BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut PPNI (Persatuan Perawat Nasional
Indonesia), fenomena yang terjadi saat ini menyangkut
perawat yaitu seringkali terjadi ketidakseimbangan
insentif atau reward antara kelompok dokter, perawat
dan yang setara dengan perawat, tenaga administrasi
serta tingkatan manajer rumah sakit sehingga
menyebabkan terjadinya konflik. Konflik yang
berkepanjangan menyebabkan menurunnya komitmen
karyawan terhadap organisasi, khususnya perawat.
Dengan menurunnya komitmen tersebut, maka
kinerja perawat pun menjadi menurun atau kurang.
Perawat dalam menjalankan profesinya sangat rawan
terhadap stres, kondisi ini dipicu karena adanya
tuntutan dari pihak organisasi dan interaksinya
dengan pekerjaan yang sering mendatangkan konflik
atas apa yang dilakukan. Beban kerja yang sering
dilakukan oleh perawat (Nursalam, 2002) adalah
bersifat fisik seperti mengangkat pasien, mendorong
peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur pasien,
mendorong brankart dan yang bersifat mental yaitu
kompleksitas pekerjaan misalnya keterampilan,
1
tanggung jawab terhadap kesembuhan, mengurus keluarga
serta harus menjalinkomunikasi dengan pasien. Menurut Marquis dan Houston (1998, dalam
Nursalam, 2007), konflik sebagai masalah internal dan
eksternal yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan
pendapat, nilai-nilai, atau keyakinan dari dua orang
atau lebih. Konflik sering terjadi pada setiap
tatanan keperawatan.
Konflik terjadi dalam setiap hubungan, termasuk
perawat di tempat kerja. Prevalensi konflik di tempat
kerja secara statistik menunjukkan bahwa 24-60% waktu
dari manajemen dihabiskan terkait dengan konflik.
Peran kepemimpinan dalam konflik merupakan elemen
penting. Kemampuan mereka akan mempengaruhi strategi
mereka dalam konflik dan meningkatkan staf untuk
bekerja sama secara efektif sehingga dapat terwujud
pelayanan keperawatan yang bermutu.
Hasil survey awal Danur Azissah menunjukkan
bahwa dari 9 orang perawat terdapat 6 orang perawat
yang mengalami stres kerja seperti mudah marah, tidak
dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak
mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat dan
kesulitan dalam masalah tidur, serta ada dua orang
yang sering tidak masuk kerja. Di samping itu stress
kerja perawat disebabkan konflik antara perawat dan
2
tenaga kesehatan lain maupun dengan pasien. Bentuk
konflik yang sering terjadi adalah masalah pembagian
tugas dan insentif yang tidak jelas dan tidak merata,
sering tidak bertanggung jawab terhadap tugas serta
menyalahkan rekan kerja yang lain. Hasil penelitian
menunjukkan sebagian besar (78,3%) responden
mengatakan manajemen konflik kurang baik. Dari 18
orang responden yang mengatakan manajemen konflik
kurang baik, ada 10 orang (55,6%) responden mengalami
stres kerja, sedangkan dari 5 orang responden yang
mengatakan manajemen konflik kurang baik, ada 1 orang
(20%) responden mengalami stres kerja.
Setiap organisasi dimana di dalamnya terjadi
interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki
kecenderungan timbulnya konflik. Dalam institusi
layanan kesehatan terjadi kelompok interaksi, baik
antara kelompok staf dengan staf, staf dengan pasien,
staf dengan keluarga dan pengunjung, staf dengan
dokter, maupun dengan lainnya yang mana situasi
tersebut seringkali dapat memicu terjadinya konflik.
Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan
manusia, termasuk perasaan diabaikan, disepelekan,
tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan
jengkel karena kelebihan beban kerja. Perasaan-
perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu
3
timbulnya kemarahan. Keadaan tersebut akan
mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan kegiatannya
secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas
kerja komunitas secara tidak langsung dengan
melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun
tidak disengaja. Dalam suatu komunitas, kecenderungan
terjadinya konflik, dapat disebabkan oleh suatu
perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan
teknologi baru, persaingan ketat, perbedaan
kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai macam
kepribadian individu ( Swanburg, 1993).
Sebagai manajer keperawatan, konflik sering
terjadi pada setiap tatanan nyata asuhan keperawtan.
Oleh karena itu, manajer harus mempunyai dua asumsi
dasar tentang konflik. Asumsi dasar yang pertama
adalah konflik adalah hal yang tidak dapat dihindari
dalam suatu organisasi. Asumsi yang kedua adalah jika
konflik dapat dikelola dengan baik, maka dapat
menghasilkan suatu penyelesaian yang kreatif dan
berkualitas, sehingga berdampak terhadap peningkatan
dan pengembangan produksi. Disini peran manajer
sangat penting dalam mengelola konflik. Manajer
berusaha menggunakan konflik yang konstruktif dalam
menciptkan lingkungan yang produktif. Jika konflik
mengarah ke suatu yang menghambat, maka manajer harus
4
mengidentifikasikan sejak awal dan secara aktif
melakukan intervensi supaya tidak berefek pada
produktifitas dan motivasi kerja (Nursalam, 2011).
2.1 Rumusan Masalah
Hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari konflik?
2. Bagaimana sejarah terjadinya konflik?
3. Apa penyebab terjadinya konflik?
4. Apa saja kategori konflik?
5. Bagaimana proses terjadinya konflik?
6. Bagaimana cara penyelesaian konflik?
7. Apa pengertian negosiasi?
8. Apa saja persyaratan negosiasi yang efektif?
9. Apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan
sebelum melaksanakan negosiasi?
10. Bagaimana strategi dan cara yang perlu
dilakukan dalam menciptakan kondisi persuasif,
asertif, dan komunikasi terbuka selama proses
negosiasi berjalan?
11. Apa saja kunci sukses dalam melakukan
negosiasi?
3.1 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
5
Untuk mengetahui apa itu manajemen konflik,
kolaborasi dan negosiasi dalam manajemen
keperawatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penulisan makalah ini
adalah untuk memahami tentang:
1. Pengertian dari konflik.
2. Sejarah terjadinya konflik.
3. Penyebab terjadinya konflik.
4. Kategori konflik.
5. Proses terjadinya konflik.
6. Cara penyelesaian konflik.
7. Pengertian negosiasi.
8. Persyaratan negosiasi yang efektif.
9. Langkah-langkah yang harus dilakukan
sebelum melaksanakan negosiasi, strategi dan
cara yang perlu dilakukan dalam menciptakan
kondisi persuasif, asertif, dan komunikasi
terbuka selama proses negosiasi berjalan, dan
kunci sukses dalam melakukan negosiasi.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konflik
2.1.1 Sejarah Terjadinya Konflik
Sejarah terjadinya suatu konflik pada suatu
organisasi dimulai seratus tahun yang lalu, dimana
konflik adalah suatu kejadian yang alamiah dan
peristiwa yang pasti terjadi di organisasi. Pada
awal 20, konflik di indikasikan sebagai suatu
kelemahan manajemen pada suatu organisasi yang harus
dihindari. Keharmonisan suatu organisasi sangat
diharapkan, tetapi konflik akan selalu merusaknya.
Ketika konflik mulai terjadi pada suatu organisasi,
meskipun dihindari dan ditolak, namun harus tetap
diselesaikan secepatnya. Konflik sebenarnya dapat
dihindari, kalau staf diarahkan terhadap suatu
tujuan yang jelas dalam melaksanakan tugasnya dan
ketidakpuasan staf harus diekspresikan secara
7
langsung supaya masalah tidak menumpuk dan bertambah
banyak.
Pada pertengahan abad 19, ketika ketidakpuasan
staf dan umpan balik dari atasan tidak ada, maka
konflik diterima secara pasif sebagai suatu kejadian
yang normal dalam organisasi. Oleh karena itu,
seorang manajer harus belajar banyak tentang
bagaimana menyelesaikan konflik tersebut daripada
berusaha menghindarinya. Meskipun konflik dalam
organisasi merupakan suatu unsure penghambat staf
dalam melaksanakan tugasnya, tetapi diakui bahwa
konflik dan kerjasama dapat terjadi secara
bersamaan.
Teori interaksi pada tahun 1970, mengemukakan
bahwa konflik merupakan suatu hal yang penting, dan
secara aktif mengajak organisasi untuk menjadikan
konflik sebagai salah satu pertumbuhan produksi.
Teori ini menekankan bahwa konflik dapat
mengakibatkan pertumbuhan produksi sekaligus
kehancuran organisasi, keduanya tergantung bagaimana
manajer mengelolanya. Mengingat konflik adalah
sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam organisasi,
maka manajer harus dapat mengelolanya dengan baik.
Konflik dapat berupa sesuatu yang kualitatif
ataupun kuantitatif. Meskipun konflik berakibat
8
terhadap stress, tetapi dapat meningkatkan produksi
dan kreativitas. Manajemen konflik yang konstruktif
akan menghasilkan lingkungan yang kondusif untuk
didiskusikan sebagai suatu fenomena utama,
komunikasi yang terbuka melalui pengutaraan
perasaan, dan tukar pikiran serta tanggung jawab
yang menguntungkan dalam menyelesaikan suatu
perbedaan (Erwin, 1992).
2.1.2 Pengertian Konflik
Marquis dan Huston (1998) mendefinisikan
konflik sebagai masalah internal dan eksternal yang
terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat,
nilai-nilai, atau keyakinan dari dua orang atau
lebih.
Littlefield (1995) mengatakan bahwa konflik
dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian atau
proses. Sebagai suatu kejadian, konflik terjadi
darisuatu ketidaksetujuan antara dua orang atau
organisasi, dimana orang tersebut menerima sesuatu
yang akan mengancam kepentingannya. Sebagai proses,
konflik dimanefistasikan sebagai suatu rangkaian
tindakan yang dilakukan oleh dua orang atau
kelompok, dimana setiap orang atau kelompok berusaha
menghalangi atau mencegah kepuasan dari seseorang.
9
Sumber konflik dari organisasi dapat ditemukan pada
kekuasaan, komunikasi, tujuan seseorang dan
organisasi, ketersediaan sarana, perilaku kompetisi
dan kepribadian, serta peran yang membingungkan.
Sebagai manajer keperawatan, konflik sering
terjadi pada setiap tatanan asuhan keperawatan. Oleh
karena itu, manajer harus mempunyai dua asumsi dasar
tentag konflik, meliputi : 1) konflik adalah sesuatu
yang tidak dapat dihindari dalam suatu organisasi,
2) jika konflik dapat dikelola dengan baik, maka
konflik dapat menghasilkan suatu kualitas produksi,
penyelesaian yang kreatif dan berdampak terhadap
peningkatan dan pengembangan. Di sini, peran manajer
sangat penting dalam mengelola konflik, dengan
menciptakan lingkungan menggunakan konflik yang
konstruktif dalam pengembangan, peningkatan, dan
produktifitas. Jika konflik mengarah ke suatu yang
menghambat dalam suatu organisasi, maka manajer
harus menegenali sejak awal dan secara aktif
melakukan intervensi supaya produktivitas dan
motivasi tidak terkena efek. Belajar menangani
konflik secara konstruktif dengan menekankan pada
“win-win solution” merupakan keterampilan kritis
dalam suatu manajemen.
10
2.1.3 Penyebab Konflik
Konflik dapat berkembang karena berbagai sebab
sebagai berikut:
1. Batasan pekerjaan yang tidak jelas.
Pendeskripsian batasan batasan pekerjaan yang
tidak jelas dapat memicu munculnya konflik
dikarenakan adanya orang atau individu yang tidak
tahu pekerjaannya dan dapat mengganggu tugas dan
wewenang dari orang lain.
2. Hambatan Komunikasi.
Konflik juga dapat terjadi jika komunikasi dalam
suatu komunitas tidak berjalan lancar, kondisi
yang seperti ini akan menimbulkan
misunderstanding/ kesalahpahaman.
3. Tekanan Waktu.
Tekanan waktu juga dapat memicu adanya konflik,
jika dalam suatu komunitas tidak dapat memanage
waktu dengan baik dan menggunakannya secara
efektif dalam mencapai target yang di tentukan.
4. Standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk
akal.
Standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk
akal, juga dapat memicu konflik dikarenakan
adanya standar, peraturan dan kebijakan yang
tidak dapat diwujudkan.
11
5. Pertikaian Antarpribadi.
Pertikaian antarpribadi juga dapat memicu adanya
konflik karena akan muncul tidak adanya sinergi/
kerjasama antara pribadi yang tidak bertikai dan
tidak mencari pembenaran pribadi masing-masing.
6. Perbedaan Status.
Perbedaan status juga termasuk pemicu munculnya
konflik karena adanya yang merasa superioritas /
diatas daripada yang lain.
7. Harapan Yang Tidak Terwujud.
Harapan yang tidak terwujud akan memicu konflik
karena akan menjadi halangan tersendiri bagi
komunitas atau individu ketika adanya harapan
yang tidak terwujud dapat menurunkan
selfconfidance/ kepercayaan firinya menurun
sehingga terjadi kesusahan dalam mempercayai diri
maupun orang lain.
8. Perilaku Menentang.
9. Perilaku menentang dapat menimbulkan konflik yang
menghasilkan perasaan bersalah pada seseorang
dimana perilaku itu ditunjukkan.
2.1.4 Kategori Konflik
Menurut Marquis dan Huston (1998), konflik
dipandang secara vertical dan horizontal. Konflik
12
vertical terjadi antara atasan dan bawahan sedangkan
konflik horizontal terjadi antara staf dengan posisi
dan kedudukan yang sama. Konflik dapat dibedakan
menjadikan 3 jenis yakni, konflik intrapersonal,
interpersonal, dan antarkelompok.
1. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi
pada individu sendiri. Keadaan ini merupakan
masalah internal untuk mengklarifisi. Nilai dan
keinginan dari konflik yang terjadi. Hal ini
sering dimanefistasikan sebagai akibat dari
kompetisi peran. Misalnya, manajer mungkin merasa
mempunyai konflikintrapersonal dengan loyalitas
terhadap profesi keperawatan, loyalitas terhadap
pekaryaan, dan loyalitas kepada pasien.
2. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal konflik interpersonal
terjadi antara dua orang atau lebih di mana
nilai, tujuan dan keyakinan berbeda. Konflik ini
sering terjadi karena secara konstan berinteraksi
dengan orang lain, sehingga ditemukan perbedaan-
perbedaan. Manajer sering mengalami konflik
dengan teman sesama manajer, atasan, dan
bawahannya.
3. Konflik Antarkelompok (intergroup)
13
Konflik antarkelompok (intergroup) adalah konflik
terjadi antara dua atau lebih dari kelompok
orang, departemen, atau organisasi. Sumber
konflik jenis ini adalah hambatan dalam mencapai
kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan),
serta keterbatasan prasarana.
2.1.5 Proses Konflik
Proses Konflik dibagi menjadi beberapa tahapan:
1. Konflik laten:
Tahapan konflik yang terjadi terus-menerus
(laten) dalam suatu organisasi. Misalnya, kondisi
tentang keterbatasan staf dan perubahan yang
cepat. Kondisi tersebut memicu pada
ketidakstabilan organisasi dan kualitas produksi,
meskipun konflik yang ada kadang tidak Nampak
secara nyata atau tidak pernah terjadi.
2. Felt conflict (konflik yang disarankan)
Konflik yang terjadi karena sesuatu yang
dirasakan sebagai ancaman, ketakutan, tidak
percaya, dan marah. Konflik ini disebut juga
sebagai konflik “affectiveness”. Hal ini penting
bagi seseorang untuk menerima konflik dan tidak
merasakan konflik tersebut sebagai suatu
masalah /ancaman terhadap keberadaannya.
14
3. Konflik yang nampak/ sengaja dimunculkan.
Konflik yang sengaja dimunculkan untuk dicari
solusinya. Tindakan yang dilaksanakan mungkin
menghindar, kompetisi, debat atau mencari
penyelesaian konflik. Setiap orang secara tidak
sadar belajar menggunakan kompetisi, kekuatan,
dan agresivitas dalam menyelesaikan konflik.
Sementara itu, penyelesaian konflik dalam suatu
organisasi memerlukan upaya dan strategi sehingga
dapat mencapai tujuan organisasi.
4. Resolusi konflik
Resolusi konflik adalah suatu penyelesaian
masalah dengan cara memuaskan semua orang yang
terlibat didalamnya dengan prinsip “win-win
solution.”
5. Konflik “aftermath.”
Konflik aftermath merupakan konflik yang terjadi
akibat dari tidak terselesaikannya konflik yang
pertama. Konflik ini akan menjadi masalah besar
jika tidak segera di atasi atau dikurangi bias
menjadi penyebab dari konflik utama.
2.1.6 Penyelesaian Konflik
1. Langkah-langkah Penyelesaian Konflik
15
Vestal (1994) menjabarkan langkah-langkah
menyelesaikan suatu konflik meliputi: 1)
Pengkajian, 2) Identifikasi, dan 3) intervensi.
Pengkajian
a. Analisis situasi
Idenfikasi jenis konflik untuk menentukan waktu
yang diperlukan, setelah dilakukan pengumpulan
fakta dan memvalidasi semua perkiraan melalui
pengkajian lebih mendalam. Kemudian siapa yang
terlibat dan peran masing-masing. Tentukan jika
situasinya dapat diubah.
b. Analisis dan mematikan isu yang berkembang.
Jelaskan masalah dan prioritas fenomena yang
terjadi. Tentukan masalah utama yang memerlukan
suatu penyelesaian yang dimulai dari masalah
tersebut. Hindari penyelesaian semua masalah
dalam satu waktu.
c. Menyusun tujuan
Jelaskan tujuan spesifik yang akan dicapai.
Identifikasi
d. Mengelola perasaan
16
Hindari respon emosional: marah, sebab setiap
orang mempunyai respons yang berbeda terhadap
kata-kata, ekspresi, dan tindakan.
Intervensi
e. Masuk pada konflik yang diyakini dapat
diselesaikan dengan baik.selanjutnya
identifikasi hasil yang positif yang akan
terjadi.
f. Menyeleksi metode dalam menyelesaikan konflik.
Penyelesaian konflik memerlukan strategi yang
berbeda-beda. Seleksi metode yang yang paling
sesuai untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi.
2.1.7 Strategi Penyelesaian Konflik
Strategi penyelesaian konflik dapat dibedakan
menjadi 6, yakni: (1) kompromi atau negosiasi; (2)
kompetisi; (3) akomodasi; (4) smoothing; (5) m
enghindar; (6) kolaborasi.
a. Kompromi atau Negosiasi.
Suatu strategi penyelesaian konflik di
mana semua yang terlibat saling menyadari dan
sepakat pada keinginan bersama. Penyelesaian
strategi ini sering diartikan sebagai “lose-lose
situation”. Kedua unsure yang terlibat menyerah
17
dan menyepakati hal yang telah dibuat. Di dalam
manajemen keperawatan, strategi ini sering
digunakan oleh middle dan top manajer
keperawatan.
b. Kompetisi.
Strategi ini dapat diartikan sebagai “win-
lose” penyelesaian konflik. Penyelesaian ini
menekankaan bahwa hanya ada satu orang atau
kelompok yang menang tanpa mempertimbangkan yang
kalah. Akibat negative dari strategi ini adalah
kemarahan, putus asa, dan keinginan untuk
perbaikan di masa mendatang.
c. Akomodasi.
Istilah lain yang sering digunakan adalah
“cooperative”. Konflik ini berlawanan dengan
kompetisi. Pada strategi ini, seseorang berusaha
mengakomodasi permasalahan, dan memberikan
kesempatan pada orang lain untuk menang. Masalah
utama pada strategi ini sebenarnya tidak
terselesaikan. Strategi ini biasanya digunakan
dalam politik untuk merebut kekuasaan dengan
berbagai konsekuensinya.
d. Smoothing.
18
Teknik ini merupakan penyelesaian konflik
dengan cara mengurangi komponen emosional dalam
konflik. Pada strategi ini, individu yang
terlibat dalam konflik berupaya mencapai
kebersamaan daripada perbedaan dengan penuh
kesadaran dan introspeksi diri. Strategi ini bisa
diterapkan pada konflik yang ringan, tetapi untuk
konflik yang besar, misalnya persaingan
pelayanan/ hasil produksi, tidak dapat
dipergunakan.
e. Menghindar.
Semua yang terlibat dalam konflik, pada
strategi ini menyadari tentang masalah yang
dihadapi, tetapi memilih untuk menghindar atau
tidak menyelesaikan masalah. Strastegi ini
biasanya dipilih bila ketidaksepakatan
membahayakan kedua pihak, biaya penyelesaian
lebih besar daripada menghindar, atau perlu orang
ketiga dalam menyelesaikannya, atau jika masalah
dapat terselesaikan dengan sendirinya.
f. Kolaborasi.
Strategi ini merupakan strategi “win-win
solution”. Dalam kolaborasi, kedua unsure yang
terlibat menentukantujuan bersama dan bekerja
sama dalam mencapai suatu tujuan. Karena keduanya
19
meyakini akan tercapainya suatu tujuan yang telah
ditetapkan, masing-masing meyakininya. Strategi
kolaborasi tidak akan bisa berjalan bila
kompetisi intensif sebagai bagian dari situasi
tersebut, kelompok yang terlibat tidak mempunyai
kemampuan dalam menyelesaikan masalah, dan tidak
adanya kepercayaan diri dari kedua
kelompok/seseorang (Bowditch and Buono, 1994).
2.2 Negosiasi
2.2.1 Pengertian Negosiasi
Negosiasi pada umumnya sama dengan kolaborasi.
Pada organisasi, negosiasi juga diartikan sebagai
suatu pendekatan yang kompetitif (Marqui and Huston,
1998). Negosiasi sering dirancang sebagai suatu
pendekatan kompromi jika digunakan sebagai strategi
menyelesaikan konflik. Selama negosiasi berlangsung,
berbagai pihak yang terlibat menyerah dan lebih
menekankan waktu mengakomodasi perbedaan-perbedaan
keduanya.
Smeltzer (1991) mengidentifikasi 2 tipe dasar
negosiasi yakni : 1) Kooperatif (setiap orang
menang); dan 2) Kompetitif (hanya satu orang yang
menang). Satu hal yang penting dalam negosiasi
adalah bahwa ada salah satu pihak menghendaki adanya
20
perubahan hubungan yang berlangsung dengan
meningkatkan hubungan yang lebih baik. Jika kedua
pihak menghendaki adanya suatu perubahan, maka hal
ini merupakan cara kooperatif yang baik. Jika hanya
salah satu pihak yang menghendaki, namun akan muncul
adanya suatu persaingan.
Meskipun dalam negosiasi ada unsur yang menang dan
kalah antara kedua belah pihak, namun sebagai
negotiator penting untuk :
1. Memaksimalkan kemenangan kedua pihak untuk
mencapai tujuan bersama.
2. Meminimalkan kekalahan, dan bagi yang kalah tetap
dapat mengikuti
tujuan bersama.
3. Membuat kedua belah pihak merasa puas dengan
hasil negosiasi.
2.2.2 Prasyarat Negosiasi yang Efektif
1. Para pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela
berdasarkan kesadaran yang penuh (willingness).
2. Para pihak memiliki kesiapan untuk melakukan
negosiasi (preparednees).
21
3. Para pihak memiliki kewenangan untuk mengambil
keputusan (authoritative).
4. Para pihak memiliki kekuatan yang relatif
seimbang (relative equal bargaining power).
5. Para pihak memiliki kemauan menyelesaikan masalah
(sense problem solving).
2.2.3 Sebelum Negosiasi
Tiga criteria yang yang harus dipenuhi sebelum
manajer setuju untuk memulai proses negosiasi: (1)
Masalah harus dapat dinegosiasikan; (2) Negotiator
harus tertarik terhadap “take and give” selama
proses negosiasi; (3) Mereka harus saling percaya
(Smeltzer, 1991).
Langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum
melakukan negosiasi adalah :
1. M,engumpulkan informasi tentang masalah sebanyak
mungkin. Karena pengetahuan adalah kekuatan,
semakin banyak informasi yang didapat, maka
semakin besar kemungkinan untuk menawarkan
negosiasi.
2. Di mana manajer harus memulai. Karena tugas
manajer adalah melakukan kompromi, maka mereka
harus memilih tujuan yang utama. Tujuan tersebut
sebagai masukan dari tingkat bawah.
22
3. Memilih alternative yang baik terhadap sarana
dan prasarana. Efisiensi dan efektifitas
penggunaan waktu, anggaran, dan pegawai yang
terlibat perlu juga diperhatikan oleh manajer.
4. Mempunyai agenda yang disembunyikan. Suatu
agenda negosiasi yang akan ditawarkan jika
alaternatif negosiasi tidak dapat disepakati.
2.2.4 Selama negosiasi
Ada beberapa strategi dan cara yang perlu
dilaksanakan dalam menciptakan kondisi yang
persuasive, asertif, dan komunikasi terbuka:
1. Pilih fakta-fakta yang rasional dan berdasarkan
hasil penelitian.
2. Dengarkan dengan seksama, dan perhatikan respon
nonverbal yang Nampak.
3. Berpikirlah positif dan selalu terbuka untuk
menerima semua alternative informasi yang
disampaikan.
4. Upayakan untuk memahami pandangan apa yang
disampaikan lawan bicara anda. Konsentrasi dan
perhatikan, tidak hanya memberikan persetujuan.
5. Selalu diskusikan tentang konflik yang terjadi.
Hindarkan masalah-masalah pribadi pada saat
negosiasi.
23
6. Hindari menyalahkan orang lain atas konflik yang
terjadi.
7. Jujur.
8. Usahakan bersikap bahwa anda memerlukan
penyelesaian yang terbaik.
9. Jangan langsung menyetujui solusi yang
ditawarkan, tetapi berpikir, dan mintalah waktu
untuk menjawabnya.
10. Jika kedua belah pihak menjadi marah atau lelah
selama negosiasi berlangsung, istirahatlah
sebentar.
11. Dengarkan dan tanyakan tentang pendapat yang
belum anda pahami.
12. Bersabarlah (Smeltzer, 1991).
2.2.5 Kunci Sukses Dalam Melakuakan Negosiasi
1. Lakukan
a. Jelaskan tujuan negosiasi, bukan posisinya.
Pastikan bahwa anada mengetahui keinginan
orang lain.
b. Perlakukan orang lain sebagai teman dalam
penyelesaian masalah, bukan sebagai musuh.
Hadapi masalah yang ada bukan orangnya.
c. Ingat, bahwa setiap orang mengharapkan
penyelesaian yang dapat diterima, jika anada
24
dapat menyajikan sesuatu yang lebih baik dan
menarik.
d. Dengarkan baik-baik apa yang dikatakan dan
apa yang tidak. Perhatikan gerakan tubuhnya.
e. Lakukan sesuatu yang sederhana, tidak
berbelit-belit.
f. Antisipasi penolakan.
g. Tahu apa yang dapat anda berikan.
h. Tunjukkan beberapa alternative pilihan.
i. Tunjukkan keterbukaan dan ketaatan jika orang
lain sepakat terhadap pendapat anda.
j. Bersikap asertif, bukan agresif.
k. Hati-hati, anda mempunyai suatu kekuasaan
untu memutuskan.
l. Pergunakan gerakan tubuh, jika anda
menyetujui atau tidak terhadap suatu
pendapat.
m. Konsisten terhadap apa yang anda anggap
benar.
2. Hindari
a. Sikap yang tidak baik, sinis, kasar dan
menyepelekan.
b. Trik yang tidak baik, manipulasi.
c. Distorasi.
d. Tergesa-gesa dalam proses negosiasi.
25
e. Tidak berurutan.
f. Membuat hanya satu pilihan.
g. Memaksakan kehendak.
h. Berusaha menekankan pada satu pendapat.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa:
1. Konflik adalah suatu masalah internal dan
eksternal yang terjadi sebagai akibat dari
perbedaan pendapat, nilai-nilai atau keyakinan
dari dua orang atau lebih.
2. Konflik dapat berkembang karena berbagai sebab
sebagai berikut: Batasan pekerjaan yang tidak
jelas, hambatan komunikasi, tekanan waktu,
standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk
akal, pertikaian antarpribadi, perbedaan status,
harapan yang tidak terwujud.
26
3. Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
disiplin, pertimbangan pengalaman dalam tahapan
kehidupan, komunikasi dan mendengarkan secara
aktif.
4. Strategi dalam penyelesaian konflik: menghindar,
mengakomodasi, kompetisi, dan kompromi atau
negosiasi.
3.2 Saran
3.2.1 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa keperawatan hendaknya lebih semangat
membaca dan memahami tentang manajemen konflik
sehingga kelak menjadi seorang tenaga perawat yang
professional kita dapat mengaplikasikan pengetahuan
dan keterampilan profesi kita semaksimal mungkin
dalam tugas.
3.2.2 Bagi Pembaca
Diharapkan setelah memahami mampu memahami
tentang manajemen konflik sehingga dapat
menerapkannya bila terjadi konflik di organisasi.
3.2.3 Bagi Institusi
Diharapkan agar fasilitas seperti buku-buku di
perpustakaan ditambahkan agar mahasiswa lebih mudah
mendapatkan informasi mengenai manajemen konflik.
DAFTAR PUSTAKA
27
Nursalam. (2011). Manajemen Keperawatan : Aplikasi Dalam Praktik
Keperawatan Profesional Ed. 3. Jakarta: Salemba Medika
Swanburg, R. (1993). Introductory Manajement and Leadership for
Clinical Nurses. Jakarta: EGC
Bowditch and Buono (1994). A Primer on Organizing Behavior. New
York: Wiley
Erwin K (1992). Managing Conflict. Nurses Manager. 23 (3: 67).
Littlefield VM (1995). Conflict Resolution: Critical to Productive
School of Nursing. Journal of Professional Nursing. 11 (1: 7-15).
28
Recommended