6

Kasus Aleppo

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kasus Aleppo
Page 2: Kasus Aleppo

Suriah bukan negeri kita. Bukan Indonesia. Di sana hanya ada anak-anak yang tak kita kenal yang senyumnya sama saja dengan senyum anak-anak di sekitar kita. Atau ibu-ibu yang sekadar melintas di depan mata melalui tayangan televisi yang tak pernah kerap. Itu pun dalam berita yang tak kita anggap penting. Pula ada para pria dewasa, muda dan tua, mereka pun apa artinya?

Page 3: Kasus Aleppo

Tapi kini riuh terdengar dengan radius seputar bulat dunia. Tak ada telinga yang tak dengar. Tak ada mata yang tak lihat. Tak ada lisan yang tak bicara. Semua orang tahu; mendengar dentumannya, jerit tangisnya; melihat darah bersimbah di tanah berkah dari daging manis anak-anak, wanita bahkan lansia.

Semua hati tersayat, jantung menderu mengalirkan darah bagai sirkuit balap ke sekujur badan. Semua mengaku manusia—berperikemanusiaan, memanusiakan manusia. Lalu tubuh yang koyak itu tergeletak di Eropa, Asia, Afrika, Australia hingga Amerika. Tangan yang terputus itu seakan berada di dalam kamar tiap orang menengadah mengemis—mengiba.

Page 4: Kasus Aleppo

Dunia menangis, menggemparkan. Ada yang duduk sesegukkan di atas kasur. Ada pula yang beranjak keluar rumah, jangan-jangan misil itu melayang ke atap rumahnya. Bahkan ada pula yang mengetuk daun pintu-daun pintu lalu memohon meminta sumbangan.

Tapi, Kawan.

Di tanah Aleppo ada banyak titik harap yang belum digarap.

Ada bahagia yang masih tersembunyi.

Ada tawa yang masih samar.

Page 5: Kasus Aleppo

Di sana masih ada sekolah tempat anak-anak belajar dengan guru-guru yang tegar di antara dentuman bom atau desing peluru. Sekolah mana yang lebih sakti dari itu?

Di sana masih ada taman bermain yang pepohonannya tumbuh dengan pupuk mesiu dari misil yang berjatuhan. Adakah pohon yang lebih kuat dari itu?

Di sana ada benteng kokoh bernama “manusia”. Ya, “manusia”. Seperti saya, kamu, kalian, kita…

Page 6: Kasus Aleppo

Benteng yang berserak di seantero dunia yang apabila merekat akan menjadi kekuatan yang tak akan pernah habis.

Saatnya kita memanusiakan diri sendiri. Bukan sebagai ini-itu yang justru menciptakan jurang pemisah. Saatnya kita ambil bagian!

Bukan nanti, tapi sekarang!

By, Kang Har