Upload
ekagustinasari13
View
99
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS
ANALISIS PERUBAHAN ORGANISASI
Mata Kuliah : Teori dan Perilaku Organisasi
Dosen Pengampu : Dr. Dian Komarsyah, MA
Oleh :
EKA GUSTINA SARINPM :15216061011
MAGISTER ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
PENGEMBANGAN KINERJA MENUJU PRODUKTIVITAS
(Telaah Masalah Sumber Daya Dosen PTS STMIK Dharma Wacana)
Identifikasi Masalah
Total Quality Management (TQM), adalah konsep perduli mutu, yang sudah
lama diterapkan di dunia industri, dikonstantir dapat mengatasi permasalahan
kontemporer yang timbul pada pada kehidupan dunia pendidikan saat ini. Dengan
penekanan pada kepuasan pelanggan melalui optimalisasi proses-proses dan
aspek-aspek manajemen. Sumber Daya Manusia Dosen (SDMD), memiliki posisi
yang vital dalam membentuk image mutu lulusan maupun mutu lulusan maupun
mutu lembaga secara umum. Posisi itu diperkuat dengan fakta bahwa, dosen
memiliki otoritas tinggi dalam proses akademik, dan malahan lebih tinggi dari
profesi serupa di lembaga pendidikan di bawahnya.
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) memiliki karakteristik yang sedikit berbeda,
khususnya dalam pengadaan dan pengelolaan aspek dana, dibanding dengan PTN;
ini berimplikasi luas pada optimalisasi aspek lain, yaitu: aspek sumber daya
manusia maupun aspek perangkat dan aspek proses. Sehingga upaya perbaikan
mutu harus sejauh mungkin direncanakan berdasarkan skala prioritas. Maka
sehubungan dengan itu memikirkan upaya optimalisasi variabel vital dengan
strategi yang tepat, dengan mempertimbangkan konsep normatif maupun teknis,
adalah langkah penting untuk pengayaan mutu manajemen pendidikan tinggi.
Pengembangan (development) tampaknya menjadi kebutuhan nyata bagi
usaha perbaikan kinerja SDMD melalui proses sistematis konsep pengembangan
maka produktivitas dapat diharapkan.
Harapan masyarakat, perguruan tinggi harus sudah berjalan berdasarkan pada
market-oriented, mengingat iklim kompetisi semakin menghangat di era
globalisasi. Pada kedua tahapan itu perguruan tinggi harus memfokuskan
manajerial organisasinya pada kepuasan pelanggan, yang terdiri masyarakat
pengguna (user), masyarakat intelektual, dan masyarakat peminat pendidikan
(calon mahasiswa). Oleh sebab itu keluwesan dan keleluasaan sistem kerja,
budaya dan struktur perguruan tinggi perlu dievaluasi dan diperbaiki.
Perumusan Masalah
Konsekuensi dari pada itu perlu ada koreksi terhadap dimensi aturan yang
mengikat perguruan tinggi, kecuali menyangkut standar mutu minimal yang perlu
dirumuskan secara bersama-sama. Model Total Quality Management yang
mengedepankan aspek kualitas dan aspek pelayanan perlu diintrodusir bagi setiap
perguruang tinggi melalui upaya optimasi kualitas manajemen aspek proses dan
sumber daya manusia serta dana.
Perumusan Konseptual Pemecahan Masalah
Pendidikan tinggi swasta, selaras dengan karakteristik dan fungsi, dalam
beberapa waktu terakhir ini telah mentasdikan diri sebagai usaha jasa pendidikan.
Sebagai usaha jasa, pendidikan tinggi mempunyai kelompok pelanggan yang
harus dilayanin dengan pelayanan jasa yang bermutu. Perhatian terhadap mutu
harus tergambar dalam tergambar dalam tiga wilayah utama (three main areas)
pendidikan, yakni : pengajaran (teaching), penelitian (research),dan pendidikan
berkelanjutan (continuing education).
Terdapat dua faktor lainnya, selain faktor kualitas, yang perlu mendapat
sorotan dalam model TQM pada ketiga wilayah utama pendidikan tersebut yakni,
faktor proses dan faktor sumber daya manusia. Faktor proses berkaitan dengan
perancangan proses, sistem (termasuk teknologi informasi), budaya kerja struktur,
sistem pengendalian, proses penyusunan perencanaan, penganggaran dan
produktivitas. Sedang faktor sumber daya manusia mencakup permasalahan yang
memuat dimensi sosial dan psikologi, interaksi dan interelasi, motivasi,
ketrampilan, gaya, penghargaan dan imbalan. Pola keterkaitan di antara ketiganya
dalam tatanan manajemen pendidikan tinggi seperti digambarkan sebagai berikut:
TUJUAN
TINDAKAN
TARGET
MISI
PERGURUAN TINGGI
KUALITAS
SDM PROSES
UTILITAS Sumber: Wahjoetoemo, 1996
Pembahasan
Pengembangan SDM memiliki dua konsep. Pertama, adalah konsep normatif
dan kedua, konsep teknis. Konsep normatif berkenaan dengan fungsi-fungsi dasar
yang harus ada dalam kehidupan manusia dan menjadi patokan ideal untuk
pelaksaan konsep yang lebih implementatif (konsep teknis). Sedang konsep yang
kedua, konsep teknis, adalah berkaitan dengan implementasi konsep pertama yang
bersifat conditioning dan kasuistis. Kedua konsep itu selanjutnya mendasari
pendekatan kajian pengembangan SDM pada praktek manajemen perguruan
tinggi dalam tulisan ini.
Manajemen pendidikan memasukan pengembangan (development) sebagai
salah satu fungsi dalam manajemen SDM, adapun fungsi yang lain, adalah :
planning, recruetment, selection, induction, appraisal, conpetation, continuity,
security, bargaining, information (Castetter, 1981, 51). Tujuan dari
pengembangan, adalah meningkatnya kinerja (performance) guna tercapainya
efisiensi, efektivitas dan pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas. Hal
itu selaras dengan pendapat yang dikemukakan Castetter (1981:272) dan Curtis R.
Finch (1982:136).
Dengan demikian "pengembangan" dalam konteks tulisan ini adalah, "Upaya
sistematis untuk memberdayakan komponen SDM perguruan tinggi melalui
tindakan optimal terhadap faktor-faktor pembentuk produktivitas kinerja individu
maupun kelompok". Hal di atas selaras dengan pendapat Castetter (1982:275),
yang menyatakan, pengembangan harus dipandang sebagai kegiatan untuk
meningkatkan kemampuan perseorangan agar lebih bertanggungjawab dalam
sistem.
K
I
N
E
R
J
A
Kemampuan
Kemauan
Keterampilan
Pengetahuan
Pemenuhan Kebutuhan
Kondisi Kerja
Kecakapan ,
Kepribadian
Diklat,
Pengalaman,
Minat
needs of:
achivement,
power,
affiliation
Struktur
Organisasi,
Dinamika
Kelompok,
Kepemim-
pinan, Budaya
Organisasi
Efisiensi, efektivitas dan produktivitas merupakan konsep yang berlainan,
walaupun ketiganya memasukan unsur input dan output dalam mekanisme teknis
penganalisasiannya. Secara sederhana ketiganya dapat dibedakan, efisiensi
berorientasi pada input, dan efektivitas berorientasi pada output, sedang
produktivitas berorientasi pada keduanya. Dengan demikian dapat dikatakan
produktivitas memiliki makna yang lebih luas dibanding dua konsep yang lainnya.
Dalam mengukur produktivitas dapat dilakukan dengan dua cara, (a) pendekatan
produktivitas total atau faktor ganda, yakni output dihadapkan dengan
keseluruhan input yang dipakai, (b) pendekatan parsial atau faktor tunggal, yakni
output dihadapkan dengan satu input saja, misal, input SDMD dalam konteks
manajemen perguruan tinggi.
Pada dasarnya program "pengembangan" didasari oleh prinsip terpenuhinya dua
(2) harapan pokok, yakni: (a) meningkatnya kontribusi individu selaras dengan
harapan manajemen universitas, (b) terpenuhinya kebutuhan dosen, kerja dan
individual, dari manajemen universitas. Jalinan simbiose conditio sine quanon
dalam setiap upaya pengembangan.
Pengembangan dalam kaitan itu dapat diklarifikasikan ke dalam beberapa sub
pengembangan, yaitu:
a. Pengembangan Kompentensi
(knowledge, performance, and consequence)
b. Pengembangan Disiplin Kerja
c. Pengembangan Semangat Kerja
d. Pengembangan Karier dan Kesejahteraan
Pertama, pengembangan kompentensi, berhu-bungan dengan peningkatan
kemampuan: menguasai bahan, mengelola program pembelajaran, memilih dan
mengunakan media dan sumber belajar, menguasai landasan kependidikan,
mengelola kelas, mengelola interaksi pembelajaran, menilai prestasi hasil
pembelajaran, melaksanakan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan,
menyelenggarakan administrasi pendidikan, memahami prinsip dan menafsirkan
hasil penelitian pendidikan untuk pembelajaran, mengembangkan pengetahuan
dengan metoda ilmiah, mempublikasikan dan menerapkan pengetahuan, dan
mengembangkan diri. Upaya yang didapat dilakukan untuk itu, antara lain:
Asistensi (Assistenships), Pertemuan dosen (Lectures Confrences), Seminar
(Seminars), Bimbingan diskusi (Guided discussions), Lokakarya, Program
Intruksional (Programmed Inntructions), Tugas khusus (Special Assignments),
Pelatihan (coaching), Proyek penelitian (Research Projects), Kursus (Courses),
dan lain sebagainya.
Dari gambaran kompetensi di atas, tergambar bahwa dosen adalah profesi
dengan menggambarkan pada dua kemampuan dasar, yakni: (a) kemampuan
keilmuan, (b) kemampuan untuk mentransfer ilmu atau kependidikan. Dalam
kapasitas sebagai ilmuwan, pengembangan karir cukup jelas yakni melalui
program-program pasca sarjana bidang studi. Sedang mengembangkan diri dalam
kapasitas sebagai pendidik dirasakan sangat kurang, setelah program akta V
ditiadakan. Dosen yang ada saat ini kecuali di IKIP atau FKIP, tidak pernah
disiapkan secara sistematis menjadi pendidik. Sementara program pengembangan
secara sistimatis belum dapat dilaksanakan secara melembaga untuk PTS.
Sehingga akibatnya mudah diduga kinerja dosen menjadi sangat rentan manakala
harus berhadapan dengan fenomena "kelas" yang dinamis.
Setiap PTS dituntut ber-improvisasi untuk mengatasi hal tersebut, akan tetapi
masalahnya, tidak semua PTS memiliki kemampuan yang sama dalam
melaksanakan usaha-usaha pengembangan seperti yang dikemukakan di atas.
Adapun faktor-faktor yang menjadi kendala dalam mencapai hasil pengembangan
yang optimal, diantaranya adalah :
a. Terbatasnya alokasi anggaran untuk program pengembangan, karena
masih tingginya kebutuhan dana untuk kebutuhan primer lembaga, misal:
pengadaan gedung, gaji, dlsb.
b. Motivasi profesi SDM rendah yang disebabkan belum memadainya
imbalan tugas, sehingga rendah pula motivasi untuk mengembangkan diri
dalam profesi. Mereka lebih senang mengembangkan diri di luar profesi,
sehingga berkembang ungkapan: Dosen Biasa di Luar sebagai plesetan
dari Dosen Luar Biasa.
c. Kebijakan manajemen dalam pengembangan kurang tersosialisasikan
secara baik.
d. Sistem rekruetmen sering mengabaikan standar mutu.
Hasil akhir dari upaya pengembangan kemampuan kompetisi adalah,
meningkatnya kemampuan nalar (cogniti criterion) dalam bidang keilmuan
masing-masing, kemudianmembaiknya perilaku (performan criterion) dalam
proses pembelajaran, serta mengarahnya mutu hasil belajar peserta didik (product
criterion).
Kedua, pengembangan disiplin kerja, diarahkan pada konsistensi individu
dalam memahami, menghayati, melaksanakan, dan memasyarakatkan ketentuan
berprilaku dalam sistem kelembagaan. Pensosialisasian berbagai ketentuan dan
aturan mengenai disiplin harus dilakukan. Ketentuan yang tidak diketahui sering
menyebabkan pelanggaran atas disiplin kerja dosen. Misal, beban tugas dalam
bentuk satuan kredit semester (SKS) dalam prakteknya belum banyak dipahami
baiok oleh pimpinan maupun dosen. Sering dipertanyakan, bila tidak datang ke
kampus karena mengadakan bimbingan skripsi di rumah, apakah termasuk
pelanggaran disiplin ? atau membimbing skripsi haruskah selalu di kampus ?, bila
ya, adalah fasilitas yang memadai untuk terjadinya interaksi yang baik dalam
proses bimbingan itu. Dalam prakteknya sebagai PTS belum mampu memberikan
fasilitas yang memadai untuk kegiatan perkuliahan sekalipun, apalagiuntuk
kegiatan diluar itu, walau masih dalamkerangka kegiatan akademis.
Ketiga, pengembangan semangat kerja, memiliki karakteristik yang berlainan
dengan pengembangan disiplin kerja. Semangat kerja berkaitan dengan ketulusan
hati harena adanya kepuasan kerja sebagai akibat terpenuhinya kebutuhan dasar
dari pekerjaan yang dilakukan. Kehadiran, kelambanan, antusisme, kerjasama
merupakan indikator-indikator penting untuk mengukur semangat kerja.
Semangat kerja sangat ditentukan oleh adanya harapan masa depan,
sementara keberlangsungan PTS masih sulit dibayangkan. Kakhawatiran itu
ditunjukan oleh hal-hal diantaranya: (a) Maraknya PTS saat ini lebih banyak
disebabkan akibat langsung dari "baby boom" di tahun 70-an, (b) banyak lembaga
pendidikan di tingkat dasar dan menengah yang ditutup belakangan ini, sebagai
ciri berakhirnya "baby boom" di tahun 80-an, (c) Munculnya PTS-PTS baru
sebagai pesaing, malah belakangan ini munculnya pesaing dari pemodal kuat, (d)
Membengkaknya jumlah pengangguran terdidik akan mengakibatkan turunnya
wibawa PT. Hal-hal di atas sering menyebabkan para dosen untuk mencari
kemungkinan lain berupa penetapan profesi lain sebagai sampingan, dan tentu saja
hal ini sangat berpengaruh terhadap konsentrasi dan etos kerja.
Keempat, pengembangan karir dan kesejahteraan, pengembangan ini sangat
dibutuhkan dalam mendukung usaha-usaha pengembangan sebelumnya.
Pengembangan ini memiliki fungsi pemeliharaan atas upaya-upaya yang
dilakukan dalam pengembangan-pengembangan sebelumnya. Harus diakui
penghargaan berupa kesejahteraan untuk profesi pengajar umumnya, khususnya
dosen, masih belum menggembirakan.
Pengembangan karier dosen dapat dilakukan melalui jalur pendidikan lewat
pasca sarjana atau kenaikan jabatan fungsional. Dosen PTS sedikit kurang
beruntung dibanding dosen di PTN. Dosen PTN untuk melanjutkan pendidikan
pasca sarjana, ataupun untuk melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat
dalam rangka peraihan angka kumulatif guna syarat kenaikan pangkat, disediakan
dana lewat anggaran perguruan tinggi dari APBN atau pinjaman luar negeri.
Sedang dosen PTS tidak semua memiliki kesempatan untuk itu, sedang mereka
pun dituntut untuk melakukan hal yang serupa dengan dosen PTN bila ingin
mengembangkan kariernya. Artinya dosen PTS harus menguras koceknya sendiri
atau mencari sumber dana yang lain, manakala anggaran PTS belum memadai
untuk kebutuhan itu. Untuk kepentingan ini tampaknya pihak yayasan dapat
berperan lebih proaktif lagi dalam menjaring sumber dana dari luar.
Kesimpulan
Pengembangan kinerja dosen, dalam berbagai bentuk, harus selalu
diupayakan. Hal itu mengingat penting dalam usaha peraihan produktivitas dosen
yang lebih baik. Pengembangan dosen dapat difokuskan dalam lima bentuk
pengembangan. Namun dalam setiap implementasi bentuk pengembangan di PTS
membutuhkan pemikiran yang lebih terintegrasi antara pertimbangan sosiologis,
psikologis dan financing, hal ini disebabkan terdapatnya masalah-masalah
struktural dalam PTS yang bersifat spesifik.
SaranKeberhasilan pengembangan SDMD sangat tergantung sinergi dari unit yang
ada dalam struktur internal PTS, yang terakomodasi dalam suatu tatanan kendali
sistem manajemen yang ter-sentralize dimana setiap unit memiliki komitmen
yang kuat untuk mendukungnya. Kemudian peran yayasan perlu ditempatkan
dalam posisi yang lebih profesional sebagai badan penyelenggara pendidikan
dengan berbagai konsekuensinya. Selain itu sudah saatnya ekspansi eksternal
dikurangi dengan penyederhanaan aturan atau dilaksanakan deregulasi dalam
pengelolaan pendidikan tinggi, hal ini dan tantangan menyebabkan PTS menjadi
lebih adaptif dengan lingkungan yang dihadapi.