43
PAPPER IDENTIFIKASI METABOLIT SEKUNDER PADA BEBERAPA HEWAN LAUT OLEH: AWARI SUSANTI 1320422015 PROGRAM PASCASARJANA BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Metabolit sekunder hewan laut

Embed Size (px)

Citation preview

PAPPER

IDENTIFIKASI METABOLIT SEKUNDER PADA BEBERAPA HEWAN LAUT

OLEH:

AWARI SUSANTI1320422015

PROGRAM PASCASARJANA BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG,2014

BAB I. PENDAHULAUN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan memilki garis pantai sepanjang lebih

kurang 81.000 km dengan wilayah laut yang sangat luas. Hal ini

menjadikan perairan Indonesia memilki potensi kekayaan alam yang besar

dengan tingkat keragaman hayati yang tinggi, di dalamnya terdapat

berbagai jenis organisme laut. Pemanfaatan organisme laut tidak hanya

terbatas sebagai bahan makanan, tetapi juga sebagai sumber bahan kimia

alam yang berpotensi sebagai obat (Handayani et.,all, 2008).

Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan

keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dan juga didukung

kenyataan bahwa laut Indonesia memiliki hamparan terumbu karang

terluas di dunia, yaitu 51.020 km2 atau sekitar 17,95% dari luas seluruh

terumbu karang di dunia dan kedudukannya merupakan pusat segitiga

terumbu karang dunia (Maraskuranto, E. 2010). Diperkirakan lebih dari

35.000 spesies biota laut memiliki potensi sebagai penghasil bahan obat-

obatan, sementara yang dimanfaatkan baru sekitar 5.000 spesies (Dahuri,

R. 2003)

Bahan alam yang jumlahnya tidak terbatas ini menjadi potensi

tersendiri khususnya kimia bahan alam dalam bidang isolasi senyawa

bahan alam. Senyawa metabolit sekunder yang telah ditemukan sudah

sangat banyak tetapi belum maksimal dibandingkan dengan potensi

sumbernya.(Dini,2009).

Senyawa metabolit sekunder merupakan sumber bahan kimia alami

yang dapat ditemukan di alam, baik pada tumbuhan maupun pada hewan,

sejauh ini telah banyak dilakukan penelitian tentang senyawa metabolid

pada hewan laut yang berpotensi sebagai obat atau untuk menunjang

berbagai kepentingan indusri.

Senyawa metabolit pada hewan dan tumbuhan tidak akan pernah

habis dan terus akan tercipta dengan struktur molekul yang mengalami

interkonversi sejalan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian

senyawa yang bersumber dari alam akan terus ada tercipta baik yang sudah

pernah ditemukan maupun yang baru dan belum diketemukan. (Dini

2009).

Pada dekade belakangan ini , penelitian tentang hewan laut yang

memiliki senyawa metabolit sekunder telah banyak di manfaatkan sebagai

obat dan bahan industri. Adapun jenis-jenis senyawa metabolit sekunder

yang di miliki oleh hewan - hewan laut akan dibahas pada bab selanjutnya.

B. Tujuan

1. Mengetahui jenis-jenis metabolit sekunder pada berbagai jenis hewan

laut.

2. Mengetahui fungsi dan manfaat yang di peroleh dari metabolit

sekunder pada hewan laut.

C. Manfaat

1. Bagi penulis papper ini dapat menambah ilmu pengetahuan tentang

metabolit sekunder dari hewan-hewan laut.

2. Sebagai bagan acuan bagi yang akan melakukan penelitian tentang

metabolit sekunder pada hewan laut.

3. Dengan adanya informasi tentang metabolit sekunder pada hewan laut

maka penulis dan pembaca dapat memanfaatkan secara langsung

dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II. PEMBAHASAN

A. Metabolit Sekunder.

Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak esensial bagi

pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau

berbeda-beda antara spesies yang satu dan lainnya. Fungsi metabolit

sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang

kurang menguntungkan, misalnya untuk mengatasi hama dan penyakit,

menarik polinator, dan sebagai molekul sinyal (Verpoorte & Alfermann,

2000). Identifikasi kandungan metabolit sekunder merupakan langkah

awal yang penting dalam penelitian pencarian senyawa bioaktif baru dari

bahan alam yang dapat menjadi prekursor bagi sintesis obat baru atau

prototipe obat beraktivitas tertentu ( Harborne, 2006).

Beberapa jenis organisme yang terdapat di dalamnya merupakan

sumber vitamin, protein, dan mineral. Selain itu, ada juga beberapa jenis

organisme yang mensintesis dan menyimpan senyawa toksin (marine

toxin) pada bagian tubuhnya atau dikeluarkan ke lingkungan hidupnya

(Satari, 2003). Senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang

digunakan dalam sistem pertahanan diri, yaitu untuk mempertahankan

hidup dan menghindari gangguan dari organisme lain di lingkungan

hidupnya. Karena aktivitas farmakologiknya maka senyawa tersebut

memiliki prospek untuk diisolasi dan dimanfaatkan dalam bidang

pengobatan (Sardjoko, 1996).

Saat ini upaya kebutuhan obat baru dipenuhi melalui kerja

eksploratif yaitu pencarian dengan memodifikasi struktur senyawa obat

yang secara klinis masih digunakan dan memanfaatkan sumber daya alam.

Salah satu sumber daya alam yang belum dikembangkan secara maksimal

adalah sumber alam kelautan (Wahyuono, 2003).

B. Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder Serta Uji Aktivitas Antibakteri Dan Antioksidan Ekstrak Metanol Teripang Stichopus Hermanii.

Identifikasi senyawa metabolit sekunder pada uji aktivitas antibakteri dan

antioksidan ekstrak metanol teripang Stichopus hermanii dengan

pengamatan reaksi warna, pengendapan dan buih. Uji aktivitas antibakteri

dan antioksidan ekstrak metanol teripang dilakukan masing-masing

dengan metode difusi dan reduksi senyawa radikal bebas 1,1-Diphenyl-2-

Picrylhydrazyl (DPPH). Hasil penelitian menunjukkan bahwa golongan

senyawa metabolit sekunder yang teridentifikasi dalam ekstrak metanol

teripang S. hermanii adalah saponin dan steroid. Kedua metabolit sekunder

tersebut memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus,

Vibrio eltor dan Bacilus subtilis. Terhadap aktivitas antioksidan

menunjukkan bahwa nilai IC50 ekstrak metanol teripang S. hermanii

sebesar 65,08 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa S. hermanii memiliki

potensi sebagai antibakteri dan antioksidan.

Untuk identifikasi senyawa alkaloid, sebanyak 1 gram ekstrak

teripang ditambah dengan 3 tetes amonia 10% dan 1,5 mL kloroform, lalu

dikocok. Lapisan kloroform diambil kemudian dilarutkan dalam 1 ml asam

sulfat 2 N, kemudian dikocok. Setelah itu, ekstrak ditambahkan dengan

pereaksi Meyer. Terbentuknya endapan putih menandakan adanya

senyawa alkaloid (Harborne, 2006).

Untuk identifikasi senyawa steroid dan triterpenoid, sebanyak

sebanyak 1 gram ekstrak metanol teripang ditambah dengan 2 ml

kloroform dalam tabung reaksi, kemudian diteteskan ke dalam plat tetes,

dan dibiarkan sampai kering. Setelah itu, ditambahkan dengan 1 tetes

pereaksi Liebermann-Burchard. Terbentuknya warna merah menandakan

adanya senyawa triterpenoid dan terbentuknya warna biru atau ungu

menandakan adanya senyawa steroid (Harborne, 2006).

Untuk identifikasi senyawa saponin, sebanyak 1 gram ekstrak

teripang ditambah dengan 20 ml akuades, kemudian dipanaskan selama 5

menit. Larutan dituang ke dalam tabung reaksi dalam keadaan panas.

Larutan diambil sebanyak 10 ml, kemudian dikocok kuat secara vertical

selama 10 detik. Adanya saponin ditandai dengan terbentuknya busa yang

stabil setinggi 1-10 cm selama 10 menit dan tidak hilang pada saat

ditambahkan dengan satu tetes HCl 2 N (Harborne, 2006).

C. Aktivitas Hemolitik Teripang (Bohadschia Graeffei) Pada Beberapa Suhu dan PH.

Salah Satu Invertebrata Laut, Teripang (Bohadschia graeffei) merupakan

salah satu sumber bahan hayati laut yang bermanfaat di bidang pangan

maupun biomedik. Hewan ini dilaporkan memiliki kandungan hemolisin,

yaitu protein aktif yang mampu melisis sel darah merah. Senyawa ini

dikenal sebagai hemolisin, yang merupakan salah satu produk metabolit

sekunder (Russell, 1965). Hashimoto (1979) menyatakan bahwa toksin

yang dikandung teripang pada dasarnya adalah saponin triterpenoid yang

merupakan komponen utama toksin pada Echinodermata. Pengembangan

potensi hemolitiknya dapat menjadikannya sebagai kandidat obat

antitumor, sitolisin ataupun bahan dalam bidang kajian biomedik.

Metabolit sekunder dari invertebrata laut dapat diekstraksi lanjut

untuk dijadikan bahan baku obat (Wright, 1984). Demikian pula,

hemolisin pada teripang dapat dikembangkan potensinya sebagai sitolisin,

kandidat obat antitumor ataupun bahan untuk bidang kajian biomedik. Di

beberapa negara maju, jenis-jenis teripang tertentu selain dimanfaatkan

sebagai bahan pangan, juga telah dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam

industri obat-obatan.

Tu (1988) melaporkan, selain holothurin, jenis-jenis toksin lain

yang dikandung teripang, yaitu bohadschiosida, stichoposida,

thelenotosida dan holotoksin. Toksin teripang bersifat ichtiotoksik,

hemolitik, sitotoksik, antifungi (Hashimoto, 1979), antiviral (Wright,

1984), antimetabolik, neurotoksik (Russell, 1965), dan antitumor (Florkin

and Scheer, 1969).

Hemolisis merupakan peristiwa luruhnya membran eritrosit yang

mengakibatkan keluarnya isi sel diikuti lepasnya molekul hemoglobin

yang terkandung di dalamnya. Boorman et al. (1988) menyatakan bahwa

pada peristiwa lisis membran eritrosit tetap dalam keadaan tidak terurai,

tetapi pada bagian membran tertentu terjadi kebocoran yang menyebabkan

keluarnya isi sel karena mekanisme komplemen pada gabungan antigen-

antibodi. Mekanisma hemolisin melisis sel darah merah dari beberapa

bakteri yaitu dengan membentuk pori-pori pada membran sel (Chalneau et

al., 2010).

Hemolisin, sebagai senyawa penyebab hemolisis, ditemukan pada

beberapa biota laut misalnya anemon laut (Anthopleura japonica) (Shiomi

et al., 1986), ular laut (Tugali gigas) dan teripang (Holothuria polii)

(Kamiya et al., 1991), bakteri dan jamur (Humm & Lane, 1974). Aktivitas

hemolitik dapat diukur dengan menggunakan satuan hemolitik unit (HU).

Satu hemolitik unit merupakan jumlah hemolisin yang dapat melisis

setengah dari keseluruhan jumlah eritrosit pada suspensi eritrosit standar

yang digunakan (Humm & Lane, 1974).

Pada pengaruh suhu Jumlah hemolisin yang menyebabkan 50%

hemolisis pada eritrosit standar didapat dari rata-rata nilai absorbans

sampel dibagi dengan nilai absorbans 50% hemolisis pada kurva standar.

Nilai aktivitas hemolitik, dinyatakan dengan Satuan Hemolitik unit (HU),

yang dihasilkan pada beberapa suhu. Aktivitas hemolitik meningkat

seiring dengan peningkatan suhu. Nilai aktivitas optimum berada pada

suhu 50 C dengan nilai aktivitas hemolitik yaitu 1, 37 HU. Pemanasan

hingga 500C menyebabkan protein lain selain hemolisin menjadi

tidak/kurang aktif sehingga hemolisin dapat bekerja secara optimal.

Namun, pemanasan di atas 500C menyebabkan aktivitas hemolitik

menurun akibat hemolisin tidak atau kurang aktif.

Martin et al.(1985) menyatakan bahwa kenaikan kecepatan reaksi

di bawah suhu optimum disebabkan oleh peningkatan energi kinetik

molekul-molekul yang bereaksi. Apabila suhu tetap ditingkatkan hingga

melampaui suhu optimum maka energi kinetik molekul-molekul yang

bereaksi menjadi sedemikian besar sehingga melampaui penghalang energi

untuk pemecahan ikatan-ikatan sekunder. Hal ini akan mengakibatkan

protein atau enzim kehilangan struktur sekunder dan tersier disertai

kehilangan kemampuan hemolitiknya.

Shiomi et al. (1986) melaporkan bahwa hemolisin yang terdapat

pada anemon laut (Anthopleura japonica) labil terhadap pemanasan.

Pengujiannya pada beberapa suhu (40, 60, 80 dan 100 °C) menyebabkan

aktivitas hemolitik anemon laut menurun secara linear terhadap

peningkatan suhu. Penurunan aktivitas yang dilaporkannya secara

berturut-turut sebesar 15, 90 dan 95 %, sedangkan suhu 1000C merusakkan

seluruh aktivitasnya. (Kamiya et al., 1991).

Hemolisin yang diekstraksi dari cairan coelomic teripang

(Holothuria polii) terdiri dari dua jenis yaitu hemolisin yang labil dan

yang tidak labil terhadap pemanasan (Kamiya et al., 199). Florkin &

Scheer (1969) juga menyatakan hal serupa bahwa, secara umum, saponin

tipe holothurin yang dihasilkan teripang tahan terhadap pemanasan.

Hasil pengujian pada beberapa suhu yang diperoleh dapat

dihubungkan dengan suhu optimum yang dibutuhkan bagi aktivitas enzim

pada sel-sel teripang. Giese (1979) menyatakan bahwa umumnya aktivitas

enzim sel-sel organisme di daerah dingin sangat tinggi bagi enzim bakteri

termofilik pada suhu rendah, dan bagi enzim organisme daerah sedang

suhu optimumnya sedang. Teripang (B. graeffei) yang digunakan pada

pengujian ini hidup pada zona fotik perairan. Zona ini menerima banyak

energi cahaya matahari. Jika dihubungkan dengan pernyataan Giese (1979)

maka habitat hidup ini dapat mempengaruhi aktivitas enzim selselnya.

Diperkirakan, aktivitas enzim sel-sel teripang ini membutuhkan suhu

optimum sedang hingga relatif tinggi. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa hemolisin pada teripang (B.graeffei) cukup tahan terhadap

pemanasan.

Pengaruh PH pada hasil pengujian pada beberapa nilai pH

menampakkan pH 8 adalah pH optimum bagi aktivitas hemolitik teripang.

Aktivitas hemolitik meningkat seiring dengan peningkatan pH kemudian

menurun kembali. Pada jenis hemolisin (AJH-2) yang diisolasi dari

anemon laut (A.japonica). Hemolisin jenis ini tidak mengalami perubahan

aktivitas selama jangka waktu penyimpanan 1 minggu pada suhu 40C

maupun pada suhu - 20 0C selama 6 bulan (Shiomi et al., 1986).

Shiomi et al. (1986) memperoleh dua jenis hemolisin pada anemon

lautt. Jenis (AJH-2) yang stabil pada kisaran pH yang luas (pH 2 - 11) dan

jenis (AJH-1) yang kehilangan 80% aktivitas hemolitiknya pada pH 11.

Aktivitas hemolitik yang dihasilkan hemolisin ular laut (T.gigas)

dinyatakan stabil pada kisaran pH 6 - 9, namun kehilangan aktivitas

hemolitiknya pada nilai pH ekstrim (Kamiya et al. 1991).

Pada penelitian ini digunakan pH yang bervariasi tetapi konsentrasi

buffe tetap. Kecenderungan meningkatnya kemampuan hemolitik sesuai

peningkatan pH ini dapat dihubungkan dengan pernyataan Martin et al.

(1985), jika kecepatan reaksi berubah sebagai fungsi pH pada konsentrasi

buffer tetap maka reaksi dikatakan dikatalisis basa spesifik ( pH 7) atau

asam spesifik (< pH 7). Didasarkan pada pernyataan tersebut dapat

dikatakan bahwa protein pada hemolisin B. graeffei dikatalisis oleh basa

spesifik.

Dari hasil Sampel teripang yang diperoleh diekstraksi mengikuti

metode Kamiya et al. (1991) yang telah dimodifikasi yang dilarutkan

dalam larutan Buffer fosfat yang telah di aduk dan di saring untuk

memperoleh filtrat yang akan di sentrifus pada super natan serta

dilakukan proses salting out dengan penambahan amonim sulfat dan

penambahan aseton. Di peroleh uji aktifitas hemolitik pada ektrak kasar

yang di keringkan dengan menggunakan suspensi eritrosit standar.

Menampakkan bahwa aktivitas hemolitik teripang terjadi pada suhu dan

pH optimum berturut-turut yaitu 50 C dan 8. Nampak bahwa suhu

optimum cukup tinggi dan tidak terjadi penurunan aktivitas yang tajam

pada suhu yang lebih tinggi.

D. Metabolit Sekunder Pada Spons (Clathria reinwardtii) dan Uji Bioaktivitasnya terhadap Artemia salina.

Metabolit Sekunder dari Spons di Wilayah Sulawesi Selatan telah

dilakukan, khususnya dari fraksi non aktif dari spons Clathria reinwardtii.

Uji bioaktivitas dilakukan dengan metode Brine Shrimp Lethality Test

(BST) menggunakan Artemia salina Leach. Teknik pemisahan yang

digunakan terdiri atas ekstraksi, fraksinasi, dan pemurnian. Senyawa yang

diperoleh diuji golongan senyawa dan penentuan strukturnya berdasarkan

data fisik dan data spektroskopi UV, IR dan NMR. Dua senyawa yang

diduga termasuk dalam golongan senyawa fenolik dan steroid yaitu β-

sitosterol telah berhasil diisolasi dari Clathria reinwardtii. Ekstrak dari

Clathria sp. memberikan aktivitas antibiofouling yang tinggi dan aktivitas

dalam menghambat jamur Aspergillus fumigatus, Aspergillus sp., dan

Fusarium sp. (Suryati et al., 2005).

Beberapa contoh senyawa metabolit sekunder yaitu dari spons

Xentospongia aschmorica yaitu manzamin A yang berpotensi sebagai

antikanker dan berkemampuan menghambat parasit (Sakai, 1992),

thorectandrol A dan B yang diisolasi dari spons Thorectandra sp yang

dikoleksi dari Palau aktif terhadap sel kanker MALME- 3M (melanoma)

dan MCF-7, disamping itu ditemukan pula senyawa yang s palaulol yang

bersifat sitotoksik pula (Charan, 2001).

Berdasarkan Hasil interpretasi data fisik dan spektrum (UV,IR, dan

NMR) menghasilkan 2 jenis senyawa, yaitu senyawa satu golongan

fenolik dan senyawa dua diduga β-sitosterol. senyawa β -sitosterol

memiliki efek farmakologis yaitu mampu menghambat kerja enzim yang

mengkonversi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) yang

merupakan penyebab terjadinya kanker prostat, β-sitosterol merupakan

senyawa yang efektif digunakan dalam penyembuhan penyakit asma,

sehingga memungkinkan senyawa ini untuk dikembangkan sebagai obat

terapi penyakit alergi.

E. Identifikasi dan uji toksisitas ekstrak etanol spons hyrtios erecta terhadap larva udang artemia salina.

Spons laut merupakan hewan yang paling dominan dalam filum Porifera.

Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons laut memiliki golongan

senyawa kimia antara lain alkaloid, terpenoid, fenol, peptida, steroid dan

poliketida (Thakur, dan Muller,. 2004). Oleh karena itu saat ini mulai

banyak dilakukan penelitian tentang bahan obat yang berasal dari spons

laut, salah satunya adalah spons jenis Hyrtios erecta.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi

aktivitas biologis yang dimiliki oleh spons dari jenis Hyrtios erecta (H.

erecta). Dua alkaloid baru yaitu hyrtiosins A dan B telah diisolasi dari

H.erecta. Penelitian menyebutkan bahwa H. erecta mengadung beberapa

senyawa aktif, seperti spongistatin yang merupakan senyawa antikanker,

15-oxopupeheonol yaitu sebagai penghambat sel kanker dan malaria,

sesterpen 1 yang menghambat sel leukemia, dan dipupehedion sebagai

penghambat sel kanker.(Suaniti,N.M. et., al. 2014).

Senyawa bioaktif yang akan digunakan sebagai produk farmasi

untuk antikanker harus diuji bioaktivitasnya terlebih dahulu. Salah satu

metode uji sitotoksisitas adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) yang

dapat digunakan untuk praskrining terhadap senyawa- senyawa yang

diduga berkhasiat sebagai antikanker (Sukardiman. 2004) dan (Widyastuti,

S. 2008). Bioindikator yang digunakan uji toksisitas tersebut adalah larva

udang Artemia salina Leach. Toksisitas yang tinggi dari senyawa uji

sangat berkorelasi dengan aktivitas senyawa sebagai antikanker

(Suaniti,N.M. et., al. 2014).

Identifikasi senyawa pada isolat toksik relatif murni dilakukan

dengan uji golongan senyawa kimia (uji fitokimia). Uji fitokimia dapat

dilakukan dengan menggunakan pereaksi pendeteksi golongan senyawa

(Suaniti,N.M. et., al. 2014)., meliputi :

1. Flavonoid

Tes dengan NaOH 10% 0,02 g sampel + beberapa tetes pereaksi

NaOH 10%, reaksi positif apabila terjadi perubahan warna menjadi

coklat.

2. Alkaloid

Tes Dragendorff 0,02 g sampel + HCl 0,1 N + beberapa tetes

pereaksi Dragendorff, reaksi positif apabila terdapat endapan warna

merah.

3. Triterpenoid dan Steroid

Tes Liebermann-Burchard 0,02 g sampel + pereaksi Liebermann-

Burchard, reaksi positif apabila terjadi perubahan warna menjadi

ungu-merah-coklat untuk triterpenoid dan warna biru-hijau untuk

steroid.

4. Saponin

0,02 g sampel + 10 mL H2O panas, reaksi positif bila terbentuk busa

stabil kira-kira 10 detik setelah dikocok kuat-kuat dan tidak hilang

bila ditambahkan asam klorida encer.

5. Polifenol

0,02 g sampel + beberapa tetes pereaksi FeCl3 1%, reaksi positif

apabila terjadi perubahan warna menjadi ungu, biru atau hitam yang

kuat.

Idenfikasi Fraksi C spons H.erecta diidentifikasi dengan senyawanya

secara fitokimia. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa fraksi C

mengandung senyawa golongan alkaloid, steroid, dan polifenol.

Tabel 1. Uji Fitokimia untuk Fraksi C

F. Isolasi, Identifikasi dan Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder Ekstrak Kloroform Spons Petrosia alfiani.

Spons laut memiliki potensi bioaktif yang sangat besar. Selama 50 tahun

terakhir telah banyak kandungan bioaktif yang telah ditemukan.

Kandungan bioaktif tersebut dikelompokan beberapa kelompok besar

yaitu antiflammantory, antitumor, immunosuppessive, antivirus,

antimalaria, antibiotik, dan antifouling (Rasyid, 2009).

Isolasi dan identifikasi metabolit sekunder dari ekstrak kloroform spons

Petrosia alfiani telah dilakukan dengan menggunakan metode maserasi,

partisi, kromatografi kolom vakum, dan kromatografi kolom gravitasi.

Senyawa murni telah berhasil diisolasi, kemudian diuji bioaktivitasnya dan

diidentifikasi dengan spektrofotometer UV-Vis, FTIR, dan NMR.

Uji bioaktivitasnya mampu menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococus aureus dengan diameter hambatan 13,8 mm (100 ppm);

16,2 mm (50 ppm); 16,8 mm (10 ppm); 11,2 mm (1 ppm); 7,0 mm

(kontrol negatif); 23,6 (kontrol positif), dan bakteri Escherichia coli

dengan daya hambat 100 ppm (9,8 mm), 50 ppm (8,2 mm), 10 ppm (7,4

mm), 1 ppm (6,8 mm); kontrol positif (25,6 mm); kontrol negatif (7,0

mm), serta uji toksisitas dengan larva udang Artemia salina Leach

menghasilkan nilai LC50 sebesar 0,045 μg/mL (ppm). Identifikasi

senyawa dengan UV-Vis, FTIR, dan NMR memperoleh hasil berupa

senyawa β-sitosterol. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara

lain spons Petrosia alfiani, larutan metanol teknis, kloroform p.a., etil

asetat p.a dan teknis, n-heksana p.a dan teknis, aseton p.a, silika gel 60

(7733), silika gel 60 (7734), silika gel 60 (7730), plat KLT, KLT

preparatif, pasir kuarsa, biakan murni E. coli, biakan murni S. aureus,

medium NA (nutrient Agar), DMSO (dimetil sulfoksida),

Chloramphenicol, dan kapas.

Dua metabolit sekunder telah diisolasi dari spons Petrosia

Hoeksemai yang dikoleksi dari Pulau Menjangan, Bali- Indonesia.

Senyawa tersebut adalah manzamine A dan xestomanzamine A. Senyawa

alkaloid manzamine diketahui memiliki aktivitas antimalaria dan anti-HIV

(Murti, 2006). Spons merupakan sumber senyawa bahan alam seperti

terpenoid, steroid, poliketida, alkaloid, dan masih banyak lagi senyawa-

senyawa yang lain (Ralph, 1988).

G. Metabolit Sekunder Dari Spons Sebagai Bahan Obat-Obatan.

Spons (porifera) merupakan biota laut multi sel yang fungsi jaringan dan

organnya sangat sederhana. Habitat spons umumnya adalah menempel

pada pasir, batu-batuan dan karang-karang mati. Biota laut ini dikenal

dengan "filter feeders", yaitu mencari makanan dengan mengisap dan

menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui

oskulum. Partikel-partikel makanan seperti bakteri, mikroalga dan detritus

terbawa oleh aliran air ini (Amir, 1996). Habitat spons yang melekat pada

pasir atau bebatuan menyebabkan hewan ini sulit untuk bergerak. Untuk

mempertahankan diri dari serangan predator dan infeksi bakteri pathogen,

spons mengembangkan system "biodefense" yaitu dengan menghasilkan

zat racun dari dalam tubuhnya, zat ini umumnya dapat dimanfaatkan

sebagai bahan farmasi (Motomasa, 1998).

Penelitian senyawa aktif dari hasil metabolisme sekunder biota

spons telah menghasilkan beberapa senyawa obat, antara lain adalah

antimikroba, antikanker, anti virus dan lain-lain. Berikut adalah beberapa

senyawa aktif dari biota spons yang berpotensi sebagai bahan farmasi.

1. Senyawa Anti mikroba

Substansi antimikroba adalah senyawa kimia yang dapat menghambat

pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Sifat penghambatanini

dimanfaatkan dalam farmakologi sebagai obat terhadap penyakit yang

umumnya disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, yeast dan

jamur. Beberapa senyawa antimikroba yang telah diisolasi dari biota

spons diantaranya adalah :

a. Aeroplysinin-1 yang diisolasi dari spons jenis Aplysina

aerophoba. Senyawa aeroplysinin-1 dapat menghambat

pertumbuhan bakteri Vibrio micrococcus atau Alteromonas sp

(TeeYapAnt et al. 1993). Berikut di bawah ini adalah struktur

kimia dari senyawa aeroplysinin.

b. Strongylophorines diisolasi dari spons Strongylophora

durissina yang ditemukan di Papua New Guinea. Senyawa

meroditerpenoid ini aktif menghambat bakteri Salmonella

typhii dan Micrococ-cus luteus dengan zone diameter hambat

bakteri 7-9 mm pada konsentrasi 100μg atau disk (Balbin et al.

1998). Berikut di bawah ini adalah struktur dari senyawa

Strongylophorine 2 dan Stronggyloporine 3.

c. Chromodorolide A adalah senyawa diterpene yang mempunyai

kerangka karbon yang berbeda dengan senyawa diterpen

sebelumnya. Senyawa ini mempunyai aktivitas antimikroba dan

sitotoksik. Chromodorolide tidak disintesa dalam tubuh spons,

melainkan berasal dari nudibranch (Chromodoris sp) yang

dimakannya (Capon & MAacleod, 1987). Berikut dibawah ini

adalah struktur dari Chromodorolide A.

d. Muqubilin, adalah senyawa peroksida siklik norsesterpen yang

diisolasi dari spons Prianos sp. Organisme tersebut diambil dari

Teluk Eilat. Senyawa ini mempunyai aktivitas sebagai

antibiotik (Alberici et al. 1979). Struktur kimia senyawa

muqubilin adalah sebagai berikut:

e. Sigmosceptrellin-A adalah senyawa antimikroba peroksida

siklik norsesterpen, yang tidak berbentuk kristal, penentuan

strereokimia dari senyawa ini tidak dapat dilakukan dengan

sinar x. Senyawa ini diisolasi dari spons jenis Sigmosceptrella

laevis yang berasal dari pantai utara Papua New Guinea.

(Albericci et al. 1979). Berikut dibawah ini adalah struktur

kimia dari Sigmosceptrellin-A.

f. Oroidin adalah senyawa antibiotik sikloheksadiena yang

mempunyai fungsi antiseptik seperti iodine tincture. Gambar

struktur kimia dari senyawa ini adalah sebagai berikut:

g. Aaptamine dan Demethylaaptamine adalah senyawa alkaloid

yang mempunyai keaktifan menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Vibrio eltor.

(Rachmaniar et al. 2001). Struktur kimia dari senyawa

aaptamine dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

h. Senyawa N-Amidino-4-bromo-pyrole-2-carboxamide senyawa

antibiotik yang diisolasi dari spons jenis Agelas sp. (Inanaga et

al. 1974). Berikut dibawah ini adalah gambar struktur kimia

dari senyawa tersebut di atas.

i. Senyawa 3,5-Dibromo-4-hydroxyphenyl-acetamide dan 4-

Acetamido-2,6-dibromo-4-hydroxy-cyclohexadienon. Kedua

senyawa ini mempunyai aktivitas sebagai antibiotik diisolasi

dari spons Verongia archeri dan Verongia cauliformis

(Botticelli, 1960). Berikut dibawah ini adalah gambar struktur

kimia dari kedua senyawa tersebut di atas.

2. Senyawa Antikanker

Beberapa senyawa yang berhasil diisolasi dari biota spons telah

terbukti menghambat pertumbuhan sel kanker, berikut adalah

senyawa-senyawa antikanker yang ditemukan:

a. Spongouridin dan spongothymidine, adalah senyawa yang

disintesa dari spons Cryptotetis crypta yang mempunyai keaktifan

sitotoksik terhadap sel karsinoma pada manusia. Senyawa ini

merupakan sebuah nukleosida yang berbeda dari biasanya dan

dapat berfungsi sebagai terapi terhadap nukleosida virustatik Ara-

A. Kedua senyawa ini merupakan zat aktif terhadap virus harpes

simplex. (Bergman & Feeny. 1951).

b. Avarol dan avaron adalah senyawa yang mempunyai keaktifan

menghambat virus HIV. Senyawa ini dapat menghambat replikasi

virus-HIV dan melindungi T-lymphoocytes dari infeksi virus

(Sarin et al. 1987). Berikut di bawah ini adalah struktur kimia

senyawa avarol (1) dan avaron (2).

c. Adociaquinon B diisolasi dari spons Xestospongia sp., Senyawa

ini aktif dalam menghambat pertumbuhan sel tumor manusia

(Human Colon Tumor) (Swersey, 1988). Berikut di bawah ini

adalah gambar struktur kimia dari senyawa tersebut di atas.

d. Bistratamide D diisolasi dari senyawa Lissoclinum bistratum.

Senyawa ini aktif menghambat sel tumor HCT (Human Colon

Tumor) (Concepcion et al. 1995). Berikut di bawah ini adalah

gambar struktur kimia dari senyawa tersebut.

e. Makaluvamine N Senyawa ini diisolasi dari Zyzzyafiiliginosa

dikumpulkan dari Filipina, mempunyai keaktifan menghambat

aktifitas katalitik topoisomerase II. (Foster et al 1992). Berikut di

bawah ini adalah struktur kimia dari senyawa makaluvamine N.

Selain senyawa-senyawa yang mempunyai keaktifan sebagai

antimikroba dan antikanker, beberapa senyawa dari spons dapat digunakan

juga sebagai "lead compound" obat antasida, antiepileptic, lipotropik dan

hypotensif. Adapun gambar struktur kimia dari senyawa tersebut adalah :

a. Glisin diisolasi dari spons Zoanthids, senyawa ini mempunyai

keaktifan sebagai antasida. (Oseana, 2003).

b. Asam Glutamat, senyawa ini mempunyai keaktifan sebagai

antiepileptic (Oseana, 2003).

c. N,N-Dimethylhistamine, diisolasi dari spons Geodia gigas dan

Ianthella sp. Senyawa ini mempunyai keaktifan sebagai hipotensif

(Oseana,2003).

d. Metionin, senyawa ini mempunyai keaktifan sebagai lipotropic

agent (Bergmann & Stempien, 1957).

H. Substansi Kimia Untuk Pertahanan Diri Dari Hewan Laut Tak Bertulang Belakang

Beberapa metabolit sekunder yang diproduksi oleh invertebrata laut dan

mikroorganisme simbion, mempunyai prospek sebagai zat aktif dalam obat

dari berbagai penyakit seperti infeksi, neurologi (parkinsons, alzheimer’s),

penyakit jantung, immunologi, anti-inflammatory, antivirus dan

antikanker. Dalam studi tentang pencarian obat baru, hal yang penting

untuk diketahui adalah adanya target molekul. Target atau molekul target

adalah molekul yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas dan toksisitas

suatu senyawa bioaktif secara in vitro. Berikut di bawah ini adalah

beberapa metabolit yang diisolasi dari invertebrata laut maupun

mikroorganisme simbion, yang saat ini sedang dalam tahap uji klinis

sebagai bahan obat. Senyawa-senyawa yang dimaksud adalah :

1. Briostatin 1 diisolasi dari bryozoa Bugula neritina, saat ini sedang

berada pada Fase II uji klinis sebagai antikanker melanoma, non-

hodgkins lymphoma, dan kanker ginjal. Senyawa makrolide siklik ini

menghambat protein kinase C, yang merupakan pemicu tumbuhnya

tumor (Pettit et al., 1982).

2. Dolastatin 10 diisolasi dari kelinci laut jenis Dolabella auricularia.

Senyawa ini mempunyai keaktifan sebagai antimitosis, yang saat ini

sedang dalam uji klinis tahap I sebagai obat kanker hati, kanker

payudara, tumor dan leukemia(Poncet, 1999).

3. Ecteinascidin 743 merupakan senyawa alkaloid tetrahidroisoquinoline

yang diisolasi dari tunikata Ecteinascidia turbinata. Senyawa ini

mempunyai keaktifan sebagai antimitosis dan saat ini sedang dalam

uji klinis tahap I yang akan diperuntukkan sebagai obat anti kanker

(Rinehart et al., 1990).

4. Aplidine atau dehydrodideminin B, merupakan senyawa antikanker

penghambat protein sintesis yang diisolasi dari tunicate jenis Aplidium

albicans. PharmaMar adalah perusahaan obat asal Spanyol yang

mendanai penelitian tersebut yang saat ini sedang dalam tahap I uji

klinis sebagai model struktur kimia (lead compound) antikanker.

Selain senyawa tersebut di atas, ada beberapa senyawa bioaktif

yang diisolasi dari invertebrata laut yang saat ini sedang dalam uji

praklinis untuk menjadi bahan obat. Senyawa tersebut diantaranya adalah

discodermolide dari spons jenis Discodermia dissolute, senyawa

antimitosis microtubule yang akan dikembangkan untuk obat antikanker

(Gunasekera et al., 1990).

Senyawa Halicondrin B yang diisolasi dari spons jenis

Lissodendoryx, saat ini sedang diuji praklinis oleh perusahaan NCI sebagai

obat melanoma dan leukemia (Litaudon et al., 1997). Kahalalide F

diisolasi dari moluska jenis Elysia rubefescens, sedang diuji sebagai

antikanker usus dan prostat (Hamman et al., 1996).

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Senyawa metabolit sekunder yang teridentifikasi dalam ekstrak metanol

teripang S. hermanii adalah saponin dan steroid. Kedua metabolit sekunder

tersebut memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus,

Vibrio eltor dan Bacilus subtilis.Terhadap aktivitas antioksidan

menunjukkan bahwa nilai IC50 ekstrak metanol teripang S. hermanii

sebesar 65,08 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa S. hermanii memiliki

potensi sebagai antibakteri dan antioksidan.

Senyawa metabolit yang dikandung teripang pada dasarnya adalah

saponin triterpenoid yang merupakan komponen utama toksin pada

Echinodermata. Pengembangan potensi hemolitiknya dapat menjadikannya

sebagai kandidat obat antitumor, sitolisin ataupun bahan dalam bidang

kajian biomedik.

Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons tidak hanya

digunakan untuk pertahanan diri, tetapi juga memiliki berbagai lebar

fungsi untuk obat-obatan. Isolasi senyawa bioaktif yang berasal dari spons

dengan kromatografi adalah metode yang paling akurat untuk

mendapatkan peran baru struktur kimia bioaktif. Investigasi senyawa

bioaktif dari metabolit sekunder spons 'memiliki keberhasilan untuk

menghasilkan antimikroba, antikanker, antivirus, antiepilepsi, dan senyawa

timbal antacid lambung.

Pengembangan obat baru yang berasal dari biota laut, saat ini

menjadi perhatian seluruh peneliti kimia bahan alam. Tingginya

keanekaragaman hayati laut dan uniknya struktur metabolit sekunder yang

dihasilkannya, merupakan dua hal yang menjadi daya tarik para ilmuan.

Untuk mendapatkan obat-obat baru dari laut diperlukan adanya kerjasama

antara berbagai bidang ilmu, yaitu bidang farmasi, kimia organik, biologi

dan kedokteran. Peneliti bidang farmasi memberikan informasi mengenai

mekanisme aktivitas metabolit sekunder di dalam tubuh mamalia.

Kemudian bidang kimia organik berperan mengisolasi dan mendapatkan

struktur model zat aktif dari bahan laut. Sedangkan bidang biologi,

memberikan informasi jenis biota sumber penghasil substansi aktif dan

pengembangan kearah kultur jaringan untuk konservasi dan penggunaan

secara berkelanjutan dari produk alam laut yang potensial. Peranan ilmu

ekologi kelautan, tidak kalah pentingnya untuk mempelajari perunutan

senyawa dalam sistem kehidupan di laut.

DAFTAR PUSTAKA

Alberici, M., M. Collart-Lempereur, J. C. Braekman, D. Daloze, B. Tursch, J.P. Declercq, G. German and M. Van Meerssche 1979 in Marine Norterpene Cyclic: a Stereochemical Paper Chase. Tet. Letts. 2687-2690.

Amir, I. dan Budiyanto.A. 1996. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum. Oseana, XXI (2) : 15-31.

Balbin, M. 1998. A New Meroditerpenoid Dimer from an Undiscribed Philippine Marine Sponge of the Genus Strongylophora. Jurnal Natural Product 61: 948-962.

Bergmann, W. and R.J.Feeny. 1951. Con-tribution to the Study of Marine Sponges. The Nucleosides of Sponges. J. Org. Chem. 16:981-987.

Bergmann, W. and Stempien T.E., Jr. 1957. Contributions to the Study of Marine Products XLIII. The Nucleosides of Sponges V. The Synthesis of Spongosine. J. Org. Chem. 16: 22,1575.

Boorman, K.E., B.E. Dodd & P.J. Lincoln, 1988. Blood Group Serology, 6th Ed. Churchill Livingstone, New York.

Botticelli, C, F. Hisaw Jr. and Wotiz. H 1960. Estrogens and Progesterone in The Sea Urchin Strongylocentrotus franciscanus and Pecten hericius. Proc. Soc. Exp. Biol. Med, 106, 887.

Capon, J. and Macleod. K 1987 in Studies in Natural Products Chemistry: Structure and Chemistry. J. Nat. Product 50: 225-229.

Charan, R.D., McKee, T.C., and Boyd, M.R., (2001), J. Nat. Prod, 64, 661-663.

Chalneau N., N. Monina, J. Shin, C. View & V. Noireaux . 2010. Hemolysin pore formation into a supported phospholipid bilayer using cell-free expression. Elsevier.

Conception, G.P. 1995 in Bioinformatics and Biotechnology. GeneSeas Asia inc., Manila Philippines.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Florkin, M & T. Scheer, 1969. Chemical Zoology. Vol. III. Academic Press, New York.

Foster, M.P., G. P. Concepcion, G.B. Caraan, CM. Ireland, 1992 Study of Sponges and Ascidians J.Org. Chem. 57: 6672-6675.

Giese, A.C. 1979. Cell Physiology. 5th Ed. Topan Comp., Tokyo.

Gunasekera, S. P., M. Guanseker., R.E. Longley and Schulte. G.K. 1990. A new bioactive polyhydroxylated lactone from the marine sponge, Discodermia dissoluta. J. Org. Chem., 55 : 4912.

Hamman, M.T., C.S. OTTO, P.J. Scheuer and Dunbar D.C. 1996. Kahalalides : bioactive peptides from marine mollusk Elysia rufescens and its algal diet Bryopsis sp. J. Org. Chem., 61 : 6594.

Harborne, J.B. 2006. Metode fitokimia: Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Edisi IV. Kokasih P. dan I. Soediro. (penterjemah). ITB, Bandung. 354hlm.

Hashimoto, Y. 1979. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Jap. Sci. Soc. Press, Tokyo.

Humm, H.J & C.E. Lane. 1974. Bioactive Compounds from the Sea. Marcel Dekker, Inc., New York.

Inanaga, J., T. Ike, A. Nakano, N. Okukado and M. Yamaguchi 1973 Total Synthesis of Natural Acetylenic Ana-logues of Isorenieratene. Bull. Chem. Soc. Japan, 46, 2920.

Kamiya, H., K. Muramoto & R. Goto. 1991. Naturally Occuring Hemolysin in the Marine Snail Tugali gigas. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish. 57 (11) : p. 2109-2113.

Litaudon, M.; S.J.H. Hickford and Lill. R.E. 1997. Antitumor polyether macrolides : new and hemisynthetic halicondrins from New Zealand Deepwater sponge Lissodendoryx sp. J. Org. Chem. 62 : 18.

Martin, D.W., P.A. Mayes, D.K. Granner, V.W. Rodwell & I. Darmawan, 1987. Biokimia. Edisi 20. EGC, Jakarta.

Maraskuranto, E. 2010. Kajian Bioprospeksi Spons Laut Asal Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Dan Implikasi Pengelolaannya. Institut Pertanian Bogor.

Murti, Y. B., 2006, Isolation and structure elucidation of bioactive secondary metabolites from sponss collected at Ujungpandang and in the Bali Sea, Indonesia, Disertation.

Motomasa, K. 1998 Search for Biologically Active Substances from Marine Sponges. In: Prosiding Seminar Bioteknologi I (R. R. eds.), Puslit Oseanologi Lipi, Jakarta.

Oseana,2003. Metabolit Sekunder dari Spons Sebagai Bahan Obat-obatan. Lipi. Vol. XXVIII. No. 3. 2003 : 27-33.

Pettit, G.R., C.L. Herald., D.L. Doubek and Herald D.L. 1982. Isolation and structure of bryostatin 1. J. Am. Chem. Soc., 104 : 6846

Poncet, J. 1999. The dolastatins, a family of promising antineoplastic agents. Curr.Pharm. Des., 5 : 139.

Rachmaniar, R., T. Murniasih, A. Rasyid, F. Untari, 2001 Substansi Bioaktif dari Spons Sebagai “Lead Com-pound" Antimikroba. Laporan Penelitian Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta.

Ralph, D. F., 1988. What Are Sponnges Adapted From: Hooper, JNA. Sponguide, version April 1988, Queensland Museum, Australia.

Rasyid, A. 2012. Identifikasi senyawa metabolit sekunder dan aktivitas antibakteri ekstrak metanol tiga jenis teripang. Dalam: Nababan et al. (eds.). Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VIII ISOI. Jakarta. Hlm.:1-7.

Rinehart, K.L.; T.G. Holt; N.L. Fregeau; J.G. Stroh; P.A. Keifer; F. Sun; L.H. LI and Martin D.G. 1990. Ecteinascidins 729, 743, 745, 759B, and 770 : potent antitumor agents from the Caribbean tunicate, Ecteinascidia turbinate. J. Org.Chem. 55 : 4512.

Russsell, F.E. 1965. Marine Toxins and Venomous and Poisonous Marine Animals. Adv. Mar. Bio. Vol. 3. p. 255-384.

Sakai, R., Higa, T., and Jefoord, C. (1992), Manzamin A, A novel Antitumor Alkaloid from a sponge, J. Am. Chem. Soc., 11 (1), 8925-8927.

Sarin, P.S., D. Sun , A. Thornton, and Muller W.E.G. 1987 Inhibition of Repli-cation of The Etiologic Agent of Acquired Immune

Deficiency Syndrome (human T-lymphotropic retrovirus/lymphaedenopathy-associated virus) by Avarol and Avarone." J. Nat. Cancer Inst. 78: 663-666.

Shiomi, K., M. Takamiya, H. Yamanaka & T. Kikuchi, 1986. Physicochemical Properties of a Lethal Hemolysin Isolated from Sea Anemon Anthopleura japonica. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish. 52 (3) : p. 539-543.

Suaniti ,N,M., Hernindya,A,Rr dan Swantara, M,D. 2014. Identifikasi dan Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Spons Hyrtios erecta Terhadap Larva Udang Artemia salina L. Cakra Kimia, (Indonesia E-Joernal of Applied Chemistry).Vol.2, No 1.

Sukardiman, Rahman A, Pratiwi FN. 2004. Uji Praskrining Aktivitas Antikanker Ekstrak Eter dan Ekstrak Metanol Marchantia cf. planiloba Steph.

Suryati, E., Rosmiati, Parenrengi, A. 2005. Sponge Bioactive For Bactericide, Fungicide and Antibiofouling in Coastal Aquaculture. Riset Institute for Coastal Aquaculture, Maros.

Swersey, J.C., 1988 in Biomedical Importance of Marine Organisms D.G. Fautin, Ed., California Academy of Sciences, San Francisco.

Teeyapant, R. and Proksch. P 1993. Biotransformation of Brominated Com-pounds in The Marine Sponge Verongia aerophoba Evidence for an Induced Chemical Defence. Naturwissen-schafien 80, 369-370.

Thakur, NL., dan Muller, WEG. 2004. Biotechnological Potential of Marine Sponges. Current Science: 10 June 2004.

Tu, A.T. 1988. Marine Toxins and Venoms. Handbook of Natural Toxins. Vol. 3. Marcel Dekker, Inc., USA.

Widyastuti, S. 2008. “Uji Toksisitas Ekstrak Daun Iprih (Ficus Glabella Blume) Terhadap Artemia salina Leach Dan Profil Kromatografi Lapis Tipis”. (Skripsi). Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah.

Wright, J.L.C.1984. Biologically Active Marine Metabolites: Some Recent Examples. Proc. N. S. Inst. Sci. 34:p. 131-161.