Upload
voanh
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
200
BIOSTRATIGRAFI DAERAH SALO MARIO
KECAMATAN MARIORIWAWO KABUPATEN SOPPENG
PROVINSI SULAWESI SELATAN
M. Fauzi Arifin*, Agustinus T, Meutia Farida, Ikhsan Chalid
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin
Jl. Poros Malino Km.6, Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92171
*E-mail : [email protected]
Abstrak
Daerah penelitian termasuk dalam Daerah Marioriwawo, Kabupaten Soppeng, Provinsi
Sulawesi Selatan, tepatnya pada Sungai Mario. Penelitian ini dimaksudkan untuk
menghasilkan zonasi biostratigrafi menggunakan foraminifera planktonik dan bentonik yang
ditujukan untuk menentukan umur relatif batuan dan kedalaman lingkungan pengendapan.
Berdasarkan kumpulan seluruh data lapangan dan analisa serta interpretasi menggunakan
teori pendukung yang disadur dari berbagai literatur terkait, diketahui kelimpahan fosil dan
biodatum penciri daerah penelitian. Metode penelitian measuring section digunakan dalam
pengambilan data lapangan yang dianalisis untuk penentuan biodatum berdasarkan
pemunculan awal dan akhir dari kumpulan foraminifera yang terkandung dalam setiap
lapisan. Berdasarkan litostratigrafi tidak resmi, stratigrafi daerah ini disusun oleh satuan
konglomerat yang terdiri atas perselingan batulempung karbonatan, batupasir, dan
konglomerat. Terdapat 32 lapisan pada singkapan batuan yang diteliti. Dari keseluruhan
sampel yang diambil dari setiap lapisan, foraminifera dijumpai dalam jumlah yang sedikit
dan hanya terkandung pada beberapa lapisan saja. Biozonasi foraminifera yang dihasilkan
adalah zona N.14-N.17 (Zona Hastigerina aequilateralis – Globigerina praebulloides) yang
memiliki umur Miosen Tengah bagian Akhir hingga Miosen Atas bagian Akhir. Penentuan
lingkungan pengendapan, menggunakan foraminifera bentonik, terdapat pada Upper
Bathyal – Middle Neritik, dimana terjadi pendangkalan yang dimulai dari Upper Bathyal
pada bagian bawah lapisan hingga Middle Neritik pada bagian tengah hingga atasnya.
Kata Kunci : Foraminifera, Biostratigrafi, Measuring Section, Soppeng
PENDAHULUAN
Biostratigrafi merupakan penerapan studi paleontologi dalam masalah stratigrafi (Teicher, 1958 dalam
Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Menurut Emery & Myers (1996) biostratigrafi merupakan cabang ilmu yang
menjelaskan tentang stratigrafi berdasarkan pada ciri-ciri paleontologi dan menghubungkan proses
pengendapan batuan dengan umur yang sama. Hal tersebut disebabkan karena adanya suatu kelompok fosil
yang didukung oleh beberapa kelompok fosil lain, sehingga sampai saat ini para ahli cenderung untuk
menentukan lingkungan pengendapan berdasarkan fosil-fosil bentonik dan penentuan umur suatu batuan
berdasarkan pada kandungan fosil planktonik.
Pemisahan satuan batuan atas dasar kandungan fosil dapat menghasilkan satuan stratigrafi yang batasnya sama
dengan batas dari satuan litostratigrafi. Faktanya, satuan litostratigrafi seperti formasi umumnya dapat dibagi
oleh kumpulan fosil yang berbeda ke dalam beberapa satuan biostratigrafi yang lebih kecil (Boggs, 2006).
Penelitian foraminifera menghasilkan banyak biozonasi foraminifera yang dipakai sebagai acuan dalam
analisanya. Biozonasi foraminifera kecil antara lain terdiri atas Biozonasi Bolli (1966), Biozonasi Blow (1969),
Biozonasi Postuma (1971), dan Biozonasi Bolli & Saunders (1985). Pada umumnya biozonasi foraminifera
kecil planktonis mempunyai ketepatan yang jauh lebih detil dibandingkan dengan biozonasi foraminifera besar
(Pringgoprawiro dan Kapid, 2000).
Seluruh biozonasi foraminifera planktonik mempergunakan datum pemunculan awal dan akhir spesies marker
tertentu untuk membatasi masing-masing zonanya. Prinsip Zona Selang banyak digunakan dalam penarikan
batas-batas zona setiap biozonasi (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Pada studi khusus mengenai biostratigrafi
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
201
yang menggunakan mikrofosil, kita mengenal beberapa satuan biostratigrafi seperti Zona Kumpulan, Zona
Kisaran, Zona Puncak, dan Zona Selang.
Pembahasan pada penelitian ini berfokus kepada stratigrafi pada cekungan (basin) yang mengandung fosil,
terutama foraminifera mikro. Cekungan yang merupakan tempat terakumulasikannya material sedimen
mengalami berbagai proses yang berubah seiring waktu dan terjadi berkali-kali sehingga menghasilkan
perlapisan sedimen. Proses geologi seperti proses transportasi, sedimentasi, dan perubahan muka air laut terjadi
pada cekungan sehingga jika dilakukan penelitian mengenai material sedimen dan organisme yang
dikandungnya maka dapat dilakukan rekonstruksi kondisi daerah cekungan pada masa lampau. Organisme pada
sedimen dapat membantu dalam beberapa aspek seperti kedalaman cekungan, umur relatif batuan, dan
sebagainya.
Penelitian dilakukan pada Daerah Salo Mario, Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng, Provinsi
Sulawesi Selatan. Sistem pengendapan pada cekungan daerah penelitian dapat diketahui dengan mengamati
karakteristik batuan yang diperlihatkan oleh singkapan. Metode yang tepat untuk merekam karakteristik batuan
sedimen di permukaan bumi adalah dengan melakukan metode penampang terukur (measuring section) pada
singkapan di sungai, tebing, ataupun daerah-daerah yang memiliki topografi terjal dan terpotong. Data yang
diharapkan adalah pola urutan batuan, sifat fisik, kandungan fosil (biostratigrafi) yang akan dijadikan acuan
untuk menyusun kolom stratigrafi yang mampu memberikan informasi model sistem sedimentasi cekungan.
METODOLOGI
Tahap penelitian lapangan menggunakan metode Penampang Terukur (Measuring Section), dimana setiap
sistem sedimentasi akan menunjukkan ciri ekspresi pola siklus batuan tertentu. Dengan demikian untuk
merekam ciri-ciri tersebut dilakukan metode Penampang Terukur di sepanjang sungai yang menunjukkan
keberadaan singkapan (outcrop).
Untuk menganalisis foraminifera kecil, perlu dilakukan preparasi dengan metode residu. Metode ini biasanya
dipergunakan pada batuan (ataupun material) sedimen klastik halus-sedang, seperti lempung, serpih, lanau,
batupasir gampingan, dan sebagainya. Berikut tahapan preparasi yang dilakukan; ambil ±100-300 gr sedimen
kering, dikarenakan beberapa sampel keras atau agak keras, maka dipecah perlahan-lahan dengan cara
menumbuknya menggunakan alu gelas, setelah agak halus, sedimen dimasukkan ke dalam mangkok dan
dilarutkan dengan H2O2 (10-15%) secukupnya untuk memisahkan mikrofosil dalam batuan tersebut dari matriks
(lempung) yang melingkupinya, biarkan selama ±2-5 jam hingga tidak ada lagi reaksi yang terjadi. Setelah
tidak terjadi reaksi, seluruh residu dicuci dengan air yang deras di atas saringan yang berukuran 100 mesh,
residu pada saringan 100 mesh diambil dan kemudian dikeringkan, setelah kering, dan terakhir residu dikemas
dalam plastik residu dan diberi label sesuai dengan nomor sampel yang dipreparasi.
Setelah sampel batuan selesai dipreparasi, hasilnya yang berupa residu diamati di bawah mikroskop. Dalam
tahapan ini dilakukan proses pengamatan dan determinasi pada sampel yang telah dipreparasi. Pengamatan,
atau disebut juga observasi, yang dimaksud disini adalah pengamatan morfologi rinci dari mikrofosil dengan
menggunakan mikroskop. Determinasi yang dilakukan setelah observasi bertujuan untuk menentukan nama
genus dan spesies mikrofosil yang diamati, dengan mengobservasi semua sifat fisik dan kenampakan optik
mikrofosil tersebut.
PRINSIP DASAR BIOSTRATIGRAFI
Menurut Boggs (2006) fosil memiliki peran yang sangat penting dalam stratigrafi. Fosil memberikan metode
tambahan dengan kegunaan dalam membagi batuan sedimen ke dalam satuan stratigrafi (biostratigrafi) yang
dapat dikenali. Selain itu, fosil juga memungkinkan kita untuk melakukan pengurutan dan penentuan umur
relatif dari lapisan dan korelasinya pada skala kontinen dan (pada beberapa kasus) global. Penentuan dan
korelasi satuan batuan berdasarkan kandungan fosil disebut biostratigrafi.
Prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam penentuan satuan stratigrafi berlaku juga pada biostratigrafi
(Pringgoprawiro dan Kapid, 2000), yaitu: Hukum Superposisi (Steno) yang oleh Antony dibagy menjadi
“lapisan termuda yang terletak di puncak dalam urutan yang tidak terganggu”, Hukum Urut-urutan Fauna,
“jenis-jenis fosil itu berbeda dengan umurnya dan fosil yang terdapat pada suatu formasi tidak sama dengan
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
202
fosil yang terdapat pada formasi yang lebih tinggi”, Hukum strata yang dikenal dari kandungan fosilnya oleh
Smith, “lapisan batuan dapat dibedakan dari kandungan fosilnya”.
Metode dan prinsip-prinsip inilah yang dipakai ahli geologi dalam menyusun ribuan spesies dari fosil yang
terkandung dalam lapisan-lapisan batuan di bumi untuk disusun dalam kerangka waktu geologi, dimana
susunan semacam inilah yang menghasilkan satuan biostratigrafi (Pringgoprawiro, 1994). Berdasarkan hal
tersebut maka satuan biostratigrafi dapat dibedakan atas; ada tidaknya kandungan fosil, keberadaan fosil
tertentu, keberadaan suatu takson penciri suatu selang dari stratigrafi tertentu, kisaran hidup suatu takson fosil,
dan kelimpahan pada suatu spesies fosil tertentu. Suatu satuan biostratigrafi adalah kumpulan dari batuan yang
ditandai oleh kandungan fosil (NACSN, 2005), dimana dasar dari penggolongan biostratigrafi adalah biozonasi,
di antaranya; kandungan dari suatu lapisan, tidak dibatasi oleh satuan litostratigrafi, dan tidak dibatasi oleh
satuan kronostratigrafi.
Penentuan umur absolut umumnya dilakukan dengan menghitung waktu paruh dari unsur-unsur radioaktif yang
dikandung dalam batuan tersebut. Sementara itu, penentuan umur relatif pada dasarnya adalah membandingkan
umur batuan tersebut dengan umur batuan lain yang sudah diketahui atau mempunyai hubungan posisi
stratigrafi yang jelas. Salah satu cara penentuan umur relatif ini adalah dengan meneliti kandungan fosil atau
mikrofosil yang ada dalam batuan tersebut. Di antara mikrofosil yang ada di alam, maka foraminifera, polen,
nanoplankton, dinoflagelata, radiolaria, dan ostracoda dapat menjadi pilihan yang baik, mudah dan relatif
murah dibandingkan dengan penentuan umur secara absolut (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000).
GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Sukamto (1982) dalam penelitiannya mengelompokkan daerah penelitian ke dalam Formasi Gunungapi
Soppeng, terdiri atas breksi dan lava, yang berumur Miosen Bawah bagian Akhir. Namun litologi yang
didapatkan di lapangan lebih menunjukkan ciri Formasi Walanae, terdiri atas batupasir, batulanau, tufa, napal,
batulempung, konglomerat, dan batugamping, yang berumur Miosen Akhir – Pliosen (N15-N20) (Gambar 1).
Penelitian ini menggunakan metode pengambilan data permukaan untuk menentukan litologi yang terdapat
pada daerah ini. Terdapat tiga litologi yang didapatkan; konglomerat, batupasir, dan batulempung karbonatan
(Gambar 2). Konglomerat yang dijumpai dalam keadaan lapuk berwarna coklat kehitaman, dan segar berwarna
abu-abu. Tekstur klastik dengan struktur berlapis, sortasi buruk, kemas terbuka, ukuran butir pasir sedang (1/4
mm – ½ mm) hingga bongkah (>256 mm), dan komposisi kimia karbonatan. Material penyusunnya terdiri atas
fragmen batuan beku (basalt porfiri) dan batugamping (packstone), serta matriks batupasir (arkosic arenite).
Gambar 1. Peta Geologi Regional Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat (Sukamto, 1982)
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
203
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Geomorfologi daerah penelitian akan menguraikan dasar pembagian satuan geomorfologi yang menyusun
daerah penelitian. Terdapat dua satuan geomorfologi pada daerah ini, yang dibagi berdasarkan pendekatan
morfografi dan morfogenesa, yaitu satuan perbukitan denudasional dan satuan pedataran fluvial (Peta
Geomorfologi).
Gambar 2. Peta Geomorfologi Daerah Penelitian
Satuan perbukitan denudasional dinamakan atas dasar ketinggiannya yang berkisar 200 – 500 meter di atas
permukaan laut dan ditandai oleh rapatnya kontur, puncak yang relatif runcing, dan kemiringan lereng yang
relatif terjal serta lembah yang menyerupai huruf V. Penamaan denudasional disebabkan oleh adanya proses
pelapukan yang mendominasi pada pembentukan morfologi perbukitan daerah ini (Gambar 3).
Gambar 3. Satuan perbukitan denudasional difoto dari jalan poros Soppeng-Barru
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
204
Satuan pedataran fluvial dinamakan atas dasar ketinggian daerah ini yang berkisar 50 – 200 meter di atas
permukaan laut dan ditandai oleh renggangnya kontur, dan relief yang relatif datar. Penamaan fluvial
disebabkan oleh adanya sungai yang mempengaruhi pembentukan morfologi pedataran tersebut (Gambar 4).
Gambar 4. Satuan pedataran fluvial difoto dari daerah Watu
Daerah penelitian terdapat tiga litologi yang didapatkan; konglomerat, batupasir, dan batulempung karbonatan
(Gambar 5 Peta Geologi).
Gambar 5. Peta Geologi Daerah Penelitian
Konglomerat yang dijumpai dalam keadaan lapuk berwarna coklat kehitaman, dan segar berwarna abu-abu.
Tekstur klastik dengan struktur berlapis, sortasi buruk, kemas terbuka, ukuran butir pasir sedang (1/4 mm – ½
mm) hingga bongkah (>256 mm), dan komposisi kimia karbonatan. Material penyusunnya terdiri atas fragmen
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
205
batuan beku (basalt porfiri) dan batugamping (packstone), serta matriks batupasir (arkosic arenite). Penamaan
batuan ini menggunakan klasifikasi Wentworth (1922) sehingga diberi nama Konglomerat (Gambar 6).
Gambar 6. Litologi Konglomerat dengan fragmen berupa batuan beku
Batupasir, yang merupakan batuan kedua yang dijumpai pada daerah penelitian, dalam keadaan lapuk berwarna
coklat kehitaman, segar berwarna kuning kecoklatan, memiliki tekstur klastik dengan struktur berlapis, sortasi
buruk, kemas tertutup, ukuran butir pasir halus (1/8 – ¼ mm) hingga pasir sedang (1/4 – 1/8 mm), dengan
komposisi kimia karbonatan. Nama batuan ini berdasarkan klasifikasi ukuran butir oleh Wentworth (1922)
adalah Batupasir (Gambar 7).
Gambar 7. Batuan batupasiryang dijumpai di daerah penelitian
Batulempung karbonatan, batuan yang dijumpai pada bagian awal lintasan pengambilan data, dijumpai dalam
keadaan lapuk berwarna coklat kehitaman, segar berwarna abu-abu, memiliki tekstur klastik dengan struktur
berlapis, sortasi baik, kemas tertutup, ukuran butir lempung (<1/256 mm), dengan komposisi kimia karbonatan.
Nama batuan ini berdasarkan klasifikasi ukuran butir oleh Wentworth (1922) adalah Batulempung karbonatan
(Gambar 8).
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
206
Gambar 8. Batuan batulempung yang dijumpai di daerah penelitian
Gambar 9. Singkapan konglomerat berselingan batulempung karbonatan dan batupasir
UMUR BATUAN
Terdapat beberapa jenis litologi yang didapatkan pada lintasan pengukuran; batulempung karbonatan, batupasir,
dan konglomerat. Fosil foraminifera dapat dijumpai pada setiap litologi dengan perbedaan pada kelimpahan dan
terkadang juga ukuran fosil sehingga dilakukan analisa pada setiap lapisan. Foraminifera planktonik dan
bentonik yang dikandung terdiri atas beberapa spesies yang dinamakan dengan mengacu pada “Manual of
Planktonic Foraminifera” (Postuma, 1971), “Foraminiferal Genera and Their Classification” (Loeblich &
Tappan, 1988), dan “Foraminifera: Their Classification and Economic Use” (Cushman, 1928). Terdapat 19
spesies foraminifera planktonik dan 25 spesies foraminifera bentonik (Gambar 10).
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
207
Gambar 10. Kumpulan beberapa fosil foraminifera pada daerah penelitian (baris atas dari kiri ke kanan)
Bolivina dohmi, Cibicides nucleatus, Cibicides heminwayae, Robulus gibbus, Bolivina tectiformis, Bolivina subaeriensis,
(baris bawah dari kiri ke kanan) Hastigerina aequilateralis, Orbulina universa, Globoquadrina dehiscens, Globorotalia
pseudomiocenica, Globorotalia obesa.
Penentuan zonasi mikrofosil di daerah penelitian dilakukan berdasarkan zona selang pemunculan awal dan
pemunculan akhir dari spesies yang terdapat dalam masing-masing lapisan. Dari hasil pengamatan pada 32
lapisan batuan yang terdapat pada Salo Mario, didapatkan dua (2) biodatum yang hadir, yaitu pemunculan awal
dari Hastigerina aequilateralis (BRADY) dan pemunculan akhir Globigerina praebulloides BLOW. Dengan
menggunakan kedua biodatum tersebut, dihasilkan satu biozonasi pada daerah penelitian, yaitu Zonasi
Hastigerina aequilateralis (BRADY) – Globigerina praebulloides BLOW (N.14-N.17) (Tabel 1).
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
208
Tabel 1. Penarikan umur pada zona Hastigerina aequilateralis – Globigerina praebulloides pada lapisan 14
OL
IGO
SE
N
MIOSEN
KU
AR
TE
R
KANDUNGAN FOSIL LAPISAN 14
BA
WA
H
TE
NG
AH
AT
AS
PL
IOS
EN
Orbulina universa D’ORBIGNY
Globigerina praebulloides BLOW
Hastigerina aequilateralis BRADY
Sphaeroidinella subdehiscens BLOW
Globigerinoides immaturus LEROY
N.1
=(p
.19
/20
)
N.2
=(P
.21
)
N.3
=(P
.22
)
N.4
N.5
N.6
N.7
N.8
N.9
N.1
0
N.1
1
N.1
2
N.1
3
N.1
4
N.1
5
N.1
6
N.1
7
N.1
8
N.1
9
N.2
0
N.2
1
N.2
2
N.2
3
ZONASI BLOW (1969)
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
209
LINGKUNGAN PENGENDAPAN
Untuk setiap lapisan yang didapatkan fosil foraminifera bentonik ditentukan lingkungan pengendapan batuan
menggunakan klasifikasi Bandy (1967). Didapatkan perubahan lingkungan pengendapan pada daerah ini yang
berkisar pada Upper Bathyal hingga Middle Neritik.
Pada lapisan 1-9 diinterpretasikan bahwa pengendapan terjadi pada zona Upper Bathyal yang memiliki
kedalaman 182,88 m – 457,2 m. Terdapat deviasi pada lapisan 3 yang menunjukkan lingkungan pengendapan
Outer Neritik (Tabel 2). Perubahan yang terjadi pada lapisan 3 diinterpretasi karena adanya suplai sedimen yang
banyak, dilihat dari adanya perubahan litologi dari batulempung karbonatan pada lapisan 3 menjadi batupasir
pada lapisan 4, sehingga terjadi pendangkalan pada saat tersebut. Selanjutnya lingkungan pengendapan mulai
mendangkal menjadi Outer Neritik pada lapisan 10.
Tabel 2. Penarikan lingkungan pengendapan pada lapisan 8
SU
NG
AI
TRANSISI NERITIK BATHYAL
Ab
yss
al
(18
28,8
– 4
876
,8 m
)
Ha
da
l (>
48
76
,8 m
) KANDUNGAN FOSIL BENTONIK
Ra
wa
Lo
goo
n
Flu
via
l-M
ari
ne
Pa
nta
i T
erb
uk
a
Inn
er (
0 –
30
,48
m))
Mid
dle
(3
0,4
8 –
91,4
4 m
)
Ou
ter
(91
,44
– 1
82
,88
m)
Up
per
(1
82
,88
– 4
57
,2
m)
Mid
dle
(4
57
,2 –
914
,4 m
)
Ou
ter
(91
4,4
– 1
82
8,8
m)
Cibicides necleatus (Seguenza)
Gyroidina altisformis R.E & K.C
Stewart
Lagena sp.
Bolivina sp.
Bolivina tectiformis Cushman
Bulimina ovate d’Orbigny
Cibicides granulosus Bermudez
Pada lapisan 11-32 lingkungan pengendapan menunjukkan Middle Neritik yang memiliki kedalaman 30,48 m –
91,44 m. Terdapat deviasi pada lapisan 23 yang menunjukkan lingkungan Outer Neritik, lapisan 27
menunjukkan Upper Bathyal, dan lapisan 31 yang juga menunjukkan Outer Neritik (Tabel 3).
Tabel 3. Penarikan lingkungan pengendapan pada lapisan 17
SU
NG
AI
TRANSISI NERITIK BATHYAL
Ab
yss
al
(18
28,8
– 4
876
,8 m
)
Ha
da
l (>
48
76
,8 m
)
KANDUNGAN FOSIL BENTONIK
Ra
wa
Lo
goo
n
Flu
via
l-M
ari
ne
Pa
nta
i T
erb
uk
a
Inn
er (
0 –
30
,48
m))
Mid
dle
(3
0,4
8 –
91,4
4 m
)
Ou
ter
(91
,44
– 1
82
,88
m)
Up
per
(1
82
,88
– 4
57
,2 m
)
Mid
dle
(4
57
,2 –
914
,4 m
)
Ou
ter
(91
4,4
– 1
82
8,8
m)
Textularia sp.
PROS ID ING SEM INAR IL M IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
210
SU
NG
AI
TRANSISI NERITIK BATHYAL
Ab
yss
al
(18
28,8
– 4
876
,8 m
)
Ha
da
l (>
48
76
,8 m
)
KANDUNGAN FOSIL BENTONIK
Ra
wa
Lo
goo
n
Flu
via
l-M
ari
ne
Pa
nta
i T
erb
uk
a
Inn
er (
0 –
30
,48
m))
Mid
dle
(3
0,4
8 –
91,4
4 m
)
Ou
ter
(91
,44
– 1
82
,88
m)
Up
per
(1
82
,88
– 4
57
,2 m
)
Mid
dle
(4
57
,2 –
914
,4 m
)
Ou
ter
(91
4,4
– 1
82
8,8
m)
Eponides sp.
Uvigerina sp.
Cibicedes sp.
Gyroidina sp.
Cibicides trincherasensis Bermudez
Meningkatnya suplai material berukuran kasar yang masuk ke dalam cekungan dalam jumlah besar yang
dimulai dari lapisan 11 menyebabkan daerah ini mendangkal hingga Middle Neritik. Interpretasi tersebut
diambil berdasarkan dominasi jenis litologi yang terdapat pada lapisan 11 hingga 32 adalah konglomerat.
Kejadian ini dapat dikorelasikan dengan adanya aktivitas gunungapi pada Miosen Tengah, salah satunya terjadi
pada Gunungapi Soppeng yang terletak tidak jauh dari lokasi penelitian.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan beberapa kesimpulan; umur dari daerah
penelitian adalah Miosen Tengah bagian Akhir sampai Miosen Atas bagian Akhir atau N.14 – N.17 pada zonasi
Blow (1969). Penarikan umur tersebut berdasarkan zonasi pemunculan awal Hastigerina aequilateralis
(BRADY) dan pemunculan akhir Globigerina praebulloides BLOW, dan lingkungan pengendapan daerah
penelitian adalah Upper Bathyal – Middle Neritik, dimana pada bagian bawah dari lapisan yang diteliti berada
pada Upper Bathyal dan mengalami pendangkalan hingga Middle Neritik pada bagian tengah hingga atasnya.
Penentuan lingkungan pengendapan dilakukan berdasarkan kandungan fosil setiap lapisan yang terdapat fosil.
REFERENSI
Boggs, S., Jr., 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy. Edisi Keempat, Pearson Prentice Hall,
Pearson Education Inc., Upper Saddle River, New Jersey.
Emery, D. & K. J. Myers, 1996. Sequence Stratigraphy. Blackwell Science, Oxford.
Loeblich, A.R., Jr., & Helen Tappan, 1988. Foraminiferal genera and their classifications. Van Nostrand
Reinhold, New York.
NACSN (North American Commission on Stratigraphic Nomenclature), 2005. North American Stratigraphic
Code. AAPG Bulletin, Volume 89, No. 11, hal. 1547-1591.
Pringgoprawiro, H., 1994. Foraminifera: Panduan Kuliah Mikropaleontologi Umum. Penerbit ITB, Bandung.
Pringgoprawiro, H., & Kapid, R., 2000. Foraminifera: Pengenalan mikrofosil dan aplikasi biostratigrafi.
Penerbit ITB, Bandung.
Sukamto, R., 1982. Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, Sulawesi. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen
Pertambangan dan Energi, Bandung.