5
R
SENI, ILMU PENGETAHUAN
DANPERADABAN Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto
Dari
.
SENI, ILMU PENGETAHUAN DANPERADABAN
Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto
1-DO .,OS"
suCJ ~
,4 ~>b'-1 1 ~ t s~ 1 \'€.\1-(
;ltj \0· ;>.0\~
SIDANG TERBUKA SENA T UNIVERSITAS K.ATOLIK PARAHYANGAN
PENGUKUHAN GURU BESAR ILMU FILSAF AT BANDUNG, 16 DESEMBER 2006
--,. .. ··· ·· ·················· ..... ...... ·-..................... .
~"') • \V . oi.IJ)~
/' . - ...... ... I 'I'"'
/ I
Daftar lsi
Makalah : Seni Ilmu Pengetahuan dan Peradaban 5
Daftar Publikasi 24
Kegiatan International 27
Riwayat Hidup 29
S usunan Acara 31
3
4
SENI, ILMU PENGETAHUAN
DANPERADABAN
Yang terhormat, Koordinator Kopertis Wilayah IV Jawabarat dan Banten, Ketua Yayasan Universitas Katolik Parahyangan, Rektor Universitas Katolik Parahyangan, Ketua Senat, para Gurubesar dan anggota Senat, Para Wakil Rektor, Para Dekan Fakultas, Wakil Dekan, dan para Dosen beserta keluarga besar Universitas Katolik Parahyangan, lbu-ibu dan Bapak-bapak undangan, dan para wakil mahasiswa, yang berbahagia.
Membicarakan 'seni' sebagai sesuatu yang penting, apalagi pokok,
selalu terasa berlebihan. Sebabnya adalah karena seni umumnya
dianggap sekedar sebagai hiburan dan hiasan. Sebagai hiburan,
pentingnya seni hanyalah untuk membuat hati senang dan pikiran
tenang, membantu kita untuk sejenak melarikan diri dari persoalan.
Sebagai hiasan, pentingnya seni hanyalah untuk membuat diri tampil
lebih menawan, atau membuat suasana terasa lebih nyaman. Begitulah,
sebagai hiburan dan hiasan, seni berkait erat dengan urusan kesenangan,
keindahan atau sekedar soal kemasan. Karena itu sesungguhnyalah ia tak
teramat penting, kebutuhan ketujuh atau kesepuluh, suatu kemewahan.
Ia hanya berarti, bila segala kebutuhan pokok sudah tercukupi.
5
6
Namun bahkan bagi mereka yang berkccimpung di bidang seni
sckalipun, persoalannya kurang-lcbih sama juga : mcndudukan seni
sebagai scsuatu yang pcnting dalam pcradaban kini bukan lagi scsuatu
yang sederhana, bahkan mungkin tcrasa mengada-ada. Pasalnya adalah
konon 'Seni sudah berakhir', kata Atthur Danto, Victor Burgin, Joseph
Kosuth, Hal Foster atawa Adorno.' Betapa tidak, dalam kehidupan yang
kian dikelola oleh pasar, seni telah menjadi sekedar siasat pemasaran,
atau lebih gawat lagi, strategi pembiusan, demi meraih berbagai
keuntungan (keuntungan ekonomi, juga politik, sosial, bahkan
keagamaan). Sementara pacta bentuknya yang paling serius pun --yang
biasa disebut 'Seni Kontcmporcr'- memang tak lagi jclas bedanya mana
karya yang sungguh-sungguh 'seni', mana yang sekedar perilaku ganjil
tak senonoh dari orang-orang frustrasi, kehilangan identitas atau sakit
jiwa, yang mencari perhatian secara kekanak-kanakan. Tak heran bila
bagi sementara orang, kalau pun seni masih ada, maka itu hanya terdapat
pacta karya-karya 'adiluhung', 'klasik' atau pun 'modern', yang
bercitarasa keindahan tinggi dan halus (sublime). Dan di luar itu adalah
sampah.2
Meskipun demikian, itu semua hanyalah pandangan selintas kesan.
Dan kcsan macam itu tak mesti sepenuhnya relevan; dari sisi tertentu
bahkan menunjukkan kcnaifan pemahaman dan kesempitan wawasan.
Dalam sejarahnya, kata 'seni' mcmang telah mengalami berbagai
perubahan konotasi. Bila kita telusuri sejenak berbagai perubahan itu
maka kita dapat melihat gejala yang disebut 'seni' itu pada tingkat yang
lebih dalam, lebih lentur, bescrta perannya dalam kehidupan dan
peraduban.
Seni dalam Lintasan Sejarah
Pada dasarnya apa yang disebut 'seni' dan 'bukan seni' sudah
selalu relatif dan terkait erat pada konstruksi budaya setempat. Batasan
batasan kategorial tentangnya bukanhh sebuah keniscayaan umum yang
tak terganggu gugat. Sebuah keris, wayang atau gamelan, bagi
masyarakat Jawa adalah 'seni tinggi', berbobot filsafati dan merupakan
produk kerja kontemplasi. Di dunia Barat kerap kali ia dianggap sekedar
produk kriya, paling banter hanya penting sebagai artefak antropologi
atau data penunjang etnografi. Sarna halnya kaligrafi, yang di Cina,
Jepang atau Arab merupakan seni tinggi dengan bobot spiritual
mendalam, di dunia Barat tidaklah dianggap karya seni yang cukup
berarti.
Namun pacta skala umum konsep tentang seni pun memang
berubah-ubah sepanjang sejarah. Dalam alam religiomitik-pramodern
seni menyatu dengan segala kegiatan kehidupan sehari-hari, ia
mengurusi sejak perkara pernak-pernik sesajen hingga misteri hidup
dan mati. Di sini karakter umum seni itu simbolis dan langgam dasarnya
dekoratif. Simbolis, sebab yang ditangkap bukanlah medan rupa sepert'·
tampaknya, melainkan enerji batin di baliknya, r.1isteri ilahi yang
memancar dari auranya.3 Dekoratif, sebab seni berfungsi menggaris
bawahi suasana perayaan bersama. ltu sebabnya pula sosok senimannya
7
8
tak teramat penting disana. Semua adalah dari dan untuk bersama.
Dal<,m hal ini seni bukan pertama-tamr menyangkut benda, melainkm
menunjuk pada keseluruhan peristiwa, dimana kata, gerak, nada dan
benda saling bcrkomunikasi, saling merasuki, menjadi mantra dan
keajaiban upacarr.. Di sini scni menyatu dengan agama, filsafat dan
pengetahuan, seperti yang masih kita saksikan jejak-jejaknya macam di
Bali, Toraja atau Papua.
Dalam alam modern, itu semua berubah. Seni menjadi sesuatu yang
lain. Kehidupan modern bersandar pada pemilahan-pemilahan tegas
antar segala. Seni menjadi kegiatan mandiri, terpisah dari filsafat, ilmu
pengetahuan dan agama. Seni menjadi medan penggalian makna hidup
yang bersifat sangat pribadi, cermin kebebasan individu, perpaduan
unik antara kehalusan rasa, kecanggihan keterampilan, ketakterdugaan
imajinasi dan kererdasan intelegensi seseorang yang disebut
'seniman' (seni menjadi suatu profesi). Seni menjadi 0ksklusif dan
elitis : sosoknya bukan lagi sebuah 'peristiwa', melainkan sebuah
'karya', produk para jenius, dengan tandatangan yang demikian
prcstisius, dan hanya dapat diapresiasi oleh mereka yang memiliki
pengetahuan dan wawasan khusus. Bentuknya pun dipilah-pilah,
menjadi seni lukis, seni patung, teater, sastra, tari, musik, dst., yang
kelak masing-masing menemukan evolusinya sendiri-sendiri juga. Dan
ketika di alam modern akhirnya agama semakin kehilangan wibawa,
tersingkir oleh peoona filsafat dan kekuatan ilmu pengetahuan, seni
otomatis mengambii-alih peran agama : seni menjadi medan eksplorasi
kehidupan batin (spiritualitas), lcngkap dcngan lembaganya (museum,
galeri,dsb) dan para 'nabi'nya (para maestro). Untuk mercnungi hakckat
adikarya para jenius itu dibutuhkan kcmampuan mengambil jarak
kontcmplatif dan kesanggupan melepaskan scgala kepentingan
(disinterested). 'Kegunaan' scni terlctak pacta 'ketidakbergunaan'nya,
ujar Adorno. Hanya dcngan cara percnungan tanpa pamrih macam itulah
konon kita dapat menangkap dimensi kedalaman batin yang paling
hal us, tcrscmbunyi dan penting, di balik sebuah mahakarya (the sublime:
the unthinkable, yet inevitable). 4 Yang menarik adalah bahwa
konsekuensi dari karakter reflektif seni moderen macam ini akhirnya
membawa seni ke pcrumusan ulang terus mcncrus ihwal apa artinya
'seni' dan 'berkesenian' itu. Maka dalam era modern kita menyaksikan
aliran demi aliran saling mcnolak dan baku-bantai. Dalam seni rupa,
Imprcsionismc disusul Ekspresionismc, disangkal oleh Kubisme,
diperdalam o!eh Abstraksionisme, dibubarkan oleh Dadaisme,dst.dst.
Alhasil, istilah 'kcindahan' atawa 'harmoni' akhirnya tidak lagi pcnting.
Yang penting adalah eksplorasi tcknis dan filosofis. Musik, dari
pengurasan kemungkinan musikal ala musik k!asik akhirnya bcrgeser
ke perenungan mendalam tentang 'hakekat' musik, fenomena 'bunyi'
atau pun pcran 'sunyi'. Maka karya John Cage hanyalah scpotong
'sunyi', dan pemusik kontemporer Toni Prabowo mcnyetubuhi 'bunyi'.
Tarian, dari penataan simbolik gerak-indah menjadi upaya pencarian
hake kat 'gerak' itu scndiri. Maka seniman tari Sardono W .Kusumo
gemar berkubang di lumpur, di pantai atau menggelinding-gelinding di
9
10
jalanan. Mclukis, dari meniru benda-benda di luar-sana bcrubah mcnjadi
pctualangan kc alam 'persepsi', ke lapisan-lapisan terdalam jiwa,
akhirnya ke ambang-ambang batas rasa sakit, kegilaan dan kcmatian. 5
Maka Chris Burden menciptakan karya berupa kegiatan menembak
dirinya scndiri, Rudolph Schwarzkoglcr menyayati kemaluannya hingga
mati, dan GUnther von Hagens memamerkan 200 mayat yang
diplastinasi. Sastra dan teater, dari olah konsep, karakter dan narasi
pengalaman cksistensial berubah menjadi problematisasi bahasa, fiksi
dan fakta itu sendiri. Maka teatrawan Antonio Artaud menggebuk
bahasa, novclis Jorge Luis Borges mengacaukan fiksi dan fakta, penulis
George Bataille mengaduk-aduk logika.
Kini, di era yang bias a disc but dengan istilah 'Postmodern' yang
kontroversial itu, seni seperti melepaskan diri dari dunia intclektualistik
clitisnya yang sulit dimcngerti, ia mclebur kembali ke habitatnya
scmula : kchidupan sehari-hari. Sejak gerakan 'anti-seni' Marcell
Duchamp menggclar pispot dan velg sepeda, sejak Warhol melukis
kaleng sup 'campbell' dalam ukuran raksasa, sejak Performance Art
masuk ke dalam kegiatan hidup sehari-hari yang biasa, mana 'scni' dan
'bukan seni' menjadi sulit membedakannya. Scni kembali menjadi
bagian dari denyut kehidupan sehari-hari yang biasa.
Dalam tradisi Estetika Barat, seni tclah selalu dimengcrti scbagai ars
(keterampilan), tekhne (kcahlian) dan berkaitan erat dengan
'keindahan'. 6 Yang sering lupa ditekankan adalah bahwa seni terutama
berkaitan dengan 'penciptaan' (poein), dan akar kata 'Estetika' adalah
aisthesthai, yang ar'inya adalah 'persepsi'. Seni terutama adalah soal
'menciptakan persepsi' baru. Ia lebih terkait dengan 'kcbenaran'
kehidupan, daripada dengan 'keindahan'. Bukan kebenaran dalam arti
kcbenaran moral (kebenaran yang diidealkan dan dinormakan), bukan
pula kebenaran ilmiah (kebenaran yang dipolakan), melainkan
kebenaran 'eksistensial' : kebenaran tentang 'kehidupan ini sesungguh
nya apa' sejauh dialami, direnungkan, dirasakan dan diimpikan (realitas
Lebenswelt, katu Husserl).7 Disini seni bernilai terutama karena ia
mampu mengungkapkan hal-hal penting yang tak mungkin diungkap
kan, melukiskan hal-hal yang dialami namun tak tetpikirkan, tapi
sekaligus kreatif menciptakan kembali terus-menerus kemungkinan
kemungkinan baru untuk memandang dan menghayati kenyataan. Pada
sisi ini indah atau tidak indah tak lagi teramat rekvan. Itulah sebabnya
istilah 'seni' dalam kehidupan sehari-hari dikenakan pada berbagai
kegiatan maeam 'seni memasak', 'seni merac1gkai bunga', 'seni
berbicara', 'seni berpolitik', dsb. Ia menunjuk pacta keterampilan
mencipta ulang dan mcnyiasati kemungkinan-kcmungkinan yang
tersedia. Pada titik inilah seni berkaitan erat juga dengan kegiatan
ilmiah, teknolo gi dan seluruh denyut peradaban.
Seni, Ilmu dan Teknologi
Secara umum seni adalah proses berpikir melalui perasaan dar
imajinasi. Berkat Fenomenologi Hussrelian kini kita menyadari bahwa
kenyataan pertama dan paling dasar kehidupan adalah 'kehidupan yang
11
12
dial ami dan dirasakan' pada tingkat pra-reflektif dan pra-teoretis.
Rekaman pengalaman kehidupan konkrit utama dan pertama yang
langsung, mendalam dan padat itu antara lain adalah 'perasaan', alias
emosi, hasrat dan gairah. Dunia versi ilmu hanyalah salah satu tafsiran
saja alas kenyataan primer yang langsur,g dialami itu. Dunia dan
kehidupan bukanlah 'obyek' yang daripadanya bisa kita tarik 'hukum
hukum'nya. Dunia dan kehidupan adalah latar belakang dan medan
segala pemikiran kita, sesuatu yang senantiasa menjadi bagian intim
dalam diri, dan kita sudah selalu demikian menyatu dengannya. Dan
kesatuan asasi itu muncul dalam 'perasaan', 'imajinasi' dan 'perilaku'.8
Pengalaman primer ini seringkali lebih tepa! 'dilukiskan' lewat karya
seni (novel, !eater, musik, lukisan, dsb), daripada 'dijelaskan' oleh
ungkapan 'obyektif' ilmiah, yang memang tak mungkin. Karena sifatnya
yang selaltr 'umum', penjelasan ilmiah alas kehiJupaP selalu terasa
terlampau tipis, terpola dan abstrak dibandingkan dengan pelukisan
lewat karya seni, yang selalu lebih tebal, menyentuh, konkrit dan tak
terduga.
Dalam alam berpikir ilmiah-modern lama sekali 'perasaan' dicurigai
bahkan didiskreditkan sebagai unsur irrasional yang bisa mengganggu
bahkan membutakan penalaran dan 'obyektivitas' Namun adalah
Michael Polanyi yang menyadarkan kita bahwa bahkan dalam kegiatan
ilmiah pun selalu ada unsur perasaan, gairah dan hasrat (passion, desire,
emotion) yang demikian menentukan. Dalam kegiatan ilmiah unsur
perasaan itu berperan selektif, heuristik dan pe;·suasif. Selektif, karena
perasaanlah (intuisi) yang memberi isyarat apakah suatu penelitian itu
berharga atau tidak berharga, layak ditekuni atau tidak, data mana yang
kira-kira relevan dan persoalan mana yang mungkin dipecahkan.
Heuristik (penggunaan cara di luar kelaziman sistem), karena penelitian
yang mencari penemuan baru selalu membutuhkan keberanian untuk
mengubah cara berpikir. Keberanian ini adalah juga soal perasaan.
Persuasif, sebab setiap temuan baru perlu dikomunikasikan, dibela dan
diperjuangkan agar dapat diterima dan diakui oleh komunitas ilmuwan.
Dan disini perasaan ikut merientukan cara bagaimana temuan itu harus
dikomunikasikan. Sebuah pembaharuan konscp, tcorcma atau pun
aksioma, seringkali baru bisa diterima karena ketepatan metafora yang
digunakan, elegansa penalaran, serta korelasi imajinatif-rasawi dari
model yang digunakan. Dan semua itu adalah soal ketepatan perasaan
dan imajinasi, soal 'seni' menyiasati medan dan kenyataan, 'seni'
merumuskan dan melukiskan hal yang awalnya tak tcrrumuskan dan tak
terbayangkan.9
Namun relevansi paradigma estetik atau scm umumnya tcrutama
terasa pacta ilmu-ilmu sosial-budaya atau ilmu-ilmu kemanusiaan
(Human Sciences). Ketika di awal millennium ketiga ini ideologi
ideologi besar telah ambruk, dasar-dasar metafisik-transcndental
kehilangan kepercayaan, kerangka-kerangka makna tradisional tak Jagi
bergigi, sedang kanon-kanon kcbenaran pun tak lagi pasti, maka ilmu
ilmu yang berurusan dcngan manusialah yang justru harus bcrpcran
memegang kendali. Ilmu-ilmu yang dahulu discbut 'Humaniora' (ilmu
13
!4
yang mcmbuat manusia lebih manusiawi), yakni Filsafat, Sejarah, Studi
Agama, Sastra, Seni dan Bahasa, perlulah diberikan sebagai kajian kritis
atas riwayat panjang pergumulan batin manusia, serentak peluang
terbuka kc arah penciptaan diri individu yang matang. Di sini pulalah
paradigm a estetik menjadi sentral scbagai "Aesthetics of Existence",
yaitu proses pcnciptaan diri dan kehidupan sebagai karya seni pribadi;
proses mcngelola perasaan, imajinasi dan hasrat untuk mengartikulasi
kan pengalaman dan merumuskan pemikiran; proses menjajagi sccara
kritis dan imajinatif berbagai kemungkinan menjelaskan dan memberi
makna kenyataan. 10 Dalam rangka itu, bahkan ilmu-ilmu pasti dan ilmu
teknik pun bisa diajarkan sebagai permainan menjajagi bermacam
tawaran kemungkinan mcmahami dan merekayasa kenyataan macam itu,
bukan proses pcnjejalan 'hukum alam' dengan segala pretensi
keniscayaannya yang pasti dan abildi.
Akan halnya di biclang teknologi, seni berperan penting di sana
karena teknologi adalah sesuatu yang clidesain. Aktivitas perancangan
dan rekayasa itu selalu mclibatkan imajinasi artistik karena berurusan
banyak dengan olah-bentuk, olah-fungsi dan olah-makna. Tapi teknologi
berkait erat dengan seni terutama karena teknologi adalah sarana
pcmbcntuk dan penyampai substansi 'isi' (pcsan). llu tcrutama lcrasa
dalam teknologi komputer dan televisi dimana substansi isi itu (game,
internet, acara TV, dsb) tidak hanya ditcntukan oleh kemajuan teknik,
mclainkan terutama oleh keterampilan dan visi artistik. 11 Lebih jauh lagi,
makna teknologi terutama terletak pada dampak praksisnya, yang telah
mengubah tata-nilai, cara bersikap, cara merasa dan pola-pola hubungan
dalam duma manusia hingga ke lingkal yang teramat pelik. Sedemikian
pelik dampak itu hingga untuk mcmahaminya, mengancHkan kajian
tcorclik ilmiah saja akan tcrlalu steril dan kerdil. Pada tilik inilah karya
karya seni dalam benluk novel, seni-rupa, teatcr, film, dsb. Scringkali
lcbih mampu melukiskan sccara effektif bagi kcsadaran, imajinasi dan
hati, kepclikan dan komplcksitas dunia tckno-praksis tadi: resiko yang
mendalam dari teknologi; kemungkinan barunya yang menjanjikan
sekaligus menakutkan; kemampuannya mcngubah tatanilai, pcrasaan
dan imajinasi; korban-korbannya; kelaksaannya, dsb.
Peradaban
Akar pengalaman cstetik sebenarnya adalah pcngalaman
kcscharian, tcrutama pengalaman tentang sisi dramatik dinamika gcrak
dan pcrubahan kchidupan. 12 Keccmasan orang yang bcrkcrumun saal
melihat kecelakaan di jalanan. Kclcgangan pcnonton saal mcngikuti
lompatan-lompatan bola dalam pcnnainan sepak-bola. Kcharuan
seseorang saal mel ihal bunga pertama menyeruak dari tanaman yang
selalu disiraminya. Perasaan aneh saal melihat api mcmbcsar kctika kita
siramkan minyak kc alas bara. Kcpekaan alas medan bentuk serta
pengalaman atas gerak-denyut kchidupan macam itulah akar dari
kesadaran estelik dan keccndcrungan berkesenian. ltulah pengalaman
pcngalaman yang membuka indera manusia pada kaitan-kaitan halus
lcrselubung anlar berbagai kejadian, yang menggiringnya pada
15
16
perenungan lcbih mendalam ihwal misteri alam dan kchidupan, yang
menjcbaknya pada kcharuan-keharuan tanpa alasan atas matahari, angin,
tanaman atau pun hujan, tapi juga yang mendorongnya sampai pada
pcmikiran-pcmikiran paling imajinatif dan brilian.
Pcngalaman macam itulah yang akhirnya mengubah sikap reaktif
menjadi kreatif, pola reseptif menjadi format if: Maka semcsta yang
ditangkapnya lantas dirayakan dan diungkapkannya juga dalam medan
bentuk, rupa, kala, gerak dan nada; diukirnya pacta batu, kayu, tubuh
atau pun dinding gua. Bahkan perang pun dirayakannya dengan dekor
mistcri hidup dan mali: dihiasnya tubuh, tombak atau pun pcrisai dcngan
warna-warni. Alhasil dunia manusia adalah duuia 'bentuk' yang
diciptakannya. Dan 'scni' adalah segala upaya untuk memberi bentuk
manusiawi pada hidup dan semesta, berbagai cara membiakan aspirasi
batin lewat penciptaan benda dan peristiwa. Dan dunia yang
diciptakannya itu diubahnya kcmbali sctiap kali, karena pcrubahan
situasi dan kondisi, tapi karena hidup memang sebuah proses 'menjadi',
proses pertumbuhan ruh ke tingkat lebih halus dan lebih tinggi. Maka
jingkrak-jingkrak spontan kcbahagiaan yang tak terkoordinasi berubah
menjadi tarian, gerak komunikasi tubuh tanpa bentuk menjadi perilaku
santun terpolakan, seruan rasa yang kacau menjadi bahasa pelik sarat
gagasan, pcncerapan ukuran dibcrinya bentuk matematis-geometris demi
penghitungan. Sistem-sistem nilai pun ditata ulang kembali setiap kali.
Kekerasan, dari simbol kekuatan berubah mcnjadi isyarat kclemahan;
sedang mercka yang lcmah, awalnya dianggap sebagai pihak yang kalah,
pcrlahan bcrubah, mcnjadi pihak yang wajib dilindungi, bahkan wajah
suci sapaan ilahi. Kekcjaman pcdang harus berhenli dihadapan lawan tak
berdaya. Mcmaafkan mcnjadi lcbih mulia daripada balas-dendam.
Dcmikianlah, seni, scbagai tendensi kreatif umum untuk
membcntuk dunia manusia mcnjadi lebih manusiawi akhirnya
menghasilkan rasa 'kebcradaban', suatu tolok ukur umum evolusi
kemanusiaan. Tak mengherankan bila filsuf macam Friedrich Schiller
menyebut tingkat tcrtinggi peradaban sebagai Aesthetic State, suatu
situasi hidup bcrsama yang dikelola olch rasa 'kcindahan tcrdalam'.
Disana, katanya, pcradaban adalah situasi dimana manusia scbagai Ruh
semakin mampu mcmandang lcbih dalam aspek keRuhaniannya, dimana
kekuasaan berubah menjadi kepedulian, nafsu mcnjadi komitmen cinta,
hasrat mcnjadi solidaritas, scdang kcrcndahan hati dan belarasa menjadi
sesuatu yang sangal mulia. 13
Scni akhirnya adulah soul makin tajamnya kcsadanm makna dan nilai
di balik 'bcntuk', bcntuk alam scmesta, bentuk perilaku manusia, tapi
juga bcnluk sislcm dogma, bcntuk kchidupan bcrsuma, dsb. lmajinasi
kreatif yang menggerakannya adalah juga yang melahirkan ilmu dan
teknologi, scgala sistem kepercayaan dan sistem-sistem gagasan, artinya,
yang membentuk seluruh gerak kcbudayaan dan peradaban. Dalam arti
luas, scni adalah berbagai siasat unluk memasuki kemungkinan
kemungkinan pcmaknaan lebih dalam atas pcngalaman, kesemcstaan
dan kemanusiaan. Pacta titik ini 'keindahan' hanyalah kata lain untuk
'kcbcnaran' dan "kcbaikan~.
17
18
Para hadirin sckalian,
Kalau scni adalah bcrbagai upaya untuk 'mcmbcntuk' dan
'menumbuhkan' kehidupan, hidup saya ini adalah scbuah karya scni
yang diciptakan begitu banyak seniman. Maka pada akhir pidato ini
perkenankan saya mcngucapkan syukur alas para scniman bcsar itu.
Seniman tcrbesar tentu saja Tuhan, namun rupanya Ia telah
menggunakan banyak tangan. Salah satu tangan paling signifikan adalah
komunitas para rahib Ordo Sanctae Crucis (OSC). Tangan-tangan
mereka yang bcrsahaja itu diam-diam telah membcntuk intelcktualitas
yang tak pernah lepas dari sensibilitas artistik dan kcdalaman spiritual.
Tcrimakasih dari hati yang terdalam untuk itu, khususnya kepada Pastor
Frans Vermeulen OSC, yang tclah membentuk dan mematangkan
kehidupan intelektual saya dan mcnerbangkan saya menjelajahi
cakrawala dunia. Juga almarhum Dr. Thco Huijbcrs dan pastor Yan
Sunyata, yang telah meracuni, dan membuat saya kecanduan, dengan
pola berpikir lewat imaji dan hati. Pastor Agus Rachmat, bos komunitas
ini dan tcman sejak keeil. Terimakasih atas segala dukungan selama ini.
Sebenarnya anda sudah selalu berkualitas gurubcsar juga, cuma terlalu
rendah hati. Tangan lain adalah Universitas Katolik Parahyangan yang
institusinya telah melindungi dan menghidupi kiprah saya selama ini.
Terimakasih khususnya kepada Scnat Universitas, tcrutama komandan
nya Prof. Yohanncs Gunawan, yang telah mcmbantu dengan magic
touchnya, juga ibu Rosmaida beserta pasukannya, yang tanpa kenai Ielah
mengurus segala proscdur birokratis yang kadang rumit. Lalu juga
keluarga besar fakultas Filsafat Unpar dibawah paetua-nya, Ramo Fabie.
Mcreka scmua adalah habitat alias Lebenswelt saya. Merekalah, para
dosen, karyawan beserta pm·a mahasiswa yang pcrsahabatan dan
pemikiran kritisnya secm·a langsung tclah mempertajam pemikiran dan
membcntuk diri saya dari hari ke hari. Lalu Pascasarjana FSRD ITB,
juga FSRD Maranatha, adalah juga bagian dari dunia scni saya. Mcrcka
tcrus-mcncms menjaga ketcrkaitan saya dengan dunia scni sccara paling
konkrit. Terimakasih untuk itu. Tangan lain yang sudah sclalu mcnjadi
bagian dari dunia seni saya dan memaksa saya untuk tidak hanya bicara
tentang seni tapi juga berkarya, adalah perusahaan T-shirt C59. Mas
Wiwid, mbak Maria, beserta kcluarga besar C 59, terimakasih bcrjuta
juta cntuk segala dukungannya. Anda boleh bangga sem·ang desainer
sablonnya menjadi profesor. Lalu tentu saja Iangan pertama yang telah
menghadirkan dan mcmbcntuk saya di bumi ini, keluarga
Budhirahardjo : lbu saya tercinta, almarhum Bapak, kakak dan adik
adik. Dari mcreka saya belajar bahwa hati mempunyai kecerdasannya
sendiri. Tanpa mereka saya tak mungkin ada disini. Kebanggaan mereka
hari ini adalah kebahagiaan saya. Last but not least, mereka yang paling
saya cintai: islri saya sendiri, Anne, juga anak-anak Gili dan Rana, yang
scring saya tinggal-tinggal pergi. Mcrekalah tangan-tangan Tuhan yang
paling langsung membcnluk kebahagiaan dan keberartian scluruh hidup
saya. Mcrckalah yang makin menyadarkan saya bahwa kasih sayang
adalah tilsafat yang tertinggi. Jabatan yang saya dapatkan saat ini
19
20
semoga membuat mereka bangga dan merasa bahwa seringnya saya
meninggalkan mereka tidaklah percuma. Tentu masih ada banyak sckali
tangan tersembunyi yang diam-diam ikut menciptakan saya dan tak
mungkin say a sebutkan satu persatu namanya. Semoga kebahagiaan dan
rasa syukur saya hari ini menjalar dan mcnyentuh hati mercka semua.
Terimakasih.
Catatan
1 Tengoklah berbagai pendakuan macam itu antara lain pada Victor Burgin, The End of Art Theory: Criticism and Pas/modernity (Atlantic Highlands, NJ : Humanities Press nternational, 1986); Arthur Danto, Philosophical Disenfranchisement of Art (New York: Columbia University Press, 1986), atau Hal Foster, The Anti-Aesthetic : Essays on Postmodan Culture (New York : New Press, 1983).
2 Lihatlah berbagai artikel dalano Ahmad Nonna (ed), Seni, Polilik, Pemberontakan (Yogyakarta : Bentang, 1998), terutama artikel Barbard Rose, "Prates dalam Seni", him I 06-26. Dan panelangan macan1 ini sebetulnya beredar luas di kalangan mereka yang sangat memuja seni klasik dan modern, di dunia Barat tapi juga di Indonesia.
3 Kecenderungan masyarakat pra-modem untuk mendistorsi bentuk hingga menjadi sangat stilistik bukanlal1 cermin ketidakakuratan perceptual mereka, melainkan ungkapan intcnsi moreka untuk menampilkan interioritas di balik bentuk fisik, aura sacral-misterius di balik tampilan material.
4 Pandangrm modern tentang apresiasi seni macarn ini tcrutama diolah dengan canggih oleh Immanuel Kant (abad 18) dan sehmjutnyu mcnjadi semacam doktrin umum Estetika Modem.
5 Produk seni mutakhir banyak sekali diwarnai kegilaan, kekerasan dan kematian. Telaah atas tendensi negatif ini telail banyak ditulis orang. Salah satu yang menarik adalah tulisan Paul Virilio, Art and Fear, (London : Continuum, 2000)
6 Fokus pada 'keindal1an' dalam seni berakar pacta fiisafat Tromas Aquinas yang Aristotelian yang mernadankan keindahan, dengan kebenaran dan kebaikan (Pulchrum, Verum, Bonum), namun selanjutnya mendapat penekanan berlebihan dalam tradisi Barat sejak Alexander Gottlieb Baumgarten mencanangkan istilah 'Estetika' di abad 18.
7 Proyek fenomenologi Hussrel sebetulnya bermal<Sud mencari dasar tak tergugat bagi kepastian ilmu pengetahuan (strenge wissenschaft) namun yang
21
?.2
akhirnya ia tcmukan adalah pengalaman pra-reflcktif di balik segala tafsiran kita, suatu rcalitas yang ia sebut Lehenswelt, yakni d•mia kehidupan yang dihayati secara konkrit dan langsung, yang mendahului segala kegiatan pemikiran dan tafsiran kita atasnya. Bandingkan E.Husserl, Cartesian Meditations, terj. David Cairns (The Hague : Martinus Nijhoff, 1960) hlm. 136-137
8 Ini terutama adalah penelusuran fenomenologis lebih lanjut dari MerleauPonty, lihat Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, terj. Colin Smith (New York : The Humanities Press, 1962) him viii-xi
9 Lihat Michael Polanyi, Personal Knowledge (London : Routledge and Kegan Paul, 1969) him 143-59; juga perlu .li!ihat bahwa dalam pembentukan teori, terminologi baru beserta model yang menyertainya, imajinasi metaforik -seperti y.ng berpcran di bidang seni- sangatlah ikut menentukan. Bandingkan Max Black, dalam A.Ortony (ed), Metaphor and Thought (Cambridge : Cambridge University Press, 1993) dan Marry B. Hesse, Models and Analogies In Science (Notre Dame, IN : University of Notre Dame Press, 1966)
10 'Aesthetics of Existence" adalah inspirasi dari tradisi Nietzschean, yang lebih lanjut banyak dikembangkan oleh kaum post-strukturalis macam Michel Foucault, Derrida a tau pun Roland Barthes.
11 "The Medium is the message", kata Marshall McLuhan, artinya bahwa konstruksi teknologi itu sendiri akhirrya menentukan substansi macam apa yang dimungkinkan beredar dan dikomunikasikan. Telaah lebih dalam mengenai ini lihat Eric McLuhan, Essential McLuhan (Concord : House of Anansi Press Ltd, 1995)
12 John Dewey membahas dengan mendalam dan cemenang keterkaitan antara estetika dan pengalaman keseharian. Disana semp•tt ia katakana bahwa karyakarya seni besar adalah 'paradigma pengalaman'. Lihat John Dewey, Art as Experience (New York : Perigee Book, 1934)
13 Lihat Friedrich Schiller, "On the Aesthetic Education of Man" dalam David E.Cooper (ed), Aesthetics, the Classic Readings (Oxford : Blakwell Publishers Ltd, 1997) hlm 123-136
Kepustakaan
Burgin, Victor, The End of Art The01y : Criticism and Pas/modernity (Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press International, 1986)
Cooper, David ( ed), Aesthetics, the Classic Readings (Oxford : Blackwell Publishers Ltd, 1997)
Danto, Arthur, Philosophical DiseJ?fi'anchisement of Art (New York Columbia University Press, 1986)
Dewey, John, Art as Experience (New York : Perigee Book, 1934) Foster, Hal, The Anti-Aeshetic : Essays on Pas/modern Culture (New
York: New Press, 1983) Hesse, Mary 13., Models and Analogies in Science (Notre Dame, IN :
University of Notre Dame Press, 1966) Husser!, Edmund, Cartesian Meditations (The Hague : Martinus
NijhofJJ 960) McLuhan, Eric, Essential McLuhan (Concord : House of Anansi Press
Ltd, 1995) Merleau-Ponty, Maurice, Phenomenology of Perception (New York :
The Humanities Press, 1962) Norma, Ahmad, Seni, Politik, Pemberontakan (Yogyakarta : Bentang,
1998) Ortony, A, Metaphor and Thought (Cambridge : Cambridge University
Press, 1993) Polanyi, Michael, Personal Knowledge (London : Routledge and Kegan
Paul, 1969) Virilio, Paul, Art and Fear (London : Continuum, 2000)
23
24
2006
Daftar Publikasi (Pilihan)
- "Toward Ecology of Culture", dalam Sonja Servomaa (ed) Humanity at the Turning Point ( Helsinki : Renvall Institute Publication,)
- "The Right to Religion", dalam .Joumal of Dharma, an International Quarterly of World Religions vol3!, No. I, (Bangalorc: Dharma Research Association)
- "Radical Consequences of the Primacy of Experience in Hermeneutics of Culture" dalam George ]<'.McLean ( ed) Hermeneutics of Culture (Washington DC : The Council for Research in Values and Philosophy)
• "Negative Experience, Art and the World Peace" dalam Tomonobu Imamichi (ed), Eco-Etltics and World Peace (Tokyo : Centre International pour !.,'Etude Comparee de Philosophic et D'Esthetique)
2005 - "Logos Without Substance : Wisdom as seeing through the Absence",
dalam Dialogue and Universalism, vol XV, No 1-2 (Warsaw: Polish Academy of Sciences)
- "Heritage and The Paradox of Culture" dalam Prajnti Vihtira, Journal of Philosophy and Religion, Vol 6, No 2 (Bangkok: Assumption University of Thailand)
- "Interrelationship as the Paradigm of Cultural Identity" dalam Journal of Gender Studies, vol 2, no I (Port Harcourt : River State University of Science & Technology)
- "Cosmopolitanism : Between Cosmopolis and Chaosmopolis" dalam Tomonobu lmamichi ( ed), Eco-ethic and Cosmopolitanism (Tokyo : Centre International pour L'Fitude Comparee de Philosophic et D'Esthetique)
- "Nomadic Aesthetics, The Aftermath of The End of Art", dalam The 3'd Asia Europe Art Camp 2005 (Bandung : Asia Europe
l (
Foundation & Bandung Center for New Mt!dia Arts) • "Religion, Culture and Identity Revisited", Mr.lintas, a Quaterly
journal of Philosophy and Religion, Vol 21, No 2 (Bandung : ' Parahyangan Catholic University)
• "Penghancuran Diri Agama·Agama : Dekonstruksi agama ala Derrida", Basis, no 11·12, Th 54 (Yogyakarta : Yayasan BP Basis)
• "Ilmu dan Agama", dalam Zainal Abidin Bagir et a! (ed), lntegrasi 1/mu dan Agama (Bandung : Mizan) ·
• "Kertas dan Perubahan Sikap Reflektif', dalam Setiawan Sabana eta! (ed), Legenda Kertas: menelusuri }alan peradaban (Bandung : Kiblat Buku Utama)
• Waja/1 baru Etika dan Agama (et al), (Yogyakarta : Kanisius) Cetakan ke 2
. Postmodernisme: Tantangan bagi Fi/safat (Yogyakarta : Kanisius) Cetakan 8
• "Membenahi Hidup Lewat Seni", dalam Imaji, jumal senirupa (Bandung: Maranatha)
2004 · "Eco·Ethics and Ecology of Culture" dalam Tomonobu Imamichi
( ed), Perspectiva .Vova Eco.Ethices (Tokyo : Centre International Por L'Etude Comparee de Philosophic et D'Esthetique)
• "Philosophy and Interculturality" dalam Hyondok Choe et a! (ed), Interculturality in Philosophy (Aachen: Missionwissenschaftliches)
· "Garin and Social Transformation" dalam Philip Cheah et a! ( ed), And the Moon DC!nces: The Film of Garin (Yogyakarta: Bentang)
· "Kebudayaan, Filsafat dan Seni", dalam J.B.Kristianto et al (ed), EsaiEsai Bentara 2004 (Jakarta: Kompas)
· "Permasalahan Dasar Pengetahuan dalam Konteks Eko·etika" dalam Melintas, a Quarterly Journal of Philosophy and Religion, (Bandung: Parahyangan Catholic University)
· "Sains dan Dunia Manusia" dalam Studio Philosophica et Tlleologica Vol 4, No 2 (Malang : STFT Widya Sasana)
25
26
2003 - "Onto-Ecological Dimension of Knowledge", dalam Tomonobu
lmamichi (cd),Natura, Historia et Eco-Ethica (Tokyo : Centre International Pour !}Etude Comparee de Philosophic et D'Esthetique)
- "Religion, Violence and Philosophy", dalam Melintas, a Quarterly Journal of Philosophy and Religion (Bandung : Parahyangan Catholic University)
- "Seni dan Paradigma : sebuah til~auan Epistemologis" dalam Adi Wicaksono et al ( ed), Paradigma da11 Pasar : aspek-aspek Smi Visual ltldo11esia (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti)
- "Sa lib : Lubang Hitam Spiritualitas", dalam H.Suryanugraha et al (cd), Sa lib : Simbol Teror, Teror Simbol (Bandung : Sangkris)
2002 - "Sejarah, Ruang, dan lmajinasi", dalam J.B.Kristianto et al (ed), Esai
Esai Bmtara 2002 (Jakarta: Kompas) - "Film-Film Garin dan Transformasi Masyarakat" dalam Taufik
Rahzen ( ed), Memhaca Film Gari11 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
2001 - "Humanism and Asian Perspective", dalam Huma11ity i11 the 21"
Cetltury (Seoul : Riacuk) - "Deciphering the Grammar of Human Body",dalam Tubuhmu Tubuli
(Jakarta: Teguh Ostenrik's Exhibition) - "Ketika Keheningan Menjadi Teror: telaah atas puisi Dorothea
Herliany", dalam Horiso11, Agustus,jurnal Sastra.
2000 - Perspektif Karya Popo Jska11dar (eta!), (Ban dung : GSPI) - "Penjara Jiwa, Mesin Hasrat : Tubuh sepanjang Budaya", dalam
Kalam, Jurnal Budaya No. IS (Jakarta) - "Gelagat Post-Estetik dalam Seni Kontemporer", dalam Pmelitia11,
Jurnal Penelitian, No 9 (Bandung: Lembaga Pene\itian Unpar)
KEGIATAN INTERNASIONAL
2006 - International Symposium on "Eco-Ethics and World Peace", October
31- November 8, 2006, Copenhagen, Denmark - International Conference of Philosophy, "Civilization and Culture :
2005
Culture as Burden and Opportunity", July 17-20, 2006, Bandung, Indonesia
- International Symposium on "Cosmopolitanism", October 29-November 7, 2005, Copenhagen, Denmark
- International Conference on "Humanity at the Turning Point", July 13-21,2005, Helsinki, Finland
- International Seminar on "Religion and Conflict", January 10-13, 2005, Bandung, Indonesia
2004 - International Symposium ofEco-Ethica, November 7-15, 2004, Kyoto,
Japan - AACP International Conference, August 18-20, 2004, Bangkok,
Thailand
2003 - International Symposium of Eco-ethica and Ontology, November 1-7,
2003, Tokyo, Japan - Seminar on "Hermeneutics of Culture", September 3- October 31,
2003, Washington DC, USA - !SUD Fifth World Congress, May 2003, Olympia, Greece
2002 - Conference of International Society for Metaphysics, August, 2002,
Tokyo,JHpan
27
- AACP International Conference, August 2002, Tokyo, Japan
2001 - !SUD Fourth World Congress, July 2001, Cracow, Poland
1999 - 4'" International Conference of the AACP, August 1999, Seoul, Korea
1998 - Twentieth World Congress of Philosophy, August 1998, Boston, USA
1996 - General Assembly of COCTI, August 1996, Quebec, Canada
28
Riwayat Hid up
Ignatius Bambang Sugiharto lahir di Tasikmalaya, 6 Maret 1956. Menyelesaikan program S I di Fakultas Filsafat Unpar th. 1981 dan Fak. Sastra, Jurusan Filsafat, Universitas Indonesia th 1984. Mendapat gelar Licensiat (Magna cum Laude) dari Universitii san Tomasso, Roma, Italia th.l992, dan Doktcr Filsafat (Summa cum Laude) dari universitas yang sam a th I 994.
Mengajar di Universitas Katolik Parahyangan sejak 1984 terutama di fakultas Filsafat, kemudian juga di program Pascasarjana, sambil menjauat sebar,ai Pembantu Dekan I Fak. Filsafat hingga saat ir.i. Selain itu juga mengajar di program Pascasarjana Fak. Seni Rupa dan Desain ITB dan FSRD Maranatha.
Tulisannya tersebar dalam berbagai buku, nasional maupun internasional, juga dalam berbagai media dan jurnal (Kompas, Tempo, Suara Pembaruan, Basis, Kalam, dsb ). Membawakan makalah dalam berbagai fora, nasional maupun internasi0nal (Canada, Amerika, Denmark, Finland, Yunani, Korea, Jepang, dsb)
Aktif terlibat dalum bcrbagai organisusi dan proyek penelitian Internasional, a. I.: Presiden, Asian Association of Catholic Philosophers; Sekjen, International Society for Universal Dialogue (New York); Research Fellow, Centre International Pour L'etude Comparee de Philosophic at D'esthetique (Tokyo & Copenhagen); Research Fellow, The Council for Research in Values and Philosophy (Washington DC); Research Fellow, Institute for Advanced Study of Asian Cultures and Theologies (Hongkong); Anggota, International Society for Metaphysics (Washington DC); Anggota, Assosiasi Ahli Fibafat Indonesia (ASAFI); Anggota, Himpunan Dosen Etika Indonesia (HIDES!).
Bam bang Sugiharto menikah dengan Drs. R.Anggraini Prawirakusumah Dipl.TEFL, dikaruniai 2 orang anak : R.F.A Gilimandra {17 th) dan R. Maria Kirana Rucitra (10 th). Tinggal di Kompleks Unpar no 65, jl. Pasirimpun, Bandung.
29
31
Susunan Acara lJpacara Pengukuhan Guru Besar
Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto Bandnng, 16 Desember 2006
09.00 Seluruh tamu undangan telah berada di ruangan upaeara
09.05 Prosesi Senat Universitas memasuki ruang upacara dipimpin oleh Pede!
09.10 Pcmbukaan Sidang Terbuka Scnat Universitas Katolik Parahyangan oleh Ketua Senat Universitas
09.15 Pembacaan Surat Keputusan Menteri Pcndidikan Nasional tentang pengangkatan Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto mcnjadi Guru Besar dalam Bidang llmu Filsafat oleh Dekan Fakultas Filsafat
09.25 Pembacaan Curiculum Vitae Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto
09.35 Pembacaan Pidato Pengukuhan oleh Prof Dr. Ignatius Bambang Sugiharto
I 0.00 Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Filsafat oleh Ketua Senat Universitas
I 0.05 Doa Syukur oleh Pst. I-Iarimanto, OSC
I 0.15 Penutupan Sidang Terbuka Senat Universitas oleh Ketua Senat Universitas
I 0.25 Prosesi Senat Universitas meninggalkan Ruang Upacara, sekaligus memberikan ucapan selamat kepada Prof. Dr. Ignatius Bam bang Sugiharto beserta keluarga
I 0.30 l'emberian ueapan selamat dari scluruh tamu undangan
11.00 Ramah Tamah dengan seluruh tamu undangan
31
SIDANG TERBUKA SEN AT UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
PENGUKUHAN GURU BESAR ILMU FILSAFAT BANDUNG, 16 DESEMBER 2006
701
s
143