28

Click here to load reader

Cacing

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Cacing

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Konsep Terkait

1. Konsep Cacingan

a. Pengertian

Cacingan atau sering disebut kecacingan merupakan penyekit

endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi

tinggi, tidak mematikan tetapi mengganggu kesehatan tubuh manusia

sehingga berakibat menurunkan kondisi gizi dan kesehatan

masyarakat. Kecacingan umumnya akibat infeksi cacing gelang

(ascaris lumbricoides), cacing kremi (Oxyuris vermecularis), cacing

pita (Taenea solium) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale)

(Zulkoni Akhsin, 2007).

Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang

sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa

jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari

Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia.

Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang

penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya

yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus,

Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Srisasi Gandahusada,

2006).

Cacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa

nematoda saluran cerna yang ditularkan melalui tanah. Penularan dapat

terjadi melalui dua cara yaitu infeksi langsung / menelan telur dan

larva yang menembus kulit. Kerugian yang ditimbulkan akibat

kecacingan sangat besar terhadap perkembangan fisik, intelegensia,

dan produktivitas anak yang merupakan generasi penerus bangsa (Aru

Sudoyo, 2006).

Page 2: Cacing

7

b. Cara Penularan

Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah termasuk dalam

keluarga nematoda saluran cerna. Penularan dapat terjadi melalui 2

cara yaitu ( Aru Sudoyo, 2006) :

1. Infeksi langsung

Penularan langsung dapat terjadi bila telur cacing dari tepi anal

masuk ke mulut tanpa pernah berkembang dulu di tanah. Cara ini

terjadi pada cacing kremi (Oxyuris vermicularis) dan trikuriasis

(Trichuris trichura). Penularan langsung dapat juga terjadi setelah

periode berkembangnya telur ditanah kemudian telur tertelan

melelui tangan atau makanan yang tercemar (Ascaris

Lumbricoides)

2. Larva menembus kulit

Penularan melalui kulit terjadi pada cacing tambang /

ankilostomiasis dan strongiloidiasis dimana telur terlebih dahulu

menetas di tanah baru kemudian larva filariform menginfeksi

melalui kulit.

c. Macam-macam Cacing Nematoda Usus

Manusia merupakan hospes definitive beberapa nematoda usus.

Sebagian besar daripada nematoda ini menyebabkan masalah

kesehatan masyarakat di Indonesia. Di antara nematoda usus terdapat

sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “soil

transmitted helminths” yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris

lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus,

Strongyloides stercoralis, Trichuris trichura dan beberapa spesies

Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia

adalah Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis (Srisasi

Gandahusada, 2006).

Page 3: Cacing

8

1. Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides adalah caing bulat yang besar dan hidup

dalam usus halus manusia (Aru Sudoyo, 2006). Manusia

merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit

yang disebabkannya disebut askariasis (Srisasi Gandahusada,

2006).

a. Morfologi dan daur hidup

Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina

22-35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor

cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir

sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi.

Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 65 x 45 mikron

dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan

yang sesuia, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk

infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif

ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya

menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau

saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti

aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding

pembuluh darah, lalu dinding alveolus, kemudian naik ke

trakea mellaui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini

menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada

faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan

tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju usus halus. Di usus

halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang

tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu

kurang lebih 2 bulan (Srisasi Gandahusada, 2006).

Page 4: Cacing

9

Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides

(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21589/4/Chapter%20II.p

df).

b. Epidemiologi

Ascaris lumbricoides dijumpai diseluruh dunia dan

diperkirakan 1,3 milyar orang pernah terinfeksi dengan cacing

ini. Tidak jarang dijumpai infeksi campuran dengan cacing

lain, terutama Tricuris trichiura. Telur yang infektif ditemukan

di tanah, yang dapat bertahan bertahun-tahun. Manusia

mendapat infeksi dengan cara tertelan telur Ascaris

lumbricoides yang infektif (telur yang mengandung larva). Hal

ini terjadi karena termakan makanan atau minuman yang

tercemar oleh cacing tadi (Soedarmo, 2008).

Di indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pasa

anak. Frekuensinya antara 60-90%. Kurangnya pemakaian

jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja

di sekitar halaman rumah, dibawah pohon, di tempat mencuci

dan di tempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu

terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat,

Page 5: Cacing

10

kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antaran 25-350 C

merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya

telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif (Srisasi

Gandahusada, 2006).

c. Patofisiologi

Selain itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang

masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan

pada dinding alveolus yang disebut sindrom looffler. Gangguan

yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-

kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti

berkurangnya nafsu makan, mual, diare, dan konstipasi. Pada

infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan

penyerapan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing

mengumpal di dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada

usus (ileus obstruktive) (Surat Keputusan Menteri Nomor :

424/MENKES/SK/VI, 2006).

d. Gejala klinis

Gejala penyakit cacingan memang tidak jelas dan sering

dikacaukan dengan penyakit yang lain. Pada permulaan

mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Penderita cacingan

biasanya lesu, tidak bergairah dan konsentrasi belajar kurang.

Pada anak-anak yang menderita Askariasis perutnya tampak

buncit (karena jumlah cacing dan kembung perut, biasanya

matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes), dan

seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, dan nafsu makan

berkurang. Penderita masih dapat berjalan dan sekolah atau

bekerja, sering kali dianggap tidak sakit, sehingga terjadi salah

diagnosis dan pengobatan. Secara ekonomis sudah

menunjukkan kerugian yaitu menurunkan prodiktivitas kerja

Page 6: Cacing

11

dan mengurangi kemampuan belajar (Surat Keputusan Menteri

Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).

e. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja

dan cacing dewasa yang keluar melalui mulut / anus (Pinardi

Hadidjaja, 2008).

f. Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara

masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan

bermacam-macam obat misalnya piperasin, pirantel pamoat

atau mebendazol.

Untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu (Aru

Sudoyo, 2006) :

- obat mudah diterima masyarakat

- aturan pemakaian sederhana

- mempunyai efek samping yang minim

- bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap

beberapa jenis cacing

- harganya murah

g. Pencegahan

Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi serta lingkungan

sangat mempunyai arti dalam penangulangan infeksi cacing

gelang ini. Suatu pengalaman oleh E. Kosin pada tahun 1973,

telah dilakukan suatu penelitian kontrol askaris di suatu desa di

daerah Belawan, sumatera utara, diketahui prevalensi cacing

gelang pada anak 85%, setelah pengobatan massal, angka

infeksi turun secara drastis menjadi 10%. Tiga bulan kemudian,

saat anak-anak tersebut diperiksa kembali, diperoleh hasil yang

Page 7: Cacing

12

sangat mengejutkan, yaitu angka infeksi naik menjadi 100%.

Setelah dilakukan penelitian, ternyata cacing yang berhasil

dikeluarkan dengan pengobatan tadi tersebar di sembarang

tempat, berarti terjadi pencemaran tanah disekitar desa dengan

telur cacing dan ini merupakan sumber infeksi (Soedarmo,

2008).

h. Prognosis

Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang

bermigrasi, mempunyai prognosis yang baik. Tanpa

pengobatan, infeksi cacing dapat sembuh sendiri dalam waktu

1,5 tahun. Dengan pengobatan, kesembuhan diperoleh antara

80-90% (Aru Sudoyo, 2006).

2. Cacing Cambuk (Trichuris trichura)

a. Morfologi dan daur hidup

Cacing jantang panjangnya kurang kebih 4 cm, dengan

bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar,

sedangkan pada cacing betina panjangnya kurang lebih 5 cm,

dengan bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor lurus

berujung tumpul. Telurnya berukuran kurang lebih 50 x 22

mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung

menonjol, berdinding tebal dan berisi larva (Pinardi Hadidjaja,

2008).

Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan

bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari

hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam

waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu

pada tanah yang lembab dan temapat yang teduh. Telur matang

ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif .

cara infeksi langsung yaitu bila secara kebetulan hospes

menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan

masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing

Page 8: Cacing

13

turun ke bagaian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama

sekum. Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa

pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai menjadi

cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari

(Srisasi Gandahusada, 2006).

Gambar 2. Daur Hidup Trichuris trichiura (Surat Keputusan

Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).

b. Epidemiologi

Trichuris trichura, cacing ini tersebar diseluruh dunia,

tetapi lebih banyak terdapat di daerah panas dan lembab dan

sering terlihat bersarma-sama dengan infeksi ascaris.

Trichuriasis banyak ditemukan di Asia dimana prevalensinya

lebih dari 50% didaerah pedesaan. Di Afrika, prevalensinya

25% dan di Amerika Latin 12% (Soedarmo, 2008).

c. Patofisiologi

Cacing cambuk pada manusia dapat hidup dalam sekum,

dapat juga ditemukan di kolon asendens.pada infeksi berat,

terutama pada anak cacing ini menyebar diseluruh kolon dan

rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang

Page 9: Cacing

14

mengalami prolapsus akibat mengajannya penderita pada

waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam

usus, sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan

peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat

terjadi perdarahan. Disamping itu rupanya cacing ini mengisap

darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia (Surat

Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).

d. Gejala klinis

Penderita terutama anak-nak dengan infeksi trichuris yang

berat dan menahun menunjukkan gejala-gejala nyata seperti

diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia,

berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rectum

(Srisasi Gandahusada, 2006).

e. Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam tinja

(Srisasi Gandahusada, 2006).

f. Pengobatan

Perawatan umum

Higiene pasien diperbaiki dan diberikan diet tinggi kalori,

sedangkan anemia dapat diatasi dengan pemberian preparat

besi (Aru Sudoyo, 2006).

Perawatan spesifik

Bila keadaan ringan dan tak menimbulkan gejala, penyakit

ini tidak diobati. Tetapi bila menimbulkan gejala, dapat

diberikan obat-obat (Aru Sudoyo, 2006) :

- Diltiasiamin jodida. Diberikan dengan dosisi 10-15

mg/kgBB/hari, selama 3-5 hari

- Stilbazium yodida. Diberikan dengan dosis 10

mg/kgBB/hari, 2 kali sehari selama 3 hari dan bila

diperlukan dapat diberikan dalam waktu yang lebih lama.

Page 10: Cacing

15

Efek samping obat ini adalah rasa mual, nyeri pada perut

dan warna tinja menjadi merah.

- Heksiresorsinol 0,2%. Dapat diberikan 500 ml dlam bentuk

enema, dalam waktu 1 jam.

- Mebendazol. Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari

selama 3 hari, atau dosis tunggal 600 mg

g. Pencegahan

Didaerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah

dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban

yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan

perorangan. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan

baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di

negeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk (Srisasi

Gandahusada, 2006).

h. Prognosis

Dengan pengobatan yang adekuat, prognosis baik ( Srisasi

Gandahusada, 2006).

3. Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma

duodenale)

a. Morfologi dan daur hidup

Ancylostoma duodenale (Pinardi Hadidjaja, 2008)

- panjang badannya kurang lebih 1 cm, menyerupai huruf C

- dibagian mulutnya terdapat dua pasang gigi

- cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian

ekornya.

- Cacing betina ekornya runcing

Necator americanus (Pinardi Hadidjaja, 2008)

Page 11: Cacing

16

- panjang badannya kurang lebih 1 cm, menyerupai huruf S

- bagian mulutnya menyerupai benda kitin

- cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian

ekornya

- cacing betina ekornya runcing.

- Telurnya berukuran kurang lebih 70 x 45 mikron, bulat

lonjong, berdinding tipis, kedua kutup mendatar.

Didalamnya terdapat beberapa sel.

- Larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron,

rongga mulut panjang dan sempit. Esofagus dengan dua

bulbus dan menempati 1/3 panjang badan bagian anterior.

- Larva filariform panjangnya kurang lebih 500 mikron,

ruang mulut tertutup, esofagus menempati ¼ panjang badan

bagian anterior

Daur hidupnya ialah sebagai berikut

Telur larva rabditiform larva filariform menembus

kulit kapiler darah jantung kanan paru bronkus

trakea laring usus halus.

Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi

A. Duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform

(Srisasi Gandahusada, 2006).

Page 12: Cacing

17

Gambar 3. Daur hidup Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale (Surat Keputusan Menteri Nomor :

424/MENKES/SK/VI, 2006).

b. Epidemiologi

Insiden tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia,

terutama di daerah perkebunan. Seringkali golongan pekerja

perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah,

mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di tanah

dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting dalam

penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva

ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimun untuk

Necator americanus 28-320 C, sedangkan untuk Ancylostoma

duodenale lebih rendah (23-250 C). Pada umunya Ancylostoma

duodenale lebih kuat (Srisasi Gandahusada, 2006).

c. Patofisiologi

Cacing tambang hidup di usus halus manusia melekatkan

dengan giginya pada dinding usus dan menghisapnya. Infeksi

Page 13: Cacing

18

cacing tambang menyebabkan kerusakan darah secara

perlahan-lahan, sehingga penderita mengalami kekurang darah

(anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta

menurunkan produktifitasnya. Tetapi kekurangan darah

(anemia) biasanya tidak dianggap cacingan karena kekurangan

darah dapat terjadi oleh banyak sebab anemia (Surat Keputusan

Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).

d. Gejala klinis

Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis adalah sebagai

berikut (Srisasi Gandahusada, 2006) :

1. stadium larva

Bila banyak larva filariform menembus kulit, maka

terjadi perubahan kulit yang disebut “ground itch”.

Perubahan pada paru biasanya ringan.

2. stadium dewasa

Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan

keadaan gizi penderita (fe dan protein). Tiap cacing N.

americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak

0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A. doudenale, 0,08-0,34 cc.

Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping

itu juga terdapat eosinofilia.

e. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja

segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk

membedakan spesies larva N. Americanus dan A. Duodenale

dapat dilakukan biakan tinja misalnya dengan cara Harada-

Mori (Srisasi Gandahusada, 2006).

Page 14: Cacing

19

f. Pengobatan

Perawatan umum

Perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi

yang baik, suplemen preparat besi diperlukan oleh pasien

dengan gejala klinis yang berat, terutama bila ditemukan

bersama-sama anemia (Aru Sudoyo, 2006).

Perawatan khusus (Aru Sudoyo, 2006)

- Albendazol. Diberikan dengan dosis tunggal 400 mg

- Mebendazol. Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari

selama 3 hari.

- Tetrakloretilen. Merupakan obat pilahan utama (drug of

choise) terutama untuk pasien ansilostomiasis. Dosis

diberikan 0,12 ml/kgBB, dosisi tunggal tidak boleh lebih

dari 5 ml. Pengobatan dapat diulang 2 minggu kemudian

dilakukan pemeriksaan telur tinja tetap positif. Pemberian

obat ini sebaiknya dalam keadaan perut kosong disertai

pemberian 30 g MgSO4. kontraindikasi pemberian obat ini

pada pasien alkoholisme, kelainan pencernaan, konstipasi.

- Befanium hidroksinaftat. Obat pilahan utama untuk

ankilostomiasis dan baik untuk pengobatan massal pada

anak. Obat ini relatif tidak toksik. Dosis diberikan 5 g 2 kali

sehari, dan dapat diulang bilamana diperlukan. Untuk

pengobatan necator americanus, dosis diberikan untuk 3

hari.

- Pirantel pamoat. Obat ini cukup efektif dengan toksisitas

yang rendah dan dosi yang diberikan 10 mg/kgBB/hari

sebagai dosis tunggal.

- Heksilresinol. Diberikan sebagai obat alternatif yang cukup

efektif dan dosis pemberian obat ini sama seperti pada

pengobatn askariasis

Page 15: Cacing

20

g. Pencegahan (Soedarmo, 2008)

- pemberantasan sumber infeksi pada populasi

- perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi / lingkungan

- mencegah terjadinya kontak dengan larva dengan cara

memakai sandal atau sepatu

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya cacingan

Menurut Peter J. Hotes (2003:17) mengemukakan bahwa faktor-

faktor risiko (Risk factors) yang dapat mempengaruhi terjadinya

penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain

(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21589/4/Chapter%20II.pdf

)

1. Lingkungan

Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh

terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Peter J. Hotes,

2003:17). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Peter J.

Hotes bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak

ditemukan di daerah perkotaan, sedangkan menurut Albonico yang

dikutip peter J. Hotes bahwa jumlah prevalensi tertinggi ditemukan

di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar

masih hidup dalam kekurangan.

1.1 Kepemilikan jamban

Bertambahnya penduduk yang tidak seimbang dengan area

pemukiman timbul masalah yang disebabkan pembuangan

kotoran manusia yang meningkat. Penyebaran penyakit yang

bersumber pada kotoran manusia (faeces) dapat melalui

berbagai macam jalan atau cara. Peranan tinja dalam

penyebaran penyakit sangat besar. Di samping dapat langsung

mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air, tanah,

serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya), dan bagian-bagian

tubuh dapat terkontaminasi oleh tinja tersebut. Benda-benda

Page 16: Cacing

21

yang telah terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang sudah

menderita suatu penyakit tertentu merupakan penyebab

penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap

pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan

penduduk, akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit

yang ditularkan lewat tinja. Penyakit yang dapat disebarkan

oleh tinja manusia antara lain: tipus, disentri, kolera,

bermacam-macam cacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing

tambang, cacing pita), schistosomiasis, dan sebagainya

1.2 Lantai rumah

Rumah sehat secara sederhana yaitu bangunan rumah harus

cukup kuat, lantainya mudah dibersihkan.

1.3 Ketersediaan air bersih

Akibat air yang tidak sehat dapat menimbulkan: gangguan

kesehatan seperti penyakit perut (kolera, diare, disentri,

keracunan, dan penyakit perut lainnya), penyakit cacingan

(misalnya: cacing pita, cacing gelang, cacing kremi, demam

keong, kaki gajah).

2. Tanah

Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya

tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura,

telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu

optimal ± 300C (Depkes RI, 2004). Tanah liat dengan kelembapan

tinggi dan suhu yang berkisar antara 250C-300C sangat baik untuk

berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk

infektif. Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus

yaitu memerlukan suhu optimum 280C-320C dan tanah gembur

seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih

rendah yaitu 230C-250C (Srisasi Gandahusada, 2006).

3. Iklim

Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu

di daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi.

Page 17: Cacing

22

Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab.

Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan

kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan

pertambangan (Srisasi Gandahusada, 2006).

4. Perilaku

4.1 Kebiasaan memakai alas kaki

Kesehatan anak sangat penting karena kesehatan semasa

kecil menentukan kesehatan pada masa dewasa. Anak yang

sehat akan menjadi manusia dewasa yang sehat. Membina

kesehatan semasa anak berarti mempersiapkan terbentuknya

generasi yang sehat akan memperkuat ketahanan bangsa.

Pembinaan kesehatan anak dapat dilakukan oleh petugas

kesehatan, ayah, ibu, saudara, anggota keluarga anak itu serta

anak itu sendiri. Anak harus menjaga kesehatannya sendiri

salah satunya membiasakan memakai alas/sandal (Depkes RI,

1998).

Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah

gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator

americanus 28-320C sedangkan untuk Ancylostoma duodenale

lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah

memakai sandal atau sepatu (Srisasi Gandahusada, 2006).

4.2 Kebiasaan mencuci tangan

Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan

karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam

mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan, namun demikian

sesekali orang dewasa juga perutnya terdapat cacing.

4.3 Kebiasaan memotong kuku

Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku

sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan

cacing dari tangan ke mulut (Srisasi Gandahusada, 2006).

4.4 Kebiasaan makan

Page 18: Cacing

23

Kebiasaan penggunaan faeces manusia sebagai pupuk

tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah,

persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya

sayuran akan meningkatkan jumlah penderita helminthiasis.

Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebabkan

terjadinya penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya,

kebiasaan makan secara mentah atau setengah matang, ikan,

kerang, daging dan sayuran. Bila dalam makanan tersebut

terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacingnya

menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi pada manusia.

5. Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut

Tshikuka (1995) dikutip Peter J. Hotes (2003:22) yaitu faktor

sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang

rendah.

6. Status Gizi

Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake),

pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme

makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat

menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat

menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain

dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan dan

produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan

ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya

e. Kerugian Akibat Kecacingan

Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan

(digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara

kumulatif, infeksi kecacingan menimbulkan kerugian baik berupa

kalori, protein dan darah. Selin dapat menghambat perkembangan

fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, bahkan pada gilirannnya

dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit

Page 19: Cacing

24

lainnya (Surat Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI,

2006).

2. Konsep Pengetahuan

a. Pengertian

Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil

penggunaan panca inderamya. Berbeda dengan kepercayaan (beliefes),

takhayul (superstition), dan penerangan-penerangan yang keliru

(misinformation) (Soekanto, 2003). Pengetahuan adalah merupakan

hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang

pernah dialami secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi

setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek

tertentu (wahit, dan kawan-kawan 2006). Perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan, sebab perilaku itu terjadi akibat adanya

paksaan atau aturan yang mengharuskan untuk berbuat (Wahit

Mubarak, 2005).

Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, ras, dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia

diperolah melalui mata dan telinga (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

Penelitian rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang

mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut

terjadi peroses yang berurutan, yakni (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) :

1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam

arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.

Disini sikap subjek sudah mulai timbul.

3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden

sudah lebih baik lagi.

Page 20: Cacing

25

4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers

menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-

tahap di atas.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang

yaitu (Wahit Mubarak, 2005) :

1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada

orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami.

Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang

semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada

akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya.

Sebaliknya, jika seseorang tingkan pendidikannya rendah, akan

menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan,

informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.

2. Pekerjaan

lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh

pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak

langsung.

3. Umur

dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan

pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan pada fisik

secara garis besar ada empat kategori perubahan Pertama,

perubuhan ukuran, kedua, perubahan proporsi, ketiga, hilangnya

ciri-ciri lama, keempat, timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat

pematangan fungsi organ.

4. Minat

Page 21: Cacing

26

Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi

terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan

menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperolah pengetahuan yang

lebih mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami

seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

f. Kebudayaan

Kebudayaan lingkungan sekitar, kebudayaan dimana kita hidup

dan di besarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan

sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk

menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat

sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan

lingkungan, karena lingkungan sangat berpengaruh dalam

pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang.

g. Informasi

Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat

membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh

pengetahuan yang baru.

3. Konsep Sikap

a. Pengertian

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dapat disimpulkan

bahwa sikap tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya dapat

ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang ditutup. Sikap secara

nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap

stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi

yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Soekidjo

Notoatmodjo, 2007).

Newcomb, salah seorang psikologis sosial, menyatakan bahwa

sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan

merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu

Page 22: Cacing

27

tindakan atau aktivitas. Akan tetapi merupakan predisposisi tindakan

suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan

merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap

merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan

tertentu sebagai suatu pengahayatan terhadap objek (Soekidjo

Notoatmodjo, 2007).

b. Komponen sikap

Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen

pokok, yaitu (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) :

1. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2. kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen tersebut membentuk sikap yang utuh (total

attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

c. Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak

langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau

pernyataan responden terhadap suatu objek (Soekidjo Notoatmodjo,

2007).

4. Konsep Perilaku

a. Pengertian

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas

organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari

sudut pandang biologis semua mahluk hidup mulai tumbuh-tumbuhan,

binatang sampai dengan manusia itu berprilaku, karena mereka

mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan

perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari

manusia itu sendriri yang mempunyai bentangan yang sangat luas

anatara lain : berjalan, berbicara menangis, tertawa, kuliah, menulis,

membaca, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah

semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,

Page 23: Cacing

28

maupun yang tidak diamati oleh pihak luar (Soekidjo Notoatmodjo,

2007).

Menurut Robert Kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau

perbuatan suatu oraganisme yang dapat diamati dan bahkan dapat

dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu

kecendrungan untuk mengadakan tindakan terhadap duatu objek,

dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk

menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah

sebagian dari perilaku manusia (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme

tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan

lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan

lingkungan itu merupakan penentu dari perilaku manusia. Hereditas

atau faktor keturunan adalah konsepsi dasar atau modal untuk

perkembangan perilaku mahluk hidup itu untuk selanjutnya.

Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk perkembangan

perilaku tersebut (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

Skiner (1938) seoarang ahli psikologi, merumuskan bahwa

perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Oleh karena itu terjadi melalui proses adanya

stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut

merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus

Oragnisme Respons (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

b. Bentuk-bentuk perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon

organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar

objek tersebut. Respon ini berbentuk 2 macam, yakni (Soekidjo

Notoatmodjo, 2007) :

1. Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi didalam diri

manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain,

misalnya berpikir, tangggapan atau sikap batin dan pengetahuan.

Page 24: Cacing

29

2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi

secara langsung.

Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap merupakan

respon seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih

bersifat terselubung, dan disebut ‘covert bahviour’. Sedangkan

tindakan nyata seseorang sebagai respon terhadap stimulus (practice)

adalah ‘overt bahaviour’ (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

c. Perilaku kesehatan

Menurut Skiner Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu

respom seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan

sakit dan penyakit, sistem pelayan kesehatan, makanan serta

lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3

kelompok (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) :

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health Maintanance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara

atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk

penyembuhan bilamana sakit. Oleh karena itu, perilaku pemeliharaan

kesehatan terdiri dari 3 aspek yaitu :

a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila

sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari

penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan

sehat. Perlu dijelaskan di sini,bahwa kesehatan itu sangat dinamis

dan relatif, maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan

supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.

c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman

dapat memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi

sebaliknnya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab

menurunya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan

penyakit. Hal ini tergantung pada perilaku orang terhadap

makanan dan minuman tersebut.

Page 25: Cacing

30

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan

kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (Healt

seeking behaviour)

Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat

menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan dan perilaku ini

dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari

pengobatan ke luar negeri.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Yaitu bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik

lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga

lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya.

II.2. Penelitian Terkait

Bebrapa penelitian yang terkait yang pernah dilakukan mengenai

penyakit cacingan antara lain sebagai berikut :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Hariyani pada tahun 2010 dengan judul

hubungan hygiene sanitasi perorangan dengan kejadian penyakit

cacingan pada siswa Sekolah Dasar Yayasan Dinamika Indonesia Bantar

Gerbang Bekasi Jawa Barat . penelitian ini menggunakan desain cross

sectional dan jumlah sampel yang digunakan 186 siswa. Hasil dari

penelitian ini didapatkan angka kejadian cacingan pada Sekolah Dasar

Dinamika Indonesia sebesar 34%. Dari hasil uji statistik diperoleh

adanya hubungan antara hygiene seseorang dari kebiasaan mencuci

tangan dengan baik dan kebersihan kuku dengan kejadian infeksi

cacingan pada Sekolah Dasar Dinamika Indonesia Bantar Gerbang

Bekasi Jawa Barat.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Luh Gde Nita Sri Wahyuningsih pada

tahun 2009 dengan judul hubungan pengetahuan tentang cacingan

dengan perilaku pencegahan cacingan pada siswa kelas IV dan V

Sekolah Dasar Negeri 01 Krutut Kecamatan Limo Depok. Pada

penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah sampel

yang digunakan sebanyak 143 siswa. Hasil penelitian menunjukkan

responden yang memiliki nilai pengetahuan tinggi tentang cacingan

Page 26: Cacing

31

sebanyak 82 orang (57,3%) dan responden yang memiliki pengetahuan

yang rendah tentang cacingan sebanyak 61 orang (42,7%). Dari hasil uji

statistik adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang

cacingan dengan perilaku pencegahan cacingan pada siswa kelas IV dan

V SD Negeri 01 Krutut, dengan P value 0,001.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Juanda tahun 2005 dengan judul faktor-

faktor yang berhubungan dengan kejadian cacingan dan hubungan

kejadian cacingan dengan anemia pada anak SD di Komplek SD Muara

Ciujung Barat Kecamatan Rangka Sibitung Kabupaten Lebak. Pada

penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah sampel

yang diambil secara acak sebanyak 125 orang. Hasil penelitian

menunjukkan responden yang memiliki pengetahuan yang rendah

tentang penyakit cacingan sebanyak 84 orang (67,2%) dan responden

yang memiliki pengetahuan tinggi tentang penyakit cacingan sebanyak

41 orang (32,8%). Dari hasil uji statistic diperoleh adanya hubungan

yang signifikan antara hubungan tentang cacingan (p=0,000) dan

perilaku hidup sehat yang meliputi cuci tangan sebelum makan, cuci

tangan dengan sabun, pakai alas kaki, bauang air besar di WC, tidak

jajan sembarangan dan membersihkan kuku tangam (P=0,021) dengan

kejadian cacingan.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Nina Septiana Dwi Indarti pada tahun

2004 dengan judul hubungan perilaku anak sehari-hari dengan kejadian

cacingan pada anak Sekolah Dasar di 10 Propinsi di Indonesia. Pada

penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dengan jumlah

sampel yang digunakan sebanyak 100 anak yang dipilih berdasarkan

random sederhana. Hasil dari penelitian ini didapatkan angka prevalensi

cacingan di 10 propinsi di Indonesia adalah sebesar 31%, dengan

prevalensi propinsi tetinggi adalah Bangka Belitung sebesar 80%. Dari

hasil uji pengettatistik didapatkan adanya hubungan perilaku anak

sehari-hari yaitu dari kebiasaan buang air besar, memakai alas kaki,

Page 27: Cacing

32

mencuci tangan sebelum makan dan buanng air besar dengan kejadian

cacingan pada Sekolah Dasar di 10 propinsi di Indonesia.

5. Penelitian yang dilakukan oleh D. Anwar Musadad pada tahun 1998

dengan judul studi perbandingan pengetahuan, sikap dan tindakan anak-

anak SD dalam pemberantasan penyakit cacing perut di 2 sekolah dasar

di Kecamatan Tanjung Priok Jakarta. Pada penelitian ini menggunakan

desain cross sectional. Hasil penelitian ini didapatkan pengetahuan,

sikap dan tindakan murid-murid kelas IV, V dan VI SDN Kebun

Bawang 02 Petang dalam pemberantasan penyakit cacing perut lebih

baik dibandingkan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan SDN Bambu

02 Petang. Pada SD binaan, pengetahuan, sikap dan tindakan murid-

murid kelas IV, V dan IV SD dapat meningkatkan pemberantasan

penyakit cacingan.

II.3. Kerangka Teori

Faktor Host

- Pengetahuan

- Sikap

- Perilaku

- Kebiasaan mencuci tangan

- Kebiasaan memotang

kuku

- Kebiasaan makan

makanan mentah

- Kebiasaan memakai alas

kaki

- Sosial ekonomi

- Status gizi

Faktor Environment

- Lingkungan

- Kepemilikan jamban

- Ketersedian air

bersih

- Lantai rumah

- Tanah

- Iklim

Penyakit Kecacingan

Page 28: Cacing

33

II.4. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

II.5. Hipotesis

Pada hakikatnya hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang hubungan

yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara

empiris. Biasanya hipotesis terdiri dari pernyataan terhadap ada atau

tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu variabel independen dan

variabel dependen (Soekidjo Notoatmodjo, 2005).

Adapun hipotesis dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Ada hubungan antara penggetahuan siswa kelas V terhadap penyakit

cacingan.

2. Ada hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit cacingan.

3. Ada hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit cacingan.

Pengetahuan

Sikap

Perilaku

Penyakit Kecacingan