Upload
nguyenhanh
View
232
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
Tradisi Perkawinan Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon, Jawa Barat
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
SULAEMAN NIM : 04210007
FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG 2008
2
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
Tradisi Perkawinan Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon, Jawa Barat
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka
skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi
hukum.
Malang, 2 Juni 2008
Yang Membuat Pernyataan
SULAEMAN NIM. 04210007
3
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Sulaeman, NIM 04210007, Mahasiswa
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca,
mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya dan mengoreksi, maka
skripsi yang bersangkutan dengan judul:
TRADISI PERKAWINAN KERATON KACIREBONAN di KOTA CIRE BON,
JAWA BARAT.
Telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan
diajukan pada majelis dewan penguji.
Malang, 2 Juni 2008
Pembimbing
Drs. Fadil Sj, M.Ag NIP: 150 252 758
4
Tradisi Perkawinan Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon, Jawa Barat.
SKRIPSI
Nama : Sulaeman
NIM : 04210007
Jurusan : Al-Ahwal As-Syakhshiyyah
Fakultas : Syari’ah
Tanggal, 2 Juni 2008
Yang mengajukan
Sulaeman
04210007/S-1
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
Drs. Fadil Sj, M.Ag. NIP. 150 252 758
Mengetahui
Dekan
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag.
NIP. 150 216 425
5
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Sulaeman, NIM. 04210007, Mahasiswa Fakultas
Syari’ah angkatan 2004, dengan judul:
Tradisi Perkawinan Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon, Jawa Barat
Telah dinyatakan LULUS dan berhak menyandang gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Dewan Penguji:
1. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag. ( ) NIP. 150 216 425 Penguji Utama
2. Drs. Moh. Murtadho, M.HI ( ) NIP. 150 368 792 Ketua Penguji
3. Drs. Fadil Sj, M.Ag. ( ) NIP. 150 252 758 Sekretaris Penguji
Malang, 4 Agustus 2008
Dekan
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag. NIP. 150 216 425
6
PERSEMBAHAN
Kudedikasihkan Karya Ilmiah (Skripsi) ini kepada:
Bapak Sunaya dan Ibu Ena, yang telah mencurahkan kasih sayangnya
sejak lahir sampai sekarang, yang tidak akan bisa dibalas sampai kapanpun
Untuk kakak Siti Syarifah serta Adik Haqiqi dan Mariana
Sebagai penyemangat yang tiada pernah bosan
Yang saya hormati para Dewan Yai PP. Sabilurrasyad, serta para ustadz dan
ustadzanya
Tidak terlupakan Keluarga besar PP. Darul Falah, Bodesari-Cirebon
Terima kasih kepada pihak Keraton Kacirebonan
Para dosen yang telah memberikan ilmunya dengan baik
Serta teman-teman satu pondok yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu baik
Santri putra dan santri putri
Teman-teman satu angkatan kuliah tahun 2004, serta terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu atas terlaksana dan terbuatnya skripsi ini.
7
MOTTO
(#þθè%... ö/ ä3|¡ à�Ρr& ö/ä3‹Î= ÷δ r&uρ #Y‘$ tΡ…
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
(QS. at-Tahriim: 6)
8
KATA PENGANTAR
Dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
sebagai tugas akhir dengan judul “Tradisi Perkawinan Keraton Kacirebonan di
Kota Cirebon, Jawa Barat”
Dengan segala daya dan upaya serta bantuan, bimbingan maupun arahan dalam
proses penulisan skripsi ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis
menghaturkan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang.
2. Bapak dan Ibu tercinta terima kasih atas doa, ridho serta restunya.
3. Bapak Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Negeri (UIN) Malang.
4. Bapak Drs. Fadil Sj, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan
tulus ikhlas telah mengorbankan waktu, pikiran serta tenaga dalam membimbing
penulisan dan penyusunan skripsi ini.
5. Segenap dosen Fakultas Syuri’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, yang
telah banyak berperan aktif dalam menyumbangkan ilmu, wawasan dan
pengetahuannya kepada penulis.
6. Kakak dan Adik tercinta sebagai penyemangat dalam hidup.
7. Seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Gasek Sukun Malang.
8. Teman-teman satu angkatan Fakultas Syari’ah tahun 2004.
9
Penulis menyadari sepenuh hati bahwa penyelesaian tugas akhir ini masih
jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, wawasan dan
pengalaman penulis. Untuk itu penulis sangat berharap semoga dapat bermanfaat
bagi penulis dan bagi orang yang membacanya. Amin ya rabbal ‘alamin.
Malang, 2 Juni 2008
Penulis
10
ABSTRACT
Sulaeman, (04210007). The Traditional Wedding Ceremony an Kacirebonan Palace at Cirebon West Java. Al-Ahwal As-Syakhshiyyah Departmen. Faculty Syari’ah. The State Islamic University of Malang. Advisor: Drs. Fadil SJ. M.Ag. Key words: Wedding, Procession, Meaning.
Talking about wedding ceremony, generally, the procession of wedding is
celebrated in every places. But to celebrate the wedding ceremony in places is different. The wedding procession is influened by the tradition include in each procession. In this case the Kacirebonan palace at Cirebon West Java also do this procession as the ancentons inheritau. Every procession in wedding ceremony has different meaning. It comes from the around of society, because most at Cirebon society are Javanese and Sundanese.
Based on explanation above, this research formulate the problems as follows, how is the process of wedding procession at Kacirebonan palace in Cirebon West java. What is the meaning at each wedding procession in Kacirebonan Palace in Cirebon West java.
This research is the femenologis research with culitative method. Technique of data collecting, the writer uses two methods, they are interview and documentation. While analyze the data, the writer use qualitative descriptive. It is called qualitative descriptive because this research qathered the data which have found with the literature and other data.
The result at this research show that the wedding tradition in Kacirebonan Palace. Because the Cirebon society regulary containts of Javanese and Sundanise. On the other hand, each of wedding prosecession has the special meaning.
The conclusion of this research abaut wedding wedding tradition on Kacirebonan palace are, anggement, siraman, parasan pengantin, wedding contract, and the Panggih ceremony with stepping on eggs, receive, pug-pugan and eat rice the sekul adep-adep. The meaning of each those procession are, siraman has meaning for furify herself, parasan show love, stepping on eggs as the symbol united of two souls, and pug-pugan as the symbol of live together in a harmony, the last is eating rice sekul adep-adep with bird side dish in order to success in keeping the family.
11
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... iii
HALAMAN PENGAJUAN............................................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
HALAMAN MOTTO...................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI.................................................................................................... ix
ABSTRAK....................................................................................................... x
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
B. Definisi Operasional................................................................................... 4
C. Batasan Masalah......................................................................................... 5
D. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6
F. Kegunaan Penelitian...................................................................................6
G. Sistematika Pembahasan ............................................................................ 7
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu ..................................................................................10
12
B. Hukum Perkawinan.................................................................................... 13
1. Perkawinan Menurut Hukum Islam ..................................................... 13
a. Pengertian dan Tujuan Perkawinan................................................ 13
b. Rukun dan Syarat Perkawinan ....................................................... 17
c. Larangan Perkawinan..................................................................... 19
d. Prosesi Perkawinan Menurut Hukum Islam................................... 21
2. Perkawinan Menurut Hukum Adat ...................................................... 23
a. Sistim Perkawinan Menurut Hukum Adat ..................................... 23
b. Azas-azas Perkawinan Menurut Hukum Adat ............................... 25
c. Bentuk-bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat........................ 27
d. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Adat .................................... 35
e. Larangan Perkawinan Menurut Hukum Adat ................................ 35
3. Perkawinan Menurut Adat Jawa .......................................................... 36
a. Pengertian dan Tujuan Perkawinan................................................ 36
b. Rangkaian Tatacara Perkawinan Adat Jawa .................................. 37
4. Perkawinan Menurut Adat Sunda ........................................................ 42
a. Adat Perkawinan Sunda Dari Masa Kemasa ................................. 42
b. Pengertian dan Tujuan Perkawinan................................................ 44
c. Prosesi Perkawinan Adat Sunda..................................................... 44
5. Perkawinan Keraton Kacirebonan ....................................................... 52
a. Jalannya Upacara Inisiasi Pengantin.............................................. 52
b. Beberapa Falsafah Dalam Ruang Lingkup Pengantin, Makna Tradisional,
Spiritual dan Lambang yang ada pada pengantin .......................... 62
13
6. Teori Pemaknaan.................................................................................. 64
a. Dasar Sosio-Historik Proses Simbolis ........................................... 64
b. Kategori-kategori Sejarah dan Semesta Simbolisnya .................... 65
c. Interaksionisme Simbolik, Prinsip-prinsip Dasar .......................... 66
BAB III: METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian........................................................................................... 72
B. Pendekatan Penelitian ................................................................................ 72
C. Lokasi Penelitian........................................................................................ 73
D. Sumber Data............................................................................................... 73
1. Data Primer .......................................................................................... 73
2. Data Sekunder ...................................................................................... 74
E. Metode Pengumpulan Data........................................................................ 74
1. Wawancara........................................................................................... 74
2. Dokumentasi ........................................................................................ 74
F. Pengolahan dan Analisis Data.................................................................... 75
1. Editing.................................................................................................. 75
2. Classifying............................................................................................ 75
3. Verifying............................................................................................... 76
4. Analisis................................................................................................. 76
5. Concluding........................................................................................... 76
BAB IV: PEMAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Pemaparan Data ......................................................................................... 77
14
1. Keraton Kacirebonan ........................................................................... 77
a. Sejarah Keraton Kacirebonan ........................................................ 77
b. Fisik Bangunan Keraton................................................................. 79
c. Penginggalan-peninggalan Kuno ................................................... 80
d. Upacara Adat Tahunan di Keraton Kacirebonan ........................... 80
e. Seni Budaya Keraton Kacirebonan ................................................ 81
2. Prosesi Perkawinan di Keraton Kacirebonan....................................... 82
a. Lamaran.......................................................................................... 82
b. Siraman .......................................................................................... 83
c. Parasan Pengantin......................................................................... 85
d. Akad Nikah .................................................................................... 86
e. Uapacara Panggih........................................................................... 86
f. Ngunduh Mantu.............................................................................. 88
3. Makna Yang Terkandung Dalam Setiap Prosesi Perkawinan.............. 88
a. Lamaran.......................................................................................... 88
b. Siraman .......................................................................................... 89
c. Parasan Pengantin......................................................................... 90
d. Menginjak Telor............................................................................. 91
e. Pug-pugan...................................................................................... 91
f. Sekul Adep-adep............................................................................. 92
g. Ngunduh Mantu.............................................................................. 93
B. Analisis....................................................................................................... 94
15
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 100
B. Saran-saran................................................................................................. 102
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan
melakukannya merupakan ibadah.1 Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah
yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik manusia, hewan, maupun tumbu-
tumbuhan. Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak, dan melestarikan kehidupannya, setelah
masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan
tujuan perkawinan.
Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti makhluk lain, yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara
anarki tanpa adanya satu aturan. Oleh karena itu, untuk menjaga kehormatan dan
1Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 78.
17
kemuliaan manusia, Allah wujudkan hukum yang sesuai dengan martabatnya.
Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya
rasa saling meridhai serta dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan bahwa kedua
pasangan tersebut saling terikat.
Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri
(seks), memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan menjadi
laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya.
Pergaulan suami-istri diletakan dibawah naungan naluri keibuan dan kebapakan
sehingga nantinya akan menghasilkan tumbu-tumbuhan yang baik dan buah yang
bagus. Peraturan pernikahan seperti inilah yang diridhai Allah dan diabadikan Islam
untuk selamanya, sedangkan yang lainnya dibatalkan.2
Terkait dengan perkawinan, tidak bisa terlepas dari tradisi daerah yang
menyelenggarakan perkawinan. Setiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda.
Namun demikian walaupun di sana-sini berbeda-beda tetapi dikarenakan rumpun
asalnya adalah bangsa Melayu purba, maka walaupun berbeda-beda masih dapat
ditarik persamaan dalam hal-hal yang pokok. Hampir di semua lingkungan
masyarakat adat menempatkan masalah perkawinan sebagai urusan keluarga dan
masyarakat, tidaklah perkawinan itu semata-mata urusan pribadi yang melakukan
perkawinan itu saja.
Tata tertib tradisi perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda dari
masyarakat adat yang lain, antara suku bangsa yang satu berbeda dari suku bangsa
yang lain, antara yang beragama Islam berbeda dari yang beragama Kristen, Hindu,
2Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Juz. II; Libanon: Darul Fathi, 1995),104.
18
dan lain-lain. Begitu pula antara masyarakat desa dari masyarakat kota.3 Khususnya
bangsa Indonesia yang memiliki banyak pulau dengan tradisi yang berbeda pada
setiap daerah yang memiliki suku-suku tertentu.
Salah satu tradisi yang masih ada sampai sekarang adalah tradisi
perkawinan di lingkungan Keraton Kacirebonan. Keraton Kacirebonan merupakan
salasatu Keraton yang ada di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat sedangkan Keraton
yang lainnya adalah Keraton Kanoman dan Keraton Kasepuhan. Ketiga keraton
tersebut masih saudara satu keturunan dari Sunan Gunung Jati atau Syaikh Syarif
Hidayatullah.
Masyarakat Cirebon yang pada umumnya masyarakat Jawa dan sebagian
lagi Sunda memiliki tradisi perkawinan yang berbeda dari masyarakat Jawa pada
umumnya. Perbedaan tersebut disebabkan adanya campuran antara tradisi
perkawinan Jawa dengan tradisi perkawinan Sunda. Tradisi perkawinan di Keraton
Kacirebonan masih berlangsung sampai sekarang, dikarenakan setiap keturunan dari
Keraton Kacirebonan mampu menjaga tradisi yang berlangsung dari jaman dulu.
Tradisi perkawinan yang ada di Keraton Kacirebonan berbeda dengan
masyarakat yang ada di sekitarnya. Tentunya perkawinan sendiri bagi keraton
mempunyai makna yang berbeda dari pada pemahaman masyarakat secara umum.
Hal tersebut juga tentunya mempengaruhi pada prosesi perkawinan. Prosesi
perkawinan yang dimulai sebelum akad nikah dan sesudah akad nikah tentunya
berbeda. Di daerah Cirebon yang masyarakatnya bukan hanya satu etnis tentunya
3H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya (Cet. 6; Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003 ),12.
19
memberikan warna tersendiri kepada tradisi perkawinan di Keraton Kacirebonan
sendiri.
Setiap prosesi yang terkandung di dalam tradisi perkawinan keraton
mempunyai makna dan tujuan sendiri dikarenakan setiap prosesi yang dilakukan
perlu persiapan secara matang, baik dari segi barang-barang yang digunakan dan
jumlahnya juga mempunyai makna.
Masyarakat yang berada di Cirebon sendiri yang terdiri dari suku Sunda
dan Jawa, didalam menyelenggarakan perkawinan juga tidak terlepas yang dari hal-
hal yang bersifat mempunyai makna tertentu di dalam setiap prosesi perkawinan
yang dilakukannya. Keraton Kacirebon sendirinya didalam menyelenggarakan
prosesi perkawinan tentunya mempunyai makna dan tujuan sendiri di dalam setiap
prosesi yang dilakukannya.
B. Definisi Operasional
Untuk lebih mudahnya memahami pembahasan dalam penelitian ini,
peneliti akan menjelaskan beberapa kata pokok yang sangat erat kaitannya dengan
penelitian ini. Diantaranya adalah:
1. Ngajegog, berasal dari bahasa Cirebon, yang artinya melamar.
2. Tawandari, istilah lain dari siraman, biasanya kedua mempelai sebelum akad
nikah diadakan prosesi siraman, siraman ini diadakan dirumah mempelai putri.
3. Parasan pengantin, maksudnya adalah mengerik rambut yang ada diatas dahi
calon mempelai pengantin putri, biasanya dilakukan oleh juru rias.
4. Sekul adep-adep, nasi yang khusus untuk kedua calon mempelai dengan lauk
burung merpati.
20
C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah ialah usaha untuk menetapkan batasan-batasan dari
masalah penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna bagi kita untuk
mengidentifikasikan faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah
penelitian, dan faktor mana yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah
penelitian.4
Supaya tidak menjadi bahasan yang melebar, maka peneliti ini membatasi
hanya pada prosesi perkawinan Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon Provinsi Jawa
Barat serta makna-makna yang terkandung dalam setiap prosesi perkawinan itu
sendiri. Tradisi perkawinan Keraton Kacirebonan bisa berkembang dari simbol-
simbol yang dipakai, dengan perkembangan simbol tersebut bukan berarti
mengurangi atau menghilangkan makna setiap prosesi. Keraton Kacirebonan sendiri
dengan tradisi perkawinan yang dimilikinya memiliki perbedaan dengan keraton
yang ada, baik itu di Kota Cirebon sendiri ataupun diluar Kota Cirebon. Sedangkan
untuk masyarakat sekitarnya bisa mengadopsi cara perkawinan yang dimiliki
Keraton Kacirebonan baik itu nantinya ada perubahan atau tetap.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan tujuan dalam bentuk pertanyaan berdasarkan
latar belakang masalah. Maka ada beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi
fokus dalam penelitian ini guna mengetahui semua jawaban dari penelitian ini.
Beberapa pokok masalah tersebut adalah:
4Husain Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial (Cet. 6; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), 23.
21
1. Bagaimana prosesi perkawinan di Keraton Kacirebonan?
2. Makna apa yang terkandung di dalam setiap prosesi perkawinan di Keraton
Kacirebonan?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui setiap prosesi perkawinan yang dilaksanakan di Keraton
Kacirebonan di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat.
2. Mengetahui makna setiap prosesi perkawinan di Keraton Kacirebonan di Kota
Cirebon Provinsi Jawa Barat.
F. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan pada tujuan penelitian yang telah dipaparkan di atas,
diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat secara teoretis maupun praktis dalam
rangka aplikasinya di dunia pendidikan maupun di masyarakat. Adapun manfaat
yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Teoritis
Untuk kepentingan teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih pemikiran untuk pengembangan penelitian ilmiah dan perhatian lebih
lanjut untuk menambah khazanah intelektual akademis, serta sebagai bahan
penelitian lebih lanjut dan mendetail tentang topik yang sama.
22
2. Praktis
Dalam kegunaan praktisnya, hasil penelitian ini ditujukan untuk
kepentingan aktualisasi, dalam arti mendekatkan antara dunia idealitas dan realitas,
yaitu:
a. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat untuk mengetahui setiap prosesi
perkawinan di Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat dan
juga memahami makna setiap prosesi perkawinan yang dilakukan.
b. Dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan di dalam memahami setiap
prosesi perkawinan yang berbeda satu sama lain di setiap daerahnya. Dan pada
akhirnya ikut menjaga tradisi yang ada sebagai kekayaan bangsa Indonesia.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk melengkapi penjelasan dalam pengembangan materi skripsi ini serta
untuk mempermudah dalam memahaminya, maka pembahasan dalam penelitian ini
akan dipaparkan dalam 5 Bab, dengan perincian sebagai berikut:
Bab Pertama, Dalam bab ini akan dibahas tentang pendahuluan, yang mana di sana
akan dikemukakan latar belakang permasalahan yang ada. Disamping itu juga berisi
tentang definisi operasional, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian serta sistematika pembahasan. Hal ini bertujuan untuk
memberikan penjelasan pokok tentang bahasan utama yang akan dikaji dalam
penelitian ini, selain itu juga berguna untuk mengantarkan peneliti pada bab
selanjutnya.
23
Bab Kedua, adalah kajian pustaka. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kajian-
kajian terdahulu, perkawinan menurut hukum Islam, didalamnya terdapat pengertian
dan tujuan perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, larangan perkawinan dan juga
prosesi perkawinan, sedangkan perkawinan menurut hukum adat berisi tentang
sistem perkawinan, azas-azas perkawinan, tujuan dan larangan perkawinan dan juga
bentuk-bentuk perkawinan. Untuk perkawinan adat Jawa berisi pengertian dan tujuan
serta tata cara perkawinan. Sedangkan untuk perkawinan menurut adat Sunda berisi
adat perkawinan Sunda dari masa kemasa, pengertian dan tujuan perkawinan, serta
prosesi perkawinan adat Sunda. Semua ini berguna karena sebagai dasar dari
penelitian ini.
Bab Ketiga, berisikan metode penelitian. Adapun hal-hal penting yang termasuk
didalamnya ialah jenis penelitian, pendekatan penelitian, obyek penelitian, meliputi;
lokasi penelitian dan subyek penelitian; sumber data, metode pengumpulan data,
metode pengolahan data dan metode analisis data. Hal ini semua bertujuan agar bisa
dijadikan pedoman dalam melakukan kegiatan penelitian karena peran metode
penelitian sangat penting guna mendapatkan hasil yang akurat serta pemaparan data
yang rinci dan jelas. Selain itu juga untuk memudahkan peneliti dalam bab
selanjutnya.
Bab IV, berisikan paparan dan analisis data, untuk paparan data pembaca akan
menemukan di dalamnya tentang sejarah Keraton Kacirebonan, fisik bangun,
peninggalan-peninggalan kuno, acara adat, seni dan budaya, prosesi perkawinan
Keraton Kacirebonan dan yang terakhir adalah analisis.
24
Bab V, bab ini adalah bab terakhir dalam pembahasan ini berisi tentang penutup,
meliputi kesimpulan dan saran.
25
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Sebelum menjelaskan tentang kajian pustaka, sebaiknya kita mengetahui
tentang penelitian terdahulu untuk membedakan dengan penelitian sekarang.
Penelitian terdahulu yang penulis jelaskan ada tiga. Ketiganya diuraikan dibawah ini.
Tradisi perkawinan sebelumnya telah diteliti oleh abdul Wasid dengan
judul ”Tradisi Perkawinan Masyarakat Sunda Menurut Fiqih” (Studi kasus di
Cimahi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). Skripsi ini berisi prosesi perkawinan adat
Sunda, yang dimulai dengan prosesi nayaan, neundeun, nyeurahan, seserahan,
ngeuyeuk seureuh, ijab qabul, panggih, huap lingkung, ngunduh mantu. Dari
beberapa prosesi yang ada, penulis skripsi menekankan kepada pembahasan adat-
adat yang sesuai dengan syari’at Islam.
Dari beberapa prosesi yang sesuai dengan syari’at Islam adalah nayaan,
neundeun omong, nyerahan, ijab qabul, ngunduh mantu, dan ngeuyeuk seureuh.
Sedangkan yang tidak sesuai dengan syari’at Islam adalah seserahan, panggih, dan
26
huap lingkung.5 Prosesi yang tidak sesuai dengan syari’at Islam seperti seserahan
merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai pemberian mahar yang
akan diberikan kepada calon mempelai wanita, yang mana mahar di sini ada batasan
minimal dan ini terkadang memberatkan bagi calon mempelai pria. Yang kedua,
Panggih, merupakan acara yang didahului dengan upacara sungkem kemudian
dilanjutkan dengan sawer dan upacara nincak endog yang mempunyai arti dan
maksud tertentu. Dan yang ketiga, huap lingkung merupakan acara suap-suapan oleh
kedua pengantin dan kedua orang tua pengantin. Setelah itu acara dilanjutkan dengan
tarik babakan ayam antara kedua mempelai sampai ayam tersebut terbagi dua.
Penelitian kedua yang ditulis oleh Anis Dyah Rahayu dengan judul
”Tinjauan Hukum Islam Tentang Prosesi Perkawinan Adat Jawa” (Kasus di Desa
Gogodeso Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar) berisi tentang prosesi perkawinan
yang dimulai dari persiapan pelaksanaan upacara sampai dengan rangkaian upacara
adat serta kronologis. Skripsi ini lebih menitikberatkan kepada proses acara
perkawinannya karena berisi tentang kebiasaan masyarakat setempat dalam
melaksanakan proses perkawinan. Di dalam setiap prosesi perkawinan bila ada yang
terlewatkan maka pihak dari yang melakukannya takut akan adanya kualat, hal
tersebut karena kebiasaan yang telah ada dari dulu.
Dalam skripsi ini, menjelaskan bahwa tidak semua prosesi yang dilakukan
dalam perkawinan berasal dari ajaran Islam, karena masih ada sebagian yang
mengikuti ajaran agama Hindhu, dan hal tersebut bukan hal baru lagi di Jawa.
Sebagai masyarakat yang masih memegang ilmu-ilmu mistik klenik, masyarakat
5Abdul Wasid, "Adat Perkawinan Masyarakat Sunda Menurut Fiqih," Skripsi (Malang: Fakultas Syari’ah, UIN Malang, 2005).
27
Jawa tidak akan terlepas dari hal-hal yang diangap syirik. Mereka mempercayai
suatu ketentuan yang apabila dilanggar akan mendatangkan musibah dan malapetaka.
Dan semua ini mereka jadikan pengalaman sehingga mereka tidak akan pernah
berani melakukan sesuatu diluar ketentuan yang ada karena takut akan adanya akibat
yang timbulkannya. Sebagai contoh ajaran yang berasal dari luar agama Islam adalah
seperti piningset, seserahan/asok tukon, dan upacara siraman.6
Sedangkan untuk penelitian yang ketiga ditulis oleh Syaifur Ridwan dengan
judul ”Tradisi Komunitas Arab Dalam Akad Nikah” (Studi Komunitas Arab di
Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan) berisi tentang
tradisi akad nikah di komunitas Arab sebelum terlaksananya akad nikah biasanya ada
pembacaan maulid nabi, dan talqin yaitu seorang habib memegang tangan wali dan
calon suami sehingga terangkai tiga yang berfungsi untuk menuntun wali dan calon
suami dalam melaksanakan akad untuk mendapatkan barokah dari habib. Skripsi
berisi tiga hal yang mendasar, yang pertama, adalah ihktiyath (kehati-hatian),
komunitas Arab sangat berhati-hati dalam melafadzkan lafadz-lafadz akad nikah,
karena sekali lafadz itu di baca dengan salah maka pernikahan tersebut tidak sah,
Yang kedua, adalah menghindari kesalahan, dalam perkembangan zaman pembacaan
akad nikah sering disepelehkan. Yang ketiga, adalah sunnah, tokoh komunitas Arab
berpendapat seperti halnya wudhu, dalam wudhu membasuh sekali adalah wajib,
yang kedua dan ketiga adalah sunnah, oleh sebab itu dilakukan mengulang akad
nikah tiga kali selain di sebabkan kehati-hatian.7
6Anis Dyah Rahayu, "Tinjauan Hukum Islam Tentang Perkawinan Adat Jawa," Skripsi (Malang: Faklutas Syari’ah, UIN Malang, 2004). 7Syaifur Ridwan, "Tradisi Komunitas Arab dalam Akad Nikah," Skripsi (Malang: Fakultas Syari’ah, UIN Malang, 2007).
28
Untuk penelitian yang keempat sendiri, skripsi yang berjudul ”Tradisi
Kelakat Dalam Perkawinan” (Studi Pada Masyarakat Muslim Loloan Timur
Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana Bali) yang ditulis oleh Usriah pada tahun
2007 berisi tentang salah satu tradisi yang ada di Bali. Sripsi ini meneliti tentang
tradisi kelakat yang dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim Loloan Timur.
Masyarakat Loloan masih melakukan doa permohonan kepada leluhur yang sudah
mati untuk melindungi mereka yang melaksanakan tradisi klakat. Sedangkan agama
Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk meminta
perlindungan kepada selain Allah. Berdasarkan pandangan para tokoh agama
maupun masyarakat, tradisi kelakat merupakan suatu perbuatan yang dapat membuat
kesyirikan, karena didalamnya terdapat ritual permohonan kepada arwah leluhur
untuk melindungi mereka yang melaksanakan. Sedangkan dalam kajian ’Urf, tradisi
kelakat termasuk kedalam ’Urf fasid dan tidak dapat dijadikan hukum, karena
didalamnya terdapat tujuan yang bertentangan dengan syari’at Islam, sehingga tradisi
tersebut tidak harus dilestarikan.
B. Hukum Perkawinan
1. Perkawinan Menurut Hukum Islam
a. Pengertian Dan Tujuan Perkawinan
Seperti dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah (kawin) dapat
didekati dari tiga aspek pengertian (makana), yakni makna lughawi (etomologis),
makna ushuli (Syar’i) dan makna fiqhih (hukum). Pembahasan lebih lanjut hendak
mencoba menjabarkan dari masing-masing pengertian baru saja disebutkan.
Terutama dari sudut pandang makna lughawi dan makna fiqhih (hukum).
29
Sedangkan dari sudut pandang ushuli (syar’i), akan dititikberatkan pada hal-hal yang
bertalian erat dengan pendekatan filsafat hukum, seperti hikmah dari kebolehan
berpoligami dalam hukum perkawinan dan rahasia dua berbanding satu dalam hal
pembagian harta peninggalan (tirkah) dalam hal kewarisan.
Dalam bahasa Indonesia, seperti dapat dibaca dalam beberapa kamus di
antaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan (1) perjodohan
laki-laki dan perempuan menjadi suami istri; nikah (2) (sudah) beristri atau berbini;
(3) dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh.8
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut
dengan dua kata, yaitu nikah (arab) dan zawaj (arab). Kedua kata ini yang terpakai
dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan
hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin,
seperti dalam surat an-Nisa ayat 3:
÷βÎ)uρ ÷Λä ø�Åz āωr& (#θ äÜÅ¡ ø)è? ’Îû 4‘uΚ≈ tGu‹ ø9 $# (#θ ßs Å3Ρ$$ sù $ tΒ z>$ sÛ Νä3s9 zÏiΒ Ï !$ |¡ÏiΨ9 $# 4 o_ ÷WtΒ y]≈ n=èOuρ
yì≈ t/â‘uρ ( ÷βÎ* sù óΟçF ø�Åz āωr& (#θä9 ω÷ès? ¸οy‰Ïn≡ uθ sù ÷ρr& $ tΒ ôMs3n=tΒ öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒ r& 4 y7 Ï9≡sŒ #’oΤ ÷Š r& āωr& (#θ ä9θ ãès?
. Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
8Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 42.
30
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”9
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti
kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37:
øŒ Î)uρ ãΑθ à)s? ü“Ï%©#Ï9 zΝyè ÷Ρr& ª!$# ϵ ø‹ n=tã |M ôϑyè ÷Ρr& uρ ϵ ø‹n=tã ô7 Å¡ øΒr& y7 ø‹n=tã y7 y_÷ρy— È, ¨?$#uρ ©! $#
’Å∀øƒéBuρ ’Îû š�Å¡ø�tΡ $tΒ ª!$# ϵƒÏ‰ö7 ãΒ y øƒrBuρ } $Ζ9 $# ª!$#uρ ‘, ym r& βr& çµ9t± øƒrB ( $ £ϑn=sù 4 |Ós%
Ó‰÷ƒ y— $ pκ÷]ÏiΒ # \� sÛuρ $ yγ s3≈ oΨô_ ¨ρy— ö’s5 Ï9 Ÿω tβθ ä3tƒ ’n? tã t ÏΖÏΒ ÷σßϑø9 $# Ól t� ym þ’ Îû Æl≡uρø— r& öΝÎγ Í←!$ u‹Ïã÷Š r&
#sŒ Î) (# öθŸÒ s% £ åκ÷]ÏΒ # \� sÛuρ 4 šχ%x.uρ ã� øΒ r& «!$# Zωθ ãèø�tΒ .
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang
kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan
dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-
isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan adalah ketetapan Allah
itu pasti terjadi.”10
9QS. An-Nisa (4): 3. 10QS. al-Ahzab (33): 37.
31
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti
secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti untuk
akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut.
Ulama golongan Hanabilah berpendapat bahwa penunjukan kata nikah untuk dua
kemungkinan tersebut adalah dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam dua
contoh ayat diatas. Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana
disebut diatas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan
kehidupan suami istri yang belaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan
sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.11
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan
suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka
rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang
diridhoi oleh Allah.
Mengenai pengertian perkawinan ini banyak beberapa pendapat yang satu
dan lainnya berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk
memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu
dengan yang lain. Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk
memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian
perkawinan di satu pihak dan pembatasan banyaknya unsur didalam perumusan
pengertian perkawinan di pihak lain. Mereka membatasi banyaknya unsur yang
11Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Cet. 2; Jakarta: Kencana, 2007), 37.
32
masuk dalam rumusan pengertian perkawinan, akan menjelaskan unsur-unsur yang
lain dalam tujuan perkawinan.
Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian, tetapi
dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang merupakan kesamaan
dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan
antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan sembarangan
perjanjian seperti perjanjian jual beli atau sewa-menyewa, tetapi perjanjian dalam
nikah adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang
laki-laki dan seorang wanita. Suci di sini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu
perkawinan.12
Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai
dan teratur. Selain itu pula pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan
dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia,
juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan
keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinaan, agar
tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman
keluarga dan masyarakat.13
b. Rukun dan Syarat Perkawinan
Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing
rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka
12Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Cet. 5; Yogyakarta: Liberti, 2004), 9. 13Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Cet. 5; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), 26.
33
uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun
tersebut.
1) Calon suami, syarat-syaratnya:
a) Beragama Islam.
b) Laki-laki.
c) Jelas orangnya.
d) Dapat memberikan persetujuan.
e) Tidak terdapat halangan perkawinan.
2) Calon Istri, syarat-syaratnya:
a) Beragama, meskipun Yahudi dan Nashrani.
b) Perempuan, jelas orangnya.
c) Dapat dimintai persetujuannya.
d) Tidak terdapat halangan perkawinan.
3) Wali Nikah, syarat-syaratnya:
a) Laki-laki.
b) Dewasa.
c) Mempunyai hak perwalian.
d) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
4) Saksi Nikah, syarat-syaratnya:
a) Minimal dua orang laki-laki.
b) Hadir dalam ijab qabul.
34
c) Dapat mengerti maksud akad.
d) Islam.
e) Dewasa.
5) Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.
c) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut.
d) Antara ijab dan qabul bersambungan.
e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
f) Tidak sedang ihram haji atau umrah.
g) Majlis ijab dan qabul dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai
atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
Kendatipun dalam hal-hal tertentu, seperti posisi wali dan saksi masih
ihktilaf dikalangan ulama, namun mayoritas sepakat dengan rukun yang lima ini.
Sedangkan untuk mahar sebagai syarat sah perkawinan, para ulama telah menetapkan
bahwa mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan Ijmak. Mahar
oleh para ulama ditempatkan sebagai sebagai syarat sahnya nikah.14
c. Larangan Perkawinan
Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat yang
ditentukan belum tentu perkawinan tersebut sah, karena masih tergantung lagi pada
14 Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Cet. 3; Jakarta: Kencana, 2006), 62-65.
35
satu hal, yaitu perkawinan itu telah terlepas dari segala hal yang menghalang.
Halangan perkawinan itu disebut juga dengan larangan perkawinan. Yang dimaksud
dengan larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang-orang yang tidak boleh
melakukan perkawinan. Yang dibicarakan di sini ialah perempuan-perempuan mana
saja yang tidak boleh dikawini oleh seseorang laki-laki, atau sebaliknya laik-laki
mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan.
Keseluruhannya diatur dalam Al-Qur’an dan dalam hadis Nabi, larangan
perkawinan itu ada dua macam:
Pertama: larangan perkawinan yang berlaku haram untuk selamanya dalam
arti sampai kapanpun dan dalam keadaan apa pun laki-laki dan perempuan itu tidak
boleh melakukan perkawinan. Larangan dalam bentuk ini disebut mahram
mauabbad.
Sebab-sebab haram selamanya adalah karena:
1) Nasab
2) Pernikahan
3) Susuan.15
Kedua: larangan perkawinan berlaku untuk sementara waktu dalam arti
larangan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu, suatu ketika bila keadaan dan
waktu tertentu itu sudah berubah ia sudah tidak lagi menjadi haram, yang disebut
mahram muaqqat.
Larangan sementara untuk menikah adalah larangan yang dapat dibatalkan
dengan adanya perubahan keadaan. Larangan-larangan itu adalah sebagai berikut:
15Sayyid Sabiq. Op.Cit. 153.
36
a) Seorang lelaki tak boleh menikahi dua orang perempuan bersaudara pada
suatu ketika yang bersamaan. Larangan sementara di sini berubah segera
setelah istrinya meninggal, lalu dia dapat mengawini saudara perempuan dari
istrinya yang telah wafat itu.
b) Seorang laki-laki tak boleh menikahi wanita yang telah bersuami. Namun
halangan ini hilang setelah bubarnya perkawinan si wanita baik karena
suaminya wafat ataupun dicerai, setelah habis masa iddahnya.
c) Seorang lelaki tak boleh menikahi wanita yang masih dalam masa iddahnya.16
d. Prosesi Perkawinan Menurut Hukum Islam
1) Khitbah (meminang)
Peminangan dalam ilmu Fiqh disebut “Khitbah” artinya permintaan.
Menurut istilah, artinya ialah pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki
kepada seorang wanita untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki itu secara
langsung ataupun dengan melalui perantara pihak yang lain yang dipercayainya
sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama. Sebelum melakukan peminangan
diseyogyakan agar seorang laki-laki menyelidiki terlebih dahulu mengenai keadaan
wanita yang hendak dipinangnya untuk menjamin kelangsungan kehidupan rumah
tangganya kelak.17
16Abdul Rahman I. Doi, “Shari’ah The Islamic Law” diterjemahkan oleh Basri Iba Asghary, Wadi Masturi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam (Cet. 2; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), 20.-21 17Soemiyati. Op. Cit, 23.
37
2) Aqad Nikah
Para ulama madzhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika
dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar
dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang mengantikannya seperti
wakil dan wali dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama
suka tanpa adanya akad.18
3) Saksi
Di butuhkan dua saksi di dalam perkawinan dengan syarat, Islam, baligh,
berakal, merdeka, sifat kelelakian, dan adil.19
4) Wali
Wali artinya orang yang menyertai, mengatur, menguasai, memimpin atau
melindungi, dalam perkawinan maksudnya ialah orang yang berkuasa mengurus atau
mengatur perempuan yang dibawah perlindungannya.
5) Walimah
Agama mensunnahkan agar menyiarkan perkawinan supaya terjauh dari
nikah sirri (rahasia) dan untuk menyatakan rasa gembira yang dihalalkan oleh Allah,
karena perkawinan merupakan perbuatan yang haq untuk dipopulerkan supaya dapat
diketahui orang yang berkepentingan maupun khalayak ramai. Anjuran walimah
18Muhammad Jawad Mughniyah, “al-Fiqh ‘ala al-Madzhab al-Khamsah” diterjemahlkan Masykur, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff , Fiqih Lima Maszhab (Cet. 7; Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001), 309. 19Muhammad Qasim Ghazi As-Syafi’I, Fathul Qarib, ( 2005), 188.
38
dilakukan walaupun hanya dengan satu kambing, jadi dalam menyelenggarakan
walimah tidak wajib yang bermewah-mewah.
2. Perkawinan Menurut Hukum Adat
a. Sistem Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (etnologi) dilihat dari keharusan dan
larangan mencari calon isteri bagi setiap pria, maka perkawinan itu dapat berlaku
dengan sistim "endogami" dan sistim "exogami" yang kebanyakan dianut oleh
masyarakat adat bertali darah, dan atau dengan sistim "eleutherogami" sebagaimana
berlaku dikebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum
Islam.
Di lingkungan masyarakat adat Batak di bagian utara yang sebagian besar
menganut agama Kristen, masih tetap mempertahankan susunan kerabat yang
sifatnya asymetrisch connubium, maka sistim perkawinan yang dianut adalah
"exogami", dimana seorang pria harus mencari calon isteri di luar marga (klen-
patrililinial) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga. Sistim perkawinan ke
luar marga ini sudah luntur di daerah Tapanuli Selatan, Minangkabau, Sumatera
Selatan, Lampung, dan beberapa daerah lain seperti di Maluku, Buru dan Seram.
Antara lain yang menjadi sebab adalah masuknya pengaruh ajaran hukum Islam.
Ada kemungkinan dibeberapa daerah masih terdapat sistim perkawinan
"endogami", dimana seorang pria diharuskan mencari calon isteri dalam lingkungan
kerabat (suku, klen, famili) sendiri dan dilarang mencari ke luar dari lingkungan
39
kerabat, yang dimasa lampau nampaknya berlaku di daerah Toraja Sulawesi Tengah
atau dikalangan masyarakat Bali.20
Dimasa sekarang nampak kecenderungan untuk tidak lagi mempertahankan
sistim perkawinan exogami atau endogamy, walaupun di sana sini nampak adanya
keinginan golongan tua untuk tidak menghilangkan sama sekali sistim demikian,
walaupun tidak secara sempurna, oleh karena hanya diperlakukan untuk kepentingan
kekerabatan dan harta warisan, misalnya dikalangan orang Lampung yang
menghendaki agar anak tunggal atau calon suami dari bukan orang Lampung, bahkan
dianjurkan mencari calon isteri atau calon suami dari kalangan anggota kerabat
terdekat.
Sistim perkawinan dewasa ini banyak berlaku adalah sistim
"eleutherogami", dimana seorang pria tidak lagi diharuskan atau dilarang untuk
mencari calon isteri di luar atau di dalam lingkungan kerabat/suku melainkan dalam
batas-batas hubungan keturunan dekat (nasab) atau dalam periparan (musyaharah)
sebagaimana ditentukan oleh hukum Islam atau hukum perundang-undangan yang
berlaku.
Di kalangan anggota keluarga masyarakat adat kekerabatan yang telah maju
orang tua/keluarga telah dikalahkan oleh muda-mudi yang tidak lagi mau terikat
dengan kehendak orang tua/keluarga, tidak lagi membeda-bedakan asal-usul
masyarakat adat seseorang untuk melakukan perkawinan, sehingga banyak sudah
terjadi perkawinan campuran antar suku, bahkan atar golongan penduduk, walaupun
20Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya (Cet. 6; Bandung: IKAPI, 2003), 68.
40
jumlahnya masih belum begitu besar, tetapi lambat laun hal itu akan dianggap soal
yang biasa saja.
Disamping itu di sana sini peranan orang tua/keluarga dalam memberi
petunjuk terhadap anak-anak mereka dalam mencari pasangan hidupnya masih
terlihat berpengaruh. Pihak orang tua masih menginginkan agar anak-anak mereka
memperhatikan, sebagaimana dikatakan orang Jawa "bibit" "bobot" dan "bebet" dari
si pria atau wanita bersangkutan. Apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan
yang baik, bagaimana sifat watak perilaku dan kesehatannya, bagaimana keadaan
orang tuanya, apakah anak itu bukan anak kowar, bagaimana pula bobotnya, harta
kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya, apakah anak itu, bukan anak
"kabur kangininan, bagaimana pula bobotnya, apakah pria itu mempunyai pekerjaan,
jabatan dan martabat yang baik.
b. Azas-Azas Perkawinan Menurut Hukum Adat
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan
antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-isteri untuk maksud mendapatkan
keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi
juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari
pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlaku ikatan
kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan
yang rukun dan damai.
Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu
didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut
garis ayah atau garis ibu ataupun garis orang tua. Adanya silsilah yang
41
menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah merupakan
barometer dari asal usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.
Jika dari suatu perkawinan tidak didapat keturunan, maka keluarga itu
dianggap "putusan keturunan" ("punu", Batak Karo; "mupus", Lampung; "putung",
Bali). Apabila dari seorang isteri tidak didapat keturunan, maka para anggota kerabat
dapat mendesak agar si suami mencari wanita lain atau mengangkat anak kemenakan
dari anggota kerabat untuk menjadi penerus kehidupan keluarga bersangkutan.21
Selanjutnya sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh UU
No.1/1974, maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai dibawah
ini:
1) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2) Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau
kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
3) Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai
isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat
setempat.
4) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat.
Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui
masyarakat adat.
5) Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau
masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus
berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
21Hilman Hadikusuma, Ibid,71.
42
6) Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian antara
suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua
pihak.
7) Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri-isteri berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah
tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.
Dengan telah berlakunya UU No.1 Tahun 1974 diharapkan agar masyarakat
adat akan dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan undang-undang tersebut.
Tetapi sejauh mana masyarakat akan dapat menyesuaikan dirinya tergantung dari
pada perkembangan masyarakat adat itu sendiri, dan kesadaran hukumnya. Oleh
karena apa yang menjadi jiwa dari perundang-undangan belum tentu sesuai dengan
alam pikiran masyarakat. Misalnya saja Undang-undang menyatakan bahwa tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera.
Bagaimana bentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera itu? Apakah kekuasaan
suami-isteri semata-mata dapat mewujudkan kebahagiaan, kekekalan dan
kesejahteraan dalam rumah tangga, tanpa adanya pengawasan kekerabatan. Di sini
letak perbedaan antara rumah tangga modern dan rumah tangga adat, rumah tangga
modern cenderung mementingkan kepentingan perseorangan dan kebendaan,
sedangkan rumah tangga adat ingin mempertahankan kekerabatan dan kerukunan.
c. Bentuk-bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat
Dikarenakan sistim kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat
Indonesia berbeda-beda, maka terdapat bentuk-bentuk perkawinan yang berbeda-
43
beda. Dikalangan masyarakat adat yang susunannya patrilinial pada umumnya dianut
bentuk perkawinan jujur ("mangoli", batak; "tunak", Pasemah; "beleket", Rejang;
"nuku", Palembang; "ngakuk" , "hibal", Lampung). Di kalangan masyarakat adat
yang patrilinial altenerend (kebapakan beralih-ailih) dan matrinial, pada umunya
dianut bentuk perkawinan "semanda" sedangkan dilingkungan masyarakat adat
parental dianut bentuk "perkawinan mentas". Dari ketiga macam bentuk perkawinan
itu masih terdapat berbagai variasi yang bermacam-macam menurut kepentingan
kekerabatan bersangkutan.22
1) Perkawinan Jujur
Bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan
pembayaran "jujur" ("onjok", Gayo; "beli", wilin", Maluku; "belis", Timor; "Tuhor",
Batak, dll.) dari phak pria kepada pihak wanita, sebagaimana terdapat di daerah
Batak, Nias, Lampung, Bali, Sumba, Timor. Dengan diterimanya uang atau barang
jujur oleh pihak wanita, maka berarti setelah perkawinan. Si wanita akan
mengalihkan kedudukannya dari keanggotaan kerabat suami untuk selama ia
mengingatkan dirinya dalam perkawinan itu, atau sebagaimana berlaku di daerah
Batak dan Lampung untuk selama hidupnya.
Dengan diterimanya uang atau barang jujur, berarti si wanita mengingatkan
diri pada perjanjian untuk ikut dipihak suami, baik pribadi maupun harta benda yang
dibawah akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain yang
menyangkut barang-barang bawaan isteri tertentu. Setelah isteri berada ditangan
suami, maka isteri dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan
22Hilman Hadikusuma, Ibid,73.
44
suami, atau atas nama suami atau atas persetujuan kerabat suami. Isteri tidak boleh
bertindak sendiri, oleh karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur kehidupan
rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan
kemasyarakatan.
Di kalangan masyarakat adat yang menganut sistim perkawinan jujur dan
menarik garis keturunan berdasarkan hukum ke-bapakan, setiap anak wanita akan
menganggap dirinya anak orang lain. Anak-anak wanita disiapkan orang tuanya,
terutama oleh ibunya, sejak kecil hingga dewasa untuk menjadi anak orang lain dan
menjadi warga adat orang lain. Namun demikian berarti hubungan hukum dan
hubungan biologis antara si wanita dengan orang tua kerabat asalnya hilang sama
sekali, tetapi tugas dan peranannya berlainan, ia harus lebih mengutamakan
kepentingan kerabat pihak suami dari pada kepentingan kerabat asalnya.23
2) Perkawinan Semanda
Perkawinan semanda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur
dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan si pria harus menetap
dipihak kekerabatan isteri atau bertanggung jawab meneruskan keturunan wanita di
pihak isteri. Adakalanya walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak pria
harus memenuhi permintaan uang atau barang dari pihak wanita. Perkawinan
semanda dalam arti sebenarnya ialah perkawinan menetap dan berkedudukan dipihak
isteri dan melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri.
Bentuk perkawinan semanda terdapat di daerah Minangkabau yang
susunan kekerabatannya matrilineal, di daerah Rejang-Lebong Bengkulu yang
23Hilman Hadikusuma, Ibid, 74.
45
susunan kekerabatannya alternerend atau beralih-alih menurut perkawinan orang tua,
di daerah Sumatra Selatan, Lampung pesisir atau juga ditempat-tempat lain seperti
perkawinan "ambil piara" di Ambon.
Dalam pelaksanaannya perkawinan semanda dapat saja terjadi peminangan
dari pihak pria sebagaimana berlaku di Rejang dimana pihak pria harus membayar
uang adat terhadap anak wanita bisa sebesar 8 ringgit, anak perwatin 10 ringgit dan
anak kepala marga (desa) sebesar 12 ringgit. Di Minagkabau pihak wanita yang
meminang pria harus memberikan uang atau barang "panjapui" yang jumlahnya
menurut tingkat kedudukan dari si pria, kadang-kadang jumlah itu cukup tinggi
dikarenakan kedudukan si pria lebih tinggi dari wanita. Di daerah Pariaman pria dari
golongan "Sidi" adakalanya meminta kepada pihak wanita yang meminang agar
menyediakan "panjapui" sebelum perkawinan sebuah rumah lengkap dengan isi,
pakaian seperangkatan, biaya perkawinan dan uang hilang sebesar Rp. 3000.000,-
Peminangan dari si wanita kepada pria dapat saja terjadi secara sederhana,
dimana tidak diperlukan si pria memberikan sesuatu pembayaran, misalnya dalam
bentuk perkawinan semanda "mati tungu mati manuk" (tungaunya mati ayamnya
mati)di daerah Lampung beradat Peminggir, atau dalam bentuk perkawinan
"nyalindung kagelung" (berlindung dibawah galung) di daerah Pasundan, antara
wanita kaya dengan pria miskin.24
3) Perkawinan Mentas
Yang dimaksud perkawinan "mentas" ("mencar", Jawa) adalah bentuk
perkawinan dimana kedudukan suami isteri dilepaskan dari tanggungjawab orang
24Hilman Hadikusuma, Ibid, 83.
46
tua/keluarga kedua pihak, untuk dapat berdiri sendiri ("mandiri", jiwa) membangun
keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal. Orang tua/keluarga dalam
perkawinan mentas ini hanya bersifat membantu, memberikan "sangu ceceker" atau
bekal hidup dengan pemberian harta kekeyaan secara "lintiran" (pewarisan sebelum
orang tua wafat) berupa rumah atau tanah pertanian sebagai barang "gawan"
(pembawaan) kedalam perkawinan mereka. Hal mana dapat dilakukan oleh kedua
belah pihak orang tua/keluarga, baik dari pihak suami maupun dari pihak isteri.
Dalam pelaksanaan perkawinan mentas yang penting adalah adanya
persetujuan ke dua orang tua atau wali dari pria dan wanita bersangkutan, begitu pula
adanya persetujuan antara pria dan wanita yang akan melaksanakan perkawinan itu.
Didalam persetujuan perkawinan tidak ada sangkut paut masalah hubungan
kekerabatan, bahkan jika perlu cukup dengan hubungan ketetanggaan saja.
Setelah terjadinya perkawinan tidak merupakan masalah apakah suami akan
ikut di pihak isteri, sebagaimana berlaku di daerah Banten dimana "banten anut ing
sapi" (sapi jantan mengikuti sapi betina) atau dikarenakan si isteri lebih kaya dari
suami, sehingga berlaku "nyalindung kagelung", atau dikarenakan si suami lebih
kaya dari isteri sehingga berlaku "manggih kaya". Kesemuanya itu diserahkan
kepada kesediaan dari pria dan wanita yang melakukan perkawinan, oleh karena
dalam bentu kawin mentas tidak ada masalah perkawinan jujur atau perkawinan
semanda.
Dalam perkawinan mentas yang lebih menentukan nampaknya adalah harta
kekayaan atau kebendaan, sebagaimana berlaku bagi masyarakat Jawa akan dapat
berlaku "ngomohi", dimana isteri akan ikut pada suami dikarenakan suami yang lebih
47
banyak barang bawaannya, atau turut berlaku "tut buri", dimana suami akan ikut
pada isteri dikarenakan isteri yang lebih banyak gawannya.
Perkawinan "ngomohi" adakalanya dimaksudkan untuk mendapatkan
tenaga bantuan isteri sebagai tenaga kerja tanpa upah, sehingga di sebut dengan
perkawinan "manggih kaya", yang di masa lampau banyak dilakukan oleh kaum
bangsawan disamping adanya isteri ratu. Agaknya di masa sekarang kita masih
melihat isteri-isteri yang bekerja keras -berniaga- untuk membantu kepentingan
rumah tangga suami yang bermartabat, menjadi pejabat dengan penghasilan (gaji)
yang tidak cukup.
Di daerah Pasundan berlaku perkawinan yang disebut "nyalindung
kagelung", sehingga suami yang masih gagah tenaganya untuk ikut membantu
kepentingan usaha isteri, atau usaha mertua; suami ikut berdiam dan bekerja
ditempat isteri ("tut buri", Jawa) yang tadinya seorang janda kaya, atau bersedia
kawin dengan isteri yang masih dibawah umur anak seorang kaya. Bentuk
perkawinan ini mirip dengan "semanda mati tunggu mati-manuk" di Lampung, hanya
bedanya dalam "nyalindung kagelung" harta kekayaan itu dikuasai perorangan,
sedangkan dalam perkawinan semanda harta kekayaan dikuasai kerabat isteri.
Jika terjadi perceraian dalam bentuk "ngomohi" atau "manggih kaya", isteri
masih mendapat pembagian harta pencaharian ("gono-gini", Jawa), begitu pula
dalam bentuk "tut buri" atau "nyalindung kagelung" suami masih mendapat
pembagian harta pencaharian ("guna kaya"), walaupun tidak seimbang, sedangkan
perceraian dalam perkawinan jujur, isteri ke luar dari rumah suami tanpa membawa
apa-apa, selain maskawinnya, dan perceraian dalam perkawinan semanda lepas,
suami ke luar dari rumah isteri tanpa membawa apa-apa.
48
4) Perkawinan Anak-Anak
Di beberapa lingkungan masyarakat adat tidak saja pertunangan dapat
berlaku sejak masa "bayi", seperti berlaku di daerah Ogan Tengah Prabumulih
Sumatera Selatan, tetapi juga dapat berlaku perkawinan antara pria dan wanita yang
masih belum baligh, atau antara pria yang sudah dewasa dengan wanita yang masih
anak-anak, atau sebaliknya wanitanya yang sudah dewasa dengan pria yang masih
anak-anak.
Jadi di beberapa daerah perkawinan anak-anak merupakan perbuatan yang
tidak dilarang, seperti dikalangan masyarakat adat di daerah Kurunci (Jambi), Toraja
(Sulawesi Tengah) atau di pulau Rote (Nusa Tenggara Timur). Di daerah Bali
perkawinan anak-anak adalah perbuatan yang terlarang.
Sebagaimana telah disinggung diatas, maka di daerah Pasundan berlaku
perkawinan yang disebut "ngarah gawe", mengharapkan bantuan tenaga, dimana
gadis yang masih anak-anak dikawinkan dengan pemuda yang sudah dewasa. Setelah
perkawinan si suami menetap di tempat isteri sebagai tenaga kerja tanpa upah,
bekerja untuk kepentingan keluarga isteri, sambil menunggu waktu isteri dewasa dan
dapat bercampur sebagai suami isteri.25
5) Perkawinan Bermadu
Hampir di semua lingkungan masyarakat adat terdapat perkawinan
bermadu, di mana seorang suami di dalam satu masa yang sama mempunyai
beberapa orang istri (“grahasta tresna”, Bali; “meguwai”, Lampung). Di kalangan
25Hilman Hadikusuma, Ibid, 91.
49
masyarakat yang beragama Islam perkawinan dengan beberapa isteri dapat dilakukan
dengan syah berdasarkan al-Qur’an surah an-Nisa ayat 3 yang menyatakan:
“kamu boleh kawin dengan wanita yang kamu pandang baik, dua atau tiga atau
empat, jika tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, kawinlah seorang saja”.
Jadi bagi orang yang beragama Islam jika dapat berlaku adil terhadap isteri-
isteri, dapat melakukan perkawinan lebih dari satu isteri , tetapi oleh karena untuk
berlaku adil itu tidak mudah dilaksanakan, maka Tuhan menganjurkan agar
seseorang pria cukup beristeri satu saja. Kaidah agama ini di masa lampau banyak
disalah gunakan anggota masyarakat, sehingga para kaum bangsawan, hartawan
ataupun orang kebanyakan sering kali melakukan perkawinan banyak isteri.
6) Perkawinan Campuran
Yang dimaksud di sini adalah perkawinan campuran adalah perkawinan
yang terjadi antara pria dan wanita yang berbeda keanggotaan masyarakat hukum
adatnya, misalnya terjadi perkawinan antara pria dari masyarakat adat peminggir,
atau perkawinan antara pria dari masyarakat adat Batak dengan wanita dari
masyarakat adat Jawa, atau juga terjadi perkawinan antara orang Jawa dengan orang
Cina warga negara Indonesia, dan lain-lain.
Jadi perkawinan campuran (“marsileban”, Batak) menurut hukum adat
berbeda dari pengertian perkawinan campuran menurut pasal 57 UU No. 1/1974
sebagaimana dinyatakan:
“yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antar dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
50
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.”26
d. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Adat
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan,
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan
atau keibuan keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat,
untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk
mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistim keturunan dan kekerabatan antara
suku bangsa yang satu dan yang lain berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan
beragama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat
adat berbeda-beda di antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya, daerah yang
satu dan daerah yang lainnya berbeda, serta akibat hukum dan upacara
perkawinannya berbeda-beda.27
e. Larangan Perkawinan Menurut Hukum Adat
Yang pertama adalah karena hubungan kekerabatan. Dalam hal ini di
berbagai daerah di Indonesia terdapat perbedaan-perbedaan larangan terhadap
perkawinan antara pria dan wanita yang ada hubungan kekerabatan. Malahan ada
daerah yang melarang terjadinya perkawinan antara anggota kerabat tertentu,
sedangkan di daerah lainnya perkawinan antara anggota kerabat yang dilarang itu
justru digemari pelaksanaannya.
26Buku Perkawinan, Bab XII, Bagian Ketiga Perkawinan Campuran Pasal 57 Lembaran Negara Republik Indonesia Th. 1974 No. 1. 27Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Cet. 3; Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), 22.
51
Yang kedua adalah karena perbedaan kedudukan. Di berbagai daerah masih
terdapat sisa-sisa dari pengaruh perbedaan kedudukan atau martabat dalam
kemasyarakat adat, sebagai akibat dari susunan feodalisme desa kebangsawanan
adat. Misalnya seorang pria dilarang melakukan perkawinan dengan wanita dari
golongan rendah atau sebaliknya. Di Minangkabau seorang wanita dari golongan
penghulu tidak dibenarkan melakukan perkawinan dengan pria yang tergolong
“kemenakan di bawah lutui”. Di daerah Lampung pemuda dari golongan
“punyimbang” tidak dibenarkan kawin dengan gadis dari golongan “beduwou”
(budak). Di Bali pria dari golongan “triwarna” atau “tri wangsa” (“Brahmana,
Ksatria dan Weisha”) dilarang kawin dengan wanita dari golongan “sudra” atau
orang-orang biasa. Demikian juga sebaliknya, oleh karena perbuatan itu dianggap
menjatuhklan nilai martabat kekerabatan.28
3. Perkawinan Menurut Adat Jawa
a. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Dalam pandangan masyarakat khususunya Jawa, perkawinan mempunyai
makna tersendiri yaitu, selain untuk mendapatkan keturunan yang sah juga menjaga
silsilah keluarga. Karena untuk pemilihan pasangan bagi anaknya, orang tua dalam
memilih anak mantu akan mempertimbangkan pada tiga hal yaitu bobot, bibit, bebet.
Untuk mengetahui bobot, bibit, bebet, ini bukan saja kewenangan yang memilih tapi
juga dipilih, artinya baik itu orang yang mencari jodoh bagi anaknya ataupun bagi
yang mendapatkan lamaran.
28 Hilman Hadikusuma, Ibid, 102.
52
Seperti hal diatas maka tujuan dari perkawinan adalah dengan pembentukan
keluarga yang sah dan keturunan yang sah pula, maka terbentuklah suatu masyarakat
atau gabungan dari masyarakat-masyarakat dari keluarga-keluarga dan selanjutnya
gabungan dari masyarakat-masyarakat akan menjadi kumpulan masyarakat yang
besar yang disebut bangsa dan negara. Dengan demikian melakukan perkawinan
berarti pada akhirnya, berarti juga mendirikan Negara.
b. Rangkaian Tatacara Perkawinan Adat Jawa.
Upacara perkawinan bukan saja proses meninggalkan taraf hidup yang lama
dan menuju yang baru dalam diri seseorang, melainkan merupakan penegasan dan
pembaruan seluruh tata alam dari seluruh masyarakat. Biasanya seluruh acara
perkawinan, nikah dan panggih, berlangsung kurang lebih 60 hari yaitu:
1) Nontoni
Yaitu melihat dari dekat keadaan keluarga dan gadis yang sesungguhnya.
Dilakukan oleh seorang congkok (wali) atau wakil dari pemuda yang akan mencari
jodoh. Dalam hal ini dibicarakan sekitar kebutuhan untuk biaya perkawinan.
2) Meminang
Disebut juga melamar, setelah taraf nontoni berakhir, diteruskan dengan
taraf meminang. Apakah rencana perkawinan dapat diteruskan atau tidak. Kalau
ternyata ada kecocokan, maka congkok meneruskan rugasnya untuk mengadakan
perundingan lebih lanjut dengan istilah ngebunebun esuk, anje jawah sonten.
53
3) Peningset
Bila pinangan berhasil, diteruskan dengan upacara pemberian peningset.
Biasanya berupa pakaian lengkap, kadang-kadang disertai cincin kawin (tukar
cincin).
4) Serahan
Disebut pasok tukon, bila hari perkawinan sudah dekat, keluarga calon
pengantin putra memberikan hadiah kepada keluarga calon pengantin putri sejumlah
hasil bumi, peralatan rumah tangga dan kadang-kadang disertai sejumlah uang.
Barang-barang dan uang tersebut digunakan untuk menambah biaya
penyelenggaraan perkawinan nantinya.
5) Pingitan
Menjelang saat perkawinan, kurang lebih tujuh hari sebelumnya, calon
pengantin putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh menemui calon pengantin
putra dan kadang-kadang dianjurkan untuk puasa. Selama masa pingitan calon
pengantin putri melulur seluruh badan.
6) Pasang Tarub Agung
Pasang tarub agung adalah salah satu syarat yang biasa dipenuhi oleh orang
Jawa. Dengan memasang tarub agung itu, masyarakat umum akan cepat mengetahui
bahwa keluarga yang bersangkutan sedang mempunyai hajat untuk
menyelenggarakan upacara perkawinan. Secara simbol bahwa rumah yang dipasang
tarub sedang mempunyai gawe besar. Keutamaan pasang tarub ini adalah semacam
54
tanda buat masyarakat luas. Sebelum pemasangan tarub, sesaji khusus disiapkan,
yang terdiri antara lain dari nasi tumpeng, berbagai macam buah-buahan termasuk
pisang dan kelapa, berbagai macam lauk-pauk, kue-kue, minuman, bunga, jamu, gula
kelapa, dan sebuah lentera. Sesaji ini melambangkan sebuah permohonan supaya
mendapatkan berkah dari Gusti Allah Yang Maha Kuasa dan para leluhur dan
sekaligus sebagai sarana untuk menolak makhluk-makhluk jahat.29
7) Malam midodareni
Menjelang malam hari pengantin putri mengadakan malam midodareni.
Malam midodareni sering dilakukan dengan cara tirakatan dan lek-lekan. Para
sesepuh, pinisepuh, dan orang tua semalam suntuk tidak tidur. Hampir di tiap-tiap
desa ritual ini selalu dilakukan. Tujuan acara ini dilakukan untuk menolak bala.
Keluarga yang sedang mempunyai gawe besar dengan melakukan midodareni akan
jauh dari mara bahaya, sehingga pelaksanaan upacara pernikahan dapat berjalan
lancar.30
8) Siraman
Bersamaan dengan malam tirakatan midodareni, dilakukan pula upacara
siraman untuk calon pengantin putri. Siraman ini menggunakan air khusus yang
dinamakan tirta perwita sari. Siraman ini artinya mandi. Siraman dalam upacara
perkawinan dimaksudkan untuk membersihkan sepasang calon pengantin itu lahir
29Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa (Cet. I; Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), 80. 30Purwadi, Tata Cara Pernikahan Pengantin Jawa (Cet. I; Yogyakarta: Media Abadi, 2004), 19.
55
dan batin. Upacara siraman diselenggarakan satu hari sebelum ritual ijab dan
panggih.
9) Janji Suci Ijab Qabul
Di antara segala rangkaian upacara pernikahan, sebenarnya upacara ijab
qabul itu menduduki derajat yang paling utama. Dikatakan utama karena
menyangkut hukum agama dan negara. Dengan upacara ijab qabul berarti telah
terjadi pemindahan kekuasaan seorang wanita dari tangan wali ke pihak pengantin
pria. Setelah sah dinikahkan dalam upacara ijab qabul, berarti wanita itu telah
menjadi wewenang suaminya. Adapun mempelai pria juga dituntut untuk
bertanggungjawab penuh terhadap istrinya.31
9) Temu Pengantin
Paripurna upacara ijab qabul, kemudian dilanjutkan dengan prosesi temu
pengantin. Kedua mempelai pengantin sudah resmi menjadi pasangan suami isteri.
Secara legal maka keduanya sudah seharusnya dipertemukan. Upacara temu
pengantin ini juga disebut dengan upacara panggih. Untuk upacara panggih ini
biasanya masing-masing mempelai disertai dengan pengiring. Prosesi pengantin ini
sekaligus menjadi ajang publikasi bagi kedua mempelai bahwa dirinya adalah
pasangan sah suami isteri. Ini juga dimaksud untuk memohon doa restu bagi hadirin.
Namun caranya lewat simbolis. Secara esensial sebenarnya setelah ijab qabul sudah
resmi, namun lebih baik kalau disiarkan secara luas pada masyarakat.32
31Purwadi, Ibid, 22. 32Purwadi dan Enis Niken, Op. Cit, 106.
56
Setelah melaksanakan akad nikah, di susul dengan upacara, yaitu pengantin
putra dan putri di pertemukan secara adat. Adapun upacara akad nikah/ijab qabul
dilaksanakan menurut agamanya masing-masing. Dalam hal ini tidak mempengaruhi
jalan upacara selanjutnya. Bagi pemeluk agama Islam akad nikah dapat
dilangsungkan di masjid atau mendatangkan penghulu. Setelah upacara akad nikah
selesai, pengantin putra tetap menunggu diluar untuk menantikan upacara
selanjutnya. Yang perlu mendapat perhatian adalah selama upacara akad nikah
pengantin putra tidak boleh menggunakan keris (keris harus dicabut terlebih dahulu)
dan kain yang dipakai oleh kedua pengantin tidak boleh bermotif hewan begitu pula
blangkon yang dipakai oleh pengantin putra.
10) Sungkeman Tanda Darma Bakti
Setelah prosesi temu pengantin kemudian dilanjutkan dengan acara
sungkeman. Sungkeman ini ditujukan kepada dua pasang orangtua pengantin.
Maksudnya adalah untuk menunjukan darma bakti si anak kepada dua pasang
orangtuanya. Kedua orangtua harus diperlalukan secara sama tanpa ada perbedaan.
Acara sungkeman ini akan membuat hati orangtua menjadi mongkog, bombong,
bahagia, dan gembira. Namun juga bercampur haru. Karena terlalu haru, tak jarang
ada orangtua yang mengeluarkan airmata.
Setelah siap melaksanakan sungkeman, sepasang pengantin tersebut
kemudian hormat dengan berjongkok menghaturkan sembah kepada orangtua untuk
57
memohon restu. Pertama kepada orangtua pengantin wanita, kemudian kepada kedua
orangtua pengantin pria. 33
11) Resepsi/Walimah
Yaitu pertemuan atau jamuan yang diadakan untuk menerima tamu pada
pesta perkawinan, pelantikan dan lain sebagainya. Biasanya pada acara walimah ini,
diadakan di rumah pengantin wanita. Walimah merupakan bentuk rasa syukur dan
untuk menghormati tamu undangan, sekaligus sebagai tanda pengumuman atau
pemberitahuan bahwa kedua pengantin telah resmi menjadi suami istri.
4. Perkawinan Menurut Adat Sunda
a. Adat Perkawinan Sunda Dari Masa Kemasa
Secara antropologi-budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut suku
bangsa Sunda adalah orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa-Ibu
bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta
bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang disebut Tanah Pasundan atau
Tatar Sunda. Sistim kekerabatan orang Sunda dipengaruhi adat yang diteruskan
secara turun temurun dan oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk
orang Sunda, maka sudah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama,
dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan
orang Sunda. Perkawinan di tanah Sunda, misalnya, dilakukan baik secara adat
maupun secara agama Islam. Ketika upacara adat nikah atau ijab qabul dilakukan,
33Purwadi, Op. Cit, 29.
58
maka tampak sekali bahwa di dalam upacara-upacara yang terpenting ini terdapat
unsur agama dan adat.
Seperti layaknya yang berlaku di masyarakat Timur, perkawinan bagi
masyarakat Sunda bukan hanya merupakan pembentukan rumah tangga baru. Selain
merupakan ikatan dari dua keluarga besar yang bisa jadi berbeda dalam segala hal,
baik sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya, perkawinan adalah ritual yang sakral.
Karena itu, wajar saja kalau akhirnya prosesi perkawinan adat Sunda itu melewati
beberapa tahap. Di mulai dari tahap penjajakan, tahapan berikutnya adalah persiapan,
pelaksanaan, yang kemudian diakhiri dengan penutup.34
Sebagaimana layaknya budaya yang paling berpengaruh antara budaya
yang satu dengan yang lain, rangkaian upacara maupun pakaian adat Sunda ini juga
tidak lepas dari pengaruh budaya-budaya lain. Di abad 17 ketika tentara Mataram
menyerang Belanda di Batavia, banyak di antara para tentara itu tidak kembali lagi
ke Yogya. Sebagian di antara mereka ada yang tertinggal di sepanjang perjalanan
menuju ke Kerajaan Mataram, baik lewat pantai utara (Krawang-Cirebon) atau
(Sukabumi-Bandung). Tata upacara, pernak-pernik, maupun pakaian pada upacara
perkawinan adat Sunda ini pada akhirnya di pengaruhi oleh budaya Jawa. Sarung
tenun dan kebat tenun perlahan-lahan mulai tersingkir digantikan kain batik,
sementara senjata kujang sebagai pelengkap hiasan pengantin pria berubah menjadi
keris. Blangkon, tutup kepala pengantin pria Jawa yang unik, juga memberikan
pengaruh khusus pada tutup kepala para pengantin Sunda. Belakangan, dengan
sentuhan dari para sesepuh dan budayawan Sunda, batik, keris, maupun tutup kepala
34Artati Agoes, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Sunda (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 4.
59
Pasundan ini memiliki ciri khas dan bentuk tersendiri sejalan dengan budaya Sunda
yang terus berkembang.
Budaya barat juga memberikan sentuhan tersendiri terhadap adat-istiadat
maupun perlengkapan pesta perkawinan adat Sunda. Berbagai bentuk jas yang
banyak dipergunakan oleh pengantin pria Sunda, inspirasinya muncul dari bentuk jas
Barat. Antara lain, jas sikepan, jas pantolan, dasi dan sebagainya. Pakaian pengantin
putri Sunda belakangan juga banyak dipengaruhi pakaian barat, seperti gaun-gauan
pengantin, sluier, desain perhiasan (kalung, anting, cincin, gelang, dan lain-lain).
b. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Tujuan bagi masyarakat adat secara umum adalah untuk melestarikan
keturunan, kebudayaan. Begitu juga terhadap perkawinan adat Sunda, tujuannya
adalah untuk melestarikan keturunan adat Sunda. Karena di Indonesia merupakan
Negara yang mempunyai budaya yang banyak, maka dengan melestarikan setiap
budaya yang ada sama saja dengan menegakkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia seperti yang dijelaskan diatas.
c. Prosesi Perkawinan Adat Sunda
1) Neundeun Omong
Di Tanah Pasundan, “perburuan jodoh” ini bisa dilakukan oleh si muda-
mudi sendiri atau pihak keluarga mereka. Sebagian lain ada yang masih
menggunakan pola-pola lama klasik, yaitu lewat kedua orang tua mereka. Biasanya
ini dilakukan oleh pihak orang tua sang perjaka, mula-mula dengan cara tidak serius
dan bergurau dengan pihak orang tua gadis. Apabila anak gadis itu belum
60
bertunangan dan kedua orangtuanya setuju atas usul kedua orangtua pemuda itu,
maka perembukan itu dinamakan neundeun omong yang artinya menaruh perkataan.
2) Menerima dan Melaksanakan Lamaran
Acara Nyeureuhan atau Narosan atau lamaran adalah lanjutan dari
Neundeun Omong atau masa-masa penjajakan yang dilakukan pihak orang tua laki-
laki. Hal ini baru akan terwujud kalau pihak orang tua si gadis memberikan lampu
hijau dan si gadis belum ada yang punya. Lamaran ini adalah awal kesepakatan
untuk menjalin hubungan lebih jauh lagi. Saat inilah kedua keluarga besar yang akan
saling berbesanan itu untuk pertama kali bersilaturahmi secara formal. Sebagai
pertemuan pertama yang diharapkan mempunyai kesan manis dan mendalam bagi
kedua keluarga besar yang akan saling berbesanan, acara lamaran ini harus dirancang
sedemikian rupa sehingga bisa berlangsung dengan sukses.
3) Ngebakan/Siraman
Secara kasat mata siraman ini artinya memandikan. Tapi dibalik itu ada
beberapa makna yang terkandung di dalamnya. Secara filosofi, siraman itu
dimaksudkan sebagai upaya penyucian diri lahir batin sebelum memasuki mahligai
perkawinan. Upacara siraman ini juga merupakan kesempatan bagi si anak untuk
memohon doa restu kepada kedua orangtua maupun para sesepuh. Tujuannya, agar
dalam mengarungi hidup baru nanti ia mendapatkan restu dan limpahan kebaikan
dari mereka. Itu sebabnya biasanya yang bertugas memandikan calon pengantin,
61
selain kedua orangtuanya, juga para anggota keluarga yang sudah tua dan orang-
orang yang sekaligus dikenal sebagai orang yang alim sholeh.35
4) Ngaras/mencuci kaki
Upacara ini hanya dilakukan dalam perkawinan adat Sunda gaya Sukapura.
Ngaras adalah upacara yang dilakukan sebelum calon pengantin wanita atau calon
pengantin pria melaksanakan acara siraman. Upacara ini dilakukan sebagai
ungkapan rasa sayang dan hormat anak kepada kedua orang tua. Sesuai dengan
hadits Nabi bahwa ridho orangtua adalah ridho Allah SWT, maka dengan upacara ini
kedua mempelai diharapkan semakin hormat dan berbakti kepada kedua orang tua
mereka.
5) Pengajian
Idealnya, rangkaian acara yang dimulai dengan pengajian ini dimulai usai
shalat dhuhur pukul 12.30, disinilah batin si calon pengantin digembleng agar
mampu menjalankan bahtera keluarga dengan baik sesuai yang digariskan agama.
Acara ini umumnya diikuti oleh anggota keluarga, kerabat dekat, maupun para
tetangga di sekeliling rumah keluarga calon mempelai pengantin wanita. Setelah
acara pengajian yang memakan waktu lebih kurang satu jam selesai, calon pengantin
wanita masuk ke kamar untuk mempersiapkan diri melakukan upacara ngecagkeun
aisan (gendongan terakhir).
35Artati Agoes, Ibid, 38.
62
6) Ngecagkeun aisan/melepaskan gendongan
Upacara ngecagkeun aisan artinya melepaskan gedongan. Secara simbolik
inilah gendongan terakhir seorang ibu. Maknanya, selama ini anak ini selalu dalam
“gendongan” atau dalam tanggung jawab orangtua, mulai saat itu orangtua akan
mulai melepaskan tanggung jawabnya sebagai orangtua kepada putrinya yang akan
segera memasuki gerbang rumah tangga. Tak lama lagi sang putrinya akan
dinikahkan dan dipasrahkan kepada kepada suaminya, yang secara otomatis akan
mengambil alih tanggung jawab kasih sayang lahir dan batin dari orangtuanya.36
7) Ngeningan/mengerik
Usai siraman, dengan diantar kedua orangtuanya ke kamar pengantin.
Setelah itu calon pengantin wanita menuju kamar mandi untuk mandi sendiri atau
membersihkan bunga-bunga bekas upaca siraman atau kotoran lain yang menempel
di tubuhnya. Sebelum dirias, calon mempelai wanita menjalani upacara ngeningan
(mengerik rambut) yang berada di depan maupun belakang kepalanya. Upacara ini
biasanya dilakukan sendiri oleh juru rias.
8) Seserahan/Seren Sumeren
Upacara seserahan ini adalah kelanjutan lamaran yang telah berlangsung
beberapa minggu/bulan sebelum seserahan itu berlangsung. Pada saat itu pihak
keluarga calon pengantin pria secara simbolik menyerahkan calon pengantin pria
dengan peralatan/perlengkapan mawakeun yang nantinya akan dipakai oleh calon
pengantin pria saat perkawinan mereka berlangsung.
36Artati Agoes, Ibid,45.
63
Upacara seserahan adalah upacara pranikah yang dilakukan sebagai
pemantapan dan tindak lanjut dari tahapan lamaran yang sebelumnya sudah
dilakukan oleh pihak keluarga calon pengantin pria ke rumah calon pengantin
wanita.37
9) Upacara Ngarasulkeun
Dengan seni yang cukup kreatif, seperangkat barang yang akan dibawah ke
rumah keluarga calon pengantin wanita itu dibungkus dan didesain sedemikian rupa
sehingga barang-barang bingkisan itu tampak indah dan berseni. Malam hari barang-
barang itu dibawah, di rumah keluarga calon pengantin pria biasanya
diselenggarakan acara ngarasulkeun. Acara ini merupakan selamatan bagi calon
pengantin pria maupun keluarga besarnya agar acara pernikahan maupun pestanya
bisa berlangsung sukses tanpa halangan apapun.
10) Ngeuyeuk Seureuh
Ngeuyeuk seureuh berasal dari kata paheuyeuk-heuyeuk jeng beubeureuh
(bekerjasama dengan pacar). Maksudnya, biar digoyang badai kehidupan seperti apa
pun kedua calon mempelai ini tetap lengket terus sampai tua. Misalnya Ngaheuyeuk
Nagara artinya mengurus negara, Ngaheuyeuk Pare artinya menginjak-nginjak padi
agar padinya agar padinya lepas sehingga bisa dimasukkan ke penggilingan padi.
Ngeyeuk juga bisa berarti bergandeng-gandengan. Maksudnya, jalin kerjasama yang
baik agar pekerjaan itu bisa selesai dengan baik. Jadi ngeuyeuk seureuh itu adalah
menyusun sirih agar bisa tersusun rapi.
37Artati Agoes, Ibid, 47.
64
11) Akad Nikah
Inilah salah satu saat-saat terpenting dalam perjalanan hidup manusia
karena sejak saat itulah kedua sejoli itu dianggap sebagai manusia utuh yang
memiliki hak-hak penuh sebagai warga masyarakat. Ditinjau dari segi agama,
upacara ijab qabul adalah peristiwa yang mau tidak mau wajib dilakukan bagi
mereka yang ingin memasuki bahtera rumah tangga. Agama apapun tidak akan
mengizinkan umatnya untuk hidup bersuami istri ala kumpul kebo. Tanggung Jawab
peristiwa ini tidak hanya kepada sesama manusia, namun yang paling penting adalah
kepada Sang Maha Pencipta.
12) Sabada Nikah
Serangkaian upacara yang dilakukan setelah ini adalah acara sabada
(sesudah) akad nikah yang banyak dilakukan masyarakat Pasundan guna ikut
memeriahkan acara pesta perkawinan. Acara yang pertama adalah nyawer. Kenapa
sepasang mempelai harus menjalani saweran, konon ada sejarahnya sendiri. Secara
fisik nyawer artinya adalah menebar-nebar. Tapi, di balik itu nyawer memiliki makna
yang lebih dalam dan ritual, yaitu menebar nasihat. Maksudnya sebentar lagi akan
mengarungi bahtera kehidupan yang penuh misteri. Ibarat hutan, hutan iti adalah
hutan belantara yang belum pernah terjamah oleh tangan dan kaki manusia sehingga
terkesan misterius dan mengerikan. Di satu sisi rumah tangga ini bisa menjadi sebuah
istana kerajaan yang indah bagaikan surga, tapi di sisi lain bisa menjadi malapetaka
seperti neraka.
Selanjutnya adalah prosesi meuleum harupat ini pengantin pria memegang
lidi ijuk pinang yang lalu dinyalakan pengantin wanita dengan lilin. Setelah itu
65
pengantin wanita mengambil air untuk memadamkan api dan lidipun kemudian
dipatahkan pengantin pria. Maksud yang terkandung didalamnya adalah bahwa sifat-
sifat pemarah dan tak terpuji (getas harupateun) bagi lelaki yang akan menjadi tiang
rumah tangga itu harus segera dihilangkan kalau ingin rumah tangga yang
dibangunnya selamat dunia akhirat.38
Di lanjutkan dengan nincak endog. Ini tentu saja bisa dimaklumi, karena
telur adalah lambang segala awal kehidupan. Dari telurlah nantinya muncul daging,
darah, dan nyawa. Lebih jauh, telur adalah simbol kesuburan atau yang lebih khusus
lagi lambang keperawanan. Sebagai simbol awal kehidupan, maka kedua orang
tuanya harus senantiasa berusaha menjaganya. Telur itu harus dijaga jangan sampai
pecah atau berantakan sebelum saatnya menetas. Bagi seorang gadis, buah
keperawanan haruslah selalu dijaga.
Setelah nincak endog dilanjutkan dengan buka pintu upacara ini sudah
turun temurun menjadi bagian upacara perkawinan adat Sunda. Sebelum memasuki
rumah keluarga pengantin wanita, sebelumnya pengantin pria harus mengetuk pintu
tiga kali. Dari dalam rumah pengantin wanita tidak langsung membuka pintu. Ia
perlu memastikan apakah pria yang mengetuk itu benar-benar buah hatinya yang
baru saja menikahinya. Filosofinya adalah bagi siapapun yang ingin bertamu ke
rumah orang, mereka harus mengetuk pintu atau memberi salam. Dilanjutkan dengan
huap lingkung. Dalam puncak acara pesta perkawinan adat Sunda, ayam ikut
menyemarakan dalam upacara huap lingkung (saling suap-menyuapi). Selain sebagai
simbol agar keduanya berbagi rejeki secara adil, acara ini dahulunya juga
dimaksudkan untuk lebih mengakrabkan kedua mempelai.
38Artati Agoes, Ibid, 74.
66
Acara yang terakhir dari sabada nikah adalah ngaleupaskeun japati.
Dengan diantar orangtua kedua mempelai, juru rias, keluarga, dan kerabat dekat, raja
dan ratu sehari itu kemudian berjalan keluar ruangan. Di tempat ini telah disiapkan
sepasang merpati, sebagai “alat” utama untuk upacara ngaleupaskeun japati
(melepaskan merpati), bagi masyarakat Sunda merpati adalah sosok binatang yang
memiliki kebiasaan-kebiasaan yang positif. Burung merpati umumnya selalu hidup
rukun dan jarang berantem atau tak pernah saling cakar-mencakar. Setelah semua
prosesi diatas selesai maka ditutup dengan doa dan ucapan selamat. Sebelum
kemudian memasuki acara pesta yang akan dihadiri oleh undangan, kedua mempelai
bersama orangtua mereka menerima ucapan selamat dari keluarga dan kerabat dekat.
13) Numbas
Sepasang pengantin Sunda zaman dulu, umumnya baru boleh “kumpul”
memasuki hari ketujuh usai akad nikah. Karena itu, usai malam pertama, biasanya
diselenggarakan upacara numbas esok harinya. Ini adalah upacara syukuran atas
berlangsungnya malam pertama itu dengan selamat dan sukses. Maksudnya, sang
suami bisa melaksankan tugasnya dengan baik, sementara juga istri masih perawan.
14) Ngunduh/Mulung Mantu
Ngunduh mantu adalah upacara penutup perhelatan panjang upacara
perkawinan tradisional Sunda, baik perkawinan adat Sunda Singer atau Sunda Putri.
Acara yang diselenggarkan keluarga pengantin pria ini biasanya diselenggarakan
antara hari ketiga atau ketujuh setelah upacara akad nikah. Umumnya
penyelenggaraan acara ini tidak sebesar atau semeriah upacara nyawer yang
67
diselenggarakan pihak keluarga pengantin wanita, karena yang diundang hanya
keluarga dan kerabat dekat, serta para tetangganya yang dekat. Acara ini
dimaksudkan untuk memberikan pengalaman pada pengantin putri agar dapat hidup
dilingkungan keluarga pengantin pria.
Acara ini diselenggarakan sebagai ungkapan bahagia keluarga pria yang
telah berhasil mendapatkan mantu yang sesuai harapannya dan seluruh rangkaian
acara maupun upacara perhelatan itu berlangsung dengan sukses.39
5. Perkawinan Keraton Kacirebonan
a. Jalannya Upacara Inisiasi Pengantin
Secara garis besar pada umumnya keraton adalah sumber dasar tolok ukur
kebanggaan masyarakatnya dan rakyat kaula alitnya. Maka tidak mustahil keraton
sebagai tempat bersemayamnya Sultan, sebagai pigur Amiril Mukminin
masyarakatnya di samping sebagai ibu kota pusat kebudayaan dan peradabannya itu
sudah barang tentu menjadi titik perhatian utama bagi rakyatnya maupun bagi
negara-negara atau kerajaan lainnya.
Begitu pula di Cirebon sebagai pusat kebudayaan dan peradaban yang telah
tinggi ini masih bisa dorasakan dominasi tinggalnya yang menciptakan ciri dan
kekhasannya. Di bawah ini kami suguhkan sebuah deskripsi Upacara Adat, Tata Rias
dan Busana Pengantin Keraton Kacirebonan, dimiliki oleh salah seorang keluarga
Keraton ialah Pangeran Yusuf Dendabrata dan Keraton Kasepuhan dimiliki Raden
Saleh.
39Artati Agoes, Ibid, 87.
68
1) Upacara Pinangan
Dilaksanakan selambat-lambatnya seminggu sebelum pernikahan. Lamaran
ini biasanya di bawa oleh utusan mempelai pria untuk diserahkan kepada orangtua
mempelai puteri dengan di saksikan sesepuh. Adapun lamaran tersebut terdiri dari
perlengkapan pakaian wanita beserta perhiasan emas, perlengkapan dapur komplit,
daun sirih, sejumlah uang tunai.
Apabila lamaran resmi telah diterima oleh pihak mempelai puteri, maka
utusan mempelai pria akan menanyakan kapan tanggal kepastian perkawinan bisa
dilangsungkan, dan pukul berapa mempelai pria bisa dijemput.
2) Siraman
Sebelum acara akad nikah di Cirebon biasanya kedua mempelai diwajibkan
melaksanakan siraman dirumah mempelai puteri. Tujuan siraman bersama ini agar
kedua belah pihak bisa saling memperhatikan apakah diantara kedua mempelai itu
mempunyai tanda-tanda yang jelek.40
Pelaksanaan acara ini diberitahukan kepada pihak calon pengantin pria
dengan cara mengirimkan 2 (dua) orang utusannya untuk menjemput calon pengantin
pria tersebut.
Tutur katanya lebih kurang demikian, “Kakangmas dan Kakang Mbok
Rangga, kehadiran kami ini adalah utusan dari ramanda dan bunda Raden Ayu Sri
Katon dengan maksud untuk pinjam sebentar Raden Anom, ialah Raden Anom
Bayudhendha untuk diajak turut serta dan bersama calon pengantin puteri menjalani
40Yusuf Dendrabrata, Kusna, Pagelaran dan Loka Karya Upacara Adat Pengantin Keraton Cirebon ( Cirebon: 1991), 12.
69
acara “siraman tawandari” oleh Raden Ayu Sri Katon dan sekaligus akan
melaksanakan “nyekar” (berjiarah) kepada Tunggakjati Luhur. Besar harapan kami
dimohon kakangmas dan kakang Mbok dapat merestui dan “kalilan idzin”
(membolehkan pergi anaknya).
Tentunya akan diJawab oleh kedua orangtua calon pengantin pria yang
menyatakan persetujuannya disertai doa restu. Selanjutnya mempersiapkan
keberangkatan anaknya bersama kedua orang utusan itu disertai kerabat ahli
warisnya dengan membawa seperangkat pakaian yang diperlukan.
Yang diperlukan dalam prosesi ini adalah, sebuah guci keramik/jambangan
keramik, berisikan air tujuh sumur/tasik, yang telah direndami pula dengan setangkai
mayang (bunga pinang), daun andong hijau/andongmerah, daun puring dan bunga
tujuh rupa. Diperlukan sebuah bangunan “cungkup” konstruksinya terbuat dari
bambu dengan dihiasi daun kelapa muda (janur), daun beringin, daun tebu wulung
(tebu hitam), daun pinang, kelapa gading, kelapa hijau, daun suji dan daun puring.
Sebuah pedupan untuk membakar dupa/kemenyan. Juga disediakan dua buah kursi
yang kesemuanya diletakan di dalam ruangan cungkup itu tadi. Bangunan cungkup
itu biasanya berbentuk persegi empat dengan ukuran 2x2 m, bagian atap biasanya
berbentuk kubah masjid.
Untuk pelaksanaannya kedua calon pengantin didudukan di dalam cungkup
disanding dengan jambangan/guci tadi. Calon pengantin puteri dengan rambut terurai
dan duduk disebelah kiri pria. Di sebelah kiri calon pengantin puterilah letak
guci/jambangan itu. Calon pengantin puteri hanya mengenakan kain panjang sampai
diatas payudaranya. Kain panjang ini yang sudah pernah dipakai, artinya bukan baru,
menurut bahasa Cirebon “kain luson” (asal kata dari “lusu” artinya bekas). Dada
70
bagian atas ditutup dengan kain putih/mori, pertanda ia masih suci. Begitu pula sang
calon pria mengenakan sarung batik dengan dada ditutup kain putih, pertanda masih
dalam keadaan suci pula.
Sebelum kita terlebih dahulu mengetahui arti dari siraman tawan ini. Siram
dari bahasa kramadya, artinya mandi. Sedangkan tawandari merupakan kata
majemuk yang terdiri dari tawa dan andari, semuanya dari bahasa Kawi Jawa. Tawa
berarti tawar, tidak mengandung efek sampingan (mungkin dianggap stirib/bersih
dari unsur bisa atau racun, bisa juga terhindar dari, nyaris/jauh terkena racun atau
bisa. Banyu tawa, artinya air mentah, tidak terasa asin. Andadari melahirkan bentuk
/warna/sinar/dan lain-lain. Tawandari artinya telah menjadi suatu kesatuan kata dan
kesatuan arti maka berarti membersihkan dari seluruh/bentuk noda, bisa
racun/penyakit dan kemudian melahirkan bentuk yang diinginkan yaitu bagaikan
“bulan andadari” gemilang bagaikan rembulan.
Jadi dengan demikian arti dari siram tawandari jelaslah artinya mandi
untuk membuang seluruh noda, bisa racun/bisa dan penyakit, sehingga
menimbulkan/melahirkan bentuk yang diinginkan, ialah suci bersih bagaikan
gemilangnya cahaya kesucian itu. Hal itu dapat kita maklumi bahwa jenjang dekade
perkawinan itu bagi seseorang itu adalah merupakan suatu dekade baru untuk
mencapai tujuan suci. Yaitu tugas untuk mengembangkan keturunannya.
Setelah selesai mandi siram tawandari, kedua calon pengantin
dibersihkan/dikeringkan oleh ahli rias. Dan suatu persaratan mutlak, pakaian basah
bekas, acara siram tawandari itu harus diserahkan/dihadiahkan kepada sang ahli rias
itu. Kemudian calon pengantin berdandan masing-masing, sementara seluruh hadirin
dan undangan beramah-tamah dan menikmati hidangan yang disediakan. Kemudian
71
calon kedua pengantin akan melaksanakan upacara jiarah ke makam leluhurnya.
Apabila acara jiarah selesai, calon pengantin pria pun dikembalikan kepada orang
tuanya bersama dengan utusan semula.
Apabila siraman ini telah selesai, maka pakaian bekas mandi kedua
mempelai dibuang. Selama memandikan juru rias selalu membalurkan lulur kebadan
kedua mempelai agar keduanya setelah mandi akan mendapatkan kulit yang halus
dan bau badan yang sedap. Para panisepuh, juga mencoretkan pada kulit pemuda-
pemudi yang lain, agar cepat ketularan. Selama acara ini berlangsung biasanya
diiringi alunan gamelan dengan lagu moblong.
Bekas air mandi calon pengantin ini biasanya digunakan untuk mengguyur
para putra putri yang belum mendapatkan jodoh. Acara ini biasanya disebut
bendrong sirat. Diharaplah oleh para panisepuh agar putra putrinya cepat mendapat
jodoh.
3) Pasrahan
Orangtua gadis beserta keluarga dekatnya menerima kedatangan utusan
yang disertai para pembawa pasrahan yaitu, pembawa pala gumantung (buah-
buahan), pembawa pala kendem (umbi-umbian), pembawa palawija (sayur-sayuran),
mas picis (mas kawin berupa perhaisan dan uang), dunya brana (alat-alat rumah
tangga). Mas picisan diserahkan pada orangtua gadis dan yang lainnya diterima oleh
kerabatnya. Setelah selesai basabasi utusan dan rombongan mohon diri.41
41HARPI, Buku Pelajaran Tata Rias Pengantin Cirebon Kebesaran, (Cirebon: HARPI Melati, 1995), 12.
72
4) Siram Tawandari
Sebelum acara akad nikah di Cirebon biasanya kedua mempelai diwajibkan
melaksanakan siraman dirumah mempelai puteri. Tujuan siraman bersama ini agar
kedua belah pihak bisa saling memperhatikan apakah diantara kedua mempelai itu
mempunyai tanda-tanda yang jelek.42
Pelaksanaan acara ini diberitahukan kepada pihak calon pengantin pria
dengan cara mengirimkan 2 (dua) orang utusannya untuk menjemput calon pengantin
pria tersebut.
Tutur katanya lebih kurang demikian, “Kakangmas dan Kakang Mbok
Rangga, kehadiran kami ini adalah utusan dari ramanda dan bunda Raden Ayu Sri
Katon dengan maksud untuk pinjam sebentar Raden Anom, ialah Raden Anom
Bayudhendha untuk diajak turut serta dan bersama calon pengantin puteri menjalani
acara “siraman tawandari” oleh Raden Ayu Sri Katon dan sekaligus akan
melaksanakan “nyekar” (berjiarah) kepada Tunggakjati Luhur. Besar harapan kami
dimohon kakangmas dan kakang Mbok dapat merestui dan “kalilan idzin”
(membolehkan pergi anaknya).
Tentunya akan di Jawab oleh kedua orangtua calon pengantin pria yang
menyatakan persetujuannya disertai doa restu. Selanjutnya mempersiapkan
keberangkatan anaknya bersama kedua orang utusan itu disertai kerabat ahli
warisnya dengan membawa seperangkat pakaian yang diperlukan.
Yang diperlukan dalam prosesi ini adalah, sebuah guci keramik/jambangan
keramik, berisikan air tujuh sumur/tasik, yang telah direndami pula dengan setangkai
42Yusuf Dendrabrata, Kusna, Pagelaran dan Loka Karya Upacara Adat Pengantin Keraton Cirebon ( Cirebon: 1991), 12.
73
mayang (bunga pinang), daun andong hijau/andongmerah, daun puring dan bunga
tujuh rupa. Diperlukan sebuah bangunan “cungkup” konstruksinya terbuat dari
bambu dengan dihiasi daun kelapa muda (janur), daun beringin, daun tebu wulung
(tebu hitam), daun pinang, kelapa gading, kelapa hijau, daun suji dan daun puring.
Sebuah pedupan untuk membakar dupa/kemenyan. Juga disediakan dua buah kursi
yang kesemuanya diletakan di dalam ruangan cungkup itu tadi. Bangunan cungkup
itu biasanya berbentuk persegi empat dengan ukuran 2x2 m, bagian atap biasanya
berbentuk kubah masjid.
Untuk pelaksanaannya kedua calon pengantin didudukan di dalam cungkup
disanding dengan jambangan/guci tadi. Calon pengantin puteri dengan rambut terurai
dan duduk disebelah kiri pria. Di sebelah kiri calon pengantin puterilah letak
guci/jambangan itu. Calon pengantin puteri hanya mengenakan kain panjang sampai
diatas payudaranya. Kain panjang ini yang sudah pernah dipakai, artinya bukan baru,
menurut bahasa Cirebon “kain luson” (asal kata dari “lusu” artinya bekas). Dada
bagian atas ditutup dengan kain putih/mori, pertanda ia masih suci. Begitu pula sang
calon pria mengenakan sarung batik dengan dada ditutup kain putih, pertanda masih
dalam keadaan suci pula.
Sebelum kita terlebih dahulu mengetahui arti dari siraman tawan ini. Siram
dari bahasa kramadya, artinya mandi. Sedangkan tawandari merupakan kata
majemuk yang terdiri dari tawa dan andari, semuanya dari bahasa Kawi Jawa. Tawa
berarti tawar, tidak mengandung efek sampingan (mungkin dianggap stirib/bersih
dari unsur bisa atau racun, bisa juga terhindar dari, nyaris/jauh terkena racun atau
bisa. Banyu tawa, artinya air mentah, tidak terasa asin. Andadari melahirkan bentuk
/warna/sinar/dan lain-lain. Tawandari artinya telah menjadi suatu kesatuan kata dan
74
kesatuan arti maka berarti membersihkan dari seluruh/bentuk noda, bisa
racun/penyakit dan kemudian melahirkan bentuk yang diinginkan yaitu bagaikan
“bulan andadari” gemilang bagaikan rembulan.
Jadi dengan demikian arti dari siram tawandari jelaslah artinya mandi
untuk membuang seluruh noda, bisa racun/bisa dan penyakit, sehingga
menimbulkan/melahirkan bentuk yang diinginkan, ialah suci bersih bagaikan
gemilangnya cahaya kesucian itu. Hal itu dapat kita maklumi bahwa jenjang dekade
perkawinan itu bagi seseorang itu adalah merupakan suatu dekade baru untuk
mencapai tujuan suci. Yaitu tugas untuk mengembangkan keturunannya.
Setelah selesai mandi siram tawandari, kedua calon pengantin
dibersihkan/dikeringkan oleh ahli rias. Dan suatu persaratan mutlak, pakaian basah
bekas, acara siram tawandari itu harus diserahkan/dihadiahkan kepada sang ahli rias
itu. Kemudian calon pengantin berdandan masing-masing, sementara seluruh hadirin
dan undangan beramah-tamah dan menikmati hidangan yang disediakan. Kemudian
calon kedua pengantin akan melaksanakan upacara jiarah ke makam leluhurnya.
Apabila acara jiarah selesai, calon pengantin pria pun dikembalikan kepada orang
tuanya bersama dengan utusan semula.
Apabila siraman ini telah selesai, maka pakaian bekas mandi kedua
mempelai dibuang. Selama memandikan juru rias selalu membalurkan lulur kebadan
kedua mempelai agar keduanya setelah mandi akan mendapatkan kulit yang halus
dan bau badan yang sedap. Para panisepuh, juga mencoretkan pada kulit pemuda-
pemudi yang lain, agar cepat ketularan. Selama acara ini berlangsung biasanya
diiringi alunan gamelan dengan lagu moblong.
75
Bekas air mandi calon pengantin ini biasanya digunakan untuk mengguyur para putra
putri yang belum mendapatkan jodoh. Acara ini biasanya disebut bendrong sirat.
Diharaplah oleh para panisepuh agar putra putrinya cepat mendapat jodoh.
5) Parasan Pengantin
Calon pengantin puteri diparas (dipotong) rambut, caranya oleh ahli rias
rambut yang diatas dahi sedikit disisir kebawah dicukur atau digunting pendek
sepanjang 2 cm. selebar ukuran "ponian", sedangkan rambut cethung di kanan
kirinya dibiarkan terlebih dahulu. Sedangkan rambut diatas dahi yang dipotong
dinamai "parasan keteb". Paras dari kata aras, artinya mencium (ambung). Yang
dimaksud umat Islam, apabila menunjukan kasih sayang terhadap istrinya dengan
mencium bagian parasan (dahi) itu. Dan begitu pula sebaliknya sang isteri
menunjukan kasih sayang terhadap suaminya, apabila sang suami akan pergi jauh
keberangkatannya maupun kedatangannya kembali, seyogyanya mencium kedua
belah tangan suaminya, berarti menandakan satu hati dan seia sekata dan saling
mencintai.
Pada upacara parasan pengantin ini tak luput dari sarana sesaji dan tidak
lupa menyanding pedupaan. Ahli rias biasanya dengan membaca ta’awud selanjutnya
membaca Al-Fatihah, istighfar, syahadat, sholawat, dan sebagainya. Dan lebih
afdholnya apabila lengkap dengan membaca surat/doa Kanzul’aras. Selesai diparas
calon pengantin puteri dirias sederhana.43
43Yusuf Dendrabrata, Kusna, Ibid, 13.
76
6) Akad Nikah
Pada saat mempelai pria akan dinikahkan oleh Penghulu, ibu dan bapaknya
tidak diperkenankan menyaksikan acara ini. Sebelum mempelai duduk dihadapan
Penghulu, pertama-tama keris mempelai pria harus dilepas (sebab keris pada jaman
dahulu sama dengan wakil mempelai). Selanjutnya mempelai pria ini badannya
ditutup dengan kain batik milik orang tua mempelai puteri (disebut robyong).
Duduknya mempelai pria harus dengan tikar baru, dan disebelah mempelai harus ada
nasi tumpeng komplit dengan panggang ayam dan pisang raja. Ijab dan qabul, talaq
dan taliq telah selesai dilaksanakan di depan penghulu, maskawinpun telah selesai
dilaksanakan kemudian mempelai pria menandatangani surat nikah dan pada saat
itulah mempelai puteri dipersilahkan keluar untuk membubuhi tanda tangan pada
surat nikah.
7) Upacara Panggih
Acara dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara adat, catatan keris mempelai
pria harus dilepas dahulu. Mempelai puteri harus melakukan Sungkem kepada
mempelai pria, kemudian dilanjutkan mempelai pria menginjak telur diatas pipisan,
dilapisi dengan kain lapuk. Setelah selesai, pengantin puteri membasuh kaki
mempelai pria dengan air.
Giliran kedua mempelai jongkok dihadapan sesepuh untuk menerima "Pug
Pugan" (atap rumbia yang lapuk) makna simbolis yang tersirat pada upacara ini
adalah orangtua, agar kedua mempelai senantiasa rukun dan bahagia sampai kiken
dan ninen ( sampai batas akhir). Kedua mempelai dibimbing untuk sungkem kepada
77
kedua orang tua mempelai pria, kemudian sungkem kepada orang tua mempelai
puteri. Setelah sungkeman selesai, kedua mempelai didudukan di pelaminan.
Prosesi dilanjutkan dengan, kedua mempelai makna ” Sekul Adep Adep"
dengan lauk burung merpati sepasang yang digoreng. Mengapa dipilih burung
merpati? Burung merpati mengandung arti, agar kedua mempelai dalam membina
rumah tangganya sukses. Mengambil filsafat merpati jantan yang hanya memiliki
satu pasangan merpati betina.
Acara pemberian nasehat oleh para sesepuh. Acara ini biasanya ditutup
dengan pemberian doa dan restu dari para hadirin dan dilanjutkan dengan acara
hiburan tradisional berupa tarian Bedhaya Rimbe dengan iringan gamelan laras pelog
dan lagunya Keturun.
8) Ngunduh Mantu
Upacara ngunduh mantu dilakukan oleh pihak keluarga pengantin pria.
Upacara ngunduh mantu yaitu pindahnya kedua mempelai dari rumah memeplai
puteri ke rumah mempelai pria.44
b. Beberapa falsafah dalam ruang lingkup pengantin, makna tradisional,
spiritual, dan lambang yang ada pada pengantin
1) Memakai mahkota Prabu Kresna, hal ini melambangkan seseorang raja yang adil,
cakap dan bijaksana (dengan harapan pengantin ini akan bertindak di dalam
kehidupannya bagaikan Prabu Kresna).
44Yusuf Dendrabrata, Kusna, Ibid, 14.
78
2) Pada tangan kanan dan kiri mengenakan perhiasan kelat bahu, hal ini
memberikan kiasan pengantin pria semenjak itu harus sudah siap memikul beban
hidup baru.
3) Pada bagian dada memakai hiasan melingkar ke belakang, yang bias disebut
"teratai" hal ini melambangkan kesucian hati pengantin pria dalam mencintai
sang isterinya laksana bunga teratai yang mekar diatas permukaan air.
4) Mengenakan keris, melambangkan berani mengambil resiko di dalam melindungi
isterinya. Dan keris juga disebut "curiga" jadi seorang suami harus senantiasa
waspada di dalam menentukan keputusan dan sebelumnya dipikirkan masak-
masak terlebih dahulu. Dan mengapa keris disandang dibelakang, hal ini juga
keris disebut duhung. Dimana di Cirebon ada pepatah "Aja sampe keduhung ning
buri", artinya jangan sampai ada penyesalan di belakang, jadi maksudnya segala
sesuatu harus dipikirkan terlebih dahulu.
5) Memakai ikat pinggang yang disebut badong, melambangkan harus berani
menahan lapar dan dahaga demi isterinya. Karena badong berfungsi untuk
mengikat pinggang, mungkin dari sinilah timbul istilah "kencangkan ikat
pinggang" bagi masa-masa keprihatinan.
6) Gelang tangan dan kaki, ini melambangkan bahwa sang pengantin lahir dan
batinnya sudah bulat terhadap pilihannya.
7) Memakai kain dodot, memberi kiasan bahwa pengantin adalah tahap memasuki
kesempurnaan hidup.
8) Memakai kalung sebagai pengikat leher, merupakan jalannya pernapasan,
melambangkan bahwa suatu perjalanan hidup harus menuruti peraturan yang ada,
sehingga segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar.
79
9) Memakai celana panjang disamping kelengkapan pakain raja, juga sebagai
penutup aurat.
Perlu disampaikan di sini bahwa pengantin pria pada waktu akad nikah
harus ditutup mulai dari leher sampai pada bagian bawah perutnya dengan kain batik
kepunyaan dari dari sang pengantin wanita (biasanya disebut robyong). Hal ini
melukiskan bahwa semenjak itu orang tua pengantin wanita sudah menganggap
kepada menantunya ini seperti menantu sendiri. Setelah akad nikah, kain robyong ini
dibuka kembali.45
6. Teori Pemaknaan
a. Dasar Sosio-Historik Proses Simbolis
Kreatifitas manusia sepanjang sejarah meliputi banyak kegiatan. Uraian
singkat ini akan memusatkan perhatian pada proses simbolis, yaitu pada kegiatan
manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain daripada
pengalaman sehari-hari.46 Proses simbolis meliputi bidang-bidang agama, filsafat,
seni, ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa. Sedemikian luasnya bentuk-bentuk simbolis
itu sehingga kita harus membatasi diri pada beberapa hal yang terjangkau dalam
bahasan-bahasan sekitar sosiologi budaya, sosiologi pengetahuan, atau sosiologi
kesenian.
Ada beberapa cara untuk mencari hubungan antara simbol dan masyarakat.
Mannheim mencoba mencari hubungan antara suatu kelompok kepentingan tertentu
dalam masyarakat dan pikiran serta modus berpikir yang mendasari sosiologi
45HARPI, Buku Pelajaran Tata Rias Pengantin Cirebon (Cirebon, 1995), 15. 46Peter L. Berger, dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Middlesex, England: Penguin Book, 1979), 113.
80
pengetahuannya dengan berbagai variasinya, pembicaraan mengenai hubungan
antara masyarakat dan sistem nilai, pikiran, dan simbol, mula-mula didorong oleh
pikiran Marx mengenai struktur dan supersturktur , yang masih berpengaruh secara
kuat baik dikalangan ilmuwan Marxis mapun non Marxis.
b. Kategori-kategori Sejarah dan Semesta simbolisnya
Dalam sosiologi budaya kita menemukan adanya tiganya komponen, yaitu
lembaga-lembaga budaya, isi budaya, dan efek-efek budaya atau norma-norma.
Dengan kata lain, lembaga budaya menanyakan siapa menghasilkan produk budaya,
siapa mengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan, isi budaya menanyakan paya
yang dihasilkan atau simbol-simbol apa yang diusahakan, dan efek budaya
menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu.
Mengapa proses simbolis mengalami proses transformasi, merupkan bahan
studi tentang anomali budaya. Kebudayaan dapat menjadi tidak fungsional jika
simbol dan normanya tidak lagi didukung oleh lembaga-lembaga sosialnya, atau oleh
modus organisasi sosial dari budaya itu. Kontradiksi-kontradiksi budaya dapat terjadi
sehingga dapat melumpuhkan dasar-dasar sosialnya.
Tujuan akhir ini terutama untuk mendapatkan wawasan budaya yang sesuai
dengan cita-cita nasional. Dengan melihat bagaiman proses simbol telah terjadi
dimasa lalu dan masa kini, kita berharap dapat menarik kesimpulan mengenai suatu
kebijakan budaya baru di mas ayang akan datang. Barangkali secara sadar kita
mempunyai kendala-kendala organis berupa batas-batas materila dan lingkungan
serta ekonomis, dan kendala logik berupa ideologi dan konsep-konsep Yengoyen
81
yang justru diharapkan memberikan integritas budaya, lebih daripada membatasi
kreativitas.47
c. Interaksionisme Simbolik, Prinsip-prinsip Dasar
1) Kapasitas Berpikir
Asumsi penting bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berpikir
membedakan interaksionisme simbolik dari akar behaviorismenya. Asumsi ini juga
menyediakan basis semua teori yang berorientasi pada interaksionisme simbolik.
Bernard Meltzer, J. Petras, dan L. Reynold mengatakan bahwa asumsi tentang
manusia memiliki kemampuan berpikir adalah salah satu teoritisi interaksionisme
simbolik awal seperti James, Dewey, Thomas, Cooley, dan tentu saja Mead:
”Individu dalam masyarakat tak dilihat sebagai unit yang dimotivasi oleh kekuatan
eksternal atau internal di luar kontrol mereka atau didalam kekurangan struktur yang
kurang lebih tetap. Kemampuan berpikir memungkinkan manusia bertindak dengan
pemikiran ketimbang hanya berperilaku dengan tanpa pemikir. Manusia pasti sering
kali membangun dan membimbing apa-apa yang mereka lakukan ketimbang
melepaskannya begitu saja.
Kemampuan untuk berpikir tersimpan dalam pikiran, tetapi teoritisi
interaksionisme simbolik mempunyai konsep yang agak luar biasa mengenai pikiran
yang menurut mereka berasal dari sosialisasi kesadaran. Mereka membedakan
pikiran dari otak fisiologi. Manusia tentu mempunyai otak untuk mengembangkan
pikiran, namun otak tidak mesti menghasilkan pikiran seperti jelas terlihat dalam
kasus binatang. Teori interaksionisme simbolik tidak membayangkan pikiran sebagai
47Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 7-9.
82
benda, sebagai sesuatu yang memiliki struktur fisik, tetapi lebih membayangkan
sebagai proses yang berkelanjutan. Sebagai sebuah proses yang dirinya sendiri
merupakan bagian dari proses yang lebih luas dari stimul dan respon. Pikiran,
menurut interaksionisme simbolik, sebenarnya berhubungan dengan setiap aspek lain
termasuk sosialisasi, arti simbol, diri, interaksi, dan juga masyarakat.48
2) Berpikir dan Berinteraksi
Manusia hanya memiliki kapsitas umum untuk berpikir. Kapsitas ini harus
dibentuk dan diperhalus dalam proses interaksi sosial. pandangan ini menyebabkan
teoritisi interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus
interaksi sosial yakni sosialis. Kemampuan manusia untuk berpikir dikembangkan
sejak dini dalam sosialisasi anak-anak dan diperhalus selama sosialisasi di masa
dewasa. Teoritisi interaksionisme simbolik mempunyai pandangan mengenai proses
sosialisasi yang berbeda dari pandangan sebagian besar sisiolog lain.
Pentingnya pemikiran menurut pakar interaksionisme simbolik tercermin
dalam pandangan mereka mengenai objek. Blumer membedakan tiga jenis objek:
objek fisik seperti kursi atau pohon; objek sosial seperti seorang mahasiswa atau
seorang ibu; objek abstrak seperti gagasan atau prinsip moral. Objek semata-mata
dilihat sebagai benda yang benda yang berada ”diluar sana” dalam dunia nyata; yang
terpenting adalah bagaimana cara objek itu ditetapkan oleh aktor. Objek abstrak ini
mengarah pada pandangan aliran relativitas yang menyatakan bahwa objek yang
berbeda mempunyai arti yang berbeda bagi individu yang berbeda; ”sebatang pohon
48George Ritze dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Cet. 4; Jakarta: Kencana, 2007), 289.
83
akan menjadi objek yang berbeda bagi seorang pakar botani, penebang pohon,
penyair dan tukang kebun rumah tangga. Seperti dikatakan Herbert Blumer: ”Sifat
suatu objek...terdiri dari arti yang diberikan orang yang menjadikannya sebuah objek.
3) Pembelajaran Makna dan Simbol
Dengan mengikuti Mead, teoritis interaksionisme simbolik cenderung
menyetujui pentingnya sebab musabab interaksi sosial. Dengan demikian, makna
bukan berasal dari proses mental yang menyendiri, tetapi berasal dari interaksi.
Pemusatan perhatian ini berasal dari pragmatisme Mead. Ia memutuskan perhatian
pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental yang terisolasi.
Perhatian utama bukan tertuju pada bagaimana cara mental manusia menciptakan arti
dan simbol, tetapi bagaimana cara mereka mempelajarinya selama interaksi pada
umumnya dan selama proses sosialisasi pada khususnya.
Manusia mempelajari simbol dan makna di dalam interaksi sosial. Manusia
menanggapi tanda-tanda dengan tanpa berpikir. Sebaliknya, mereka menanggapi
simbolis dengan cara berpikir. Tanda-tanda mempunyai arti sendiri (misalnya, gerak
isyarat anjing yang marah atau air bagi seseorang yang hampir mati kahausan).
”simbol adalah objek sosial yang dipakai untuk merepresentasikan (atau
menggantikan) apapun yang disetujui orang yang akan mereka representasikan”. Tak
semua objek sosial dapat merepresentasikan sesuatu yang lain, tetapi objek sosial
yang dapat menggantikan sesuatu yang lain adalah simbol. Kata-kata, benda fisik
(artefak), dan tindakan fisik (contoh, kata kapal, palang salib atau kepalan tinju)
semuanya dapat menjadi simbol. Orang sering menggunakan simbol untuk
84
mengomunikasikan sesuatu mengenai ciri mereka sendiri; misalnya, mengendarai
Roll-Royce untuk mengomunikasikan gaya hidup tertentu.
Teoritisi interaksionisme simbolik membayangkan bahasa sebagai sistem
simbol yang sangat luas. Kata-kata adalah simbol karena digunakan untuk
menggantikan sesuatu yang lain. Kata-kata membuat seluruh simbol yang lain
menjadi tepat. Tindakan, objek, dan kata-kata lain lain eksis dan hanya mempunyai
makna karena telah dan dapat dideskripsikan melalui penggunaan kata-kata.
Simbol adalah aspek penting yang memungkinkan orang bertindak menurut
cara-cara yang khas dilakukan manusia. Karena simbol, manusia ”tidak memberikan
respon secara pasif terhadap realitas yang memaksakan dirinya sendiri, tetapi secara
aktif menciptakan dan mencipta ulang dunia tempat mereka berperan”. Sebagai
tambahan atas kegunaan umum ini, simbol pada umumnya dan bahasa pada
khususnya, mempunyai sejumlah fungsi khusus bagi aktor.49
Pertama, simbol memungkinkan orang menghadapi dunia material dan
dunia sosial dengan memungkinkan mereka untuk mengatakan, menggolongkan dan
mengingat objek yang mereka jumpai disitu. Kedua, simbol meningkatkan
kemampuan manusia untuk memahami lingkungan. Daripada dibanjiri oleh banyak
stimulus yang tak dapat dibeda-bedakan, aktor dapat berjaga-jaga terhadap bagian
lingkungan tertentu saja ketimbang terhadap bagian lingkungan yang lain. Ketiga,
simbol meningkatkan kemampuan berpikir. Jika sekumpul simbol bergmbar hanya
dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara terbatas, maka bahasa akan dapat
lebih mengembangkan kemampuan diri. Keempat, simbol meningkatkan
kemampuanuntuk menyelesaikan berbagai masalah. Kelima, simbol memungkinkan
49George Ritze dan Douglas J. Goodman, Ibid, 292.
85
aktor mendahului waktu, ruang, dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui
penggunaan simbol, aktor dapat membayangkan seperti apa kehidupan dimasa lalu
atau seperti apa kemungkinan hidup di masa depan. Keenam, simbol memungkinkan
kita membayangkan realitas metafisik, seperti surga dan neraka. Ketujuh, dan paling
umum, simbol memungkinkan orang menghindar dari perbudak oleh lingkungan
mereka. Mereka dapat lebih aktif ketimbang pasif, artinya mengatur sendiri
mengenai apa yang akan mereka kerjakan.
4) Aksi dan Interaksi
Teoritisi interaksinisme simbolik memusatkan perhatian terutama pada
dampak dari makna dan simbol terhadaptindakan dan interaksi manusia. Di sini akan
bermanfaat menggunakan pemikiran Mead yang membedakan antara perilaku
lahiriyah dan perilaku tersembunyi. Perilaku tersembunyi adalah proses berpikir
yang melibatkan simbol dan arti. Perilaku lahiriyah adalah perilaku sebenarnya yang
dilakukan oleh seorang aktor. Beberapa perilaku lahiriyah tidak melibatkan perilaku
tersembunyi (perilaku karena kebiasaan atau tanggapan tanpa pikir terhadap
pasangan eksternal). Tetapi, sebagian besar tindakan manusia melibatkan kedua jenis
perilaku itu.
Simbol dan arti memberikan ciri-ciri khusus pada tindakan sosial manusia
(yang melibatkan aktor tunggal) dan pada interaksi sosial manusia (yang melibatkan
dua orang aktor atau lebih yang terlibat dalam tindakan sosial timbal-balik).
Tindakan sosial adalah tindakan dimana individu bertindak dengan orang lain dalam
pikiran. Dengan kata, dalam melakukan tindakan, seorang aktor mencoba menaksir
86
pengaruhnya terhadap aktor lain yang terlibat. Dalam proses interaksi sosial, manusia
secara simbolik mengomunikasikan arti terhadap orang lain yang terlibat.50
50George Ritze dan Douglas J. Goodman, Ibid, 294.
87
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian fenomenologis. Fenomenologis
kadang-kadang digunakan sebagai perspektif filosofi dan juga digunakan sebagai
pendekatan dalam metode kualitatif.51 Jenis penelitian ini adalah untuk mengetahui
sesuatu yang masih terjadi, dalam hal ini adalah terjadinya tradisi perkawinan
Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat.
B. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif ini digunakan karena data-data yang dibutuhkan
berupa sebaran-sebaran informasi yang tidak perlu dikuantifikasi.52 Dalam penelitian
51Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif (Cet. 22; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), 15. 52Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Malang: Fakultas Syari’ah UIN, 2005), 11.
88
ini tidak diperlukan hitungan-hitungan, karena penelitian bersifat menggambarkan
sesuatu bukannya suatu perhitungan.
C. Lokasi Penelitian
Dalam mengemukakan lokasi penelitian, yang pertama adalah menyebut
tempat penelitian, misalnya desa, komunitas atau lembaga tertentu. Kedua yang lebih
penting adalah mengemukakan alasan adanya fenomena sosial atau peristiwa seperti
yang dimaksud oleh peneliti, terjadi di lokasi tersebut.53 Penelitian ini berada di
Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon Provinsi Jawa barat, yang merupakan tempat
adanya tradisi perkawinan.
D. Sumber Data
Lazimnya di dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dan dari bahan penelitian.
1. Data primer
Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama, yaitu:
a) Sultan Abdul Gani Nata Diningrat, SE
b) drh, Bambang Irianto
c) Ibu Diah Komala
d) Ibu Hj. Inggit Ganati Emot Selamet
e) Elang Ato
53Hamidi, Metode Penelitian Kulaitatif Aplikasi Paraktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian ( Cet. 3; Malang: UMM Malang, 2005), 69-70.
89
2. Data sekunder
Sedangkan data sekunder, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan
seterusnya.54 Yang dimaksud disini adalah dokumen-dokumen berupa tulisan dari
pihak Keraton Kacirebonan, buku-buku mengenai perkawinan menurut adat,
perkawinan menurut hukum Islam.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk
mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan
muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada sipeneliti.55 Adapun
dalam hal ini wawancara dilakukan dengan sumber data pertama yaitu:
a) Sultan Abdul Gani Nata Diningrat, SE
b) drh, Bambang Irianto
c) Ibu Diah Komala
d) Ibu Hj. Inggit Ganati Emot Selamet
e) Elang Ato
2. Dokumentasi
Tidak kala penting dengan metode-metode lain, adalah metode
dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,
54Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-PRESS, 2005), 12. 55Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Cet. 8; Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 64.
90
transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan
sebagainya.56 Dokumentasi yang dimaksud adalah dokumen-dokumen berupa tulisan
dari pihak Keraton Kacirebonan dan juga buku-buku mengenai perkawinan untuk
mendukung penelitian.
F. Pengolahan dan Analisis Data
1. Editing
Sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit lebih dahulu. Dengan
perkataan lain, data atau keterangan yang telah dikumpulkan dalam record book,
daftar pertanyaan, ataupun pada interview guide perlu dibaca sekali lagi dan
diperbaiki, jika di sana-sini masih terdapat hal-hal yang salah atau yang masih
meragukan.57 Pengeditan dalam proses ini adalah terhadap data yang dikumpulkan
berupa rekaman dan catatan dari Keraton Kacirebonan dibaca dan didengarkan
supaya data yang diperoleh cukup.
2. Classifying
Klasifikasi merupakan langkah kedua dalam analisis data kualitatif.
Menyusun dan menyeleksi data yang diperoleh untuk kemudian diklasifikasikan
sesuai dengan permasalahan yang ada.58 Di sini membedakan antara data primer
dengan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara dengan informan,
sedangkan data sekunder adalah berupa catatan baik dari pihak Keraton Kacirebonan
ataupun dari buku-buku yang terkait dengan penelitian ini.
56Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006),206. 57 Nadzir, Metode Penelitian, (Cet. 6; Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 346. 58Moleong, op. cit., 290.
91
3. Verifying
Memeriksa kembali data dan informasi yang diperoleh dari lapangan agar
validitasnya terjamin. Data yang telah di dapat baik dari hasil wawancara ataupun
dari sumber tulisan diperiksa agar kebenarannya terjamin, sehingga layak untuk di
jadikan sumber di dalam penulisan karya ilmiah ini.
4. Analisis
Analisis data merupakan proses yang tidak pernah selesai. Proses analisis
data sebaiknya dilakukan segera setelah peneliti meninggalkan lapangan.59 Bertujuan
agar semua data mentah yang telah diperoleh bisa dipahami dengan mudah dan
sederhana serta bisa memecahkan permasalahan yang diteliti. Proses analisis ini tidak
bisa terlepas dari penggunaan kajian pustaka, jadi analisis di sini menjawab hasil
temuan di lapangan dengan kajian pustaka.
5. Concluding
Tahapan yang terakhir yaitu pengambilan kesimpulan dari data yang telah
diolah terlebih dahulu guna mendapatkan jawaban untuk rumusan masalah. Dan
merupakan proses yang terakhir dalam penelitian.
59Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Cet. 3; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), 66.
92
BAB IV
PEMAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Pemaparan Data
1. Keraton Kacirebonan
a. Sejarah Keraton Kacirebonan
Keraton Kacirebonan walaupun secara fisik merupakan keraton terkecil di
Cirebon, namun di dalamnya terdapat berbagai kekayaan budaya. Yang menjadi
pimpinan dari pada keraton adalah Sultan (kepala famili). Keraton Kacirebonan
terlahir pada tanggal 13 Maret 1808, sebagai Raja pertama adalah Pangeran Raja
Kanoman (Putra dari Sultan Kanoman IV). Keraton Kacirebonan berasal dari
Keraton Kanoman yang memisahkan diri akibat konflik dengan pemerintah kolonial
Belanda.
Konflik timbul akibat sikap Pangeran Raja Kanoman yang non koperasi
dengan kaum penjajah, akibatnya Pangeran Raja Kanoman kehilangan hak-hak
Kesultanannya di Keraton kanoman dan Belanda menyingkirkannya di Ambon pada
tahun 1804. Karena kekhawatiran akan timbul pergolakan di masyarakat/kaum
93
pemberontak, kemudian Belanda memulangkannya kembali ke Cirebon dan
memulihkan hak-hak Kesultanannya. Solusi pemulihan hak-hak tersebut dengan
membuat Kasultanan yang ke tiga, yakni Kasultanan Kacirebonan.
SILSILAH SULTAN KACIREBONAN
Silsilah Garis Kacirebonan
Syaikh Syarif Hidayatullah 1479-1568
Sultan Amirul Mukminin 1808-1814
Raja Madenda I 1814-1951
Raja Madenda II 1951-1914
Raja Madenda III 1914-1931
Raja Madenda IV 1931-1950
P. Sidik Arjaningrat 1950-1956
S. Harkat Natadiningrat 1960-1968
94
b. Fisik Bangunan Keraton
Fisik bangunan keraton mempunyai gaya artsitektur kolonial dan tradisional
didirikan pada tahun 1814. Fisik bangunan Keraton Kacirebonan sangat sederhana
dan kecil namun mungil fisik Keraton Kacirebonan terdiri dari:
1. Prabayaksa yaitu tempat upacara adat besar keraton dan juga sebagai tamu
agung.
2. Paseban wetan yaitu tempat jaga keraton.
3. Paseban barat (kulon) yaitu tempat jaga keraton bagian kulon.
4. Gedong ijo yaitu tempat ruang gamelan.
5. Tempat Kereta, bangunan ini sudah hancur.
6. Pringgawati, yaitu tempat para garwa dalem (istri sultan).
7. Keputren yaitu tempat para putra puteri sultan.
8. Alun-alun.
9. Masjid (langgar keramat).
10. Pintu Gerbang.
11. 2 (dua) Pintu Kliningan.
12. Dapur Jimat.
13. Bangunan Pangeran Patihan.
S. Amir Natadiningrat 1968-1997
S. Abdul Gani Natadiningrat 1997-Sekarang
95
14. Ruang gamelan kuno.
c. Peninggalan-Peninggalan Kuno
Keraton Kacirebonan masih menyimpan peninggalan peninggalan kuno,
seperti gamelan, wayang kulit, keris, pedang, kereta dan lain-lain.
d. Upacara Adat Tahunan di Keraton Kacirebonan
Suraan yakni memperingati tahun baru Islam dan Jawa jatuh pada tanggal 1
Muharrom, 10 Sura membuat bubur sura keratonan, kemudian dibagikan kepada para
famili, kerabat dan rakyat, dengan harapan atau doa untuk memperoleh kemenangan
dalam mengadapi berbagai macam cobaan dan menolak bala, seperti kemenangan
atau pertolongan Allah SWT kepada umat yang dikasihi.
Muludan dikenal dengan sebutan upacara tradisi panjang jimat,
dilaksanakan pada tanggal 12 Mulud Tahun aboge. Dalam even muludan ini banyak
masyarakat berkunjung ke Keraton untuk menyaksikan upacara adat dan silaturahmi
pada Sultan.
Rajaban yaitu pembacaan kitab berbahasa Jawa mengenai perjalanan Isra
Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Acara ini dilaksanakan tanggal 27 Rajab dan dihadiri
oleh kerabat, famili dan Magersari. Rowahan yaitu pembacaan Kitab Rowah
berkenaan acara Nisfu Sya’ban sama seperti halnya Rajaban.
Puasa, tarawehan, tadarusan, likuran beserta kerabat dan Magersari. Sholat
Ied Sultan dan Kerabat Famili melakukan solat idul fitri di langgar Kacirebonan.
Gerebek syawal setelah melakukan puasa syawalan pada tanggal 7 syawal
96
melakukan gerebek syawal bersama Sultan Kanoman di Astana Gunung Sembung
tempat pemakaman raja-raja Cirebon.
Rayagungan, melakukan sholat idul Adha di langgar Agung Kacirebonan
kemudian kerabat Kacirebonan menuju Astana Gunung Sembung untuk bersama-
sama Sultan Kanoman berziarah ke makam Sunan Gunung Jati.
e. Seni Budaya Keraton Kacirebonan
Tari Topeng, tari ketokohan wayang dan lain sebagainya. Keraton mampu
mengembangkan seni tari dengan baik. Hal ini diwujudkan banyaknya penggemar
dari kalangan SD (Sekolah Dasar) sampai dengan remaja bahkan turis manca negara
untuk belajar di Keraton Kacirebonan.
Seni Karawitan, seni menabuh alat musik dari perunggu, nada pelog,
slendro dan denggung. seni ukir dan lukis kaca, ukir-ukiran wadasan atau mega
mendung masih mewarnai corak seni ukir dan lukis kaca Cirebon. Keraton banyak
kader yang bisa dibidang seni ini. Seni wayang wong, seni drama dan tarian,
perkembangan seni tari di Kacirebonan. Keraton Kacirebonan mampu
mengapresiasikan sendratari wayang wong, biasanya menampilkan lakon
Mahabarata atau Ramayana.
Seni wayang kulit dan sungging wayang, seni pertunjukan wayang yang
terbuat dari kulit. Lakon yang diambil dari Mahabarata, Ramayana dan karangan.
Dan juga seni batik, di Keraton Kacirebonan dan Kanoman dahulu terdapat orang-
orang yang ahli di bidangnya (pembatik khas Keraton).
97
2. Prosesi Perkawinan di Keraton Kacirebonan
Dari hasil penelitian dilapangan tentang prosesi perkawinan di Keraton
Kacirebonan, dapat diperoleh jawaban dari rumusan masalah yang penulis ingin
ketahui melalui penelitian ini. Dalam hal ini penulis mewawancarai informan
pertama dan juga berdasarkan dokumentasi berupa catatan tentang perkawinan yang
diberikan oleh pihak Keraton Kacirebonan sendiri. Prosesi perkawinan Keraton
Kacirebonan di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut:
a. Lamaran
Lamaran ini dilakukan oleh pihak pengantin pria ditujnjukan kepada
orangtua mempelai puteri dengan disaksikan sesepuh. Ketika lamaran biasanya
disertakan barang bawaan berupa perlengkapan pakaian wanita beserta perhiasan
emas, perlengkapan dapur komplit, daun sirih, sejumlah uang tunai.60 Sedangkan
ketika wawancara dengan Ibu Hj. Inggit Ganati Emot Selamet, beliau berumur 55
tahun sebagai penasehat di HARPI dan ketua IPHI, sedangkan dikeraton beliau
sebagai penata rias pengantin. Ketika penulis menanyakan awal prosesi perkawinan,
beliau menjawab:
Untuk pertama pengantin sebelum pernikahan sehari sebelum pernikahan
biasanya satu minggu sebelum pernikahan e dari pihak laki-laki datang menjegog,
menjegog bahasa Cirebon itu datang melamar.61
Sedangkan informan lainnya mengatakan prosesi yang pertama juga
lamaran, tetapi ada perbedaan istilah dalam pengunaan kata ”lamaran”, untuk Sultan
Abdul Gani Nata Diningrat, beliau berumur 35 tahun dan sebagai sultan. Beliau
60Yusuf Dendrabrata dan Kusna, Pagelaran dan Loka Karya Upacara Adat Pengantin Keraton Cirebon ( Cirebon: 1991), 12. 61Inggit Ganati Emot Selamet, Wawancara (Cirebon, 29 Maret 2008).
98
sendiri menggunakan kata ”lamaran” bukan kata ”menjegog”, seperti hasil
wawancaranya sebagai berikut:
“Menurut saya perkawinan tata tata cara perkawinan Keraton Kacirebonan
mempunyai tata cara sendiri diantaranya prosesi dari awal seperti lamaran ya
lamaran”62
Apabila lamaran resmi telah diterima oleh pihak mempelai puteri, maka
utusan mempelai pria akan menanyakan kapan tanggal kepastian perkawinan bisa
dilangsungkan, dan pukul berapa mempelai pria bisa dijemput.
b. Siraman
Sebelum acara akad nikah di Cirebon biasanya kedua mempelai diwajibkan
melaksanakan siraman dirumah mempelai puteri. Tujuan siraman bersama ini agar
kedua belah pihak bisa saling memperhatikan apakah diantara kedua mempelai itu
mempunyai tanda-tanda yang jelek. Pelaksanaan acara ini diberitahukan kepada
pihak calon pengantin pria dengan cara mengirimkan 2 (dua) orang utusannya untuk
menjemput calon pengantin pria tersebut.63
Sedangkan hasil dari wawancara dengan Ibu Hj. Inggit Ganati Emot
Selamet, beliau mengatakan seperti ini:
”Siraman yang pada penganten Cirebon itu tidak sama dengan pengantin
yang lainnya kalau yang lainnya itu biasanya siraman sendiri-sendiri tapi khusus
untuk pengantin Cirebon kebesaran atau kepangeranan itu dua penganten walaupun
belum nikah sudah disatukan tapi bukan mandi sendiri semuanya memandikan”64
62Abdul Gani Nata Diningrat, Wawancara (Cirebon, 31 Maret 2008). 63Yusuf Dendrabrata dan Kusna, Op.Cit.13. 64Inggit Ganati Emot Selamet, Wawancara (Cirebon, 29 Maret 2008).
99
Dan Sultan Abdul Gani Nata Diningrat mengatakan hal yang sama, setelah
lamaran selesai dilanjutkan dengan prosesi siraman yang diadakan di kediaman calon
mempelai putri, adapun hasil wawancaranya sebagai berikut:
”Ya siraman dalam siraman tentunya banyak acara-acara dari awal sampai
akhir seperti persiapan dan sarana seperti persiapan sarana sebuah guci keramik ya
berisikan air tujuh sumur yang telah direndami pula dengan setangkai mayang
kemudian nomer duanya sebuah bangunan cungkup yang konstruksinya terbuat dari
bambu dan banyak pernik-pernik lainnya”65
Yang diperlukan dalam prosesi ini adalah, sebuah guci keramik/jambangan
keramik, berisikan air tujuh sumur/tasik, yang telah direndami pula dengan setangkai
mayang (bunga pinang), daun andong hijau/andongmerah, daun puring dan bunga
tujuh rupa. Diperlukan sebuah bangunan “cungkup” konstruksinya terbuat dari
bambu dengan dihiasi daun kelapa muda (janur), daun beringin, daun tebu wulung
(tebu hitam), daun pinang, kelapa gading, kelapa hijau, daun suji dan daun puring.
Sebuah pedupan untuk membakar dupa/kemenyan. Juga disediakan dua buah kursi
yang kesemuanya diletakan di dalam ruangan cungkup itu tadi. Bangunan cungkup
itu biasanya berbentuk persegi empat dengan ukuran 2x2 m, bagian atap biasanya
berbentuk kubah masjid.
Untuk pelaksanaannya kedua calon pengantin didudukan di dalam cungkup
disanding dengan jambangan/guci tadi. Calon pengantin puteri dengan rambut terurai
dan duduk disebelah kiri pria. Di sebelah kiri calon pengantin puterilah letak
guci/jambangan itu. Calon pengantin puteri hanya mengenakan kain panjang sampai
diatas payudaranya. Kain panjang ini yang sudah pernah dipakai, artinya bukan baru,
65Abdul Gani Nata Diningrat, Wawancara (Cirebon, 31 Maret 2008).
100
menurut bahasa Cirebon “kain luson” (asal kata dari “lusu” artinya bekas). Dada
bagian atas ditutup dengan kain putih/mori, pertanda ia masih suci. Begitu pula sang
calon pria mengenakan sarung batik dengan dada ditutup kain putih, pertanda masih
dalam keadaan suci pula.
Apabila siraman ini telah selesai, maka pakaian bekas mandi kedua
mempelai dibuang. Selama memandikan juru rias selalu membalurkan lulur kebadan
kedua mempelai agar keduanya setelah mandi akan mendapatkan kulit yang halus
dan bau badan yang sedap. Para panisepuh, juga mencoretkan pada kulit pemuda-
pemudi yang lain, agar cepat ketularan. Selama acara ini berlangsung biasanya
diiringi alunan gamelan dengan lagu moblong.
c. Parasan Pengantin
Setelah prosesi siraman selesai, dilanjutkan denagn prosesi parasan
pengantin. Parasan ini khusus untuk calon mempelai pengantin putri. Calon
pengantin puteri diparas (dipotong) rambut, caranya oleh ahli rias rambut yang diatas
dahi sedikit disisir kebawah dicukur atau digunting pendek sepanjang 2 cm. selebar
ukuran "ponian", sedangkan rambut cethung di kanan kirinya dibiarkan terlebih
dahulu. Sedangkan rambut diatas dahi yang dipotong dinamai "parasan keteb". Paras
dari kata aras, artinya mencium (ambung). Yang dimaksud umat Islam, apabila
menunjukan kasih sayang terhadap istrinya dengan mencium bagian parasan (dahi)
itu.66
Untuk hasil wawancara dengan informan yaitu Ibu Hj. Inggit Ganati Emot
Selamet dan juga Sultan Abdul Gani Nata Diningrat, mengatakan hal sama, bahwa
66Yusuf Dendrabrata dan Kusna, Ibid, 13.
101
setelah prosesi siraman selesai dilakukan parasan pengantin yang dilakukan oleh juru
rias pengantin.
d. Akad Nikah
Akad nikah merupakan prosesi yang tidak bisa ditinggalkan, karena puncak
dari perkawinan adalah akad nikah. Pada saat mempelai pria akan dinikahkan oleh
Penghulu, ibu dan bapaknya tidak diperkenankan menyaksikan acara ini. Sebelum
mempelai duduk dihadapan penghulu, pertama-tama keris mempelai pria harus
dilepas (sebab keris pada jaman dahulu sama dengan wakil mempelai). Selanjutnya
mempelai pria ini badannya ditutup dengan kain batik milik orang tua mempelai
puteri (disebut robyong). Duduknya mempelai pria harus dengan tikar baru, dan
disebelah mempelai harus ada nasi tumpeng komplit dengan panggang ayam dan
pisang raja. Ijab dan qabul, talaq dan taliq telah selesai dilaksanakan di depan
penghulu, maskawinpun telah selesai dilaksanakan kemudian mempelai pria
menandatangani surat nikah dan pada saat itulah mempelai puteri dipersilahkan
keluar untuk membubuhi tanda tangan pada surat nikah.67
Dari hasil wawancara juga membenarkan hal tersebut, prosesi akad nikah
masuk di dalam prosesi perkawinan di Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon
Provinsi Jawa Barat.
e. Upacara "Panggih" (Temu)
Setelah akad nikah kedua pengantin dipertemukan dalam prosesi panggih
atau bertemunya kedua pengantin. Acara dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara
67Yusuf Dendrabrata dan Kusna, Ibid,13.
102
adat, catatan keris mempelai pria harus dilepas dahulu. Biasanya dalam upacara
panggih ini diikuti dengan prosesi yang lainnya. Ketika penulis bertanya kepada Ibu
Hj. Inggit Ganati Emot Selamet, prosesi apa saja yang ada setelah akad nikah, beliau
menjawab:
”Iya setelah akad nikah baru dijemput kemudian setelah dijemput e terus
mengadakan itu apa sih e menginjak telur iya kemudian sawer kemudian e
memberikan pug-pugan di situ ada pug-pugan yang itu daun rumbia atau daun kelapa
yang sudah tua di berikan ke ubun-ubun dua pengantin oleh ayah ibu masing-
masing”.68
Jawaban yang sama juga diberikan oleh Ibu Diah Komala yang berumur 37
tahun, beliau sendiri sebagai generasi penerus dari tradisi yang ada di Keraton
Kacirebonan yang didalamnya termasuk tradisi perkawinan. Ketika penulis
menanyakan tentang gambaran umum mengenai prosesi apa saja yang dilakukan
didalam perkawinan Keraton Kacirebonan. Beliau memberikan jawabannya sebagai
berikut:
”Upacara menuju pelaminan ya upacara menuju pelaminan itu yang pertama mempelai putri ketika pengantin datang itu sungkem keapda mempelai prianya kemudian itu biasanya mempelai pria berdiri kemudian mempelai wanitanya sungkem kemudian yang kedua mempelai pria menginjak telur diatas pipisan itu di lapisi dengan kain lapuk pipisannya setelah menginjak telur mempelai pria membasuh e mempelai wanita membasuh kaki mempelai pria dengan air yang sudah di sediakan kemudian kedua mempelai jongkok di hadapan sesepuh untuk menerima pug-pugan pug-pugan ini atap rumbia yang lapuk artinya simbol yang tersirat pada upacara ini adalah pada orangtua agar kedua mempelai senantiasa rukun dan bahagia sampai kakek dan nenek ini yang memberikan pug-pugan ini biasanya dari mempelai pria dulu ya mempelai pria e pihak orangtuanya orangtua mempelai pria kepada kedua mempelai kemudian gantian pihak dari mempelai putri itu memberikan pug-pugan kepada kedua mempelai kemudian selanjutnya sungkem kepada kedua orangtua jadi kedua mempelai ini di bimbing untuk sungkem yang pertama kepada orangtua mempelai pria kemudian bergantian sungkem kepada
68Inggit Ganati Emot Selamet, Wawancara (Cirebon, 29 Maret 2008).
103
kedua orang tua mempelai putri nah kemudian setelah acara sungkem keduanya di dudukan di atas pelaminan dan mulai acara upacara adat yang disebut e makan adep-adep sekul adep-adep sekul adep-adep sekul nah itu emm dengan lauk burung merpati sepasang burung merpati yang di goreng”69
Ketika pemberian nasehat oleh para sesepuh biasanya ditutup dengan
pemberian doa dan restu dari para hadirin dan dilanjutkan dengan acara hiburan
tradisional berupa tarian Bedhaya Rimbe dengan iringan gamelan laras pelog.
f. Ngunduh Mantu
Upacara ngunduh mantu dilakukan oleh pihak keluarga pengantin pria.
Upacara ngunduh mantu yaitu pindahnya kedua mempelai dari rumah mempelai
puteri ke rumah mempelai pria.70
3. Makna Yang Terkandung Dalam Setiap Prosesi Perkawinan
Setiap prosesi perkawinan yang berlangsung di Keraton Kacirebonan tidak
semuanya mengandung makna. Hanya beberapa prosesi saja yang memiliki makna,
prosesi yang memiliki didalam perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Lamaran
Lamaran mempunyai makna yang tinggi dan begitu penting, hal tersebut
bisa dilihat dari persiapan pihak calon pengantin pria untuk melamar. Begitu banyak
barang yang dibawah. Artinya dari barang bawaan tersebut dapat mencerminkan
adanya makna yang terkandung didalamnya. Lamaran mempunyai makna bahwa
disitulah merupakan awal hidup seseorang untuk hidup secara mandiri. Lamaran
69Diah Komala, Wawancara (Cirebon: 1 April 2008). 70Yusuf Dendrabrata, Kusna, Op.Cit, 14.
104
merupakan pintu gerbang gerbang untuk melepaskan ikatan dari orangtua untuk
membuat suatu ikatan baru bagi dirinya sendiri.71
b. Siraman
Berdasarkan dokumentasi yang diberikan oleh pihak Keraton Kacirebonan
sendiri kepada penulis, makna yang terkandung dalam prosesi siram tawandari
adalah untuk membuang seluruh noda, bisa racun/bisa dan penyakit, sehingga
menimbulkan/melahirkan bentuk yang diinginkan, ialah suci bersih bagaikan
gemilangnya cahaya kesucian itu. Hal itu dapat kita maklumi bahwa jenjang dekade
perkawinan itu bagi seseorang itu adalah merupakan suatu dekade baru untuk
mencapai tujuan suci. Yaitu tugas untuk mengembangkan keturunannya.72
Untuk hasil wawancara dengan kakak dari Sultan Abdul Gani Nata
Diningrat yaitu Elang Ato, ada perbedaan tentang makna prosesi dari siraman, beliau
menjawab sebagai berikut:
”Makna siraman itu terbagi jadi dua bagian makna dhohir dan makna batin
makna dhohir siraman yaitu menetapkan jiwa dan raga si mempelai laki-laki atau
perempuan untuk membangun rumah tangga yang harmonis atau mawadah
warahmah kedua itu makna batin sesungguhnya ngalah barokah doa dari para alim
ulama dan sesepuh yang tentunya jarang di dapatkan sebelumnya.”73
Sedangkan makna yang sama dengan dokumentasi tentang prosesi ini
diberikan oleh Sultan Abdul Gani Nata Diningrat, beliau memberikan jawaban ketika
penulis bertanya, beliau menjawab:
71HARPI, Buku Pelajaran Tata Rias Pengantin Cirebon Kebesaran,(Cirebon: Harpi Melati, 1995), 10. 72Yusuf Dendrabrata, Kusna, Op.Cit, 12. 73Elang Ato, Wawancara (Cirebon: 1April 2008).
105
”Siram dari bahasa kramanya menjadi mandi tawandari merupakan kata
majemuk dari tawa semuanya berasal dari bahasa Jawa Kawi tawar itu mengandung
efek sampingan dianggap bersih dari bisa racun bisa dan racun atau bisa terus banyu
tawa air mentah tidak terasa asin anta andari melahirkan bentuk warna terus
tawandari menjadi satu kesatuan kata e arti idiom berarti membersihkan dari noda.”74
c. Parasan Pengantin
Makna parasan berdasarkan dokumentasi berupa catatan yang didapatkan
oleh penulis adalah menunjukan kasih sayang terhadap istrinya dengan mencium
bagian parasan (dahi) itu. Dan begitu pula sebaliknya sang isteri menunjukan kasih
sayang terhadap suaminya, apabila sang suami akan pergi jauh keberangkatannya
maupun kedatangannya kembali, seyogyanya mencium kedua belah tangan
suaminya, berarti menandakan satu hati dan seia sekata dan saling mencintai.
Potongan-potongan rambut halus yang dikerik biasanya dikumpulkan dan
dibungkus dengan kain mori dan dikubur di :paduraksa” atau pojok sebelah kiri
bagian belakang rumah tempat tinggal, menurut kepercayaan orang tua agar
puterinya ulet mengurus rumah tangga.75
Makna yang berbeda terhadap prosesi parasan pengatin ini diberikan oleh
Elang Ato, beliau memberikan makna parasan pengantin ini ketika penulis bertanya,
beliau menjawab:
74Abdul Gani Nata Diningrat, Wawancara (Cirebon, 31 Maret 2008). 75Yusuf Dendrabrata, Kusna, Op.Cit, 13.
106
“Makna kerik atau parasan tiada lain adalah pengikat tali batin antara
pengantin pria ataupun wanita biar lebih mantep maksudnya secara manunggal
secara lahir batin.”76
d. Menginjak Telor.
Untuk prosesi menginjak telor ini atau dalam bahasa Cirebonnya adalah
Nincak Endog merupakan prosesi yang dilakukan setelah akad nikah selesai. Adapun
proses adalah mempelai pengantin pria menginjak telor diatas pipisan dilapisi dengan
kain lapuk. Setelah selesai mempelai pengantin puteri membasuh kaki mempelai pria
dengan air yang telah disediakan.
Makna menginjak telor penulis dapatkan ketika wawancara dengan Ibu Hj.
Inggit Ganati Emot Selamet, beliau memberikan maknanya sebagai berikut:
“Kalau nincak endog itu bercampurnya kedua insan menjadi satu karena itu
terlihat pada putih dan kuning ya itu e karena sudah menjadi bagian suami istri jadi e
disitu lambang dari percampuran kedua insan.”77
e. Pug-pugan
Kedua mempelai menerima pug-pugan dari kedua orangtua masing-masing.
Pug-pugan ini merupakan atap (daun) rumbia yang lapuk. Maksudnya adalah agar
kedua mempelai senantiasa rukun dan bahagia sampai kakek dan nenek atau sampai
batas akhir. Makna yang sama juga diberikan oleh Ibu Hj. Inggit Ganati Emot
Selamet. Beliau memberikan jawabannya sebagai berikut:
76Elang Ato. Wawancara (Cirebon: 1April 2008). 77Inggit Ganati Emot Selamet, Wawancara (Cirebon, 29 Maret 2008).
107
“Pug-pugan di situ ada pug-pugan yang itu daun rumbia atau daun kelapa
yang sudah tua di berikan ke ubun-ubun dua pengantin oleh ayah ibu masing-masing
yang artinya pug-pugan akan memberikan doa supaya mereka hidup sampai tua aki
nini artinya itu.”78
f. Sekul Adep-adep
Setelah selesai menerima pug-pugan, kedua mempelai pengantin
selanjutnya makan nasi sekul adep-adep dengan lauk burung merpati, diambil burung
merpati karena mempunyai arti agar kedua mempelai setia satu sama lain.79
Mengambil filsafat merpati jantan yang hanya memiliki satu pasangan merpati
betina.
Terdapat perbedaan pada hasil wawancara dengan informan Ibu Hj. Inggit
Ganati Emot Selamet dengan Ibu Diah Komala tentang makan nasi sekul adep-adep
ini, ibu Inggit panggil akrabnya menyebut dengan nasi rendeng bukan sekul adep-
adep. Adapun hasil wawancaranya adalah sebagai berikut:
”Ya itu suapan terakhir orangtua cinta kasih orangtua kepada anaknya ya
sampai disitu mengenai memberi dulangan waktu kecil di dulang terus nah sekarang
sudah gede-gede sudah nikah dibawah sama suaminya suaminya yang bertanggung
jawab ia gitu jadi orangtua memberikan suapan terakhir ia.’80
Untuk Ibu Diah Komala sendiri memberikan keterangan seperti ini:
”Upacara adat yang disebut e makan udep-udep sekul adep-adep sekul adep-adep sekul nah itu dengan lauk burung merpati sepasang burung merpati yang di goreng nah mengapa di pilih burung merpati itu mengandung arti agar mempelai dalam membina rumah tangganya senantiasa setia satu sama lain kemudian 78Inggit Ganati Emot Selamet, Wawancara (Cirebon, 29 Maret 2008). 79Yusuf Dendrabrata, Kusna, Op.Cit, 14. 80Inggit Ganati Emot Selamet, Wawancara (Cirebon, 29 Maret 2008).
108
mengambil filsafat dari merpati jantan yang hanya hanya memilih satu pasangan merpati betina itu biasanya biasanya kemudian ini ada sebenarnya menarik jadi balapan rebutan nasi nasih adep-adep sekul ini satu dua tiga kemudian berebut nah konon katanya yang mendapatkan nasih itu yang menang itu e bukan kelak di kemudian hari penghasilannya bertambah lebih besar dari pada yang kalah e iya itu.” 81
Untuk drh. Bambang Irianto sendiri selaku pengageng penata budaya dari
Keraton Kacirebonan yang berumur kurang lebih 45 tahun mengatakan bahwa untuk
mengetahui tentang prosesi dan makna yang terkandung didalam setiap prosesi
perkawinan, menganjurkan kepada penulis untuk membaca dokomentasi berupa
catatan perkawinan yang diberikan oleh pihak Keraton sendiri, adapun hasil
wawancara ketika penulis menanyakan mengenai tradisi perkawinan di Keraton
Kacirebonan adalah sebagai berikut:
”E saya kira untuk prosesi pengantin dari adat ya Keraton Kacirebonan ya saya sedikit menjelaskan saja karena sesungguhnya anda sudah bisa membaca sendiri dari buku panduan Pagelaran Dan Loka Karya Upacara Adat Pengantin Keraton Cirebon yang didalamnya itu di dalamnya itu memuat tentang upacara adat dan tata rias pengantin Keraton Kacirebonan dan Kanoman di Cirebon dan sudah di susun oleh Bapak Pangeran Yusuf Dendabrata dengan Bapak Pangeran Kusna Pangeran Yusuf Dendabrata adalah pati dalam Keraton Kacirebonan dan Pangeran Kusna adalah seorang sesepuh dari Keraton Kanoman.”82 g. Ngunduh Mantu
Sebagaimana diketahui secara umum, biasanya pengantin putri akan
dibawah oleh pengantin pris dalam hal ini adalah suaminya. Ngunduh mantu
mempunyai makna bahwa kehidupan seorang anak wanita akan berpindah
tanggungjawab dari kedua orantuanya kepada suaminya.83
81Diah Komala, Wawancara (Cirebon: 1 April 2008). 82Bambang Irianto, Wawancara (Cirebon: 30 Maret 2008). 83HARPI, Ibid, 14.
109
Dalam hal ini, baik untuk prosesi dan makna yang terkandung didalam
setiap prosesi Perkawinan Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat
yang paling setuju dengan dokumen berupa catatan yang ditulis oleh Pangeran
Dendabrata dan Pangeran Kusna adalah dokter Bambang.
B. Analisis
1. Lamaran
Lamaran merupakan awal dari prosesi perkawinan, baik dari tradisi Islam,
tradisi Jawa dan tradisi Sunda juga ada proses lamaran ini. Dalam perkawinan Islam
biasanya dikenal dengan istilah meminang. Dalam hal ini yang membedakan dengan
yang lainnya adalah, prosesi lamaran yang ada di Keraton Kacirebonan biasanya
disertai dengan barang bawaan, biasanya berupa perlengkapan pakaian wanita
beserta perhiasannya, perlengkapan dapur komplit, daun sirih dan juga sejumlah
uang dan juga langsung penetapan kapan tanggal kepastian perkawinan
dilangsungkan.
Dalam tradisi perkawinan Islam, disaat melamar tidak membawa barang-
barang bawaan. Untuk tradisi perkawinan Jawa, barang bawaan diberikan setelah
adanya kepastian lamaran tersebut diterima, istilah dalam Jawa adalah piningset dan
serahan. Sedangkan pada tradisi perkawinan Sunda, pada saat melamar tidak
membawa barang bawaan, penyerahan barang bawaan dilakukan setelah melalui
beberapa prosesi terlebih dahulu, seperti siraman, mencuci kaki, pengajian,
melepaskan gendongan dan mengerik, setelah semua prosesi tersebut dilaksanakan
barulah pemberian barang seserahan dilakukan.
110
2. Siraman
Sebelum acara akad nikah biasanya kedua mempelai diwajibkan
melaksanakan siraman di rumah mempelai puteri. Tujuan siraman bersama ini agar
kedua belah pihak bisa saling memperhatikan apakah antara kedua mempelai itu
mempunyai tanda-tanda yang jelek.
Untuk pelaksanaannya kedua calon pengantin didudukan di dalam cungkup
disanding dengan jambangan/guci tadi. Calon pengantin puteri dengan rambut terurai
dan duduk disebelah kiri pria. Di sebelah kiri calon pengantin puterilah letak
guci/jambangan itu. Calon pengantin puteri hanya mengenakan kain panjang sampai
diatas payudaranya. Kain panjang ini yang sudah pernah dipakai, artinya bukan baru,
menurut bahasa Cirebon “kain luson” (asal kata dari “lusu” artinya bekas). Dada
bagian atas ditutup dengan kain putih/mori, pertanda ia masih suci. Begitu pula sang
calon pria mengenakan sarung batik dengan dada ditutup kain putih, pertanda masih
dalam keadaan suci pula.
Makna dari prosesi ini adalah untuk membuang seluruh noda, bisa
racun/bisa dan penyakit, sehingga menimbulkan/melahirkan bentuk yang diinginkan,
ialah suci bersih bagaikan gemilangnya cahaya kesucian itu. Dan juga makna
siraman itu terbagi jadi dua bagian, yang pertama makna dhohir dan yang kedua
makna batin. Makna dhohir siraman yaitu menetapkan jiwa dan raga si calon
mempelai laki-laki dan perempuan untuk membangun rumah tangga yang harmonis
atau mawadah warahmah. Makna batin sesungguhnya mencari barokah doa dari para
alim ulama dan keluarga.
Pada tradisi Islam tidak ada prosesi siraman, untuk tradisi perkawinan Jawa
diadakan prosesi siraman dengan tujuan untuk menolak bala. Sedangkan untuk
111
tradisi perkawinan Sunda, prosesi ini juga diadakan. Tapi dibalik itu ada beberapa
makna yang terkandung di dalamnya. Secara filosofi, siraman itu dimaksudkan
sebagai upaya penyucian diri lahir batin sebelum memasuki mahligai perkawinan.
3. Parasan Pengantin
Parasan ini dikhususkan untuk calon pengantin puteri, parasan atau ngerik
yaitu untuk membuang rambut yang ada di dahi sedikit dan juga pada bagian
belakang. Parasan ini dilaksanakan oleh juru rias dan disaksikan oleh orangtua dan
kerabat dekat.
Makna dari prosesi ini adalah apabila menunjukan kasih sayang terhadap
istrinya dengan mencium bagian parasan (dahi) itu. Dan begitu pula sebaliknya sang
isteri menunjukan kasih sayang terhadap suaminya, ketika suami akan pergi jauh,
sepantasnya seorang istri mencium kedua belah tangan suaminya, dan juga berarti
menandakan satu hati dan seia sekata dan saling mencintai. Makna lain dari prosesi
ini juga adalah sebagai tali pengikat batin antara calon pengantin pria ataupun wanita
biar lebih mantep secara manunggal dan secara lahir batin.
Tradisi perkawinan Islam tidak ada prosesi parasan, ini juga sama dengan
tradisi perkawinan Jawa. Untuk tradisi perkawinan Sunda, parasan juga dilakukan
yang dilaksanakan oleh juru rias.
4. Akad Nikah
Akad nikah merupakan hal yang terpenting dalam suatu perkawinan, semua
tradisi yang beragama Islam dalam perkawinan akad nikah wajib. Untuk akad nikah
di Keraton Kacirebonan, orangtua dari mempelai pria tidak diperkenankan
112
menyaksikan acara ini. Keris yang dipakai juga harus dilepas, karena keris pada
zaman dahulu sama dengan wakil mempelai. Mempelai pria ini badannya ditutup
dengan kain batik milik orang tua mempelai puteri (disebut robyong). Duduknya
mempelai pria harus dengan tikar baru, dan disebelah mempelai harus ada nasi
tumpeng komplit dengan panggang ayam dan pisang raja.
5. Upacara "Panggih" (Temu)
Acara panggih atau ketemu merupakan kegiatan sesudah akad nikah,
karena keduanya sudah sewajarnya dipertemukan karena sudah resmi menjadi suami
istri, untuk Keraton Kacirebonan, mempelai pria harus melepas dahulu kersi yang
digunakannya. Kemudian mempelai puteri harus melakukan sungkem kepada
mempelai pria. Untuk prosesi ini, didalam tradisi perkawinan Islam dan Sunda tidak
mengenal acara ini. Sedangkan pada tradisi perkawinan Jawa, upacara panggih
diadakan.
6. Menginjak Telor
Prosesi menginjak telor dalam tradisi perkawinan Islam dan Jawa tidak
ditemui hal tersebut. Sedangkan untuk tradisi di Keraton Kacirebonan, prosesi ini
dilaksanakan. Untuk pelaksanaannya mempelai pria menginjak telur diatas pipisan,
dilapisi dengan kain lapuk. Makna dari prosesi ini adalah bercampurnya kedua insan
menjadi satu karena pada telor terdapat putih dan kuning yang menjadi satu, jadi
disitu merupakan lambang dari percampuran kedua insan yang telah menikah.
Setelah selesai, pengantin puteri membasuh kaki mempelai pria dengan air.
113
Sedangkan menginjak telor untuk tradisi perkawinan Sunda dilaksanakan,
karena telur adalah lambang segala awal kehidupan. Dari telurlah nantinya muncul
daging, darah, dan nyawa. Lebih jauh, telur adalah simbol kesuburan atau yang lebih
khusus lagi lambang keperawanan. Sebagai simbol awal kehidupan, maka kedua
orang tuanya harus senantiasa berusaha menjaganya. Telor itu harus dijaga jangan
sampai pecah atau berantakan sebelum saatnya menetas. Bagi seorang gadis, buah
keperawanan haruslah selalu dijaga.
7. Pug-Pugan
Dalam tradisi perkawinan Islam, Jawa dan Sunda tidak mengenal prosesi
ini. Prosesi ini dilaksanakan dalam tradisi perkawinan Keraton Kacirebonan. Untuk
pelaksanannya kedua mempelai jongkok dihadapan sesepuh untuk menerima "pug-
pugan". Pug-pugan adalah daun rumbia atau daun kelapa yang sudah tua, kemudian
diberikan ke ubun-ubun dua pengantin oleh kedua orangtua masing-masing.
Maknanya adalah pemberian dari kedua orangtua (doa) supaya mereka hidup sampai
tua kakek dan nenek.
8. Makan Nasi
Untuk prosesi ini juga, tradisi Islam, Jawa dan Sunda tidak mengenal.
Prosesi dilanjutkan dengan, kedua mempelai makan ”Sekul Adep-Adep" dengan lauk
burung merpati sepasang yang digoreng. Dipilih burung merpati karena mengandung
arti agar kedua mempelai dalam membina rumah tangganya sukses. Karena burung
merpati jantan biasanya hanya memiliki satu pasangan dari merpati betina. Makna
lain dari nasi ”Sekul Adep-Adep” ini adalah ketika nasi tersebut diperebutkan oleh
114
kedua mempelai dan yang mendapatkan lebih banyak, maka kelak di kemudian hari
akan mendapatkan rizki lebih banyak.
9. Pemberian Nasehat
Pemberian nasehat pada perkawinan Sunda dilakukan pada saat acara
pengajian yang dilakukan sebelum akad nikah. Sedangkan pemberian nasehat pada
tradisi perkawinan di Keraton Kacirebonan dilaksanakan setelah akad nikah selesai.
Pemberian nasehat ini dilakukan oleh kedua orangtua mempelai, biasanya setelah
pemberian nasehat selesai, acara ini ditutup dengan pembacaan doa.
10. Ngunduh Mantu
Prosesi ngundu mantu dilakukan didalam tradisi perkawinan Sunda dan
Keraton Kacirebonan. Upacara ngunduh mantu dilakukan oleh pihak keluarga
pengantin pria. Upacara ngunduh mantu yaitu pindahnya kedua mempelai dari rumah
mempelai puteri ke rumah mempelai pria. Acara pada dasarnya untuk memberikan
pengalaman pada pengantin putri supaya bisa menyesuaikan dilingkungan keluarga
pengantin pria.
115
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah dipaparkan oleh peneliti di atas tentang
tradisi perkawinan Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon Jawa Barat, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Prosesi Perkawinan di Keraton Kacirebonan
a) Lamaran dilakukan oleh pihak dari keluarga pria dengan di saksikan oleh
sesepuh. Lamaran tersebut terdiri dari perlengkapan pakaian wanita beserta
perhiasan emas, perlengkapan dapur komplit, daun sirih, sejumlah uang tunai.
b) Siraman, sebelum acara akad nikah di biasanya kedua mempelai diwajibkan
melaksanakan siraman dirumah mempelai puteri.
c) Parasan, calon pengantin puteri diparas (dipotong) rambut, rambut yang diatas
dahi sedikit disisir kebawah dicukur atau digunting pendek sepanjang 2 cm.
d) Akad nikah, tetapi pada saat mempelai pria akan dinikahkan oleh Penghulu, ibu
dan bapaknya tidak diperkenankan menyaksikan acara ini. Ijab dan qabul, talaq
dan taliq telah selesai dilaksanakan didepan penghulu.
116
e) Upacara panggih merupakan acara kedua mempelai pengantin dipertemukan.
f) Pemberian nasehat oleh kedua orangtua untuk kedua mempelai.
g) Upacara ngunduh mantu dilakukan oleh pihak keluarga pengantin pria. Upacara
ngunduh mantu yaitu pindahnya kedua mempelai dari rumah mempelai puteri ke
rumah mempelai pria.
2. Makna Yang Terkandung didalam Setiap Prosesi Perkawinan
a) Lamaran, mempunyai makna bahwa disitulah merupakan awal hidup seseorang
untuk hidup secara mandiri. Lamaran merupakan pintu gerbang gerbang untuk
melepaskan ikatan dari orangtua untuk membuat suatu ikatan baru bagi dirinya
sendiri.
b) Siraman, makna dari prosesi ini adalah untuk membuang seluruh noda, bisa
racun/bisa dan penyakit. Dan makna dhohir siraman yaitu menetapkan jiwa dan
untuk membangun rumah tangga yang harmonis atau mawadah warahmah.
Makna batin sesungguhnya mencari barokah doa dari para alim ulama dan
keluarga.
c) Parasan, makna dari prosesi ini adalah menunjukan kasih sayang terhadap
istrinya dengan mencium bagian parasan (dahi) itu, makna lain dari prosesi ini
juga adalah sebagai tali pengikat batin antara calon pengantin pria ataupun wanita
biar lebih mantep maksudnya secara manunggal dan secara lahir batin.
d) Menginjak telor merupakan lambang keduanya telah menyatu, karena di dalam
telor terdapat putih dan kunging yang menjadi satu.
117
e) "Pug Pugan" (atap rumbia yang lapuk) dari kedua orangtua, makna simbolis
yang tersirat pada upacara ini adalah agar kedua mempelai senantiasa rukun dan
bahagia sampai tua (sampai batas akhir).
f) Makan nasi ”Sekul adep-adep" dengan lauk burung merpati sepasang yang
digoreng. Burung merpati mengandung arti agar kedua mempelai dalam
membina rumah tangganya sukses.
g) Ngunduh Mantu, mempunyai makna bahwa kehidupan seorang anak wanita akan
berpindah tanggungjawab dari kedua orantuanya kepada suaminya.
B. Saran-saran
Ada beberapa saran yang perlu peneliti kemukakan sehingga dapat
memberikan manfaat khususnya bagi:
1. Masyarakat
Untuk masyarakat di dalam melihat atau memahami setiap prosesi yang ada
harus disertai dengan pengetahuan yang lebih, karena prosesi perkawinan Keraton
Kacirebonan berbeda dari masyarakat umumnya, bisa jadi prosesi yang dilakukan
oleh Keraton Kacirebonan di pandang tidak mempunyai makna, tetapi sesungguhnya
mempunyai makna yang dalam.
2. Keraton
Kepada pihak Keraton Kacirebonan di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat,
sebisa mungkin melestarikan tradisi perkawinan yang telah menjadi warisan leluhur
dari dulu, dan juga sekiranya diadakan seminar terkait dengan hal ini, dengan tujuan
untuk memberikan gambaran kepada masyarakat secara umum tentang prosesi
118
perkawinan dan juga kegiatan yang lainnya, karena di keraton sendiri mempunyai
banyak kegiatan. Jadi sebisa mungkin tradisi yang ada perlu dijaga untuk warisan
kepada anak-cucu kita semuanya.
119
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim Abdullah, Abdul Gani (1994) Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. Agoes, Artati (2003) Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Sunda.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Amin Summa, Muhammad (2004) Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan (2006) Hukum Perdata Islam di
Indonesia Cet. 3; Jakarta: Kencana. Arikunto, Suharsimi (2006) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Cet. 13;
Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ashshofa, Burhan (2001) Metode Penelitian Hukum. Cet. 3; Jakarta: PT. Rineka
Cipta. Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (2005) Malang: Fakultas Syari’ah UIN
Malang. Buku Perkawinan, Bab XII, Bagian Ketiga Perkawinan Campuran Pasal 57
Lembaran Negara Republik Indonesia Th. 1974 No. 1. Dyah Rahayu, Anis (2004) Tinjauan Hukum Islam Tentang Perkawinan Adat Jawa,
Skripsi, Malang: UIN Malang. George Ritze dan Douglas J. Goodman, (2007) Teori Sosiologi Modern. Cet. 4;
Jakarta: Kencana. Hadikusuma, Hilman (2003) Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan
Upacara Adatnya. Cet. 6; Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. , Hilman (2003) Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat,Hukum Agama. Cet. 3; Bandung: CV. Mandar Maju. HARPI, (1995) Buku Pelajaran Tata Rias Pengantin Cirebon Kebesaran, Cirebon:
Harpi Melati. Hamidi, (2005) Metode Penelitian Kulaitatif Aplikasi Paraktis Pembuatan Proposal
dan Laporan Penelitian Cet. 3; Malang: UMM Malang.
120
Husain Usman dan Purnomo Setiady Akbar, (2006) Metode Penelitian Sosial Cet. 6; Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Idris Ramulyo, Mohd (2004) Hukum Perkawinan Islam. Cet. 5; Jakarta: PT. Bumi
Aksara. Jawad Mughniyah, Muhammad (2001) “al-Fiqh ‘ala al-Madzhab al-Khamsah”
diterjemahlkan Masykur, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff , Fiqih Lima Maszhab Cet. 7; Jakarta: PT. Lentera Basritama.
J. Moleong, Lexy (2002) Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. 17; Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya. Kuntowijoyo, (2006) Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Mardalis (2006) Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi
Aksara. Nadzir, (2006) Metode Penelitian. Cet. 6; Bogor: Ghalia Indonesia. Peter L. Berger, dan Thomas Luckmann, (1979) The Social Construction of Reality:
A Treatise in the Sociology of Knowledge. Middlesex, England: Penguin Book. Purwadi dan Enis Niken, (2007) Upacara Pengantin Jawa. Cet. I; Yogyakarta: Panji
Pustaka. Purwadi, (2004) Tata Cara Pernikahan Pengantin Jawa. Cet. I; Yogyakarta: Media
Abadi. Qasim Ghazi As-Syafi’I, Muhammad (2005) Fathul Qarib. Rahman I. Doi, Abdul (1996) “Shari’ah The Islamic Law” diterjemahkan oleh Basri
Iba Asghary, Wadi Masturi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam Cet. 2; Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Ridwan, Syaifur (2007) Tradisi Komunitas Arab dalam Akad Nikah, Skripsi, Malang:
UIN Malang. Sabiq, Sayyid (2002) Fiqih Sunnah", diterjemahkan Nor Hasanudin, Fiqih Sunnah.
Cet. 1; Jakarta: Pena Pundi Aksara. Sabiq, Sayyid (1995) Fiqih Sunnah Juz. II; Libanon: Darul Fathi. Soekanto, Soerjono (2005) Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-PRESS. Soemiyati, (2004) Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Cet.
5; Yogyakarta: Liberti.
121
Syarifuddin, Amir (2007) Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Cet. 2; Jakarta: Kencana.
Subhan, Muhammad (2004) Tardisi Perkawinan Masyarakat Jawa di Tinjau dari
Hukum Islam. Skripsi, Malang: UIN Malang. Yusuf Dendrabrata dan Kusna, (1991) Pagelaran dan Loka Karya Upacara Adat
Pengantin Keraton Cirebon. Cirebon.
122
DEPARTEMEN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG
FAKULTAS SYARI’AH JL. Gajayana 50 Malang Telp. (0341) 551354 fax (0341) 572533
BUKTI KONSULTASI Nama : Sulaeman
NIM / Jurusan : 04210007 / Al-Ahwal Al-Syakhshiyah
Pembimbing : Drs. Fadil Sj, M.Ag
Judul : Tradisi Perkawinan Keraton Kacirebonan di Kota
Cirebon, Provinsi Jawa Barat
NO Tanggal Hal Yang dikonsultasikan TandaTangan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
8 Maret 2008
4 April 2008
6 April 2008
21 April 2008
28 April 2008
9 Mei 2008
22 Mei 2008
2 Juni
8 Agustus
Konsultasi bab I
Konsultasi bab IV
Konsultasi bab I, II, III, IV, V
Konsultasi bab III, IV, V
Konsultasi bab IV
Konsultasi bab I, II, III, IV, V
Konsultasi Abstrak
Acc Semua
Acc Revisian
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Malang, 8 Agustus 2008
Mengetahui, Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425