Upload
pindai-media
View
88
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
Suara Pers, Suara Siapa?
Oleh:
Wisnu Prasetya Utomo
Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected]
Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 2 | 8
Suara Pers, Suara Siapa?
Oleh : Wisnu Prasetya Utomo
Adakah pers yang netral, tidak partisan, dan objektif?
Pertanyaan semacam ini sungguh menggelisahkan terutama di masa-masa kritis pemilihan umum
2014 lalu. Berita-berita yang saling bertolak-belakang dan mengikuti garis politik pemilik media,
opini publik yang terbelah secara diametral yang sisa-sisanya masih terasa sampai saat ini,
sampai tuntutan kepada pers untuk bersikap netral dan tidak berpihak.
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan memulainya melalui pembahasan
ihwal berita sebagai laku konstruksi realitas yang diproduksi secara sadar oleh jurnalis dan
media. Selanjutnya akan melihat netralitas, objektifitas, serta partisan-tidak partisan sebuah pers
dalam konteks historis di Indonesia.
***
Istilah bahwa pers harus netral, objektif, berimbang, memberitakan dua sisi, dan tidak berpihak,
berangkat dari pandangan positivistik yang mengandaikan ada realitas objektif di luar diri media
dan wartawan. Karena ada realitas objektif, maka berita diposisikan sebagai cerminan dari
realitas yang ada. Tugas media adalah menampilkan realitas yang ada tersebut tanpa efek
dramatisasi atau semacamnya.
Dalam konteks ini, wartawan dianggap hanya sebagai pelapor peristiwa dengan asumsi media
merupakan saluran yang netral dan bebas kepentingan. Sehingga mereka harus mampu
menyederhanakan jalin-kelindan realitas yang rumit dan kompleks dalam bahasa sederhana yang
seterusnya dilanjutkan kepada khalayak.
Jika diperhatikan lebih jauh, pandangan semacam ini mengabaikan kondisi bahwa perilaku
media dan wartawan dalam memproduksi sebuah berita selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai,
norma-norma, sampai keyakinan-keyakinan tertentu. Artinya, mustahil bahwa berita adalah
sepenuhnya mirror of reality. Sebaliknya, berita adalah ikhtiar wartawan melakukan konstruksi
realitas.
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 3 | 8
Wartawan selalu sudah memiliki posisi, pertimbangan awal, maupun kepentingan sebelum ia
turun ke lapangan. Belakangan, inilah yang menjadi salah satu sumber bias berita. Pandangan-
pandangan subjektif malih rupa menjadi bias yang bisa dibaca dari berita-berita yang dihasilkan.
Dalam kajian komunikasi, ihwal objektifitas dan subjektifitas ini sebenarnya merupakan salah
satu perdebatan klasik. Kita bisa merujuk pada debat antara dua pakar media Everette E.Dennis
dan John C. Merril sebagaimana bisa dibaca dalam buku Basic Issues in Mass Communication
(1984).
Dennis mengajukan tesis bahwa objektifitas dalam jurnalisme adalah kondisi yang mungkin
dicapai. Menurutnya laku jurnalistik dari mulai pengumpulan sampai penulisan berita memiliki
standar-standar objektifnya sendiri. Standar-standar objektif yang dimaksud misalnya seperti
pemisahan antara fakta dengan opini, cover both sides, fairness, dan sebagainya.
Namun Merril membantahnya. Professor jurnalisme di Universitas Missouri ini, berpandangan
bahwa objektifitas jurnalisme adalah hal yang tidak mungkin atau dengan kata lain, mustahil.
Dari mulai seleksi isu yang diberitakan, pemilihan narasumber, penentuan kata sampai strategi
penulisan berita adalah sebuah tindakan ideologis yang didasari subjektifitas wartawan dan
media.
Apalagi, realitas yang coba diangkat dan diterjemahkan wartawan ke dalam sebuah berita selalu
bersifat dinamis, plural dan dialektis. Proses penerjemahan ini berlangsung melalui mekanisme
yang disebut sebagai pembingkaian (framing) berita, yaitu proses menyeleksi dan menonjolkan
bagian tertentu dari sebuah peristiwa.
Mengacu pada Robert Entman dalam Framing : Toward Clarification of a Fractured Paradigm
(1993:52) ada empat fungsi pembingkaian yaitu untuk : i) defining problem (memetakan masalah
berdasarkan pertimbangan umum), ii) diagnosing causes (mendiagnosis akar masalah dengan
mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang terlibat), iii) making moral judgement (memberi
penilaian moral terhadap masalah), dan iv) suggesting remedies (menawarkan solusi dengan
menunjukkan apa yang seharusnya ada).
Jika kita menyimak kondisi media massa saat ini, pendapat yang dikemukakan Merril menjadi
semakin masuk akal dan sulit dibantah. Belum lagi jika kita menyaksikan betapa masifnya
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 4 | 8
perkembangan jurnalisme online seiring gegap-gempita teknologi internet. Objektifitas
jurnalisme serasa merupakan sesuatu yang berada di awang-awang.
Mesti diakui jurnalisme online telah meluluh-lantakkan apa yang kerap disebut sebagai standar
objektif jurnalisme seperti cover both sides, keberimbangan, memisahkan fakta dengan opini,
dan sebagainya. Cermati bahwa saat ini media online kerap menayangkan sebuah berita yang
bersumber dari satu narasumber saja yang menghasilkan apa yang disebut sebagai realitas
psikologis. Dalam era ini, sebuah berita tidak akan bisa dinilai tanpa melihat berita yang lain.
Demikian seterusnya.
***
Dari sisi historis, ide sebagai pilar keempat demokrasi yang objektif, netral dan nonpartisan tak
pernah berjejak dalam tradisi pers di Indonesia. Baik di era zaman bergerak yang penuh
pergulatan ideologi maupun era industri, pers senantiasa berada dalam posisi untuk menunjukkan
keberpihakan secara tegas baik atas dasar kesadaran kebangsaan, afiliasi partai politik, represi
negara, maupun tekanan pemiliknya.
Di era pergantian abad 19 ke 20, ketika sedang terjadi gelombang pasang kelahiran nasionalisme
di berbagai belahan dunia, berbagai surat kabar yang sebelumnya bersikap kritis terhadap
pemerintah kolonial Belanda kemudian menjelma menjadi pers perjuangan yang memiliki
komitmen partisan untuk lepas dari belenggu penjajahan. i Pada era ini, kita bisa merujuk ke
koran Medan Prijaji yang diterbitkan oleh Tirto Adhi Soerjo.
Dalam edisi perdana Medan Prijaji, Tirto merumuskan delapan pedoman bahwa surat kabar
(pers) harus: memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum,
menjadi tempat pengaduan orang tersia-sia, membantu orang mencari pekerjaan, menggerakkan
bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, membangun dan memajukan
bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha dan perdagangan. ii
Medan Prijaji menunjukkan secara gamblang ke mana keberpihakan pers serta jurnalis harus
diarahkan. Delapan pedoman tersebut tidak hanya menandai pembentukan imajinasi sebagai
sebuah bangsa tetapi juga menancapkan tonggak awal bagi jurnalisme politik di tanah air yang
mengurat akar sampai pascakemerdekaan.
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 5 | 8
Soekarno menyebut pers adalah alat revolusi yang bertugas untuk memobilisasi opini publik.
Karena itu wartawan memiliki tugas untuk membangkitkan kesadaran rakyat dalam melawan
kekuatan-kekuatan kontrarevolusioner. Bahkan pada tahun 1960-an, pemerintah memerintahkan
semua surat kabar untuk berafiliasi secara resmi dengan partai politik, kelompok fungsional, atau
organisasi massa.
Salah satu contoh yang baik untuk mendeskripsikan pers di era ini bisa kita lihat di Harian
Rakjat. Menurut Evi Mariani dalam tulisannya Vox Pers, Vox Partai (2001:39-42), redaktur
koran ini seperti tak pernah mendengar kata “objektif” saking kerasnya dalam menggunakan
bahasa. Sebagai contoh, modal asing disebut sebagai “gerakan jahat.” Lawan politik disebut
sebagai “kaum reaksioner,” dan lain sebagainya. Jurnalisme politik di era ini menempatkan
dirinya sebagai senjata yang ofensif dan destruktif. Jurnalis berdiri di antara dua kaki, sebagai
jurnalis itu sendiri, dan sebagai aktivis partai politik.
Kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto terhadap pemerintahan Soekarno menjadi tikungan
penting dalam perkembangan pers dan jurnalisme di Indonesia. Pasca peristiwa Oktober 1965,
semua koran kiri dibabat hingga tandas. Sistem politik otoritarian pasca 1965 menyebabkan
media tidak lagi mengandalkan partai politik sebagai sumber utama pendanaan. Ini juga
berakibat pada media yang semakin independen, dalam arti tidak terikat dengan kepentingan
politik partai sebagaimana di era Soekarno.
Media harus mencari sumber pendanaan sendiri agar bisa mandiri. Independensi ini yang
membawa media pada tahap yang lebih jauh untuk menentukan sikap politiknya sendiri. Arus
modal asing mengalir deras dan membawa pers memasuki fase industrialisasi.
Di tahap ini, Dhaniel Dhakidae menggunakan enam media sebagai contoh untuk melihat
bagaimana akumulasi modal terjadi.iii Pertama, akumulasi modal yang terjadi di Sinar Harapan,
Kompas, dan Tempo. Ketiga media ini ditandai dengan karakteristiknya sebagai media
berorientasi pasar nasional dan terintegrasi dengan industrialisasi secara umum.
Kedua,akumulasi kapital di Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, dan Pos Kota dengan
karakteristiknya yang berorientasi pasar lokal dan integrasi yang rendah terhadap industrialisasi.
Fasa industrialisasi Orde Baru adalah pembabatan semua romantika dan retorika revolusioner
pers. Media kemudian dituntut untuk menjaga stabilitas ekonomi politik nasional. Doktrin pers
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 6 | 8
yang bebas dan bertanggungjawab diperkenalkan dengan bersandar pada Pancasila yang
tafsirnya sudah dibatasi oleh rezim. Di era ini, represi negara serta rendahnya jaminan terhadap
kebebasan pers memaksa pers untuk melakukan ekspansi dan diversifikasi produk. Regulasi
yang ketat melalui SIUPP juga telah membentuk struktur pasar dengan para pemain yang
terbatas.
Dengan begitu, pelan-pelan tercipta konsentrasi kepemilikan tidak hanya di media cetak tetapi
juga televisi swasta yang tumbuh di dekade akhir 1980-an. Independensi dari partai politik
sebagaimana yang terjadi sebelumnya kemudian bergeser kepada loyalitas kepada pemilik. Yang
patut diperhatikan, terjadi perubahan mendasar dalam diri seorang jurnalis. Industrialisasi yang
semakin masif memisahkan skill profesional atau ketrampilan jurnalistik seorang jurnalis dari
ideologi politik atau pengetahuan yang dimilikinya.
Jatuhnya Soeharto kerap dikatakan sebagai kebangkitan jurnalisme politik di Indonesia. Kondisi
ketiadaan sensor membuat media bisa membuat berita sevulgar apapun tanpa ketakutan dibredel.
Kebebasan bergerak ini memang dimiliki oleh pers namun yang perlu diperhatikan,
industrialisasi pers yang dipupuk dan dibesarkan selama Orde Baru – untuk penjelasan ini kita
patut berterima kasih kepada David T. Hill dengan bukunya Pers di Era Orde Baru (1994) –
berperan membuat pasar menjadi stagnan.
Bisnis media bergerak dalam persaingan pasar yang semu. Konsentrasi kepemilikan media
berada pada kelompok kepentingan lama di era Orde Baru. Jurnalisme politik hadir dengan
wajah yang sama sekali lain bila dibandingkan dengan yang pernah ada dulu. Jurnalis bekerja
dalam kondisi di mana berita-berita dijadikan pemilik media sebagai alat untuk meraih
keuntungan.
Dalam kondisi tersebut, wartawan tidak memiliki banyak wewenang dalam memutuskan
kebijakan media. Sifatnya yang profesional membuat posisinya rentan dan tidak memiliki daya
tawar yang kuat dalam hubungan produksi. Hasilnya, jurnalis teralienasi dari produk jurnalistik
yang mereka hasilkan.
***
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 7 | 8
Pemilihan umum 2014 menjadi ilustrasi yang tepat untuk melihat gaya jurnalisme politik
semacam apa yang tumbuh pasca-Orde Baru. Nada berita segendang-sepenarian dengan
pendulum politik pemilik media. Dari momen-momen kritis transisi kekuasaan kemarin juga
sekaligus mengonfirmasi bahwa tidak ada media yang tidak partisan. Istilah partisan di sini
memang tidak bisa disamakan dengan gaya partisan sebagaimana di dekade 1950-an atau
sebelumnya.
Ada gradasi yang tegas baik dari bentuk keberpihakan maupun produk jurnalistik yang
dihasilkan. Ini bisa dilihat dari media-media yang secara terbuka maupun malu-malu
menunjukkan dukungan politik. Dengan kondisi semacam itu, menuntut media untuk bersikap
netral dan objektif bisa jadi akan terasa naïf. Ia mengandaikan bahwa pers hanya sebagai
medium yang menghantarkan pesan atau informasi. Padahal, media adalah aktor politik di mana
di dalamnya juga terdapat berbagai kepentingan politik yang saling bertarung.
Dalam kondisi seperti itu, pembaca memiliki posisi yang kuat untuk menafsir pesan-pesan yang
setiap hari dipenuhi oleh berita media dan sesak dengan propaganda kepentingan baik yang
berada dalam level ideologi (nilai, kepercayaan, logika, pilihan politik) maupun berada pada
wilayah praktis ( fashion, gadget). Kajian-kajian baru tentang khalayak aktif (active audiens)
menunjukkan bahwa pembaca tidak hanya menerima pesan media secara pasif dan menelannya
mentah-mentah. Ia justru ikut secara aktif berinteraksi, menafsir, memilah, memilih, sampai
meyakini informasi yang ada. Kesadaran kritis ini yang dibutuhkan dalam rimba raya informasi
yang semakin hari semakin penuh kedangkalan.
Ihwal khalayak aktif ini sebenarnya sedikit paradoks jika kita berkaca pada pemilu umum 2014
yang lalu. Pembelahan opini yang terjadi secara masif membuat mereka yang berdiri di masing-
masing posisi politik lebih mempercayai media yang kebetulan mendukung pasangan yang juga
mereka dukung. Tidak peduli apakah sebuah berita diproduksi media itu benar atau tidak.
Kondisi taklid buta ini bisa kita rujuk salah satunya dari Brendan Nyhan dan Jason Reifler dalam
penelitiannya Misinformation and Fact-checking: Research Findings From Social Science
(2012). Kedua peneliti tersebut mengatakan bahwa ketika dihadapkan pada informasi yang
bertentangan, seorang individu cenderung mencari cara untuk menolaknya sebagai sebuah
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 8 | 8
kebenaran. Nalar psikologis seseorang nyaris selalu mencari informasi yang mengonfirmasi
pandangan personal.
Penolakan terhadap informasi tersebut semakin kuat melanda orang-orang yang diikat dalam
institusi kolektif seperti partai politik. Tafsir atas pesan media diatur oleh emosi, bukan
argumentasi rasional. Ketika tafsir diatur oleh emosi secara otomatis akan memunculkan apa
yang disebut sebagai noise. Noise merupakan hambatan yang membuat sebuah pesan dari
komunikator (pengirim pesan/media) tidak akan sampai secara utuh ke komunikan (penerima
pesan/pembaca). Ini yang menjelaskan kenapa “bisnis kebencian” yang dijalankan oleh situs-
situs sensasional yang berlindung di balik nama kebebasan pers itu bisa laku dan layak dibaca.
Sebagai penutup, berteriak-teriak menuntut media netral dan nonpartisan ibarat berteriak di
tengah gurun pasir. Tidak terdengar jelas, dan lamat-lamat akan menghilang. Di titik ini,
konglomerasi media serta afiliasi politik media terhadap kekuatan politik tertentu bisa digunakan
sebagai alat untuk membantu kita mengukur ke mana bias berita-berita diarahkan. Dengan
begitu, kita bisa secara kritis membaca arus informasi dari berbagai media yang ada tanpa
terombang-ambing arus informasi dan agenda media. Bahkan kalau perlu, membuat satu media
alternatif yang lebih bisa memperjuangkan ideologi yang diyakini.
i Hill, David dan Krishna Sen.2000.Media, Budaya dan Politik di Indonesia. ISAI:Jakarta halaman 61 ii Toer, Pramoedya Ananta.1985.Sang Pemula.Hasta Mitra:Jakarta halaman 46 iii Dhakidae, Dhaniel.1991.The State, TheRise of Capital, and The Fall of Political Journalism: PoliticalEconomy of
Indonesian News Industry. Tidak diterbitkan