29
Kritisisme dan Kehidupan Bersama Apa yang menyebabkan kehidupan bersama itu ada? atau dengan pertanyaan lain, apakah dasar dari hidup bersama? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab agar kita memiliki dasar untuk hidup bersama. Dengan memiliki pendasaran atas hidup bersama, maka kita akan melihat hidup bersama sebagai sesuatu yang senantiasa harus diperjuangkan untuk menjadi lebih baik. Jawaban secara filosofis atas pertanyaan tersebut muncul dari seorang filsuf Yunani yang bernama Aristoteles. Aristoteles berpendapat bahwa manusia pada hakekatnya merupakan makhluk sosial (zoon politicon). Zoon politicon dapat diartikan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Dengan kata lain, di dalam hidupnya manusia selalu membutuhkan orang lain. Inilah jawaban Aristoteles yang dapat memberikan dasar untuk adanya hidup bersama. Selain Aristoteles, ada juga filsuf lain yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut secara fenomenologis. Filsuf tersebut bernama Martin Heidegger. Pertama-tama Heidegger berusaha mencari jawab darimanakah manusia? Secara fenomenologis, Heidegger menjawab bahwa adanya manusia disebabkan karena manusia mengalami keterlemparan ke dunia. Dalam 1

Kritisisme dan kehidupan bersama

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kritisisme dan kehidupan bersama

Kritisisme dan Kehidupan

Bersama

Apa yang menyebabkan kehidupan bersama itu ada? atau

dengan pertanyaan lain, apakah dasar dari hidup bersama?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab agar kita

memiliki dasar untuk hidup bersama. Dengan memiliki

pendasaran atas hidup bersama, maka kita akan melihat hidup

bersama sebagai sesuatu yang senantiasa harus diperjuangkan

untuk menjadi lebih baik.

Jawaban secara filosofis atas pertanyaan tersebut muncul

dari seorang filsuf Yunani yang bernama Aristoteles. Aristoteles

berpendapat bahwa manusia pada hakekatnya merupakan

makhluk sosial (zoon politicon). Zoon politicon dapat diartikan

bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Dengan kata

lain, di dalam hidupnya manusia selalu membutuhkan orang

lain. Inilah jawaban Aristoteles yang dapat memberikan dasar

untuk adanya hidup bersama.

Selain Aristoteles, ada juga filsuf lain yang dapat memberi

jawaban atas pertanyaan tersebut secara fenomenologis. Filsuf

tersebut bernama Martin Heidegger. Pertama-tama Heidegger

berusaha mencari jawab darimanakah manusia? Secara

fenomenologis, Heidegger menjawab bahwa adanya manusia

disebabkan karena manusia mengalami keterlemparan ke dunia.

Dalam keterlemparannya, manusia ada bersama-sama dengan

manusia yang lain. Maka, mau tak mau;suka tak suka, manusia

ada di dunia bersama-sama dengan manusia yang lain. Inilah

jawaban Heidegger yang dapat menjadi dasar filosofis adanya

kehidupan bersama.

1

Page 2: Kritisisme dan kehidupan bersama

Tak dapat dipungkiri bahwa adanya manusia di dunia

memiliki berbagai dimensi yang kompleks (dimensi sosial-

politik, budaya, spiritual, dsb). Maka, kehidupan bersama pun

mengait berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia yang

satu dengan yang lain saling berinteraksi di dalam dimensi-

dimensinya. Dimensi-dimensi yang saling terkait tersebut

membentuk pola dialektika yang dinamis. Dialektika yang

dinamis dalam arti, setiap dimensi mengalami interaksi antara

tesis-antitesis yang mengarah pada pembentukan sintesis

(perkembangan tiap dimensi ke tahap yang lebih tinggi).

Dalam pola dialektik, tesis selalu bertemu antithesis dan

kemudian menjadi sintesis. Sintesis yang dihasilkan menjadi

tesis baru dan segera akan mendapat antitesis baru. Tesis baru

dan antithesis baru tersebut keduanya melebur kembali menjadi

sebuah sintesis baru. Begitu pula seterusnya, antara tesis dan

antithesis senantiasa berjalan dengan dinamis membentuk

sintesis-sintesis baru. Proses dialektik tersebut terjadi secara

terus-menerus dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.

Guna lebih mendaratkan teori tersebut, berikut penulis akan

memberikan contoh konkrit dari pola perkembangan dimensi-

dimensi kehidupan manusia yang terkait hidup bersama yang

terjadi secara dialektis.

Dalam sejarah terbentuknya negara Indonesia tak lepas

dari adanya pola tesis-antitesis. Penulis mengawalinya dengan

masa penjajahan. Masa penjajahan kita anggap sebagai tesis.

Bangsa Indonesia yang merasa terjajah melancarkan

pertempuran-pertempuran terhadap kaum penjajah guna

memperoleh kemerdekaannya. Dengan kata lain, bangsa

Indonesia berjuang untuk merebut kemerdekaannya dari tangan

penjajah. Di sinilah perjuangan bangsa Indonesia tersebut kita

2

Page 3: Kritisisme dan kehidupan bersama

anggap sebagai antithesis terhadap penjajahan. Perjuangan

bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaannya

memuncak pada proklamasi kemerdekaan negara Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan sintesis atas

adanya penjajahan (tesis) dan perjuangan bangsa Indonesia

(antithesis). Dalam perkembangannya, negara Indonesia pun

terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dan

proses dialektika pun senantiasa terjadi. Orde Baru sebagai

tesis baru mendapat antithesis dari rakyat Indonesia yang tidak

setuju dengan sistem yang totaliter. Sintesis baru lalu muncul

dengan adanya sistem pemerintahan yang lebih demokratis.

Namun demikian, proses dialektika belum berhenti sampai di

sini. Bangsa Indonesia akan tetap mengadakan proses dialektika

untuk menuju pada cita-cita negara demokrasi yang ideal.

Proses dialektika dalam memperjuangkan kemerdekaan

tersebut tidak hanya di Indonesia. Proses dialektika untuk

memperoleh kemerdekaan juga terjadi di berbagai penjuru

dunia. Revolusi di Perancis, Perjuangan rakyat Afrika Selatan

melawan politik Apartheid, lalu perjuangan rakyat di negara-

negara Timur Tengah baru-baru ini yang melawan rezim

totaliter pemimpinnya sendiri, dsb, menunjukkan adanya proses

dialektika dalam sejarah kehidupan seluruh umat manusia.

Dengan demikian, proses dialektika merupakan proses sejarah

yang terjadi dialektis di berbagai penjuru dunia.

Proses dialektika tidak hanya terjadi dalam dimensi sosial-

politis suatu bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaannya.

Proses dialektika pun juga terjadi dalam dimensi sejarah

pemikiran manusia (tradisi filsafat). Tradisi berfilsafat mulai

dikenal sejak masa Yunani kuno (abad 4 SM). Saat itu,

muncullah pemikir-pemikir yang berusaha memahami hakekat

3

Page 4: Kritisisme dan kehidupan bersama

terdalam dari realitas dengan menggunakan akal budi. Para

pemikir tersebut melahirkan karya-karya yang kemudian hari

menjadi dasar dalam pemikiran filsafat. Munculnya tradisi

berfilsafat di Yunani dapat kita anggap sebagai tesis.

Seiring berjalannya waktu (abad 4-13 M), tradisi filsafat

Yunani digunakan untuk menjelaskan ajaran iman dalam tradisi

Kristen. Di sinilah kita tempatkan unsur iman sebagai antithesis.

Pada masa itu, para tokoh Gereja berusaha memadukan antara

ajaran iman dengan filsafat. Dengan kata lain, filsafat

dipergunakan untuk menjelaskan ajaran iman Kristen. Salah

satu tokoh Gereja yang berhasil memadukan ajaran iman dan

filsafat adalah Thomas Aquinas. Ia menghasilkan karya yang

termasyur yang berjudul Summa Theologiae. Karya Thomas

Aquinas (Summa Theologiae) yang berusaha memadukan antara

ajaran iman dan filsafat merupakan sebuah contoh sintesis atas

filsafat (tesis) dan iman (antithesis).

Dalam perkembangannya, tradisi kekristenan yang begitu

mendominasi pada abad pertengahan (kita tempatkan sebagai

tesis baru) pun segera mendapat antithesis pada abad abad

modern (abad 17). Dimana para pemikir abad modern

menggugat tradisi kekristenan yang dianggap telah

membelenggu kemampuan akal budi. Pada masa ini, muncul

banyak karya yang menentang ajaran Gereja. Konflik yang

terjadi antara Gereja dan para pemikir yang memperjuangkan

kebebasan akal budi memuncak pada sebuah masa yang dikenal

dengan masa pencerahan (Aufklarung). Masa pencerahan budi

kita tempatkan sebagai sintesis antara Tradisi Gereja (sebagai

tesis) dan perjuangan para pemikir kebebasan budi (antithesis)

yang mengalami dialektika. Di sinilah kita melihat bahwa

sejarah pemikiran pun tak lepas dari adanya proses dialektika.

4

Page 5: Kritisisme dan kehidupan bersama

Dari contoh-contoh konkrit yang dikemukakan oleh

penulis nampak bahwa segala dimensi hidup manusia

mengalami suatu proses dialektika. Demikian halnya dengan

dimensi hidup bersama (dimensi sosial-politis). Adanya

perubahan tatanan masyarakat dari waktu ke waktu

menunjukkan adanya proses dialektika dalam hidup bersama.

Dalam hal ini penulis melihat adanya unsur penting yang harus

ada untuk suatu perubahan sosial, yaitu unsur antithesis. Tanpa

adanya antithesis niscaya tidak akan terjadi proses dialektika

dalam kehidupan bersama. Jika tidak ada dialektika maka segala

sesuatu hanya akan stagnan dan tidak terjadi suatu perubahan

dalam masyarakat. Dengan kata lain, antithesis merupakan

unsur yang harus ada untuk suatu perubahan. Dalam sejarah

kehidupan manusia, antithesis sering berupa kesadaran atas

adanya penindasan dan ketidakadilan.

Munculnya kesadaran atas penindasan dan ketidakadilan

menjadi mudah ketika penindasan dan ketidakadilan terjadi

secara kasat mata. Sebagaimana terjadi pada masa-masa

penjajahan. Jika demikian adanya, maka jelas perlu suatu

perubahan. Namun, munculnya kesadaran atas penindasan dan

ketidakadilan menjadi begitu sulit ketika penindasan dan

ketidakadilan terjadi secara tidak kasat mata. Dengan kata lain,

penindasan dan ketidakadilan terjadi secara halus dan

terselubung.

Inilah realitas yang terjadi pada zaman modern ini.

Penindasan memang tidak lagi menampakkan dirinya secara

kasat mata, melainkan secara halus dan terselubung. Inilah

yang sesungguhnya sangat berbahaya. Seringkali masyarakat

modern cenderung tidak melihat (baca: tidak sadar) akan

adanya bentuk penindasan yang terselubung tersebut.

5

Page 6: Kritisisme dan kehidupan bersama

Kebanyakan orang malah tenang-tenang saja, seakan-akan

hidup ini aman-aman saja dan tidak ada masalah sama sekali.

Padahal dibalik itu, terjadi penindasan-penindasan yang

sungguh sangat halus dan terselubung yang semakin

mengasingkan manusia dari dirinya.

Penindasan dan ketidakadilan dalam masyarakat modern

muncul dalam bentuk hegemoni dan ideologi yang

‘meninabobokkan’ masyarakat. Usaha kritis sebagai bentuk

antithesis dalam zaman ini jarang sekali ditemukan. Malahan

masyarakat cenderung kehilangan daya kritisnya dan

terhegemoni dalam penindasan-penindasan yang terselubung.

Merasa bahwa seakan-akan semuanya baik-baik saja. Maka dari

itu, diperlukan suatu bentuk antithesis baru yang mampu

menjawabi permasalahan masyarakat dewasa ini. Suatu bentuk

antithesis yang super kritis untuk membuka selubung-selubung

penindasan tersebut. Dengan demikian, proses dialektika akan

terus berlangsung guna mewujudkan suatu tatanan hidup

bersama yang lebih baik.

Guna membongkar bentuk penindasan baru (penindasan

yang terlubung) yang terjadi pada zaman ini, dituntut pula suatu

bentuk antithesis dengan cara yang baru. Dalam tulisan ini,

penulis menawarkan suatu bentuk antithesis baru yang dapat

digunakan secara efektif guna memerangi penindasan

terselubung yang terjadi dewasa ini. Antithesis baru tersebut

adalah dengan berpikir kritis terhadap segala hal yang terkait

modernitas. Dengan berpikir kritis, kita tidak mudah terjebak

dalam penindasan yang terselubung (hegemoni). Melainkan

mampu menemukan antithesis atas segala realitas yang terjadi

sekarang ini.

6

Page 7: Kritisisme dan kehidupan bersama

Dalam tulisan ini, penulis hendak memperkenalkan para

pemikir super kritis mampu menjadi antithesis terhadap

modernitas. Para pemikir tersebut tergabung dalam sebuah

Mazhab, yang dikenal dengan nama Mazhab Frankfurt. Orang-

orang yang tergabung dalam Mazhab ini berusaha membongkar

selubung-selubung penindasan dan ketidakadilan yang terjadi

secara tidak kasat mata. Selubung-selubung yang dimaksud

adalah selubung ideologi yang selama ini menindas masyarakat

secara begitu halus.

Dengan ‘menelanjangi’ ideologi-ideologi yang pada

praxisnya telah merampas kebebasan manusia sampai ke dasar-

dasarnya, Mazhab Frankfurt mampu menjadi antithesis aktual

atas situasi zaman ini. Dengan menjadi antithesis, maka Mazhab

Frankfurt dapat mendorong perubahan-perubahan dalam

dimensi hidup bersama dalam masyarakat. Perubahan tersebut

diawali dengan membuka kesadaran masyarakat akan adanya

penindasan yang begitu halus tersebut. Dengan munculnya

kesadaran dalam masyarakat maka diharapkan terjadinya

gerakan perubahan tatanan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Dengan demikian, pemikiran kritis Mazhab Frankfurt mampu

menjadi antithesis yang aktual pada zaman ini.

Mazhab Frankfurt sendiri muncul sebagai gerakan

antithesis terhadap cara berpikir positivitis yang lahir dari

semangat pencerahan. Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab

Frankfurt memang banyak diarahkan untuk membongar

selubung ideologi-ideologi. Maka dari itu kritik yang mereka

lontarkan sering disebut juga sebagai kritik ideologi. Pemikiran-

pemikiran Mazhab Frankfurt yang akan dipaparkan dalam

tulisan ini adalah pemikiran tokoh-tokoh generasi pertama

Mazhab Frankfurt. Mereka adalah orang-orang super kritis yang

7

Page 8: Kritisisme dan kehidupan bersama

berusaha membuka kedok penindasan dan ketidakadilan secara

terselubung. Berikutnya penulis akan memaparkan pemikiran

dari Mazhab Frankfurt yang menjadi antithesis atas cara

pandang positivistis yang lahir dari semangat pencerahan.

Namun sebelum itu penulis akan terlebih dahulu memaparkan

sedikit latar belakang sejarah mengenai munculnya Mazhab

Frankfurt.

Latar Belakang Sejarah Mazhab Frankfurt.1

“Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut

juga dengan nama ‘Teori Kritis’ atau ‘Kritische Theorie’.”2

Istilah Mazhab Frankfurt juga sering dikaitkan dengan suatu

lembaga yang pernah menyokong aliran ini, yaitu: Institut fur

Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) yang didirikan di

Frankfurt am Main pada tahun 1923.3 Tokoh-tokoh perintisnya

yang terkenal diantaranya adalah Max Horkheimer (filsuf,

sosiolog, psikolog, dan direktur sejak 1930), Theodor

Wiesendrund-Adorno (filsuf, sosiolog, musikolog), dan Herbert

Marcuse (filsuf). Ketiga tokoh tersebut sering disebut sebagai

Generasi Pertama Teori Kritis.4

“Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan

pemikiran-pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl

Marx dan para penerusnya”.5 Bagi Mazhab Franfurt, Karl Marx

telah membuat teori Hegel (filsuf Jerman) yang terlampau

abstrak menjadi sangat konkrit.6 “Dalam pandangan Marx, kritik

1 Pemaparan mengenai Teori Kritis didasarkan pada buku, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, terbitan Kanisius, Yogyakarta, 1990, yang dikarang oleh Francisco Budi Hardiman.

2 Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, hal. 40.

3 Ibid.4 Ibid., hal. 41.5 Ibid., hal. 35.6 Ibid., hal. 50.

8

Page 9: Kritisisme dan kehidupan bersama

di dalam kritik di dalam filsafat hegel masih kabur dan

membingungkan karena ia memahami sejarah secara abstrak”.7

Karl Marx, yang berusaha mengkonkritkan filsafat Hegel,

menyatakan bahwa sejarah manusia bukanlah sejarah abstrak

melainkan sejarah konkrit kehidupan manusia. Sejarah konkrit

tersebut adalah sejarah dimana kaum proletar/buruh berusaha

membebaskan diri dari penindasan kaum kapitalis. Pemikiran

Karl Marx itulah yang kemudian menginspirasi Mazhab

Frankfurt untuk merumuskan sebuah teori/pemikiran yang

bertujuan emansipatoris.

Teori Kritis disebut memiliki tujuan emansipatoris, lebih

disebabkan karena pemikiran-pemikiran Teori Kritis diarahkan

untuk membuka selubung-selubung ideologi yang selama ini

menindas masyarakat. Penindasan dalam cara ini disebut

sebagai penindasan yang terselubung karena seringkali

masyarakat sendiri tidak sadar akan adanya penindasan yang

bersifat ideologis. Dalam hal ini Teori Kritis disebut juga sebagai

kritik ideologi.

Sebagai kritik ideologi, Teori Kritis memiliki tujuan

emansipatoris. Dimana mereka berusaha membuka kesadaran

masyarakat akan penindasan yang membelenggunya. Dengan

munculnya kesadaran atas penindasan tersebut diharapkan

terwujud adanya praxis yang mendorong perubahan ke arah

yang lebih baik. Inilah tujuan dasar Teori Kritis membangun

pemikiran-pemikirannya. Pada bagian berikutnya, penulis akan

memaparkan mengenai pengertian ‘kritik’ yang digunakan

dalam Teori Kritis untuk membongkar selubung-selubung

ideologi.

Pengertian ‘Kritik’ dalam Tradisi Teori Kritis.

7 Ibid.

9

Page 10: Kritisisme dan kehidupan bersama

‘Kritik’ yang dimaksudkan Mazhab ini berakar pada tradisi

filsafat.8 Filsafat sendiri berarti pencarian akan kebenaran

secara terus-menerus. Tradisi berfilsafat telah dimulai pada

zaman Yunani kuno. Pada saat itu, muncul pemikir-pemikir yang

berusaha memahami realitas dengan menggunakan akal

budinya. Penggunaan akal budi untuk memahami realitas

menandai dimulainya suatu perubahan cara pandang manusia

terhadap realitas. Dari yang semula manusia memahami realitas

melalui mitos-mitos, menjadi lebih rasional untuk memahami

realitas.

Cara pandang yang rasional terhadap realitas pun

mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Dalam

semangat modernitas, filsafat lebih dimaknai sebagai sebuah

sikap kritis. Sikap kritis yang mengarah pada pencarian akan

esensi-esensi dari realitas. Filsafat sebagai suatu sikap kritis

inilah yang dimaksudkan sebagai kritik dalam tradisi Teori

Kritis.

Sikap kritis Mazhab Franfurt lebih diarahkan pada

ideologi-ideologi yang menurut pandangan mereka telah

mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya.9

Bagi para pemikir Mazhab Frankfurt berbagai bidang kehidupan

masyarakat modern, seperti: seni, ilmu pengetahuan, ekonomi,

politik dan kebudayaan pada umumnya telah menjadi rancu

karena diselubungi ideologi-ideologi yang hanya

menguntungkan pihak-pihak tertentu.10 Sadar akan kondisi ini,

Teori Kritis lahir sebagai suatu bentuk usaha yang bertujuan

emansipatoris. Sebuah usaha yang bertujuan untuk membuka

kesadaran masyarakat akan penindasan dan ketidakadilan yang

terjadi secara terselubung melalui ideologi-ideologi.8 Ibid., hal. 46.9 Ibid.10 Ibid.

10

Page 11: Kritisisme dan kehidupan bersama

Dalam membangun kerangka berpikir, Mazhab Frankfurt

menggunakan pemikiran-pemikiran Immanuel Kant, Hegel, Karl

Marx, dan juga Sigmund Freud sebagai pisau bedah

analisisnya.11 Bagi Mazhab Frankfurt keempat tokoh tersebut

dipandang sebagai filsuf-filsuf kritis. Namun demikian,

pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan pemikiran-

pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Marx.12

Bagi Mazhab Franfurt, Karl Marx telah membuat teori

Hegel (filsuf Jerman) yang terlampau abstrak menjadi sangat

konkrit.13 “Dalam pandangan Marx, kritik di dalam kritik di

dalam filsafat hegel masih kabur dan membingungkan karena ia

memahami sejarah secara abstrak”.14 Karl Marx, yang berusaha

mengkonkritkan filsafat Hegel, menyatakan bahwa sejarah

manusia bukanlah sejarah abstrak melainkan sejarah konkrit

kehidupan manusia. Sejarah konkrit tersebut adalah sejarah

dimana kaum proletar/buruh berusaha membebaskan diri dari

penindasan kaum kapitalis. Pemikiran Karl Marx itulah yang

kemudian menginspirasi Mazhab Frankfurt untuk merumuskan

sebuah teori/pemikiran yang bertujuan emansipatoris.

Teori Kritis disebut memiliki tujuan emansipatoris, lebih

disebabkan karena pemikiran-pemikiran Teori Kritis diarahkan

untuk membuka selubung-selubung ideologi yang selama ini

menindas masyarakat. Dalam hal inilah Teori Kritis disebut juga

sebagai kritik ideologi. Sebagai kritik ideologi, Teori Kritis

berusaha membongkar selubung-selubung ideologi yang dalam

prakteknya banyak menindas masyarakat. Masyarakat sendiri

belum sadar akan adanya penindasan yang bersifat ideologis

tersebut. Maka dari itu, Teori Kritis berusaha membuka

11 Ibid., hal. 47.12 Ibid., hal. 35.13 Ibid., hal. 50.14 Ibid.

11

Page 12: Kritisisme dan kehidupan bersama

kesadaran masyarakat akan penindasan yang membelenggunya.

Dengan munculnya kesadaran atas penindasan tersebut

diharapkan terwujud adanya praxis yang mendorong perubahan

ke arah yang lebih baik. Inilah tujuan emansipatoris Teori Kritis

yaitu membuka kesadaran yang mendorong praxis perubahan.

Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang

banyak diarahkan untuk mengkritik cara berpikir positivistis

yang diterapkan untuk menganalisis fenomena-fenomena sosial.

Bagi Mazhab Frankfurt, inilah ideologi dalam artinya yang

sejati. Positivisme menjadi ideologi karena ‘diambil’ begitu saja

metodenya tanpa melihat/mempertanyakan: Apakah sistem

tersebut cocok untuk diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial?

Penulis menganalogikan bahwa positivisme telah menjadi dewa

yang disembah-sembah oleh ilmu sosial. Berikut penulis akan

mulai memaparkan kritik-kritik yang diajukan oleh Teori Kritis

generasi pertama guna membongkar selubung-selubung

ideologi tersebut.

Kritik atas Metodologi: Membangun ‘Teori

dengan Maksud Praktis’ (Kritik diajukan oleh

Horkheimer)

Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa Mazhab

Frankfurt mengkritik metode positivisme yang diterapkan untuk

menganalisis berbagai masalah/fenomena sosial. Horkheimer,

salah seorang tokoh Teori Kritis, memberi nama

pengintegrasian metode positivisme ke dalam ilmu sosial

sebagai ‘Teori Tradisional’.15 Bagi Horkheimer, pengintegrasian

teori-teori ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial telah menjadikan

teori-teori ilmu alam tersebut bersifat ideologis dan cenderung

15 Ibid., hal. 54.

12

Page 13: Kritisisme dan kehidupan bersama

menjaga status quo masyarakat yang pada dasarnya menindas.16

Berikut penulis akan memaparkan argumen-argumen

Horkheimer yang ingin membuka selubung ideologis dari teori-

teori positivistis yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial.

Argumen pertama Horkheimer berangkat dari klaim Teori

Tradisional yang menganggap dirinya sebagai teori yang asosial,

mandiri, mencukupi dirinya dan terlepas dari konteks kegiatan

masyarakat sehari-hari. Dengan kata lain, Teori Tradisional

hendak memisahkan unsur-unsur subjektif dari teori. Pemisahan

tersebut mengarah pada klaim bahwa Teori Tradisional

merupakan bentuk pengetahuan yang bebas kepentingan

(disinterested).17 Maka dari itu, masyarakat yang ingin

diterangkan dalam teori harus dipandang sebagai fakta yang

netral yang dapat dipelajari secara obyektif.18

Bagi Horkheimer, Teori Tradisional yang menganggap

dirinya asosial telah mengabaikan proses-proses dinamika

kehidupan konkrit di dalam masyarakat. Dalam hal ini, Teori

Tradisional telah menganggap masyarakat sebagai obyek kajian

yang sama dengan obyek kajian ilmu alam. Masyarakat yang

pada hakekatnya memiliki sifat dinamis hanya dianggap sebagai

benda mati sebagaimana benda-benda yang menjadi obyek

kajian ilmu alam. Selain itu, klaim bahwa Teori Tradisional

memiliki sifat universal, berlaku dimana saja, dan suprasosial

dinilai tidak tepat. Adanya dinamika yang begitu kompleks

dalam masyarakat mengandaikan bahwa teori ilmu alam tidak

bisa diterapkan secara sembarangan pada realitas sosial.

Argumen kedua Horkheimer diarahkan pada klaim Teori

Tradisional bahwa pengetahuan yang didapatkan bersifat netral.

Klaim tersebut didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat 16 Ibid., hal. 56.17 Ibid.18 Ibid.

13

Page 14: Kritisisme dan kehidupan bersama

merupakan fakta yang netral yang dapat dipelajari secara

obyektif. Dengan demikian, Teori Tradisional mengklaim bahwa

teori mereka adalah deskripsi murni tentang fakta yang

obyektif.

Klaim bahwa Teori Tradisonal merupakan deskripsi murni

tentang fakta tidak dapat dibenarkan. Di sini Teori Tradisional

telah mengabaikan adanya unsur dinamika manusiawi dalam

masyarakat. Kelemahan Teori Tradisonal adalah membiarkan

keadaan tanpa mempertanyakannya. Teori Tradisional semacam

telah mendirikan “tembok” bagi dirinya sendiri dengan

mengambil jarak pada dinamika manusiawi yang ada dalam

masyarakat. Padahal, unsur dinamika manusiawi tidak dapat

dilepaskan dari proses pembentukan Teori Tradisional.

Argumen ketiga dari Horkheimer diarahkan pada klaim

Teori Tradisional bahwa teori dapat dipisahkan dari praxis.

Dengan kata lain, Teori Tradisional mengejar pengetahuan demi

pengetahuan itu sendiri. Teori Tradisional juga cenderung

mengabaikan segi praxis guna mendorong suatu perubahan

sosial. Dalam hal ini, Teori Tradisional tidak mendorong

munculnya kesadaran kritis masyarakat untuk melakukan

perubahan. “Dengan jalan ini pula, Teori Tradisional tidak

bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo

masyarakat.”19 Dengan kritik-kritik ini, Horkheimer memandang

Teori Tradisional sebagai ideologi yang melestarikan kesalahan

berpikir tersebut. Pada bagian berikutnya penulis akan

memaparkan kritik dari Mazhab Frankfurt terhadap masyarakat

modern yang menggunakan metode positivistis yang kemudian

melahirkan Teori Tradisional.

19 Ibid., hal. 57.

14

Page 15: Kritisisme dan kehidupan bersama

Kritik atas Rasionalitas Masyarakat Modern

(Kritik diajukan oleh Horkheimer, Adorno, dan

Marcuse)

Kritik yang diajukan oleh Mazhab Frankfurt terhadap

masyarakat modern dilakukan dalam dua cara.20 Pertama,

dengan mencari dasar ontologis munculnya cara berpikir

positivistis. Dalam hal ini, mereka merefleksikan sejarah proses

rasionalisasi yang terjadi pada masyarakat Barat.21 Kedua,

dengan menunjukkan bahwa cara berpikir positivistis sebagai

ideologi yang menghasilkan sains dan tekhnologi, cenderung

diterima secara sukarela oleh masyarakat modern.22 Kritik

dalam cara yang pertama dikemukakan oleh Adorno dan

Horkheimer dalam karya mereka yang berjudul Dialektik der

Aufklarung.23 Sedangkan kritik dalam cara yang kedua

dilontarkan oleh Herbert Marcuse dalam karyanya yang

berjudul One-Dimensional Man.24

Lahirnya Mitos Baru dan Rasional Instrumental

(Kritik Horkheimer dan Adorno Terhadap Proses

Rasionalisasi dalam Modernitas)

Berkaitan dengan kritik dalam cara pertama, Adorno Dan

Horkheimer pada akhirnya menyimpulkan bahwa munculnya

cara berpikir positivistis berakar pada ‘pencerahan budi’

(Aufklarung) yang menjadi cita-cita pencerahan itu sendiri.25

Pencerahan yang terjadi pada abad ke-18, menandai suatu

perubahan radikal terhadap pola pikir manusia. Dari yang

20 Ibid., hal. 60.21 Ibid.22 Ibid.23 Ibid.24 Ibid.25 Ibid., hal. 61.

15

Page 16: Kritisisme dan kehidupan bersama

sebelumnya rasio masih terkungkung dalam mitos dan tradisi-

tradisi, dalam pencerahan rasio mulai menjadi otonom. Otonomi

rasio dalam semangat pencerahan sangatlah dijunjung tinggi,

diagung-agungkan bahkan dipuja-puja. Maka tak heran jika

manusia yang terbakar semangat pencerahan menciptakan

patung yang diberi nama sebagai dewi rasio.

Semangat pencerahan melahirkan sebuah cara pandang

yang disebut dengan positivisme. Positivisme merupakan sebuah

paham yang mengedepankan adanya verifikasi untuk

menentukan kesahihan obyek yang dikaji. Dengan kata lain,

ukuran kesahihan adalah sejauh mana obyek kajian tersebut

dapat diverifikasi kebenarannya. Obyek kajian yang tidak bisa

diverifikasi dianggap bukan sesuatu hal yang ilmiah dan hanya

omong kosong belaka. Maka tak heran jika pencerahan menolak

cara-cara berpikir lama yang bersifat mitis karena tak dapat

diverifikasi kebenarannya. Pada era pencerahan inilah mulai

terjadi demitologisasi, dimana cara berpikir mitis, mulai

digantikan dengan cara berpikir positivistis.

Adorno dan Horkheimer yang kritis terhadap dua pola

berpikir tersebut berpendapat bahwa antara cara berpikir mitis

dan cara berpikir positivistis hanya berbeda di dalam cara

memahami kenyataan, bukan berbeda secara hakikatnya.26

Dalam mitos, manusia berusaha memahami realitas dengan cara

mimesis (meniru) tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam ritus-

ritus keramat.27 Dalam melakukan mimesis, manusia mitis

membekukan gambaran dunianya sehingga mereka

terkungkung di dalamnya.28 Dengan cara tersebut, manusia

26 Ibid., hal. 63.27 Ibid., hal. 62.28 Ibid.

16

Page 17: Kritisisme dan kehidupan bersama

mitis mampu memahami kenyataan dan kedudukannya di dalam

semesta.29

Sedangkan dalam pencerahan, manusia berusaha

memahami realitas dengan mengambil jarak antara rasio

dengan obyek yang ingin dikendalikan.30 Dengan kata lain, rasio

menjadi pengendali/penguasa atas alam. Pengendalian rasio

atas alam, yang menjadi ciri khas pencerahan, berjalan dengan

prosedur matematis sehingga dapat bekerja secara tepat dan

otomatis di bawah aturan-aturan yang pasti dan niscaya.31 “Dan

seperti pemikiran mitis, pemikiran yang tunduk pada hukum

matematis ini bersifat buta, tidak kritis dan dibatasi repetisi.”32

Adorno dan Horkheimer yang kritis melihat hal ini,

menyatakan bahwa keduanya memiliki sifat ideologis. Mitos

disebut sebagai ideologi karena manusia mitis membekukan

gambaran dunianya sehingga mereka terkungkung di

dalamnya.33 Sedangkan cara berpikir positivistis disebut

ideologis karena mereka cenderung mempertahankan status

quo cara berpikirnya sehingga realitas dihadapi secara

positivistis.34 Adorno dan Horkheimer pada akhirnya

berkesimpulan bahwa positivisme yang lahir dalam masa

pencerahan dinilai hanya melahirkan sebuah mitos baru yang

malah membawa banyak masalah sosial.

Kritik lain yang ditujukan pada cara berpikir positivistis,

dilontarkan oleh Horkheimer dalam bukunya yang berjudul:

Eclipse of Reason (Kemunduran Rasio, 1947).35 Bagi

Horkheimer, rasio dalam cara berpikir positivistis telah

29 Ibid.30 Ibid., hal. 63. 31 Ibid.32 Ibid.33 Ibid., hal. 64.34 Ibid.35 Ibid.

17

Page 18: Kritisisme dan kehidupan bersama

kehilangan tujuan pada dirinya sendiri. Rasio tidak lagi menjadi

kritis pada dirinya sendiri, melainkan rasio hanya menjadi alat

yang setia pada tujuan-tujuan di luar dirinya. Dengan kata lain,

rasio menjadi instrumental belaka.

Rasionalitas Tekhnologis (Kritik atas Tekhnologi

dan Sains dalam Masyarakat Modern)

Sebagaimana Horkheimer dan Adorno, Marcuse

berpendapat bahwa cara berpikir positivistis telah menjadi

ideologi atau mitos dalam masyarakat modern. Namun kritik

yang diajukan oleh Marcuse lebih diarahkan pada tekhnologi

yang menjadi hasil dari cara berpikir positivistis masyarakat

modern. Bagi Marcuse, sains dan tekhnologi modern yang dapat

membebaskan manusia dari tuntutan untuk bekerja keras

ternyata menjadi sistem penguasaan yang total dalam

masyarakat.36 Dengan bahasa yang lebih sederhana, tekhnologi

seharusnya mengabdi pada manusia. Namun bagi Marcuse yang

terjadi justru kebalikannya. Manusia menjadi hamba tekhnologi.

Penguasaan total terjadi karena tekhnologi telah

mendominasi total seluruh bidang kehidupan manusia modern.

Dengan kata lain, seluruh bidang kehidupan telah

ditekhnologikan menjadi sistem birokrasi yang total.37 Ukuran-

ukuran kualitatif cenderung diabaikan dan segalanya harus

disesuaikan dengan sistem. Dalam hal ini penulis akan

menjelaskan ‘dominasi sistem’ dengan menggunakan contoh

konkrit dalam bidang pendidikan. Dimana bidang pendidikan

pun tak lepas dari cara pandang positivistis.

Sebuah universitas A menilai kegiatan non akademis

mahasiswanya dengan menggunakan sistem point. Tujuan dari

36 Ibid., hal. 66.37 Ibid., hal. 68.

18

Page 19: Kritisisme dan kehidupan bersama

sistem point adalah agar mahasiswa memiliki soft skills yang

dapat dipergunakanya kelak dalam dunia kerja. Point tersebut

didapat dari mengikuti kegiatan-kegiatan atau turut

berpartisipasi aktif dalam lembaga kemahasiswaan. Point

tersebut juga digunakan sebagai syarat kelulusan. Setiap

mahasiswa harus memenuhi target 100 point untuk kelulusan.

Dari fenomena di atas, penulis akan mengajukan kritik

sebagaimana dimaksudkan oleh Marcuse. Adanya tuntutan 100

point untuk lulus dapat menjadi beban psikis bagi mahasiswa.

Akibatnya, para mahasiswa dapat cenderung mendapatkan point

secara asal-asalan. Pertanyaannya: Apakah mahasiswa yang

mencapai target point 100 ketika akan wisuda sungguh

mendapatkan soft skills sebagaimana diharapkan pihak

universitas? Dan sebaliknya, bagaimanakah jika mahasiswa

yang belum mencapai point 100 ketika akan wisuda namun

dengan serius mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan?

Dari contoh konkrit di atas nampak bahwa ukuran

kualitatif cenderung diabaikan dalam masyarakat modern.

Segala-galanya harus positif (terbukti secara empiris), untuk

menentukan ukuran segala sesuatu. Hal-hal yang kualitatif,

sejauh itu tidak positif, dinilai tidak bermakna sama sekali.

Tekhnologi sebagai buah positivisme menjadi sumber

biang keladi untuk mempositifkan realitas. Tekhnologi yang

merupakan hasil dari modernitas menuntut sistematisasi

segalanya. Manusia mengadaptasikan seluruh dirinya ke dalam

sistem tersebut. Dalam hal inilah Marcuse menyatakan bahwa

manusia telah melakukan mimesis atau identifikasi langsung

dengan sistem.38 “Menolak menyesuaikan diri dengan sistem

tekhnologis itu akan menyebabkan neurosis bahkan tidak

38 Ibid., hal 68.

19

Page 20: Kritisisme dan kehidupan bersama

mungkin sama sekali”.39 Dengan demikian, Positivisme telah

nyata menjadi ideologi yang beku dalam masyarakat modern

karena segala unsur negasi dihilangkan.

Bagi Marcuse, tekhnologi yang menjadi hasil dari

positivisme juga menyerang hingga dimensi batiniah manusia.

Tekhnologi telah menciptakan kebutuhan palsu dengan adanya

iklan-iklan. Disebut kebutuhan palsu karena kebutuhan tersebut

ditanamkan dari luar diri manusia dan cenderung dibuat-buat.

Dan bukan merupakan kebutuhan alamiah yang berasal dari

dalam diri manusia. Di sinilah kontrol tekhnologi menyerang

manusia hingga ke dalam dimensi batinnya.

Generasi Pertama Teori Kritis Mengalami jalan

Buntu

Jalan buntu yang dialami oleh Toeri Kritis dikarenakan

sikap kritis mereka terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini

mereka menghadapi sebuah dilema, antara menjadi ideologi di

satu sisi dan menjadi praxis emansipatoris yang menjadi

dominasi baru di sisi lain. Teori Kritis dapat menjadi ideologi

karena terdapat kontradiksi internal di dalam paradigma

pemikiran mereka sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,

Teori Kritis mengkritik Teori Tradisional sebagai ideologi yang

dibekukan. Namun, para tokoh Mazhab Frankfurt juga

menyadari bahwa paradigma yang mereka gunakan untuk

mengkritik Teori Tradisional juga dapat membeku menjadi

ideologi. Terlebih lagi, para tokoh Mazhab Frakfurt selalu

menolak menjadi praxis. Alasan penolakan tersebut adalah

kesadaran mereka sendiri bahwa setiap praxis emansipatoris

selalu menghasilkan perbudakan baru, karena emansipasi

39 Ibid., hal. 69

20

Page 21: Kritisisme dan kehidupan bersama

berarti penguasaan baru.40 Di sinilah generasi pertama Teori

Kritis mengalami jalan buntu. Selanjutnya, Habermas muncul

sebagai generasi kedua Teori Kritis yang berhasil memecah

kebuntuan tersebut dengan teori paradigma komunikasinya.

Demikianlah pemaparan mengenai Mazhab Frankfurt

beserta pemikiran-pemikirannya. Mazhab Frankfurt telah

mampu menjadi antithesis yang aktual dalam proses dialektika

dalam konteks hidup bersama zaman ini. Melalui pemikirannya,

mereka berusaha membuka selubung-selubung ideologi yang

pada level praxis sangatlah meresahkan bagi pembentukan

hidup bersama yang lebih manusiawi.

Sekali lagi penulis menegaskan bahwa diperlukan suatu

bentuk antithesis baru agar proses dialektika tetap dapat

berjalan di zaman modern ini. Antithesis tersebut merupakan

berpikir kritis sebagaimana ditunjukkan oleh para tokoh yang

tergabung dalam Mazhab Frankfurt. Antithesis baru (berpikir

kritis) diperlukan karena penindasan-penindasan yang terjadi

sekarang ini menunjukkan dirinya dalam wujud yang lebih halus

dan tak kasat mata. Dibutuhkan usaha super kritis untuk

membongkar penindasan jenis ini. Maka dari itu, berpikir kritis

merupakan antithesis yang tepat untuk mengadakan proses

dialektika pada zaman ini. Pada bagian berikutnya, penulis akan

menunjukkan bahwa dengan berpikir kritis, kita mampu untuk

mewujudkan kehidupan bersama yang lebih manusiawi.

Fungsi dan Tujuan Berpikir Kritis dalam Hidup

Bersama

Pertama-tama, penulis akan terlebih dahulu membagi

berpikir kritis ke dalam dua dimensi hidup manusia. Dimensi

kritis pertama adalah kritis terhadap segala sesuatu di luar diri.

40 Ibid., hal. 73.

21

Page 22: Kritisisme dan kehidupan bersama

Dimensi kritis kedua adalah kritis terhadap diri sendiri.

Pembagian berpikir kritis ke dalam dua dimensi tersebut

terinspirasi dari mempelajari/membaca pemikiran dari para

tokoh Mazhab Frankfut.

Dimensi pertama adalah kritis terhadap segala sesuatu di

luar diri. Dengan berpikir kritis terhadap segala sesuatu di luar

diri, kita tidak akan mudah terjebak dalam hegemoni (berbagai

bentuk penindasan yang tampak) yang terjadi dalam zaman ini.

Dengan adanya sikap kritis keluar diri, kita mampu menjadi

antithesis yang relevan dalam perkembangan zaman ini. Dengan

demikian, mampu mendorong terjadinya sintesis-sintesis baru,

yaitu pembentukan tata kehidupan bersama yang lebih

manusiawi melalui kritik.

Dimensi kedua merupakan berpikir kritis terhadap diri

sendiri. Inilah dimensi berpikir kritis manusia dalam arti yang

sesungguhnya. Dengan kritis terhadap diri sendiri, kita tidak

akan mudah jatuh pada eksterm-ekstrem pemikiran yang

kemudian memenjarakan kita dalam ideologi. Selain itu, berpikir

kritis terhadap diri sendiri merupakan suatu bentuk proses

dialektika untuk menemukan kebenaran. Dengan kata lain, kritis

terhadap diri sendiri mengarahkan kita untuk menjadi manusia

yang bijaksana melalui proses refleksi terus-menerus.

Kesimpulan:

Kehidupan bersama yang ada sekarang belum merupakan

sebuah bentuk tatanan yang ideal. Kehidupan bersama yang

ideal mengandaikan tidak adanya penindasan dan ketidakadilan

dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Namun

kedengarannya hal tersebut terkesan bersifat utopis (khayal).

Selama manusia ada di dunia maka penindasan dan

ketidakadilan juga akan selalu ada. Maka yang diperlukan

22

Page 23: Kritisisme dan kehidupan bersama

adalah sikap-sikap kritis terhadap kehidupan bersama yang

menyangkut berbagai dimensi kehidupan manusia.

Suatu hal yang perlu diwaspadai adalah penindasan yang

terjadi sekarang ini seringkali muncul sebagai ‘tuhan’ yang

menentramkan jiwa manusia. Suatu bentuk penindasan yang

mendamaikan hati. Sampai-sampai manusia terlena dan merasa

bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada masalah. Sikap

super kritis adalah antithesis yang aktual dan mujarab atas

situasi zaman ini. Dengan sikap kritis, kita mampu mengadakan

dialektika yang aktual terhadap situasi zaman ini. Dengan

demikian, mendorong untuk terwujudnya suatu tata kehidupan

yang lebih baik dari hari ke hari.

Acuan Sumber:

Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan

Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius, Yogyakarta,

1990.

23