Upload
marchel-monoarfa
View
517
Download
27
Embed Size (px)
Citation preview
PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI FORAMINIFERA PLANKTONIK FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR
DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SEMINAR
Diajukan untuk memenuhi persyaratan tingkat sarjana Strata-1 pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
Oleh :
Marchel Monoarfa111101046
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND
YOGYAKARTA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI FORAMINIFERA PLANKTONIK FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR
DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SEMINAR
Diajukan untuk memenuhi persyaratan tingkat sarjanan Strata-1 pada
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
Disahkan : Di Yogyakarta
Tanggal :19 Maret 2015
Menyetujui
Dosen Pembimbing Penyusun
Ir. Siwi Sanjoto, M.T Marchel Monoarfa NIK 86.0555.311 E NIM 111101046
MengetahuiJurusan Teknik Geologi
Dr. Sri Mulyaningsih, S.T, M.TNIK : 96.0672.516 E
ii
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam draft seminar ini tidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis/ diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, Ferbuari 2015
Marchel Monoarfa
iii
PRAKATA
Puji syukur kepada TUHAN yang telah memberikan hikmat kepada
penulis sehingga penyusunan seminar ini dapat tersusun dengan baik.
Seminar ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat kurikulum tingkat
sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains
& Teknologi AKPRIND Yogyakarta, dan juga sebagai implementasi dari ilmu
yang telah didapat dalam perkuliahan. Pada kesempatan ini penyusun
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ir. Siwi Sanjoto, M.T, yang telah membimbing dalam pembuatan draft
seminar ini.
2. Ir. Miftahussalam, M.T, sebagai dosen wali yang selalu memberi nasehat
dan sangat mendukung diangkatnya topik dari judul seminar ini.
3. Dr. Sri Mulyaningsih, S.T, M.T, selaku ketua jurusan yang telah memberi
kesempatan kepada penyusun untuk melaksanakan seminar.
4. Laboratorium Mikropaleontologi IST AKPRIND, yang telah
meminjamkan peralatan lapangan dan peralatan determinasi fosil mikro.
5. Teman-teman T. Geologi 2011, Muhammad Yasin, Moses
Ferderik Tobing, Andri suryono, yang telah membantu saat pengukuran
dan pengambilan sampel di lapangan.
6. Dedek Setiawan T. Mesin 2011, yang telah membantu saat proses
pencucian dan pengayakan sampel batuan di laboratorium.
7. Juven Naibobe T. Geologi 2013, yang telah meminjamkan mikroskop
digital saat mengambil gambar observasi fosil mikro.
Yogyakarta, Ferbuari 2015
Penyusun
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………. i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….. ii
HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………….. iii
PRAKATA………………………………………………………………… iv
DAFTAR ISI………………………………………………………………. v
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… vi
DAFTAR TABEL…………………………………………………………. vii
INTISARI………………………………………………………………….. viii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………… 1I.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1
I.2 Maksud dan Tujuan……………………………………………… 1
I.3 Metode dan Peralatan Penelitian………………………………… 2
I.4 Lokasi Pengambilan Sampel…………………………………… 3
1.5 Batasan Masalah………………………………………………… 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….. 4
II.1 Tingkat dan Jenis Satuan Zonasi Biostratigrafi………………… 4
II.2 Fosil Foraminifera Planktonik…………………………………... 6
II.3 Konsep Dasar Stratigrafi………………………………………… 9
II.4 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian………………………….. 11
BAB III. METODE PENELITIAN………………………………………. 13
III.1 Metode Penelitian Lapangan…………………………………… 13
III.2 Metode Analisis Mikrofosil……………………………………. 15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………. 18
IV.1 Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik Daerah Penelitian... 18
IV.2 Umur Daerah Penelitian………………………………………... 20
IV.3 Zona Selang Foraminifera Planktonik…………………………. 24
BAB V. KESIMPULAN…………………………………………………... 29
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lokasi Penelitian (Google earth, 2015)………………………….. 3
Gambar 2. Zona biostratigrafi (SSI, 1996)…………………………………. 6
Gambar 3. Susunan kamar test foraminifera palnktonik (Boudagher,2013)… 7
Gambar 4. Apertur foraminifera planktonik (Boudagher, 2013)…………….. 8
Gambar 5. Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik daerah penelitian
(Penulis, 2015)…………………………………………………...
19
Gambar 6. Keragaman spesies foraminifera planktonik (Penulis, 2015)…… 19
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 . Umur daerah penelitian 1 bagian atas (Penulis, 2015)…………….. 21
Tabel 2. Umur daerah penelitian 1 bagian tengah (Penulis, 2015)…………... 21
Tabel 3. Umur daerah penelitian 1 bagian bawah (Penulis, 2015)………….. 21
Tabel 4. Umur daerah penelitian 2 bagian atas (Penulis, 2015)…………….. 22
Tabel 5. Umur daerah penelitian 2 bagian tengah (Penulis, 2015)………….. 23
Tabel 6. Umur daerah penelitian 2 bagian bawah (Penulis, 2015)…………... 23
Tabel 7. Zona selang Foraminifera Planktonik daerah penelitian (Penulis,
2015)………………………………………………………………… 27
vii
INTISARI
Banyak kendala yang dihadapi untuk penentuan umur batuan secara teliti ataupun
saat melakukan korelasi secara detail. Untuk mengatasi permasalahaan tersebut perlu
dilakunnya penyusunan zona selang berdasarkan pemunculan awal dan akhir dari dua
takson penciri.
Metode yang digunakan untuk menyusun zona selang mencakup empat aspek
yaitu, studi pustaka, penelitian lapangan, analisis mikrofosil dan penyusunan zona selang
foraminifera planktonik di laboratorium.
Hasil Pengukuran startigrafi pada lintasan 1 di Pereng Balecatur menunjukan
tebal lapisan 12,3 meter dan pada lintasan 2 di Desa Banguncipto mempunyai tebal
lapisan 17 meter. Pada kedua lokasi dilakukan pengambilan sampel secara sistematis
mulai dari lapisan paling bawah sampai paling atas.
Hasil analisis sampel menunjukan bahwa pada lokasi 1 Pereng Balecatur
spesiesnya lebih beragam dengan populasi terbanyak yaitu Gs. ruber, Sph.subdehiscens,
O. bilobata dan O. universa dan pada lokasi 2 Desa Banguncipto, hanya ada tiga spesies
yang beragam yaitu O. bilobata, O. universa dan Gs. sacculiferus. Berdasarkan
pemunculan awal dan pemunculan akhir dari spesies penciri foraminifera planktonik,
dapat disusun 9 (sembilan) zona selang dengan umur relatif N.9 - N.19 yaitu : 1.ZS O.
suturalis – Gt. peripheroacuta, 2. ZS Gt. peripheroacuta- Gs. Immaturus, 3.ZS Gs.
Immaturus- Sphs. Subdehiscens, 4. ZS Sphs. Subdehiscens – Ga. nepents, 5. ZS Ga.
nepents – Gt. siakensis, 6. ZS Gt. siakensis - Gt .acostaensis, 7. ZS Gt-acosteansis – Gt.
plesiotumida 8. Gt.plesiotumida– Sps. dehiscens ,ke 9. ZS Sps. dehiscens – Gq. Altispira
Kata Kunci : Foraminifera Planktonik kecil, Formasi Sentolo, Zona Selang,
Kemunculan Awal (FAD) dan Akhir (LAD).
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
Foraminifera merupakan binatang mikro yang hidup di laut dan banyak
dijumpai sebagai fosil. Jenis fosil ini dimanfaatkan untuk menentukan umur
geologi. Foraminifera besar dimanfaatkan untuk menyusun klasifikasi huruf
tersier, sedangkan foraminifera kecil khusunya planktonik dipergunakan untuk
menyusun biostratigrafi. Penyusunan biostartigrafi sangat tergantung dari jenis
fosil yang dimanfaatkan terutama untuk mengetahui biozona atau zona yang
mengandung cebakan hidrokarbon, sebagai salah satu komponen dalam
melakukan korelasi paleontologi, baik dalam satu cekungan sedimentasi ataupun
antar cekungan sedimentasi yang berdekatan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Banyak kendala atau kesukaran yang dihadapi baik dalam menentukan
umur batuan secara lebih teliti maupun untuk melakukan korelasi yang bersifat
regional ataupun inter-regional dengan menggunakan zonasi foraminifera
planktonik. Untuk mengatasi kendala tersebut, perlu dilakukannya penyusunan
zona selang.
Zona selang menurut SSI 1996 ialah selang stratigrafi antara pemunculan
awal atau akhir dari dua takson penciri. Pemunculan awal dan akhir dari takson
yaitu awal dan akhir dari munculnya takson-takson penciri pada sayatan
stratigrafi. Bidang dimana titik-titik tempat munculnya awal dan akhir tersebut
berada disebut sebagai biohorizon dan sering dikenal sebagai biodatum.
1
Dengan demikian penyusunan zona selang berdasarkan first appearance
datum (FAD) (Kemunculan awal) dan last appearance datum (LAD)
(Kemunculan akhir) foraminifera planktonik perlu dilakukan dalam rangka
melakukan korelasi antara satu tubuh lapisan batuan yang satu dengan yang lain.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penyusunan makalah seminar ini sebagai salah satu prasyarat
kelulusan untuk mencapai tingkat sarjana (S-1) pada Jurusan Teknik Geologi,
Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta.
Tujuan dalam penyusunan seminar ini yaitu untuk menentukan dan
menyusun zona selang berdasarkan FAD dan LAD dari takson-takson penciri
foraminifera planktonik yang terdapat di daerah penelitian.
1.3 Metode dan Peralatan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah seminar ini, meliputi
empat aspek utama, yakni studi pustaka, penelitian lapangan, analisis mikrofosil
di laboratorium serta penyusunan zona selang foraminifera planktonik. Penelitian
lapangan, mencakup pengukuran penampang stratigrafi, pengambilan contoh
batuan secara sistematis, dan analisis mikrofosil, mencakup preparasi, dan
determinasi fosil.
Sedangkan peralatan yang digunakan mencakup peralatan lapangan dan
laboratorium. Peralatan lapangan yaitu : kompas geologi, HCL 0,1N, kantong
sampel, jacob staf, peralatan tulis, tali pengukur, dan GPS, dan peralatan
2
laboratorium yaitu : mikroskop binokuler/ digital microskop , ayakan menurut
skala mesh, H2SO2 dan alat penunjang lainnya.
1.4 Lokasi dan Waktu Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan di dua tempat yang pertama berlokasi di
desa Pereng Balecatur kecamatan Sedayu kabupaten Sleman pada hari sabtu
3/01/2015 dan yang kedua di desa Banguncipto kecamatan Sentolo kabupaten
Kulonprogo pada hari selasa 6/01/2015.
Gambar 1. Lokasi Penelitian (Google earth, 2015)
1.5 Batasan Masalah
Dalam pembahasan makala seminar ini, penyusun memfokuskan pada
penyusunan zona selang berdasarkan foraminifera planktonik.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Zona merupakan satuan dasar dari biostratigrafi, dan pengertian tentang
zona ini merupakan suatu lapisan batuan yang dicirikan oleh suatu takson fosil
atau lebih. Pembuatan suatu zona dimaksudkan untuk mengelompokan strata pada
lapisan batuan sedimen kedalam suatu biostratigrafi, sehingga masing-masing
zona akan mempunyai suatu umur tertentu berdasarkan kandungan spesies
diagnosis yang terpilih.
Pada saat ini para ahli startigarfi telah banyak yang membuat zonasi
foraminifera planktonik untuk kepentingan biostratigarfi, terutama ahli-ahli yang
bekerja diperminyakan untuk pekerjaan korelasi. Pemikiran tersebut mengingat
bahwa foraminifera planktonik pertama kalinya muncul pada zaman jura yang
diawali oleh famili dari Globigerinidae, kemudian berkembang pada zaman kapur
dengan variasi bentuk dan jumlah yang meningkat terus hingga zaman kwarter
(Suhartati, 1986).
II.1 Tingkat Dan Jenis Satuan Zonasi Biostratigrafi
Berdasarkan ciri satuan paleontologi yang dijadikan sandi satuan
biostratigrafi dapat dibedakan menjadi enam zona menurut SSI 1996 yaitu :
A. Zona Kumpulan
Zona kumpulan ialah satu lapisan atau kesatuan sejumlah lapisan yang
terdiri oleh kumpulan alamiah fosil yang khas atau kumpulan sesuatu jenis
fosil.
4
B. Zona Kisaran
Zona kisaran ialah tubuh lapisan batuan yang mencakup kisaran stratigrafi
unsur terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada.
C. Zona Puncak
Zona puncak ialah tubuh lapisan batuan yang menunjukkan perkembangan
maksimum suatu takson tertentu.
D. Zona Selang
Zona selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal atau akhir dari
dua takson penciri. Kegunaan zona selang pada umumnya untuk korelasi
tubuh-tubuh lapisan batuan. Batas atas atau bawah suatu zona selang
ditentukan oleh pemunculan awal (FAD) dan akhir (LAD) dari takson-
takson penciri tersebut. Nama zona selang diambil dari nama-nama takson
penciri yang merupakan batas atas dan bawah zona itu.
E. Zona Rombakan
Zona Rombakan adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh
banyaknya fosil rombakan, berbeda jauh daripada tubuh lapisan batuan di
atas dan di bawahnya.
F. Zona Padat
Zona padat ialah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh melimpahnya
fosil dengan kepadatan populasi jauh lebih banyak daripada tubuh batuan
di atas dan di bawahnya.
5
Gambar 2. Zona biostratigrafi (SSI, 1996)
II.2 Foraminifera Planktonik
Foraminifera planktonik merupakan hewan yang terdiri dari satu sel yang
sangat sederhana, sel tersebut terdiri dari protoplasma dan inti. Foraminifera
memiliki cangkang dimana cangkang tersebut dibentuk oleh protoplasma yang
diambil dari bahan-bahan disekelilingnya. Pada umumnya cangkang tersebut
terbuat dari zat organik ataupun anorganik.
Tempat hidup foraminifera planktonik dapat di laut dan di danau, yang
dipengarui oleh faktor suhu, salinitas, cahaya matahari, kekeruhan, pengaruh
gelombang dan arus.
A. Susunan Kamar Foraminifera Planktonik
Susunan kamar pada foraminifera planktonik dapat dibagi menjadi tiga
bentuk yaitu :
Planispiral, bentuk kamar ini terputar pada satu bidang dan semua
kamarnya dapat terlihat, juga jumlah kamar ventral dan dorsanya sama.
6
Trocospiral, terputar tidak pada satu bidang dan tidak semua kamar
terlihat serta jumlah kamar ventral dan dorsal tidak sama.
Streptospiral, bentuk kamar awalnya berbentuk trochospiral, kemudian
menjadi planispiral, sehingga menutupi sebagian atau seluruh kamar-
kamar sebelumnya.
Gambar 3. Susunan kamar test foraminifera palnktonik (a.trochospiral Contusotruncana, b dan c. Globotrucana , d. trochospiral Sphaeroidinella, e. trochospiral Cassigerina, f. streptospiral Orbulina, g. Planispiral Hesstigerina, h. trochospiral Turbeogloburotalia, i. planispiral Harthenina.) (Boudagher, 2013)
B. Apertur Foraminifera Planktonik
Apertur adalah lubang utama dari test foraminifera yang terletak pada
kamar terakhir. Khusus foraminifera planktonik bentuk apertur maupun variasinya
lebih sederhana. Apertur pada foraminifera planktonik dibagi menjadi tiga yaitu:
Primary aperture interiomarginal digolongkan kedalam tiga bagian :
7
o Primary aperture interiomarginal umbilical, adalah apertur utama
interiomarginal yang terletak pada daerah umbilikus atau pusat
putaran.
o Primary aperture interiomarginal umbilical extra umbilical, adalah
apertur utama interiomarginal yang terletak pada daerah umbilikus dan
melebar sampai ke peri-peri.
o Primary aperture interimarginal equatorial, adalah apertur utama
intriomarginal yang terletak pada daerah ekuator, dengan ciri-ciri dari
samping kelihatan simetri dan hanya dijumpai pada susunan kamar
planispiral yang mana ekuator merupakan batas putaran akhir dengan
putaran sebelum peri-peri.
Secondary aperture, merupakan lubang lain dari apertur utama dan lebih
kecil atau lubang tambahan dari apertur utama.
Accessory aperture, adalah merupakan apertur sekunder yang terletak pada
struktur aksesoris atau apertur tambahan.
8
Gambar 4. Apertur foraminifera planktonik a. Radotruncana (Primary umbilical), b. Globotrucana (Intraumbilical), c & j. Abathomphalus ( Intra-extraumbilical), d. Dentoglobigerina (Intraumbilical), e. Turbeogloborotalia (Intra- extraumbilical), f. Guembelitrioldes (Intraumbilical), g. Globotrucana (Intraumbilical), h. Contusotrucana (Primary umbilical), k.Globorotalia (Intra-extraumbilical), i. Pseudohastigelina (Extraumbilical). (Boudagher, 2013)
C. Komposisi Test Foraminifera Planktonik
Berdasarkan komposisi test foraminifera dapat dikelompokan menjadi
empat yaitu : dinding khitin, arenaseous, siliseous dan gampingan. Dari keempat
komposisi dinding tersebut, komposisi dinding gampinganlah yang umum
dijumpai pada sebagian besar pada foraminifera planktonik, dan dinding
gampingan dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu :
Gampingan porselen, adalah dinding gampingan yang tidak berpori,
mempunyai kenampakan seperti pada porselen, bila kena sinar langsung
berwarna putih opaque
Gamping granular, adalah dinding yang terdiri dari Kristal kalsit yang
granular.
Gamping komplek, adalah dinding dijumpai berlapis, kadang-kadang
terdiri dari satu sampai empat lapis yang homogen.
Gamping hialin, terdiri dari zat-zat gampingan yang transparan dan berpori
(kebanyakan foraminifera planktonik mempunyai dinding seperti ini)
II.3 Konsep Dasar Startigrafi
Konsep ini merupakan konsep geologi yang berlaku secara umum dan
sifatnya universal serta terjadi di semua tempat di dunia. Konsep tersebut adalah :
A. Hukum Steno
9
Steno seoarang geologist Italia merumuskan hukum Steno menjadi tiga
bagian yaitu :
Hukum Superposisi (Superposition Law), menyebutkan bahwa dalam
satu seri sedimentasi, dalam kondisi yang belum mengalami perubahan
atau deformasi, secara stratigrafis lapisan batuan sedimen bagian atas
mempunyai umur geologi yang relatif lebih muda dibandingkan
dengan lapisan batuan sedimen yang berada di bawahnya.
Hukum Kejadian Horizontal (Horizontality Law), menyebutkan bahwa
pada satu seri deposisi di suatu cekungan sedimentasi, perlapisan
batuan sedimen pada saat mula terbentuk mempunyai kedudukan
horizontal. Bila perlapisan batuan sedimen tersebut sudah membentuk
sudut dengan bidang horizontal atau mempunyai kedudukan perlapisan
batuan yang miring menunjukan bahwa perlapisan batuan sedimen
tersebut sudah mengalami perubahan atau deformasi.
Hukum Kejadian Menerus (Continousity Law), menyebutkan bahwa
dalam proses sedimentasi akan dihasilkan perlapisan batuan yang sama
tebal, dan apabilah perlapisannya tidak sama tebal, maka pada
cekungan sedimentasi tersebut dipastikan telah mengalami gangguan.
B. Hukum Hubungan Potong Menyilang (Cross Cuting Relationship Law)
Hukum ini diperkenalakan oleh AWR Potter dan H. Robinson, yang
menyebutkan bahwa batuan yang diintrusi (oleh batuan beku) umurnya
relatif lebih tua dibandingkan dengan batuan yang mengintrusi. Hukum ini
10
dapat dikembangkan untuk kenampakan geologi yang mempunyai
kejadian sejenis.
C. Teori Uniformitas (Uniformiy Theory)
Teori ini diusulkan oleh James Hutton (1726-1779) seorang naturalis
Scotlandia yang menyebutkan bahwa proses-proses yang terjadi pada masa
lampau mengikuti hukum yang berlaku pada proses-proses yang terjadi
sekarang, atau dengan kata lain “the present is the key to the past”
D. Hukum Urutan Fauna (Law of Fauna Succession)
Hukum ini diusulkan oleh dua ilmuan yaitu :
De Soulovie (1777), meyebutkan bahwa dalam urut-urutan batuan
sedimen sekolompok lapisan dapat mengandung kumpulan fosil
tertentu dengan sekelompok lapisan di atas maupun di bawahnya.
William Smith (1816), menyebutkan bahwa urutan lapisan sedimen
dapat “dilacak” secara lateral dengan mengenali kumpulan fosilnya
yang didiagnostik jika kriteria litologinya tidak menentu.
E. Teori Kepunahan Organik (Extinction Organic Teory)
Teori ini diusulkan oleh George Cuvier (1769-1832), menyebutkan bahwa
dalam suatu urutan stratigrafi, lapisan batuan yang lebih muda akan
mengandung fosil yang mirip dengan makhluk yang hidup di zaman
sekarang dibandingkan dengan fosil yang terdapat pada lapisan batuan
yang umurnya lebih tua.
II.4 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian
11
Batuan tertua yang tersingkap di Kulonprogo adalah Formasi Nanggulan.
Secara tidak selaras di atasnya terdapat batuan volkanik Formasi Andesit Tua
(FAT). Di atas FAT dijumpai dua fasies batugamping yaitu Formasi Sentolo dan
Formasi Jonggrangan, dan sebagai endapan termuda yaitu endapan alluvial.
Bagian bawah Formasi Nanggulan tersusun oleh batupasir, serpih, batulempung
dengan sisipan lignit. Pada bagian bawah formasi ini dijumpai fosil foraminifera
besar yaitu Nummulites djogjakartae. Formasi Nanggulan diendapkan pada
lingkungan paralik, tetapi pada bagian atas diendapkan pada lingkungan neritik
atau tepi benua. Batupasirnya banyak mengandung kuarsa yang menunjukkan
indikasi asal benua yang sama seperti endapan berumur Eosen di Bayat, Klaten.
FAT tersusun oleh batuan intrusi dangkal andesit dan dasit, breksi andesit,
tuf dan lava. Batuan tersebut mempunyai komposisi dari andesit basaltik sampai
andesit. Pada batuan sedimen berbutir halus dijumpai fosil foraminifera plaktonik
yang menunjukkan umur N3-N5 atau Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.
Dua fasies batugamping berkembang di tepi batuan FAT yaitu Formasi
Sentolo dan Formasi Jonggrangan. Formasi Sentolo didominasi oleh napal dan
batugamping yang diendapkan pada lingkungan neritik sampai batial pada Kala
Miosen Awal - Pliosen. Tebal formasi sentolo lebih kurang 1200 meter. Formasi
Jonggrangan tersusun oleh batugamping terumbu dan napal, dan pada bagian atas
berkembang perselingan batulempung. Umur formasi Jonggrangan adalah Miosen
Awal - Miosen Tengah, dan tebalnya lebih kurang 400 meter. Kedua formasi
tersebut diendapkan secara transgresif di atas FAT. Dan batuan termuda yang
tersinkap adalah endapan alluvial yang berumur Holosen, terbentuk oleh endapan
12
gunungapi kwarter, endapan sungai, dan endapan debris dari perbukitan dan
pegunungan.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pengelolaan sampel untuk mendapatkan fosil merupakan tahap akhir yang
menentukan keberhasilan memisahkan fosil dari batuan. Ketelitian saat
mengambil sampel batuan di lapangan dan analisis di laboratorium sangat
menentukan dalam keberhasilan penyusunan zona selang, oleh karena itu suatu
metode penelitian sangat penting untuk dilaksanakan.
III.1 Metode Penelitian Lapangan
Pengambilan contoh batuan didasarkan pada sampel permukaan, dua
lintasan telah dipilih yaitu di daerah Pereng pada Desa Balecatur dan di Desa
Banguncipto Sentolo. Pada kedua lintasan tersebut dilakukan penampang terukur
(measuring section) relatif tegak lurus terhadap jurus perlapisan batuan.
Penampang terukur dikombinasikan dengan analisis profil untuk menunjukkan
pola penumpukan lapisan secara vertikal serta hubungan antar perlapisan batuan.
Adapun prosedur atau langka-langka yang dilaksanakan :
A. Mempersiapkan peta geologi daerah yang akan diteliti
B. Menentukan Formasi batuan yang akan diteliti / disusun zonasi selangnya
dalam hal ini Formasi Sentolo yang dipilih karena berpotensial
mengandung fosil mikro foraminifera.
C. Mencari dan menentukan singkapan lithologi yang baik dengan bantuan
alat GPS, dan mencatat kedudukan astronomi.
13
D. Menentukan kedudukan stratigrafi lithologi dengan berpedoman pada
strike dan dip perlapisan batuan yang dilihat dilapangan.
E. Mengukur stratigrafi daerah penelitian mengunakan metode Jacob staff,
adapun langkah-langkah pengukurannya:
Pengukuran dimulai dari bagian bawah suatu jalur, pada awal
pengukuran diletakan ujung tongkat dititik terbawah jalur.
Klinometer yang tertempel pada tongkat diarahkan sehingga sesuai
dengan arah kemiringan lapisan batuan, dengan cara
menggoyangkan tongkat sampai pada posisi yang diinginkan, yaitu
posisi tongkat tegak lurus pada bidang perlapisan.
Deskripsi kenampakan litologi yang diukur.
Demikian perlakuan yang sama untuk urutan berikutnya sampai
sasaran titik terakhir selesai.
F. Untuk mempertahankan kesinambungan kelimpahan takson, maka teknik
pengambilan contoh batuan dilakukan pada bagian atas, tengah dan bawah,
kemudian masing-masing bagian dibagi dalam tiga bagian lagi pada setiap
lapisan secara sistematis dan contoh batuan yang diambil masih insitu.
G. Pengambilan contoh batuan paling sedikit segenggam tangan (hand
specimen)
H. Sampel yang diperoleh dimasukkan dalam kantong yang sudah disediakan,
dan dituliskan keterangan lokasi (nama geografi, kedudukan lokasi,
ketinggian tempat, nama Formasi batuan) tanggal, bulan, tahun dan nomor
koleksi fosil (dengan kode dan nomor)
14
III.2 Metode Analisis Mikrofosil
Analisis mikrofosil mencakup preparasi, dan determinasi fosil.
A. Preparasi bertujuan untuk mengubah sampel batuan yang telah dipilih
pada saat sampling menjadi bahan yang siap untuk dianalisis secara
mikropaleo.
Proses ini pada umumnya dilakukan untuk memisahkan mikrofosil yang
terdapat dalam batuan dari berbagai material lempung atau matriks yang
menyelimutinya. Adapun prosedur yang dilakukan dalam preparasi :
Contoh batuan diambil secukupnya
Contoh batuan diremas dengan tangan.
Sampel ditempatkan pada wadah yang bertutup dan terbuat dari
logam atau plastik.
Sampel direndam dengan air bersih selama kurang lebih 24 jam. Pada
umumnya selama waktu tersebut serpihan batuan sudah lunak.
Sampel dilumatkan tersebut dengan tangan sehingga berbentuk
lumpur.
Jika sampel masih keras atau kompak maka untuk melumatkannya
diberikan H2SO2 agar sampel mudah terurai.
Tambahkan air secukupnya, agar menjadi encer.
Siapkan satu seri sieve yang tersusun dibagian bawah dengan mesh
yang paling halus. Ukuran sieve umumnya dipakai istilah mesh. Sieve
200 mesh, 140 mesh, 100 mesh, 60 mesh, 40 mesh, 30 dan 10 mesh
15
Air bersih dituangkan, dan larutan batuan dibersihkan (washed residu),
dengan sentuhan lembut dengan jari-jari tangan atau diaduk-aduk
dengan kuas nomor 161.
Fosil-fosil yang tertampung pada masing-masing sieve, dikeringkan
dengan sinar matahari.
masing-masing washed residu di pindahkan ke dalam kantong/tabung
plastik, dan diberi label keterangan tentang washed residu tersebut
termasuk ukuran mesh.
Langka selanjutnya ialah determinasi.
B. Determinasi bertujuan untuk menentukan nama genus dan spesies
mikrofosil yang diamati, adapun perlengkapan yang dibutukan untuk
determinasi:
Mikroskop binokuler / digital mikroskop
Tray yang berlubang-lubang kecil dengan dasar hitam untuk tempat
menaburkan fosil.
Jarum preparat.
Kuas bulu halus .
Lem untuk merekatkan specimen fosil dalam slide.
Slide untuk tempat fosil yang akan dideskripsi (dikenal slide single
hole, slide double holes dan square slide)
ini masing-masing specimen dilekatkan pada cardboard kuat-kuat
dengan lem, agar tidak terlepas.
16
Setelah sampel batuan selesai dipreparasi dan perlatan observasi telah
dipersiapkan langka selanjutnya ialah mengobservasi dan mendeskripsi objek
fosil, adapun prosedur yang dilakukan :
Mendiskripsi semua fosil yang telah dipisahkan hingga tingkatan
species. Dibantu dengan figure type fosil yang ditemukan untuk
menentukan nama dalam taksonomi.
Menghitung masing-masing species yang dijumpai pada setiap sampel,
dengan besaran angka.
Menyusun tabel nama fosil dan kelimpahannya. Dalam membuat tabel
nama fosil, dipertimbangkan urutan stratigrafi contoh batuan, juga
kemunculan awal (First Appearance Datum = FAD) dan kemunculan
akhir (Last Appearance Datum = LAD) dari species yang
bersangkutan. Untuk mempermudah membaca jumlah individu fosil
yang semula ditentukan dengan jumlah nilai absolut (dengan angka),
dimodifikasi menjadi jumlah relatif. Misal: jumlah individu < dari 5,
ditulis sangat jarang (very rare = vr); jumlah 6-10, ditulis jarang (rare
= r); jumlah 11- 15, ditulis umum (common = c); jumlah 16-20, ditulis
sangat umum (very common = vc); dan jumlah > 20 ditulis melimpah
(abundance = a). (Sukandarrumidi, 2008).
Setalah tahap determinasi dan observasi selesai, kemudian dapat
disusun zona selang dan korelasi biostratigrafinya.
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembagian zona biostratigrafi dimaksudkan untuk mengolongkan lapisan-
lapisan di bumi secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama berdasarkan
kandungan dan penyebaran fosil. Satuan zona ialah tubuh lapisan batuan yang
dipersatukan berdasar kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagai sendi
pembeda terhadap tubuh batuan sekitarnya. Kandungan fosil yang dimaksud disini
ialah fosil yang terdapat dalam batuan yang seumur (kontemporer) dengan
pengendapan batuan. Dalam bagian pembahasan ini disajikan hasil analisis
kandungan fosil foraminifera planktonik, keragaman juga populasi, umur batuan
kedua daerah dan zona selang yang berhasil disusun berdasarkan kemunculan
awal dan akhir dari spesies foraminifera planktonik kedua daerah penelitian.
IV.1. Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik Daerah Penelitian
A. Hasil Pengamatan Fosil Foraminifera Planktonik
Pengamatan fosil foraminifera planktonik pada lintasan 1 (Pereng
Balecatur) dan pada lintasan 2 (Desa Banguncipto) dilakukan pada beberapa
stasiun pengambilan contoh batuan, dimana pada lintasan itu pengamatan
kandungan fosil dilakukan pada lapisan batugamping pasiran halus dari kedua
lokasi yang terdiri dari stasiun 1, 2, 3 ,4 ,5 ,6 ,7 ,8 dan 9. Adapun hasil
pengamatan fosil foraminifera kecil planktonik yang dijumpai pada kedua lintasan
tersebut berdasarkan hasil analisis mikropaleontologi dapat dilihat pada gambar 5.
18
Gambar 5 . Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik daerah penelitian (Penulis, 2015)
B. Keragaman dan Populasi Fosil Foraminifera Planktonik
Keragaman yang dimaksudkan adalah terkumpulnya beberapa jenis
fosil yang berebeda dalam suatu batuan, dan dari hasil analisis dapat ditentukan
keragaman dari kedua lintasan seperti yang tetuang dalam gambar grafik dibawah
ini.
19
Gambar 6 . Keragaman spesies foraminifera planktonik (Penulis, 2015)
Sedangkan populasi merupakan istilah yang dipergunakan untuk
menentukan jumlah individu yang terdapat dalam batuan sedimen. Apabila
populasi fosil dijumpai dalam banyak, diinterpretasikan bahwa lingkungan hidup
dimana fauna semula berada mempunyai lingkungan (ekologi) yang sesuai,
sehingga kehidupan fauna itu mampu berekembang dengan baik. Hasil analisis
populasi dan analisis semikumulatif dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2.
IV.2 Umur Daerah Penelitian
A. Measuring Section 1 Pereng Balecatur
Pada lintasan pengukuran MS 1 Pereng Balecatur (Lampiran 3), sebagian
besar tersusun atas litologi batugamping pasiran halus. Dalam contoh batuan yang
diperoleh dari hasil pengukuran stratigrafi terukur (Measuring Section) pada
lintasan ini, ditemukan beberapa spesies fosil foraminifera kecil planktonik mulai
dari lapisan bagian bawah, lapisan bagian tengah dan pada lapisan bagian atas.
Hasil analisis data mikropaleontologi yang dilakukan pada setiap lapisan
menunjukkan umur dari batuan tersebut. Berdasarkan hasil analisis kandungan
fosil foraminifera planktonik dari tiap stasiun, maka umur dari lintasan 1 dimulai
pada kala Miosen Tengah sampai Pliosen Bawah, dengan bagian atas berumur N
16-19, tengah N13-14 dan bagian bawah berumur N9-12
20
Tabel 1 . Umur daerah penelitian 1 bagian atas (Penulis, 2015)
Tabel 2. Umur daerah penelitian 1 bagian tengah (Penulis, 2015)
Tabel 3. Umur daerah penelitian 1 bagian bawah (Penulis, 2015)
21
B. Measuring Section 2 Banguncipto
Pada lintasan pengukuran MS 02 Banguncipto (Lampiran 4), sebagian
besar tersusun atas litologi batugamping pasiran halus. Dalam contoh batuan
yang diperoleh dari hasil pengukuran stratigrafi terukur (Measuring Section) pada
lintasan ini, ditemukan beberapa spesies fosil foraminifera kecil planktonik mulai
dari lapisan bagian bawah, lapisan bagian tengah dan pada lapisan bagian atas.
Hasil analisis data mikropaleontologi yang dilakukan pada setiap lapisan
menunjukkan umur dari batuan tersebut, yang ditentukan berdasarkan satuan
biostratigrafi berupa zona selang. Berdasarkan hasil analisis kandungan fosil
foraminifera planktonik dari tiap stasiun, maka umur dari lintasan 2 dimulai pada
kala Miosen Tengah sampai Pliosen Bawah, dimana umur batuan bagian atas N
16-19, tengah N 13-14 dan umur bagian bawah N 9- 12
Tabel 4. Umur daerah penelitian 2 bagian atas (Penulis, 2015)
22
Tabel 5. Umur daerah penelitian 2 bagian tengah (Penulis, 2015)
Tabel 6. Umur daerah penelitian 2 bagian bawah (Penulis, 2015)
23
IV. 3 ZONA SELANG FORAMINIFERA PLANKTONIK
Zona Selang (ZS), disusun berdasarkan pemunculan awal dan pemunculan
akhir spesies-spesies maupun subspesies penciri dari foraminifera planktonik.
Berdasarkan data penyebaran fosil dari analisis foraminifera planktonic kedua
daerah penelitian maka dapat disusun sembilan Zona Selang, berturut-turut dari
tua ke muda adalah sebagai berikut :
A. ZS O. suturalis – Gt. peripheroacuta
Ciri batas :
Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal O.suturalis
Bronnimann, sedangkan batas atasnya dicirikan oleh pemunculan Gt.
Peripheroacuta Blow & Banner untuk pertama kalinya.
Korelasi zona :
Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.9 dari Blow (1969) atau
Zona Gt. Peripheroronda dari Postuma (1971), juga Gt. Fohsi
barisanensis dari Bolli (1966).
B. ZS Gt. peripheroacuta- Gs. Immaturus
Ciri batas :
Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal Gt.
peripheroacuta Blow & Banner, sedangkan batas atasnya ditentukan
berdasarkan pemunculan terawal dari Gs. Immaturus Leroy.
Korelasi zona :
24
Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.10-N.11 dari Blow
(1969) atau Zona Gt. Peripheroacuta dari Postuma (1973)
Juga Gt. fohsi-foshi dari Bolli (1966).
C. ZS Gs. Immaturus- Sph. Subdehiscens
Ciri batas :
Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal Gs. immaturus
Leroy, sedangkan batas atasnya ditentukan berdasarkan pemunculan
terawal dari Sph. Subdehiscens Blow.
Korelasi zona:
Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.12 dari Blow (1969) atau
Zona Gt. fohsi dari Postuma (1973) dan Gt. fohsi robusta dari Bolli
(1966).
D. ZS Sph. Subdehiscens – Ga. nepents
Ciri batas :
Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal Sph.
Subdehiscens Blow, sedangkan batas atasnya ditentukan berdasarkan
pemunculan terawal dari Ga. Nepents Tood .
Korelasi zona :
Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.13 dari Blow (1969) atau
Zona Gs. subquadratus dari Postuma (1973) dan Gs. ruber dari Bolli
(1966).
E. ZS Ga. nepenthes – Gt. siakensis
Ciri batas :
25
Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal, Ga. Nepents
Tood sedangkan batas atasnya ditentukan berdasarkan
pemunculan terakhir dari Gt. siakensis Le Roy.
Korelasi zona :
Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.14 dari Blow (1969) atau
Zona Gt.siakensis dari Postuma (1973) dan Gt. mayeri dari Bolli
(1966).
F. Gt. siakensis - Gt. acostaensis
Ciri batas :
Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terakhir, Gt. siakensis
Leroy sedangkan batas atasnya ditentukan berdasarkan pemunculan
pertama dari Gt. acosteansis Blow.
Korelasi zona :
Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.14 dari Blow (1969) atau
Zona Gt.siakensis dari Postuma (1973) dan Gt. mayeri dari Bolli
(1966).
G. ZS Gt. acostaensis - Gt .plesiotumida
Ciri batas :
Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal, Gt. acostaensis
Blow, sedangkan batas atasnya ditentukan berdasarkan pemunculan
terawal dari Gt. plesiotumida Blow and Banner.
Korelasi zona :
26
Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.16 dari Blow (1969) atau
Zona Gt.acostensis dari Postuma (1973) dan Gt. acostensis dari Bolli
(1966).
H. ZS Gt. plesiotumida – Sph. dehiscens
Ciri batas :
Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal dan terakhir,
Gt.plesiotumida Blow and Banner, sedangkan batas atasnya ditentukan
berdasarkan pemunculan terawal dari Sph. dehiscens Parker and Jones.
Korelasi zona :
Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.17-18 berdasarkan
kemunculan awal dan akhir dari Blow (1969) atau
Zona Gt.dutertrei dari Postuma (1973) dan Gt. dutertrei dari Bolli
(1966).
I. ZS Sph. dehiscens – Gq. Altispira
Ciri batas :
Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal dari Sph.
dehiscens Parker and Jones, sedangkan batas atasnya ditentukan
berdasarkan pemunculan terakhir dari Gq. altispira Cushman and
Jarvis.
Korelasi zona :
Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.19 berdasarkan
kemunculan awal dari Blow (1969) atau Zona Gt. margaritae dari
Postuma (1973) dan Gt. margaritae dari Bolli (1966).
27
Tabel 7. Zona selang Foraminifera Planktonik daerah penelitian (Penulis, 2015)
28
Berdasarkan pemunculan awal dan pemunculan akhir dari spesies penciri
foraminifera planktonik, dapat disusun 9 (sembilan) zona selang dengan umur
relatif N. 9- N. 19, dan dari zona selang dapat dibuat korelasi bostratigarfi kedua
daerah penelitian (Lampiran 5).
DAFTAR PUSTAKA
Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent planktonic Foraminiferal
Biostratigraphy. Brill Leiden.
Jones, D. J, 1969, Introduction to Microfossils, Hafner Publishing Company, New York.
Fadel Boudagher, 2013, Biostratigraphic And Geological Significance Of Planktonic Foraminifera, Second Edition, OVPR UCL, London
Pringgoprawiro H., Rubiyanto K, 2000, Seri mikro fosil :foraminifera pengenalan mikrofosil dan aplikasi biostratigrafi, ITB, Bandung.
Postuma, J.A, 1971, Manual of Plangktonic Foraminifera, Elsevier Publishing Company, Amsterdam.
Sandi Satratigrafi Indonesia ,1996, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Jakarta.
Sanyoto S., Soeharsono, 1994, Petunjuk praktikum mikropaleontologi dasar ordo foraminifera, IST AKPRIND, Yogyakarta. ( Tidak Dipublikasikan)
Suhartati, M.N, Pemakaian mikrofosil untuk interpretasi geologi, Jurnal teknomin edisi 2 januari 1986, Pusat penelitian & pengembangan geoteknologi LIPI.
Sukandarrumidi, 2008, Paleontologi Aplikasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sukandarrumidi, 2012, Modul Kuliah Biostratigrafi Konsep Dasar, IST AKPRIND, Yogyakarta. (Tidak Dipublikasikan).
www.geoarc2011.blogspot.com
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 (Sumber : Penulis, 2015)
KET : 0- 3 = JARANG, 4-10 = SEDIKIT, 11- 25 = BANYAK, > 25 MELIMPAH
Glo-bigeri-noides ruber (D'OR-BIGNY)
Hestige-rina ae-quilat-eralis
(BRADY)
Glo-bigeri-noides
im-maturus LEROY
Sphaeroidinella subde-hiscens BLOW
Orbu-lina
bilobata (D'OR-BIGNY)
Glo-bigeri-noides fistolo-
sus (SCHUM
BERT)
Globorotalia
acostaensis
BLOW
Orbu-lina Uni-
versa D'OR-BIGNY
Glo-bigeri-noides
sac-culiferus (BRADY)
Globo-quad-
rina al-tispira CUSH-MAN and
JARVIS
Globorotalia
margar-itae
BOLLI and
BERMUDEZ
Glo-bigerina praebul-
loides BLOW
Glo-bigeri-noides Conglo-batus
(BRADY)
Globorotalia sc-
itula (BRADY)
Globorotalia
periph-eroa-cuta
BLOW and
BANNER
Globorotalia
lenguaensis
BLOW
Pracor-bulina glom-erosa
(BLOW)
Globorotalia
siaken-sis
(LEROY)
Sphaeroidinella dehis-cens
(PARKER and
JONES)
Globorotalia
archeomenardii BOLLI
Globorotalia
plesio-tumida BLOW and
BANNER
Globorotalia
mayeri CUSH-MAN
and EL-LISOR
Sta-siun 1
30 8 3 9 6 1 4 3 12 6 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
sta-siun 2
9 4 2 2 5 0 5 1 2 8 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
sta-siun 3
4 4 6 2 24 0 1 5 2 5 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
sta-siun 4
7 2 3 20 7 0 3 2 8 4 4 3 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0
sta-siun 5
5 3 3 6 7 0 1 23 2 6 2 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
sta-siun 6
3 2 5 9 3 0 4 20 3 5 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0
sta-siun 7
6 1 1 6 3 0 1 3 4 23 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1
sta-siun 8
2 0 1 5 4 0 4 28 5 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
sta-siun 9
1 2 3 0 1 0 3 22 1 4 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1
2.5
7.5
12.5
17.5
22.5
27.5
32.5
POPULASI SPESIES FORAMINIFERA PLANKTONIK DAERAH PERENG BALECATUR
POPU
LASI
LAMPIRAN 2 (Sumber : Penulis, 2015)
KET : 0- 3 = JARANG, 4-10 = SEDIKIT, 11- 25 = BANYAK, > 25 MELIMPAH
Globigeri-noides ru-
ber (D'OR-BIGNY)
Hestige-rina aequi-
lateralis (BRADY)
Globigeri-noides
immaturus LEROY
Sphaeroidinella sub-dehiscens
BLOW
Orbulina bilobata (D'OR-BIGNY)
Globoro-talia
acostaen-sis BLOW
Orbulina Universa
D'OR-BIGNY
Globigeri-noides
sac-culiferus (BRADY)
Globo-quadrina altispira
Globoro-talia mar-
garitae BOLLI and BERMUDE
Z
Globigeri-noides
Congloba-tus
(BRADY)
Pracorbu-lina glom-
erosa (BLOW)
Globoro-talia siak-
ensis
Sphaeroidinella de-hiscens
(PARKER and
JONES)
Globoro-talia may-
eri CUSHMAN
and EL-LISOR
Orbulina suturalis BRONNI-MANN
Globige-rina ne-pents TODD
Sta-siun 1
12 3 8 7 21 4 3 5 5 0 1 1 0 1 1 0 0
sta-siun 2
4 0 1 5 6 0 5 2 1 0 1 2 0 1 0 1 0
sta-siun 3
0 1 0 0 2 0 3 18 0 0 0 0 0 0 1 0 0
sta-siun 4
1 2 0 3 0 3 20 4 6 1 0 0 0 0 0 0 0
sta-siun 5
1 2 0 3 0 3 29 4 5 1 0 0 0 0 0 0 0
sta-siun 6
4 2 0 5 2 1 5 8 1 0 0 0 0 0 0 0 2
sta-siun 7
3 0 0 3 4 0 8 5 1 1 5 0 1 0 0 0 0
sta-siun 8
4 1 0 0 0 0 7 8 4 2 1 1 0 0 0 0 2
sta-siun 9
1 0 0 3 0 0 3 0 3 8 2 2 0 0 0 0 0
2.5
7.5
12.5
17.5
22.5
27.5
32.5
POPULASI SPESIES FORAMINIFERA PLANKTONIK DAERAH BANGUNCIPTO
Axis Title
Populasi
LAMPIRAN 3 (Sumber : Penulis, 2015)
LAMPIRAN 4 (Sumber : Penulis, 2015)
LAMPIRAN 5. (sumber : Penulis ,2015)
LAMPIRAN 6
Interpertasi Paleogeografi (Penulis, 2015)