16
Tri Widodo W. Utomo Expert Panel on Asymmetrical Decentralization @ PKP2A I LAN Bandung Jatinangor, 6 September 2012

Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Expert Panel on Asymmetrical Decentralization @ PKP2A I LAN Bandung Jatinangor, 6 September 2012

Citation preview

Page 1: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

Tri Widodo W. Utomo

Expert Panel on Asymmetrical Decentralization@ PKP2A I LAN BandungJatinangor, 6 September 2012

Page 2: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

Desentralisasi yg mengabaikan fakta obyektif berupa artitektur kekayaan& warisan budaya (social endowment), atau yg berpikir bahwa masyarakatbergerak linier dalam satu arah & cara yg sama, bukanlah desentralisasi ygsesungguhnya.

Setiap daerah dalam sebuah negara memiliki anatomi politik, sosial, maupun kultural yg beragam, sehingga desain desentralisasi asimetrismenjadi alternatif strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaandaerah terhadap pemerintah nasional.

Gagasan tentang desentralisasi asimetris jangan dipersepsi sebagai bentukpenyimpangan dari ide dasar desentralisasi negara kesatuan, namunjustru dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuandesentralisasi yakni menciptakan efektivitas & efisiensi penyelenggaraannegara, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal.

Desentralisasi asimetris merupakan strategi politik dalam bentuk transfer wewenang/kekuasaan, strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan& fiskal, serta strategi kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity atau unity in diversity.

Page 3: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

de facto asymmetry: merujuk pada adanyaperbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa, atauperbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan ataukewenangan yang timbul karena adanya perbedaankarakteristik tadi.

de jure asymmetry: merupakan produk konstitusi ygdidesain secara sadar untuk mencapai tujuantertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasikewenangan dalam besaran yg berbeda, ataupemberian otonomi dalam wilayah kebijakantertentu, kepada daerah tertentu saja.

Page 4: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

Asimetri dalam kerangka UU Pemda: Variasi urusan pilihan, tipologi besaran OPD yg berbeda, atau variasi

jumlah DAU yg diterima, beragamnya Perda yg diterbitkan. Ini hanya perbedaan dalam skala (perbedaan administratif), bukan

perbedaan dalam identitas (perbedaan substantif/prinsip/material). Tidak perlu UU khusus, ter-cover langsung dalam UU Pemda.

Asimetri dalam kerangka NKRI: Otonomi luas untuk kab/kota, otonomi terbatas untuk provinsi, Otsus

untuk Papua ( UU No. 21/1999), Otsus NAD (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006), Otsus Jakarta sebagai Ibukota Negara (UU No. 29/2007), UU Keistimewaan Yogyakarta 2012.

Ini merupakan sebuah kondisi faktual yg ada di suatu daerah otonom& tidak ditemukan sama sekali di daerah yg lain.

Perlu UU tersendiri.

Page 5: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

ACEH, UU 18/2001 ttg Otsus bagi Prov DIA sbg Prov NAD:

Pasal 1 ▪ Butir 3: “Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga

yg merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraankehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di ProvinsiNAD”;

▪ Butir 7: “Mahkamah Syar’iyah NAD adalah lembaga peradilanyg bebas dari pengaruh dari pihak mana pun dalam wilayahProvinsi NAD yg berlaku untuk pemeluk agama Islam”;

▪ Butir 12: “Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalamProvinsi NAD yg terdiri atas gabungan beberapa gampong ygmempunyai batas wilayah tertentu & harta kekayaan sendiri, berkedudukan di bawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain, yg dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain.

Page 6: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

ACEH, UU 18/2001 ttg Otsus bagi Prov DIA sbg Prov NAD:

Pasal 23: “Peradilan Syariat Islam di Provinsi NAD sebagaibagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh MahkamahSyar’iyah yg bebas dari pengaruh pihak manapun”.

“Kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yg diatur lebih lanjut denganQanun Provinsi NAD”.

Pasal 1 butir 16, UU No. 6/2011 tentang Pemerintahan Aceh: “Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) adalah majelis yganggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA.

Page 7: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

PAPUA, UU 21/2001 ttg Otsus Bagi Provinsi Papua:

Pasal 5 ayat (2): “Dalam rangka penyelenggaraan OtonomiKhusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua ygmerupakan representasi kultural orang asli Papua yg memilikikewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orangasli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadapadat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapankerukunan hidup beragama”.

Pasal 12: “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur & WakilGubernur adalah WN RI dengan syarat: a. orang asli Papua”.

Pasal 18 ayat (1): “Penduduk Provinsi Papua dapat membentukpartai politik”.

Pasal 19: “Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP”.

Page 8: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

DKI JAKARTA, UU No. 29/2007 ttg Pemprov DKI Jkt sbgIbukota NKRI:

Pasal 1 butir 6: “Provinsi DKI Jakarta adalah provinsi yg mempunyaikekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karenakedudukannya sebagai Ibukota NKRI”.

Pasal 26: ”Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI sebagai IbukotaNKRI meliputi penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang: a. tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; b. pengendalian penduduk dan permukiman; c. transportasi; d. industri dan perdagangan; dan e. pariwisata”.

Pasal 33: “Pendanaan Pemprov DKI Jakarta dalam menyelenggara-kan urusan pemerintahan yg bersifat khusus dalam kedudukannyasbg Ibukota NKRI dianggarkan dalam APBN”.

Kelembagaan: Deputi Gubernur, Walikota/Bupati sbg PerangkatPemprov, Dewan Kota, Wakil Kepala Dinas/Badan, Suku Dinas.

Page 9: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

DIY, UU Keistimewaan DIY 2012:

1. Pasal 1 butir 3: “Kewenangan istimewa adalah wewenangtambahan tertentu yg dimiliki DIY selain wewenangsebagaimana ditentukan dalam UU Pemda”.

2. Pasal 7 ayat (2): “kewenangan dalam urusan keistimewanmeliputi: a) tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wagub; b) kelembagaanPemda DIY; c) kebudayaan; d) pertanahan; dan e) tata ruang”.

3. Pasal 18: “Calon Gubernur dan calon Wagub adalah WN-RI ygharus memenuhi syarat: c. Bertakhta sbg Sultan HB untukcalon Gubernur dan bertakhta sbg Adipati PA untuk calonWagub”.

4. Pasal 25: “Sultan HB yang bertakhta sbg Gubernur dan AdipatiPA yg bertakhta sbg Wagub tidak terikat ketentuan 2 kali periodisasi masa jabatan sebagaimana diatur dlm UU Pemda”.

Page 10: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

DIY, UU Keistimewaan DIY 2012:

5. Pasal 30” “Ketentuan mengenai penataan & penetapankelembagaan Pemda DIY diatur dalam Perdais”.

6. Pasal 31 : “Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangankebudayaan diatur dalam Perdais”.

7. Pasal 32 ayat (1) s/d (4): “Kasultanan dan Kadipaten sbgbadan hukum merupakan subjek hak yg mempunyai hak atastanah Kasultanan & Kadipaten”. “Tanah Kasultanan/Kadipatentsb meliputi Tanah Keprabon dan tanah bukan keprabon”.

8. Pasal 37: “Perdais dibentuk oleh DPRD DIY dan Gubernuruntuk melaksanakan kewenangan istimewa”.

9. Pasal 42: “Pemerintah menyediakan pendanaan dalam rangkapenyelenggaraan urusan keistimewaan DIY dalam APBN sesuai dengan kebutuhan DIY dan kemampuan keuangannegara”.

Page 11: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

Desentralisasi Asimetris tidak hanyaberhubungan dengan pembagianurusan (PP No. 38/2007), namun

lebih pada pemberianwewenang/urusan tambahan

tertentu.

Page 12: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

Apakah yg dimaksud DABE (Desentralisasi AsimetrisBerbasis Ekonomi) adalah:

Market Decentralization? kawasan otorita, kawasanekonomi khusus (KEK), KAPET, regional managementseperti Barlingmascakeb, atau kota-kota mandiri ygberorientasi profit ekonomis …

Fiscal Decentralization? transfer fund, dependent regions, fiscal capacity gap among regions ...

Keduanya bukan Administrative Decentralization, termasuk didalamnya devolusi (Rondinelli). Kuncinya: kebijakan dptdisebut sebagai desentralisasi administratif jika aktor / lembaga yg menjalankan wewenang adalah unsurpemerintah.

Page 13: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

Apakah fokus DABE sama dengan kasus China?

Menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota pantai(open coastal cities), dan zona pembangunan.

Tahun 1978 ditetapkan 4 kawasan ekonomi khusus, yakniShenzhen, Zhuhai, Shantou & Xiamen.

Kebijakan ini diikuti pemberian otonomi sangat luas kepadaprovinsi Guangdong & Fujian untuk membangun ekonomi diwilayahnya, misalnya diberikan kewenangan untukmenyetujui investasi bernilai lebih dari US $ 30 juta.

Hingga 1984 telah ditetapkan 14 kota-kota pantai & beberapa kota di pedalaman (sepanjang DAS Yangtze & perbatasan dengan Russia) yg diberikan kewenangan luasserupa dengan kawasan ekonomi khusus (Montinola, Qian& Weingast, dalam Basuki, 2006).

Page 14: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

Apakah fokus DABE sama dengan kasus Jepang?

Transfer kewenangan yg lebih besar dari pusat juga diberikankepada 6 kota utama di Jepang, yaitu Tokyo, Osaka, Nagoya, Yokohama, Kyoto & Kobe. Ini menunjukkan bahwa Jepangmenganut pola multiple gradation of local autonomy.

Prefektur & kota-kota yg paling padat penduduknya, yg berstatussebagai Chukaku-shi atau Kota Inti (core cities), memiliki derajatotonomi yg paling tinggi. Selain Kota Inti, juga diperkenalkanadanya Tokurei-shi atau Kota dengan Kasus Istimewa (Special Case Cities).

Penetapan Chukaku-shi & Tokurei-shi menyimpulkan bahwaderajat otonomi di Jepang dipengaruh oleh faktor penduduk(population factor). Selain itu, faktor lain adalah perkembanganekonomi yg diindikasikan oleh basis lapangan kerja yg tersediadan/atau tenaga kerja yg terserap (employment factor).

Page 15: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”

Hampir mustahil DABE diberikan secara individual kepada daerah tertentu, karena aktivitas ekonomi selalubergerak lintas daerah.

Harus ada kriteria economic sensitivity (entrepreneurial spirit) di kalangan elit lokal. Tanpa ini, wewenang luas dibidang ekonomi atau dana perimbangan yg besar justruakan dikorup (elite capture) dan menjadi kutukan bagipenduduk lokal (economic curse).

Harus ada visi “aglomerasi” atau amalgamasi fungsi2

ekonomi dalam skala yg lebih luas (greater region). Selfish local government akan menjadi ganjalan utamagagasan desentralisasi asimetris ini.

Page 16: Merenungkan lagi (dan lagi) “Desentralisasi Asimetris”