Upload
homeworkping2
View
414
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
Homework Help https://www.homeworkping.com/
Research Paper helphttps://www.homeworkping.com/
Online Tutoringhttps://www.homeworkping.com/BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : An M
Umur : 1 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Seterio
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
MRS : 6 April 2013
II. ANAMNESIS
(alloanamnesis dengan ibu penderita, tanggal 6 April 2013)
Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 hari SMRS
Keluhan tambahan
Batuk berdahak, pilek, dan demam
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 4 hari SMRS, ibu os mengeluh anaknya menderita batuk. Batuk
berdahak warna putih. Pilek ada, demam ada tidak terlalu tinggi, dan hilang
2
timbul. Os dibawa berobat ke dokter umum, mendapat 3 macam obat, ibu os
lupa nama obatnya. Keluhan tidak berkurang.
Sejak 1 hari SMRS ibu os mengeluh anaknya mengalami sesak napas
hingga bibir tampak biru. Sesak napas tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan
cuaca. Keluhan sesak napas tidak disertai adanya suara napas berbunyi
(mengi) atau mengorok, demam ada tidak terlalu tinggi, batuk berdahak ada
warna putih, pilek ada, buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
Ibu os kemudian membawa os berobat ke RSUD Banyuasin.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat terlihat biru sebelumnya disangkal.
Riwayat berhenti-berhenti saat disusui disangkal.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan batuk serta sesak napas dalam keluarga
disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah anak pertama dari pasangan Tn. R usia 26 tahun dengan
pendidikan terakhir SD dan bekerja sebagai buruh dengan Ny. M usia 21
tahun dengan pendidikan terakhir SD tidak bekerja. Kesan: status ekonomi
kurang.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum (6 April 2013)
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Denyut jantung : 108x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
3
Pernapasan : 44x/menit
Temperatur : 37,0 0C
Berat Badan : 12 kg
Pemeriksaan Khusus
Kepala : normocephali
Mata : konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat,
isokor, reflek cahaya +/+, ɵ 3 mm
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : napas cuping hidung (+/+), sekret (-/-)
Mulut : sianosis (-)
Tenggorok : dinding faring tidak hiperemis, T1-T1 tidak hiperemis
Leher : pembesaran KGB (-)
Thoraks
Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi (+) intercostal
Cor
Inspeksi : pulsasi, iktus cordis dan voussour cardiaque tidak
terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas kanan linea midsternalis
batas kiri linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : HR 108x/menit, S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
Pulmo
Inspeksi : statis dan dinamis simetris
Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri simetris.
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) meningkat, ronki basah halus nyaring (+)
di seluruh lapangan paru, wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, hepar & lien tidak teraba, nyeri tekan (-).
4
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Extermitas : akral sianosis (-/-), edema - /- , CRT <3”
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (6 April 2013)
Darah rutin
Hb : 13,8 g/dl
Ht : 41 %
Leukosit : 23.200/mm3
LED : 56 mm/jam
Trombosit : 190.000/mm3
DC : 0/0/1/59/26/14
V. RENCANA PEMERIKSAAN
Rontgen thoraks AP
VI. RESUME
Seorang bayi laki-laki berusia 1 tahun 8 bulan, dengan berat badan
12 kg, beralamat dalam kota datang dengan keluhan utama sesak napas.
Dari alloanamnesis dengan ibu penderita sejak 4 hari SMRS ibu os
mengeluh anaknya menderita batuk. Batuk berdahak warna putih, pilek ada,
demam ada tidak terlalu tinggi, dan hilang timbul. Os dibawa berobat ke
dokter umum, mendapat 3 macam obat, ibu os lupa nama obatnya. Keluhan
tidak berkurang. Sejak 1 hari SMRS ibu os mengeluh anaknya mengalami
sesak napas hingga bibir tampak biru. Sesak napas tidak dipengaruhi oleh
aktivitas dan cuaca. Keluhan sesak napas tidak disertai adanya suara napas
berbunyi (mengi) atau mengorok, demam ada tidak terlalu tinggi, batuk
berdahak ada warna putih, pilek ada. Buang air besar dan buang air kecil
5
tidak ada keluhan. Ibu os kemudian membawa os berobat ke RSUD
Banyuasin.
Pada pemeriksaan umum didapatkan peningkatan frekuensi pernapasan
44x/menit. Dari pemeriksaan spesifik didapatkan napas cuping hidung (+),
retraksi (+) di intercostal, vesikuler (+) meningkat, ronki basah halus nyaring
(+) di seluruh lapangan paru.
VII. DIAGNOSIS BANDING
Bronkopneumonia
Bronkiolitis akut
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Bronkopneumonia
IX. PENATALAKSANAAN
1. O2 nasal canul 4 liter/ menit
2. Infus RL gtt x (makro)
3. Ceftriaxon inj 1 x 1 g/hari iv (skin test)
4. Ambroksol syr 3 x 1 cth
5. Paracetamol syr 3 x 1 cth
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
Pneumonia intertisial (bronkiolitis)
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu
atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak
infiltrat.1 Proses peradangan pada bronkopneumonia menyebar
membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan
dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.2 Penyakit ini bersifat sekunder
yang biasanya menyertai penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan
Atas), demam infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan daya tahan
tubuh. Sebagai infeksi primer biasanya hanya dijumpai pada anak-anak
dan orang tua.3
2.2. Klasifikasi
WHO memberikan pedoman klasifikasi pneumonia, sebagai berikut :
1. Usia kurang dari 2 bulan
a. Pneumonia berat
7
- Chest indrawing (subcostal retraction)
- Bila ada napas cepat (> 60 x/menit)
b. Pneumonia sangat berat
- tidak bisa minum
- kejang
- kesadaran menurun
- hipertermi / hipotermi
- napas lambat / tidak teratur
2. Usia 2 bulan-5 tahun
a. Pneumonia
- bila ada napas cepat
b. Pneumonia Berat
- Chest indrawing
- Napas cepat dengan laju napas
> 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
> 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
c. Pneumonia sangat berat
- tidak dapat minum
- kejang
- kesadaran menurun
- malnutrisi.4,5
2.3. Epidemiologi
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian
dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus
baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang
terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam rumah sakit/ pusat perawatan
(pneumonia nosokomial/ PN). 6
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian
tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut
termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di
8
Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan
penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.
Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika
dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%.
Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa
hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan
awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.7
2.4. Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan.
Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung :
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).8
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran
klinis dan strategi pengobatan.
9
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir - 20
hari
Bakteri Bakteri
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus
pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 miggu – 3
bulan
Bakteri Bakteri
Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus
pneumonia
Haemophillus influenza
tipe B
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV
4 bulan – 5
tahun
Bakteri Bakteri
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
tipe B
Mycoplasma
pneumonia
Moraxella catharalis
Streptococcus
pneumonia
Staphylococcus aureus
10
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
5 tahun –
remaja
Bakteri Bakteri
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
Mycoplasma
pneumonia
Legionella sp
Streptococcus
pneumonia
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza
2.5. Patogenesis dan Patofisiologi
Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui
inhalasi, aspirasi, hematogen dr fokus infeksi atau penyebaran langsung.
Sehingga terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami
peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah
merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli.
Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi
dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri
dari alveolus ke alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh
paru menjadi padat (consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan
dan sisa-sisa sel.9
11
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di
nasopharing dan bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang
sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae
berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus
pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II.
Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan
menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari
Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang
berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel
PMN.10,11
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan
12
dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan
otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host )
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,
yaitu selama 48 jam.
13
Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi
(netrofil)
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.12
14
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi
kuman atau penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya
sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia
atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai
dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat,
tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan
menimbulkan penyakit.10
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
Filtrasi partikel di hidung
Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
Drainase melalui sistem limfatik.13
2.6. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab,
usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi
klinis bisa sangat berbeda, bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala.
Gejala dan tanda pneumonia meliputi gejala infeksi pada umumnya
demam, menggigil, sefalgia, rewel, dan gelisah. Beberapa pasien mungkin
mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau
sakit perut.4
Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tanda-
tanda itu tidak muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda itu meliputi
nafas cuping hidung (neonetus), takipneu, dipsneu, dan apneu. Otot bantu
nafas interkosta dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya
15
dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Tanda
pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam saat bernafas bersama dengan peningkatan frekuensi nafas), perkusi
redup, fremitus melemah, suara nafas melemah dan ronkhi. 13
Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan
pemeriksaan fisik, tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal,
pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar mulut dan hidung baru
dipikirkan kemungkinan pneumonia. Penyakit ini sering ditemukan
bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis.
Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit
dengan lutut tertekuk dengan nyeri dada.6,8,14,15
Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk
mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung
diagnosis dan memantau tatalaksana. Pengukuran frekwensi nafas
dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Perkusi thorak tidak
bernilai diagnostik karena umumnya kelainan patologisnya menyebar.
Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.
Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi.
Ronkhi basah halus khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak
terdengar pada bayi. Pada bayi dan anak kecil karena kecilnya volume
thorak biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.13
2.7. Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan
infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk,
demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil
(pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih
suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan
16
kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri
kepala, nyeri abdomen disertai muntah.16,17
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan
kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu,
retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang
lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat
adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.17
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk
(non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan
retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat
dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri
kepala, dehidrasi dan letargi.17
Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :
Pemeriksaan Bakteri Virus Mikoplasma
Anamnesis
Umur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolah
Awitan Mendadak Perlahan Tidak nyata
Sakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselang
Batuk Produktif Nonproduktif kering
Gejala penyerta Toksik Mialgia, ruam,
organ bermukosa
Nyeri kepala, otot,
tenggorok
17
Fisik
Keadaan umum Klinis > temuan Klinis ≤ temuan Klinis < temuan
Demam Umumnya ≥ 39ºC Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºC
Auskultasi Ronkhi ±, suara
Napas melemah
Ronkhi bilateral,
Difus, mengi
Ronkhi unilateral,
mengi. 14
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :
Suhu tubuh ≥ 38,5o C
Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Takipneu berdasarkan WHO:
Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit
Usia 2-12 bulan ≥ 50 x/menit
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
Usia 6-12 tahun ≥ 28 x/menit
Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang
terkena.
Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun.
Fine crackles (ronki basah halus) yang khas pada anak besar
bisa tidak ditemukan pada bayi. Dan kadang terdengar juga
suara bronkial.8
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan
Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi
netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi
netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis >
500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih
mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang
spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak-
anak kecil.4,13
18
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit
dalam batas normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3 dengan
predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju
endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil
pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.8,14
C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh
hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi
CRP distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1
dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan
sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan
non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan
bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon
terapi antibiotik.5
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang
pemeriksaan radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia
karena pneumokokus dengan nilai CRP ≥ 120 mg/l dan
prokalsitonin ≥ 5 ng/ml.7
b. Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar
diagnosis utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada
pneumonia ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat
yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk,
ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen
toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang
19
diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk
mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen
toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.7,8,14
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila
berat terjadi pachy consolidation karena atelektasis.
Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut
dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal
yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang
tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut
sebagai round pneumonia
Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.
Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri,
atipik, atau virus. Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat
membantu mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan
peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi
segmen atau lobar, bronkopneumoni dan air bronchogram sangat
mungkin disebabkan oleh bakteri.8
c. Uji serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada
infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang
rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat
dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM
20
dan IgG antara fase akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi
pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan Mycoplasma
pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak bermakna
pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang
cepat.7,8
d. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia
anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan
jarang didapatkan hasil yang positif. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan
definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau
aspirasi paru.8
2.8. Kriteria Diagnosis
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993
adalah ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
a. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan
dinding dada
b. Panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis
dan/atau serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi,
penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan
laboratorium penunjang yang memadai. Tidak ada gejala distress
pernafasan, takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan dapat
menyingkirkan dugaan pneumonia. Terdapatnya retraksi epigastrik,
interkostal, dan suprasternal merupakan indikasi tingkat keparahan. Pada
21
bronkopneumoni, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa
lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti
pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis.
Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada bayi-
bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar
hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.7,8
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita,
upaya penanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan
tatalaksana yang sederhana. Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria
diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat dideteksi, menetapkan
klasifikasi penyakit, dan menentukan penatalaksanaan. Tanda bahaya pada
anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, mengi, demam, atau menggigil.8
Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun :
Pneumonia berat
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit,
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
- Adanya retraksi
- Sianosis
- Anak tidak mau minum
- Tingkat kesadaran yang menurun dan merintih (pada bayi)
- Anak harus dirawat dan di terapi dengan antibiotik
Pneumonia
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit,
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
- Adanya retraksi
- Anak perlu di rawat dan berikan terapi antibiotik
Bayi berusia di bawah 2 bulan
22
Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakit lebih
bervariasi. Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai
berikut :
Pneumonia
- Bila ada nafas cepat ≥ 60 x/menit atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik
2.9. Diagnosa Banding
a. Bronkiolitis
b. Aspirasi pneumonia
c. Tb paru primer1
2.10. Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik.
Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :
1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring.
Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin
diperlukan terutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata
laksana rutin yang harus diberikan.4
Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya.
Namun karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien
pneumonia diberikan antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya
23
pneumonia viral tidak memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi
antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri.4
Usia Rawat jalan Rawat Inap Bakteri Patogen
0-2
minggu
1. Ampisillin +
Gentamisin
2. Ampisillin +
Cefotaksim
- E. Coli
- Streptococcus B
- Nosokomial
enterobacteria
>2-4
minggu
1. Ampisillin +
Cefotaksim atau
Ceftriaxon
2. Eritromisin
- E. Coli
- Nosokomial
Enterobacteria
- Streptococcus B
- Klebsiella
- Enterobacter
- C. trachomatis
>1-2 1. Ampisillin + - E. Coli and other
24
bulan Gentamisin
2. Cefotaksim atau
Ceftriaxon
Enterobacteria
- H. influenza
- S. pneumonia
- C. trachomatis
>2-5
bulan
1. Ampisillin
2. Sefuroksim
Sefiksim
1. Ampisillin
2. Ampisillin +
Kloramfenikol
Sefuroksim
Ceftriaxon
- H. influenza
- S. pneumonia
>5 bulan 1. Penisillin A
2. Amoksisilin
Eritromisin
1. Penisillin G
2. Sefuroksim
Seftriakson
Vankomisin
- S. pneumonia
- Mycoplasma4
Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas
turun, dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila
diduga penyebab pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera
diberikan. Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin,
klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan untuk stafilokokkus
adalah 3-4 minggu.17
2.11. Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran
bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan
perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi.2
2.12. Prognosis
25
Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan
anak kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua
dari 3% sampai 5%.13 Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan
adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam
keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan
mortalitas yang lebih tinggi.9
2.13. Pencegahan
Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk mencegah
pneumonia. Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai
jenis vaksinnya. Berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat
mencegah pneumonia :
1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus
(Invasive Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah
tersedia adalah PCV-7 dan PCV-10. PCV 13 belum tersedia di
Indonesia
2. vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b
3. vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis
4. vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak
5. vaksin influenza untuk mencegah influenza14
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada laporan kasus ini seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 8 bulan
datang dengan keluhan utama sesak napas. Dari alloanamnesis dengan ibu
penderita didapatkan sejak 4 hari SMRS ibu os mengeluh anaknya menderita
batuk. Batuk berdahak warna putih, pilek ada, demam ada tidak terlalu tinggi, dan
hilang timbul. Os dibawa berobat ke dokter umum, mendapat 3 macam obat, ibu
os lupa nama obatnya. Keluhan tidak berkurang. Sejak 1 hari SMRS ibu os
26
mengeluh anaknya mengalami sesak napas hingga bibir tampak biru. Sesak napas
tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca. Keluhan sesak napas tidak disertai
adanya suara napas berbunyi (mengi) atau mengorok, demam ada tidak terlalu
tinggi, batuk berdahak ada warna putih, pilek ada. Buang air besar dan buang air
kecil tidak ada keluhan. Ibu os kemudian membawa os berobat ke RSUD
Banyuasin.
Pada pemeriksaan umum didapatkan peningkatan frekuensi pernapasan
44x/menit. Dari pemeriksaan spesifik didapatkan napas cuping hidung (+),
retraksi (+) di intercostal, vesikuler (+) meningkat, ronki basah halus nyaring (+)
di seluruh lapangan paru.
Penderita datang dengan keluhan utama sesak napas. Dari keluhan ini
dapat dipikirkan adanya kelainan pada paru-paru, jantung, kelainan metabolik
seperti asidosis metabolik dan uremia. Dari alloanamnesis tidak didapatkan
riwayat terlihat biru saat lahir ataupun menangis serta riwayat berhenti-berhenti
saat disusui disangkal, dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sehingga
kemungkinan kelainan jantung dapat disingkirkan. Kelainan metabolik dapat
disingkirkan karena tidak ditemukan napas hembus dan BAK tidak ada keluhan.
Oleh karena itu dapat dipastikan sesak napas pada kasus ini merupakan kelainan
pada paru.
Dari alloanamnesis didapatkan pasien mengalami batuk serta demam,
sehingga dapat dipikirkan adanya suatu penyakit infeksi. Selain itu, didapatkan
pernapasan cuping hidung, retraksi dinding dada, dan ronki basah halus nyaring
yang merupakan gejala klinis bronkopneumonia, sehingga diagnosis
bronkopneumonia pada pasien ini dapat ditegakkan.
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan laboratoris LED 56 mm/jam
dan leukositosis yang menunjukkan adanya suatu proses inflamasi. Dari studi
epidemiologi, inflamasi ini biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri dangan
kuman penyebab tersering pada usia > 5 bulan yaitu Clamydia pneumonia,
Mycoplasma pneumonia, dan Streptococcus pneumonia.
Terapi untuk pasien ini diberikan O2 nasal 4 liter/menit karena pasien
mengalami sesak napas. Diberikan antibiotik spektrum luas berupa injeksi
27
ceftriaxone untuk membantu mengeliminasi kuman penyebab. Diberikan pula
ambroxol sirup untuk mengatasi keluhan batuk.
Prognosis penderita ini adalah dubia ad bonam untuk quo ad vitam dan
functionam karena pada pasien ini telah dilakukan pengobatan yang adekuat serta
belum ada tanda-tanda yang mengarah pada komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wong, D.L Whalley. Clinical MManual of Peiatric Nursing. 4th Edition. Philadelphia: Mosby Company; 1996
2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit EGC; 2005; 804.
3. Coder, J. Bronkopneumonia. 2008. Available at
http:/www.IyaLaMedicalInformation.com4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Simposium Penatalaksanaan Penyakit
Paru Pada Anak Terkini. Jember; 20075. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2008
28
6. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999; 695-05
7. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010
8. Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak. Bandung: Universitas Padjajaran; 2005
9. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta: 2002
10. Alsagaff, Hood dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Bagian Ilmu Penyakit Paru dan Saluran Napas FK Unair; 2004
11. Sarma, S. Pneumonia Bacterial. 2005. Available at http:/www.emedicine.com.
12. Soegijanto, Soegeng. Ilmu Penyakit Anak Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2002
13. PP IDAI UKK Pulmologi. Tatalaksana Mutakhir Penyakit Respiratorik pada Anak. Medan: IKA FK USU/RS HAM Medan; 2003
14. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Bagian II. Edisi 15. Jakarta: EGC; 2000; 883-9
15. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI; 2000;465.
16. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya: FK Unair; 2006
17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004
18. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Bandung: PDPI; 2005