9
PERANAN PELABUHAN MURHUM DALAM PENGEMBANGAN KOTA BAUBAU Mahasiswa Sudirman K Program Studi PPW Pasca sarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara Pembimbing I Marsuki Iswandi Ketua Program Studi/Staf Pengajar PPW Pasca Sarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara Pembimbing II Manat Rahim Staf Pengajar Program Studi PPW Pasca Sarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara ABSTRAK Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Pelabuhan Murhum mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan Kota Baubau pada umumnya. Pola interaksi dan konektifitas Pelabuhan Murhum dengan pelabuhan lainnya, baik ditinjau secara nasional, maupun dalam tinjauan regional Sulawesi Tenggara yang berdampak pada aktivitas arus bongkar muat barang, jasa dan orang menunjukkan keterkaitan yang kuat terhadap perubahan lahan di sekitar kawasan pelabuhan. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya alih fungsi lahan yang cukup signifikan dari lahan perumahan dan permukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa dalam kurun waktu tahun 1990 hingga tahun 2010. Perubahan fungsi lahan tersebut mengindikasikan bahwa kawasan perumahan dan permukiman semakin terdesak menjauh dari Pelabuhan Murhum, sebaliknya kawasan perdagangan dan jasa semakin mendominasi luas kawasan di sekitar Pelabuhan Murhum. Kata Kunci : Pengaruh Pelabuhan Murhum, Kawasan Pelabuhan ABSTRACT The results showed that, the Port Murhum have a strong influence on the development of Baubau in general. Interaction pattern and konektifitas port Murhum with other port, good evaluated nationally, and in Southeast Sulawesi regional review the impact on the current activity of loading and unloading of goods, services and people showed a strong linkage to changes in land around the port area. This matter is shown with the happening of displacing the enough farm function signifikan from housing farm and setlement become the commerce area and service in year range of time of 1990 until 2010. Change of the farm function of indication that housing area and setlement is progressively go to the wall to go away from Port Murhum, on the contrary commerce area and service is progressively predominate wide area around Port Murhum. Keywords: Effect Murhum Ports, Port Area PENDAHULUAN Pelabuhan Murhum saat ini menjadi bagian dari perkembangan kota yang ditandai dengan ramainya aktifitas di sepanjang jalan. Untuk mengarahkan perkembangannya di masa mendatang, sebuah pelabuhan yang memiliki prospek perkembangan yang pesat memerlukan suatu konsepsi seluruh perubahan yang berkelanjutan, yang mampu menampung perkembangan pelabuhan dengan tetap mempertahankan kawasan yang berfungsi melindungi kehidupan masyarakat sekitar. Selain itu Pelabuhan Murhum di Kota Baubau sangat mempengaruhi dinamika perkembangan kota dari segi sosial dan ekonomi. Perkembangan permukiman pada wilayah kota Baubau cenderung untuk menjauh dari pelabuhan Murhum, sementara kegiatan perekonomian cenderung untuk mendekat

Jurnal Pelabuhan Murhum Baubau

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Pelabuhan Murhum Baubau

PERANAN PELABUHAN MURHUM DALAM

PENGEMBANGAN KOTA BAUBAU

Mahasiswa

Sudirman K

Program Studi PPW

Pasca sarjana

Universitas Halu Oleo

Kendari – Sulawesi Tenggara

Pembimbing I

Marsuki Iswandi

Ketua Program Studi/Staf

Pengajar

PPW Pasca Sarjana

Universitas Halu Oleo

Kendari – Sulawesi Tenggara

Pembimbing II

Manat Rahim

Staf Pengajar Program Studi

PPW Pasca Sarjana

Universitas Halu Oleo

Kendari – Sulawesi Tenggara

ABSTRAK

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Pelabuhan Murhum mempunyai pengaruh yang kuat

terhadap perkembangan Kota Baubau pada umumnya. Pola interaksi dan konektifitas Pelabuhan

Murhum dengan pelabuhan lainnya, baik ditinjau secara nasional, maupun dalam tinjauan regional

Sulawesi Tenggara yang berdampak pada aktivitas arus bongkar muat barang, jasa dan orang

menunjukkan keterkaitan yang kuat terhadap perubahan lahan di sekitar kawasan pelabuhan. Hal

ini ditunjukkan dengan terjadinya alih fungsi lahan yang cukup signifikan dari lahan perumahan

dan permukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa dalam kurun waktu tahun 1990 hingga

tahun 2010. Perubahan fungsi lahan tersebut mengindikasikan bahwa kawasan perumahan dan

permukiman semakin terdesak menjauh dari Pelabuhan Murhum, sebaliknya kawasan perdagangan

dan jasa semakin mendominasi luas kawasan di sekitar Pelabuhan Murhum.

Kata Kunci : Pengaruh Pelabuhan Murhum, Kawasan Pelabuhan

ABSTRACT

The results showed that, the Port Murhum have a strong influence on the development of

Baubau in general. Interaction pattern and konektifitas port Murhum with other port, good

evaluated nationally, and in Southeast Sulawesi regional review the impact on the current activity

of loading and unloading of goods, services and people showed a strong linkage to changes in land

around the port area. This matter is shown with the happening of displacing the enough farm

function signifikan from housing farm and setlement become the commerce area and service in

year range of time of 1990 until 2010. Change of the farm function of indication that housing area

and setlement is progressively go to the wall to go away from Port Murhum, on the contrary

commerce area and service is progressively predominate wide area around Port Murhum.

Keywords: Effect Murhum Ports, Port Area

PENDAHULUAN

Pelabuhan Murhum saat ini menjadi

bagian dari perkembangan kota yang ditandai

dengan ramainya aktifitas di sepanjang jalan.

Untuk mengarahkan perkembangannya di masa

mendatang, sebuah pelabuhan yang memiliki

prospek perkembangan yang pesat memerlukan

suatu konsepsi seluruh perubahan yang

berkelanjutan, yang mampu menampung

perkembangan pelabuhan dengan tetap

mempertahankan kawasan yang berfungsi

melindungi kehidupan masyarakat sekitar.

Selain itu Pelabuhan Murhum di Kota

Baubau sangat mempengaruhi dinamika

perkembangan kota dari segi sosial dan

ekonomi. Perkembangan permukiman pada

wilayah kota Baubau cenderung untuk menjauh

dari pelabuhan Murhum, sementara kegiatan

perekonomian cenderung untuk mendekat

Page 2: Jurnal Pelabuhan Murhum Baubau

dengan pelabuhan Murhum. Dengan kata lain,

keberadaan pelabuhan Murhum memiliki

pengaruh yang besar terhadap aktivitas

perekonomian Kota Baubau pada umumnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Kota

Menurut Bintarto (1983), dari segi

geografis kota diartikan sebagai suatu sistim

jaringan kehidupan yang ditandai dengan

kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai

dengan strata ekonomi yang heterogen dan

bercorak materialistis atau dapat pula diartikan

sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh

unsur-unsur alami dan non alami dengan

gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup

besar dengan corak kehidupan yang bersifat

heterogen dan materialistis dibandingkan

dengan daerah dibelakangnya.

Adisasmita (2008) mengatakan bahwa ciri

atau sifat esensial dari suatu kota adalah

konsentrasi basis kegiatan ekonomi, sosial, dan

politik, penduduk pada tata ruang. Secara

umum diketahui bahwa tempat-tempat dimana

terjadi konsentrasi penduduk sering dinamakan

dengan berbagai istilah seperti; kota, pusat

perdagangan, pusat industri, pusat

pertumbuhan, simpul ditribusi barang dan jasa,

wilayah nodal, atau pusat pemukiman. Masing-

masing istilah sangat tergantung dengan

asosiasi kita terhadap apa yang akan

ditonjolkan terhadap tempat-tempat konsentrasi

tersebut.

Selanjutnya pengertian kota ditinjau dari

berbagi aspek, antara lain aspek geografis,

fisik, demografis, statistik, sosial, ekonomi, dan

administrasi. Pengertian ini merupakan

rumusan dari Nia K. Pontoh dan Iwan

Kustiwan (2009). Pengertian kota ditinjau dari

aspek fisik adalah suatu wilayah dengan

wilayah terbangun lebih padat dibandingkan

dengan area sekitarnya. Aspek demografis

adalah wilayah dengan konsentrasi penduduk

yang dicerminkan oleh jumlah dan tingkat

kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan keadaan wilayah sekitarnya. Aspek

sosial adalah suatu wilayah dengan kelompok-

kelompok sosial masyarakat yang heterogen.

Aspek geografis adalah suatu wilayah dengan

wilayah terbangun yang lebih padat

dibandingkan dengan area sekitarnya. Aspek

statistik adalah suatu wilayah yang secara

statistik besaran atau ukuran jumlah

penduduknya sesuai dengan batasan atau

ukuran untuk criteria kota. Aspek ekonomi

adalah suatu wilayah yang memiliki kegiatan

usaha sangat beragam dengan dominasi di

sektor nonpertanian seperti perdagangan,

perindustrian, pelayanan jasa, perkantoran,

pengangkutan, dan lain-lain. Dan yang terakhir

kota ditinjau dari aspek administrasi adalah

suatu wilayah yang dibatasi oleh suatu garis

batas kewenangan administrasi pemerintah

daerah yang ditetapkan berdasarakan peraturan

perundang-undangan.

Pusat-Pusat Wilayah Pemabangunan

Dalam Struktur Pengembangan Wilayah

Tingkat Nasional dikatakan Pusat

Pembangunan merupakan sub-sistem dari

Satuan Wilayah Pembangunan yang tersebar

diseluruh Wilayah Nasional. Setiap wilayah

memiliki pusat-pusat yang tersusun secara

hirarkhis. Penerapan sistem hirarkhis ini

dilakukan dengan harapan dapat mengurangi

ketimpangan pembangunan dan perbedaan

kemakmuran antar wilayah. Disamping itu

dengan sistem seperti ini pembangunan akan

dapat lebih disebar luaskan sehingga tidak

hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu

saja. Dengan cara pembangunan yang

berkesinambungan tersebut maka dapatlah

terjadi ikatan pembangunan ekonomi nasional

yang kokoh.

Konsep pusat-pusat pembangunan atau

pusat-pusat pertumbuhan atau sering disebut

juga dengan kota diadaptasi dari beberapa teori

tentang lokasi yang telah dicetuskan oleh

beberapa ahli terdahulu.

Peran Pelabuhan Dalam Perkembangan

Wilayah

Pelabuhan dapat berperan dalam

merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi,

perdagangan, dan industri dari wilayah

pengaruhnya. Namun pelabuhan tidak

menciptakan kegiatan tersebut, melainkan

hanya melayani tumbuh dan berkembangnya

kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan seperti

itulah yang meningkatkan peran pelabuhan dari

hanya sebagai tempat berlabuhnya kapal

menjadi pusat kegiatan perekonomian. Secara

prinsip hubungan kegiatan pembangunan oleh

manusia di laut tidak dapat dipisahkan dengan

di pantai bahkan di darat seluruhnya.

Pelabuhan menjadi sarana bangkitnya

perdagangan antar pulau bahkan perdagangan

antar negara, pelabuhan pada suatu daerah akan

Page 3: Jurnal Pelabuhan Murhum Baubau

lebih menggairahkan perputaran roda

perekonomian, berbagai jenis usaha akan

tumbuh mulai dari skala kecil sampai dengan

usaha skala internasional, harga-harga berbagai

jenis produk akan lebih terjangkau mulai dari

produksi dalam negeri sampai dengan luar

negeri. Pelabuhan yang bertaraf internasional

akan mengundang investor dalam dan luar

negeri untuk menanamkan modal yang

bermuara pada tumbuhnya perekonomian

rakyat, mobilitas manusia dari berbagai penjuru

akan hadir dan meninggalkan dana yang

banyak.

Menurut Suranto (2004), yang dikatakan

Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari

daratan dan perairan di sekitarnya dengan

batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan

pemerintah dan kegiatan ekonomi yang

dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar,

berlabuh, naik-turun penumpang, dan/atau

bongkar muat barang yang dilengkapi dengan

fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan

penunjang pelabuhan serta sebagai tempat

perpindahan intra dan antarmoda transportasi.

Pelabuhan adalah daerah perairan yang

terlindung terhadap gelombang, yang

dilengkapai dengan fasilitas terminal laut

meliputi dermaga di mana kapal dapat

bertambat untuk bongkar muat barang.

Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan

mengatakan bahwa peran pelabuhan adalah :

(a) simpul dalam jaringan transportasi sesuai

dengan hierarkinya;

(b) pintu gerbang kegiatan perekonomian;

(c) tempat kegiatan alih moda transportasi;

(d) penunjang kegiatan industri dan/atau

perdagangan;

(e) tempat distribusi, produksi, dan

konsolidasi muatan atau barang; dan

(f) mewujudkan Wawasan Nusantara dan

kedaulatan negara.

Wilayah akan berkembang jika ada

kegiatan perdagangan interinsuler dari wilayah

tersebut ke wilayah lain sehingga terjadi

peningkatan investasi pembangunan dan

peningkatan kegiatan ekonomi serta

perdagangan. Pendapatan yang diperoleh dari

hasil ekspor akan mengakibatkan

berkembangnya kegiatan penduduk setempat,

perpindahan modal dan tenaga kerja,

keuntungan eksternal dan perkembangan

wilayah lebih lanjut (Damapolii, 2008).

Pusat Pertumbuhan

Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat

diartikan dengan dua cara, yaitu secara

fungsional dan secara geografis. Secara

fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu

lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang

industri yang karena sifat hubungannya

memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga

mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik

ke dalam maupun ke luar (daerah

belakangnya). Secara geografis, pusat

pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak

memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga

menjadi pusat daya tarik (pole of attraction),

yang menyebabkan berbagai macam usaha

tertarik untuk berlokasi di situ dan masyarakat

senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada

di kota tersebut, walaupun kemungkinan tidak

ada pola interaksi antara usaha-usaha tersebut.

Pusat-pusat yang pada umumnya

merupakan kota–kota besar tidak hanya

berkembang sangat pesat, akan tetapi mereka

bertindak sebagai pompa-pompa pengisap dan

memiliki daya penarik yang kuat bagi wilayah-

wilayah belakangnya yang relatif statis.

Wilayah-wilayah pinggiran di sekitar pusat

secara berangsurangsur berkembang menjadi

masyarakat dinamis. Terdapat arus penduduk,

modal, dan sumberdaya ke luar wilayah

belakang yang dimanfaatkan untuk menunjang

perkembangan pusat-pusat dimana

pertumbuhan ekonominya sangat cepat dan

bersifat kumulatif. Sebagai akibatnya,

perbedaan pendapatan antara pusat dan wilayah

pinggiran cenderung lebih besar (Rahardjo

Adisasmita, 2005).

Pemikiran dasar dari konsep titik

pertumbuhan ini adalah bahwa kegiatan

ekonomi di dalam suatu daerah cenderung

beraglomerasi di sekitar sejumlah kecil titik

fokal (pusat). Di dalam suatu daerah arus

polarisasi akan bergravitasi kearah titik-titik

fokal ini, yang walaupun karena jarak arus

tersebut akan berkurang. Di sekitar titik fokal

ini dapat ditentukan garis perbatasan dimana

kepadatan arus turun sampai suatu tingkat kritis

minimum, pusat tersebut dapat dikatakan titik

pertumbuhan sedangkan daerah di dalam garis

perbatasan adalah daerah pengaruhnya.

Simpul Jasa Distribusi

Interaksi antara simpul besar dengan

simpul-simpul kecil dan daerah hinterlandnya

merupakan unsur yang penting dalam

Page 4: Jurnal Pelabuhan Murhum Baubau

konsepsinya. Tingkat interaksi ditunjukkan dari

tingkat kepadatan arus barang. Semakin kuat

ciri-ciri simpul berarti semakin luas dan jauh

jangkauan wilayah pengaruhnya. Lebih dekat

pada simpul berarti lebih banyak jenis barang

yang terjangkau oleh pelayanan pemasaran,

yang berarti pula lebih besar kesempatan yang

tersedia untuk perkembangan kegiatan usaha.

Interaksi antar simpul tersebut menunjukkan

korelasi yang negatif dengan jarak. Karena

simpul merupakan pula konsentrasi penduduk,

maka dapat dikatakan bahwa interaksi antar

simpul berkolerasi negatif terhadap jumlah

penduduk. (Matoka 1994).

Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai

pusat pelayanan jasa distribusi bagi wilayah

pengembangannya atau wilayah nasional

(bersifat ke luar), sedangkan fungsi

sekundernya adalah kehidupan masyarakat di

simpul yang bersangkutan (bersifat ke dalam).

Perbedaan fungsi simpul tersebut

mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan

kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-

masing simpul. Hirarkhi tiap simpul ditentukan

oleh kedudukannya dalam hubungan

fungsional antar simpul yang dicerminkan

berdasar mekanisme arus distribusi barang.

Berdasarkan teori simpul jasa distribusi

Purnomosidi, dapat dianalisis pola aliran

komoditas dari perdesaan atau aliran barang

senntral kota. Dengan asumsi bahwa pusat

perdesaan akan berkembang sebagai pusat

pelayanan bilamana menjadi simpul distribusi

bagi desa-desa sekitarnya, baik untuk

mendistribusikan hasil-hasil pertanian atau

untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan

rumah tangga pertanian, maka dengan

demikian dapat dianalisis bahwa bilamana

suatu pusat perdesaan tidak memiliki fungsi

sebagai simpul distribusi tidak akan menarik

orang untuk melakukan interaksi dengan pusat

tersebut. Dengan demikian fungsi-fungsi yang

ada tidak akan beroperasi secara optimal yang

pada gilirannya tidak akan merangsang

perkembangan lebih lanjut (Matoka, 1994).

Interaksi Masyarakat Desa-Kota

Bintarto, (1983) mengemukakan bahwa

interaksi ini dapat dilihat sebagai suatu proses

yang sifatnya timbal balik dan mempunyai

pengaruh terhadap perilaku dari pihak-pihak

yang bersangkutan baik melalui kontak

langsung. Proses interaksi desa kota dapat

berwujud urbanisasi, yang dimaksud adalah

proses pembentukan kota, suatu proses yang

digerakkan oleh perubahan-perubahan dalam

masyarakat sehingga daerah-daerah yang dulu

merupakan suatu daerah pedesaan lambat laun

akan melalui proses yang mendadak

memperoleh sifat kehidupan kota.

Lebih lanjut Rondinelly (1985)

mengatakan bahwa konsep urbanisasi juga

mencakup pertumbuhan suatu pemukiman

menjadi kota (desa menjadi kota), perpindahan

penduduk ke kota (berbagai bentuk migrasi

ulang alik) atau kenaikan presentase penduduk

yang tinggal di kota. Proses urbanisasi ini

menurut Keijo dan Collegde dalam Bintaro

(1984) melalui empat proses utama yaitu :

a) Adanya pemusatan kekuatan pemerintah

kota sebagai pengambil keputusan dan

sebagai bahan pengawas dalam

menyelenggerakan hubungan kota dengan

daerah sekitarnya.

b) Adanya arus modal dan investasi untuk

mengukur kemakmuran kota dengan

wilayah sekitarnya, dan selain itu

penentuan/pemilihan lokasi untuk kegiatan

ekonomi mempunyai pengaruh terhadap

arus bolak balik desa-kota.

c) Divusi dan inovasi serta perubahan yang

berpengaruh terhadap aspek sosial ekonomi

budaya dan politik akan dapat memperluas

kota yang lebih kecil bahkan ke daerah

pedesaan. Difusi ini dapat mengubah

suasana desa menjadi suasana kota.

d) Migrasi dan pemukiman penduduk baru

dapat terjadi apabila pengaruh kota secara

terus menerus masuk ke daerah pedesaan.

Sedangkan ketergantunghan kota terhadap

desa itu sendiri dapat dilihat sebagai berikut.

a) Sebagai suplier bahan hasil-hasil pertanian.

b) Sebagai suplier bahan mentah atau bahan

baku industri.

c) Sebagai tempat pemasaran hasil-hasil

industri.

d) Sebagai Suplier tenaga kerja bagi industri

pabrik dan jasa lainnya.

Menurut Adisasmita (2005), bahwa

interaksi adalah kontak antara dua wilayah

yang dapat menimbulkan gejala baru. Batasan

sederhana ini merupakan analisa lain dari

pengertian terminologi interaksi yang bermuara

pada kata yang dipakai untuk menerangkan

kontak antara dua atau lebih wilayah secara

”kausatif” dan “ekonomis’. Kausatif artinya

suatu wilayah berinteraksi dengan wilayah lain

karena kebutuhan dalam kegiatan produksi

akan input yang berasal dari wilayah pemasok,

sedangkan ekonomis bahwa dasar yang

Page 5: Jurnal Pelabuhan Murhum Baubau

tercermin dalam aktivitas ekonomi berupa

konsumen dan produksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Perkembangan Kota Baubau

Pada mulanya, Baubau merupakan pusat

Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada awal

abad ke-15 (1401 – 1499). Buton mulai dikenal

dalam Sejarah Nasional karena telah tercatat

dalam naskah Negara Kertagama Karya

Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan

menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri

(Desa) yang diperintah oleh seorang Raja

bergelar Yang Mulia Mahaguru. Cikal bakal

negeri Buton menjadi sebuah kerajaan pertama

kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si

empat orang) Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo,

Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton

mereka berasal dari Semenanjung Tanah

Melayu pada akhir abad ke- 13.

Dalam periodisasi sejarah Buton telah

mencatat dua fase penting yaitu masa

pemerintahan kerajaan sejak tahun 1332

sampai pertengahan abad ke– 16 dengan

diperintah oleh 6 orang raja diantaranya 2

orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan

Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti

bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan

sudah mendapat tempat yang istimewa dalam

masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa

Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya

agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948

Hijriah (1542 Masehi) bersamaan dilantiknya

Lakilaponto sebagai Sultan Buton I dengan

Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul

Khamis sampai pada Muhammad Falihi

Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang

berakhir tahun 1960.

Berdasarkan historiografi lokal Buton,

kawasan Bau-Bau berkembang sejak paruh

awal abad ke-19. Perkembangan terjadi pasca

kebakaran hebat dalam Benteng Keraton Wolio

dimasa pemerintahan Sultan Buton ke-29 La

Ode Muh. Aydrus Qaimuddin. Pasca peristiwa

tersebut, sebagian keluarga keraton mengungsi

keluar benteng, ada yang menetap di kawasan

Baadia, Bariya, Tarafu, dan sebagian lainnya

mendiami kawasan yang terletak di antara

Nganganaumala-Kotamara dan Bonesaala.

Kawasan inilah yang kemudian dinamai

Bau-Bau; sebuah kawasan hunian/kota ”baru”

(”bhau” menurut bahasa Wolionya). Kata bhau

dalam pengertian ini juga menunjuk pada

fenomena keseharian yang senantiasa berubah

atau baru; bhau – sabhaa-bhaau kadhagia

sebagai refleksi dinamika sosial

kemasyarakatan yang terus berkembang dalam

kawasan tersebut.

Dalam perkembangannya, kawasan Bau-

Bau pun menempati posisi laksana serambi

pusat Kota ”lama” Wolio (kawasan Benteng

Keraton). Keberadaan Pelabuhan Murhum

memberikan kontribusi yang sangat besar

dalam perkembangan kota kedepan, karena

letaknya yang strategis dalam jaringan

perniagaan laut, kawasan kota baru (bhau-

bhau) pun tumbuh pesat dan menjadi salah satu

diantara deretan kota pantai yang turut

memainkan peran dalam jaringan perniagaan

laut nusantara.

Seiring dinamika tersebut, di masa

pemerintahan Sultan Muh. Aydrus dibentuk

pula jabatan baru dalam hirarki pemerintahan

Kesultanan yakni Lakina Bhau-Bhau untuk

mengepalai kawasan ”kota baru” (bhau-bhau)

tersebut. Sebagai Lakina Bhau-Bhau I adalah

La Ode Rere (putra Sultan Muh. Aydrus) yang

memerintah sejak awal abad ke-19.

Dalam usianya yang hampir dua abad ini,

Kota Bau-Bau telah memberi andil besar bagi

dinamika dan kontinuitas sejarah Buton dan

Sulawesi Tenggara sebagaimana terefleksi dari

kedudukannya sebagai: (a) pusat pemerintahan

Kerajaan Buton (abad 14 - 16), (b) pusat

pemerintahan Kesultanan Buton (abad 16–20),

(c) pusat pemerintahan Afdeling Boetoen en

Laiwoei (sejak 1927), (d) pusat pemerintahan

Onder Afdeling Boetoen, (e) Ibukota

Kabupaten Sulawesi Tenggara (1950an -1964),

dan (f) Ibukota Kabupaten Buton (1964-2001),

Kota Administratif Baubau (1981 – 2001),

serta Daerah Otonom Kota Baubau (2001 –

sekarang).

Cikal bakal Kota Baubau berawal dari

ditunjuknya Kecamatan Wolio sebagai pusat

pemerintahan Kabupaten Buton, Pembentukan

Kota Administratif Baubau melalui Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40

Tahun 1981 merupakan babak baru dalam

perkembangan Kota Baubau. Wilayah Kota

Administratif Baubau sebagaimana yang

diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah

tersebut terdiri dari 2 kecamatan (Kecamatan

Wolio dan Kecamatan Betoambari) dan 23

kelurahan.

Seiring dengan perkembangan wilayah

kota yang semakin pesat, maka pada tahun

2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2001 dibentuklah Daerah Otonom Kota

Page 6: Jurnal Pelabuhan Murhum Baubau

Baubau yang mencakup 4 kecamatan antara

lain Kecamatan Wolio, Kecamatan

Betoambari, Kecamatan Surawolio, dan

Kecamatan Bungi. Pembentukan daerah

otonom ini memberikan ruang yang lebih luas

terhadap perkembangan Kota Baubau.

semenjak tahun 2006 Kota Baubau mekar

menjadi 6 (enam) kecamatan dan menjadi 7

(tujuh) kecamatan di akhir tahun 2008, saat ini

Kota Baubau terdiri dari 8 Kecamatan setelah

terbentuknya Kecamatan Batupoaro sebagai

pemekaran dari Kecamatan Murhum.

Gambar 1. Stadia Perkembangan Kota Baubau

Kondisi Pelabuhan Murhum

Pelabuhan Murhum di Kota Baubau

terletak di Kelurahan Wale Kecamatan Wolio

pada koordinat 122°36'38,56" Bujur Timur dan

5°27'15,486" Lintang Selatan, dan berada pada

Selat Buton yang memisahkan Pulau Buton dan

Pulau Muna. Pelabuhan Murhum merupakan

pelabuhan nasional yang berada di bawah

pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Kantor

Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas I.

Letak Pelabuhan Murhum berada di

Kelurahan Wale Kecamatan Wolio yang

merupakan Pusat Pelayanan Kota (PPK) yang

berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa,

dan perhubungan laut. Luas Kawasan

Pelabuhan Murhum pada saat ini berdasarkan

hasil analisa Citra Satelit dengan

menggunakan Sistim Informasi Geografis

(SIG) adalah seluas 12,69 Ha.

Luas lahan Kawasan Pelabuhan Murhum

saat ini adalah sebesar 12,69 Ha yang terdiri

dari tambat labuh kapal seluas 6,43 atau

mencakup 50,67 % dari total luas lahan

pelabuhan hasil analisa GIS, kolam pelabuhan

seluas 2,02 Ha (15,90 %), Lapangan

penumpukan petikemas seluas 1,99 Ha (15,67

%), Dermaga seluas 0,91 Ha (7,15 %),

Bangunan (kantor, ruang tunggu, gudang)

sebesar 0,50 Ha (3,95 %), Jalan seluas 0,36 Ha

(2,84 %), Lapangan Parkir seluas 0,28 Ha (2,23

%), Lahan Kosong seluas 0,12 Ha (0,92 %) dan

taman seluas 0,09 Ha (0,71 %), untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Penggunaan Lahan Kawasan

Pelabuhan Murhum, 2012.

No. Lahan Pelabuhan Luas

(Ha)

Persentase

(%)

1 Bangunan 0,50 3,95

2 Kolam Pelabuhan 2,02 15,90

3 Lapangan Parkir 0,28 2,23

4

Lapangan

Penumpukan 1,99 15,67

5 Taman 0,09 0,71

6 Dermaga 0,91 7,15

7 Jalan 0,36 2,84

8 Lahan Kosong 0,12 0,92

9 Tambat Labuh Kapal 6,43 50,67

Total 12,69 100,04

Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Gambar 2. Kondisi Pelabuhan Murhum

Posisi Pelabuhan Murhum Dalam Tatanan

Kepelabuhanan Nasional

Posisi Pelabuhan Murhum dalam tatanan

kepelabuhanan nasional berdasarkan hierarki,

peran dan fungsinya merupakan pelabuhan

nasional, yang mempunyai peran dan fungsi

sebagai pelabuhan utama tersier yang

terhubung dengan pelabuhan-pelabuhan besar

lainnya, seperti Pelabuhan Makassar yang

menjadi pelabuhan penghubung dengan

kawasan barat Indonesia, serta menjadi

pelabuhan penghubung dengan kawasan Timur

lainnya seperti Pelabuhan Bitung, Pelabuhan

Ambon dan Sorong yang melayani kegiatan

dan alih muat angkutan laut nasional dan

internasional dalam jumlah menengah, serta

Page 7: Jurnal Pelabuhan Murhum Baubau

merupakan simpul dalam jaringan transportasi

tingkat provinsi.

Tabel 2. Kondisi Pelabuhan Murhum

Berdasarkan Kriteria Kepmen Nomor

KM 53 Tahun 2002

Peran

Sebagai pengumpan angkutan

peti kemas nasional.

Sebagai tempat alih muat

penumpang dan barang umum

nasional.

Skala

Pelayanan

Melayani angkutan petikemas

nasional di seluruh Indonesia.

Lokasi

Pelabuhan

Berada dekat dengan Jalur

Pelayaran Nasional Primer

(kurang dari 50 mil dari Laut

Flores).

Berada pada Jalur Pelayaran

Nasional Sekunder

Kedalaman ± 7 m lws

Fasilitas Dermaga multipurpose

sepanjang 180 m

Jarak dengan

Pelabuhan

Lainnya

± 20 mil dengan pelabuhan

nasional di Raha

Sumber : Hasil Analisis, 2014.

Gambar 3. Posisi Pelabuhan Murhum Dalam

Tatanan Kepelabuhanan Nasional

Pengaruh Pelabuhan Murhum Terhadap

Perkembangan Wilayah Kota Baubau

Pergerakkan manusia dan barang di kawasan

Pelabuhan Murhum yang menimbulkan arus

lalu lintas (traffic flow) merupakan

konsekuensi gabungan dari aktivitas lahan di

dalam kota (permintaan) dan kemampuan

sistem trasportasi (darat dan laut) dalam

mengatasi masalah arus lalu lintas

(penawaran). Pergerakkan barang dan manusia

yang terjadi pada kawasan pelabuhan

mencerminkan keterhubungan suatu wilayah

dengan wilayah lainnya di dalam Kota Baubau.

Hubungan ini memberikan dampak bagi

perkembangan Kota Baubau secara

keseluruhan. Dengan demikian hubungan antar

wilayah, baik secara eksternal maupun internal

yang terjadi pada kawasan Pelabuhan Murhum

mempengaruhi aktivitas keruangan wilayah

Kota Baubau secara keseluruhan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Pengaruh interaksi antar pelabuhan lain sangat

mempengaruhi aktivitas, pergerakan dan

kebutuhan lahan di sekitar kawasan pelabuhan,

semakin tinggi interaksi dan konektivitas

pelabuhan dengan pelabuhan lainnya, maka

akan semakin tinggi pula aktivitas yang terjadi

pada kawasan pelabuhan tersebut, hal ini akan

mempengaruhi kebutuhuan penggunaan lahan

di sekitar kawasan pelabuhan dari kawasan

perumahan/permukiman menjadi kawasan

komersial (perdagangan dan jasa), dan secara

tidak langsung akan merubah struktur

penggunaan lahan Kawasan Perkotaan Baubau.

Hal ini terjadi karena desakan perubahan lahan

pada kawasan Pelabuhan Murhum yang

berorientasi kekotaan sangat mendominasi

kegiatan masyarakat sekitarnya, sehingga

kebanyakan bangunan di sekitar kawasan

pelabuhan tersebut tidak lagi berorientasikan

sektor permukiman namum berorientasikan ke

sektor perekonomian, perdagangan dan jasa,

dalam hal ini penggunaan lahan didominasi

oleh bangunan ruko, penginapan, pertokoan,

pariwisata dan pegiatan perekonomian lainnya.

Pengaruh Pelabuhan Murhum terhadap

perkembangan ruang wilayah Kota Baubau

menunjukkan pengaruh yang sangat besar, hal

ini terlihat dari perkembangan perubahan lahan

pada kawasan disekitar pelabuhan dari

kawasan yang didominasi oleh perumahan dan

permukiman pada awal tahun 1990 menjadi

kawasan perdagangan dan jasa.

Perubahan lahan tersebut memberikan

indikasi bahwa, perkembangan kawasan

perumahan dan permukiman di Kota Baubau

semakin terdesak menjauhi Kawasan

Pelabuhan Murhum, sementar kawasan

perdagangan dan jasa tumbuh secara signifikan

penggantikan lahan-lahan perumahan dan

permukiman di sekitar kawasan pelabuhan.

Tabel berikut memperlihatkan

perkembangan wilayah Kota Baubau yang

dipengaruhi secara langsung oleh keberadaan

Pelabuhan Murhum.

Page 8: Jurnal Pelabuhan Murhum Baubau

Tabel 3. Penggunaan Lahan Disekitar Kawasan Pelabuhan Murhum Tahun 1990 - 2010.

Penggunaan Lahan Luas (Ha) Perubahan Lahan (Ha)

1990 2000 2010 1990 - 2000 2000 - 2010

Jalan 4,93 5,14 5,55 0,21 0,41

Pelabuhan Batu 0,00 1,35 1,35 1,35 0,00

Pelabuhan Murhum 0,26 6,15 12,69 5,89 6,54

Kawasan Wisata 0,00 0,00 2,61 0,00 2,61

Semak/Belukar 5,06 2,62 1,02 -2,44 -1,60

Perdagangan dan Jasa 0,24 5,57 7,86 5,33 2,29

Perkantoran 1,89 2,83 2,77 0,94 -0,06

Perumahan/Permukiman 11,57 8,02 7,73 -3,55 -0,29

Ruang Terbuka Hijau 0,15 0,15 0,23 0,00 0,08

Sarana Ibadah 0,54 0,54 0,54 0,00 0,00

Sarana Pendidikan 0,00 0,49 0,49 0,49 0,00

Jumlah 24,64 32,86 42,84

Sumber : Hasil Analisis 2014.

Tabel di atas memperlihatkan perubahan

penggunaan lahan disekitar kawasan pelabuhan

murhum yang terpengaruh langsung dengan

aktivitas arus bongkar muat barang, jasa dan

orang di Pelabuhan Murhum adalah kawasan

perumahan dan permukiman menjadi kawasan

perdagangan dan jasa pada kurun waktu tahun

1990 – tahun 2000, dimana luas wilayah

kawasan perumahan dan permukiman pada

tahun 1990 sebesar 11,57 Ha, berkurang

menjadi 8,02 Ha pada tahun 2000. Sedangkan

kawasan perdagangan dan jasa mengalami

pertambahan wilayah dari 0,24 Ha pada tahun

1990 menjadi 5,57 Ha pada tahun 2000 dan

meningkat menjadi 7,86 Ha pada tahun 2010.

Pertumbuhan kawasan perdagangan dan jasa

ini sebagai akibat dari perkembangan arus

bongkar muat barang, jasa dan orang di

Pelabuhan Murhum seiring dengan

bertambahnya jumlah kunjungan kapa yang

terjadi dalam kurun waktu tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pelabuhan Murhum berperan sebagai

pelabuhan pengumpul dalam sistim

transportasi laut di Sulawesi Tenggara dan

merupakan pelabuhan yang terkoneksi

dengan simpul transportasi laut nasional

yang terhubung dengan Kawasan Timur dan

Kawasan Barat dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

2. Perkembangan Pelabuhan Murhum

berbanding lurus dengan perkembangan

kawasan disekitarnya yang berimplikasi

terhadap semakin terdesaknya kawasan

perumahan dan permukiman yang menjauh

dari Pelabuhan Murhum, sebaliknya

kawasan perdagangan dan jasa semakin

mendominasi pemanfaatan ruang pada

kawasan pelabuhan yang mengakibatkan

perubahan ruang wilayah Kota Baubau

khususnya disekitar Pelabuhan Murhum dan

Kota Baubau pada umumnya.

Saran

1. Perlunya dilakukan penataan kawasan

sekitar Pelabuhan Murhum agar tidak

menimbulkan dampak kemacetan.

2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih

mendetail terhadap kondisi pelabuhan

murhum terkait dengan semakin tingginya

aktivitas bongkar muat di pelabuhan yang

tentunya mengakibatkan kebutuhan ruang

pelabuhan semakin tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Adisamita, R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi

Wilayah, Universitas Hasanudin

Makasar

Page 9: Jurnal Pelabuhan Murhum Baubau

Adisamita, R. 2008. Pembangunan Ekonomi

Perkotaan. Penerbit Graha Ilmu.

Jakarta.

Bintarto, R. 1983, Interaksi Desa Kota dan

Permasalahannya, Ghalia Indonesia.

Jakarta.

Damapolii, D. W. 2008. Peran Pelabuhan

Labuan Uki Terhadap Pengembanam

Wilayah Kabupaten Bolaang

Mongondow. Masters Thesis Jurusan

Perencanaan Wilayah dan Kota,

Universitas Diponegoro, Semarang.

Matoka, 1994, Studi Jangkuan Pelayanan

Pusat-Pusat Pertumbuhan di Sulawesi

Tenggara (Tesis, Program Magister

Perencanaan Pengembangan Wilayah

Pasca Sarjana Unhas,1994 tidak

dipublikasikan).

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009

tentang Kepelabuhanan.

Pontoh, Nia K. dan Kustiwan, Iwan. (2009).

Pengantar Perencanaan Perkotaan.

Bandung: ITB Bandung.

Suranto, 2004. Manajemen Operasional

Angkutan Laut dan Kepelabuhanan

Serta Prosedur Impor Barang,

Gramedia Pustaka Utama.

Rondinelli, D.A, 1985. Applied Methods of

Regional Analysis: The Spatial

Dimension of Development Policy.

Westview Press. London.