17
1 1. Gambaran umum masa perekonomian yang pernah berlaku di Indonesia sampai dengan tahun 2008 dapat dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu masa sebelum terjajah, masa penjajahan, masa sebelum tahun 1966, masa sesudah tahun 1966, dan masa reformasi. a) Masa Sebelum Terjajah (sebelum tahun 1600) meliputi, Masa Pra Kerajaan, awalnya terbentuk komunitas-komunitas kecil dari orang-orang, kemudian diantara mereka berkumpul membentuk komunitas masyarakat yang lebih besar dari sebelumnya. komunitas masyarakat terdiri atas dua golongan, yaitu masyarakat desa (paguyuban) dan masyarakat kota (patembahan). Masa Kerajaan, pada masa ini perekonomian lebih maju dari sebelumnya. Dalam lingkup regional, produk yang dihasilkan oleh masyarakat desa didistribusikan dan dijual ke dalam kota raja, yaitu kota tempat berdirinya kerajaan. Dalam kegiatan transaksi ekonomi masyarakat mulai mengenal sistem barter bahkan lebih maju lagi mereka telah memulai pemakaian uang sebagai alat tukar. b) Masa Penjajahan (1600 – 1945), perkembangan perdagangan pelayaran pada masa merkantilisme di area Eropa ditujukan untuk memperbesar ekspor negara-negara tersebut. Melalui perdagangan mereka juga melakukan misi yang dikenal dengan gold, glory, gospel. Namun, lambat laun justru berkembang imperialisme yang tujuannya adalah mencari sumber-sumber ekonomi dari daerah jajahan. Cara-cara yang dilakukan pun sudah seringkali menyimpang dan menyalahi batas kemanusiaan. Melalui serikat dagang Hindia Belanda (VOC), penjajah melakukan monopoli sehingga sangat tidak menguntungkan pihak pribumi (bumi putera). c) Masa Sebelum Tahun 1966 (1945 – 1966), yang meliputi Masa Kemerdekaan (1945-1949), Masa RIS (1949-1959), Masa Orde Lama (1959-1965). Kondisi perekonomian setelah kemerdekaan bisa dibilang sangat tidak stabil. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang tidak stabil karena banyaknya pemberontakan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Salah satu awal mula permasalahannya adalah kesepakatan Indonesia untuk membiarkan komunis masuk dan hidup di NKRI sebagai imbas dari kesepakatan bantuan yang diberikan Uni Soviet di masa-masa kemerdekaan. Sementara itu, defisit anggaran belanja pemerintah terus membengkak dari tahun ke tahun, karena defisit-defisit tersebut dibiayai terutama dengan pencetakan uang baru, tingkat harga tak henti-hentinya membumbung dan mencapai puncaknya pada tahun 1966. Pada tahun terakhir rejim orde lama ini, Indonesia menggoreskan catatan penting yang tak diinginkan dalam catatan sejarah perekonomiannya: laju inflasi sekitar 650 persen. Selama dasawarsa 1950-an dan pertengahan pertama 1960-an

Perekonomian Indonesia-Fakultas Ekonomi UM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ini tugas uas nya pak mardono.. sengaja diupload tapi mohon diedit dulu ya...

Citation preview

1

1. Gambaran umum masa perekonomian yang pernah berlaku di Indonesia

sampai dengan tahun 2008 dapat dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu masa

sebelum terjajah, masa penjajahan, masa sebelum tahun 1966, masa sesudah

tahun 1966, dan masa reformasi. a) Masa Sebelum Terjajah (sebelum tahun

1600) meliputi, Masa Pra Kerajaan, awalnya terbentuk komunitas-komunitas

kecil dari orang-orang, kemudian diantara mereka berkumpul membentuk

komunitas masyarakat yang lebih besar dari sebelumnya. komunitas

masyarakat terdiri atas dua golongan, yaitu masyarakat desa (paguyuban) dan

masyarakat kota (patembahan). Masa Kerajaan, pada masa ini perekonomian

lebih maju dari sebelumnya. Dalam lingkup regional, produk yang dihasilkan

oleh masyarakat desa didistribusikan dan dijual ke dalam kota raja, yaitu kota

tempat berdirinya kerajaan. Dalam kegiatan transaksi ekonomi masyarakat

mulai mengenal sistem barter bahkan lebih maju lagi mereka telah memulai

pemakaian uang sebagai alat tukar. b) Masa Penjajahan (1600 – 1945),

perkembangan perdagangan pelayaran pada masa merkantilisme di area Eropa

ditujukan untuk memperbesar ekspor negara-negara tersebut. Melalui

perdagangan mereka juga melakukan misi yang dikenal dengan gold, glory,

gospel. Namun, lambat laun justru berkembang imperialisme yang tujuannya

adalah mencari sumber-sumber ekonomi dari daerah jajahan. Cara-cara yang

dilakukan pun sudah seringkali menyimpang dan menyalahi batas

kemanusiaan. Melalui serikat dagang Hindia Belanda (VOC), penjajah

melakukan monopoli sehingga sangat tidak menguntungkan pihak pribumi

(bumi putera). c) Masa Sebelum Tahun 1966 (1945 – 1966), yang meliputi

Masa Kemerdekaan (1945-1949), Masa RIS (1949-1959), Masa Orde

Lama (1959-1965). Kondisi perekonomian setelah kemerdekaan bisa dibilang

sangat tidak stabil. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang

tidak stabil karena banyaknya pemberontakan di hampir seluruh wilayah

Indonesia. Salah satu awal mula permasalahannya adalah kesepakatan

Indonesia untuk membiarkan komunis masuk dan hidup di NKRI sebagai

imbas dari kesepakatan bantuan yang diberikan Uni Soviet di masa-masa

kemerdekaan. Sementara itu, defisit anggaran belanja pemerintah terus

membengkak dari tahun ke tahun, karena defisit-defisit tersebut dibiayai

terutama dengan pencetakan uang baru, tingkat harga tak henti-hentinya

membumbung dan mencapai puncaknya pada tahun 1966. Pada tahun terakhir

rejim orde lama ini, Indonesia menggoreskan catatan penting yang tak

diinginkan dalam catatan sejarah perekonomiannya: laju inflasi sekitar 650

persen. Selama dasawarsa 1950-an dan pertengahan pertama 1960-an

2

Indonesia kehilangan peranan pentingnya dalam perdagangan internasional.

Kedudukan sebagai produsen utama gula di dunia, terlepas. Begitu pula

kedudukan sebagai produsen utama karet alam, digantikan oleh Malaysia.

Ekspor komoditas-komoditas tradisional kopra, teh, biji kelapa sawit, lada dan

tembakau jauh lebih rendah dari pada yang dicapai sebelum perang dunia ke

dua. Sesudah pertengahan 1950-an penerimaan ekspor senantiasa kurang dari

10 persen produk domestik bruto. Semua ini satu sama lain mengakibatkan

kalangkaan akpital dan tekanan atas neraca pembayaran. d) Masa Sesudah

Tahun 1966, yang meliputi Masa Transisi (1966-1968), bekas-bekas kondisi

ekonomi yang terpuruk masih sangat mencolok pada masa ini, seperti

tumpukan utang luar negeri yang mencapai lebih dari US$ 2 milyar,

penerimaan ekspor yang hanya setengah dari pengeluaran untuk impor barang

dan jasa, ketidak berdayaan mengendalikan anggaran belanja dan memungut

pajak, laju inflasi secepat 30-50 persen per bulan, dan buruknya kondisi

prasarana perekonomian serta penurunan kapasitas produktif sektor industri

dan ekspor. Pada masa ini terjadi pergantian presiden, Soekarno digantikan

oleh Soeharto pada tahun 1968. Masa Orde Baru (1969-1997/98),

perekonomian berangsur-angsur mulai membaik. Pemerintah menjalankan

program pembangunan jangka pendek yang terdiri atas: tahap penyelamatan

(Juli-Desember 1966), tahap rehabilitasi (Januari-Juni 1967), tahap konsolidasi

(Juli-Desember 1967), dan tahap stabilisasi (Januari-Juni 1968). Program

jangka pendek ini juga diikuti dengan program jangka panjang, terdiri atas

rangkaian Rencana Pembangunan lima Tahun (Repelita) yang dimulai pada

bulan April 1969. Melalui program Pelita, pemerintah mulai merencanakan

pembangunan dengan lebih terarah. Ditargetkan pada tahun1992 Indonesia

akan melalui tahap tinggal landas. Namun hingga pengunduran diri Soeharto di

tahun 1998, masa tinggal landas yang dicita-citakan hanya tinggal masa lalu.

Semua tidak terlaksana. Masa Reformasi (1997/98 – 2008), pada tahun 1997

hingga 1998 terjadi krisis ekonomi. Dampak krisis ini sangat dirasakan oleh

BUMS dan BUMN. Guna memperbaiki situasi maka dikucurkan dana Bantuan

Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang menjadi kasus tersendiri karena terjadi

penyalah gunaan. Hingga saat ini, kasus ini belum juga tuntas. Namun, pada

masa kepemimpinan presiden SBY direalisasikan berdirinya KPK (Komisi

Pemberantasan Korupsi) untuk menangani masalah-masalah penyalahgunaan

dana dari pemerintah yang seharusnya digunakan untuk pembangunan

nasional. Selain itu, pada masa kepemimpinannya, SBY juga mengeluarkan

kebijakan yang populer yaitu dengan mengurangi subsidi BBM yang

3

diakibatkan oleh naiknya harga minyak dunia sehingga membuat harga BBM di

masyarkat naik. Subsidi BBM ini dialihkan ke sektor lain yaitu sektor

pendidikan dan sektor lain yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Hingga tahun 2008, pemerintah cukup mampu mengurangi inflasi hingga

bertahan 4-5% per tahun, selain itu pemerintah juga mampu mengatasi

terjangan krisis global yang melanda dunia pada tahun 2008.

2. Pendapatan Nasional merupakan jumlah seluruh pendapatan yang diterima

oleh masyarakat dalam suatu negara selama satu tahun. Pendapatan nasional

merupakan salah satu variabel penting untuk menghitung prestasi ekonomi

suatu negara karena kita dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan ekonomi

suatu negara dari tahun ke tahun. Konsep pendapatan nasional di antaranya

adalah Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product, GDP) atau PDB,

Produk Nasional Bruto (Gross National Product, GNP) atau PNB, Pendapatan

Nasional Neto (Net National Income, NNI), Pendapatan Perseorangan (Personal

Income,PI), Pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income, DI).

Perhitungan pendapatan nasional dapat dihitung atau diukur dengan tiga

macam pendekatan, yaitu: 1) Pendekatan produksi, dengan cara

menjumlahkan nilai seluruh produk yang dihasilkan dari berbagai unit

produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu satu tahun. Yang

dimaksud unit disini adalah 11 unit produksi yang meliputi pertanian,

pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih,

bangunan, perdagangan, pengangkutan dan komunikasi, bank dan lembaga

bukan bank, sewa rumah, pemerintahan dan jasa-jasa. Dalam menghitung

pendapatan nasional metode produksi digunakan rumus yaitu Y = [(Q1 X P1) +

(Q2 X P2) + (Qn X Pn) ……]. Nilai produk yang dihitung dengan pendekatan ini

adalah nilai jasa dan barang jadi (bukan bahan mentah atau barang setengah

jadi). 2) Pendekatan pendapatan, dengan cara menjumlahkan seluruh

pendapatan (upah, sewa, bunga, dan laba) yang diterima rumah tangga

konsumsi dalam suatu negara selama satu periode tertentu sebagai imbalan

atas faktor-faktor produksi yang diberikan kepada perusahaan. Atau dapat

dituliskan dengan rumus sebagai berikut PDB = r+w+i+p. 3) Pendekatan

pengeluaran, dengan cara menghitung jumlah seluruh pengeluaran untuk

membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara selama satu

periode tertentu. Perhitungan dengan pendekatan ini dilakukan dengan

menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh empat pelaku kegiatan ekonomi

negara, yaitu: Rumah Tangga (Consumption), Pemerintah (Government),

4

pengeluaran investasi (Investment), dan selisih antara nilai ekspor dikurangi

impor ( X – M ). Untuk itu dapat digunakan rumus PDB = C + I +G + (X-M).

3. Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu

negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama

periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses

kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam

bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi

merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan

ekonomi memiliki sifat self-generating yaitu proses pertumbuhan itu sendiri

melahirkan kekuatan atau momentum bagi timbulnya kelanjutan pertumbuhan

tersebut dalam periode selanjutnya. Pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara

dapat dikatakan sebgai peningkatan jumlah barang dan jasa yang diproduksi

oleh kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dalam suatu negara. Hal ini diukur

secara konvensional sebagai laju persen kenaikan dalam produk domestik

bruto riil, atau GDP riil. Pertumbuhan biasanya dihitung secara riil, yaitu

disesuaikan dengan hal inflasi, untuk output yang bersih dari efek inflasi pada

harga barang dan jasa yang dihasilkan. Pertumbuhan ekonomi biasanya

mengacu pada pertumbuhan output potensial, seperti: produksi di lapangan

kerja, yang disebabkan oleh pertumbuhan permintaan agregat atau output

yang diamati. Untuk menghitung berapa besarnya pertumbuhan ekonomi suatu

negara, maka data yang diperlukan dan dipergunakan adalah pendapatan

nasional suatu negara. Untuk negara yang sedang berkembang umumnya

menggunakan PDB, sedangkan untuk negara yang telah maju umumnya

menggunakan GNP. Menurut M. Suparko, pada negara berkembang, selain

dengan menghitung PDB pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat pula

diketahui dengan melihat pendapatan perkapita dan pendapatan per jam kerja.

M. Suparko beralasan bahwa menghitung pendapatan per kapita merupakan

ukuran yang lebih tepat karena mempertimbangkan jumlah penduduk,

sedangkan pendapatan per jam kerja ia beralasan bahwa suatu negara dapat

dikatakan lebih maju dibanding negara lain bila mempunyai tingkat

pendapatan atau upah per jam kerja yang lebih tinggi dibanding upah per jam

kerja negara lain untuk jenis pekerjaan yang sama. Untuk menghitung tingkat

pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat digunakan rumus sebagai berikut: g

= {(PDBs-PDBk)/PDBk} x 100%

g = tingkat pertumbuhan ekonomi PDBs = PDB riil tahun sekarang PDBk = PDB

riil tahun kemarin

5

4. Tinggi rendahnya pendapatan per kapita dipengaruhi oleh jumlah pendapatan

nasional dan jumlah penduduk. Jika pendapatan nasional sebuah negara

tinggi, tetapi jumlah penduduk juga besar, maka pendapatan per kapitanya

akan rendah. Sebaliknya, walaupun pendapatan nasional rendah, tetapi jumlah

penduduk kecil, pendapatan per kapitanya mungkin akan tinggi. Pendapatan

per kapita Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara

tetangga sesama anggota ASEAN, hal itu disebabkan oleh jumlah penduduk

Indonesia yang besar dan tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tinggi

setiap tahunnya. Dari jumlah penduduk yang besar tersebut, di Indonesia

masih banyak SDM yang berkualitas rendah sehingga penguasaan teknologi

pun juga masih rendah di kalangan penduduk Indonesia. Hal tersebut

menyebabkan kurang optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya

alam yang pada akhirnya pendapatan nasional Indonesia pun ikut rendah.

Pertambahan jumlah penduduk yang ada di Indonesia saat ini tidak terlalu

memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap upaya penambahan

jumlah pendapatan nasional yang ada sekarang, karena sumber daya alam

yang dimiliki belum dapat sepenuhnya dikelola dan dimanfaatkan untuk

kesejahteraan rakyat (sebagai akibat dari rendahnya kualitas SDM dan

kurangnya penguasaan teknologi serta sumber daya yang ada). Kalau pun

pendapatan nasional Indonesia lumayan naik, tetapi dengan jumlah dan laju

pertumbuhan penduduk yang tinggi, pendapatan per kapita Indonesia pun

mungkin masih belum bisa dikatakan tinggi dibandingkan dengan Singapura

atau Brunai misalnya, hal ini disebabkan karena perhitungan pendapatan

perkapita harus membagi antara jumlah pendapatan nasional dengan jumlah

penduduk yang ada di Indonesia.

5. Sesuai ketentuan Undang-Undang No 13 Tahun 2003, kontrak kerja melalui

mekanisme perjanjian kerja maksimal bisa diperpanjang sampai 3 tahun.

Perjanjian kerja sendiri dibuat menurut ketentuan Undang-Undang No 13

Tahun 2003, ada empat kategori. Pertama, perjanjian kerja magang (pasal 22),

kedua, perjanjian kerja waktu tertentu (pasal 56-60) ketiga, perjanjian kerja

untuk waktu tidak tertentu (pasal 60) dan keempat, perjanjian kerja bersama

yang melibatkan serikat pekerja dan pihak manajemen perusahaan (pasal 116).

Namun peraturan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang

Ketengakerjaan ditengarai sebagai palang pintu lahirnya sistem kerja

outsourcing yang sekarang dipraktekkan dimana-mana. Sebenarnya, didalam

undang-undang ini, tidak mengenal penyebutan istilah outsourcing. Akan

tetapi, pengertian dari outsourcing itu sendiri dapat dilihat dalam beberapa

6

ketentuan. Salah satunya adalah yang tertuang dalam pasal 64 undang-undang

ketengakerjaan ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing merupakan

suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja,

dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian

pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Praktek outsourcing dinilai

mampu menyerap lapangan kerja dan mengatasi pengangguran berdasarkan

asumsi bahwa jika pola system kerja outsourcing yang diterapkan, maka secara

langsung membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkompetisi. Bahkan

bagi mereka yang sebelumnya berada pada sektor informal, dapat terseret

kedalam sektor formal yang lebih terproteksi dan menjanjikan. Outsourcing

juga dianggap akan lebih mampu menyerap tenaga kerja tanpa diskriminasi.

Namun yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Outsourcing

mengakibatkan semakin lemahnya posisi buruh dalam perusahaan. Hal

tersebut dilatar belakangi oleh status hubungan kerja yang sifatnya sementara

dengan masa kerja yang ditetapkan selama kurung waktu tertentu (1 tahun, 2

tahun, bahkan ada yang hanya berkisar 3-4 bulan). Hal ini berakibat semakin

kuatnya posisi pengusaha jika berhadapan dengan pekerja, sehingga

memberikan ruang yang sangat besar bagi pengusaha tersebut untuk menindas

buruh dalam perusahaannya. Pengusaha dapat dengan sewenang-wenang

memberhentikan buruh (melakukan PHK terhadap buruh) sesuai dengan

kemauannya. Ketakutan berserikat, berkumpul, menuntut perbaikan, serta

menyatakan pendapat pun menjadi terbatasi akibat posisi buruh yang lemah

ini, ditambah ancaman PHK yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh

pengusaha. Kendati Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mengisyaratkan agar

syarat perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh yang

dioutsourcing sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan

syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi kerja atau sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun itu merupakan hal yang

sangat sulit untuk diwujudkan. Karena kalangan pengusaha melakukan pola

hubungan kerja seperti itu justru dengan pertimbangan bahwa biayanya lebih

murah dan resikonya lebih ringan. Jika praktek outsourcing ini terus terjadi,

dan bahkan semakin meluas, maka dapat dipastikan bahwa tingkat

pengangguran di Indonesia akan terus bertambah. Hal ini disebabkan oleh

syarat kerja outsourcing yang menekankan keterampilan kerja yang kompetitif,

sementara kondisi buruh di Indonesia sama sekali belum memadai untuk

memiliki keterampilan multi bidang. Misalnya saja seorang pekerja tekstil

7

dengan status outsourcing, tentu akan menjadi gagap ketika harus dengan

tiba-tiba disalurkan keperusahaan pertambangan atau alat berat. Pola ini

justru akan berakibat kontra produktif terhadap kinerja perusahaan. Pada

kenyataan sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan

pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak

tetap/kontrak, upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas

minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan

karir dan lain-lain sehingga memang benar, kalau dalam keadaan seperti itu

dikatakan, praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh. Hal lain

yang menyebabnya masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia adalah

banyaknya perusahaan nakal yang biasanya cenderung mengikat buruhnya

bekerja melalui mekanisme perjanjian kerja magang dan perjanjian kerja waktu

tertentu. Jika banyak perusahaan menggunakan cara tersebut untuk merekrut

pekerja, maka secara otomatis kerugian banyak diterima oleh si pekerja.

Apabila banyak perusahaan menggunakan perjanjian-perjanjian tersebut

berarti perusahaan hanya perlu menanggung gaji atau upah pekerja.

Sedangkan fasilitas pekerja seperti kesehatan, pesangon, dan lain-lain tidak

bisa di dapatkan oleh pekerja karena mereka masih berstatus buruh kontrak.

Dengan adanya sistem outsourcing yang banyak merugikan kaum

pekerja/buruh, tidak adanya sistem perekrutan pekerja yang bersifat tetap

dalam kurun waktu yang tak bisa ditentukan, semakin sempitnya lapangan

pekerjaan yang ada di Indonesia, ditambah lagi jumlah penduduk yang semakin

bertambah tiap tahunnya, membuat angkatan kerja kesulitan untuk mencari

pekerjaan yang tetap. Hal itulah yang menyebabkan semakin banyaknya angka

pengangguran meskipun sudah diterbitkannya Undang-Undang No 13 Tahun

2003 tentang ketenagakerjaan.

6. Permasalahan kependudukan yang dialami oleh Indonesia dikelompokkan

menjadi dua, yaitu permasalahan kuantitas penduduk dan permasalahan

kalitas penduduk. Adapun permasalahan kuantitas penduduk Indonesia

diantaranya adalah: Jumlah penduduk Indonesia, pertumbuhan penduduk

Indonesia, kepadatan penduduk Indonesia, dan susunan penduduk Indonesia.

Upaya pemerintah mengatasi permasalahan kuantitas penduduk antara lain,

dengan a) Pengendalian jumlah dan pertumbuhan penduduk : Dilakukan

dengan cara menekan angka kelahiran melalui pembatasan jumlah kelahiran,

menunda usia perkawinan muda, dan meningkatkan pendidikan. b)

Pemerataan persebaran penduduk : dilakukan dengan cara transmigrasi dan

pembangunan industri di wilayah yang jarang penduduknya. Untuk mencegah

8

migrasi penduduk dari desa kekota, pemerintah mengupayakan berbagai

program berupa pemerataan pembangunan hingga ke pelosok, perbaikan

sarana dan prasarana pedesaan, dan pemberdayaan ekonomi di pedesaan.

Sedangkan permasalahan kualitas penduduk di Indonesia antara lain: Tingkat

kesehatan, tingkat pendidikan, lama sekolah, tingkat melek huruf, dan tingkat

pendapatan per kapita. Adapun upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam

menangani masalah kualitas penduduk dapat dilakukan dengan beberapa cara

berikut: Masalah tingkat pendidikan, a) Pencanangan wajib belajar 12 tahun. b)

Mengadakan proyek belajar jarak jauh seperti SMP Terbuka dan Universitas

Terbuka. c) Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan (gedung sekolah,

perpustakaan, laboratorium, dll). d) Meningkatkan mutu guru melalui

penataran-penataran. e) Menyempurnakan kurikulum sesuai perkembangan

zaman. f) Mencanangkan gerakan orang tua asuh. g) Memberikan beasiswa bagi

siswa yang berprestasi. Masalah kesehatan: a) Mengadakan perbaikan gizi

masyarakat. b) Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. c)

Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan. d) Membangun sarana-sarana

kesehatan, seperti puskesmas, rumah sakit, dll. e) Mengadakan program

pengadaan dan pengawasan obat dan makanan. f) Mengadakan penyuluhan

tentang kesehatan gizi dan kebersihan lingkungan. Masalah tingkat

penghasilan/pendapatan (pendapatan per kapita): a) Menekan laju

pertumbuhan penduduk. b) Merangsang kemauan berwiraswasta. c)

Menggiatkan usaha kerajinan rumah tangga/industrialisasi. d) Memperluas

kesempatan kerja. e) Meningkatkan GNP dengan cara meningkatkan barang

dan jasa.

7. Transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri pada

awalnya didasari dari pemikiran kaum petani yang menganggap di sektor

pertanian sudah tidak dapat menjanjikan kesejahteraan bagi para petani. Hal

ini sebenarnya merupakan akibat dari ketimpangan pemerataan pengembangan

antar sektor. Ini disebabkan karena pengembangan sektor industri kurang

tepat. Sektor industri yang seharusnya dikembangkan adalah industri yang

menopang pertanian dan mengolah hasil pertanian serta industri yang padat

tenaga kerja. Namun dalam kenyataannya industri yang dikembangkan

tidaklah demikian. Sampai saat ini Indonesia memiliki pabrik pupuk dan

pestisida yang tidak memadai, sehingga masih ada ketergantungan pada

import. Industri yang dikembangkan justru industri perakitan teknologi tinggi

seperti otomotif, komputer, pesawat terbang yang membutuhkan ketrampilan

tinggi, sehingga tidak dapat menyerap limpahan tenaga kerja sektor pertanian

9

yang umumnya kurang ketrampilan. Hal itu mengakibatkan semakin

banyaknya tenaga dari sektor pertanian yang menganggur. Selain itu,

pengembangan teknologi di bidang pertanian pun masih kurang memadai.

Kalau pun sudah ada pengembangan teknologi pertanian, harganya pun masih

relatif mahal sehingga banyak petani yang lebih memilih menggunakan cara

tradisional dalam mengolah lahan pertaniannya. Karena masih menggunakan

cara tradisional tersebut, maka para petani banyak yang belum mampu

mengoptimalkan produktifitasnya. Karena produktifitas belum optimal, maka

secara langsung pendapatan yang diperoleh petani juga belum mampu

meningkatkan kesejahteraan para petani tersebut. Penumpukan pengangguran

serta kurangnya kesejahteraan di sektor pertanian itu lah yang membuat

tenaga kerjanya memilih untuk berpindah ke sektor industri. Hal itu

memungkinkan tenaga kerja yang berkompetensi di bidang pertanian pun ikut

pindah ke sektor industri dikarenakan kurang optimalnya kesejahteraan yang

dapat dicapainya di sektor pertanian. Jika banyak pekerja yang berkompeten di

bidang pertanian ikut pindah ke sektor industri, hal itu akan menimbulkan

masalah baru, yaitu krisis pangan dalam negeri akibat kurangnya tenaga kerja

yang berkompeten di sektor pertanian. Seharusnya pengembangan sektor

industri diarahkan untuk mendukung perkembangan sektor pertanian sehingga

ketimpangan pendapatan antar sektor dapat dikurangi dan dapat

mengendalikan penumpukan tenaga kerja di sektor pertanian maupun industri.

Dampak yang timbul dari adanya transformasi tenaga kerja dari sektor

pertanian ke sektor industri adalah sebagai berikut: a) pembangunan sektor

pertanian tidak dapat dilaksanakan dengan tuntas, karena ketergantungan

material input dari luar yang tentunya membutuhkan biaya sangat besar. b)

Terjadinya krisis pangan dalam negeri karena produktifitas tanaman pengan

menurun. c) Semakin menurunnya produktifitas akan hasil pertanian yang

disebabkan oleh semakin berkurangnya tenaga kerja yang bekerja di bidang

pertanian. d) Semakin terpuruknya sektor pertanian Indonesia karena adanya

teransformasi tenaga kerja. e) Munculnya pengangguran struktural yang tidak

mungkin tertampung seluruhnya pada sektor industri dan jasa. f) limpahan

tenaga kerja sektor pertanian tidak terserap di sektor industri dan jasa akibat

rendahnya kualitas tenaga kerja, padahal sektor pertanian telah mengalami

kejenuhan. Akhirnya tenaga kerja lari ke sektor informal perkotaan dan

menimbulkan permasalahan baru di perkotaan.

8. Terjadinya kesenjangan spasial dalam pemerataan pendapatan antar

masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan antara lain disebabkan

10

oleh investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal yang

kebanyakan terkonsentrasi di sektor industri (perkotaan), masih terbatasnya

akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha,

input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya

pengembangan peluang usaha dan kerjasama investasi, dan yang paling

menonjol adalah perbedaan tingkat pendapatan antar masyarakat kedua

wilayah tersebut. Di daerah perkotaan terdapat berbagai jenis pekerjaan dengan

tingkat pendapatan yang berbeda-beda pula, seperti direktur perusahaan,

pegawai bank, desainer, dll. Sementara di desa, umumnya masyarakatnya

mempunyai pekerjaan/ bermatapencaharian yang sama, yaitu sebagai petani,

kuli, serabutan, dan lain-lain yang mana pendapatannya biasanya hanya

cukup untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja dan untuk keperluan

mata mencahariannya. Dari perbedaan pekerjaan antara masyarakat desa

dengan masyarakat kota tersebut tentu dapat di lihat kesenjangan

pendapatannya. Misalnya, seorang desainer yang memiliki penghasilan rata-

rata 50 juta per bulan dengan seorang buruh tani yang rata-rata

penghasilannya hanya sekitar 400-600 ribu per bulan. Walaupun saat ini

banyak masyarakat desa yang mempunyai pekerjaan yang memberikan

penghasilan yang tidak sedikit, namun itu hanya sebagian kecil saja dari

masyarakat pedesaan. Jumlahnya tidak sebanding jika dibandingkan dengan

masyarakat perkotaan yang jauh lebih banyak masyarakatnya yang mempunyai

penghasilan tinggi, walaupun juga terdapat banyak orang-orang yang dapat

dikatakan miskin yang hidup di perkotaan (seperti pemulung atau orang-orang

yang tidak memiliki pekerjaan tetap di kota). Perbedaan tingkat pendapatan

antara masyarakat kota dengan masyarakat desa sudah tentu akan

menyebabkan perbedan pola atau prilaku konsumsi masyarakat. Pola

konsumsi masyarakat perkotaan jauh berbeda dengan masyarakat pedesaan.

Umumnya, bagi masyarakat perkotaan lebih menekankan kualitas dari pada

kuantitas. Selain itu, konsumsi masyarakat perkotaan tidak hanya sebatas

pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja, namun juga untuk pemenuhan

aktualisasi diri dan kebutuhan barang mewah seperti mobil, rumah mewah, dll.

Konsumsi mayarakat perkotaan yang berpenghasilan tinggi tidak hanya sebatas

itu saja. Mereka biasanya mengalokasikan sebagian ari pendapatannya untuk

saving, investasi, asuransi, dan tunjangan hari tua lainnya. Berbeda dengan

pola/prilaku konsumsi masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan umumnya

didominasi oleh konsumsi kebutuhan primer, yaitu untuk pemenuhan

kebutuhan sehari-hari saja. Untuk selebihnya mereka gunakan untuk

11

pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan mata pencahariannya, atau

ditabung. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, HP dan

sepeda motor saat ini bukan hanya menjadi barang penting bagi masyarakat

perkotaan, tetapi juga bagi masyarakat pedesaan.

9. Eksop-impor, memudahkan masyarakat untuk dapat mengkonsumsi barang-

barang dari luar negeri. Dan sebaliknya, masyarakat dalam negeri juga dapat

memasarkan produk usahanya ke luar negeri. Modernisasi dan globalisasi

mendorong perkembangan industri yang pesat untuk penyediaan barang

kebutuhan masyarakat sehingga tingkat konsumsi masyarakat juga akan

meningkat. Dengan adanya perdagangan bebas (ekspor-impor) maka tentunya

akan mempunyai pengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat Indonesia.

Semakin banyak produk-produk luar negeri yang masuk ke Indonesia, maka

semakin banyak pula pilihan barang-barang yang akan dikonsumsi oleh

masyarakat di Indonesia. Hal tersebut akan membuka kemungkinan bagi

masyarakat Indonesia untuk memperoleh barang-barang baru, dan bahkan

barang-barang yang sebelumnya tak terbayangkan bisa terjangkau oleh

mereka. Dengan tersedianya banyak pilihan untuk memenuhi kebutuhan

hidup, maka masyarakat pun akan semakin konsumtif. Karena dengan adanya

perdagangan bebas, produk yang ada di pasaran lebih beragam, sehingga

memudahkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu,

masyarakat bisa melakukan konsumsi dalam jumlah yang lebih besar dari pada

sebelum adanya perdagangan bebas. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan

adanya perdangangan bebas maka pendapatan riil masyarakat (yaitu,

pendapatan yang diukur dari berapa jumlah barang yang bisa dibeli oleh

jumlah uang tersebut), telah mengalami peningkatan. Dibukanya hubungan

luar negeri merangsang kebiasaan hidup yang individualistis dan pola

konsumsi yang mewah. Mayarakat (dimulai dari golongan yang berpenghasilan

tinggi) cenderung untuk meniru gaya dan kebiasaan hidup dari negara-negara

maju lewat contoh-contoh yang ditunjukkan lewat media dan film, televisi,

majalah-majalah dan sebagainya. Akibatnya ada kecenderungan bagi

masyarakat tersebut untuk berkonsumsi yang berlebihan (masyarakat menjadi

lebih konsumtif). Mereka cenderung untuk lebih memilih barang-barang impor

karena dinilai kualitasnya yang lebih bagus. Padahal belum tentu baranga-

barang import itu memiliki kualitas yang bagus. Banyak juga barang-barang

produksi dalam negeri yang tidak kalah kualitasnya dibandingkan dengan

barang import. Karena itu, masyarakat seharusnya lebih bisa selektif dalam

memilih produk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika pasar global

12

tidak diimbangi dengan sikap selektif dan bijaksana konsumen, maka sikap

konsumtif masyarakat dikhawatirkan akan semakin parah akibat mereka

terlalu dimanjakan oleh produk-produk luar negeri.

10. Pangsa pasar investasi sektor pertanian terhadap total investai PMDN pada 2

tahun terakhir hanya sekitar 10%, mengalami penurunan dibanding tahun

2006 sebesar 17,12%. Hal ini, akibat return dan payback di sektor pertanian

yang lebih rendah dibandingkan dengan sektor lain. Investasi pertanian

terhadap total investasi PMA menyumbang 2,5%, mengalami penurunan

dibanding tahun 2006 sebesar 6.2%. Investasi PMA yang rendah dipicu

kurangnya bibit unggul komoditi pertanian di Indonesia. Seperti di peternakan,

investor asing yang menggeluti usaha penggemukkan ternak, melakukan impor

ternak dari negara yang memiliki bibit-bibit ternak unggul. Dengan biaya

transportasi besar, investor asing kurang tertarik atas investasi di pertanian.

Hal lain yang menyebabkan para investor kurang tertarik untuk menanamkan

modalnya pada sub sektor pertanian adalah karena masih rendahnya

pertumbuhan output pertanian di Indonesia, yang disebabkan oleh rendahnya

kualitas SDM , semakin menyempitnya lahan garapan petani, dan masih

rendahnya penguasaan teknologi oleh para petani. Selain itu, sektor pertanian

(khususnya sub sektor tanaman pangan) memiliki resiko yang sangat tinggi

karena sangat tergantung pada kondisi musim. Indonesia yang mempunyai

iklim tropis, sehingga pada saat terjadi kemarau panjang, tentu akan

berpengaruh terhadap output pertanian. Hal lain yang juga berpengaruh

terhadap rendahnya minat investor untuk menanamkan modal di bidang

pertanian salah satunya karena tidak ada konsistensi kebijakan pemerintah.

Investor kerap ragu mengambil keputusan sebab kebijakan pemerintah kerap

berubah sewaktu-waktu. Masalah infrasruktur yang rendah juga

memepengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya pada sektor ini.

Melihat dari kondisi tersebut di atas, maka diperlukan upaya pemerintah guna

melindungi dan meningkatkan kemakmuran petani tanaman pangan. Adapun

upaya/kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut: a)

Memperluas dan meningkatkan basis produksi secara berkelanjutan.

Arah kebijakan ini adalah meningkatkan investasi swasta, penggunaan lahan,

pewilayahan komoditas dan penataan pemanfaatan lahan pertanian. b)

Meningkatkan diversifikasi pangan. Meliputi pengembangan pangan sesuai

sumber daya lokal, meningkatkan diversifikasi konsumsi pangan yang beragam,

bergizi dan seimbang serta meningkatkan kualitas pangan yang aman dan

halal. c) Meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian. Meliputi

13

revitalisasi penyuluhan, pendampingan petani, pendidikan dan pelatihan

pertanian, meningkatkan peran serta masyarakat, meningkatkan kompetensi

dan moral aparatur dan pengembangan kelembagaan petani. d) Meningkatkan

ketersediaan sarana dan prasarana pertanian. Kebijakan ini meliputi

pengembangan sarana dan prasarana usaha pertanian, pengembangan sarana

pengolahan dan pemasaran serta pengembangan lembaga keuangan mikro

pedesaan. e) Meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna.

Kebijakan ini diarahkan untuk merespon permasalahan dan kebutuhan

pengguna , mendukung optimasi pemanfaatan sumber daya spesifik lokasi,

pengembangan produk berdaya saing, percepatan proses dan perluasan

jaringan diseminasi dan penyaringan umpan balik inovasi pertanian. f)

Meningkatkan promosi dan pengembangan komoditas pertanian. Meliputi

kebijakan subsisdi tepat sasaran dalam sarana produksi, harga out put dan

bunga kredit untuk modal usaha tani; peningkatan ekspor; peningkatan

produktivitas dan efisiensi usaha; perbaikan kualitas dan standarisasi produk;

serta penguatan sistim pemasaran dan perlindungan usaha. Selain kebijakan

tsb. diatas, diperlukan juga kebijakan yang terkait dengan pembangunan

pertanian, namun perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi terkait

yaitu: a) Pembangunan infrastruktur pertanian meliputi pembanguanan

jaringan irigasi, pencegahan konversi lahan, pengembangan jalan produksi

serta infrastruktur lainnya. b) Kebijakan pembiayaan pertanian untuk

mengembangkan lembaga keuangan yang khusus menangani sektor pertanian.

c) Kebijakan perdagangan yang memfasilitasi kelancaran pemasaran baik di

pasar dalam negeri maupun ekspor. d) Kebijakan pengembangan industri yang

lebih menekankan pada agroindustri (skala kecil) di pedesaan dalam rangka

meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani. e) Kebijakan investasi yang

kondusif untuk lebih mendorong minat investor dalam sektor pertanian. f)

Pembiayaan pembangunan yang lebih memprioritaskan anggaran sektor

pertanian. Perhatian pemerintah kabupaten/kota pada pembangunan pertanian

meliputi: infrastruktur pertanian, pemberdayaan penyuluh pertanian,

menghilangkan berbagai pungutan yang mengurangi daya saing produk

pertanian, serta alokasi dana yang memadai. g) Peran swasta dalam

menampung hasil pertanian dan investasi di sektor pertanian melalui CSR

(Corporate Social Responsibility ).

11. a) Berpengaruh terhadap APBN-RI. Melihat kebutuhan MIGAS yang lebih

banyak dari produksi MIGAS di Indonesia per harinya, maka secara otomatis

Indonesia akan mengimpor MIGAS, dimana harga MIGAS di pasar Internasional

14

mencapai $103,20 per barrel sedangkan harga MIGAS di Indonesia dipatok

$90/barrel. Dengan demikian harga tersebut akan menambah pengeluaran

APBN-RI pada saat kita mengimpor MIGAS. Jika hal ini terus terjadi maka

APBN-RI akan mengalami defisit dengan harga dollar yang tinggi yaitu $1 = Rp

10.000. b) Berpengaruh terhadap Ekspor Impor BBM. Indonesia keluar dari

OPEC tahun 2007, dan Indonesia sejak saat itu tidak pernah ekspor MIGAS,

karena kebutuhan dalam negeri belum tercukupi. Produksi MIGAS Indonesia

yang lebih kecil dari kebutuhan MIGAS tiap harinya, maka secara otomatis

akan menaikan impor MIGAS. Apabila keadaan ini berlanjut maka akan terjadi

defisit pada APBN karena impor>ekspor. c) Yang harus dibayar pemerintah

dalam memenuhi kebutuhan MIGAS dalam negeri adalah sebesar: ( 1,5 juta

barrel/hari – 916 ribu barrel/hari = 584.000 barrel/hari impor MIGAS x $

103,20 = $ 60.268.800 x Rp 10.000 = Rp 602.688.000.000 )maka jumlah

itulah yang harus dibayar pemerintah dalam pemenuhan MIGAS tiap harinya.

d) Subsidi yang diberikan pemerintah adalah: ($103,20 - $90=$ 13,20= harga

yang harus disubsidi pemerintah per harinya) ($13,20 x Rp 10.000 = Rp

132.000 x 584.000 barrel = Rp 77.088.000.000) jika dihitung dengan rupiah.

12. a) Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat sudah terlihat tanda-

tandanya beberapa waktu yang lalu, tetapi baru dianggap serius oleh

pemerintah Indonesia sejak tanggal 8 Oktober 2008 saat IHSG di BEI turun

tajam sampai 10,38 % dan mengharuskan pemerintah menghentikan kegiatan

di pasar bursa modal beberapa hari. Krisis keuangan global yang berlangsung

hingga hari ini, gejala awalnya bisa dirujuk semenjak bangkrutnya perusahan-

perusahaan keuangan raksasa di AS seperti Merrill Lynch dan Lehman Brothers

pada 2008, yang kemudian mendorong juga terjadinya krisis ekonomi, terutama

di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Indonesia pun sempat terkena dampaknya,

berupa anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek

Indonesia (BEI), dan juga terus melemahnya nila tukar Rupiah terhadap mata

uang US$ Dollar. Pada waktu itu, BEI sendiri sempat ditutup beberapa hari

untuk menghindari semakin tajamnya penurunan IHSG yang telah mencapai

10,08% dalam waktu kurang dari dua jam. Penutupan sementara kinerja BEI

itu dilakukan untuk menghindari dan mencegah semakin terpuruknya bursa

akibat sentiment negatif. Karena yang bertransaksi di Bursa Efek Indonesia

tidak hanya investor lokal melainkan juga investor asing, maka ketika investor

asing yang sedang membutuhkan likuiditas untuk kepentingan perusahaannya

mau tidak mau menjual saham-saham yang ada di Indonesia juga untuk

mendapatkan dana, begitu banyaknya saham yang dijual maka tentu saja

15

harga-harga saham jadi turun tajam. Bagi Investor lokal yang tidak tahan dan

mempunyai kebiasaan mengikuti investor asing turut menjual juga saham

mereka, sehingga menambah laju jatuhnya harga saham di Bursa Efek

Indonesia. Jika semua investor baik asing maupun lokal banyak yang menjual

sahamnya, maka secara otomatis akan menghambat laju pembangunan di

Indonesia. Itulah alasan mengapa pada saat itu Pemerintah menutup

sementara Bursa Efek Indonesia (BEI). b) Pada saat itu konversi rupiah

terhadap dollar merosot dikarenakan adanya aliran keluar modal asing akibat

kepanikan yang berlebihan terhadap krisis keuangan. Banyak investor dan

pemilik uang dollar yang menukarkan uang mereka dengan rupiah. Mereka

takut nilai tukar dollar akan semakin turun. Dengan semakin banyak orang

yang menukarkan dollarnya dengan rupiah dan banyak investor asing yang

menarik dananya dari Indonesia maka membuat nilai rupiah menjadi turun. c)

Indonesia merupakan negara yang masih sangat bergantung dengan aliran

dana dari investor asing, dengan adanya krisis global ini secara otomatis para

investor asing tersebut menarik dananya dari Indonesia. Aliran dana asing yang

tadinya akan digunakan untuk pembangunan ekonomi dan untuk menjalankan

perusahaan-perusahaan hilang. Banyak perusahaan menjadi tidak berdaya,

yang pada ujungnya negara kembalilah yang harus menanggung hutang

perbankan dan perusahaan swasta. Dampak lain dari krisis global ini adalah

semakin banyak perusahaan yang mengurangi jumlah tenaga kerjanya.

Diperkirakan 200 ribu jiwa akan menjadi pengangguran pada tahun 2009.

Dengan bertambahnya angka pengangguran maka pendapatan per kapita juga

akan berkurang dan angka kemiskinan akan semakin bertambah. Karena krisis

yang terjadi adalah krisis global, maka tenaga kerja Indonesia yang ada di luar

negeri juga akan merasakan imbasnya. Hal tersebut tentu saja sangat

mempengaruhi roda perekonomian Indonesia. Semakin terintegrasinya

perekonomian global dan semakin dalamnya krisis menyebabkan perekonomian

di seluruh negara akan mengalami perlambatan pada tahun 2009. Indonesia

tak terkecuali. Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia di

tahun 2009 akan tumbuh melemah menjadi sekitar 4,0%, dengan risiko ke

bawah terutama apabila pelemahan ekonomi global lebih besar dari yang

diperkirakan. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut bukan

sesuatu yang buruk apabila dibandingkan dengan banyak negara-negara lain

yang diperkirakan tumbuh negatif. Oleh karenanya, upaya Pemerintah dan

Bank Indonesia untuk mencegah dampak krisis ini meluas lebih dalam, melalui

16

kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor riil, menjadi penting untuk

dilakukan di tahun 2009.

17