55
Beberapa contoh KARYA SASTRA Cerpen Puisi Sastra Melayu Klasik Cerita Rakyat Drama Pantun Biografi

SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Beberapa contoh

KARYA SASTRA

Cerpen

Puisi

Sastra Melayu Klasik

Cerita Rakyat

Drama

Pantun

Biografi

Page 2: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

DAFTAR ISI

CERITA PENDEK1. Cerpen: Nausea

……………………………………………………………………………………………………………………………………

2. Cerpen: Lidah Ular ………………………………………………………………………………………………………………………………

3. Cerpen: Kupu-kupu Bersayap Gelap …………………………………………………………………………………………………

PUISI1. Puisi: Setelah Angin

…………………………………………………………………………………………………………………………

2. Puisi: Perlawanan ………………………………………………………………………………………………………………………………

3. Puisi: Gedhog ………………………………………………………………………………………………………………………………………

4. Puisi: Ersa ……………………………………………………………………………………………………………………………………………

5. Puisi: Butir Hujan ………………………………………………………………………………………………………………………………

SASTRA MELAYU KLASIK1. Hikayat Patani

……………………………………………………………………………………………………………………………………

2. Hikayat Si Miskin ………………………………………………………………………………………………………………………………

3. Gurindam 12: Raja Haji Ali ………………………………………………………………………………………………………………

CERITA RAKYAT1. Raja Pareeket (Aceh)

………………………………………………………………………………………………………………………

2. Lutung Kasarung (Jawa Barat)…………………………………………………………………………………………………………

3. Si Pitung (Jakarta) ……………………………………………………………………………………………………………………………

DRAMA (CUPLIKAN)

Page 3: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

1. Bunga Rumah Makan …………………………………………………………………………………………………………………………

2. Rama Bargawa ……………………………………………………………………………………………………………………………………

3. Sudah …………………………………………………………………………………………………………………………………………………

PANTUNBIOGRAFI

1. Chairil Anwar ………………………………………………………………………………………………………………………………………

2. Andrew Darwis ……………………………………………………………………………………………………………………………………

3. Beethoven ……………………………………………………………………………………………………………………………………………

Cerpen

Judul cerpen: Sebuah Ruang KosongKarya Ratna Indraswari Ibrahim

Nina, melihat pameran foto ini, matanya seperti dihantam. Pada-hal foto ini menurut beberapa orang tak patut dipuji. Nina betul-betul terperangkap. Lama sekali dia terpanah di depan sebuah foto, yang menshoot sebuah ruan-gan luas, dimana langit-langitnya seperti berlapis-lapis dan tidak ada habis-habisnya.

Nina, merasakan sesuatu yang aneh, hadir di lubuk hatinya, dia ingin tahu lebih dekat obyek foto

ini. Menurut fotografernya, ruan-gan kosong ini terletak di sebuah pantai yang menjorok ke laut. Se-buah ruangan kosong, yang selalu diterpa oleh sinar matahari, nam-pak mencorong, sehingga tanah di sekitarnya kelihatan retak-retak dan kemerah-merahan. Masih menurut fotografer, dia sendiri tidak tahu mengapa mengambil sudut itu. Yah, begitu saja seperti orang mengigau.

Keingintahuan Nina semakin men-cuat, sehingga dia selalu mem-bicarakannya kepada orang-orang yang sangat dicintainya, yaitu papa, mama, dan kedua kakaknya. Mereka merasa keheran-heranan dengan sikap Nina.

“Bagaimana kamu bisa melakukan perjalanan ke sana, karena seben-tar lagi kamu harus menyelesaikan skripsimu!” kata keluarganya, serentak.

Page 4: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Nina, mendengarkan ucapan itu dengan perasaan sedih. Lantas, Nina merasa seperti orang yang tengah patah hati saja, padahal tak ada sesuatu yang berubah dalam kehidupannya.

Suatu saat, tanpa terkendalikan lagi, dia sudah mempersiapkan un-tuk perjalanan itu. Persis akan be-rangkat, papa muncul di jendela mobil.

“Kamu seperti kesurupan saja, se-baiknya cepat pulang, Non. Kalau ada apa-apa tolong telepon aku! Aku menduga kamu cuma kelela-han, dalam pembuatan skripsimu. Karena kau memilih topik yang sulit.”

Nina, menyentuh tangan papa yang sangat dicintainya. Sesung-guhnya, dia bangga dengan papa-nya. Papanya tidak pernah memukulnya seperti papa Etik, atau berselingkuh seperti papanya Rozi.

“Saya pulang, sehari sebelum ulang tahun Papa. Saya janji.”

Papanya tersenyum. Alangkah senangnya mendengarkan itu, un-tuk telinga lelaki yang sudah beru-sia 54 tahun.

Nina mencium tangan papa. Dia selalu ingat cerita papa, ketika mama mengandung anak ketiga, dia sudah merasa bahwa bayi yang akan dilahirkannya adalah perem-puan!

“Ketika kaulahir, aku merasa orang yang paling bahagia. Karena, kau seorang bayi perempuan yang cantik. Dan aku sudah memba-yarnya kepada mamamu, dengan sebentuk cincin berlian.”

Nina, senang mendengar cerita yang selalu diulang-ulang itu.

Bahkan mama mengatakan kepada Nina, “Papamu, kadang-kadang keterlaluan. Dia kelewat memanjakan kamu. Untungnya, abang-abangmu tidak cemburu.”

***

Perjalanan ini tidak dilakukannya secara bergegas. Dia bisa menikmati segala yang ada di udara, sinar matahari bahkan debu-debu yang bertebaran.

Di satu tempat, dimana Nina membeli bensin, sambil me-nunggu untuk dilayani, dia meng-gumam sendiri, “Sudah banyak yang saya lihat, peristiwa hidup campur baur, tanpa perasaan takjub, saya jalani kehidupan satu persatu seperti jam yang sudah pasti detik dan menitnya.”

“Sesungguhnya semua orang bi-lang, hidupku mudah, karena aku anak walikota! Tapi, bisa jadi aku melihatnya dari sisi lain. Aku selalu melihat keganasan kekuasaan itu, sekalipun papa selalu ingin tampil bijaksana. Karena papa dibesarkan oleh sebuah partai, dimana beliau harus memenuhi kebutuhan partai dan rakyat secara berimbang. Hal itu tidak mudah. Kadang-kadang aku tahu, papa merasa capek karena papa seperti didukung be-ramai-ramai ke sebuah puncak gu-nung dan diharap memikul beban itu sendiri! Kedua kakakku, belajar di mancanegara. Aku tidak ingin pergi jauh dari papa, karena aku tahu, akulah yang bisa menghiburnya kalau papa begitu capek. Sekalipun tentu saja ada mama, kami sepertinya membagi ruang dengan mama. Mama lebih banyak membicarakan hal-hal do-mestik kepada papa. Sebaliknya, papa lebih senang mendiskusikan masalah-masalah yang ada di kota ini denganku. Sekalipun kadang-kadang, kami tidak selalu sepa-

ham. Tapi, sering papa bilang kepadaku, “Seandainya Indonesia bisa demokratis, aku ingin kau menjadi Indira Gandi negeri ini. Tapi, kadang-kadang aku lebih suka kau menjadi tehnokrat saja. Karena itu lebih aman dari intrik-intrik. Kautahu, sejak muda aku sudah terbiasa dengan intrik-intrik itu. Dan aku tidak suka putriku, jadi tidak bahagia dengan intrik-in-trik itu.”

Sebenarnya, Nina menganggap dirinya bisa menjadi walikota.

Sekarang, Nina melanjutkan per-jalanan. Pemandangan di daerah sekitar pantai ini menghunjam matanya. Dia melirik ke jam tan-gan yang melekat di tangannya. Pada jam begini, biasanya Nina nongkrong di kantin sambil ngob-rol dengan beberapa teman. Tapi hari ini dia sendirian saja. Dia masih ingat beberapa gosip ten-tang papanya. Tentu saja, setiap gosip lebih banyak buruknya. Se-andainya, dia bisa menghantam setiap orang yang menggosipkan papanya. Yah setiap orang tahu dia putri kesayangan bapak wa-likota. Dan banyak orang mendekatinya. Tetapi, Nina selalu mendengarkan nasehat papanya, dia akan selalu menjawab seperti ini, “Kalau Bapak ingin berurusan dengan Papa, silahkan maju sendiri ke kantor.”

Sesungguhnya, kadang-kadang dia jenuh juga menjadi anak walikota, sekalipun dia begitu bangga. Ke-dua abangnya pergi dari kota ini, karena tidak suka pada pandangan masyarakat terhadap mereka, se-bagai putra pejabat, yang rasanya setiap hari disorot oleh publik. Mereka merasa tidak bebas. Nina tidak merasa keberatan, bukankah tidak semua orang bisa menjadi walikota, seperti papanya.

Page 5: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Sekarang tercium olehnya bau laut. Sebetulnya, dia tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya, ke-cuali foto ruang kosong yang se-tiap saat menghambur, dia merasa kepayahan. Sekali lagi dilihatnya dirinya baik-baik. Apa yang sebe-narnya tengah terjadi? Bersama angin pagi, akan disongsongnya sebuah masa depan, tapi mengapa dia membiarkan dirinya terjebak oleh gosip-gosip liar, padahal di sekolah dia selalu belajar rasional. Dan selalu diingatnya omongan papa, “Kalau kita jadi beringin, pasti lebih banyak angin yang bertiup di seputar kita.”

Nina selalu merasa ucapan papa itu sebuah pelajaran yang menarik. Terdengar pekikan bu-rung-burung di laut sambar-menyambar. Nina ketakutan.Maka dilajukan mobilnya dengan cepat. Sepi menggumpal. Dia kaget, sepertinya terjebak, merasa sulit untuk mengatur nafasnya.

“Saya seorang realistis dan tahu aturan permainan waktu. Saya bukan seorang romantis yang suka bermimpi. Masa remaja saya su-dah lewat. Sekarang, saya sudah jadi perempuan berusia dua puluh tiga tahun yang lebih suka mem-baca buku politik, sosial, budaya dan mendiskusikan itu, dengan papa.”

Yah, dia sudah lama berhenti dugem. Kini, dia betah berjam-jam ngobrol dengan papanya. Mereka sepaham bahwa undang-undang pemerintahan kadang-kadang sulit mengakomodir kemauan rakyat. Sehingga, baik papa maupun dirinya sepakat bahwa demo yang dilakukan oleh banyak kalangan di negeri ini, hanya karena sulit men-cari titik persamaan. Dan ini terkadang bisa melubangi kekuasaan papa.

Nina semakin mempercepat laju mobilnya.

Malam mulai tiba. Pekik-pekik bu-rung bercampur dengan deru mo-bilnya.

Pada malam ini, sebuah ruang kosong sudah terpampang di de-pan matanya. Dia betul-betul ter-hisap, dan tanpa sadar menyanyikan sebuah lagu. Lagu ini terpantul di ruang kosong itu. Bukan pada sebuah pesta. Nina menganggap ruang kosong yang berlapiskan kayu ini mencetuskan satu kegembiraan di mana-mana. Dia merasa sangat betah tinggal di sini. Semuanya seperti sudah menyatu dalam dirinya, bagaikan menjadi belahan badan bagian kanan dan kirinya.

Dia mondar-mandir di ruang ini. Dompetnya terbuka. Foto papa dengan baju seragam walikotanya terloncat dari dalam tasnya. Maka Nina cepat-cepat menutup dom-pet itu erat-erat. Lantas, Nina duduk santai di sini dan terharu. Dia tergelitik untuk merekam mo-men-momen yang indah di sini, tapi tak jadi dijepretnya momen-momen itu. Sementara di luar ru-ang ini terdengar suara hiruk-pikuk: seorang perempuan dengan kerut-merut di wajahnya dan san-gat mirip dirinya, berteriak-teriak bercampur dengan tangisan.

“Kamu tahu, anak saya peram-pok!” katanya tandas dan me-lengking.

Dengan geram, Nina mendorong perempuan tua itu keluar dari ru-angan ini, karena dia butuh istira-hat tanpa diganggu oleh siapa pun.

Semilir angin laut menyapu tubuh Nina, sehingga Nina tertidur den-gan nyenyaknya tanpa perlu memakai obat tidur lagi.

Sesaat, perempuan tua itu muncul lagi di depannya dan berkata den-gan sangat lantang, kacau-balau. “Bayangkan, anakku sudah kuberi segala-galanya, tapi yang terlahir dari rahimku cuma seorang perampok. Percaya atau tidak, perampok itu mirip kamu!”

Nina jadi sangat benci. Dengan sekuat tenaganya, dia mendorong perempuan tua itu.

“Kalau ke sini lagi, akan kubunuh kamu!”

Perempuan tua itu menangis, sedangkan Nina jadi kelagapan.

“Setiap orang bilang saya rasional. Telah saya masuki perguruan tinggi teknik, namun saya lebih suka belajar ilmu-ilmu sosial. Papa bangga sekali denganku. Dua kakakku lebih dekat dengan mama, yang suka hal-hal yang bersifat ringan, musik pop, belanja baju dan lain-lainnya. Sebetulnya koran kemarin sungguh menyak-itkanku. Aku tahu papa tidak sebu-ruk itu. Dia lelaki yang mencintai keluarganya, tidak akan pernah mempergunakan jabatan untuk kepentingan keluarganya.”

“Di sini, aku betul-betul ketakutan, apakah papa seorang penjahat dalam jabatannya. Sesungguhnya, aku tidak mempercayai hal itu. Media massa bisa saja dibayar oleh lawan politik papa. Bukankah sekarang media massa dan media elektronik sangat bisa membentuk citra orang, menjadi siapa saja.”

Nina merasa kecapaian berfikir, kepingin sekali dia menghibur dirinya sendiri. Di tengadahkan

Page 6: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

kepalanya ke atas langit-langit, yang berlapis-lapis, bukan suatu gambaran yang terpisah-pisah, seperti yang dilihatnya sehari-hari. Perasaan Nina jadi kosong.

Udara di ruang ini, sepertinya tidak sehat. Nina, merasa tidak enak badan, kepalanya pening. Akhir-akhir ini, dia sering pening dan hampir pingsan.

Ruangan kosong ini jadi baur den-gan foto papanya. Nina tersentak, semua yang dilihat kian lama kian terpisah-pisah. Kepingin sekali, dia tidak berbuat apa-apa, kekalutan mencekam. Matanya terbelalak,

ruang kosong ini kembali menyatu dengan sendirinya.

Nina menganggap tidak perlu berlama-lama untuk berada di sini. Kemudian dia memotret beberapa kali, matanya berkabut. Nina men-jalankan mobilnya lagi dengan pelan, menyusuri pantai yang diterpa matahari dan pekik bu-rung-burung kalang-kabut.

Beberapa hari kemudian, kita melihat foto Nina yang dilatarbe-lakangi oleh sebuah ruang kosong di beberapa media massa dan elektronik. Kemarin, dia men-gadakan jumpa pers, “Saya tahu, papa tidak pernah berbuat keja-

hatan dalam menjalankan jabatan-nya. Beliau sangat paham, kadang-kadang tidak bisa mengakomodir semua kehendak rakyat. Hal itu yang menjadi titik kelemahan be-liau, dan lawan-lawan politiknya memancing di air keruh. Sehingga, kewajiban kami sekeluarga mangambil pengacara untuk menegakkan tali yang basah. Dan berharap para pecundang itu, lebih bisa menuding dirinya sendiri. Atau jelasnya, hukum yang akan berbicara nanti di pengadi-lan, bisa adil dan tahu siapa yang bersalah. Sekali lagi saya tegaskan, papa saya bukan pecundang.”

Kemarin, media massa bilang, pa-panya tersangka korupsi!

Sumber: Horison Online, Mei 2011

Judul cerpen: Purnamaku Terlukis di LangitKarya Chairani

Suara panser yang menggilas pasir-pasir putih kudengar bagai gulungan ombak di pantai Lok Nga. Suara itu bergemuruh men-jemput maut dan mengabarkan perang yang tidak berkesudahan.

Aku bangkit dari tidur, hari sudah menjelang fajar. Ayam pekantan kesayangan Zakir, siswa nomor wahid di kelasku, tidak lagi bernyanyi merdu, seakan pita suaranya terputus mendengar gemuruh panser itu. Jangkrik pun menghentikan musik dan lari ke persembunyiannya.

Darahku berdegup keras ketika ibu kos mengetuk pintu kamar meng-informasikan bahwa panser itu bergerak dari arah timur, tepatnya dari desa Bantayan. “Desa Ban-tayan berjarak tiga puluh kilome-ter dari rumah kos ini. Pantas saja tidak kudengar suara letusan sena-pan dan bombardir yang siap melumat jantungku,” pikirku dalam hati.

Aku keluar kamar menuju jendela berjalan tergontai. Kusibak tirai jendela setengah usang, samar-samar terbaca olehku tanda-tanda seragam dan alat perang yang mereka gunakan. Ya…, malam ini

pasukan perang asal Maluku kem-bali menyisir penduduk tepi pantai Bantayan.

Nanar mata tentara berjaga-jaga di atas panser sambil men-garahkan senjata yang telah dikokang. Lima senjata yang berputar di atas alat perang siap dimuntahkan jika musuh meng-hadang. “Enam orang penduduk yang tewas, Bu. Dua tentara sekarat,” jelas ibu kos padaku. Aku tidak bergeming mendengar pen-jelasan ibu kos yang penuh kasih menjaga bayiku dua tahun yang lalu.

Page 7: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Setiap kali ada kontak senjata, dua, empat atau sepuluh yang tewas itu biasa terdengar di telin-gaku. Orangtua, anak-anak yang tidak berdosa, perempuan yang tidak berdaya, bahkan bayi dalam buaian tidak luput dari peluru. Ter-masuklah bayiku yang berusia de-lapan bulan, Bonar namanya, menjadi korban kekejaman perang.

Waktu itu kami diundang mema-nen udang di kolam Tengku An-war. Secepat kilat, suara bom bergemuruh dan peluru berham-buran. Terjadi kontak senjata an-tara dua pasukan. Namun, tak satu pun pasukan perang yang tampak oleh kami, hanya peluru yang terli-hat mondar-mandir di depan mata. Kami terkepung di tengah. Saat itulah peluru nyasar merenggut nyawa anakku, Bonar yang lucu.

Peristiwa ini terjadi dua tahun lalu, namun masih segar dalam in-gatanku bagaimana peluru bersarang di kepalanya dan isi otaknya berhamburan ke luar. Darah bersimbah di sekujur tubuhku ketika memeluknya. Pekikanku saat itu terdengar ke langit ketujuh. Bonar yang setia menemani perjalananku dan mengisi hari-hariku yang sepi di desa ini telah hijrah ke surga.

Mataku masih tertuju pada barisan panser itu. Aku berpikir, siapa lagi dari siswaku yang yatim pagi ini, siapa lagi akan kudekap dalam tangisan, siapa lagi yang akan tersenyum bagai purnama walau peluru berhamburan seperti hujan badai? Abdul Manaf kah, si energik yang bercita-cita jadi ten-tara dan siap mendamaikan Aceh, atau M. Nuh, yang katanya akan melanjutkan kuliah ke Malaysia setelah tamat SMA? mungkinkah Nurhabibah, si bola mata indah,

bersinar, tapi teduh, sebab dua abangnya dibantai ketika memupuk sawit milik Geucik di Lampulo?

Suara beker di kamar menyen-takkan lamunanku. Pukul lima shubuh, aku melepas tatapan dari barisan panser yang menjauh dari mataku. Kumasuki kembali ka-marku setelah pamitan pada ibu kos. Sebelum bergegas ke sumur kutatap wajah ketiga temanku. Ibu Sari, guru Sejarah, Ibu Henny, guru Geografi dan Ibu Dwi, guru Kimia, masih pulas tertidur. Mungkin bagi mereka gemuruh panser tadi hanya hadir dalam mimpi. Ketiga wajah ini begitu indah. Di dada mereka tersimpan cita-cita yang luhur “mencerdaskan bangsa” walau perang melanda.

Kuambil handuk menuju sumur. Gemetar tubuhku saat air gayun-gan pertama menyentuh kulitku. Air ini lebih dingin dari kemarin, mungkin suhu tubuhku turun. Aku mandi kilat pagi ini. Mukena dan sarung cap gajah membantu menghangatkan tubuhku.

“Khusuk hamba menghadap-Mu, ya Allah.” Pelan airmataku turun membelah pipiku yang tirus. “Tabahkan keluarga korban yang gugur malam ini, akhirilah konflik ini, ya Allah. Biarkan kami di desa ini tersenyum indah bagai pur-nama.” Tangisanku terhenti sete-lah sujud terakhir.

Satu persatu teman seperjuan-ganku bangun. “Sudah mandi, Kak,” tanya Henny.

”Sudah,” jawabku hampir tidak bersuara.

“Kakak sudah mandi?” kembali Ibu Henny bertanya dengan suara lembut, selembut hatinya.

“Sudah, Bu Henny,” jawabku den-gan suara lebih keras. Si bawel, Ibu Dwi, tanpa bicara langsung menyambar handuk menuju sumur. Dengan malas pula Ibu Sari bergumam, “Sudah azan, Bu Rani? Kenapa belum kedengaran ya?” Guru Sejarah yang senang tidur di lantai tanpa alas tikar seakan lupa, bahwa sudah sekian lama azan shubuh tidak berkumandang men-gagungkan Tuhan.

Telah lama meunasah di ujung desa sepi dari orang-orang bersu-jud. Tidak ada lagi suara zikir menggema. Keindahan azan yang dikumandangkan Tengku Asnawi berganti dengan letusan senjata dan dentuman bom molotov. Pen-duduk desa lebih memilih shalat shubuh di rumah daripada berjema’ah ke meunasah. Tidak ada yang berani mengambil risiko menjemput kematiannya sendiri.

“Azan shubuh tak lagi terdengar, apa Bu Sari lupa?” jawabku ketus. “O iya, lupa Sari, maklum saja keenakan tidur,” katanya sambil tertawa.

Peristiwa yang kusaksikan tadi kusimpan dalam hati, aku tidak in-gin mereka menyesali nikmatnya tidur malam ini.

Pukul 07.40 WIB kami ke SMA 1 Madat tercinta. Pelan dan pasti kami melangkah, degup jantungku seperti genderang mau perang, lebih keras dari derap sepatu aparat yang bertugas di desa.

Beberapa siswa melomba jalan kami. Langkah mereka lebih cepat dan dayungan sepeda melaju ken-cang seakan ingin memberitakan atau memburu berita aktual pagi ini. Mereka bagai kuli tinta pengumpul berita.

Page 8: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Tiba di pintu sekolah 07.50 WIB. Masih sepuluh menit lagi lonceng masuk. Sekolah kami seperti seko-lah lain yang mulai belajar pukul 07.30 WIB. Kepala sekolah cukup toleran memberi waktu, ini dise-babkan remaja di desa setiap malam belajar Al-Qur’an sampai pukul 23.00 WIB. Karena situasi mereka tidak berani pulang ke rumah dan tidur di meunasah sampai pagi.

Zakir, siswa si nomor wahid yang setia memberi berita buruk, meng-hampiriku. Siswa kelas XII IPA-1 ini sering mencemaskan kesela-matanku. “Selamat pagi, Bu,” sapanya.

“Selamat pagi, Zakir,” jawabku sambil menuju kursi.

Setengah berbisik Zakir berkata, “Bu …, malam tadi kontak senjata di Bantayan, ada yang meninggal, Bu.”

Kutatap wajah itu dan berkata, “Benar katamu, Ibu sudah tahu se-jak shubuh. Sekarang kamu boleh masuk kelas, dua menit lagi lon-ceng berbunyi.”

Zakir menuju kelas dan puas telah menyapaku pagi ini. Begitulah siswa ini selalu.

Lonceng masuk berbunyi. Aku ber-jalan menuju kelas bersama saha-batku, Ibu Henny. “Kontak rupa-nya malam tadi ya, Eny keenakan tidur, tidak mendengar apa-apa. Ibu sudah tahu?” Aku tidak berko-mentar dan hanya tersenyum mendengarnya. Kami berpisah di kelas XII IPA-1.

Aku mengajar seperti biasa. Jam pertama sampai jam ketiga masuk di kelas XII IPA-2. Delapan orang siswa di kelasku absen. Memang selalu begini, setiap kali kontak

senjata 25% siswa tidak hadir dari seluruh jumlah yang ada. Satu jam menjelaskan pokok bahasan “Paragraf Induksi dan Paragraf De-duksi”, pintu kelas diketuk. Ju-naidi, yang kami sebut si sulung, selaku ketua OSIS mengumumkan berita duka penuh haru. Tidak ada rasa ingin tahu siapa yang jadi kor-ban malam tadi, sebab mereka lebih cepat memburu berita dari kami gurunya. “Innallillahi,” kali-mat inilah yang selalu mengiringi si sulung Junaidi bila memasuki ke-las. Empat siswa di kelas X yatim lagi.

Aku keluar kelas menahan air-mata. Kutatap langit. Tampak olehku sesayat kepedihan tertulis di sana. Padi yang kuning keemasan di halaman sekolah merunduk, seakan hening cipta atas berpulangnya para syuhada.

Setelah Junaidi mengumpulkan uang recehan untuk disum-bangkan sebagai uang duka, aku kembali ke kelas. Kutatap siswa yang wajah-wajahnya indah bagai purnama. Mereka menyambut tat-apanku dengan ramah. Purnama itu tetap tersenyum walau luka di dadanya.

Jam istirahat, lonceng panjang berbunyi. Siswa dipulangkan lebih awal. Dua mobil pick up disewa dari Tengku Anwar. Beberapa siswa dan guru menuju rumah duka. Hampir satu jam kami men-empuh perjalanan yang menyak-itkan ini.

Enam mayat terbujur kaku di Meu-nasah Istiqomah. Sedih, sakit, den-dam dan pasrah terlukis di wajah pelayat. Empat orang siswaku merunduk menyambut kehadiran kami. Airmata mereka bagai ca-haya purnama jatuh menyentuh pasir-pasir kwarsa. Airmata seo-rang anak yang tidak mengerti

mengapa pelipis ayahnya tembus peluru, mengapa di dada ayahnya bersarang bazoka, mengapa ada mayat bergelimpangan tanpa kepala? Mengapa harga seekor lembu lebih mahal dari sebuah nyawa? Tidak ada yang menjawab.

Ilalang bisu. Rumput kering. Tidak peduli dengan teriakan purnama di pelukanku. Daun kering yang jatuh ke bumi bersekongkol den-gan musuh, tidak pernah mem-bisikkan bahwa perang akan tiba. Ketika bencana datang semua hanya bisa terperangah.

Kepala sekolah memakai batik berwarna gelap, bertubuh tegap, berjalan lunglai menuju tempat untuk memberi sambutan. Hu-maira, Tiraimah, Ismail dan Zain-abon mendengar penuh hikmat. Giliran si sulung Junaidi memberi sambutan terakhir. Si Sulung ini mahir berpidato dan begitu de-wasa. Dia dewasa karena ditempa keadaan, lagi pula usianya sudah 25 tahun tapi masih SMA. Junaidi lebih tua enam bulan dari guru Ge-ografi, Ibu Henny. Kedengarannya aneh, tapi bagi kami tidak ada yang aneh di desa ini. Usai mem-beri sambutan jenazah dib-erangkatkan.

Iring-iringan jenazah menuju pe-makaman diikuti ratusan pelayat. Bumi basah karena gerimis dan airmata. Gumpalan awan hitam bergulung berkejar-kejaran. Suasana mencekam.

Tidurmu adalah mimpi panjang

Darah yang tercecer saksi keti-dakadilan

Gemuruh di angkasa menyambar perbuatan dosa

Selamat jalan syuhada

Page 9: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Malaikat Malik menunggumu di syurga.

Tanah pemakaman menganga menyambut kedatangan hamba-Nya. Tak ada satu pun yang bersuara. Hanya doa dan isak tangis yang terdengar.

Upacara pemakaman usai sudah. Satu persatu pelayat mening-galkan tempat. Berat kaki-kaki ini melangkah, terlebih-lebih keluarga yang ditinggalkan.

Aku menaiki pick up dan duduk di bak belakang, diikuti siswa lainnya. Jalan-jalan sepi. Ya, sepi yang makin menambah luka di hati. Tak ada kegiatan apa pun di desa ini. Semua berkabung dan waswas. Siswa-siswi yang duduk dan jongkok bersamaku di bak be-lakang tampak layu dan bermuka sembab. Tak satu pun yang berbicara sebab tak seorang pun yang ingin mendengar kata-kata.

Tiba di kos kurebahkan tubuh di lantai beralas tikar pandan. Lelah hati ini, lelah tubuh ini. Kami istira-hat. Sayur campur, sambal telur, makanan wajib di kost ini tidak ada yang menyentuh. Tak ada yang lapar walau sudah jam dua siang. Perut kami selalu kenyang di sisi penderitaan.

Dari balik pintu Pak Ali berkata, “Enam orang yang korban, alamat tak tidur malam ini. Mana Bu Rani, lemas ya, Bu?”

Aku tidak menjawab dan menutup telingaku dengan bantal.

Dwi menimpali omongan Pak Ali, “Begadang lagi … begadang lagi. Kita harus waspada malam ini, siapa tahu ada serangan balasan. Atau, pulang kita yuuuk …, tak usah ngajar kita besok.” Kami

hanya tersenyum mendengar oce-han si bawel.

Meninggalkan murid tidak akan pernah kami lakukan. Mereka adalah purnama yang indah. Mereka tetap bersinar cemerlang dan berotak gemilang dengan prestasi segudang walau perang menghajar tanah rencong ini. Se-mangat mereka tidak pernah surut menimba ilmu.

Beberapa saat terdiam, Ibu Sari menyela, “Maunya tak usah ada malam ya…, maunya siang terus.”

Lagi-lagi Bu Sari lupa, bahwa dalam Al-Qur’an surat empat belas dikatakan bahwa Allah menun-dukkan matahari dan bulan beredar dalam orbitnya sehingga ada siang dan malam yang tidak dapat saling mendahului.

Tapi begitulah di desa ini, bila pagi terbentang hati pun lega. Berharap ayah, abang atau adik yang diculik kembali ke tengah-tengah keluarga dalam keadaan hidup maupun tidak bernyawa. Jika malam menjelang semua ge-lisah, ketakutan. Menunggu pagi bagai seabad lamanya. Karena ge-lisahnya malam-malam yang kami lewati, tidur pun sering berhias mimpi. Mimpi bersambung lagi. Per episode. Indah, bukan? Begitu-lah penanggungan yang dialami penduduk, selain menderita fisik juga menderita psikologis.

Azan Magrib terdengar. Parau suara Tengku Ismail memuji asma Allah. Siang tadi di pekuburan, Tengku Ismail salah satu pelayat yang paling banyak menitikkan air-mata. Tiga dari enam korban yang terbujur kaku, ada pertalian darah dengannya. Gemetar lengan Tengku Ismail menengadahkan tangan, berdoa pada Allah.

Malam menjelang dengan ribuan misteri yang tersimpan di dalam-nya. Seperti biasa kami bergumul dengan kesibukan masing-masing. Pak Ali di kamar depan menyiap-kan laporan tahunan; Ibu Dwi dan Ibu Sari menyiapkan soal-soal ulangan bulanan; Ibu Henny sibuk memperhatikan peta NAD. Dua minggu yang lalu Bu Henny ke Banda mengikuti penataran. Be-berapa kondisi sungai dan tanah berubah bentuk akibat tsunami, dan aku mendalami pokok ba-hasan untuk besok.

HP Bu Sari berdering. Suami Bu Sari dari jarak 60 km menelepon. Yang kudengar: “Iya, Bang. Sari su-dah makan pakai sayur campur dan dadar telur. Ada juga plik uk dan timpan yang diantar Hasanah sore tadi. Kami baik-baik saja, tak ada apa-apa, Bang. Semua di rumah, Bang.” Lupa lagi Bu Sari. “Siapa pula yang pernah keluar malam hari,” pikirku dalam hati. Lalu kudengar lagi: “Aman-aman saja di sini, tak ada apa-apa, Bang.”

Bu Sari menutup kegelisahannya malam ini. Begitu juga dengan kami. Banjir darah, hujan peluru, mayat bergelimpangan di depan mata, hanya terekam di dada. Keluarga tidak perlu tahu rentetan peristiwa dramatis ini. Kami tidak ingin ada keluarga yang mence-maskan kepergian kami. Kami in-gin dilepas dengan senyuman, tidak dengan tangisan!

Ibu Dwi berkali-kali menepuk tubuhnya mengusir nyamuk. Jam 20.00 WIB baru aku tahu bahwa lingkaran cap roda tiga habis. Jam 20.00 WIB tidak ada lagi warung buka dan diupah pun tidak akan ada yang berani ke luar rumah. Terkadang Bu Dwi juga memukul dadanya mengusir ketakutan. Ibu Henny dan Ibu Sari sebentar-

Page 10: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

sebentar berkipas mengeringkan badan yang berkeringat dan mengipas kegerahan malam yang menakutkan. Udara panas, menca-pai 48°C, begitu menurut keteran-gan badan meteorologi.

Jam beker dan suara jangkrik bersahut-sahutan, membentuk bisikan gaib dari malaikat pen-cabut nyawa. Desir angin men-gayun dedaunan terdengar bagai sayatan sangkur mengiris dada. Telingaku terpasang tajam men-cari langkah kaki di semak belukar dan suara letusan.

Malam terlalu panjang dan menyiksa

Gelisah dan ketakutan adalah gambaran jiwa

Tikar-bantal yang basah melukiskan kepedihan

Berlalulah kau malam jahanam!

Ayam pekantan Zakir berkokok dengan gagah. Suara beker pun berbunyi. Serentak kami terban-gun, seperti dikomandokan oleh panglima perang. “Alhamdulillah …, tidak ada kontak senjata malam ini,” ucap kami bergantian. Tubuh kami masih bergelimpangan di tikar, seperti ikan hiu yang ter-dampar di laut Atlantik Utara. Be-gitu perumpamaan yang diberikan Bu Cut, guru BP saat masih kos di rumah ini.

Hari ini aku berangkat ke sekolah lebih awal. Zakir menjemput den-gan sepeda jandanya. Di boncen-gannya kami bercerita tentang apa saja. Biasanya tentang HAM, kedamaian, perang prestasi, cita-cita dsb. Tapi tentang hidupku di rumah tangga tak pernah aku bercerita.

“Besok pulang, Bu?” tanya Zakir. “Iya …, semua kami pulang, hari Senin bertugas lagi. Doakan guru-gurumu selamat di jalan ya, Zakir,” jawabku bersemangat. “Pasti, Bu. Purnama Ibu tetap berdo’a agar Ibu dan guru lainnya kembali men-gajar kami,” jawab Zakir sambil membelokkan sepeda ke gerbang sekolah.

Dengan Zakir aku sarapan di kantin sekolah. Ada Tiasyiah, Mawaddah dan Baihaqi. Pagi ini tak kalah cepatnya mereka hadir dariku. “Selamat pagi, Bu,” sapa mereka menabur senyuman.

“Selamat pagi, Purnamaku,” jawabku dengan senyum simetris. Teh manis dan pisang goreng menemani obrolan kami pagi ini.

Anak-anak di desa ini begitu akrab dengan gurunya. Kebiasaan anak laki-laki duduk di warung dengan orangtuanya dan orangtua lain-nya, sambil minum kopi atau men-gunyah sirih, membuat mereka mudah beradaptasi.

Proses belajar-mengajar berjalan lancar. Keseriusan, canda, marah, nasihat merupakan rutinitas seo-rang guru di kelas. Tidak terdengar suara letusan senjata. Tidak ada suara panser bergemuruh men-jemput maut seperti di pantai Lok Nga. Tidak kulihat wajah gegana merah padam. Tidak perlu kami tiarap di kelas karena takut peluru nyasar. Tidak kulihat garis kesedi-han di wajah siswaku di sekolah. Purnamaku penuh cahaya merentangkan tangan menyambut pagi ceria.

Pulang mengajar giliranku berbe-lanja. Zakir menemaniku dengan sepeda jandanya. Belanjaanku hanya sekeranjang kecil. Di depan pintu rumah, Dwi sudah me-nunggu. Lalu disianginya ikan. Bu

Sari menggiling lombok merah; Henny menyiangi sayuran dan aku mengolahnya. Tidak banyak yang dimasak, tapi semua mengambil bagian kerja. Tidak pernah ada pertengkaran di antara kami.

Pak Ali di warung mengganjal pe-rut sebelum makan siang yang bi-asanya pukul 15.00-16.00 WIB. Pak Ali mengidap penyakit maag yang dialaminya selama bertugas di Madat ini.

Sore hari aku dan Pak Ali ngobrol di teras. Zakir yang lewat di depan rumah kos membelokkan sepeda jandanya ke arah kami. Purna-maku yang berusia 21 tahun ini kembali menyampaikan kabar bu-ruk. “Di Lok Nibong ada mayat yang tak dikenal, Pak. Mayat laki-laki berusia sekitar tiga puluhan. Mayat itu dibuang dari motor hantu, keduanya tanpa kepala. Hati-hati pulang besok ya, Pak. Ibu juga. Situasi memanas, Bu,” jelas Zakir dengan rasa cemas.

“Yakh… apa yang terjadi … terjadi-lah, pasrah saja kita ya, Bu Rani. Entah apa yang mereka cari. Yakh …, mudah-mudahanlah semuanya cepat berakhir. Kasihan orang-orang yang tidak berdosa,” sela Pak Ali sambil menghela nafas panjang. “Doakan saya, Bu … Pak, saya bercita-cita menjadi panglima perang. Saya akan menghentikan pertumpahan darah, tidak akan ada nyawa yang hilang sia-sia. Perang akibat luka lama akan saya hentikan. Guru kami pasti damai bertugas di desa ini!” Zakir bicara begitu semangat sambil mengepalkan tangan. Amin … amin…, jawab kami serentak sam-bil tertawa. Betapa menye-nangkan siswaku ini.

Zakir menyambung pembicaraan, “Kapan ya, Bu, ayah Zakir dipu-langkan. Di mana ayah disembun-

Page 11: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

yikan penculik bertopeng. Zakir merindukan ayah, Pak.”

Pak Ali mencoba menenangkan, “Zakir, tugasmu hanya mendoakan ayahmu, jika Allah menghendaki pasti ayahmu kembali.”

Raut wajah Zakir suram. Kerinduan pada seorang ayah memenuhi re-lung hatinya. Tak ada bantahan ketika ayah Zakir dibawa paksa oleh orang tak dikenal. Memban-tah artinya berpesta dengan nyawa.

Hari Kamis telah tiba. Hari ke-merdekaan yang kami tunggu-tunggu setiap minggu. Pulang mengajar siang nanti aku dan te-man-teman akan kembali ke rumah masing-masing. Kami mengemas pakaian kotor untuk dibawa pulang.

Kubayangkan perjalanan lima jam menuju rumah cukup melelahkan. Makanan dan minuman telah tersedia. Jumlahnya dilebihkan, siapa tahu ada kontak senjata, perjalanan bisa menelan waktu lebih lama.

Terbayang di mataku, betapa hangat memeluk kedua buah hatiku. Canda dan gelak tawa buah hatiku terlukis di mata. Ked-uanya akan menjerit memanggilku Mama. Mereka akan berebut cok-lat kesukaannya. Alangkah lelap tidur di kasur empuk malam nanti, tidak akan ada mimpi buruk menghiasi.

“Sudah siap berkemas, Bu. Cepat … sudah jam 07.40 WIB sekarang,” teriak Pak Ali mengingatkan. Aku tersentak, bayanganku seketika lenyap dari depan mata.

Seperti orang mau kemping kami berjalan berlima menuju sekolah. Jalan lengang dan sepi. “Astaga…,

beberapa orang berseragam loreng lalu-lalang di jalan, bazoka dengan mulut peluru seperti jan-tung, terarah ke langit. Apalagi yang akan terjadi?” jeritku dalam hati. Kegembiraan kami lenyap seketika. Kami tak dapat mundur karena sudah terlihat oleh mereka. “Mudah-mudahan tidak terjadi kontak ya, Pak, seperti dua minggu yang lalu mereka hanya lalu-lalang, beberapa lama kemu-dian mereka bubar,” harap Henny dengan sangat.

Gemetar tubuhku melewati rom-bongan itu, kepala merunduk, tak sanggup beradu mata. Bumi seakan berguncang, berputar menerbangkan nafas.

Lebih kurang sepuluh menit ber-jalan sampailah kami di sekolah. Kepala sekolah dan beberapa guru telah sampai terlebih dahulu. Tampak olehku wajah kepala seko-lah putih seperti kapas, lebih pu-cat dibanding Diana dan Dek La. Tidak terdengar ucapan “selamat pagi” atau “assalamualaikum”. Tas berisi pakaian kuletakkan sem-barangan. Lalu ikut menyaksikan pemandangan di luar.

Siswa yang telah hadir lebih dari setengah ini tak satu pun ke luar kelas. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan lebih baik kami berjaga di ruangan untuk mene-nangkan siswa.

Banyak yang absen di kelasku. Mereka pandai membaca situasi. Tubuhku lemas bersandar di kursi. Telapak tanganku berkeringat, sesekali kuhela nafas. “Kita ber-jaga-jaga ya ..., keadaan belum kondusif, berdoalah pada Allah,” bergetar tubuhku mengucapkan kata-kata itu.

Dari sela jendela kulihat Pak Ali ke-liling kelas mengabarkan perkem-

bangan keadaan, sekaligus mene-nangkan siswa walau Pak Ali juga tampak pucat. Aku keluar kelas melihat dari kejauhan. “Ya Allah, jumlah mereka bertambah,” gu-mamku dalam hati.

Aku kembali ke kelas. Tiba di pintu kelas terdengar letusan bazoka yang memekakkan telinga. Bumi bergetar. Burung bangau yang hinggap di punggung kerbau melayang mencari kedamaian. Teriakan dan suara gaduh terden-gar keras. “Ayo …anak-anak, tiarap semua!” teriakku dengan suara bergetar. Semua berhamburan ke lantai. Beberapa siswa merayap mencari posisi aman. Letusan ter-dengar lagi dari senjata lain. Ini pertanda pasukan lawan telah mendekat. Letusan demi letusan bersahut-sahutan dan semakin keras. Suara itu kurasakan bagai tiupan sangkakala dari malaikat Izrafil yang mengabarkan kiamat telah tiba. “Ya, Allah selamatkan kami,” desahku dalam doa.

Peluru mulai nyasar di halaman sekolah. Kali ini dinding kelasku ditembus peluru bazoka. Siswa berteriak, “Allahu Akbar… Allahu Akbar.” Tubuhku tak bergerak lagi. Lantai ini seperti bermaknit. Pipiku menyentuh lantai, kudengar pasir berbisik, “Sabar dan tabahlah se-lalu.”

Setengah jam kontak senjata be-rakhir. Pelan kami berdiri, seperti mayat bangkit dari kubur. Purna-maku saling berpelukan menangis tak berkesudahan. Senyuman tak pernah abadi di desa ini. Kakiku lemas seperti dijangkiti polio. Dibantu dua siswa aku didudukkan di bangku. Baru menghela nafas pertama, sudah terdengar teri-akan dari kelas di seberang sawah, dari kelas XII. Ada siswa jadi kor-ban di XII IPA-1.

Page 12: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Semua siswa ingin berlari menuju teriakan itu, namun kucegah. “Cukup ketua kelas yang keluar!” pintaku. Abdul Rahman, kelas XII, dengan beberapa ketua kelas lain-nya. Suara tangisan dari kelas tersebut makin pilu.

Siapa yang korban pagi ini? Orang-tua mana yang akan kehilangan permatanya? Purnama mana yang akan redup dari sinarnya? Tanyaku berulang-ulang dalam hati.

Ketakutanku belum pudar. Per-mata-permataku masih pucat pasi. Kami tak biasa akrab dengan tragedi seperti ini walau sering kami alami. Abdul Rahman kem-bali ke kelas. Nafasnya turun naik karena berlari. “Bu…, Bu…, Zakir keunong aneuk beude bak dada, Zakir… Zakir mate,” (”Bu…, Bu…, Zakir dadanya tertembak senjata, Zakir… Zakir tewas.” ) ucap Rah-man yang kurang paham berba-hasa Indonesia dengan terbata-bata. “Dada Zakir… dada Zakir… dia tewas, ayo ke sana, Bu,” ucap Rahman sekali lagi.

Aku terhentak, bagai halilintar di siang bolong penuh api membakar

dadaku. Jantungku berdebar ken-cang. Nafasku tersengal. “Ti … dak, ti…ti ... dak, Rahman, jangan sebut itu pada Ibu!” kataku berharap. Fadli dari luar kelas meyakinkan, “Benar, Bu. Benar… Zakir….”

“Stop…, tak ada yang tewas!” ben-takku setengah berteriak.

Bagai ada tarikan gravitasi tubuhku berdiri tegap. Entah keku-atan gaib dari mana yang kuterima tiba-tiba aku berubah kuat. Aku berlari menuju kelas Zakir. Tangisan pilu terdengar menyayat kalbu.

Zakir mengerang memegang dada menahan sakit. Darah hitam berhamburan dari dadanya. Ku-peluk purnamaku dengan erat. Ku-coba menenangkannya di sela isak tangisanku. ”Bertahanlah, Zakir…. Bertahanlah, Purnamaku. Lihat Ibu… guru-gurumu yang selalu in-gin bersamamu!” Mata itu menatap sendu. Darah terus men-galir menganak sungai. “Ibu…, Pur-namamu tak sanggup bersinar sepanjang hari, saya titip pur-nama-purnama lain pada semua guru…. Maafkan saya…, Ibu,” ucap

Zakir dengan suara hampir lenyap. “Tidak…, Zakir, tidak…, bertahan-lah…,” bisikku di telinganya. Bola mata itu menatap teduh, butir air-mata berkerlap-kerlip melewati pipinya bagai kunang-kunang. Di sela raunganku Zakir berucap lagi, “Ibu…, biarkan Purnamamu ter-lukis di langit.”

Mata itu terkatup. Tubuh itu terkulai. Aku menjerit, suaraku terdengar membelah langit. Hatiku mengharu-biru melepas je-nazah Zakir dari pelukanku. Zakir pergi untuk selamanya. Tak ada lagi senyum dan canda Zakir, pur-namaku yang bersinar. Tak ada lagi harapan dan cita-citanya. Hanya ayam pekantan Zakir yang setia membangunkan tidurku di pagi hari.

Awan bergerak perlahan-lahan lalu berkumpul dan bertumpuk-tumpuk. Hitam. Kelam. Kemudian gerimis dari celah-celahnya.

Bumi menangis mengantar purna-maku ke pemakaman. Ibu Zakir menabur bunga terakhir.***

Sumber: Horison Online, Juli 2010Judul cerpen: Rumah Cinta Ujung LangitKarya Joni Ariadinata

Kalau ndak keliru, Gusti Kanjeng Sultan terdahulu yang mem-bikin prakarsa membelah alun-alun kota ini dengan sebuah jalan corcoran. Membentang dari arah utara, lurus melewati tem-bok beringin, kemudian mentok pas di depan Pagelaran. Kalau ndak keliru juga, dulu di tengah-tengahnya tumbuh pohon

beringin berjanggut, besar dan kuat.

Konon, menurut cerita, pohon beringin itu bisa bikin kualat. Sak-ing gagah dan lebatnya, hingga anak-anak seusiaku ketika itu ser-ing punya pikiran bagus: alangkah beruntung jika lebih banyak lagi prajurit takut kualat. Para abdi dalem takut kualat,

orang-orang tua sejenis (bertopi blangkon) serta perempuan-perempuan berkemben takut kualat. Makin banyak orang yang harus berjalan khidmat ketika melewatinya, takut dicekik lalu kualat lalu mampus, itu makin bagus. Sumpah!

“Pohon ini pasti dihuni tuyul, demit, kuntilanak, atau sebangsa

Page 13: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

wewe. Makin banyak demit makin makmur kita! Bukankah makanan demit adalah makanan kita juga, hoh-hoh.... Makanan siapa lagi, heh?” Dan tentu, semua jenis makanan persembahan para priyayi selalu enak dan baik. Kubi-lang juga pada mereka: “Demit po-hon beringin memang tidak baik bagi mereka, tapi pasti baik buat kita.”

Meskipun tentu saja, pikiran baik ini selalu membuat persaingan seru pada setiap malam jumat. Kadang hingga berkelahi. Betapa tidak? Butir-butir kelapa muda itu, berbatang-batang cerutu, jajanan manis dan asin (kadang juga tujuh atau sepuluh butir telur) serta seribu bahkan hingga lima ribu perak uang logam bercampur kembang; bagaimanapun se-muanya memang enak untuk di-makan. Lagi pula, toh kami semua beranggapan bahwa bangsa-bangsa demit hanyalah musuh bagi mereka.

Tapi kemakmuran itu tidak berlangsung lama. Angin puting beliung dahsyat tiba-tiba datang mengiringi kematian Gusti Sultan yang memang sudah tua itu. Jelas, bagi jenis gembel model aku, dan beberapa kerabat, kehadiran hujan angin puting beliung yang melanda kota ini seberapa saat sebelum Gusti Sultan yang ter-dahulu mati, betul sungguh tidak ramah sama sekali. Sebab beringin yang begitu keramat itu bisa ter-belah dan tumbang. Betul-betul tumbang! Jelas kami kehilangan saudara wewe dan kuntilanak. Padahal semua kerabat tahu, bahwa saudara wewe dan seketu-runan kuntilanak dan demit-demit asu itu butuh sesaji. Dan di mana-pun sesaji diletakkan, bukankah mereka butuh kami untuk meng-habiskannya?

Gusti Sultan yang lain, setelah naik tahta, menggantikan beringin be-sar perkasa itu dengan beringin ci-lik, —kecil segede jempol bayi. Sungguh lucu dibanding ben-teng temboknya yang besar dan tinggi. Hampir saja ketika itu Paerah dan Marijo mencabutnya karena mangkel. Kalau saja Paerah tidak segera diseret, entah bagaimana nasib beringin cilik itu. ”Ojo dicabut Paerah! Jangan di-cabut!”, kami meneriakinya keras-keras waktu itu. Tapi Paerah sem-pat mengencinginya satu kali. Sedangkan Marijo nekat meludahi dan memberakinya tanpa ampun. “Beringin asu!” katanya.

Dari sinilah kisah yang sesungguh-nya dimulai.

***

Hidung amat pesek, rambut tum-buh jarang dan lurus, bibir me-mang tebal dan lebar dari Tuhan; tapi kulit berbitil-bintil bekas kena cacar hingga ke muka adalah murni sebenar-benarnya salahku. Kulitku tak putih, tapi cuman hitam amat gelap, bersisik belang gara-gara buduk yang tak kunjung sembuh. Kawan-kawan sekerabat menyebut aku onta, atau tak jarang menyindir babi. Sungguh sengsara memasuki usia lima belas. Cerita-cerita dari mu-lut Inoh, Tinah, Marsinem, dan lain yang segerombol bisa mende-barkan sekaligus membuat sakit. “Lelaki itu enak, “ katanya. Lalu mereka memandangku. Lalu mereka bilang, hingga kiamat tak bakal ada lelaki yang sudi menyen-tuh kulit hitam berbintil-bintil dan bermuka babi sepertiku. “Bukan babi, tapi gabungan babi dan Onta!” begitu kira-kira ejekan mereka.

“Aku akan buktikan itu!” entah mengapa, tiba-tiba aku merasa

sakit hati. Berbulan-bulan aku meradang, dan merasa terhina. Tapi begitulah nasib buruk, meski kutiru habis-habisan gaya mereka (Inoh, Tinah, Saliyem, dan seker-abat pelacur seumurku yang diam-diam selalu kuperhatikan), dengan gincu dan bedak seribu perak di mukanya. Kutiru gambar-gambar dalam adegan tivi saat aku harus menggoyang-goyangkan pantatku di depan lelaki sekerabat-ku, ku-tiru dengan penuh luka dan malu, tapi tampaknya seluruh lelaki sial itu hanya punya satu kata: “Pergi-lah! Kamu bau! Bikin mual!”

Hingga satu hari, dengan berani dibelikanlah Paimin sebotol KTI. Di saat Paimin mabuk itulah aku serahkan diriku sungguh-sungguh. Kuterkam mulut bau Paimin segera, meskipun rasanya bacin dan asam karena Paimin (seperti juga kami semua) tak pernah tahu apa gunanya gosok gigi. Tapi me-mang begitulah yang kulihat, atau mungkin yang aku harus lakukan segera, seperti apa yang musti di-lakukan orang-orang pada awal-nya. Seperti yang kulihat di dalam gambar-gambar. Memakan bibir laki-laki, dan laki-laki memakan bibir perempuan! Sungguh-sung-guh, Paimin mabuk meneracau, mendengus, menyeretku tanpa ampun. Menindih dan membant-ing-banting. Dan aku, dalam ke-sadaran yang disengaja, berteriak-teriak agar seluruh orang kerabat-kerabat itu mendengar bahwa aku juga perempuan yang punya harga diri. “Makan aku, Paimin. Samber bledek, mumpung aku masih per-awan....”

Ah, kasihan Paimin sesungguhnya. Karena kenekatankulah Paimin harus menanggung malu. Ia pergi ke kota lain. Ia sering disindir oleh para kerabat dengan sebutan matamu picak. Maka demikianlah pada awalnya Paimin selalu men-

Page 14: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

jawab: “Djiancuk, kadal buduk, monyet jelek, kowe ngerti kan kalau aku mabuk? Aku tidak tahu kalau yang kutidurin itu itu onta berkulit babi! Bangsat kowe se-mua...”

Dan mereka semua tertawa. Mereka semua senang jika Paimin menanggung malu.

***

Tapi sekarang bukan lagi waktunya buat memaki. Bukan lagi wak-tunya. Bukalah mata kalian bulat-bulat. Silahkan kalian ngomong sekehendakmu, aku tak peduli. Karena dari sinilah, sekali lagi, kisah yang sesungguhnya akan aku ceritakan dengan terang-terangan.

Dulu aku sakit gara-gara Paimin, lantaran Inoh kemudian mencakar muka dan memaki-maki hebat dengan kata-kata buruk yang tak berkesudahan. Inoh cemburu! (se-betulnya aku bangga bisa mem-bikin Inoh cemburu). Lalu Paimin bergegas pergi padahal setelah malam kejadian itu aku jadi kan-gen. Aku kangen pada kekasaran Paimin, pada mulut Paimin yang asam, dan terutama pada keane-han tubuh laki-laki yang nyatanya bisa membuat napasku bergetar. Dengan dada berdebam-debam. Bau bacin keringat Paimin, bau bangkai mulut Paimin, menjadi ke-nangan tak pernah kulupa. Sumpah.

Tapi lihat sekarang aku. Seribu kali Paimin dan serombongan lelaki lain mungkin harus berpikir hanya untuk percaya saja. Entah aku waras ataukah hanya setengah sinting. Tapi begitulah cerita ini memang betul-betul nyata. Ketika suatu malam, seorang Pangeran datang meminangku. Seorang lelaki dengan kulit seperti jin! Seperti demit, seperti kera putih

dalam wayang kulit yang sering kutonton di pagelaran setiap bu-lan maulud. Ia, lelaki jin itu, men-gajakku berkenalan dengan tiba-tiba, dan menggondolku dengan tiba-tiba.

“Saya menyukaimu,” begitu katanya.

Betapa aku begitu mulia. Sungguh. Samber bledek. Ketika kali itu aku ketemu, dan ketika kali itu dengan tiba-tiba ia mengajak ngomong, aku sungguh-sungguh hanya ingin percaya. Dan nyatanya ia me-mang terus ngomong dan menga-jakku jalan. Dan nyatanya ia senang dan dibelikan aku kalung imitasi. Dan ia takjub lalu membeli baju. Seumur hidup, pada usia tu-juh belas itulah aku tahu, betapa sukanya orang kalau disayang. Aku senang. Aku bahagia. Pada usia tujuh belas ada laki-laki me-mandang wajahku seperti betul-betul wajah asli milikku. Dia bi-lang, “Kamu cantik. Kamu tak ada duanya kalau kubawa ke negri saya. Tentu kamu mau jadi teman saya, Lisa!”

Sumpah. Aku tidak berbohong. Dia memanggilku “Lisa”, bukan “babi”, “onta”, atau “buduk”. Dan dia mengatakan: aku cantik.

Mungkinkah ia memang laki-laki demit yang begitu mulia? Ataukah hanya orang gila, atau sinting, atau setengah sinting. Ah, su-dahlah, aku tak biasa berpikir-pikir. Ndak waras pun tak apa, demit pun jika ia memang sung-guh demit, juga tak apa.

“Apakah kamu masih perawan, Lisa?”

Perawan? Pertanyaan itu bikin kaget. Tapi pertanyaan itu juga bikin aku bangga. Kubilang,

“Banyak lelaki yang telah meniduriku!”

Lisa? Samber bledek, namaku me-mang Lisamah. Dan laki-laki berkulit jin itu lantas memanggil Lisa? Lisa... Duh Gusti. Berapa tahunkah namaku tak pernah dise-but orang, meskipun aku selalu ngotot bahwa namaku Lisamah, bukan babi, onta, apalagi buduk. Barulah aku tahu, bahwa malam setelah itu adalah malam-malam yang begitu baik. Bahwa aku punya nama yang baik. Makanya rumput-rumput jadi sejuk, jalan-jalan jadi sejuk, orang-orang jadi sejuk, juga Mang Oding tukang kacang, Lek Mijo sego angkring, semua memandang heran dan se-juk. Mereka melotot. Lihatlah matanya! Ajaib, “Onta!” katanya. “Apakah betul itu Onta?” Semua kerabat pada ngiri. Aku cuman tersenyum. “Aku bukan onta. Aku sekarang Lisa.... Sekarang panggi-lah namaku dengan benar: Lisa”.

Uh. Pada mulanya aku memang bingung mau jawab apa saat lelaki jin itu bertanya tentang perawan. Tapi pikiran baik selalu tiba-tiba datang. Bahwa aku harus dengan tegas menjawab: sungguh aku se-betulnya tidak perawan. Malahan aku ingin sekali bisa cerita dengan panjang (dan penuh kebanggaan) bahwa aku betul-betul tidak per-awan pada usia lima belas! Bahwa banyak lelaki yang mau (atau per-lukah dibilang tergila-gila? Ah, ndak usah saja). Aku mem-bayangkan diri seperti menjadi perempuan yang pernah menjadi rebutan.

Tapi akhirnya aku hanya cerita tentang Paimin saja. Aku ingin ju-jur saja. Dan ia malah tertawa. Lelaki jin itu memegang tanganku dan bilang: “Saya senang kamu be-gitu. Ha-ha-ha!” Ternyata betul.

Page 15: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Dia lebih senang aku telah berkata jujur.

“Di tempat saya, gadis seumur kamu memang sudah saatnya menentukan pilihan. Saya suka, Lisa. Saya suka.”

“Nama saya Frederick,” katanya menjelaskan. Pe-re-dik? Aneh. Tapi sungguh itu tidak apa-apa, tidak tahu namanya pun pun tidak apa-apa. Lelaki jin itu saja sudah cukup. Tapi dia cerita panjang lebar, tentang asal dia dari negeri yang jauh. Tentang tempat tinggal-nya yang katanya harus menye-berangi lautan. Tapi yang paling penting, bahwa lelaki jin itu memegang tanganku! Samber bledek aku gemetar.

“Maukah kamu pergi menemani saya, Lisa?”

Lisamah. Sekali lagi namaku Lisamah. Sekarang aku menjadi Lisa.

“Untuk sementara, kamu boleh mandi dan tiduran di sini.” Lagi-lagi aku merasa gemetar. Meman-dang sprei bersih, bantal bagus, seumur hidup tak pernah.

“Jadi Predik menginap di hotel sini?” Predik mengangguk lalu tertawa. Ada kamar mandi. Aku, Lisamah, disuruhnya mandi. Biar wangi, katanya. “Pakai han-duk itu, caranya mengeluarkan air begini, yang ini air panas, yang ini dingin, dan ini shampo, dan itu sabun... Gosoklah gigimu supaya bersih!”

“Jadi Predik mandi dan tidur di sini?”

Ia kembali tertawa. Lelaki jin itu sungguh pandai membuatku tidak malu.

“Kamu lucu, Lisa. Tapi kapan-ka-pan saya ingin menginap di tem-patmu.”

Tentu aku kaget: “Di tempatku?”

“Betul. Di tempat kamu mengi-nap.”

“Di alun-alun?”

“Ya. Kapan-kapan. Tapi sekarang tidurlah kamu di sini.”

***

Sumpah Prediklah yang mula-mula bercerita tentang Gusti Sul-tan. Amit-amit, sebetulnya aku tak berani ikut ngomong tentang Gusti Sultan karena itu akan membuat kualat. Katanya, Gusti Sultan membuat jalan corcoran di tengah alun-alun itu pada awalnya baik. Bagus buat nuntun kuda, dan baik buat abdi-abdi dalem serta em-ban-emban setelah gilir sore-sore jalan kaki. Bagus lantaran kalau malam banyak rakyat duduk-duduk mengintip bulan. Boleh pacaran. Boleh bawa anak atau bawa siapa saja. Jalan Agung di tengah kota terlalu sumpek, katanya. Kadang-kadang juga pesing, bacin, dan bau kencing. Sedang sudut alun-alun (yang dulu buat rakyat ngintip bulan) se-belah timur, kini sudah semrawut. Banyak bakul-bakul, penjual ja-gung bakar yang senangnya menggeret-geret, memaksa-maksa. Berkomplot dengan penga-men yang seringnya bikin ribut. Juga makin banyak sepeda motor dan mobil berkeruyukan nyari parkir. Belum lagi banci-banci yang memang liar. Pokoknya makin ndak tenang jika buat jalan klan-genan.

Tentu saja aku bingung, tak tahu apa yang diomongkan Predik. Aku hanya berkali-kali bilang bahwa

Gusti Sultan itu selalu baik. Tak pernah tidak baik. Baik untukku, juga baik buat semua kerabat yang tinggal di sini. Terus terang, aku bi-lang baik karena memang tidak mungkin melupakan kebaikan jalan ini, yang telah memperte-mukan aku dengan Predik! Jika in-gat itu berkali-kali aku ingin nangis. Aku katakan itu pada Predik. Cor-coran yang anget, lam-punya terang, tidak bau got, tidak terganggu sekaligus men-datangkan banyak rezeki.

“Maksudku, Gusti Sultan yang dulu. Pemilik beringin keramat,” tegasku kemudian. “Tapi juga Gusti Sultan yang sekarang.”

“Ah, kamu tidak mengerti Lisa. Bagi saya kedua-duanya sama. Tidak baik.”

“Tidak baik kenapa, Predik? Ke-napa tidak baik?”

“Karena kedua-duanya sama-sama jahat, ha-ha-ha...”

Sekali lagi, aku tak paham maksud Predik. Aku hanya tahu, bahwa se-jak dulu pendapat kerabat semua, tempat macam ini cocok buat tidur dan nyambi. Itu saja. Dan tempat ini, tentu saja semuanya milik Gusti Sultan. Tentang tempat ini, aku bilang sekali lagi: itu sepa-ntasnya, dan memang begitu dari dulu. Para emban, abdi-abdi dalem, atau nyonyah-nyonyah dan tuan; memang semuanya ser-ing datang ke sini. “Mereka dulu paling takut pada beringin di ten-gah itu,” aku menunjuk dengan tegas ke arah tengah alun-alun. “Maka kalau mereka pergi malam-malam ke sini, mereka tidak per-nah berani mendekati beringin mi-lik Gusti Sultan. Mereka takut kualat.”

Page 16: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

“Tapi sekarang sudah tidak lagi,” kataku kemudian. Aku lalu cerita tentang Tinah dan Marsinem (sek-erabatku) yang gara-gara itu ia pernah menyilet banci: ”Tem-patmu di sana bedes elek! Banci-banci jelek! Di pojok alun-alun! Bukan di tembok beringin sini!”. Tentu saja tak ada yang berani pada ancaman mereka. Tinah dan Marsinem memang berbadan kingkong.

“Kenapa Tinah dan Marsinem mengusir banci-banci itu dari tem-bok?” tanya Predik kemudian.

“Tentu saja, karena tembok beringin itu sekarang selalu ramai, terutama jika malam hari. Para priyayi itu sudah tidak takut lagi. Banyak priyayi baru, tidak hanya yang suka pake blangkon saja, tetapi juga orang-orang umum yang pake topi, kaos dan celana jin. Tak ada lagi demit yang kera-mat. Maka dari itulah Tinah dan Marsinem memakainya untuk bek-erja. Mereka tak ingin tempatnya diganggu!”

Akhirnya aku dan Predik tertawa ngakak. Sumpah samber bledek untuk ini aku merasa bangga bisa banyak cerita. Dan aku tidak bisa bohong. Entah, aku juga bingung. Predik, membuatku seperti wanita betulan. Sedikit-sedikit ingin bisa melucu. Sedikit-sedikit ingin juga bisa mikir.

“Ceritakan lagi, apa saja, Lisa. Aku senang kamu bisa lancar bicara.”

“Anu, Predik...”

“Fre-de-ri-ck. Frederick!”

“Ya, Pe-re-dik, Predik,” aku jadi tersenyum. Nyatanya Predik betul gembira. Itulah Predik, membuat aku bangga dan seperti bener-bener pinter: “Kalau dulu beringin

keramat ini hanya menyediakan makanan dari para priyayi tua berblangkon dan perempuan ndoro berkemben setiap malam jumat, tapi sekarang kami bisa mendapat makanan setiap malam! Maksudku, dia sekarang bukan hanya milik priyagung lagi, orang-orang priyayi saja.... Maksudku, em, membuat jalan corcoran itu, benteng tembok beringin itu, me-mang bukan buat mereka. Tapi buat kami. Em, bagaimana ya, aku bingung ngomongnya Predik.“

“Good!” Predik mengacungkan jempol.

“Betul, gud. Tukang mi ayam, abang becak, sego angkring, ker-abat-kerabat, juga semua akhirnya ikut seneng. Kanjeng Gusti Sultan telah berhasil mem-bikin jinak beringin keramat. Hanya Kanjeng Gusti Sultan yang akhirnya bisa mengusir saudara wewe dan kuntilanak hingga kami bisa bebas main di dalam tembok. Hingga tembok ini ramai sampai pagi. Itu sebuah berkah Gusti Sul-tan, maksudku. Itu semua....”

“Main? What... apa itu main? Apa sultanmu juga ikut main?” Predik kembali ngakak.

Aku geli. Predik tak juga mengerti. Maka aku terangkan seperti guru. Aku praktekan dengan gerakan apa yang sering dilakukan Paerah, Salijo, Mursalim, bahkan Inoh dan Ipah saat bekerja di dalam tembok beringin. Kadang bisa sampai dapat lima lelaki, kadang hanya dapat tiga, tapi bisa juga dapat sepuluh. Predik lalu bertanya, apakah Salijo dan Mur-salim itu wanita. Aku jawab laki-laki. Mereka bisa sewa pakaian wanita.

“Jadi kamu yang menyewakan pakaian?”

“Ya, semalam dua ribu.”

“Juga main?”

“Aku pernah mencoba, tapi ndak laku,” menunduk. Betul aku malu. Tapi senang akhirnya Predik mengerti.

“Betul-betul negerimu men-gagumkan!”

***

“Aku ingin dipoto Predik, potolah, ayo!!” Jangankan Partinah, Marsinem, Suparti, Mursalim, bahkan Wak Kontet yang dihor-mati gerombolan pemulung dari daerah utara juga bangga. Senang dan suka. Memuji-muji Predik yang amat baik. Tentu, aku, Lisamah, berbunga-bunga. Betapa nikmat dipandang orang berharga; “Ayo, mana nyonyahnya? Lisa... sini dong! Senyum, naaah begitu dong!”

Setiap Predik datang, selalu mem-bawa alat potret. Entah kenapa Predik amat suka memotret. Predik juga seringkali membawa makanan: membawa sate, mem-bawa apel, membawa anggur. Se-mua gembira. Bahkan Paimin, yang dulu pergi dan membuat kangen, kini sudah kembali non-gol. Dengan bersemangat dan tak malu ia bercerita, bahwa dialah yang pertama kali meniduri Lisa. Tak ada onta. Tak ada babi. “Lisa itu hebat,” katanya.

“Jadi kau pernah tidur di losmen Garuda itu Lisa? Wah...”

“Tempat tidurnya wangi!”

“Mas Predik, sekali-sekali dong ajak Inge.”

“Husy! Jangan ngaco kamu, Inge!”

Page 17: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

“Nyaaaaaaak.”

“Heran ya, padahal kan lebih can-tik Inge...”

“Sssst, bisa kualat kamu. Mang Oding bilang, Lisa itu ketibanan awu ratu.”

Aku hanya ingin menangis atas anugrah itu. Barangkali benar kata semua orang, bahwa Gusti Sultan berkenan maringi pangestu, memberi berkah. Karena aku sudah lama tinggal di sini. Di alun-alun ini. Tidak seperti kebanyakan. Aku merasa terhor-mat. Betapa tempat ini selalu penuh pemandangan yang bagus. Hari demi hari. Bulan demi bulan. Malam selalu baik, dan Predik se-makin betah. Aku pikir, Predik se-makin cinta. Aku pun jadi betul-betul amat cinta. Aku jadi ingin se-lalu bersama Predik. Ingin selalu dipegang Predik. Di dalam rumput. Di dalam tembok beringin. Di atas becak. Di atas jalan corcoran anget.

Predik jadi sering menginap. Ah, kalau saja di sini hanya ada aku berdua sama Predik. Tak ada se-mua orang yang bisa ganggu. Tapi tak apa. Aku percaya sama Inoh, Sulinem, atau kerabat-kerabat se-mua. Tak mungkin mereka bisa merebut Predik.

“Semua kawan-kawanmu baik,” kata Predik. “Aku ingin akrab den-gan semua,” katanya lagi.

“Tapi Predik...”

Ah. Bukankah aku hanyalah Lisamah?

***

Kalau saja Inoh tidak saling cakar dengan Marsinem gara-gara rebu-tan sudut tembok, barangkali tak

ada pikiranku untuk melibatkan becak-becak. Maklum warga se-makin bertambah. Ditambah per-soalan banci-banci yang diusir dari jalan Kapas. Memang banci-banci itu sekarang tak berani lagi berop-erasi di dalam tembok beringin. Kami mengusirnya dengan anca-man yang keras. “Mereka banci asli, punya rumah, dan kaya. Mereka tidak berhak di sini,” begi-tulah kesepakatan yang terjadi.

“Kalau Mursalim misalnya, siang dinas tetapnya ngemis dan malam jadi banci, itu namanya halal. Cari lemburan.”

Yang jadi pokok masalah sebe-tulnya, adalah rombongan pemu-lung pimpinan Wak Kontet. Du-lunya memang mereka hanya numpang kumpulan: pagi-pagi dikumpulkan Wak Kontet untuk nerima uang seribu buat sarapan, dan sorenya kembali kumpul ba-yar Wak Kontet seribu empat ra-tus. Tapi kini, hitung punya hi-tung mereka jadi tertarik cari lem-buran. Menjadi banci jika malam hari, menjadi pemulung jika siang hari. Akhirnya, banyak juga mereka yang pada tidur. Kemu-dian menganggap tembok beringin adalah wilayahnya. Sungguh re-pot.

Bayangkan, dari sepuluh warga yang sah (maksudnya yang asli go-longan kami, sejak kecil memang tinggal di sini) kini jadi tiga puluh. Sedang luas tembok hanya tujuh meter kali tujuh meter. Kalau bermain dengan jarak rapet-rapet, apa mungkin tamu mau. Kecuali mungkin yang kepepet, atau tak tahu malu, atau lagi sekarat lan-taran mabuk. Tapi tamu model be-gitu, bukankah hanya satu dua?

“Mending kalau semua tamu bisa model Mursalim, cukup dengan berdiri. Lha, Inoh dan Ipah con-

tohnya? Mereka kan perempuan asli, harus telentang. Ndak mungkin main sambil berdiri kan?”

“Usaha kita bisa bangkrut!”

Semua lantas menuding Wak Kon-tet. Wak Kontet balas menuding: “Harap sampeyan jangan salahkan aku lho. Aku hanya buka kridit nolong yang susah di sini. Malah gara-gara banyak anggota yang betah, banyak tertarik cari lembu-ran, aku jadi susah. Langganan kridit semakin kurang,” Wak Kon-tet langsung ngotot.

“Bukan begitu Wak Kontet. Sesama kerabat dilarang saling melarang. Kumpulan ini, maksud-nya cari jalan keluar. Bagaimana kalau kita gunakan becak? Kita sewa becak-becak buat main. Dari-pada banyak nongkrong malam-malam, kasian. Aku sudah nem-bung Mas Jalil. Mas Jalil setuju satu kali main dua ribu. Paling banter juga setengah jam ram-pung, kan? Lagian, semua becak punya tedeng hujan. Nah, tedeng hujan itu bisa pake tutup. Biar gak ketahuan. Dari pada gelar di rumput terbuka? Pegalaman kita-kita semua, begitu tamu diajak gelar di rumput, banyak enggak mau.”

***

Sungguh Gusti Sultan milik kami. Puluhan becak yang kami anggap sekerabat karena banyak di-antaranya yang juga tak punya rumah, kini menjadi warga baru. Warga yang baik, karena kami se-mua memang baik. Begitulah jika malam mereka bergerombol di warung sego angkring Pakde Sukir, itu artinya becak mereka sedang main. Pada awalnya amat lucu melihat puluhan becak-becak yang keliatan kosong (tentu saja dengan tedeng tertutup), akan

Page 18: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

tetapi bergerak-gerak. Tapi lama-lama jadi terbiasa. Pernah suatu ketika, becak kosong yang berg-erak itu tiba-tiba nyelonong. Tentu saja dua pemain di dalamnya panik, berteriak mencoba keluar dengan tubuh telanjang. Orang-orang kaget, lantaran becak itu akhirnya jempalit, jungkir. Lha, ya pasti saja jungkir, soalnya tak ada keseimbangan kalo orang yang ada di dalamnya keluar tiba-tiba. Pakde Sukir bilang, becak itu pasti didorong kuntilanak. Tapi aku tidak setuju. Aku bilang, sudah lama kuntilanak tidak lagi betah tinggal di sekitar tembok beringin. Kuntilanak sudah diusir Gusti Sul-tan. “Tapi kenapa becak itu nyelo-nong tiba-tiba?” katanya. Aku jawab: “Mungkin kita harus meng-ganjal becak-becak itu dengan batu. Sebelum becak dipake main.” Lalu semua setuju. Bahkan Mas Jalil mengikat roda be-lakangnya pada sebuah patok. Se-jak itu, tak lagi ada kejadian aneh yang menimpa para pemain. Se-mua aman.

Kecuali Predik. Ya, hatiku semakin tidak aman semenjak predik men-jadi akrab pada semua kerabat. Ketika pikiran tentang becak dike-tahui Predik, lelaki jin itu masih amat mesra menepuk-nepuk pun-dakku sambil bilang, “Kamu me-mang pintar, Lisa. Aku suka kamu pintar.” Dan Predik pun makin akrab dengan tukang-tukang be-cak. Makin sering kelayapan. Makin jarang mengajak jalan.

***

Tiga puluh entah kerabat untuk seorang laki-laki, apakah mungkin? Mulanya aku senang. Suka. Gembira. Predik seperti priyagung kekaguman, tidak jijikan dan nyinyir. Semalam dua malam. Sebulan dua bulan. Dua tahun? Aku tunjukkan dengan

bangga semuanya tentang kita-kita, kerabat-kerabat, semua: ke-biasaan, cara omong-omong, harga, juga tentu para langganan. Sedang aku sudah merasa betul jadi wanita. Cor-coran masih anget, lampu jalan yang meredup dalam tebaran becak-becak sewaan, berpencar-pencar semakin subuh semakin gelap.

Pada mulanya aku juga paling suka melihat bayangan Predik melintas-lintas. Tertawa-tawa. Kadang berdiri di tembok. Kadang lenyap di balik tedeng. Aku senang dan percaya. Lama. Tapi lama-lama, ah lama sekali, aku ge-lisah.Cerita Mak Jamilah tukang pi-jat, yang juga kerabat kami, mem-buat aku takut. Mak Jamilah bi-lang: “Suamimu kini jadi rebutan. Tadi malam aku lihat, suamimu mencoba main di dalam becak. Bersama Mursalim.”

Suami? Duh.

“Kamu pucat, Lisa.”

Aku diam. Aku melihat Mak Jami-lah curiga. “Apakah kamu sakit, Lisa?”

Dua tahun tak terasa, dan kini usi-aku sudah sembilan belas. Se-mestinya aku menganggap hal itu adalah biasa. Semenjak kecil, aku, Lisamah, tak pernah memiliki apa pun. Bahkan tak pernah memiliki kemarahan, kecuali saat usia lima belas saat keperawanan milik pal-ing sial dihina. Tapi kini, kenapa mendadak merasa marah? Men-dadak ingin menangis. Mendadak ingin pergi.

Aku tidak tahu harus bagaimana. Hingga suatu malam aku mem-beranikan diri bertanya: “Apakah engkau cinta Inoh dan Nursalim, Predik?”

Predik mengangguk. “Saya menc-intai mereka semua. Semua yang tinggal di sini.”

Predik lantas tertawa. Menggenggam tangan dan ber-jalan. Menunjuk lampu, jalan, gedung-gedung, dan rumah: ”Li-hat keraton itu Lisa. Begitu besar dan megah. Semua yang tinggal di sana, pasti bahagia Tapi di sini orang-orang juga bahagia. Kau tahu arti nrimo? Itulah yang dikatakan Sultan supaya kalian ba-hagia. Itulah yang lantas dikatakan Inoh. Itulah yang juga dikatakan Nursalim. Mungkin itu pulalah yang kemudian dikatakan semua. Saya ngeri. Saya tidak seperti kamu, tapi saya tak pernah bisa tertawa seperti ini. Di negeri yang jauh, saya punya rumah, punya pekerjaan, punya kehidupan; tapi tidak seperti di sini. Di negeri saya yang jauh, orang-orang semacam kamu pasti sudah bunuh diri! Pasti....” Predik terus nyerocos. Samber bledek aku tak paham. Ke-napa Predik bilang seperti itu? Ke-napa Predik bilang mencintai se-mua? Apakah mungkin Predik juga bermain dengan mereka semua, tiga puluh entah lelaki dan perem-puan? Ingat bayangan itu, aku tiba-tiba menjadi pusing. Tapi sia-pakah aku? Aku hanyalah Lisamah.

“Kenapa Lisa? Kamu terlihat pu-cat.”

Aku diam. Aku sebetulnya ingin bi-lang bahwa aku sakit. Tapi aku takut.

“Katakan Lisa. Apa kamu mau ngomong sama saya?”

“Tidak,” aku menggeleng.

Akhir-akhir aku memang sakit. Takut. Aku benci mereka: Marsi-nah, Inoh, Painah, Sulijo, —se-muanya. Makanya aku pilih ting-

Page 19: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

gal di jalan. Menunggu Predik pergi. Dan seperti wanita-wanita yang pernah kulihat, aku pun mencoba menangis. Mengeluar-kan air mata. Pada usia sembilan belas itulah aku sungguh-sung-guh bisa menangis. Aku nyaris tak percaya. Hingga suatu pagi yang tak baik Predik menderita gila dan mengajakku pergi ke penginapan. Kemudian di sanalah ia bilang den-gan mulut paling buruk: “Lisa, saya mau bilang terima kasih. Seluruh ceritamu, serta pengalaman bersama orang-orang di tem-patmu sungguh amat berharga. Kini sudah saatnya saya pulang. Saya akan tulis sebuah laporan yang amat penting. Bagi saya, dan

terutama bagi negeri saya. Saya harus segera pergi.”

Samber bledek! Demit gundul! "Pergi lapor? Jadi kamu mau pergi lapor, melaporkan aku? Pada siapa? Heh?! Jadi kamu sebetulnya temen pulisi?" Aku kaget dan pu-tus asa. Pucat. Tak dinyana. Lalu lelaki jin itu malah menggeleng tertawa.

"Ah, kamu tidak mengerti, Lisa, kamu tidak...."

"Kamu sudah pake aku, pake Inoh, pake Mursalim, pake semua. Se-mua! Semua, uh-uh.... Jadi kamu

sebetulnya siapa? Kamu musti ngaku! Kamu...."

"Dengar Lisa!"

Demit bau! Apakah yang aku ngerti? Mulut Predik nyerocos. Terus nyerocos. Busuk dan gila. Aku bisa meradang. Aku hanyalah Lisamah, bukan Lisa, bukan wanita. Aku benci: “Pergilah, bangsat! Lelaki busuk! Ke neraka!!” aku sakit. Aku sungguh-sungguh sakit. Aku makin tak suka mereka semua: Marsinah, Inoh, Painah, Sulijo, —semuanya. Aku ingin ngamuk. Ingin membunuh. Dan ingin mati.

Sumber: Horison Online, Mei 2011

Puisi

Page 20: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Pisau yang TakutKarya Adri Sandra

matanya mencari, daging yang tersembunyi; betapa harumbau darah di balik kulit, deras men-galirantara urat dan tulang, denyut panas-nya di pembuluh nadi

"betapa tajam matamu, berkilat dis-orot lampu!"dan pisau itu menggeliat, meraba-raba dinding malamtapi di balik beton yang tebal, aku mengintipdari celah lubang-lubang angin dan pori-pori hari yang berkeringat

"jangan! leher ini menyatukan kepala dengan badanjangan pisahkan ajal dengan kema-tian!"mata pisau itu berkedip; bau mautmenggigil di kedua lutut

seketika kugambarkan bayang-bayang peperanganbom, peluru kendali, laras-laras pistolmata pisau itu terpejam, mulutnya mengigau risau"ah, dunia begitu tolol!"

dan di arus zamanpisau hilang keberanianmuram dalam ketakutan.

Dangau, 2011

Sumber: Horison Online, 2011

Isak HujanKarya Adam Gottar Pirre

Ia berdiri menunggu dekat vas bungahanya berdiritanpa kata-kataditatapnya kelopak-kelopkak ungudengan mata berkedipmenangiskah?jangan ditanyabibirnya tak akan menjawabtapi lihatlah bulu matanyadan butir-butir kristal yang tergantungdi ujung bulu matanyapada tangis yang hendak pecahtapi selalu ditahannya dalamlipatan bibiria tak ingin sedu-sedan memaknaidukanya yang dalam

Sumber: Horison Online, 2011

Kabar Jalan Menuju Is-tanaKarya Yogi S. Memeth

dengan mengendarai anginorang – orang mengepung istana.istana yang menyulut resahberjelaga terpukat laba – laba orang – orang bermulut api melempar kobar menuju istanasepuluh ribu penjaga bersenapan – mobil bajamembentang kawat duri lima ratus meter langkah – dindingnya api – api menyala – nyala membum-bungtinggikemudian menghujat deras istana“kita musti membersihkan kerikil api”sabdamu pada seratus perajurit bernama Winedalam wajah kehilangan ruh,setelah hujan pertama--seratus api jelma babiseruduk dada Wine kanan – kiri dan kabar dari jalan menuju istanaseratus api berpendardalam mabuk onani

Sumber: Horison Online, 2011

Sastra Melayu KlasikHikayat Patani

Page 21: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Bismillahirrahmanirrahiim. Wabihi nastainu,biIlahi al a’la.

Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri Patani Darussalam itu.

Adapun raja di Kota Maligai itu na-manya Paya Tu Kerub Mahajana. Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Ma-hajana pun matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kera-jaanlah menggantikan ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa.

Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia pergi berburu. Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala menteri pe-gawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda: “Aku dengar khabarnya perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon.”

Maka sembah segala menteri: “Daulat Tuanku,sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar pun demikian juga.”

Maka titah Paya Tu Naqpa: “Jikalau demikian kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu.”

Maka sembah segala menteri hu-lubalangnya:”Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung.”

Arkian setelah datanglah pada keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala menteri hulubalangnya diiringkan

oleh rakyat sekalian. Setelah sam-pai pada tempat berburu itu, maka sekalian rakyat pun berhen-tilah dan kemahpun didirikan oranglah. Maka baginda pun tu-runlah dari atas gajahnya se-mayam didalam kemah dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian. Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa itu. Hatta setelah orang itu datang menghadap baginda maka sembahnya: “Daulat Tuanku, pada hutan sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya.”

Maka titah baginda: “Baiklah esok pagi-pagi kita berburu”

Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka segala rakyatpun masuklah ke dalam hutan itu men-galan-alan segala perburuan itu dari pagi-pagi hingga datang men-gelincir matahari, seekor perbu-ruan tiada diperoleh. Maka baginda pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda sendiri itu. Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta ada sekira-kira dua jam lamanya maka berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing itu. Setelah baginda datang kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah dengan segala orang yang menu-rut anjing itu. Maka titah baginda:”Apa yang disalak oleh anjing itu?”

Maka sembah mereka sekalian itu: “Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna tubuhnya gilang gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun lenyaplah pada pantai ini.”

Setelah baginda mendengar sem-bah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan kepada tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini duduk merawa dan men-jerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya.

Maka hamba raja itu pun menjun-jungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang tua itu: “Daulat Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada ke-bawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke Ayutia, maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu. Setelah Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini.”

Maka titah baginda: “Apa nama engkau?”

Maka sembah orang tua itu: “Nama patik Encik Tani.”

Setelah sudah baginda mendengar sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu baginda pun berbicara dengan segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada tem-pat pelanduk putih itu. Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyu-ruh orang mudik ke Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu. Setelah sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masing-masing dengan ketumbukannya, maka baginda

Page 22: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

pun berangkat kembali ke Kota Maligai.

Hatta antara dua bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir duduk pada negeri yang diperbuat

itu, dan negeri itu pun dinamakan-nya Patani Darussalam (negeri yang sejahtera). Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya itu) pada Pintu Gajah ke hulu Jam-batan Kedi, (itulah.Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik tu-

run merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu mengikut nama orang yang merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut sembah orang men-gatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.

Sumber: Hikayat Seribu Satu Malam

Hikayat Si Miskin

Karena kutukan Batara In-dra, raja keindraan beserta istrinya jatuh miskin, melarat, dan ter-lunta-lunta di kerajaan Antah Be-

rantahyang diperintah oleh Ma-haraja Indra Dewa. Setiap hari si miskin mencari sisa makanan yang sudah dibuang orang di tempat –

tempat sampah. Apabila pen-duduk melihatnya , mereka bera-mai-ramai menghina,memukul, dan mengusis si miskin suami istri

Page 23: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

itu, sehingga badannya luka-luka. Sedih hati si miskin sepanjang hari dan tidak berani masuk kampong karena takut di pukul atau dilem-pari batu. Diambilnya daun-daun muda untuk di makan dan untuk pengobat luka di tubuhnya. Demikian pengalaman dan pen-deritaan mereka sepanjang hari.

Ketika mengandung 3 bu-lan , istrinya mengidamkan buah mempelam ( sejenis mangga ) yang tumbuh di halaman istana raja. Dimintanya agar suaminya ( si miskin ) meminta buah mempelam itu kepada raja. Mendekat kam-pong saja suaminya tidak berani, apalagi hendak menghadap raja minta buah mempelam itu. Den-gan sedih dan meratap istrinya memohon supaya suaminya mau meminta mempelam raja itu. Karena kasihan kepada istrinya si miskin mencoba meminta mem-pelam itu.

Tiada disangka-sangka , raja sangat bermurah hati dan member kan mempelam yang diminta si miskin. Buah lain seperti nangka pun di beri raja. Penduduk kampong yang melihatnya jatuh kasihan dan bermurah hati mem-ber si miskin kue dan juadah 9 kue basah ) mungkin berkat tuah anak yang dikandung istrinya juga hal yang demikian itu terjadi.

Pada hari baik , setelah cukup bulanya , istri si miskin melahirkan seorang putra yang sangat elok parasnya , anak itu di beri nama Marakemah yang artinya anak dalam penderitaan.

Ketika si miskin menggali tanah untuk memancangkan tiang atap tempat berteduh , tergali olehnya taju ( tapi mahkota ) yang penuh berhias emas . dengan ke-hendak yang maha kuasa , terjadi-lah lengkap dengan alat , pe-

gawainya , pengawal dan seba-gainya ditempat itu. Si miskin menjadi rajanya dengan nama Ma-haraja Indra Angkasa dan istrinya menjadi permaisuri dengan nama Ratna Dewi. Kerajaan itu mereka namakan Puspa Asri .

Kerajaan puspa asri terke-nal kemana-mana. Pemerinta-hanya baik, rakyatnya aman, damai, makmur, dan sentosa. Tiada lama kemudian lahirlah pula adik Marakemah yang di beri nama Nila Kesuma. Bertambah mashurlah kerajaan puspa sari dan bertambah pula iri hati Maharaja Entah Berantah.

Kemudian tersiar kabar , Maharaja Indra Angkasa mencari ahli nujum untuk mengetahui pe-runtungan kedua anaknya kelak. Kesempatan ini di pergunakan Ma-haraja Indra Dewa . semua ahli nu-jum dikumpulkan dan dihasutnya supaya mengatakan kepada Indra Angkasa bahwa Marakemah dan Nila Kesuma akan mendatangkan mala petaka dan akan menghan-curkan kerajaan puspa Asri . se-mua ahli nujum mengatakan seperti yang di hasutkan oleh Ma-haraja Indra Dewa.

Mendengar kata-kata ahli nujum itu sangatlah murka Ma-haraja Indra Angkasa .maraakemah dan adiknya hendak di bunuhnya, per-mai suri Ratna Dewi menagis tersedu-sedu, memelas, dan mem-ohon pada suaminya supaya ke-dua putranya jangan dibunuh . ia tak tahan lagi melihat ke dua anaknya di perlakukan demikian. Dimohonnya kepada suaminya su-paya di biarkan saja kemana perginya mereka. Sambil di sepak dan di terjang, pergilah ke dua anak iti mengembara tanpa tu-juan. Sesaat setelah mereka pergi

kerajaan Puspa Sari terbakan habis, semuanya musnah.

Sampai dikaki bukit berte-duhlah Marakemah dengan adiknya Nila Kesuma, dibawah se-batang pohon dalam keadaan la-par tertangkaplah seekor burung yang sedang hinggap di dekatnya. Karena lapar, mereka hendak memakan burung itu dan berusaha hendak memasaknya lebih dahulu. Datanglah mereka ke pondok seorang petani hendak minta api untuk membakar burung itu. Tiba-tiba mereka ditangkap petani karena di tuduh hendak mencuri . keduanya dilemparkan ke laut dan di terjang ombak ke-sana kemari. Nila Kesuma akhirnya terdampar di pantai dan di temukan oleh raja Mengindra Sari, putra mahkota kerajaan pal-inggam cahaya. Nila Kesuma di bawa ke istana , kemudian di per-sunting raja Mengindra Sari, men-jadi permaisuri dengan gelar putri mayang mengurai.

Marakemah di bawa arus dan terdampar di pangkalan ( tem-pat mandi di pantai ) nenek ger-gasi ( raksasa tua . kemudian dia di ambil dan di masukkan dalam kurungan di rumahnya . kebetulan di situ telah di kurung pula putri Raja Cina bernama Cahaya Khairani yang tertangkap lebih dahulu. Mereka ini akan dijadikan santapan sang gergasi.

Sebuah kapal besar menghampiri perahu mereka dan mereka ditangkap lalu dimasukkan ke kapal. Nahkoda kapal jatuh cinta kepada Cahaya Khirani . ca-haya Khirani di paksa masuk ke dalam kmar , sedangkan marakemah di buang ke laut.

Dalam keadaan terapung-apung . setelah kapal berlayar juh, ,Marakemaah di telan seekor

Page 24: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

ikan nun ( ikan ynag sangat besar. Ikan itu terdampar di pangkalan nenek kabayan. Seekor burung ra-jawali terbang diatas pundak nenek kabayan dia emberi tahu supaya perut ikan nun yang ter-dampar dipantai itu di toreh ( di buka ) hati-hati., karena di dalam-nya ada seorang anak raja . petunjuk burung itu diikuti nenek kabayan dan setelah perut ikan nun dibuka keluarlah Marakemah dari dalamnya mereka sama-sama senang dan gembira . lebih- neek kabayan yang mendapatkan seo-rang putra yang baik budibya.

Marakemah tinggal di rumah nenek kabayan dan sehari hari turut membantu membuat karangan bunga untuk dijal dan dikirim ke negeri lain.dan cerita nenek kabayan tahulah Marakemah . bahwa permaisuri kerajaan tempat tinggal mereka bernama mayang mengurai yang

tidak lain dari pada seorang putrid yang di buang ke laut oleh seorang [etani ketika hendk mencari api untuk membakar seekor burung bersama kakaknya . yakinlah Marakemah bahwa putrid itu sesungguhnya adiknya sendiri.

Kebetulan Cahaya Khairani maupun Mayang Mengurai sangat menyukai karangan nenek yang sebenarnya marahkemalah yang mengarangnya. Pada suatu ketika dicantumkanya namanya dalam karangan bunga itu. Dari mana itu Cahaya Khirani dan Nila Kusuma mengetahui bahwa marekamah masih hidup. Bertambah dalam cinya Cahaya Khirani kepada kekasihnya. Demikian juga Nila ke-suma beserta suaminya , berke-mauan keras untuk segera men-cari kakaknya yaitu marakemah kerumah nenek kabayan itu.

Betapa gembira mereka atas pertemuan itu tak dapat dibayangkan dengan mudah pula marakemah bersama iparnya Raja Palinggap Cahyo dapat mene-mukan tempat cahaya khirani dis-embunyikan oleh nahkoda kapal. Setelah cahaya khirani ditemukan dan ternyata ia belum ternoda oleh nahkoda , maka dilang-sunhkanlah pernikahan antara marakemah dengan cahaya khi-rani . dan nahkoda yang meng-goda cahaya kirani di bunuh di kerajaan palinggan cahaya.

Marakemah bersama ca-haya kirani kemudian pergi ke tempat ayah – bundanya yang telah jatuh ,iskin di Puspa Sari yang telah lenyap dengan isinya di daratan tinju maya, mercu indra kemudian ia dinobatkan di sana menggantikan orangtuanya.

(Sumber: Peristiwa Sastra Melayu Lama)

GurindamOleh: Raja Ali Haji

Pasal Pertama (1)

Barang siapa tiada memegang agama. Segala-gala tiada boleh dibilang nama. Barang siapa mengenal yang em-pat. Maka yaitulah orang yang ma’rifat. Barang siapa mengenal. AllahSuruh dan tegaknya tiada ia menyalah

Page 25: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Barang siapa mengenal diri. Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri. Barang siapa mengenal dunia. Tahu-lah ia barang yang terpedaya. Barang siapa mengenal akhirat. Tahulah ia dunia mudharat

Pasal Kedua (2)

Barang siapa mengenal yang tersebut. Tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang. Seperti rumah tiada bertiang.

Barang siapa meninggalkan puasa. Tidaklah mendapat dua termasa. Barang siapa meninggalkan zakat. Tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji. Tiadalah ia menyempurnakan janji.

Cuplikan Naskah Drama

Judul: Bunga Rumah MakanKarya Utuy Tatang Sontani

Panggung merupakan ruangan rumah makan, dialati oleh tiga stel kursi untuk tamu, lemari tempat minuman, rak kaca tempat kue, meja tulis beserta telepon, radio dan lemari. Pintu masuk ada di belakang dan pintu keluar ada di depan sebelah kiri.

(Adegan 3)

Page 26: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Ani : (ke belakang sambil menyanyi kecil).Pengemis : (masuk pelahan-lahan dengan kaki pincang, setelah di dalam, melihat ke kiri-ke kanan, ke rak

tempat kue-kue, kemudian menuju rak itu dengan langkah biasa, tangannya membuka tutup stopples hendak mengambil kue).

Ani : (tampil dari belakang) Hai!Pengemis : (cepat menarik tangannya).Ani : Engkau mau mencuri, ya?Pengemis : (menundukkan kepala).Ani : Hampir tiap engkau datang di sini, engkau kuberi uang.Tak nyana, kalau sekarang berani da-

tang di sini dengan maksud mencuri.Pengemis : Ampun, Nona, ampun.Ani : Mau sekali lagi kau mencuri?Pengemis : Saya tak akan mencuri bila saya punya uang.Ani : Bohong!Pengemis : Betul, Nona, sejak kemarin saya belum makan.Ani : Mau bersumpah, bahwa engkau tak hendak mencuri lagi?Pengemis : Demi Allah, saya tak akan mencuri lagi, Nona. Asal...Ani : Tidak. Aku tidak akan memberi lagi uang padamu.Pengemis : (sedih) Ah, Nona, kasihanilah saya.Ani : Tapi mengapa tadi mau mencuri?Pengemis : (sedih) Tidak, Nona, saya tidak akan sekali lagi. Dan saya sudah bersumpah. Ya, saya sudah

bersumpah.Ani : (mengambil uang dari laci meja) Awas, kalau sekali lagi engkau mencuri!

(Adegan 4)

Pengemis : (masuk menjinjing tas kulit, melihat kepada pengemis)Sudarma : Mengapa kau ada di sini? Ayo, keluar.Pengemis : (diam menundukkan kepala).Sudarma : (kepada Ani) Mengapa dia dibiarkan masuk, An?Ani : Hendak saya beri uang.Sudarma : Tak perlu. Pemalas biar mati kelaparan. Padahal dia datang di sini mengotorkan tempat

semataAni : (memberi uang kepada pengemis) Nih. Lekas pergi.Pengemis : Terima kasih, Nona. Moga-moga Nona panjang umur.Sudarma : Lekas pergi dan jangan datang lagi di sini.Pengemis : (pergi keluar dengan kaki pincang).Sudarma : Lain kali orang begitu usir saja, An. Jangan rumah makan kita dikotorinya. (dengan suara lain)

Tak ada yang menanyakan daku?Ani : Ada, tapi entah dari mana, sebab Karnaen-lah yang menerima teleponnya tadi.Sudarma : Anakku sudah biasa lalai. Barusan dia ketemu di jalan, tapi tidak mengatakan apa-apa.

(mengangkat telepon) Sembilan delapan tiga.Ani : (membersihkan kursi).Sudarma : (kepada Ani) Meja ini masih kotor, An.Ani : (membersihkan meja).Sudarma : (dengan telepon) Tuan kepala ada? -Baik, baik.- Waaah, kalau sudah banyak uangnya, lama

tidak kedengaran suaranya, ya? - ya? -Ini Sudarma, bung. - Ha, ha, ha, betul, betul. - Biasa saja, menghilang sebentar untuk kembali berganti dulu. - (tertawa) - Tapi, bung, bagaimana tentang kanteb yang dijanjikan itu? - Ah, ya? - Bagus, bagus, lebih cepat lebih nikmat. - ya, ya, sebentar

Page 27: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

ini juga saya datang. -Baik, baik. (telepon diletakkan; kepada Ani) Aku hendak pergi ke kantor pertemuan. Kalau ada yang menanyakan, baik perantaraan telepon atau datang, tanyakan keperluannya, lalu kau catat, ya An? (melangkah).

Ani : Ya.Sudarma : Eh, jika nanti Usman datang di sini, suruh menyusul saja ke kantor pertemuan. Dan engkau

jangan bepergian.

Sumber: Horison, Kitab Nukilan Drama, 2002

Judul: Rama BargawaKarya D. Jayakusuma

(Adegan XXV)

(Pentas belakang terang, muncul Petruk, Gareng, dan Bagong)Petruk : Menurut Semar yang maha tahu segera datang seorang tamu.Gareng : Pedagang atau bangsawan?Bagong : Katanya anak pendeta ex raja.Petruk : Yang bekas raja itu pendeta atau anaknya?Bagong : Anak jadi raja, pendetanya jadi ex.Gareng : Kalau mendengar yang gamblang, kalau bicara yang terang.Bagong : Aku ini bicara tegas, sebab itu pasti jelas, tegasnya aku sendiri tidak jelas.Petruk : Siapa yang ex raja, atau ex pendeta, atau ex anak tidak penting, yang penting kita harus menerimanya,

kita dijadikan protokol. Kita kol bersaudara. Semar jadi dongkol.Gareng : Memang aku antikol. Aku pro kangkung, ditambah hidung, ditambah petis yang agak manis ............

Page 28: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Petruk : Jangan main-main. Amanat orangtua. Supaya tamu merasa dihormati, yang menerima harus setaraf dengan dia. Kalau dia bangsawan, kita juga bangsawan.

Bagong : Cocok. Aku komedi bangsawan. Aku jin Afried: La, la....

Gareng : Ya, Pangeran Ommelet. Pangeran sudah adu jangkrik?Bagong : Aku kok tidak ditanya?Petruk : Bagaimana Tuanku Baron Bagong?Bagong : Baik-baik. Terima kasih, Pangeran Pailit. Namaku Baron Bagong de Bawor.

(Adegan XXVI)

(Bergawa datang)Gareng : Ah, tamu kita datang. Selamat datang! Saudara ini raja atau tukang kayu?Bergawa : Saya Rama Bergawa alias Rama Parasu.Petruk : Tambah Seri Paduka.Bergawa : Maaf Tambah Seri Paduka.

(Pada Petruk). Ini raja?Gareng : Berapa kali sudah menghina. Tapi tidak apa. Ini cuma sandiwara.

Saya raja negeri kurang tahu, darahku biru, buat transfusi tidak laku.Bergawa : Maaf, Seri Paduka mengapa pincang?Gareng : Pincang? Masalah gampang. Sebentar mengarang. Ini garagara kerang. Waktu ibu saya mengandung.Bagong : Mengandung!Gareng : Supaya yang diam, Baron.

Waktu ibuku mengandung waking tabu... waking wang?Bergawa : Apa itu waking wang? Gareng : Sorry. Tidak kenal bahasa Kawi?

Maksudnya badannya saya. Dia iseng makang kerang di restoran ngangkang ....Bergawa : Pantas, Seri Paduka seperti kerang.Gareng : Ya, kerang. Perlu kerang? Berapa kilo?Bergawa : Terima kasih, lain kali. Ini yang bundar?Bagong : Perkenalkan! Saya Baron Bagong de Bawor de Belangsetan, keturunan kesepuluh dari maharaja diraja,

keturunan raja disinga, tanpa di. Mengapa bundar? Terlalu banyak obat dan gas. Sebentar lagi aku akan melayang seperti balon; ngalor, ngidul, ngetan, kembali kulon. Mau kelon?

Gareng : Sudah tolol adu okol. Kita harus raja, pangeran, dan baron.Petruk : Betul. Sekarang bagi-bagi titel.

Kang Gareng yang tua jadi raja. Aku jadi pangeran.Bagong : Setuju. Aku jadi Baron de Bagong. Lha, Pak Semar jadi apa?Petruk : Dia mestinya, ya, jadi kaisar.Bagong : Cocok. Semar mbokne Parto.Gareng : Mbokne Parto bagaimana?Bagong : Itu yang selalu garuk-garuk perutnya. Orang kecil.Petruk : O, Bonaparte. Nah, itu orangnya datang. Awas! (Pada Gareng). Seri Paduka apa sudah mandi pagi ini?Gareng : Sudah Pangeran. (Berbisik). Siapa namamu? Sudah tiga kali.Petruk : (Berbisik). Panggil aku Ommelet.Bergawa : Sangat mengagumkan. Dan tuan panjang ini?Petruk : Pangeran. Pangeran pengkalan bambu bambungan– Satria 100 persen. Boleh ditawar.Bagong : 75 persen.Gareng : 25 persen.Petruk : 50 persen. Jadi? Jadi. 50 persen.

Nah, Grap Barbara ....Bergawa : Rama Bergawa alias Rama Paras.Petruk : Baik Rama Bergawa, hari ini kau, kami angkat jadi Grap Parabagawa di Barbasu de Bakso. Grap tentu

Page 29: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

ingin audiensi menghadap seri paduka yang mulya lagi bijak bestari asmara terpendam di keranjang sampah.

Bergawa : Kalian ini bangsawan atau badutbadut yang tidak lucu?

(Adegan XXVII)

(Semar datang sambil tertawa terkekeh-kekeh).Semar : Maafkan saya, anak-anak saya. Memang agak kurang ajar, walau sudah berkali-kali dihajar tanpa bayar.

Saya ini Semar, budak biasa, budaknya Prabu Rama saja, tidak pakai embel-embel.Bergawa : Jadi namanya Rama– saja tidak pakai embel-embel.Semar : Maksud saya Rama saja, thok, doang. Dia bukan Rama Barbawa-bawa.Petruk : Juga bukan Bar ngangsu di kali baru.Gareng : Bukan pula Bar ngawur di kali tawur.Bagong : Juga bukan Bar Bir di tempat parkir.Semar : Sudah siap menghadap majikan saya?Bergawa : Lekas bawa dia kemari.Gareng : Jangan omong asal omong.Petruk : Salah omong bisa monyong.Bagong : Sekali monyong minta lontong.Bergawa : Sekali lontong.... gila. Biar aku ke sana.Semar : Tunggu saja di sini dengan sabar.

(Adegan XXVIII)

Semar pergi.Gareng : Dan jangan berani kurang ajar.Petruk : Lebih baik berdamai, kompromi.Bagong : Tapi bayar uang administrasi. Uang semir juga jadi. Mau plesir? Aku ladeni.Bergawa : Bawa dia lekas kemari. (Bargawa mengangkat kapaknya. Gareng, Petruk dan Bagong memasang kuda-

kuda pendak, bokser, dan gulat).

(Adegan XXIX)

(Rama Wijaya diantar Semar. Rama Wijaya tidak membawa senjata).Rama Wijaya : Kamu sekalian, pergi.Gareng : Yang hati-hati.Petruk : Harus ada saksi.Rama Wijaya : Sudahlah, pergi sana!Bagong : Sisa makanan masih ada?Semar : Masih banyak, ayo!

(Semar dan anak-anaknya pergi. Tinggal Rama Wijaya dan Rama Bergawa berhadapan).

(Adegan XXX)

(Rama Wijaya dan Rama Bergawa berhadapan).Rama Wijaya : Sama awalnya, lami akhirnya sama namanya, lami gelarnya semoga dewa melindungimu sehat-sehat di

hadapanku?Rama Bergawa : Terima kasih atas sambutanmu sudah lama aku ingin bertemu dengan orang menyamai namaku.Rama Wijaya : Aku senang berjumpa muka dengan Bergawa Parasu Rama begitu tersohor di dunia.Rama Bergawa : Kita berjumpa mengadu senjata mengapa datang bertangan hampa?Rama Wijaya : Kau datang hendak membunuh aku datang menerima tamu seperti galibnya tuan rumah terhadap

tetamu harus ramah. Kau datang mencabut nyawa aku serahkan dengan rela.(Rama Wijaya berlutut di depan Rama Bergawa, mengalungkan lehernya).

Rama Bergawa : Ini bukan keramahan tapi jelas penghinaan.

Page 30: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Rama Wijaya : Aku bermaksud tidak melawan karenanya aku hampa tangan. Aku sadar dosaku sangat banyak sudah layak jadi sasaran kapak atau Bargawastra yang sakti akan mengantar aku kembali ke asalku yang sejati.(Rama Wijaya menung, kemudian ia kembali tegak, sedang Rama Bergawa terdiam).

Rama Wijaya : Dunia tabu akan hasratmu menggantikan Yamadipati.Penuhi hasratmu jangan ragu masih banyak tugasmu menanti.(Bergawa ayunkan kapak. Rama mengelak. Kapak mengenai tanah, tangkainya patah jadi dua, Bergawa heran). Jumlah satria tak terbilang jangan biarkan waktu terbuang.Kau mau bersihkan dunia lakukanlah dengan segera. (Bergawa memasang tali pada busur. Mendadak tali putus. Dengan kesal busur dilempar ke tanah).Mengapa tanggalkan senjata? Badanmu kuat sentausa tanganmu berotot baja cukup dengan mencekiksaja.

Chorus: Rama Bergawa diam membisu menyadari tindakannya keliru.Ia ingin bersihkan dunia dari satria murang tata.SoloTiap apa dilakukannya?Tiap satria dibunuhnya bahkan juga perempuan dan bayi dalam kandungan.

Rama Wijaya : Tugasmu belum selesai belum terdengar lonceng usai masih banyak satria berkelana tak terbilang ke turunannya. Angkat senjata bunuh semua bunuh aku dan dirimu karena kau laki-laki dan satria lagi. Baru sesudah tiada lagi seorang insan di dunia ini boleh kau tanggalkan senjata boleh kau menepuk dada telah terpenuhi sumpahmu keji.(Rama Bergawa bertekuk lutut di hadapan Rama Wijaya. Cahaya dipusatkan pada kedua tokoh itu).

ChorusAnak satria adalah satria tapi satria dan satria ada berbeda.SoloPerbuatan, perbuatan itulah nilai dan ukuran.Maunya membersihkan dunia nyatanya ia mengotorinya.Chorus Bila dipimpin benci dan dendam pandangan tajam menjadi buram hati nurani tenggelam dalam.

Sumber: Horison, Kitab Nukilan Drama

Judul: SudahKarya Darto Temala

Pentas menggambarkan sebuah kebun, halaman belakang gedung perpustakaan suatu SMA. Di tengah terdapat bangku panjang, tempat duduk yang terbuat dari semen. Bagian depan sebelah kanan terdapat bak air kecil yang tak ada airnya dan bisa untuk duduk. Ada beberapa tanaman bunga dan pot bunga ada di situ.

Latar belakangnya gedung perpustakaan.

Yusrina : (Sedang tekun membaca buku catatan, belajar. Tas, buku ada di sisinya, di bangku tersebut. Setelah terdengar bel, beberapa saat berlalu dalam sepi)

Igun : (Masuk dari kiri) Sudah lama?Yusrina : (Acuh tak acuh) Sudah!

Page 31: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Igun : (Duduk di sampingnya) Tentu saja. Tadi kau tidak ikut pelajaran yang keenam. (Membuka buku cata tan). Pak Hadi tadi juga menanyakan kamu. Lalu, teman teman menjawab sekenanya. Kau pulang lantaran sakit perut. (Pause) Jam keenam sudah lewat?

Yusrina : (Sambil membaca) Sudah!Igun : Terang sudah. (Pause) Hmmmmm, sekarang jam pelajaran ketujuh. Jam kedelapan ulangan Fisika, jadi

masih ada waktu untuk belajar.... (Melihat jam tangan) Tiga puluh tujuh menit. Kau sudah belajar tadi malam?

Yusrina : (Sambil membaca) Sudah!Igun : Aku juga tahu, tapi cuma sepintas lalu saja. O, ya, soal-soal minggu kemarin sudah kau kerjakan?Yusrina : (Sambil membaca) Sudah!Igun : Semua? (Diam saja) Biasanya kau hanya mengerjakan empat dari sepuluh soal itu. Itu pun yang mudah

saja. lya, kan? Aku sendiri paling malas bila berhadapan dengan soal-soal Fisika. (Membuka catatannya) Eh, Yus, sudah nonton "Mighty Man"?

Yusrina : (Kesal) Sudah!Igun : Bagaimana kesannya? Bagus? Aku juga nonton, juga lihat kamu. Kau nonton dengan....Yusrina : (Cepat memotong) Sudah!Igun : Asyik ya, nonton duaan!Yusrina : (Kesal) Suuuudah!Igun : (Menggoda) Kau tidak salah memilih cowok macam Agus?Yusrina : (Marah) Sudah! Sudah!Igun : Dia itu cowok ideal. Gagah lagi. Face-nya lumayan, tidak terlalu ngepop, juga tidak kampungan.Yusrina : (Marah) Suuuuuuudah! Sudah!Igun : Apalagi anak pejabat tinggi.Yusrina : (Masih marah) Sudah, sudah, sudah!Igun : Sudah. Sudah,! Sudah! Lagi, ah! Dari tadi sudah melulu. Apa tidak ada kata-kata lain? Bahasa Indonesia

kan banyak perbendaharaan katanya. Sudah, sudah, sudah, dari tadi sudah, sudah, sudah melulu. (Menggoda) Jangan begitu, Yus, dia itu benarbenar cakep, Iho.

Yusrina : (Marah) Sudah, ah!Igun : Sudah! Baru bertengkar, apa? Sedang Perang Sabil, ya? Jangan, ah! Dia itu cowok ideal. Sungguh! Cuma

sayang. Kau kelihat-annya masih terlalu kecil. Aku kira kau belum pantas pacaran macam malam Minggu kemarin itu. Soalnya....

Yusrina : (Membanting bukunya) Sudah, sudah, sudah. Huuuuu... sudah, sudah, sudah. Cerewet terus. (Mengambil bukunya kembali) Sudah, aku mau belajar!

Igun : (Menirukan) Sudah, sudah, sudah, sudah. Huuuu... sudah, sudah, sudah! Cerewet terus. Sudah, aku mau belajar!

Yusrina :(Mencibir) Huuuuuh!Igun : (Menirukan) Huuuuuh!

Hanafi : (Masuk dari kanan) Nah, ini. Ini baru bisa disebut pelajar teladan. Serius juga kelihatannya. (Mendekati Yusrina) Yus, mau ulangan, ya?

Yusrina : (Sambil membaca) Sudah, sudah, sudah!Hanafi : Lho! Kelewat serius, nih! (Duduk di antara mereka) Sedang yang ini? Aku agak sangsi. Ini belajar atau

melamun? Gun!Igun : (Sambil membaca) Sudah, ah. Berisik saja. Ada orang lagi belajar ini.Hanafi : Apa? Orang macam kamu belajar? Lantas kebudayaan menyontekmu kau ke manakan?Igun : Sori saja, tidak musim sekarang.Hanafi : Omong kosong! (Mengeluarkan sebatang rokok) Pinjam koreknya.Igun : Buat apa? Pinjam korek pada orang lagi belajar. Ini baru sepaning, mau ulangan Fisika tahu?!Hanafi : Mau ulangan Fisika saja pakai sepaning segala. Tanya, nih, calon profesor. Beres!Igun : Profesor gombal!Hanafi : Tidak usah menghafal rumus-rumus. Buang waktu dan energi saja. Langsung pada soal, sekaligus

jawaban.

Page 32: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Igun : Hah!? Apa kelasmu sudah ulangan?Hanafi : Sudah!Igun : Sudah?Hanafi : Sudah!Igun : Kapan?Hanafi : Jumat kemarin.Igun : Lho! Bukankah Jumat kemarin Pak Asnawi masih opname di rumah sakit?Hanafi : Ya, tapi Pak Asnawi kan guru tulen! Dia itu punya segudang soal ulangan sekaligus jawaban yang sudah

jadi. Suatu saat ada ulangan, pakai soal yang itu. Ada ulangan lagi? Pakai soal yang ini. Dan dia itu bisa saja....

Sumber: Kumpulan Naskah Drama Remaja

Pantun

Pantun Agama

Bunga kenanga diatas kubur Pucuk sari pandan Jawa Apa guna sombong dan takabur Rusak hati badan binasa

Asam kandis asam gelugur Ketiga asam si riang-riang

Pantun Peribahasa

Berakit-rakit kehuluBerenang-renang ke tepianBersakit-sakit dahuluBersenang-senang kemudian

Pantun Percintaan

Ikan belanak hilir berenangBurung dara membuat sarangMakan tak enak tidur tak tenangHanya teringat dinda seorang

Anak kera diatas bukitDipanah oleh Indera Sakti

Page 33: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Menangis mayat dipintu kubur Teringat badan tidak sembahyang

Kehulu memotong pagarJangan terpotong batang durianCari guru tempat belajarJangan jadi sesal kemudian

Dipandang muka senyum sedikitKarena sama menaruh hati

Pantun Jenaka

Orang Sasak pergi ke Bali Membawa pelita semuanya Berbisik pekak dengan tuli Tertawa si buta melihatnya

Ada apa diseberang ituMentimun busuk dimakan kalongAda apa diseberang ituBujang bungkuk gadis belong

Pantun Nasehat

Kemuning ditengah balaiBertumbuh terus semakin tinggiBerunding dengan orang tak pandaiBagaikan alu pencungkil duri

Parang ditetak kebatang senaBelah buluh taruhlah temuBarang dikerja takkan sempurnaBila tak penuh menaruh ilmu

Pantun Adat

Menanam kelapa di pulau Bukum Tinggi sedepa sudah berbuah Adat bermula dengan hukum Hukum bersandar di Kitabullah

Lebat daun bunga tanjungBerbau harum bunga cempakaAdat dijaga pusaka dijunjungBaru terpelihara adat pusaka

Cerita RakyatJudul: Raja Pareeket (Aceh)

Tersebutlah kisah, seekor raja burung parakeet hidup beserta rakyatnya di sebuah hutan di Aceh. Hidup mereka damai. Kedamaian tersebut terganggu, karena kehadiran seorang pemburu. Pada suatu hari pemburu tersebut berhasil menaruh perekat di sekitar sangkar-sangkar burung tersebut.

Mereka berusaha melepaskan sayap dan badan dari perekat tersebut. Namun upaya tersebut gagal. Hampir semuanya panik,kecuali si raja parakeet. Ia berkata, "Saudaraku, tenanglah. Ini adalah perekat yang dibuat oleh pemburu. Kalau pemburu itu datang, berpura-puralah mati. Setelah melepaskan perekat, pemburu itu

Page 34: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

akan memeriksa kita. Kalau ia mendapatkan kita mati, ia akan membuang kita. Tunggulah sampai hitungan ke seratus, sebelum kita bersama-sama terbang kembali.

Keesokan harinya, datanglah pemburu tersebut. Setelah melepaskan perekatnya, ia mengambil hasil tangka-pannya. Betapa ia kecewa setelah mengetahui burung-burung tersebut sudah tidak bergerak, disangkanya su-dah mati. Namun pemburu tersebut jatuh terpeleset, sehingga membuat burung-burung yang ada ditanah terkejut dan terbang. Hanya raja parakeet yang belum terlepas dari perekat. Iapun ditangkap.

Raja Parakeet meminta pada pemburu itu untuk tidak dibunuh. Sebagai imbalannya ia akan selalu menghibur si pemburu. Hampir tiap hari ia bernyanyi dengan merdunya. Khabar kemerduan suara burung itu terdengar sampai ke telinga sang Raja.

Raja menginginkan burung parakeet tersebut. Sang Raja kemudian menukar burung itu dengan harta-benda yang sangat banyak. Di istana sang Raja, burung parakeet ditaruh didalam sebuah sangkar emas. Setiap hari tersedia makanan yang enak-enak.

Namun burung parakeet tidak bahagia. Ia selalu ingat hutan Aceh tempat tinggalnya. Pada suatu hari ia berpura-pura mati. Sang Raja sangat sedih dan memerintahkan penguburannya dengan upacara kebesaran. Ketika persiapan berlangsung, burung itu diletakkan diluar sangkar. Saat itu ia gunakan untuk terbang mencari kebebasanya. Ia terbang menuju hutan kediamannya. Dimana rakyat burung parakeet setia menunggu ke-datangannya.

Sumber: http://www.lokerseni.web.id/

Judul: Lutung Kasarung (JAWA BARAT)

Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh seorang raja yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung. Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan adiknya Purbasari.

Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta,” kata Prabu Tapa.

Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !” ujar Purbararang.

Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.

Page 35: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.

Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.

Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga tersebut. “Apa manfaat-nya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.

Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. “Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.

“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku”, kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi monyet itu tunanganmu ?”.

Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah men -jadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.

Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.

Sumber: http://www.lokerseni.web.id/

Judul: Si Pitung (Jakarta)

Si Pitung adalah seorang pemuda yang soleh dari Rawa Belong. Ia rajin belajar mengaji pada Haji Naipin. Sele -sai belajar mengaji ia pun dilatih silat. Setelah bertahun- tahun kemampuannya menguasai ilmu agama dan bela diri makin meningkat.

Pada waktu itu Belanda sedang menjajah Indonesia. Si Pitung merasa iba menyaksikan penderitaan yang di-alami oleh rakyat kecil. Sementara itu, kumpeni (sebutan untuk Belanda), sekelompok Tauke dan para Tuan tanah hidup bergelimang kemewahan. Rumah dan ladang mereka dijaga oleh para centeng yang galak.

Dengan dibantu oleh teman-temannya si Rais dan Jii, Si Pitung mulai merencanakan perampokan terhadap rumah Tauke dan Tuan tanah kaya. Hasil rampokannya dibagi-bagikan pada rakyat miskin. Di depan rumah

Page 36: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

keluarga yang kelaparan diletakkannya sepikul beras. Keluarga yang dibelit hutang rentenir diberikannya san-tunan. Dan anak yatim piatu dikiriminya bingkisan baju dan hadiah lainnya.

Kesuksesan si Pitung dan kawan-kawannya dikarenakan dua hal. Pertama, ia memiliki ilmu silat yang tinggi serta dikhabarkan tubuhnya kebal akan peluru. Kedua, orang-orang tidak mau menceritakan dimana si Pitung kini berada. Namun demikian orang kaya korban perampokan Si Pitung bersama kumpeni selalu berusaha membujuk orang-orang untuk membuka mulut.

Kumpeni juga menggunakan kekerasan untuk memaksa penduduk memberi keterangan. Pada suatu hari, kumpeni dan tuan-tuan tanah kaya berhasil mendapat informasi tentang keluarga si Pitung. Maka merekapun menyandera kedua orang tuanya dan si Haji Naipin. Dengan siksaan yang berat akhirnya mereka mendapatkan informasi tentang dimana Si Pitung berada dan rahasia kekebalan tubuhnya.

Berbekal semua informasi itu, polisi kumpeni pun menyergap Si Pitung. Tentu saja Si Pitung dan kawan-kawan-nya melawan. Namun malangnya, informasi tentang rahasia kekebalan tubuh Si Pitung sudah terbuka. Ia dilempari telur-telur busuk dan ditembak. Ia pun tewas seketika.Meskipun demikian untuk Jakarta, Si Pitung tetap dianggap sebagai pembela rakyat kecil.

Sumber: http://www.lokerseni.web.id/

Biografi

Biografi: Chairil Anwar (Sastrawan Indonesia)

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Ke-dua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Page 37: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Kerid-laanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahtaSesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beber-apa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pan-tang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan it-ulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Se-mua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roos-meini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hap-sah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan ke-sulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya beru-mur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kepen-dekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkemban-gan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seo-rang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

sumber:http://www.ipuisi.com/biografi-chairil-anwar-1922-1949

Biografi: Andrew Darwis (Pendiri Kaskus)

Andrew Darwis lahir 20 Juli 1979 di jakarta meru-pakan pendiri (founder) komunitas online terbesar di Indonesia, Kaskus lewat situs Kaskus.us yang sekarang ini mempunyai lebih dari 3 juta member . Andrew sekarang menjabat sebagai Chief Technol-ogy Officer (CTO) PT Darta Media Indonesia (Kaskus) sekaligus pemilik (owner) Kaskus Network lewat PT Darta Media Indonesia. Andrew memulai pen-didikannya di SD Tarakanita Pluit Jakarta, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Tarakanita Pluit Jakarta, setelah lulus SMP kemudian Andrew memilih melanjutkan SMA Gandhi National School, Ancol ’98 Jakarta dan setelah lulus kemudian An-

drew melajutkan studinya di Universitas Bina Nusan-tara, 1998 jurusan Sistem Informasi.

Setelah berkuliah di Binus, Andrew mencari universi-tas lain yang ‘mendukung’ hobi barunya. Ia kesulitan menemukan universitas yang cocok di Indonesia, karena kala itu multimedia belum menjadi lahan mata pencaharian umum di Indonesia. Namun akhirnya ia menemukannya melalui informasi seo-rang teman yang baru pulang dari Amerika. Sebuah universitas bernama Seattle University dinilainya da-pat memfasilitasi hasratnya mendalami dunia web programming. Pada awalnya, kedua orang tua An-drew tidak setuju dengan keinginan anaknya. Mereka menganggap kuliahnya kelak akan terlalu

Page 38: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

menghamburkan uang, belum lagi biaya hidup dis-ana. Namun setelah didesak oleh Andrew, akhirnya mereka luluh juga, dengan syarat biaya hidup selama kuliah di Amerika harus ditanggungnya sendiri. An-drew menyanggupinya.

Kemudian ia memilih melanjutkan studinya di luar negeri di Art Institute of Seattle, 1999 – 2003 jurusan Multimedia & Web Design, setelah itu ia melan-jutkan masternya di universitas yang sama jurusan Master of Computer Science, Seattle University, tahun 2004 – 2006. Andrew mendirikan Kaskus pada 6 November 1999. Bermula dari pengalamannya saat menimba ilmu di salah satu universitas terkemuka di Negeri Paman Sam, Seattle University, Program Studi Multimedia & Web Design, Art Institute of Seattle Computer Science di tahun 1999, pria yang disapa Andrew ini terinspirasi membuat website forum ko-munitas yang bisa di bilang menjadi yang terbesar di Indonesia. “Saat itu saya ditugaskan oleh dosen un-tuk membuat program dari free software, dari situ-lah mulai muncul ide membuat website dengan nama Kaskus.” Ujar Andrew yang bekerja di perusa-haan lyrics.com saat kuliah di Amerika.

Kaskus berasal dari kata Kasak-Kusuk atau bermakna bergosip. Dengan modal awal sebesar US$ 3 (Rp 30.000,-) untuk membeli server, Andrew dan dua rekannya, Ronald dan Budi, memilih untuk membuat portal yang berisi mengenai berita maupun infor-masi tentang Indonesia. Portal tersebut sengaja di buat menjadi suatu media untuk memuaskan kerind-uan bagi masyarakat Indonesia yang berada di Luar negeri. Manfaatnya adalah semakin membaiknya geliat bisnis online, serta banyaknya orang yang memulai bisnis online dilihat Andrew sebagai potensi besar yang mendukung perkembangan Kaskus. Berdasarkan survey, terdapat lebih dari 40 juta

pengguna Internet di Indonesia. Dengan jumlah yang luar biasa tersebut, ia mengasumsikan bahwa mas-ing-masing pengguna Internet adalah target pasar yang potensial.

Kendalanya Andrew mengaku bahwa kendala ter-berat dialaminya saat awal pembentukan Kaskus. Ia harus turun tangan langsung dan memperbaiki apa-bila ada server yang down, karena saat itu Andrew belum memiliki karyawan. Selain itu kendala ter-berat juga dialaminya ketika pindah ke Jakarta, kare-nai ia harus meyakinkan customer dan advertiser mengenai citra Kaskus.

Pemasarannya Andrew dan timnya di awal usaha harus bergeriliya door to door ke klien untuk mem-perkenalkan positioning Kaskus dan tidak sampai 1 tahun, Kaskus sudah banyak dipercaya oleh client-client besar yang sudah mendukung Kaskus sejak pertama kali Kaskus launching pada Desember 2008. Berselang 2 bulan kemudian Kaskus resmi menjadi perusahaan professional di bawah bendera PT. Darta Media Indonesia. Saat ini tercatat Kaskus memiliki 3.730.031 member(update pertanggal 3 Desember 2011 pada pukul 11.55) dan terus bertambah tiap detiknya. Kaskus memiliki target pasar dari usia 15-40 tahun baik kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan, professional dan entrepreneur.

Berbagai penghargaan juga diterima oleh Andrew di antaranya The Best Indonesian Communities for 2005 and 2006 versi Alexa.com dan Wikipedia, dari Microsoft dengan nominasi Kaskus Indonesia Innova-tive Top Web Site di tahun 2008, dan dari Indosat dengan nominasi Kaskus The Online Inspiring Award di tahun 2009 Saat ini untuk me-manage Kaskus, An-drew dibantu 30 orang karyawan yang terbagi dalam tim pemasaran (marketing), sales, IT dan kreatif (cre-ative).

Kini Andrew dibantu oleh sekitar 30 orang karyawan dalam mengatur kaskus.us, yang terbagi menjadi be-berapa tim antara lain marketing, sales, IT dan cre-ative. Pada tahun 2009, penghasilan Andrew dari kaskus adalah sekitar 600 juta rupiah per bulan. An-drew mengaku akan terus mengembangkan situsnya tersebut, dan mulai mengincar pengguna internet luar negeri dalam marketing content (isi) kaskus. Kini,Pria yang dikenal para kaskuser sebagai ‘Mimin’ (singkatan dari Admin) ini patut berbangga, kaskus

Page 39: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

telah menjadi sebuah situs fenomenal yang memiliki istilah tersendiri yang tidak dimiliki situs forum lain-nya. Dirinya pun masuk ke dalam jajaran enter-preneur muda berbakat kebanggaan Indonesia

Dari sekian banyak konten dalam Kaskus.us, tanpa ragu Andrew menyebut konten Jual Beli (FJB) dan Lounge sebagai terfavorit dikunjungi kaskuser. Para kaskuser yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia itu bisa memanfaatkan konten ini untuk transaksi bisnis online. Dalam sehari saja, 80 ribu daftar barang, diikutkan dalam Forum Jual Beli (FJB).

Obsesi yang ingin diraih Andrew untuk pengemban-gan bisnis online-nya adalah terus mengembangkan content (fasilitas yang ada di dalam website) Di In-donesia, sehingga nantinya orang luar negerilah yang akan membeli content itu.

Biografi: Beethoven (Komposer Musik)

Ludwig van Beethoven, salah satu komponis paling berpengaruh sepanjang masa, lahir di Bonn, Jerman pada tahun 1770. Ayah dan kakek sama-sama musisi, dengan kakeknya memegang jabatan pemimpin orkes di Bonn, dan ayahnya memiliki prestasi yang lebih rendah. Ada tujuh anak yang lahir dari orang tuanya, tetapi hanya tiga yang selamat, ia adalah anak sulung.

Beethoven menerima pelajaran piano dan biola di usia muda, tetapi ayahnya tampaknya telah menjadi guru tirani, cerita Ludwig muda di piano mengeluarkan air mata adalah benar, namun hal itu dilakukan sang ayah, agar ludwig muda mau berdisiplin dan pandai memainkan piano. Ia kemudian memiliki skill memainkan key-board yang lebih, serta teori musik, serta pelajaran biola dan biola.

Pada tahun 1782, ketika Beethoven berumur 11 tahun setengah, dia su-

Page 40: SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia

dah menjadi seorang komposer. Banyak orang memprediksi bahwa ia berpotensi menjadi Mozart kedua. Karyanya berikutnya diterbitkan, tiga piano sonata didedikasikan untuk Kaisar Maximilian Friedrich.Pada tahun 1789, pada usia 18, Beethoven dimohonkan setengah gaji ayahnya harus diserahkan kepadanya dapat digunakan terutama untuk dukungan dari saudara-saudaranya, dan dengan pemberian permintaan ini, ia menjadi kepala keluarga. Pada tahun 1792, ia pindah ke Wina, di mana ia akan membuat rumahnya sampai kematiannya.Sekitar tahun 1796, ia menjadi tuli yang kemudian menjadi cukup parah . Karyanya umumnya dibagi menjadi 3 periode. Periode pertama adalah 1794-1800. Periode kedua adalah 1801-1814. Periode akhir 1814 sampai ke-matiannya pada tahun 1827.

Beethoven dianggap sebagai tokoh peralihan antara komposer klasik Haydn dan Mozart di satu sisi, dan Ro-mantis di sisi lain. inovasi nya termasuk konstruksinya-nya Sixth Symphony (The Pastoral) sebagai program musik dan perluasan tentang sonata, konserto kuartet,, dan bentuk simfoni. Dan ini adalah beberapa bentuk yang membuatnya terkenal. Dia menulis 9 simfoni , kuartet string 17, 32 sonata, 5 konser piano, sebuah kon-serto biola, dan sebuah konserto triple, serta opera, balet, musik insidental Banyak orang mengenal dia melalui simfoninya , yakni Fifth Symphony, Symphony 9, dan Emperor Concerto.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/arts/2105915-biografi-ludwig-van-beethoven/#ixzz2IUWIOFv5