah berniat. Karena itu, niat tersebut dianggap tetap ada dan

berlangsung sampai ia membasuh mukanya.

4. Kasus dua orang (yang berhutang dan pemberi hutang) sedang

berselisih tentang sudah atau belumnya hutang terbayar, maka

hukum yang dapat diambil adalah pengakuan pemberi hutang

yang dikuatkan dengan sumpahnya, sebab hal ini lebih

meyakinkan. Sekalipun demikian, ketetapan ini bisa berubah

jika ada bukti yang meyakinkan tentang pengakuan yang

berhutang.

5. Kasus istri yang ditinggal suami dan tidak diketahui

domisilinya, maka hukum yang diambil adalah tidak

diperbolehkannya istri menikah dengan laki-laki lain, sebab

hukum yang berlaku baginya adalah statusnya yang masih

bersuami.3

D. Yakin dan Syak

1. Arti yakin dan syak

a. Yakin ialah

3 Dr.H.Dahlan Tamrin.Kaidah-kaidah Huum Islam Kulliyah Al-Khamsah.Hal:75-82

Page 6: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

Sesuatu yang tetap sebab adanya penglihatan dan bukti (dalil)

b. Syak ialah

Syak atau ragu-ragu sesuatu kebimbangan diantara kepastian

dan ketidak pastian dimana sisi benar dan sisi salah dalam keadaan

seimbang dan satu diantara yang lain tidak ada yang unggul.

2. Klasifikasi syak

Dengan adanya uraian tersebut, Syekh Abu Hamid al-Isfarainy

berpendapat bahwa syak/keragu-raguan dapat diklafisikasikan menjadi

tiga kategori, yaitu :

a. Keragu-raguan yang muncul dari sumber yang haram,

Contoh : binatang sembelihan didaerah yang penduduknya

muslim dan non muslim, maka hukum nya adalah haram,

kecuali diketahui benar bahwa binatang tersebut hasil

sembelihan muslim, atau umumnya disembelih muslim.

b. Keragu-raguan yang muncul dari yang mubah.

Contoh : seseorang menemukan air yang keadanya sudah

mengalami perubahan. Hal ini dimungkinkan adanya dua

sebab, yaitu sebab Nazis atau sebab Lamanya diam, maka

baginya diperbolehkan bersuci dengan air tersebut

berdasarkan asumsi bahwa asal air tersebut adalah suci.

c. Keragu-raguan yang muncul dari mana asal haram dan

halal.

Contoh : orang bekerja dengan perusahaan yang sebagian

besar modalnya haram dan keberadaanya memang tidak

bisa dibedakan mana yang haram dan yang halal. Maka

baginya boleh bertransaksi jual beli dengannya, sebab

dimungkinkan barangnya halal dan memang tidak ada

ketegasan barang yang berstatus haram, hanya saja masih

ada kekhwatiran pada barangnya yang haram. Sekalipun

demikian, hukum kerja sama ini dihukumi makruh, sebab

menghindari akan terjadinya keharaman didalamnya.4

d. Didalam buku kaidah-kaidah fiqh Drs.H.Abdul Mudjib

disebutkan salah satu contoh Syak dari keragu-raguan sah

4 Ibid.Hal:116-118

Page 7: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

atau tidak.Contoh orang makan sahur diakhir malam merasa

ragu kalau-kalau saat fajar sudah terbit.Puasanya tetap

dipandang sah, karena menurut yang asal adalah berlakunya

waktu masih malam,bukan waktu fajar

e. Berbuka menjelang maghrib anpa penelitian,kmudian

timbul keraguan bahwa kemungkinan matahari belum

terbenam,maka puasanya dihuumi batal,sebab menurut

yang asal adalah berlakunya waktu sebelum maghrib5.

3. Status Syak Dan Dzan

Dari adanya penjelasan masalah yakin dan syak seperti diatas,

maka dapat diambil pemahaman bahwa syak dan dhon adalah dua

istilah yang memiliki arti sama, sebagaimana yang umum dipakai

dalam kitab-kitab fiqh, sebab keduanya merupakan amaliyah hati yang

sulit diketahui secara pasti.

Sekalipun demikian, sebagian para ahli hukum islam

melakukan pemilahan secara sistimatis tentang kondisi hati dalam lima

bagian yaitu :

a. Yakin, yaitu artinya : ketangguhan hati yang bersandar pada

hakikat sesuatu (pasti benarnya).

b. Dzanniy, yaitu artinya : asumsi atau persepsi hati terhadap

dua hal yang berbeda, dimana salah satunya lebih kuat dari

yang lain.

c. Syak, yaitu artinya : sebuah prasangka terhadap dua hal

tanpa mengunggulkan salah satu diantara keduanya.

d. Waham, yaitu artinya : kemungkinan yang lebih lemah dari

dua hal yang sedang diasumsikan. 6

Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak { ِّك� �لَّش� بِا اُل َز� ُي � َال �ُن �ِق�ْي �ْي �ل ini kemudian.{ ا

muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya misalnya { لْيِقْيُن بِا ُيَزاُل الْيِقْيُن

.Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula{ ِم�ثله

5 Op Cit.Hal:216 Loc Cit.Hal:118-119

Page 8: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

Contoh:

1.Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka

wudhu kita menjadi batal.

2.Kita berpraduga tidak bersalah kepada seseorang,tetapikemudian ternyata orang tersebut

tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dn harus

dihukum.

3.Si A berutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A sudah lunas,maka si A

yang tadinya berutang ,sekarang sudah bebas dari utangnya.

4.Ada bukti yang meyakinkan bahwa seseorang telah melakuka kejahatan,oleh karenanya

harus dihukum.tetapi,bila ada bukti lain yang meyakinkan pula bahwa orang tersebut tidak

ada di tempat kejahatan waktu terjadiya kejahatan tersebut, melainkan sedang di luar negeri

misalnya, maka orang terseut tidak dapat di anggap sebagai pelaku kejahatan. Karena

keyakinan pertama menjadi hilang dengan keyakinan kedua inilah yang disebut alibi di dunia

hukum7.

5.Dalam kitab I’lamul Muwaqi’in disebutkan dalam pembahasan Istishab bahwa Apabila ada

suami istri yang sudah sah melaksanakan pernikahan tetapi muncul seorang wanita yang

mengaku bahwa suami istri itu adalah anak kandungnya (saudara sesusuan) dan ternyata

bukti itu benar maka pernikahan itu batal dan tidak sah, karena pernikahan saudara sesusuan

itu haram hukumnya8.

2.Pembahasan Tentang Pemahaman pembolehan Kondisi Darurat

تحتِاجه ِمِا بِقدر الضرورة ِمع ِمحظور الضرورةوكل Wa kullu mahthurin ma'ad

dhorurohi bi qodri maa tahtaajuhu ad dhorurotu

Artinya setiap hal yang dilarang itu di bolehkan jika dalam kondisi yang darurat,

tetapi sesui dengan kadar yang dibolehkan saja untuk menghilangkan darurat itu.asal mula

kaidah ini juga berasal dari kitab Al-Asybah wan Nadhoir karangan Al-Imam Jalaluddin bin

Adurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi

7 Loc cit.Hal;47-488 Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah.I’lamul Muwafiqi’in.hal:246-247 (ada redaksi perubahan)

Page 9: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

Dalil Al-Qur’an : Pembolehan Kondisi Darurat

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)sedang dia tidak menginginkannya

dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqoroh : 173 )

Dalam ayat ini ada syarat: tidak ada keinginan terhadapnya, dan tidak pula melampui

batas, makna al udwan : terus menambah hinga melampui batas yang di wajibkan, maka

barang siapa yang melampui batas tersebut maka dia mendapatkan dosa, dan inilah dalil dari

qaidah ini.9Contoh masalah dari kaidah ini adalah

1. Orang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali Khamr (minuman keras),maka baginya

boleh meminumnya,tetapi hanya sekedar untuk mempertahankan hidupnya yang sedang

terancam lantaran kehausan.Akan tetapi jika haunya telah hilang,maka uumnya kembali

kepada asal yaitu haram.

2. Kasus sakit kronis ang tidak kunjung sembuh.Kasus ini bsa membuat penderita

mendapatkan suatu keringanan (rukhshah) dengan mengkonsumsi obat-obatan yang

hakikatnya diharamkan,misalna obat bius dan yang sejenisnya,dengan ketentuan selama

sudah sdissuaikan dengan kadar kesulitannya 10

3. Apakah bahaya/kondisi darurat itu di timbulkan oleh hak milik orang lain atau bukan?

jika kondisi itu di timbulkan oleh hak milik orang lain maka, yang punya hak tidak boleh

menuntutnya untuk menganti rugi hak yang hilang tersebut. Misalnya: seseorang tiba-tiba

di serang onta (sapi) sampai membahayakan dirinya, maka orang tersebut melawannya

hingga terbunuh onta/sapi tersebut karena membela diri, disini ada kondisi darurat

(membela diri).Maka apakah boleh sang pemilik onta/sapi datang kepadanya dan

mengatakan: berikan ganti rugi seharga onta/ sapi tersebut? Maka kami (para ulama)

katakan: tidak ada hak bagi sang pemilik, kenapa, karena bahaya/kondisi gawat tersebut

di timbulkan karena kelalailan sang pemilik, dia lupa menjaga hak miliknya, maka jika

yang demikian itu tidak ada garansi (ganti rugi)

4. Adapun jika kondisi darurat (bahaya) tersebut tidak ditimbulkan karena hak miliknya

(berhubungan dengan) orang lain maka wajib mengantinya jika mengambil

(menhilangkan hak milik tersebut) misalnya: seseorang sangat kelaparan, dan dia tidak

mendapati makanan apapun kecuali onta milik (hak) orang lain kemudian orang ini 9 Kaidah-kaidh fikih.Sulaiman abu syeikha al magetiy.http://www.raudhatulmuhibbin.org/2008/01/qawaidul-fiqhiyyah.html.diakses pada tanggal 28 tahun 201410 Loc cit.Hal:165-166

Page 10: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

menyembelihnya dan memakanya,maka dalam kondisi darurat (bahaya) ini ada dan

terjadi tanpa ada hubungannya dan bukan karena hak orang lain, maka sang pemilik onta

boleh menuntut ganti rugi dari onta yang dimakan orang tersebut, maka para ulama

mengambil kaidah dari hal ini :

5. (al idhirar laa yubtilu haqol ghoiri) الغير حق يبطل ال kondisi bahaya االضطرار

tidak menhalalkan (membatalkan) hak orang lain, dengan catatan kondisi darurat

(bahaya) tersebut timbul bukan disebabkan hak milik orang lain. Contoh lainnya yang

lebih terperinci: para penumpang dalam kapal, membuang sebagian barang milik

penumpang lain kelautan ,karena bisa menyebakan bahaya jika tidak membuangnya,

masalahnya apakah orang yang membuang barang tersebut harus menganti barang

tersebut apa tidak? maka kita lihat sebabnya: jika dia membuangnya karena kelalaian

sang pemilik barang, misalnya orang tersebut tinggal dibawah barang tersebut di

letakkan, dan membuat kapal bocor,maka bahaya tersebut timbul karena kelalaian sang

pemilik barang maka, tidak wajib baginya menganti barang tersebut, namun jika kondisi

bahaya tersebut bukan ditimbulkan dari hak (barang) oranga lain, misal kapal tersebut

kelebihan barang dan muatan, dan bisa menyebabkab kapal tersebut tengelam sehingga

pemilik/kapten kapal mengatakan: kita harus membuang sebagain barang kelaut, dan

diambillah sebagian barang tersebut dan dibuang kelaut, maka apakah ada garansi (ganti

rugi) barang tersebut, kita katakan: iya ada garansi, karena bahaya tersebut tidak

ditimbulkan dari barang itu sendiri atau kelalaian pemilik barang namun timbul karena

kelalaian semua orang dalam kapal, sehingga di katakan kepada semua yang ada di kapal:

beri ganti rugi barang tersebut, dan di bagi rata setiap penumpang hingga terkumpul

seharga barang tersebut, tergantung jumlah dan harganya, atau sang pemilik kapal yang

bertanggung jawab karena dia yang mengatur dan mengurusi semua tentang kapalnya.11

BAB III

11 Opcit. http://www.raudhatulmuhibbin.org/2008/01/qawaidul-fiqhiyyah.html

Page 11: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

PENUTUP

KESIMPULAN

Kaidah fiqh yang berbunyi Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan sudah

banyak sekali dibahas di kitab-kitab klasik maupun kitab kontemporer. Begitu juga dengan

kaidah yang berbunyi Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi darurat ,harus disesuaikan

menurut batasan ukuran yang dibutuhkan darurat tersebut. Dua kaidah ini sangat penting

untuk dibahas karena masalah ini selalu muncul dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya

seperti seseorang yang lupa raka’at dalam keadaan shalat apakah 3 raka’at atau empat raka’at

maka yang diambil adalah yang diambil 3 karena sebelum empat, jadi dalam bilangan yang

diambil adalah bilangan yang terkecil. Sedangkan contoh keadaan darurat maka apabla

seseorang terseat di hutan dan dia tidak ada makanan untuk dimakan dan dikhawatirkan akan

mati apabila tidak makan, maka diperbolehkan memakan bangkai hewan tetapi secukupnya

saja untuk bertahan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Page 12: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

abu syeikha al magetiy,Sulaiman.(2008).Kaidah - Kaidah Fikih.www.raudhatul muhibbin.org/2008/01/qaidul fiqiyah.html.diakses pada tanggal 28 tahun 2014

Al-jauziyyah,Ibnu Qayyim.(2000).I’lamul Muwafiqi’in. Jakarta:Pustaka Azzam

Djazuli,A .(2006).Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta:Kencana

Mudjib,Abdul.(2001).Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih.Jakata:kencana mulia

Tamrin,Dahlan.(2010).Kaidah-Kaidah hukum Islam Kulliah Khamsah.Malang:UIN Maliki

TUGAS BERSTRUKTUR DOSEN PEMBIMBINGKaidah – Kaidah Fikih H.Nuril Khasyi’in, LC, MA

Page 13: Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat

PEMAHAMAN KAIDAH FIQH YAKIN,SYAK DAN PEMBOLEHAN

KONDISI DARURAT

Disusun Oleh :

Kelompok 2

INTAN PAMBUDI :1201150110

HERLINA SRI WAHYUNI :1201150106

LIA ANGGRAINI :1201150116

ARIEF SIPAHUTAR :1111151528

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

BANJARMASIN

2013