20
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Taeniasis sp. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi Taenia sp. akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis. Menurut Tolan (2011), semua usia rentan terhadap infeksi taeniasis. Usia di mana konsumsi daging mentah dimulai adalah faktor yang menentukan usia infeksi. Taeniasis solium dilaporkan terjadi pada anak usia 2 tahun di Mexico (Yanez, 2001). Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat ditemukan pada seluruh bagian dunia (CFSPH, 2005). Sekitar 50 juta orang di seluruh dunia terinfeksi Taenia saginata dan Taenia solium. Sekitar 2-3 juta orang terinfeksi cacing Taenia solium (White, 1997; CFSPH, 2005), 45 juta orang terinfeksi Taenia saginata, dan sekitar 50 juta orang mengidap sistiserkosis dari Taenia solium (CFSPH, 2005). Taenia solium merupakan infeksi yang endemik pada Amerika Tengah dan Selatan serta beberapa negara di Asia Tenggara seperti Korea (Lee et al., 2010), Thailand (Anantaphruti et al., 2007), India, Filipina, Indonesia, Afrika (Carabin et al., 2009), Eropa Timur, Nepal, Bhutan, dan China (Rajshekhar et al., 2003; WHO, 2009). Prevalensi tertinggi ditemukan pada Amerika Latin dan Afrika. Bahkan, prevalensi beberapa daerah di Mexico dapat mencapai 3,6% dari populasi umum (Tolan, 2011). Bolivia merupakan salah satu negara dengan prevalensi tertinggi selain Brazil, Ekuador, Mexico, dan Peru di America Latin (sesuai dengan kriteria Pan American Health Organization, negara-negara dengan tingkat lebih dari 1% dianggap memiliki tingkat prevalensi tinggi) (Yanez, 2001). Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk merupakan masyarakat beragama muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi. Namun, ada beberapa daerah, seperti Bali dan Papua, yang banyak mengkonsumsi Universitas Sumatera Utara

Morfologi Cacing

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Morfologi Cacing

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi Taeniasis sp.

Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat

dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu

daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Beberapa negara maju seperti

Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi Taenia sp. akibat perjalanan

yang dilakukan di daerah endemis. Menurut Tolan (2011), semua usia rentan

terhadap infeksi taeniasis. Usia di mana konsumsi daging mentah dimulai adalah

faktor yang menentukan usia infeksi. Taeniasis solium dilaporkan terjadi pada

anak usia 2 tahun di Mexico (Yanez, 2001).

Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat

ditemukan pada seluruh bagian dunia (CFSPH, 2005). Sekitar 50 juta orang di

seluruh dunia terinfeksi Taenia saginata dan Taenia solium. Sekitar 2-3 juta orang

terinfeksi cacing Taenia solium (White, 1997; CFSPH, 2005), 45 juta orang

terinfeksi Taenia saginata, dan sekitar 50 juta orang mengidap sistiserkosis dari

Taenia solium (CFSPH, 2005).

Taenia solium merupakan infeksi yang endemik pada Amerika Tengah dan

Selatan serta beberapa negara di Asia Tenggara seperti Korea (Lee et al., 2010),

Thailand (Anantaphruti et al., 2007), India, Filipina, Indonesia, Afrika (Carabin et

al., 2009), Eropa Timur, Nepal, Bhutan, dan China (Rajshekhar et al., 2003;

WHO, 2009). Prevalensi tertinggi ditemukan pada Amerika Latin dan Afrika.

Bahkan, prevalensi beberapa daerah di Mexico dapat mencapai 3,6% dari populasi

umum (Tolan, 2011). Bolivia merupakan salah satu negara dengan prevalensi

tertinggi selain Brazil, Ekuador, Mexico, dan Peru di America Latin (sesuai

dengan kriteria Pan American Health Organization, negara-negara dengan tingkat

lebih dari 1% dianggap memiliki tingkat prevalensi tinggi) (Yanez, 2001).

Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk

merupakan masyarakat beragama muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi.

Namun, ada beberapa daerah, seperti Bali dan Papua, yang banyak mengkonsumsi

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Morfologi Cacing

daging babi. Sampai saat ini, Papua masih menjadi daerah endemik taeniasis dan

sistiserkosis (Handojo dan Margono, 2008b).

Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, memiliki prevalensi

taeniasis solium sebesar 15% (Subahar et al., 2005). Sedangkan di Bali, dahulu

merupakan daerah endemis bagi taeniasis dan sistiserkosis, telah dilakukan

penghentian transmisi dari sistiserkosis (WHO, 2009).

Prevalensi infeksi Taenia saginata berbeda dengan Taenia solium, infeksi

tertinggi Taenia saginata terdapat pada Asia Tengah, sekitar Asia Timur, Afrika

Tengah, dan Afrika Timur (lebih dari 10%). Daerah dengan prevalensi infeksi

0,1% hingga 10% seperti negara pada daerah Asia Tenggara seperti Thailand,

India, Vietnam, dan Filipina. Daerah dengan prevalensi rendah (sekitar 1%

penderita) seperti beberapa negara di Asia Tenggara, Eropa, serta Amerika

Tengah dan Selatan (Sheikh, et al., 2008; Del Brutto, 2005).

Epidemiologi sistiserkosis tidak jauh berbeda dengan epidemiologi dari

Taenia sp.. Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas. Lebih dari 50

juta orang menderita sistiserkosis, namun jumlah ini masih diyakini melebihi

jumlah yang sebenarnya (White, 1997; Wiria, 2008). Sekitar 50.000 ribu orang

meninggal per tahun akibat komplikasi sistiserkosis pada jantung dan otak

(CFSPH, 2005; Tolan, 2011). Prevalensi sistiserkosis akibat Taenia solium paling

sering terjadi di Amerika Latin, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan

Afrika Sub Sahara (CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999; WHO, 2009). Pada orang

dewasa yang menderita kejang di Negara seperti Meksiko, setengahnya

merupakan penderita neurosistiserkosis. Keadaan serupa ditemukan juga di

Afrika, India, dan China bahwa sebagian besar penyakit parasit otak disebabkan

oleh neurosistiserkosis (CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999). Telah diketahui

bahwa prevalensi neurosistiserkosis di antara penderita kejang pada daerah

endemis lebih dari 29% (WHO, 2009).

Sistiserkosis dan taeniasis pada Amerika Serikat dan beberapa negara di

Eropa merupakan penyakit yang jarang. Prevalensi di Amerika Serikat kurang

dari 1% karena kebanyakan ternak pada Amerika Serikat bebas dari parasit

(Tolan, 2011). Insidens sistiserkosis pada Amerika Serikat diperkirakan hanya

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Morfologi Cacing

1.000 kasus setiap tahunnya (Tolan, 2011; CFSPH, 2005; Subahar et al., 2005).

Adanya insidens pada Amerika Serikat diduga karena peningkatan jumlah imigran

dari Meksiko dan negara berkembang lain yang datang ke negara tersebut (White,

1997).

Negara-negara di benua Asia, Bhutan, India, Nepal, Thailand, dan beberapa

bagian di Indonesia merupakan daerah endemis sistiserkosis (WHO, 2009).

Daerah Korea dan Myanmar diduga juga merupakan daerah endemik, namun

tidak ada data yang mendukung (WHO, 2009). Prevalensi sistiserkosis pada

Papua, di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3-66,7% (Subahar et

al., 2005) sedangkan di Sumatera Utara, prevalensi taeniasis dan sistiserkosis

sejak tahun 1972-2000 dilaporkan berkisar antara 1,9% sampai 2,29%

(Simanjuntak dan Widarso, 2004). Pada penelitian epidemiologi yang diadakan

tahun 2003 sampai 2006 oleh Wandra, dari 240 orang menunjukkan 2,5% positif

terinfeksi Taenia asiatica. Pada tahun 2003, dijumpai 2 orang positif dari 58

orang (3,4%), sedangkan pada tahun 2005 ditemukan 4 dari 182 orang positif

(2,2%) (Wandra et al., 2007).

2.2. Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Sapi

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Unger et al. (2008) dengan

menggunakan metode inspeksi daging di Gambia, diketahui bahwa temuan

sistiserkus dari Taenia saginata mencapai 0.75% dari 1.595 ternak yang diperiksa.

Sementara penelitian Kebede et al. (2009) dengan sampel sebanyak 11.227 ternak

menunjukkan 7,5% ternak terinfeksi sistiserkus Taenia saginata. Tabel berikut

merupakan angka temuan sistiserkus pada sapi pada penelitian lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Morfologi Cacing

Tabel 2.1 Angka Temuan C. bovis pada Penelitian di Negara Lain Negara/Lokasi % Metode Sumber

Gambia 0,75 19,2

Inspeksi daging ELISA

Unger et al., 2008

Ethiopia 7,5

Inspeksi dan Insisi daging

Kebede et al., 2009

Ethiopia 4,4 Inspeksi daging Megersa et al., 2010. Kenya 2,5

16,7 Inspeksi daging ELISA

Asaava et al., 2010

Nigeria (Makurdi) 9,2 Inspeksi daging Ofukwu et al., 2009 Jerman 15,6 ELISA Abuseir et al., 2006

Penelitian mengenai sistiserkus Taenia solium di tahun 2002, didapatkan

prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India, dan Nepal adalah 5,4, 9,3, dan

32,5% (Rajshekhar et al., 2003). Pada penelitian Vazquez-Florez et al. (2001)

memeriksa 53 babi dengan metode palpasi lidah dan serologis dengan hasil

penelitian tidak ditemukan adanya sistiserkus (0%). Penelitian oleh Gweba et al.

(2010) di Itali, memeriksa babi hidup dengan palpasi lidah dan juga pemeriksaan

inspeksi daging. Dari penelitian tersebut, didapatkan angka temuan sistiserkus

sebesar 5,85% dan 14,4% dari masing-masing pemeriksaan. Penelitian

sistiserkosis pada babi yang dilakukan oleh Maitindom (2008) pada Kabupaten

Jayawijaya, Papua didapatkan angka prevalensi 77,1%. Selain itu, penelitian

lainnya seperti penelitian Suweta (1991) di Bali menunjukkan angka sistiserkosis

pada babi sebanyak 0,15%. Pada tabel berikut dapat dilihat angka kejadian

sistiserkus pada babi pada penelitian lain.

Tabel 2.2 Angka Temuan C. cellulosae pada Penelitian di Negara Lain Negara/Lokasi % Metode Sumber India 22,5

4,41

Serologis (Indirect Hemmaglutinnin test) Inspeksi daging

Selvam et al., 2004

Brazil 23,5 EITB Sakai et al., 2001 Zambia 56,6

20,6 ELISA Inspeksi daging

Phiri et al., 2003

Nigeria 20,5 Inspeksi daging Zoli et al., 2003 Zambia 18,5 Inspeksi daging Phiri et al., 2006

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Morfologi Cacing

2.3. Biologi dan Morfologi Taenia sp.

2.3.1. Biologi dan Morfologi Taenia solium

Taksonomi dari Taenia solium (Keas, 1999; CFSPH, 2005; Ideham dan

Pusarawati, 2007):

Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Cestoidea

Ordo : Cyclophyllidea

Famili : Taeniidae

Genus : Taenia

Spesies : solium

Taenia solium (cacing pita babi) merupakan infeksi cacing yang

distribusinya kosmopolit. Cacing ini menginfeksi baik manusia dan babi. Manusia

biasanya sebagai hospes definitif atau hospes perantara (CFSPH, 2005),

sedangkan babi sebagai hospes perantara. Habitat cacing yang telah dewasa di

dalam usus halus (jejunum bagian atas) manusia, sedangkan larvanya terdapat di

dalam jaringan organ tubuh babi (CFSPH, 2005; Handojo dan Margono, 2008b).

Cacing dewasa dari Taenia solium berukuran panjang antara 2-4 meter,

dan dapat hidup sampai 25 tahun lamanya (Soedarto, 2008; Garcia et al., 2002).

Bentuk dari cacing dewasa seperti pipa, pipih dorsoventral, dan tubuhnya terdiri

atas skoleks (kepala), leher, dan strobila yang terdiri dari segmen proglotid

(Ideham dan Pusarawati, 2007). Setiap cacing Taenia solium mempunyai segmen

yang berjumlah kurang dari 1000 buah (Soedarto, 2008).

Skoleks Taenia solium berbentuk bulat, dengan garis tengah 1 mm,

mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret kait

yang melingkar dan berdiameter 5 mm, masing-masing sebanyak 25-30 buah

(Handojo dan Margono, 2008b).

Leher cacing Taenia solium pendek, berukuran panjang antara 5-10

milimeter (Soedarto, 2008). Strobila terdiri dari proglotid yang imatur, matur, dan

gravid. Proglotid imatur ukurannya lebih lebar daripada panjangnya, sedangkan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Morfologi Cacing

proglotid matang berbentuk hampir persegi empat (Ideham dan Pusarawati, 2007)

dan berukuran 12 mm x 6 mm (Soedarto, 2008).

Dalam proglotid yang matang terdapat testis berupa folikel yang tersebar

di seluruh dorsal tubuh dan jumlahnya mencapai 150-200. Proglotid matang juga

mempunyai lubang genital yang terletak di dekat pertengahan segmen. Ovarium

terletak di bagian posterior, berbentuk 2 lobus yang simetris dan uterus terletak di

tengah seperti gada (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Pada proglotid gravid, terdapat 5-10 cabang lateral dari uterus di tiap sisi

segmen. Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk rantai yang terdiri atas 5-6

segmen setiap kali dilepaskan (Soedarto, 2008).

2.3.2. Biologi dan Morfologi Taenia saginata

Taksonomi dari Taenia saginata (Keas, 1999, Ideham dan Pusarawati,

2007):

Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Cestoidea

Ordo : Cyclophyllidea

Famili : Taeniidae

Genus : Taenia

Spesies : saginata

Habitat cacing ini dalam tubuh manusia terletak pada usus halus bagian

atas. Cacing dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai 10 tahun lamanya

(Soedarto, 2008). Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan

panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5 meter atau

kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun, bahkan lebih (CFSPH,

2005).

Skoleks berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan

mempunyai 4 alat isap (sucker). Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks.

Leher Taenia saginata berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Morfologi Cacing

milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur (Handojo

dan Margono, 2008a).

Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai

ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5

cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada

segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen,

mempunyai 15–30 cabang di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu

demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen

gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan

segmen gravid cacing pita babi (CFSPH, 2005).

2.3.3. Biologi dan Morfologi Sistiserkus

Sistiserkus adalah fase istirahat larva Cestoda yang terdapat di dalam

tubuh hospes perantara, dan terdiri atas kantung tipis yang dindingnya

mengandung skoleks, dan rongga di tengahnya berisi sedikit cairan jernih

(Soedarto, 2008; Garcia et al., 2002).

Sistiserkosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh sistiserkus,

yaitu larva atau fase metacestoda cacing pita. Sistiserkus atau larva Taenia solium

biasanya ditemukan pada ternak babi (Cysticercus cellulosae), sapi (Cysticercus

bovis) dan kadang-kadang ditemukan pada manusia (C. cellulosae). Sistiserkosis

ditandai dengan adanya kista pada otot skeletal dari hospes. Sistiserkosis juga

dapat terjadi pada sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) (CFSPH, 2005).

Kista Cysticercus bovis panjangnya berukuran 6 sampai 9 mm, dan

diameternya sekitar 5 mm ketika sudah berkembang sempurna. Kista paling

sering dijumpai pada otot masseter, jantung, dan pillar dari diafragma, walaupun

mungkin pada hewan yang berat terinfeksi mungkin ditemukan pada otot skeletal

(Soedarto, 2008).

Kista Cysticercus cellulosae memiliki skoleks terletak di satu sisi kista,

terinvaginasi, dan terlihat sebagai nodul opak dengan diameter 4-5 mm (Handojo

dan Margono, 2008b). Menurut Garcia et al. (2002), diameter kista hidup

berukuran 10-20 mm. Kista Cysticercus cellulosae mempunyai ukuran dan bentuk

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Morfologi Cacing

sesuai jaringan sekitarnya. Kista ini biasanya ditemukan pada otot lidah,

punggung, dan pundak babi (Handojo dan Margono, 2008b). Di otak, kista

berbentuk bundar dengan diameter 1 cm. Dapat pula ditemukan kapsul dengan

ketebalan bervariasi yang terdiri atas astrosit dan serat kolagen, tetapi kapsul di

SSP (Sistem Saraf Pusat) dan mata kurang tebal (Wiria, 2008). Dinding kantong

terdiri atas tiga lapis: lapisan kutikula yang terdiri microtriches (lapisan

glikokaliks karbohidrat), pseudoepitel dan muskularis, jaringan penghubung

longgar, dan jaringan kanalikuli (Wiria, 2008).

2.4. Siklus Hidup Taenia sp.

2.4.1. Siklus Hidup Taenia solium

Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus (CFSPH,

2005; Handojo dan Margono, 2008b). Cacing dewasa melepaskan segmen gravid

paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga telur cacing dapat dijumpai

pada feses penderita (Wandra et al., 2007; Soedarto, 2008; Tolan, 2011). Apabila

telur cacing yang matur mengkontaminasi tanaman rumput atau pun peternakan

dan termakan oleh ternak seperti babi, telur akan pecah di dalam usus hospes

perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer (Pearson, 2009a; Handojo dan

Margono, 2008b). Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk

ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama otot

lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak (Ideham dan Pusarawati, 2007; Handojo

dan Margono, 2008b; Tolan, 2011). Dalam waktu 60-70 hari pasca infeksi,

onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius (Soedarto, 2008;

Tolan, 2011).

Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang

masak, yang mengandung larva sistiserkus (Ideham dan Pusarawati, 2007;

Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Di dalam usus manusia, skoleks akan

mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding

usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila.

Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing Taenia solium menjadi dewasa

dan mampu memproduksi telur. Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Morfologi Cacing

50.000 sampai 60.000 telur setiap hari (Tolan, 2011; Garcia et al., 2003; Garcia et

al., 2002; Ideham dan Pusarawati, 2007).

Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari

hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan terinfeksi jika

pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio atau

proglotid gravid (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007).

Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium

(sistiserkorsis) (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Hal ini dapat

terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari hasil ekskresi

manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi (Tolan, 2011). Namun, teori ini belum

dibuktikan (CFSPH, 2005). Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik

yang berlawanan pada gravid proglotid akan menyebabkan proglotid bergerak

secara retrograd dari usus ke lambung (CFSPH, 2005; Ideham dan Pusarawati,

2007). Telur hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti

dengan sekresi usus (CFSPH, 2005) sehingga setelah terjadi peristaltik yang

bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding usus, mengikuti

aliran kelenjar getah bening atau aliran darah (Soedarto, 2008). Larva selanjutnya

akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat

dan membentuk sistiserkus (Pearson, 2009a; Ideham dan Pusarawati, 2007).

Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung

dari lokasi sistiserkus (Tolan, 2011). Proglotid dari Taenia solium kurang aktif

dibandingkan dengan Taenia saginata sehingga kemungkinan untuk ditemukan

pada lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang (CFSPH, 2005).

2.4.2. Siklus Hidup Taenia saginata

Siklus hidup cacing ini hampir sama seperti cacing pita babi. Hospes

definitif Taenia saginata adalah manusia, yang berlaku sebagai hospes perantara

adalah sapi atau kerbau. Cacing Taenia saginata menjadi dewasa setelah 10-12

minggu (sekitar 2 bulan) (CFSPH, 2005; Pearson, 2009b).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Morfologi Cacing

2.5. Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis

Sistiserkus hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar

dan hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk

melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot hospes

selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista akan

mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun penjamu. Pada hewan

yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista kebal terhadap reinfeksi

onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen. Meskipun begitu

dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun hanya setelah parasit berubah

menjadi bentuk metacestoda yang lebih resisten (Wiria, 2008).

Metacestoda dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk

memproteksi diri dari destruksi yang dimediasi komplemen dengan menghasilkan

paramiosin. Paramiosin akan mengikat C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi

komplemen. Parasit juga akan mensekresikan inhibitor protease serin yang disebut

taeniastatin. Taeniastatin dapat menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif,

berintegrasi dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi sitokin.

Sedangkan polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista, mengaktivasi

komplemen untuk menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan

membatasi jumlah sel radang yang menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat

membunuh metacestoda matang. Kista yang hidup juga dapat menstimulasi

produksi sitokin yang dibutuhkan untuk menghasilkan imunoglobulin yang

kemudian diambil oleh kista dan diperkirakan ini merupakan sumber protein

(CFSPH, 2005; White, 1997).

Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler

dengan menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul

ketika kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu (White, 1997).

2.6. Gejala Klinik Taeniasis sp

2.6.1. Gejala Klinik Taeniasis solium

Kait-kait pada skoleks Taenia solium umunya tidak banyak menimbulkan

gangguan pada dinding usus tempatnya melekat (Handojo dan Margono, 2008b).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Morfologi Cacing

Penderita taeniasis umumnya asimptomatik (Pearson, 2009a; Tolan, 2011;

Handojo dan Margono, 2008b) atau mempunyai keluhan yang umumnya ringan,

berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit

kepala, anemia (Soedarto, 2008), nyeri abdomen, kehilangan berat badan, malaise,

anoreksia (Tolan, 2011), peningkatan nafsu makan (CFSPH, 2005), rasa sakit

ketika lapar (hunger pain), indigesti kronik, dan hiperestesia (Ideham dan

Pusarawati, 2007). Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang

menembus dinding usus (Soedarto, 2008). Sering dijumpai kalsifikasi pada

sistiserkus namun tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat

pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia

(Handojo dan Margono, 2008b).

Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada

anak-anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan.

Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan,

dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia,

malaise, dan kegugupan (CFSPH, 2005).

Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada

tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi yang

menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat (Ideham dan

Pusarawati, 2007).

2.6.2. Gejala Klinik Taeniasis saginata

Gambaran klinik dan diagnosa Taeniasis saginata pada usus hampir

serupa dengan infeksi Taeniasis solium (Pearson, 2009b). Pada taeniasis saginata

terjadi inflamasi sub-akut pada mukosa usus (Ideham dan Pusarawati, 2007)

Proglotid dari Taenia saginata dapat bermigrasi ke berbagai organ seperti

apendiks, uterus, duktus biliaris, dan nasofaring sehingga menyebabkan

appendisitis, kholangitis, kolesistitis dan sindrom lainnya. Pada kasus yang

langka, dapat ditemukan obstruksi usus atau perforasi (CFSPH, 2005; Ideham

dan Pusarawati, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Morfologi Cacing

Kelainan patologis yang tampak pada penderita umumnya tidak jelas.

Namun dapat timbul gejala seperti rasa tidak enak pada perut, mual, muntah, dan

diare. Gejala lainnya berupa ileus yang dapat ditimbulkan oleh adanya obstruksi

usus karena banyaknya jumlah cacing (Handojo dan Margono, 2008a).

2.6.3. Gejala Klinik Sistiserkosis

Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit

menimbulkan reaksi jaringan (Pearson, 2009a). Suatu penelitian post mortem

menyebutkan bahwa 80% dari seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik (CFSPH,

2005). Akan tetapi, kista yang telah mati pada sistem saraf pusat dapat

menimbulkan respon jaringan yang berat. Infeksi pada otak (sistiserkosis serebri)

dapat menimbulkan gejala yang berat, akibat dari efek massa dan inflamasi yang

disebabkan oleh degenerasi sistiserkus dan pelepasan antigen (Pearson, 2009a).

Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang belakang, otot, jaringan

subkutan, dan mata (Pearson, 2009a).

Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam

stadium koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi gelatin

dalam cairan kisat dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granular-

nodular, kista mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul fokal

limfoid serta nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular jaringan

granulasi digantikan oleh struktur kolagen dan kalsifikasi (Wiria, 2008).

Gejala timbul tergantung dari jumlah dan lokasi larva (CFSPH, 2005).

Neurosistiserkosis merupakan bentuk sistiserkosis yang menyerang sistem saraf

pusat (Tenzer, 2009; CFSPH, 2005; Garcia et al., 2002) dan paling

membahayakan. Pada kasus tertentu, gejala yang timbul mungkin timbul sangat

lambat, tetapi progresif. Namun, dapat juga gejala timbul secara tiba-tiba akibat

obstruksi cairan serebrospinal akibat adanya sistiserkus yang melayang-layang di

dalam cairan (CFSPH, 2005). Gejala yang paling sering adalah sakit kepala

kronik dan kejang atau epilepsi (70-90%) (Wiria, 2008; CFSPH, 2005; Tenzer,

2009; WHO, 2009; Gracia et al., 2002; Del Brutto, 2005). Gejala lainnya yang

mungkin timbul adalah peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus, tanda

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Morfologi Cacing

neurologis fokal, perubahan status mental (Pearson, 2009a; Tenzer, 2009), mual,

muntah (CFSPH, 2005; Tenzer, 2009), vertigo, ataxia, bingung, gangguan

perilaku, dan demensia progresif (CFSPH, 2005), dan sakit kepala kronik (Tenzer,

2009). Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang

dapat menyebabkan kompresi, transverse myelitis, dan meningitis. Namun kasus

ini jarang (CFSPH, 2005).

Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4 (Wiria,

2008):

a. Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya

(kalsifikasi intraparenkimal). Gejala yang timbul: sakit kepala, kejang,

psikosis.

b. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis

sistiserkal.

c. Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk

neurosistiserkosis ventrikular.

d. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit

serebrovaskular, dan lain-lain.

Pada mata (sistiserkosis oftalmika), sistiserkus paling sering ditemukan

pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum

adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat,

sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam jumlah

banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan

kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis

(CFSPH, 2005).

Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul subkutan.

Larva juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil yang

menimbulkan stroke. Akan tetapi, hal ini jarang terjadi (CFSPH, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Morfologi Cacing

2.7. Diagnosa Taeniasis sp

2.7.1. Diagnosa Taeniasis solium

Diagnosis pasti Taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa

(segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada

pemeriksaan daerah perianal. Namun, telur dan proglotid tidak akan ditemukan

pada feses selama 2-3 bulan setelah cacing dewasa mencapai bagian atas jejunum.

Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 3 sampel yang disarankan untuk

dikumpulkan pada hari yang berbeda (CDC, 2010). Telur cacing yang ditemukan

tidak dapat dibedakan dengan Echinococcus (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005),

penentuan mungkin dapat dilakukan apabila ditemukan proglotid yang matang

atau gravid dengan menghitung percabangan uterus (CDC, 2010; Ideham dan

Pusarawati, 2007).

Cara lain untuk mendiagnosa taeniasis adalah dengan menemukan

proglotid atau telur dalam feses. Telur juga dapat ditemukan dengan

menggunakan pita adhesif yang ditempelkan pada daerah sekitar anus (CFSPH,

2005).

Tabel 2.3 Perbedaan Morfologi Spesies Taenia sp.

(Sumber: Ito et al., 2003)

Karakteristik Taenia solium Taenia asiatica Taenia saginata Sistiserkus Hospes perantara Babi, manusia,

anjing, babi hutan Babi, hewan ternak, kambing, monyet, babi hutan

Hewan ternak, rusa.

Lokalisasi Otot, otak, kulit, mata, lidah

Organ viseral, terutama hati

Otot, organ viseral, otak

Ukuran (mm) 5-8 x 3-6 2 x 2 7-10 x 4-6 Skoleks Rostelum dengan

kait Rostelum dengan kait yang belum sempurna

Tidak ada rostelum dan kait

Cacing dewasa Skoleks Rostelum dengan

kait Rostelum tanpa kait Tanpa rostelum,

tanpa kait Jumlah cabang uterus pada proglottid gravid

7-12 16-21 18-32

Ekspulsi dari manusia

Terutama dalam kelompok, secara pasif

Hanya satu, aktif Hanya satu, aktif

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Morfologi Cacing

Adapun pemeriksaan coproantigen dan molekuler yang mempunyai

sensitivitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan feses. Namun, pemeriksaan

ini belum tersedia pada luar laboratorium penelitian. Metode serologis juga hanya

tersedia pada lingkungan penelitian. Dengan metode serologis seperti ELISA dan

PCR, dapat dibedakan spesies dari Taenia (CFSPH, 2005).

2.7.2. Diagnosa Taeniasis saginata

Diagnosa Taenia saginata dapat menggunakan pita perekat (tes Graham).

Untuk Taenia saginata test ini sangat sensitif, namun tidak pada Taenia solium

(Garcia et al., 2003). Pemeriksaan diagnostik terbaik untuk taeniasis intestinal

adalah deteksi koproantigen ELISA yang dapat mendeteksi molekul spesifik dari

taenia pada sampel feses yang menunjukkan adanya infeksi cacing pita.

Sensitivitas dari ELISA sekitar 95% dan efektivitasnya sekitar 99% (Garcia et al.,

2003; WHO, 2009).

2.7.3. Diagnosa Sistiserkosis

Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis (Wiria,

2008). Untuk mendiagnosa neurosistiserkosis dan mengevaluasi gejala neurologis

dapat dipakai CT scan dan MRI (CFSPH, 2005). CT scan adalah metode terbaik

untuk mendeteksi kalsifikasi yang merupakan infeksi inaktif. CT lebih unggul

daripada MRI, sebaliknya MRI lebih sensitif untuk menemukan kista di parenkim

dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi peradangan (Wiria,

2008). Pada hasil dari pemeriksaan CT scan atau MRI, mungkin dijumpai nodul

padat, kista, kista yang telah terkalsifikasi, lesi cincin, atau hidrosefalus (Pearson,

2009a).

Pada pemeriksaan radiologis, apabila dijumpai kista yang hidup, dinding

kista tidak terlihat dan cairan sistiserkus memiliki kepadatan yang sama dengan

cairan serebrospinal. Ketika parasit mulai kehilangan kemampuan untuk

memodulasi respon imun, pada awalnya, akan terlihat peningkatan kontras sekitar

kista. Pada akhirnya, akan terlihat gambaran peningkatan kontras seperti cincin

atau nodul (Garcia et al., 2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Morfologi Cacing

Kista yang tidak aktif (terkalsifikasi) pada berbagai bagian tubuh,

termasuk otak dan otot, mungkin dapat terlihat pada foto X-ray. Biopsi dapat

dilakukan untuk nodul subkutan dan larva di mata dapat ditemukan pada

pemeriksaan mata. Spesies dari larva dapat diidentifikasi setelah operasi (CFSPH,

2005).

Tes serologi kebanyakan menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang

menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal ini diperkirakan karena aviditas kista

dengan immunoglobulin yang menyebabkan positif palsu (White, 1997). Pada

manusia ada beberapa jenis pemeriksaan serologis termasuk enzyme-linked

immunoelectrotransfer blot (EITB), ELISA, fiksasi komplemen, dan

hemaglutinasi (CFSPH, 2005). Antibodi mungkin ditemukan pada serum atau

cairan serebrospinal (CFSPH, 2005). Namun, immunoblot assay CDC, yang

menggunakan serum spesimen, sangat spesifik dan lebih sensitif dibandingkan

pemeriksaan enzim immunoassay lainnya (umumnya ketika terdapat lebih dari 2

lesi sistem saraf pusat, sensitivitas lebih rendah daripada hanya ada satu kista)

(Pearson, 2009a). Dekade terakhir pemeriksaan standar dengan metode serologis

untuk diagnosa sistiserkosis adalah immunoblot yang dibantu dengan pemeriksaan

spesifik ELISA (Garcia et al., 1999; Margono et al., 2003).

Pemeriksaan EITB telah terbukti spesifik untuk infeksi T.solium. EITB

sensitif pada kista parenkim aktif multipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim.

Meskipun demikian sensitivitasnya rendah pada pasien dengan kista parenkimal

atau kalsifikasi sehingga pada infeksi inaktif pemeriksaan serologi seringkali

negatif. Pemeriksaan serologi berperan penting di daerah yang belum memiliki

fasilitas CT dan MRI (White, 1997). Pemeriksaan EITB menunjukkan spesifisitas

dan sensitivitas yang masing-masing bernilai mendekati 100% dan 98% apabila

pemeriksaan dilakukan pada neurosistiserkosis dengan 2 kista atau lebih yang

masih hidup (WHO, 2009). Pemeriksaan ELISA dengan menggunakan antigen

rekombinan memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 100%. Namun, kelemahan

ELISA adalah tidak dapat mendeteksi kista yang telah berdegenerasi (WHO,

2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Morfologi Cacing

Untuk menyatakan seseorang menderita sistiserkosis diperlukan beberapa

kriteria, antara lain (Wiria, 2008):

Kriteria Mayor:

a. Penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan, di mana ditemukan

sistiserkus berukuran 0,5–2 cm.

b. Ditemukannya antibodi spesifik antisistiserkal menggunakan EITB.

Kriteria Minor:

a. Kejang.

b. Peningkatan tekanan intrakranial.

c. Kalsifikasi intraserebral pungtata.

d. Nodul subkutan atau hilangnya lesi setelah pengobatan dengan anti parasit.

Diagnosa dapat ditegakkan apabila dijumpai dua kriteria mayor, atau satu

kriteria mayor dan dua kriteria minor, ditambah riwayat pajanan (White, 1997).

2.8. Pencegahan Taeniasis sp

Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakan-

tindakan sebagai berikut (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005):

a. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan mencegah

terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing (Soedarto, 2008).

b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva

cacing (sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara endemis

biasanya adalah inspeksi yang dilakukan di rumah potong. Namun,

inspeksi yang dilakukan tidak dapat menyaring semua kasus yang sangat

ringan (Garcia et al., 2003; Soedarto, 2008; Ideham dan Pusarawati, 2007).

c. Memasak daging sampai di atas 50oC selama 30 menit, untuk membunuh

kista cacing, membekukan daging (Soedarto, 2008).

d. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia

sebagai makanan babi, tidak membuang tinja di sembarang tempat

(Ideham dan Pusarawati, 2007; WHO, 2009).

e. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang

tidak dimasak yang tidak dapat dikupas (Soedarto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Morfologi Cacing

f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring,

atau air yang dididihkan selama 1 menit (Soedarto, 2008).

g. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan (Garcia et al.,

2003).

h. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB).

Bila perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit

dengan kemoterapi (WHO, 2009).

i. Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan (kebersihan,

mempersiapkan makanan, dan sebagainya) (WHO, 2009).

2.9. Daging

Daging adalah semua bagian dari hewan yang diinginkan atau telah

ditetapkan aman dan sesuai dengan konsumsi manusia. Daging terdiri dari air,

sedikit karbohidrat, protein dan asam amino, mineral, lemak, vitamin dan

komponen bioaktif lainnya (FAO, 2009b, Heinz dan Hauzinger, 2007).

2.9.1. Ciri-ciri Daging Babi

Kualitas daging bergantung pada perubahan fisik dan kimia yang terjadi

pada daging sebelum, ketika, dan setelah hewan dipotong. Konversi glikogen

menjadi asam laktat yang terjadi setelah hewan dipotong menjadi satu hal yang

penting dalam kualitas daging karena asam laktat akan mengakibatkan penurunan

pH daging sehingga akan mempengaruhi warna daging yang menjadi salah satu

penilaian kualitas daging (Prieto, 2007).

Warna dari daging babi yang segar berbeda-beda pada beberapa negara.

Banyak faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi warna daging babi

seperti genetik, asupan makanan, prosedur pemotongan, pH, penyimpanan dan

sebagainya. Jenis otot yang diambil juga dapat membedakan warna. Jenis otot

glikolitik berwarna putih, dan oksidatif berwarna merah. Kedua jenis otot ini

berbeda dari dominasi metabolisme energi (Lindahl, 2005). Mioglobin salah satu

komponen yang memberikan warna daging. Bentuk mioglobin yang berbeda akan

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Morfologi Cacing

memberi warna yang berbeda juga, ungu (deoksimioglobin), merah

(oksimioglobin), dan coklat (metmioglobin) (Hunt dan Zenger, 1998) .

Ciri-ciri daging babi segar bervariasi dengan berwarna merah muda

keabuan sampai merah (Singhal et al., 1997). Menurut Buege (1998), terdapat 4

jenis daging babi berdasarkan warna, tekstur, dan basahnya daging, antara lain

PSE (pucat, lembut, dan eksudatif), DFD (gelap, keras, dan agak kering), RFN

(merah, keras, tidak mengeluarkan eksudat), dan RSE (merah, lembut, dan

eksudatif). Kemudian, menurut RFN merupakan daging babi yang kualitas baik,

sedangkan PSE merupakan daging dengan kualitas yang sangat buruk. DFD dan

RSE merupakan daging yang kurang baik. Insidens daging DFD dan PSE adalah

6% dan 5% (Schilling, 2002; Singhal et al., 1997).

Tabel 2.4 Perbandingan Jenis Kesegaran Daging dari Segi Warna, Terangnya Warna secara Kuantitatif, Kemampuan Menampung Air pada Daging (Dihitung dengan Jumlah Cairan yang Hilang), dan pH Akhir

Kualitas Warna Nilai L Tetesan % pH DFD Gelap <52 <5.0 Tinggi pada

akhir (> 6.0) RFN Merah 52 – 58 <5.0 Normal PFN Pucat >58 <5.0 RSE Merah 52 – 58 >5.0 PSE Pucat >58 >5.0 Penurunan pH

cepat Sumber: Lindhal, 2005 2.9.2. Ciri-ciri Daging Sapi

Ciri-ciri daging sapi mirip dengan daging babi, hanya daging sapi

memiliki lebih banyak mioglobin sehingga warnanya lebih merah. Karena

memiliki mioglobin, warna daging sapi juga dapat berubah menjadi ungu atau

coklat (Schilling, 2002; Singhal et al., 1997).

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Morfologi Cacing

Tabel 2.5 Perbandingan Stadium Kesegaran Daging Sapi berdasarkan Penampakan Luar Daging

(Sumber: Canadian Beef Export Federation, 2009) 2.9.3. Kandungan Daging Babi dan Sapi

Adapun kandungan daging sapi dan babi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.6 Perkiraan Kandungan Air, Protein, Lemak, Mineral (dalam %), dan Kalori (dalam kilojoule) dalam Daging per 100 gram

Produk Air Protein Lemak Mineral Kalori Daging sapi (kurus) 75,0 22,3 1,8 1,2 116 Daging sapi 54,7 16,5 28,0 0,8 323 Daging sapi berlemak (subkutan)

4,0 1,5

94,0

0,1

854

Daging babi (kurus) 75,1 22,8 1,2 1,0 112 Daging babi 41,1 11,2 47,0 0,6 472 Daging babi berlemak (lemak pada punggung)

7,7 2,9 88,7 0,7 812

Sumber: Heinz dan Hauzinger, 2007

Universitas Sumatera Utara