43
LAPORAN PENELETIAN KERATON KASEPUHAN CIREBON DAN KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang dibina oleh Bapak Nano Nurdiansyah, M.Pd Disusun oleh : 1. Rifqi Syamsul Fuadi (1211705138) 2. Ramdan Nugraha (1211705133) 3. Suwartiyah (1211705159) 4. Sumiati (1211705156) 5. Abdul Aziz Aminudin (1211705003) IF-D JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2012

Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

LAPORAN PENELETIAN

KERATON KASEPUHAN CIREBON DAN KERATON

NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sejarah Peradaban Islam

yang dibina oleh Bapak Nano Nurdiansyah, M.Pd

Disusun oleh :

1. Rifqi Syamsul Fuadi (1211705138)

2. Ramdan Nugraha (1211705133)

3. Suwartiyah (1211705159)

4. Sumiati (1211705156)

5. Abdul Aziz Aminudin (1211705003)

IF-D

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2012

Page 2: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

i

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirahim,

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji dan syukur dengan hati dan pikiran yang tulus dipanjatkan ke hadirat Allah

SWT., karena berkat nikmat dan hidayah-Nya, laporan penelitian ini dapat di selesaikan tepat

pada waktunya.

Shalawat dan salam dihaturkan pada Nabi Muhammad SAW., berserta keluarga dan

sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa raga dan lainnya untuk tegaknya syi‘ar Islam, yang

pengaruh dan manfaatnya hingga kini masih terasa.

Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Nano

Nurdiansyah, M. Pd. yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis. Mungkin tanpa

beliau penulis tidak akan bisa menyelesaikan tugas ini, berkat beliau penulis bisa mengetahui

cara penulisan laporan penelitian secara benar.

Layaknya tak ada gading yang yang tak retak, begitu pula dengan laporan ini, maka

penulis mohon kritik dan saran yang membangun. Dengan begitu akan menjadi maklum

adanya bila terdapat kesalahan.

Wasslamu’alaikum wr.wb.

Bandung, 20 Desember 2012

Penulis,

Page 3: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

DAFTAR GAMBAR................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 2

1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Perkembangan Islam di Cirebon ............................................................................ 3

2.2 Perkembangan Islam di Yogyakarta ....................................................................... 6

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

3.1 Hasil Penelitian Cirebon ......................................................................................... 9

A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Cirebon .......................................................... 9

B. Bangunan-bangunan di Lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon ............... 12

C. Silsilah Kesultanan Kasepuhan Cirebon........................................................ 16

3.2 Hasil Penelitian Yogyakarta ................................................................................. 16

A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Yogyakarta ................................................... 16

B. Wilayah Keraton Yogyakarta ......................................................................... 18

C. Bangunan-bangunan di Lingkungan dalam Keraton ...................................... 20

D. Raja-raja Kesultanan Yogyakarta ................................................................... 22

E. Gelar dan Kedudukan Bangsawan Keraton Yogyakarta ................................ 27

F. Warisan Budaya Keraton Yogyakarta ............................................................ 29

3.3 Analisis Hasil Penelitian Cirebon ......................................................................... 31

3.4 Analisis Hasil Penelitian Yogyakarta ................................................................... 33

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 39

Page 4: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Patung sepasang harimau putih ................................................................ 13

Gambar 2: Gapura banteng ......................................................................................... 13

Gambar 3: Keramik China yang menempel di ruangan keraton ................................ 14

Gambar 4: Lukisan Prabu Siliwangi........................................................................... 15

Gambar 5: Reflika kereta singa barong ...................................................................... 15

Gambar 6: Gsmelan Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilaga .................................. 21

Gambar 7: Patung sepasang harimau putih dan eriam di sampingnya ....................... 32

Gambar 8: Bangsal panembahan ................................................................................ 32

Page 5: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam masuk ke Indonesia pada abad 15 M, ajaran Islam ini dibawa oleh para

pedagang dari Arab dan Gujarat. Mereka selain berdagang juga sebagai mubaligh. Sebelum

agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, Agama Hindu mendominasi diantara

rakyat Indonesia. Penyebaran Agama islam dilakukan dengan cara damai sehingga mudah

diterima oleh rakyat Indonesia. Setelah Majapahit runtuh, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam

di Jawa yaitu : Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus.

Proses islamisasi itu juga dilakukan melalui pendidikan di pesantren atau pondok

yang dilaksanakan oleh guru-guru agama, kyai-kyai, dan para ulama. Pesantren atau pondok

merupakan lembaga penting dalam penyebaran agama Islam. Cara dan pengaruh islamisasi

dapat pula melalui cabang-cabang seni, baik pada bangunan-bangunan atau makam-makam

kerajaan-kerajaan seperti yang ada di Cirebon maupun Banten.

Agama Islam juga membawa perubahan sosial, budaya serta memperhalus dan

memperkembangkan budaya Indonesia. Agama Islam masuk dan menggeser Agama Hindu

yang telah ada sebelumnya.

Cirebon dan Yogyakarta merupakan daerah yang ada di pulau jawa, dimana kedua

daerah tersebut memiliki sejarah tentang perkembngan Islam yang cukup besar dan

berpengaruh untuk daerah yang ada di sekitarnya. Para ulama besar yang menyebarkan

agama Islam di pulau jawa di namakan Wali Songo. Kesultanan Cirebon merupakan salah

satu bentukkan dari Wali Songo, yaitu Sunan Gunung Djati.

Keraton Yogyakarta merupakan sebuah kompleks bangunan yang terdiri dari

beberapa macam bnagunan tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono. Keraton

Yogyakrta juga merupakan bekas pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta sebelum

entitas Indonesia diproklamirkan. Dalam konsep kosmologis, Keraton merupakan pusat

yang cerminkan atau direflkesikan sebagai pusat mikrokosmos (jambudwipa). Dalam hal ini

berarti keraton sebagai pusat replika tata surya, yamg menempatkan keraton sebagai pusat

segalanya. Pencerminan ini merefleksikan jagad raya sebagai makrokosmos. Jika raja – raja

Jawa tidak bersengketa mungkin tidak akan hadir entitas Kasultanan Yogyakarta, tetapi

yang ada hanyalah Kerajaan Mataram Islam.

Page 6: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

2

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah pokok yang di

rumuskan untuk penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan agama Islam di Cirebon?

2. Siapa saja tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Cirebon?

3. Bagaimana sejarah berdirinya Kesultanan Cirebon?

4. Bangunan-bangunan atau benda bersejarah apa saja yang ada di keraton Kasepuhan

Cirebon?

5. Bagaimana perkembangan agama Islam di Yogyakarta?

6. Bagaimana sejarah berdirinya Kesultanan Yogyakarta?

7. Meliputi wilayah mana saja daerah kesultanan Yogyakarta?

8. Kegiatan atau tradisi apa yang menjadi ciri khas di lingkungan keraton Yogyakarta?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan laporan penelitian ini selain sebagai tugas akhir mata kuliah

Sejarah Peradaban Islam, juga memiliki tujuan lain, yaitu:

1. Mengetahui perkembangan agama Islam di Cirebon.

2. Mengetahui tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Cirebon.

3. Mengetahui sejarah berdirinya Kesultanan Cirebon.

4. Mengetahui bangunan atau benda bersejarah yang ada di keraton Kasepuhan

Cirebon.

5. Mengetahui perkembangan agama Islam di Yogyakarta.

6. Mengetahui sejarah berdirinya Kesultanan Yogyakarta.

7. Mengetahui wilayah yang menjadi bagian dari Kesultanan Yogyakarta.

8. Mengetahui tradisi yang ada di keraton Yogyakarta.

Page 7: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

3

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Perkembangan Islam di Cirebon

Pendapat para ahli yang mengajukan teori-teorinya tentang kedatangan Islam di

Indonesia nampak bebeda-beda. Sebagian pendapat, bahwa kedatangan Islam ke Indonesia

sudah sejak abad pertama Hijriah ( abad 7 M ), sebagian lagi berpendapat bahwa kedatangan

Islam baru datang abad ke- 15 M.

Berdaasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pembawaa Islam

ke Indonesia antara abad ke-7 sampai 15 ialah orang-orang muslim dari Arab, Persia, India

seperti juga pembawa Islam yang datang atau menetap di Cirebon mereka datang melalui

jalan perdagangan, maka jelas, bahwa yang menjadi pendorong utama pembawa Islam ke

Cirebon adalah faktor ekonomi atau perdagangan, sesuai pula dengan perkembangan

pelayanan dan perdagaangan untuk nasional antara negeri – negeri di bagian Barat,

Tenggara dan Timur Asia. Kedatangan mereka (pedagang muslim) ke berbagai daerah di

Indonesia mungkin disertai pula oleh para mubaligh yang pada saat kemudian mendirikan

pesantren-pesantren dimana mereka berada. Hal ini dilakukan pula oleh tokoh-tokoh Islam

yang berlabuh di Cirebon, seperti Syekh Quro dan yang lainnya. Kecuali golongan-

golongan tersebut, para ahli tasawuf juga besar peranannya. Golongan Sufi ini datang ke

Indonesia diperkirakan sejak abad ke-15. Seperti peranan Syekh Siti Jenar di Cirebon.

Di Jawa berdasarkan cerita tradisional, mereka yang mendapat gelar wali dianggap

sebagi pembawa dan penyebar Islam terutama di daerah pesisir, walaupun wali itu tidak

semua berasal dari negri luar. Dan kenyataan tersebut jelas bahwa pembawa atau penyebar

Islam hanya golongan tertentu, logis jika dikatakan, bahwa rakyat pada umumnya

merupakan masyarakat penerima.

Proses Islamisasi dilakukaan dengan cara pendekatan dan penyesuaian dengan

unsur-unsur kepercayaan yang sudah ada sebelumnya, sehingga kehidupan keagamaan

umumnya masih menunjukan unsur-unsur percampuran dengan unsur-unsur yang telah ada

sebelumnya.

Para pedagang, mubaligh-mubaligh, para ahli Tasawuf maupun para ahli merupakan

golongan pembawa, penyebar dan kemungkinan juga sebagai penerima agama Islam. Sudah

tentu mereka melakukannya dengan berbagai cara, sehingga Islam bisa diterima secara

damai.

Page 8: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

4

Cara lain yang dilakukan oleh para da‘i adalah melalui ajaran tasawuf. Tasawuf ini

mampu membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia pada umumnya, kenyataan ini dapat

kita lihat dari bukti-bukti tulisan tentang hal ini sejak abad ke-12.

Jalur lain yang digunakan dalam melakukan Islamisasi, yaitu melelui jalur

pendidikan, baik yang dilakukan di dalam pesantren maupun bentuk pendidkan lainnya,

seperti di sauran-sauran yang diselenggarakan oleh guru-guru agama maupun tokoh-tokoh

agama lainnya. Mereka yang dididik disamping itu juga digunakan berbagai cabang seni

baik melalui seni bangunan, seni ukir, seni sastra, seni musik maupun seni tari.

Tokoh – tokoh lain yang berperan dalam penyebaran Islam di Cirebon.

1. Pangeran Panjungan

Dia adalah seorang yang tekun menyebarkaan Islam di Cirebon. Pangeran Panjungan

dikenal pula dengan nama Maulana Abdul Rahman. Para pengikut Pangeran

Panjunan untuk daerah Cirebon tersebut antara lain di kali Cipamali Losari Cirebon,

mereka mendirikan masjid di Japura.

2. Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar berasal dari Tarem (Persia), beraliran syi‘ah Muntadar, yang

percaya kepada datangnya seorang Al masih seperti didalam Agama Kristen. Ia

belajar agama Kristen dari para ahli dan ulama penganut mazhab syi‘ah di Bagdad.

3. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.

Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari,

masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. disebarkan oleh

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai

ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon.

Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putre dari

pangeran Cakrabuana. Pengganti pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di

berikan pada Syarif Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya Syarif Hidayatullah

mengembangkan daerah penyebarannya di wilayah Pajajaran.

Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang

yang sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang

dari Arab dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah

mendapat sambutan hangat dari adipati Banten.

Page 9: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

5

Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih, Telaga,

Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan

Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri

Caruban yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin

persahabatan dengan Syarif Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah

Raden Patah bersama-sama para mubaliqh yang sudah bergelar sunan menetapkan

Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama

Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agam Nabi

Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah

di beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9

dari sunan 9 sunan lainnya.

Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditakhlukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:

Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat

daya Cirebon di bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.

Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragam Hindu yang

diperintah Prabu Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan

kemajuan Cirebon dan persebaran agama Islam di Cirebon di tangan Sunan

Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara Cirebon dengan Rajagaluh,

kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan Rajagaluh

sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa

Barat sebelah Timur.

Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati

membangun Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan

Kalijaga dengan seorang arsitek Raden Sepat (dari Majapahit bersama 200 orang

pembantunya dari Demak). Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir

dari rasa dan kepercayaan penduduk. Pada masa itu juga disebut dengan Masjid

Pekungwati karena dulu masjid itu terletak dalam komplek keraton Pekungwati dan

sekarang dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid itu dibangun dalam

waktu semalam dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat Subuh. Pada

Page 10: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

6

tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut yaitu 120

tahun, dia dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.

Islam berkembang di Cirebon dengan dua Aliran, Sunni dan Syi‘ah. Penyebar-

penyebar Islam dan generasi pertama adalah para da‘i, pedagang, musyafir, dan seniman

diberbagai bidang. Cirebon menjadi salah satu dari sedikit pusat penyiaran Islam di Jawa

yang sekaligus menjadi pusat kekuatan politik. Dalam hal ini, Cirebon berusaha

menciptakan keseimbangan politik baik kearah Barat maupun Timur Nusantara. Cirebon

menjadi salah satu pusat perdagangan yang pesat pada masanya, sekaligus menjadi pusat

peradaban Islam yang memiliki beberapa karakter antara lain sebagai berikut :

a. Pertumbuhan kehidupan kota bernafaskan Islam.

b. Berkembangnya arsitektur.

c. Pertumbuhan seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya

kaligrafi Islam yang sangat khas Cirebon.

d. Perkembangan bidang kesenian lainnya seperti tari, membatik, musik dan berbagai

seni pertunjukan tradisional bernafaskan Islam.

e. Pertumbuhan penulisan naskah-naskah.

f. Tumbuhnya tarekat Aliran Syatariah yang kemudian melahirkan karya-karya sastra.

g. Tumbuhnya pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di sekitar Cirebon,

Indramaayu, Karawang, Majalengka, dan Kuningan.

Sosialisasi dan adaptasi Islam di Cirebon, sampai berkembang menjadi pusat Islam

di Jawa Barat, berawal dari pemukiman berskala kecil yang peradaban dihuni kelompok

muslim, dan perjalanan selanjutnya.kemudian tumbuh dan berkembang dan dapat

melepaskan diri dari subordinasi kekuasaan dipedalaman yang bercorak Hinduistis, dan

transformasi tersebut sebenarnya berjalan lancar, damai dan tenang baik karena kharisma

para wali maupun karena kedekatan atau kuatnya hubungan penguasa baru yang Islam

dengan penguasa yang digantikannya, Hindu.

2.2 Perkembangan Islam di Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau

Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utaranya merupakan salah

satu kesultanan Islam yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram. Kesultanan

Page 11: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

7

Mataram yang dimaksud adalah kerajaan Islam yang dibangun pada abad ke-16 yang

menurut silsilah berasal dari kerajaan Islam Demak. Ketika itu Kerajaan Demak

dipindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Setelah

Pajang jatuh, kerajaan Islam itu di pindahkan ke Mataram oleh Raden Sutawijaya yang

bergelar ―Senopati Ing Ngalogo Abdurrakhman Sayidina Panotogomo Khalifatullah Tanah

Jawi‖ (Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama). Wilayah kekuasaan

Mataram kala itu meliputi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.

Jogja, seperti juga daerah lainnya di tanah Jawa, sebelum masuknya Islam dikenal

sebagai wilayah yang penduduknya beragama Hindu dan Budha. Perbedaan status dalam

kasta-kasta mewarnai kehidupan masyarakat kala itu, yang terbagi dalam kasta Brahma,

Ksatria, Waisya dan Syudra. Ritual keagamaan, paham, mistisisme legenda menyertai

interaksi di antara mereka.

Masuknya Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan

dan kebiasaan masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga

(Raden Said), merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja.

Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata

menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dan

Kekhilafahan Islamiyah, yang kala itu di pimpin oleh Sultan Muhammad I (808H/1404M),

yang juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani.

Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan yang

muncul di Indonesia, termasuk Kesultanan Mataram di Yogyakarta.

Mengutip catatan Adaby Darban, dalam Sejarah Kauman. Menguak Identitas

Kampung Muhammadiyah, pada masa kekuasaan Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana

I), dibangunlah Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1775 M. Keraton menjadi simbol

eksistensi kekuasaan Islam, meski berada dalam penguasaan Belanda. Sebagaimana

kerajaan Islam di Jawa sebelumnya, seperti Demak, Jipang, Pajang, setiap keraton memiliki

masjid dan alun-alun. Masjid inilah yang nantinya memegang peranan penting dalam

membangun kebudayaan Islam, termasuk dipergunakan oleh sultan untuk berhubungan

dengan para bawahannya dan masyarakat umum.

Pendirian masjid yang kemudian diberi nama Masjid Agung ini dilengkapi dengan

bangunan yang memiliki kefungsian khusus. Serambi masjid yang diberi nama ―Al-

Mahkamah Al-Kabirah‖, yang berarti mahkamah agung berfungsi sebagai tempat

pengadilan, pertemuan para ulama, pengajian, peringatan hari besar Islam dan pelaksanaan

Page 12: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

8

ijab kabul; di samping tempat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di

kehidupan masyarakat.

Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan sebagai Penasihat

Dewan Daerah sekaligus menjadi bagian birokrasi Kerajaan. Mereka adalah orang-orang

alim tentang Islam yang mengatur semua kefungsian masjid. Di antaranya adalah

pendidikan. Melalui pondok pesantren yang ada di masjid maupun langgar-langgar, proses

pembentukan masyarakat Islam dilakukan. Tidak jarang putra-putri mereka dikirim ke

Pondok Pesantren terkenal seperti Termas, Tebuireng dan Gontor, yang sepulangnya dari

sana akan menjadi ulama-ulama penerus kepenguluan di Keraton Yogyakarta. Hal ini

menggambarkan bagaimana peran Kerajaan (tepatnya Kesultanan) dalam melakukan proses

pendidikan Islam kepada rakyatnya.

Di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, Jogja yang saat itu masih kental

dipengaruhi oleh ‗warisan‘ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai

diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang islami. Di sinilah peran Sunan Kalijaga,

dalam catatan sejarah, memberikan andil yang begitu besar. Hasilnya adalah terdapat

sejumlah upacara kerajaan yang telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat,

seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada

hingga kini. Wayang, sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang digunakan oleh

Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Wayang yang

sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling

populer.

Demikian pula pada upacara grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab

syahadatain, yang artinya dua syahadat, merupakan nama dua buah gamelan yang

diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada Perayaan

Maulud Nabi di Masjid Agung. Adapun grebeg, yang artinya mengikuti (bahasa Jawa),

yakni upacara menghantarkan Sultan dari Keraton menuju masjid untuk mengikuti Perayaan

Maulud Nabi Muhammad saw. yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal Istana

lengkap dengan nasi gunungannya.

Page 13: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

9

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

3.1 Hasil Penelitian Cirebon

A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam yang ternama di Jawa Barat.

Kerajaan ini berkuasa pada abad ke 15 hingga abad ke 16 M. Letak kesultanan Cirebon

adalah di pantai utara pulau Jawa. Lokasi perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat

membuat kesultanan Cirebon menjadi ―jembatan‖ antara kebudayaan Jawa dan Sunda.

Sehingga, di Cirebon tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang

tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Pada awalnya, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng

Tapa. Demikian dikatakan oleh serat Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad

Tanah Sunda. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang

diberi nama Caruban (campuran). Diberi nama demikian karena di sana bercampur para

pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.

Karena sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka

berkembanglah pekerjaan nenangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta

pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari

udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian

menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan Sumber Daya Alam dari pedalaman,

Cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa. Dari pelaburan Cirebon,

kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung antar-kepulauan nusantara maupun dengan

bagian dunia lainnya. Selain itu, tidak kalah dengan kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga

tumbuh menjadi pusat penyebaran islam di Jawa barat.

Al kisah, hiduplah Ki Gedeng Tapa, seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati.

Ia mulai membuka hutan, membangun sebuah gubuk pada tanggal 1 Sura 1358 (tahun Jawa),

bertepatan dengan tahun 1445 M. Sejak saat itu, mulailah para pendatang menetap dan

membentuk masyarakat baru di desa Caruban. Kuwu atau kepala desa pertama yang

diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai pangraksabumi

Page 14: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

10

atau wakilnya, diangkatlah raden Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra prabu

Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah

ki gedeng alang-alang meninggal walangsungsang bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai

Kuwu pengganti ki Gedeng Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.

Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya,

melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan

demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran

Cakrabuana (...-1479). Seusai menunaikan ibadah haji, Cakrabuana disebut Haji Abdullah

Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta

aktif menyebarkan islam.

Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya.

Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik Cakrabuana,

yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah

yang bernama Syarif Hidayatullah (1448-1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah

dikenal dengan nama Sunan Gunung Djati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati

Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh Syarif

Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten,

serta menyebar Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten.

Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan

tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adalah pangeran

Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu Syarif Hidayatullah. Namun, Pangeran dipati

Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat Istana yang

memegang kenali pemerintahan selama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati

melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah

kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan Cirebon sejak tahun 1568.

Naiknya Fatihillah dapat terjadi karena dua kemungkinan pertama, para sultan

Gunung Djati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran Jayakelana, dan pangeran Bratakelana,

meninggal lebih dahulu, sedangkan putra yang masih hidup, yaitu sultan Hasanuddin

(pangeran Sabakingkin), memerintah di Banten berdiri sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua,

Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Djati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri

sunan Gunung Jati), dan telah menunjukkan kemampuannya dalam memerintah Cirebon

Page 15: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

11

(1546 – 1568) mewakili Sunan Gunug Djati. Sayang, hanya dua tahun Fatahillah

menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.

Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran

Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan ratu I, dan memerintah Cirebon

selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan ratu I meninggal pada tahun 1649,

pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim,

karena ayahnya yaitu panembahan Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu.

Selanjutnya, pangeran karim dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau panembahan

Girilaya.

Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua

kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan mataram. Banten curiga, sebab cirebot

dianggap mendekat ke mataram. Di lain pihak, mataram pun menuduh Cirebon tidak lagi

sungguh-suingguh mendekatkan diri, karena panembahan Girilaya dan Sultan Ageng dari

banten adalah sama-sama keturunan pajajaran.

Kondisi panas ini memuncak dengan meninggalnya panembahan Girilaya saat

berkunjung ke Kartasura. Ia lalu dimakamkan di bukit Girilaya, Gogyakarta, dengan posisi

sejajar dengan makam sultan Agung di Imogiri. Perlu diketahui, panembahan Girilaya

adalah juga menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya

panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra

panembahan Girilaya di tahan di mataram.

Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa. Sultan ageng

tirtayasa segera dinobatkan pangeran Wangsakerta sebagai pengganti panembahan Girilaya,

atas tanggung Jawab pihak Banten. Sultan ageng tirtayasa pun kemudian mengirimkan

pasukan dan kapal perang untuk membantu trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi

Amangkurat I dari mataram. Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan

Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke Cirebon. Bersama

satu lagi putra panembahan Girilaya, mereka kemudian dinobatkan sebagai penguasa

kesultanan Cirebon.

Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya, pangeran

Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677,

kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak

panembahan Girilaya, yakni :

Page 16: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

12

1. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi

Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703).

2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil

Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723).

3. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul

Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713).

Perubahan gelar dari ―panembahan‖ menjadi ―sultan‖ bagi dua putra tertua pangeran

girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi sultan

Cirebon di Ibukota banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,

rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun pangeran wangsakerta tidak diangkat sebagai

Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton

sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan

keraton.

Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai

pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798 – 1803). Saat itu terjadilah pepecahan

karena salah seorang putranya, yaitu pangeran raja kanoman, ingin memisahkan diri

membangun kesultanan sendiri dengan nama kesultanan KaCirebonan.

Kehendak raja kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya

menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun belanda mengajukan satu syarat, yaitu agar

putra dan para pengganti raja Kanoman tidak berhak atas gelar sultan. Cukup dengan gelar

pangeran saja. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu

kesultanan KaCirebonan. Sementara tahta sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom

IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur

dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-

wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926,

ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan

pengesahan berdirinya Kota Cirebon.

B. Banngunan-bangunan di Lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon

Bangunan-bangunan yang berada di keraton Cirebon mengambil unsur tradisi

Hindu-Budha dari kerajaan Padjajaran. Salah satu penandanya adalah sepasang patung

Page 17: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

13

harimau berwarna putih di pelataran Kamandungan. Masyarakat Sunda pedalaman yakin,

harimau adalah reinkarnasi sosok Prabu Siliwangi yang menjadi raja terakhir di Padjadjaran.

Gambar 1: Sepasang patung harimau putih

Jejak kebudayaan Hindu-Buddha juga tampak jelas pada kompleks bangunan Siti

Hinggil (bahasa Jawa, Siti: tanah, Hinggil: tinggi) yang bercorak candi bentar, arsitektur

khas zaman Majapahit pada dua gapuranya, gapura adi di utara dan gapura banteng di

selatan.

Gambar 2: Gapura Banteng

Di bawah gapura banteng ini terdapat candra sengkala dengan tulisan kuta bata

tinata banteng yang kalau dibaca dari belakang merujuk tahun 1451 Saka atau 1529 Masehi.

Kemungkinan besar Siti Hinggil inilah yang pertama kali dibangun sebelum bangunan lain

menyusul kemudian.

Page 18: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

14

Di dinding seluruh bangunan yang menggunakan material batu bata merah

menempel aneka keramik China masa Dinasti Ming (1364-1644 M) dan keramik Delf dari

Belanda. Di depan Siti Hinggil terdapat meja batu granit hadiah Sir Stamford Raffles, wakil

Kerajaan Inggris yang pernah menjadi Gubernur Jenderal Jawa (1811-1816).

Gambar 3: Keramik China yang menempel di ruangan keraton

Di dalam kompleks Siti Hinggil terdapat lima bangunan berbahan utama kayu jati

mirip pendapa tanpa dinding dan masing-masing memiliki nama serta fungsi berbeda.

Bangunan utama yang terletak melintang dengan jumlah saka (tiang) 20 buah dinamai

malang semirang yang melambangkan 20 sifat Allah SWT. Sementara saka guru (tiang

utama) enam buah, yang melambangkan rukun iman. Di tempat inilah sultan melihat latihan

keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman.

Bangunan di sebelah kirinya bernama Pandawa Lima dengan lima buah saka yang

melambangkan rukun Islam. Bangunan ini tempat para panglima perang. Bangunan di

sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan dua saka yang

melambangkan dua kalimat syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasihat sultan yang

disebut penghulu.

Di belakang bangunan utama ada Mande Pengiring tempat berkumpulnya pengiring

sultan. Sebuah bangunan lagi ada di sebelahnya, Mande Karasemen, di situlah para nayaga

(penabuh gamelan) berada. Sampai sekarang, bangunan ini masih digunakan sebagai tempat

membunyikan gamelan sekaten saat Idul Fitri dan Idul Adha.

Selain itu, juga terdapat lingga-yoni. Dalam khazanah kebudayaan Hindu, lingga-

yoni merupakan lambang kesuburan. Di atas tembok sekeliling Siti Hinggil terdapat Candi

Laras untuk penyelaras kompleks itu.

Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan

lukisan koleksi kerajaan. Lukisan yang sangat menarik perhatian kami adalah lukisan 3

dimensi Prabu Siliwangi.

Page 19: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

15

Gambar 4 : Lukisan Prabu Siliwangi

Di sebelah timur Taman Bunderan Dewan Daru berdiri bangunan untuk tempat

penyimpanan Kereta Pusaka yang dinamakan Kereta Singa Barong.

Gambar 5: Replika Kereta Singa Barong

Di dalam museum Kereta juga terdapat 2 buah Tandu Jempana dari Cina,

persembahan dari Kapten Tan Tjoeng Lay dan Kapten Tan Boen Wee tahun 1676. Tandu

Jempana ini untuk Permaisuri dan Putra Mahkota. Tandu Garuda Mina di buat pada tahun

1777 di gempol Palimanan, tandu ini di pergunakan untuk mengarak anak yang mau di

khitan. Juga terdapat pedang-pedang dari Portugis dan belanda, 2 buah meriam dari

Mongolia pada tahun 1424 yang berbentuk naga. Di belakang Kereta terdapat tombak-

tombak panjang berbendera kuning yang disebut Blandrang. Juga terdapat Tanggul Gada

atau Tanggul Manik sebagai lambang pengayoman. Dan juga seperangkat Angklung Kuno

persembahan dari masyarakat daerah Kuningan.

Page 20: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

16

C. Silsilah Kesultanan Kasepuhan Cirebon

Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayatullah)

P. Adipati Pasarean (P. Muhammad Arifin)

P. Dipati Cirebon I (P. Sedang Kamuning)

Panembahan Ratu Pakung Wati I (P. Emas Zainul Arifin)

P. Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam)

Panembahan Ratu Pakung Wati II (Panembahan Grilaya)

P. Syamsudin Martawidjaja (Sultah Sepuh I)

P. Djamaludin (Sultan Sepuh II)

P. Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III)

P. Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV)

P. Sjafiudin / Sultan Matangadji (Sultan Sepuh V)

P. Hasanuddin (Sultan Sepuh VI)

P. Djoharudin (Sultan Sepuh VII)

P. Radja Udaka (Sultan sepuh VIII)

P. Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX)

P. Radja Atmadja (Sultan Sepuh X)

P. Radja Aluda Tajul Arifin (Sultan Sepuh XI)

P. Radja Radjaningrat (Sultan Sepuh XII)

P.R.A.DR.H. Maulana Pakuningrat, SH (Sultan Sepuh XIII)

P.R.A. Arief Natadiningrat, SE (Sultan Sepuh XIV)

3.2 Hasil Penelitian Yogyakarta

A. Sejarah Berdirinya Kasultanan Yogyakarta

Sebelum berdirinya kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaraan, dan

kadipaten Pangkualaman, pada waktu itu yang ada hanya Keraton Kasultanan Surakarta,

pindahan dari kraton Mataram Kartasura. Ketika istananya berada di Kartasura terjadi

peristiwa pemberontakan orang-orang China (GEGER PACINA) pada tahun 1740-1743.

Paku Buwono II tidak berdaya menghadapi pemberontakan ini, dan hanya dengan bantuan

Belanda lah peristiwa itu dapat dipadamkan, karena istana Kartasusra mengalami kerusakan

yang parah sekali, lalu ibukota dipindahkan ke Desa Solo, yang kemudian disebut Surakarta.

Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono II di Kraton Surakarta (1744), masih

terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Tumenggung Mertupuro melawan Kraton

Page 21: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

17

Surakarta, namun oleh pangeran Mengkubumi (adik Paku Buwono II) Tumenggung

Mertupuro dapat ditaklukan.

Dalam suatu perundingan antara Paku Buwono II yang didampingi oleh Pangeran

Mengkubumi (penasehat kepercayaan) dengan pihak Belanda yang diwakili oleh Mr

Hoogendroof, utusan Belanda itu meminta Paku Buwono II untuk menyerahkan seluruh

wilayah pesisir utara jawa kepada VOC. Permintaan itu sebagai tuntutan atas jasa Belanda

ketika berhasil memadamkan pemberontakan orang-orang China di Kartasura. Pangeran

Mengkubumi tidak menyetujui permintaan itu, meski ia tahu bahwa kedudukan Paku

Buwono II sangat sulit. Berawal dari masalah itu Pangeran Mangkubumi kemudian

memohon ijin dan doa restu kepada Paku Buwono II, untuk menentang dan mengangkat

senjata melawan kompeni Belanda/VOC.

Setelah mendapat restu dari Paku Buwono II, dengan memperoleh pusaka tombak

KYAI PLERED, lalu pada tanggal 21 April 1747, Pangeran Mengkubumi meninggalkan

Kraton Surakarta menuju kedalam hutan bersama keluarga dan pasukannya yang setia,

untuk bergerilya melawan VOC. Dalam mengadakan perlawanannya itu, Pangeran

Mengkubumi bergabung dengan RM. Said (Pangeran Samnbernyawa) yang sudah lebih

dulu menentang Paku Buwono II dan VOC.

Sebelum Paku Buwono II wafat, kekuasaan seluruh tanah jawa telah di serahkan

kepada VOC (16 Desember 1749), karena itu yang menobatkan atau mengangkat raja-raja

di tanah jawa keturunan Paku Buwono adalah VOC. Setelah Paku Buwono II wafat ,

Belanda mengangkat RM. Suryadi (Putra Mahkota) sebagai Sunan Paku Buwono III. Ia

praktis jadi boneka , karena menurut kontrak politik , raja tersebut hanya berkedudukan

sebagai peminjam tanah VOC.

Ketika pemerintahan Paku Buwono III ini perlawanan pangeran Mangkubumi

terhadap belanda semakin menghebat. Dalam setiap pertempuran pasukan belanda selalu

terdesak oleh serangan Pangeran Mangkubumi. Bahkan ketika terjadi pertempuran sengit di

sungai Bogowonto , semua pasukan belanda termasuk komandannya mati terbunuh akhirnya

belanda meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding.

Kemudian terjadilah perjanjian antara ketiga pihak, yaitu Pangeran Mangkubumi,

Paku Buwono , dan Belanda atau VOC. Perjanjian itu diadakan di desa Giyanti (Salatiga),

pada tanggal 13 februari 1755, maka disebut PERJANJIAN GIYANTI. Akibat dari

perjanjian itu, kerajaan Matarram di bagi menjadi dua bagian, yaitu Kraton Kasunanan

Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta.

Page 22: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

18

Selanjutnya dengan daerah barunya itu, Pangeran Mangkubumi mendirikan

kerajaan Mataram Yogyakarta di Wilayah Bringan, pada tahun 1756 dan beliau kemudian

bergelar SRI SULTAN HAMANGKUBUWONO I. gelar lengkapnya adalah : NGARSA

DALEM SAMPEAN DALEM INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN

HAMANGKUBUWONO SENOPATI INGANGLOGO NGABDURAHMAN SAYIDIN

PANOTOGOMO KHALIFATULLAH INGKANG JUMENENG KAPING I

INGANGAYOGYAKARTA HADININGRAT.

B. Wilayah Keraton Yogyakarta

Kraton Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1756

di wilayah Hutan Bringan . nama hutan tersebut kemudian diabadikan untuk nama pasar

dipusat kota yaitu pasar Bring Harjo. Sedangkan istilah Yogyakarta berasal dari yogya dan

karta. Yogya artinya Baik, dan Karta artinya Makmur, namun pengertian lain menyatakan,

bahwa Yogyakarta atau Ngayogyakarta itu berasal dri kata dasar AYU+BAGYA+KARTA

(Baca Ngayu+bagya+karta), menjadi Ngayogyakarta.

Wilayah kraton Yogyakarta membentang antara Tugu (batas utara) dan Karpyak

(batas selatan), antara sungai Code (sebelah timur) dan sungai Winogo (sebelah barat),

antara Gunung Merapi dan Laut Selatan. Bangunan tugu yang merupakan batas utara

wilayah Kraton Yogyakarta, berjarak sekitar 2km dari Kraton. Bangunan tersebut pada

jaman dahulu berbentuk GOLONG-GILIG (golong=berbentuk bulat, pada bagian atas

gilig= berbentuk pilar yang meruncing ke atas), Golong Gilig berarti Manunggaling Kawula

Gusti (Manunggalnya Raja dengan rakyat, sekaligus menunggalnya manusia dengan

Tuhan).

Selanjutnya, antara Tugu hingga Kraton terdapat jalan utama yang disebut

MALIOBORO, dimana asal nama Malioboro, ada yang berpendapat berasal dari kata

Marlbourgh, yaitu nama seorang jendral inggris, oleh Raffles, ketika berusaha di

Yogyakarta (pada zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono II), nama tersebut

kemudian di abadikan sebagai nama jalan di pusat kota Yogyakarta, yaitu jalan Malbourgh,

namun pendapat lain mengatakan bahwa, penyebut Malioboro itu terkait dengan cita-cita

Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang melihat jalan tersebut sebagai pengejawantahan jalan

hidupnya., Yaitu Mulyane Saka Bebara (Mulyabara), yang kemudian terjadi perubahan

pengucapan menjadi Maliyabara atau Malioboro, kemulyaan dan kejayaan hidup yang

dicapai lewat laku keprihatinan.

Page 23: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

19

Pusat wilayah Kraton Yogyakarta luasnya 14.000 meter persegi, dengan dikelilingi

tembok (benteng) setinggi 4 meter dan lebar 3,5 meter. Di setiap sudutnya terdapat tempat

tempat penjagaan atau bastion. Untuk melihat /mengawasi keadaan di luar maupun didalam

benteng Kraton. Di sebelah luar benteng dikelilingi oleh parit yang dalam, yang disebut

Jagang (sekarang sudah menjadi pemukiman penduduk). Untuk menghubungkan antara

wilayah dalam benteng dengan daerah di luar benteng Kraton, ada 5 pintu gerbang yang

disebut PLENGKUNG, antara lain yaitu:

1. PLENGKUNG NIRBAYA (Gading), disebelah selatan.

2. PLENGKUNG JAGABAYA (Taman Sari), di sebelah Barat.

3. PLENGKUNG JAGASURA (Ngasem), di sebelah barat laut.

4. PLENGKUNG TARUNASURA (Wijilan), di sebelah timur laut.

5. PLENGKUNG MADYASURA (sebeleh barat THR), di sebelah timur.

Plengkung yang disebut terakhir ini dahulu pernah diruntuhkan pada zaman Sultan

Hamengku Buwono II, ketika terjadi peperangan melawan Pasukan Inggris (Geger Spei)

sehingga tersumbat dan tidak bisa dilalui. Maka lebih dikenal dengan sebutan

PLENGKUNG BUNTET (tertutup). Di antar kelima plengkung itu hanya dua yang masih

tampak utuh, yaitu Plengkung Nirbaya (Gading) dan Plengkung Tarunasura(Wijilan).

Selanjutnya di sebelah selatan (belakang) Kraton, sebelum sampai Plengkung

Nirbaya, terdapat alun-alun yang luasnya lebih kecil dari Alun-alun Lor, YAITU Alun-alun

Kidul (Alun-alun Selatan). Di bagian tengahnya terdapat dua pohon beringin yang disebut

Beringin ―WOK‖ yang juga dikelilingi tembok.

Disebelah barat Alun-alun Kidul terdapat bangunan untuk memelihara gajah, yang

disebut GAJAHAN, pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X, fungsi Gajahan

dihidupkan kembali untuk memelihara gajah hingga sekarang.

Selanjutnya dari Kraton kea rah selatan sekitar 2 km jaraknya, terdapat bangunan

berupa panggung, yang disebut KRAPYAK, pada zaman dahulu di bagian atas panggung itu

digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan para prajuritnya berburu rusa atau binatang

lainnya. Bangunan ini sampai sekarang masih ada, dan berada dalam garis simetris /lurus

dengan KRATON dan TUGU KRATON, Bangunan Krapyak ini adalah batas selatan

wilyah Kraton Yogyakarta.

Page 24: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

20

C. Bangunan-bangunan di Lingkungan dalam Keraton

Lingkungan dalam Kraton yang dimulai dari bagian depan (halaman pagelaran)

hingga bagian belakang (halaman Siti Hinggil Kidul), secara keseluruhan terbagi atas tujuh

halaman(pelataran), yang mana masing-masing dibatasi oleh tembok tinggi, dan di

dalamnya terdapat bangunan-bangunan, serta beberapa pintu gerbang yang menghubungkan

antara halaman yang satu dengan halaman yang lainnya, di sebut REGOL. Mengenai nama

masing-masing bangunan yang terdapat pada setiap halaman di lingkungan dalam kraton,

seperti tersebut di bawah ini di mulai dari bagian depan, yakni:

1) BANGSAL PAGELARAN, pada mulanya di sebut tratag Rambat, atapnya berupa

sirap kayu. Dan setelah di pugar pada jaman Sri Sultan Hamenku Buwono VIII

tahun 1921 Masehi, kemudian dinamakan pagelaran. Pemugaran bangunan tersebut

di tandai dengan Cendrasengkala (tahun jawa) yang terdapat pada bagian atas muka

Bangsal Pagelaran, berbunyi ―Panca Ganas Salira Tunggal‖, yang berarti tahun 1865

jawa.

2) BANGSAL PEMANDENGAN, digunakan sebagai tempat duduk bagi Sultan

beserta Panglima perang, ketika menyaksikan jalannya latihan perang para

prajuritnya. Latihan perang ini dilakukan di Alun-alun Lor, bangsal ini jumlahnya

ada dua, masing-masing terletak disebelah kanan dan kiri sejajar dengan Bangsal

Pagelaran.

3) BANGSAL PENGAPIT atau juga disebut BANGSAL PASEWAKAN adalah

tempat para senopati Perang/Manggalayudha mengadakan pertemuan, serta

digunakan sebagai tempat menunggu perintah-perintah dari sultan. Bangsal ini ada

sepasang, masing-masing berada disamping kanan dan kiri Bangsal Pagelaran.

4) BANGSAL PANGRAWIT, digunakan sebagai tempat raja melantik patih (tempat

pelantikan patih). Setelah tahun 1942, Bangsal ini tidak digunakan lagi. Bangunan

ini terletak di sisi sebelah kanan dalam Bangsal Pagelaran.

5) BANGSAL PACIKERAN, adalah tempat jaga bagi para abdidalem Singanegara dan

abdidalem Mertalulut (sebutan untuk algojo Kraton) yang bertugas memberi

hukuman kepada para tahanan kraton. Sedangkan pelaksanaan hukumannya

bertempat di Alin-alun Lor.

6) BANGSAL SITI HINGGIL, digunakan sebagai tempat penobatan/pelantikan Raja-

raja Kasultanan Yogyakarta, dan tempat diselenggarakannya upacara Pasowanan

Agung, pada tanggal 17 Desember 1949, pernah dipakai untuk pelantikan Ir.

Page 25: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

21

Soekarno sebagai Presiden RIS. Sekaligus digunakan untuk peresmian

UniversitasNegeri tertua di Indonesia, yaitu Universitas Gadjah Mada. Bangunan ini

telah dipugar pada jaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dengan ditandai

candrasengkala(tahun jawa) pada bagian atas muka Bangsal Siti Hinggil , berbunyi

―Pandita Cakra Naga Wani‖, yang berdiri pada tahun 1857.

7) BANGSAL MANGUNTUR TANGKIL, adalah tempat singgasana Raja, ketika

berlangsung Upacara Penobatan Raja, dan pada waktu digelar Upacara Pasowanan

Agung. Ditengah bangsal ini terdapat seloging. Untuk meletakan DEampar Kencana

sebagai Singgasana Sultan. Bangunan ini terletak di bagian tengah Bangsal Siti

Hinggil.

8) BANGSAL WITANA, digunakan untuk menempatkan pusaka-pusaka utama

Kraton, pada saat dilangsungkan Upacara Penobatan Raja, dan pada waktu Upacara

Grebeg Mulud tahun Dal(jawa).

9) BALEBANG, digunakan untuk menyimpan 2 perangkat gamelan Sekaten yang

dibunyikan pada setiap bulan Mulud. Kedua gamelan tersebut masing-masing

bernama KYAI GUNTURMADU dan KYAI NAGAWILAGA.

Gambar 6: gamelan Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilaga

10) BALE ANGUN-ANGUN, digunakan untuk menyimpan pusaka tombak yang

bernama Kanjeng Kyai Sura Angun-Angun.

11) BANGSAL KORI, berfungsi sebagai tempat jaga bagi para abdidalem Kori dan

abdidalem Jaksa, yang bertugas menyampaikan permohonan maupun pengaduan

rakyat kepada raja.

12) TARUB AGUNG, digunakan sebagai ruang tunggu bagi tamu-tamu Sultan, yang

akan menghadiri upacara resmi di Siti Hinggil.

13) REGOL BROJONOLO, yaitu pintu gerbang yang menghubungkan antara halaman

Siti Hinggil Lor dengan Halaman Kemandungan Lor.

Page 26: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

22

D. Raja-raja Kesultanan Yogyakarta

1. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO

Nama kecil : BENDARA RADEN MAS SUJONO

Tanggal lahir : 4 Agustus 1717

Malam Rabu pon,26 Ruwah Wawu 1641

Naik tahta : 13 februari 1755

Wafat : Malam ahad kliwon, 1Ruwah je 1718

Makam : pasarean pajimatan imogiri,kadhaton swagan

Permaisuri ada 2:

GUSTI KANJENG RATU KENCANA

Putri dari Bendara pangeran hanya Dipenogoro (putrid susuhun paku Buwono

I). di Madiun

GUSTI KANGJENG RATU KADIPATE lalu bergelar GUSTI KANJENG

RATU HEGANG

Putri dari kyai/nyai Hageng Drepoyudo yang di semayamkan di majanjati.

Seluruh isrti termasuk permasuk berjumlah 25 orang, jumlah putra-putri almarhum

seluruhnya 32 orang. Penggantinya adalah GRM. Sundoro putra ke-5 (Pen mas putra

sulung dari GKR kadipaten). Putra dari garwa selir BRAY. Srenggoro yang bernama

BPH.

2. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO II

Nama kecil : GUSTI RADEN MAS SUNDORO

Tanggal lahir : 7 Maret 1750 malam sabtu legi, 28 Rabiul Awal

Naik tahta : 2 April 1792 senin pon, 9 ruwah je 1718

Pulang : 17 Agustus 1826

Wafat : 3 januari 1828 malam kamis legi, 15 jumadiakhir alip 1755

Makam : pasareyan dalem Astana kotagede

Permaisuri ada 4:

GUSTI KANJENG RATU KEDHATON

Putri kangjeng Raden Tumenggung Purwodiningrat, Bupati magetan

GUSTI KANGJENG RATU HEMAS

Putri Gusti Kangjeng Ratu

GUSTI KANJENG RATU KENCANA WULAN

Putrid dari KiBener, saudara dari Mas Tumenggung Sindurejo.

Page 27: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

23

GUSTI KANJENG RATU SULTAN

Putrid kanjeng Raden Tumenggung Resogoto, Bupati Sukowati

Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 28 orang, jumlah putra-putri almarhum

seluruhnya 80 orang. Penggantinya adalah GRM. Surojo, putra kelima. Putra sulung

dari permaisuri GKR. Kedathon.

3. SRI SULTAN HAMENGKU BUONO III

Nama kecil : GUSTI RADEN MAS SUROJO

Tanggal lahir : 20 februari 1769

Malam Rabu keliwon, 18 Syawal Dal 1694

Naik tahta : 12 juni 1812

Wafat : 3 noveber 1814

Makam : pasarean pajimatan imogiri, Kadaton Suwargan

Permaisuri ada 3:

GUSTI KANJENG RATU KENCANA

Yang kemudian bergelar GUSTI KANJENG RATU HAGENG putrid dari

Bendara Raden Ayu Susrodiningrat (putri sultan Hamengku Buono)

GUSTI KANJENG RATU HEMAS

Putri dari Raden Rangga Prawiradirja I di madiun. Tidak berputra

GUSTI KANJENG RATU WANDHAN

Seluruh istri termasuk permaisurinya berjumlah 25 orang. Jumlah putra-putri

almarhum seluruhnya 32 orang. 2 permaisurinya tidak member keturunan. Yaitu

GKR. Hemas dan GKR. Wandhan. Penggantinya GRM. Ibnu Jarot putra ke 18

putra bungsu dari GKR. Hageng.

4. SRI SULTAN HAMENGKU BUONO IV

Nama kecil : GUSTI RADEN MAS IBNU JAROT

Tanggal lahir : 3 April 1804, selasa kliwon, 22 Besar Jimakir 1730

Naik tahta : 10 November 1814

Wafat : jumat Pahing, 22 Rabiul Awal je 1750

Makam : pasareyan pajimatan Imogiri, kedhaton Besiyaran

Permaisurinya hanya ada 1:

GUSTI KANJENG RATU KENCONO

Yang kemudian bergelar GUSTI KANJENG RATU HAGENG, putri dari

Raden Adipati Danurejo II (pepatih Dalem di keraton Yogyakarta).

Page 28: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

24

Seluruh istri termasuk permaisuri ada 9 orang, jumlah putra-putri almarhum

seluruhnya ada 18 orang. Penggantinya adalah GRM. Gathot Menol, putra ke 6

(putra kedua dari KGR Kencana). Putra pertama dari permaisuri juga laki-laki, tapi

meninggal dunia ketika berusia 108 hari.

5. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO V

Nama kecil : GUSTI RADEN MAS GATHOT MENOL

Tanggal lahir : 24 Januari 1820

Naik tahta : 19 Desember 1823

Wafat : 5 juni 1855, Selasa Legi, 20 Siyam Dal 1783

Makam : pasareyan pajimatan Imogiri, kedhaton Besiyaran

Permaisuri ada 2:

GUSTI KANJENG RATU KENCONO

Putri Gusti Kanjeng Ratu Anom (putri Sri Sultan Hamengku Buono II) denga

kanjeng pangeran Harya Purwonegoro.

GUTI KANJENG RATU KADHATON

Putri Bendara pangeran Harya Suryo-ningalogo (putra Sri Sultan Hamengku

Buono III).

Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 5 orang, jumlah putra-putri almarhum

seluruhnya 9 orang. Penggantinya adalah GRM. Mustojo yaitu adik dari Sri Sultan

Hamengku Buono V.

6. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VI

Nama kecil : GUSTI RADEN MAS MUSTOJO

Tanggal lahir : 10 Agustus 1821

Naik tahta : 5 juli 1855 Syawal Dal 1783

Wafat : 20 juli 1877, 9 rajeb je 1 pajimatan Imogiri, kadhaton Besiyaran

Permaisuri ada 2:

GUGTI KANJENG RATU KENCONO

Kemudian bergelar GUSTI KANJENG RATU HAMENGKU BUONO Putri

dari kanjeng Susuhun Paku Buono VIII di Surakarta.

GUSTI KANJENG RATU SULTAN

Kemudian bergelar GUSTI KANJENG RATU HAGENG, Putri dari kyai/nyai

Hageng prawirorejoso yang disemayamkan di Gunung Pengklik payak

Yogyakarta.

Page 29: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

25

Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 10 orang, jumlah putra-putri almarhum

seluruhnya 23 orang. Penggantinya adalah GRM. Murtejo putra pertama (putra

sulung dari permaisuri GKR. Sultan).

7. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VII

Nama kecil : GUSTI RADEN MAS MURTEJO

Tanggal lahir : 4 Februari 1839

Naik tahta : 13 Agustus 1 Rewah je 1806

Turun tahta : 29 Januari 1921

Wafat : 30 Desember 1921

Makam : pasareyan pajimatan Imogiri, kedhaton Saptarengga.

Permaisuri ada 3:

GUSTI KANJENG RATU KENCONO

Kemudian di asingkan, lalu bergelar GUSTI KANJENG RATU WANDHA,

Putri dari Raden Ali Basah Abdulmustopo Senthot Prawirodirjo.

GUSTI KANJENG RATU HEMAS

Lalu bergelar GUSTI KANJENG RATU HAGENG, bertempat tinggal di

Tegalrejo, kemudian mendapat julukan GUSTI KANJENG RATU

TEGALREJO, Putri dari kanjeng Raden Tumenggung joyodipuro.

GUSTI KANJENG RATU KENCONO

Putri dari Bendara pangeran Harya Hadinegoro (putra sultan Hamengku Buono

II).

Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 21 orang, jumlah putra-putri almarhum

seluruhnya 78 orang. Penggantinya adalah GRM. Sujadi, putra ke 23 (putra ke 5 dari

GKR Hemas).

8. SRI SULTAN HAMENGKU BUONO VIII

Nama kecil : GUSTI RADEN MAS SUJADI

Tanggal lahir : 3 Maret 1880

Naik tahta : 18 februari 1921

Wafat : 22 Oktober 1921

Makam : pasareyan pajimatan Imogiri, kedhaton Saptarengga.

Permaisuri ada 1:

KANJENG RADEN AYU ADITIA ANOM HAMENGKUNEGORO

Page 30: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

26

Putri dari kanjeng Gusti pangeran Adipati Mangkubumi (putra Sri Sultan

Hamengku Buono VI).

Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 8 orang, jumlah putra-putri almarhum

seluruhnya 41 orang. Penggantinya adalah GRM. Dorojatun satu-satunya putra dari

permaisuri.

9. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX

Nama kecil : GUSTI RADEN MAS DOROJATUN

Tanggal lahir : 12 April 1912

Naik tahta : 18 Maret 1940

Wafat : 3 Oktober 1988

Makam : pasareyan pajimatan Imogiri, kedhaton Saptarengga.

Permaisuri tidak ada, istri selir ada lima:

KANJENG RADEN AYU PINTOKO PURNOMO HAMENGKUBUONO IX

Putri dari RB. Suryo kusumo (cicit dari Sultan Hamengkubuono VI).

KANJENG RADEN AYU WIDIANINGRUM HAMENGKU BUONO IX

Putri dari RW. Purwowinoto (cicit dari sultan Hamengku Buwono III)

KANJENG RADEN AYU HASTENGKORO HAMENGKU BUWONO IX

Puutri dari Raden Panji Trutojumeno (cicit dari sultan Hamengku Buwono VII).

KANJENG RADEN AYU CIPTO MURTI HAMENGKU BUWONO IX

Putri dari KPH/Bendara raden ayu Brongtodiningrat (cucu Sultan Hamengku

Buwono VII).

KANJENG RADEN AYU NORMA NINDYA KIRANA HAMENGKU

BUWONO IX

Putri dari Mentok,Bangka,Sumatra Selatan.

jumlah putra-putri almarhum seluruhnya 22 orang. Penggantinya adalah BRM.

Herjuno Darpito putra kelima, putra kedua dari Garwa Ampeya KRAY.

Windyanigrum Hamengkubuwono IX.

10. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X

Nama kecil : BENDARA RADEN MAS HERJUNO DARPITO

Tanggal lahir : 2 April 1946

Naik tahta : 7 Maret 1989

Permaisuri hanya ada 1:

BENDARA RADEN AYU TATIK MANGKUBUMI

Page 31: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

27

Lahir 31 oktober 1952 kemudian di nobatkan menjadi permaisuri dengan gelar

GUSTI KANJENG RATU HEMAS, PUTRI DARI KOLONEL (Purnawirawan)

R. Supono Digosastropranoto (Almarhum).

Tidak mempunyai istri selir.

Putra dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X ada 5, semuanya perempuan.

Pada tanggal 3 oktober 1998 dilantik menjadi Gubernur Daerah Istimewa

Yogyakarta, Periode tahun 1998-2003 (Hingga sekarang).

E. Gelar dan Kedudukan Bangsawan Kraton Yogyakarta

Gelar atau titel dan kedudukan bangsawan kraton itu diatur didalam suatu peraturan

yang disebut ― PRANATAN LAN KALUNGGUHAN PRANATAN BAB SESEBUTAN

KALUNGGUHAN PARA PUTRA SENTANA LAN DARAHING PANJENENGAN

NATA JEN PINUJU PASAMUAN SAPANUNGGALANE‖

Gelar-gelar bangsawan pria yaitu sebagai berikut:

1. KANJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ANOM

Sebutan ini untuk putra mahkota yang nantinya akan menggantikan kedudukan raja.

2. KANJENG PANEMBAHAN

Sebutan untuk putra sultan yang mendapat anugrah tinggi karena jasa-jasanya terhadap

raja dan Negara.

3. KANJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI

Gelar anugrah yang diberikan kepada putra sultan.

4. KANJENG GUSTI PANGERAN HARYA

Sebutan anugrah kepada putra sultan yang kedudukannya sebagai lurah pangeran (yang

memimpin para pangeran).

5. GUSTI PANGERAN

Gelar untuk putra sulung sultan yang terlahir dari istri selir (setelah diangkat sebagai

pangeran).

6. GUSTI PANGERAN HARYA

Gelar untuk putra sultan yang terlahir dari istri permaisuri (setelah diangkat sebagai

pangeran).

7. BENDARA PANGERAN HARYA

Gelar untuk putra sultan yang lain, yang dilahirkan dari istri selir (setelah diangkat

sebagai pangeran).

Page 32: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

28

8. KANJENG PANGERAN ADIPATI

Gelar kepangkatan yang dianugrahkan kepada sentana yang dianggap berjasa.

9. KANJENG PANGERAN HARYA

Gelar kepangkatan yang dianugrahkan kepada seseoran, tapi kedudukannya ada dibawah

kanjeng pangeran adipati.

10. GUSTI RADEN MAS

Gelar untuk putra Sultan yang terlahir dari istri permaisuri, sebelum diangkat sebagai

pangeran.

11. BENDARA RADEN MAS

Gelar untuk sultan yng lahir dari istri selir atau putra dari putrid mahkota (kanjeng Gusti

Paangeran Adipati Anom). Yang belum menjadi pangeran

12. RADEN MAS HARYA

Gelar kebangsawanan yang diberikan Sultan kepada seseorang sebagai anugrah

RADEN MASGelar untuk keturunan ketiga bahwa sultan sampai seterusnya (orang jawa

menyebut canggah)

13. RADEN ATAU RADEN BAGUS

Gelar untuk keturunan sultan dari generasi ke lima ke bawah

14. MAS

Gelar untuk abdidalem yang berasal dari rakyat

Gelar bangsawan putri yang berisi sebagai berikut:

1. GUSTI KANJENG RATU

Gelar dan sebutan untuk permaisuri atau putri Sultan yang lahir dari istri permaisuri dan

sudah menikah

2. KANJENG RATU

Gelar putrid sulung Sultan yang lahir dari istri, dan sudah menikah

3. GISTI RADEN AYU

Gelar untuk putri sultan yang lahir dari istri permaisuri yang sudah dewasa tapi belum

menikah.

4. GUSTI RADEN AJENG

Gelar untuk putri sultan yang lahir dari istri permaisuri, yang masih kanak-kanak atau

belum dewasa.

5. BENDARA RADEN AYU

Gelar untuk putrid Sultan yang lahir dari isti selir dan sudah menikah

Page 33: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

29

6. BENDARA RADEN AJENG

7. Gelar untuk putri Sultan yang lahir dari isri selir atau putri dari putra mahkota, yang

belum menikah.

8. RADEN AYU

Gelar untuk cucu atau Canggah (angkatan ke lima kebawah) Sultan yang sudah menikah

atau istri para pangeran yang bukan putra/putri Sultan.

9. RADEN AJENG

Gelar sebutan cucu atau canggah Sultan yang belum menikah.

10. RADEN ATAU RADEN NGANTEN

Sebutan gelar cucu sampai cucu-cucu atau wareng (angkatan ke enam ke bawah) Sultan

yang telah menikah, atau istri para Bupati yang berasal dari rakyat

11. RADEN RARA

Sebutan gelar wareng Sultan yang belum menikah.

12. KANJENG BENDARA

Gelar sebutan untuk istri sultan yag mengepalai para istri selir sultan.

13. KANJENG RADEN AYU

Gelar untuk istri permisuri sultan atau istri pertama putra mahkota (kanjeng Gusti

Pangeran Adipati Anom).

14. BENDARA MAS AJENG ATAU BENDARA MAS AYU

Gelar sebutan untuk istri selir Sultan atau istri putra mahkota yang berasal dari rakyat.

Sedang selir para pangeran yang berasal dari rakyat sesebutannya: MAS AJENG atau

MAS AYU.

F. Warisan Budaya Keraton Yogyakarta

Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Yogyakarta juga memiliki suatu

warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian

sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Tumplak

Wajik, Garebeg, upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan Labuhan. Upacara yang

berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan

budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing

1. Tumplak Wajik

Upacara tumplak wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat

dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan pareden yang

Page 34: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

30

digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara ini hanya dilakukan untuk membuat

pareden estri pada Garebeg Mulud dan Garebeg Besar. Dalam upacara yang dihadiri

oleh pembesar Keraton ini di lengkapi dengan sesajian.Selain itu upacara yang

diselenggarakan dua hari sebelum garebeg juga diiringi dengan musik ansambel

lesung-alu (alat penumbuk padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah

upacara selesai dilanjutkan dengan pembuatan pareden.

2. Garebeg

Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan

Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal satu bulan

Syawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari

tersebut Sultan berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai

perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang

disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden

Kakung, Pareden Estri, Pareden Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden Dharat,

serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada saat Garebeg

Mulud tahun Dal.

3. Sekaten

Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh

hari.Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya

merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat

kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten

dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK

Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di

depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud,

kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan atau dibunyikan secara bergantian

menandai perayaan sekaten.

Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara

Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin).Setelah itu Sultan atau wakil beliau

masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian Maulid Nabi dan

mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara

ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk)

dan Endhog Abang (harfiah=telur merah) merupakan makanan khas yang banyak

dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba; family

Page 35: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

31

Magnoliaceae). Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu

pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang

sesungguhnya

4. Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan

Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki upacara

tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan.Siraman/Jamasan

Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat

Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di

empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (Dalem Ageng

Prabayaksa dan bangsal Manis). Upacara di lokasi ini tertutup untuk umum dan hanya

diikuti oleh keluarga kerajaan.

Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di

Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai

Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap

tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam

setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan

pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di

tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di

tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi

kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.

5. Labuhan

Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat

yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-

benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya

di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung Merapi

(Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi, sedangkan di Pantai

Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo.

Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.

3.3 Analisis Hasil Penelitian Cirebon

Analisis kami terhadap hasil penelitian yang telah kami jelaskan di atas diantaranya

adalah mengenai pembangunan keraton kasepuhan Cirebon. Setelah kami bertanya kesalah

satu pemandu wisata yang disana ternyata keraton Kasepuhan Cirebon didirikan tahun 1529

Page 36: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

32

oleh Pangeran Emas Zainul Arifin (cicit Sunan Gunung Jati) yang menggantikan Sunan

Gunung Jati pada tahun 1506. Sebelumnya Keraton Kasepuhan bernama Keraton

Pakungwati, sehingga Pangeran Mas Zainul Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I.

Apabila kita perhatikan ruang luar Keraton Kesepuhan, kita bisa melihat bagaimana

perpaduan unsur-unsur Eropa seperti meriam dan Patung Singa dihalaman muka, Furnitur

dan meja kaca gaya Perancis tempat para tamu sultan berkaca sebelum menghadap, gerbang

ukiran Bali dan Pintu Kayu model ukiran Perancis yang menampakkan gambaran

kosmopolitan Keraton Kesepuhan yan tersimpan dalam musium Keraton.

Gambar 7: Patung sepasang singa putih dan meriam di sampingnya

Kegemaran Kesultanan Cirebon mengadopsi gaya dan arsitektur model Eropa yang

mengisi bagian dalam Keraton Kesepuhan. Perhatikan bagaimana model dan ukiran ruang

pertemuan sultan dengan para menteri yang di buat dengan model hampir sama dalam

interior kerajaan perancis dibawah dinasti Bourbon, seperti model kursi, meja dan lampu

gantung. Bagaimanapun terdapat kombinasi gaya interior ini apabila kita memperhatikan

sembilan kain berwarna di latar belakang singgasana raja yang melambangkan sosok wali

sanga. Di sini tradisi Jawa bercampur dengan Eropa yang telah 'di lokalkan'.

Gambar 8: Bangsal Panembahan

Page 37: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

33

Hal yang menarik dari Keraton Kesepuhan adalah adanya piring-piring porselin asli

Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di Keraton,

piring-piring porselin itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.

Selain piring-piring porselin asli Tiongkok patut kita amati juga lukisan tiga dimensi

Prabu Siliwangi. Lukisan ini memang istimewa. Jika kita melihat lukisan ini dari arah kiri,

mata dan ujung jari kaki Prabu Siliwangi terlihat menghadap ke kiri (ke arah kita). Namun

kalau kita bergeser ke arah kanan lukisan, mata dan ujung jari kaki itu pun terlihat

menghadap ke kanan (seolah-olah mengikuti kita). Lukisan semacam ini juga terdapat di

Keraton Yogyakarta, hasil karya Raden Saleh, pelukis legendaris Indonesia. Sedangkan

lukisan Prabu Siliwangi di lukis oleh seorang pelukis yang berasal dari Garut. Kalau melihat

garis-garis lukisannya, pelukis Prabu Siliwangi ini masih beberapa tingkat di bawah Raden

Saleh.

Lanjut ke koleksi yang di bilang keramat, yaitu kereta Singa Barong. Ternyata kereta

Singa Barong yang di pajang itu hanya reflikanya, karena kereta yang aslinya sedang dalam

proses renopasi. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap

1 Syawal untuk dimandikan.

3.4 Analisis Hasil Penelitian Yogyakarta

Pada saat kami berkunjung ke keraton Yogyakarta pas bertepatan dengan acara

Sekaten, jadi pada penulisan laporan ini kami akan memfokuskan analisis kami tentang

acara sekaten tersebut.

Sekaten yang biasanya dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta dan

Surakarta merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW

yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton

Kasunanan Surakarta bersama pemerintahan dan masyarakat setempat. Berbagai bentuk

acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten—yang beraneka ragam variasi

dan macamnya seiring perubahan waktu—mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga

apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur

modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.

Untuk mengetahui asal mula sekaten yang tiap tahun diadakan oleh dua Keraton

tersebut, kita harus menulusurinya dari zaman Demak. Kerajaan ini merupakan kerajaan

Islam pertama di Jawa yang berdiri setelah Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau

1478 Masehi. Keruntuhan Majapahit diperingati dengan candrasengkala ‖Sirna Hilang

Page 38: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

34

Kertaning Bumi‖. Berakhirnya Kerajaan Majapahit berarti berakhir pula Kerajaan Hindu di

Jawa, di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya V. Raja Demak yang pertama adalah Raden

Patah yang bergelar Sultan Bintara.

Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu berupaya untuk memajukan tersiarnya

agama Islam di seluruh kerajaan. Sultan Bintara selalu memikirkan bagaimana caranya agar

agama Islam dapat menyinari semua pelosok negeri, dan bagaimana orang-orang yang telah

memeluk agama Hindu itu akan insyaf dan meyakini kebenaran ajaran Islam.

Demi cita-cita itu, Raden Patah akhirnya mengadakan pertemuan dengan para wali

sembilan, di antaranya adalah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang,

Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati.

Pertemuan itu membahas cara menyiarkan Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga mempunyai

usul tentang penyiaran agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu

memeluk agama Hindu. Usul Sunan Kalijaga tersebut adalah dengan membiarkan tetap

dilaksanakannya adat atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam,

misalnya:

1. Semedi

Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada dewa-dewa.

Karena agama Islam tidak mengenal dewa, maka diganti dengan memuja Allah

SWT dengan sholat.

2. Sesaji

Sesaji menurut agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan kepada dewa-

dewa dan jin, agar sesuai dengan ajaran Islam diganti dengan zakat fitrah pada fakir

miskin.

3. Keramaian

Dalam agama Hindu keramaian mempunyai maksud menghormat kepada dewa-

dewa, diganti keramaian menghormat hari-hari raya Islam.

Karena orang Jawa suka gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu hari lahirnya

Nabi Muhammad SAW, sebaiknya dalam masjid juga diadakan tabuh gamelan, agar orang-

orang tertarik. Jika sudah berkumpul kemudian diberi pelajaran tentang agama Islam. Dan

untuk keperluan itu, para wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai

Sekati.

Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali yang lainnya dan Raden

Patah, yaitu pada hari lahir Nabi Muhamad, 12 Mulud, dalam masjid dipukul gamelan.

Page 39: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

35

Tanggal 12 Mulud selain merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW juga merupakan

hari wafat beliau. Ternyata banyak orang yang berduyun-duyun datang ke masjid untuk

mendengarkan bunyi gamelan. Orang-orang tersebut datang ke masjid walaupun rumahnya

jauh, sehingga mereka bermalam di alun-alun atau sekitar masjid.

Pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut, selain rakyat, para bupati

pesisir juga datang ke kota kerajaan untuk memberi sembah pada raja. Mereka datang

beberapa hari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah di alun-alun untuk bermalam.

Bupati menghadap raja dan kemudian menggiring raja ke masjid. Karena banyaknya orang

yang menggiring raja tersebut, timbul perkataan ‖Garebeg‖ yang berasal dari kata

‖anggrubyung‖ yang berarti menggiring.

Orang-orang yang datang di halaman masjid itu disuruh untuk mendengarkan

pidato-pidato tentang ajaran agama Islam yang mudah-mudah dahulu. Pertama mereka

diberi tahu maksudnya syahadat dan bagaimana bunyinya. Dari itulah timbul kata sekaten

yang berasal dari bahasa Arab ‖syahadatain‖. Kalimat syahadat merupakan suatu kalimat

yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: tiada Tuhan

selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat itu juga ditulis di

atas pintu gerbang masjid. Karena banyak orang yang datang berduyun-duyun ke masjid dan

banyak yang bermalam, maka banyak pula orang yang berjualan di sekitar masjid dan alun-

alun.

Sekaten selain berasal dari kata syahadatain, juga berasal dari kata:

1. Sahutain: menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan

menyeleweng.

2. Sakhatain: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan karena

watak tersebut sumber kerusakan.

3. Sakhotain: menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi

luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan.

4. Sekati: setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik

dan buruk.

5. Sekat: batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu

batas-batas kebaikan dan kejahatan.

Tradisi sekaten yang dirayakan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad

SAW tersebut tetap dilestarikan oleh raja-raja yang memerintahkan berikutnya hingga masa

Mataram. Pada zaman kerajaan Mataram hingga akhirnya pindah ke Surakarta dan

Page 40: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

36

Yogyakarta, sekaten diadakan untuk kepentingan politik, yaitu mengetahui kesetiaan para

bupati yang ada di wilayah kerajaan. Pada perayaan sekaten para bupati harus datang untuk

menyerahkan upeti dan menghaturkan sembah baktinya kepada raja. Apabila bupati tersebut

berhalangan hadir, maka harus diwakili oleh pihak kerajaan. Hal itu dilakukan karena bila

bupati tidak hadir pada perayaan sekaten diartikan sebagai bentuk pembangkangan terhadap

raja.

Perayaan sekaten yang diadakan oleh kerajaan Mataram, selain bertujuan untuk

memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW juga untuk menunjukkan bahwa raja yang

berkuasa masih ada hubungan dengan Nabi Muhammad, utusan Allah. Sekaten juga

mempunyai peran politis dan ekonomis. Karena dengan sekaten, para bupati harus sowan

memberi upeti dan kehadirannya di upacara sekaten sebagai tanda kesetiaan kepada raja

yang memerintah.

Dengan perkembangan zaman, sekaten juga dimanfaatkan dalam sektor

perdagangan. Perayaan sekaten sebagai ladang masyarakat untuk berdagang dan semakin

membuat marak perayaan sekaten. Selain untuk mendengarkan gamelan, para pengunjung

dapat membeli berbagai makanan khas sekaten, juga mainan anak-anak.

Setela acara sekaten ada juga acara gerebeg. Gerebeg adalah upacara adat di kraton

Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali dalamsetahun untuk memperingati hari besar

islam. Mengenai istilah gerebeg ini berasal dari bahasa jawa ‗Gerebeg‘ yang berarti ―diiringi

para pengikut‖. Karena perjalanan sultan keluar dari istana itu memang selalu diikuti banyak

orang. Sehingga di sebut GAREBEG. Pengertian lain mengatakan bahwa karena gunung itu

di perebutkan warga masyarakat yng berarti di grebeg, maka disebut GAREBEG.

Pelaksanaan upacara tersebut bertepatan dengan hari-hari besar islam seperti:

1. GAREBEG SYAWAL,dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal untuk peringatan

Hari Raya lebaran (Idul Fitri).

2. GAREBAG BESAR,dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Besar(Dzulhijjah)untuk

memperingati Hari Raya Qurban(Idul Adha).

3. GEREBEG MAULID dilaksanakn pada hari keduabelas bulan mulud (Rabiul awal)

untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Upacara adat ini di awali dari halaman kemandungan lor (keben). Dengan di kawal

oleh prajurit kraton, pada setiap acara ini Sultan berkenan memberi sedekah berupa

gunungan kepada rakyatnya, gunungan tersebut berisis makanan, gunungan ini sebagai

tanda/symbol kemakmuran dan kesejahtraan kerajaan mataram.

Page 41: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

37

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah

(Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan

berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah

penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung

Cirebon dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat

dan beliau dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.

Cirebon menjadi pusat perdagangan karena letaknya di daerah pesisir utara pulau

Jawa. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Pedagang dari luar

negara yang mendukung perekonomian di Cirebon adalah Cina dengan barang dagangannya

yaitu sutra dan keramik. Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan status sosialnya yang

dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu golongan Raja, golongan Elite, golongan Nonelite, dan

golongan Budak. Mereka mempunyai kedudukan didalam lingkungan kerajaan.

Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan,

Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan

Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal

Panembahan Gerilya pada tahun 1702. Adanya campur tangan VOC dalam kerajaan yang

mengadu domba mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.

Keraton Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakrta memilki

Arsitektur yang sangat tertata rapi. Hal itu terbukti dengan adanya bangunan kompleks yang

saling berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Hadirnya Benteng Baluwarti, parit

keliling, Alun-alun, Masjid Kauman, Tamansari menujukan konstruksi yang rapi. Namun

seiring dengan perkembangan pembangunan yang menuntut adanya ruang lebih untuk

tempat tinggal dan aktinitas lainnya, beberapa kompleks yang dahulu merupakan bagian

dari keastuan keraton beralih fungsi menjadi tempat tinggal masyarakat dan ruang aktivitas

publik. Hal ini terbukti dengan hilangnya parit keliling yang dahulu menjadi media halangan

bagi lawan untuk masuk pusat pemerintahan kini telah beralih menjadi tempat tinggal

penduduk dan pertokoan. Dinamika perubahan arsitektur keraton ini tetap tidak

menghilangkan patokan pakem yang telah digunakan oleh keraton Yogyakarta. Hal ini

membuktikan kemampuan keraton dalam menerima adapatasi dari tuntutan jiwa zaman.

Keraton mampu untuk tetap eksis hingga abad kedua puluh satu ini merupakan kemampuan

Page 42: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

38

beradaptasi dengan lingkungan dari zaman ke zaman. Keraton juga mampu mepertahankan

jiwa dari masa ke masa.

Page 43: Laporan penelitian keraton cirebon & yogyakarta

39

DAFTAR PUSTAKA

Bockani, Sanggupri, dkk. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta:CV. Sukorejo Bersinar,

2001.

Heryanto, Fredy. Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Warna

Mediasindo,2009.

Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai

Imporium, Jilid 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Kosoh, dkk. Sejarah daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat

Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta: PN. Balai Pustaka,

1994.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia

III. Depdikbud, 1982.

PS. Sulendraningrat. Sejarah Cirebon. Jakarta: PN Balai Pustaka,1985.

http://kumpulantugassejarah.blogspot.com/2011/07/penyebaran-islam-di-kerajaan-cirebon.html

diakses pada hari Minggu tanggal 16 Desember 2012 pukul 22.38 WIB

http://markazunahebat.blogspot.com/2012/04/islam-pada-masa-kesultanan-cirebon.html diakses pada

hari Minggu tanggal 16 Desember 2012 pukul 22.42 WIB.

http://serambimadina.wordpress.com/page/2/ diakses pada hari Selasa tanggal 18 Desember 2012 pukul

10.16 WIB.

http://kasepuhan.com/beta/sejarah/sejarah-kesultanan-cirebon/ diakses pada hari Rabu tanggal 19

Desember 2012 pukul 03.06 WIB.

http://ganang29.blogspot.com/2011/02/keraton-yogyakarta-dan-seni-bangunannya.html diakses pada

hari Kamis tanggal 20 Desember 2012 pukul 21.43 WIB.