TUGAS KELOMPOK PEREKONOMIAN INDONESIA
Oleh : Mahasiswa(i) Program Doktor Ilmu Ekonomi PPS-UNHAS
GAMBARAN EKSISTING KEBIJAKAN SEKTORAL
Berbicara mengenai perekonomian Indonesia dan strategi pembangunan
ekonomi tidak terlepas dari peran pemerintah sebagai regulator dan masyarakat
sebagai subyek perekonomian yang merasakan dampak dari regulasi pemerintah.
Dengan tugas yang diemban pemerintah untuk memakmurkan dan mensejahterakan
masyarakat, tentu diperlukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Melihat
potensi sumber daya alam maupun modal pembangunan lainnya, maka pemerintah
sebagai pengambil kebijakan harus memetakan potensi demografi yang dimiliki setiap
daerah serta mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi dalam merumuskan
kebijakannya. Dan pemetaan serta pertimbangan kondisi demografis, sosial, dan
ekonomi berujung pada peningkatan PDB dengan instrumen kebijakan sektoral.
Pemerintah saat ini memprioritaskan kebijakan sektoral bidang ekonomi terdiri
dari tujuh bidang : (1) Pengembangan Infrastruktur Percepatan penyelesaian
infrastruktur yang menjadi “sumbatan" bagi perekonomian nasional; (2) Meningkatkan
ketahanan pangan dan kesejahteraan petani melalui perbaikan produktifitas sektor
pertanian; (3) Meningkatkan ketersediaan dan keberlangsungan energi bagi kebutuhan
nasional; (4) Pengembangan kapasitas UMKM di bidang ketrampilan, kelembagaan dan
dukungan Pemerintah; (5) Meningkatkan Daya Saing Sektor Industri dan Jasa; (6)
Meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayananan transportasi; (7) Mendorong
investasi di dalam negeri. Ketujuh kebijakan ini diharapkan dapat menjadi stimulus
untuk percepatan pembangunan maupun pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
KONDISI SEKTORAL PASCA KRISIS
a. Krisis Ekonomi tahun 1997-1998
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah memberikan pengaruh
yang besar kepada perekonomian Indonesia pada tahun 1998. Krisis ekonomi yang
diawali oleh jatuhnya rupiah terhadap US dollar telah menyebabkan semakin mahalnya
harga barang-barang impor. Hal ini pada gilirannya menyebabkan semakin
meningkatnya biaya produksi yang ditanggung oleh para produsen di dalam negeri
yang banyak menggantungkan produksi dengan bahan baku dari impor. Kenaikan
biaya produksi menyebabkan harga pokok produksi juga ikut meningkat sehingga harga
jual produk pun menjadi meningkat. Sehingga kenaikan harga-harga barang di dalam
negeri membuat konsumen perlu mengeluarkan lebih banyak uang untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bagi rumahtangga golongan rendah, kenaikan
harga-harga barang dan jasa menyebabkan semakin beratnya beban untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, sedangkan bagi rumahtangga berpendapatan tetap, krisis
ekonomi menyebabkan real income mereka menjadi turun, sehingga mengakibatkan
turunnya daya beli mereka.
5
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 1997-1999
No Indikator 1997 1998 1999
1. Pertumbuhan Ekonomi (persen) 4.70 -13.01 0.31
2. Inflasi (persen) 11.05 77.63 2.01
3 PDB harga konstan 1993(Milyar Rp) 422 245.90 376 892.50 378 051.50
4 Pengangguran (juta) 37.00 38.00 37.00
5 PDB per kapita (ribu Rp) 3 141.00 4 787.00 5 436.40
6 Neraca perd. Luar negeri (juta US$)
a. Ekspor
b. Impor
11 763.80
53 443.50
41 679.80
21 510.70
48 847.60
27 336.90
24 662.10
48 665.40
24 003.30
7 Investasi : a. PMDN (milyar Rp)
b. PMA (juta US $)
119 872.90
33 832.50
60 749.30
13 563.10
53 550.00
10 890.60
8 Suku bunga deposito berjangka
bank umum 1 bulan (persen)
23.00 51.67 12.24
9 Kunjungan wisata asing (ribu jiwa) 5 185.20 3 764.70 3 920.30
10 Penduduk miskin (juta jiwa) - 49.50 37.50
11 Produksi padi (juta ton) 49.40 49.20 50.87
Sumber : BPS, 2000.
Krisis ekonomi seperti ini menyebabkan arus supply tersedia tetapi dengan
demand yang rendah sehingga banyak produk yang tidak terserap oleh pasar. Krisis
ekonomi yang berkepanjangan ini menyebabkan output menjadi berkurang sehingga
pada gilirannya menyebabkan PDB Indonesia pada tahun 1998 terpuruk. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada tahun tersebut mengalami kontraksi sekitar –13.68 persen
yang mengakibatkan banyak sektor ekonomi juga terpuruk. Banyak produsen di dalam
negeri yang collapse, sehingga pada gilirannya, hal ini menyebabkan pemutusan
hubungan kerja (PHK) terhadap tenaga kerja Indonesia sebagai upaya untuk
mengurangi sebagian beban berat yang dihadapi oleh para produsen Indonesia dalam
menghadapi krisis ekonomi. Sebagai dampak krisis ekonomi diperkirakan sekitar 6.4
juta tenaga kerja Indonesia pada tahun 1998 terkena PHK. Dari hubungan antara
pertumbuhan ekonomi yang kontraktif dan PHK dapat disimpulkan bahwa setiap
kontraksi pertumbuhan ekonomi 1 persen atau dengan perkataan lain setiap turunnya
PDB Indonesia 1 persen menyebabkan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar
470 ribu tenaga kerja Indonesia. Sebagai akibat pemutusan hubungan kerja tersebut,
pasar tenaga kerja menjadi oversupply, sementara demand terhadap tenaga kerja
berkurang. Kondisi ini menyebabkan turunnya tingkat upah riil tenaga kerja Indonesia
yang diperkirakan turun dari rata-rata Rp 1 742 per jam pada tahun 1997 menjadi Rp 1
023 per jam pada tahun 1998 (BPS, 1998).
Pada saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, sektor-sektor yang bertumpu
pada pengumpulan kapital dan bergantung kepada input impor, dimana sebelumnya
dijadikan sebagai motor penggerak industrialisasi untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, justru terpuruk. Di sisi lain, sektor pertanian tetap tegar dan
berperan dalam menyumbang devisa yang cukup besar. Oleh karena itu, anggapan
bahwa sektor pertanian adalah sektor yang hanya berfungsi sebagai penghasil surplus
ekonomi saja tanpa perlu upaya untuk mengembalikannya secara seimbang dan
proporsional perlu dikaji kembali.
Di tengah terpuruknya perekonomian Indonesia akibat terjadinya krisis ekonomi
di mana rupiah terdepresiasi terhadap US dollar dan PDB Indonesia jatuh secara
drastis, ternyata kegiatan ekonomi di sektor pertanian mendapat keuntungan dari akibat
naiknya nilai tukar US dollar terhadap rupiah sehingga penerimaan pendapatan ekspor
di sektor ini meningkat.
Di sisi lain, para tenaga kerja korban PHK untuk mempertahankan kehidupan
rumahtangga mereka berupaya mencari terobosan dengan masuk ke sektor informal
agar memperoleh pendapatan tambahan. Sektor pertanian merupakan sektor tumpuan
dimana para tenaga kerja yang terkena PHK dapat ditampung bekerja secara informal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1998 memaparkan bahwa ketika terjadi krisis
ekonomi terdapat peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian dari 35.8 juta tenaga
kerja menjadi 36.3 juta tenaga kerja. Hal ini diinterpretasikan sebagai masuknya
tenagakerja baru (tenaga informal) di sektor ini.
Besarnya peranan sektor pertanian di Indonesia memberikan rasa optimis bahwa
sektor ini akan menjadi sektor kunci (key sector) dalam mewujudkan tercapainya tujuan
pembangunan yang berlandaskan Trilogi Pembangunan, yaitu pembangunan yang
berlandaskan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ke tiga landasan
tersebut merupakan strategi yang tepat dan dapat menjamin kontinuitas pembangunan
di masa mendatang. Namun, pencapaian pembangunan yang berlandaskan Trilogi
pembangunan tersebut sejak masa orde baru sering terjadi ketimpangan ketika salah
satu landasan lebih diprioritaskan daripada landasan yang lain. Ketika pemerintah lebih
menekankan pencapaian tujuan pembangunan untuk mencapai pertumbuhan yang
tinggi, ternyata mengabaikan aspek pemerataan pembangunan.
Ketimpangan hasil-hasil pembangunan terwujud juga dalam bentuk ketimpangan
antara desa dan kota. Ketimpangan regional juga terjadi dengan ditandai oleh adanya
perbedaan perkembangan pembangunan antar daerah. Ketimpangan lain terutama
ketimpangan sektoral terjadi dengan ditandai adanya pertumbuhan sektoral yang
berbeda-beda terhadap perekonomian.
b. Krisis keuangan global tahun 2008
Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan
dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya telah
mengganggu stabilitas sektor keuangan dan sektor riil, bahkan terhadap
pembangunan daerah. Hal ini sebenarnya merupakan rentetan dampak dari
krisis keuangan, dimana krisis keuangan memberikan efek terhadap sektor riil,
selanjutnya terganggunya perkembangan sektor riil mempengaruhi
keberlangsungan pembangunan daerah.
Pengaruh Krisis Keuangan Global Terhadap Sektor Riil
Terjadinya depresiasi nilai Rupiah terhadap Dollar Amerika merupakan imbas
krisis global di sektor keuangan. Kejadian ini sangat berdampak pada sektor riil,
yakni pada sektor pembangunan infrastruktur, sektor perumahan dan
pemukiman, sektor pertanian, sektor kehutanan, dan sektor perdagangan dan
industri.
a. Pertama pada pembangunan infrastruktur. Berkurangnya anggaran pemerintah
akibat krisis keuangan global mengakibatkan semakin tidak terpenuhinya
kebutuhan pemeliharaan dan rehabilitasi infrastruktur, khususnya infrastruktur
transportasi. Terdepresiasinya nilai Rupiah dan tingginya tingkat inflasi
menyebabkan terjadinya kenaikan biaya transportasi. Hal ini diperparah dengan
sempat melonjaknya harga minyak dunia yang mendorong meningkatnya
harga/subsidi bahan bakar kendaraan bermotor. Kenaikan harga bahan bakar
tersebut menambah beban biaya transportasi. Dengan demikian terjadilah
penurunan tingkat kinerja infrastruktur transportasi dalam mendukung kegiatan
ekonomi, antara lain penurunan tingkat keselamatan, kelancaran distribusi, dan
terhambatnya hubungan dari satu daerah ke daerah lain.
Penurunan kinerja infrastruktur ini berimplikasi pada terhambatnya distribusi
barang dan jasa yang menyebabkan kenaikan biaya angkut, sehingga biaya
produksi meningkat. Akibatnya terjadilah kesenjangan harga yang tajam untuk
produk yang sama di daerah yang berbeda. Ini akan menyebabkan pula
kesenjangan daya beli antar daerah. Hambatan transportasi juga menyebabkan
menurunnya mobilitas tenaga kerja sehingga meningkatkan konsentrasi keahlian
dan keterampilan pada beberapa lokasi wilayah tertentu saja.
b. Sebagaimana diketahui bersama bahwa pembangunan infrastruktur ini
membutuhkan biaya yang sangat besar. Bahkan menurut road mappembiayaan
infrastruktur untuk 2005-2009 mencapai Rp 1.400 Triliun (Kementrian BUMN
2005). Dengan demikian dana sebesar itu tak dapat hanya mengandalkan
pembiayaan dalam negeri, sehingga diperlukan investor atau donatur dari
beberapa lembaga asing. Untuk menarik investor asing, Indonesia perlu menjaga
stabilitas ekonomi dan politik di dalam negeri. Meskipun stabilitas ekonomi dan
politik bisa kita capai, investor asing tidak otomatis tertarik karena krisis
keuangan global telah membuat kepercayaannya menurun dalam berinvestasi.
c. Kedua, pada sektor perumahan dan pemukiman. Krisis keuangan global yang
melanda, telah memberikan dampak yang serius pada sektor perumahan dan
pemukiman. Pengurangan likuiditas akibat krisis keuangan global mendorong
terjadinya keterbatasan anggaran pemerintah untuk sektor perumahan.
Kondisinya diperparah lagi oleh kepanikan bank sehingga mereka menaikkan
suku bunga kredit perumahan. Padahal dengan pertumbuhan penduduk
Indonesia yang sebesar 1,9 persen per tahun, maka kebutuhan terhadap
perumahan akan terus meningkat. Untuk menghadapi situasi tersebut, Bank
Indonesia mengambil kebijakan menurunkan BI rate. Namun kebijakan BI
dimaksud terkesan sangat lamban direspon oleh dunia perbankan dalam
menurunkan suku bunga KPR. Disamping itu, pihak Perbankan sangat selektif
dalam mengucurkan dana kreditnya. Memang sebagian bank sudah mulai
menurunkan suku bunga kredit rata-rata antara 0,5 sampai 1 persen. Namun,
penurunan suku bunga kredit sebesar itu tidak banyak berarti bagi konsumen
maupun pengembang karena persoalan utama dunia perbankan belum teratasi
secara tuntas, yakni keterbatasan likuiditas.
d. Ketiga, pada sektor pertanian. Dampak krisis keuangan global terhadap sektor
pertanian relatif kecil. Hal ini dikarenakan sektor pertanian memiliki skema
pembiayaan tersendiri dan tidak ada di pasar saham. Namun dampak krisis
sangat berpengaruh pada market demand di sektor ini, yang terlihat dari
penurunan permintaan terhadap komoditas pertanian secara umum karena daya
beli konsumen yang sedang turun. Hal ini berdampak pada volume perdagangan
pangan yang menurun secara signifikan di tingkat global. Data perdagangan
Indonesia menunjukkan telah terjadi penurunan ekspor untuk sektor pertanian
sebesar 8,24 persen pada Januari 2009 dibandingkan Januari 2008.
e. Untuk subsektor pertanian yakni perikanan dan kelautan, krisis keuangan global
juga mengakibatkan menurunnya permintaan akan hasil perikanan dan kelautan
sehingga harganya menjadi tertekan, selanjutnya mengancam terjadinya gagal
bayar karena persoalan finansial pada perusahaan skala besar. Selain itu,
negara-negara besar importir perikanan mengkhawatirkan kemungkinan
terjadinya penggunaan teknik budidaya perikanan yang tidak ramah lingkungan
karena nelayan mencoba mengurangi biaya produksi.
f. Keempat, pada sektor kehutanan. Imbas krisis keuangan global terhadap sektor
kehutanan tak jauh berbeda dengan sektor pertanian. Asumsi pertumbuhan
ekspor yang hanya satu persen atau bahkan negatif akan sangat memukul
sektor kehutanan dengan alasan episentrum krisis keuangan global juga
melanda negara-negara yang selama ini menjadi pasar komoditas kehutanan
Indonesia, yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Selain itu, sektor kehutanan
tidak terlalu memperoleh perhatian untuk mendapatkan stimulus fiskal karena
Pemerintah pusat dan daerah lebih memprioritaskan sektor yang lain.
g. Keterbatasan likuiditas yang terjadi akibat krisis keuangan global mendorong
pengusaha hutan untuk membuat skala prioritas dalam pengelolaan aset
kehutanannya. Penetapan prioritas ini akan mengorbankan beberapa pos
anggaran yang dianggap tidak langsung terkait dengan kelangsungan kegiatan
operasional seperti biaya dalam pelestarian lingkungan dan sosial
kemasyarakatan. Hal inilah yang justru akan membahayakan keberlangsungan
sektor kehutanan di masa yang akan datang.
h. Kelima, dalam bidang perdagangan dan industri. Krisis keuangan global
berdampak pada kesulitan mendapatkan bahan baku industri yang sebagian
besar berasal dari luar negeri. Selain itu, krisis juga menggerus daya beli yang
selanjutnya menurunkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa.
Dengan demikian perusahan akan menurunkan volume produksinya sehingga
mendorong terjadinya PHK yang berakibat meningkatnya pengangguran. Krisis
keuangan global telah menurunkan volume ekspor impor Indonesia. Ekspor
Indonesia menurun akibat lemahnya permintaan dari negara-negara importir
utama seperti Amerika Serikat, Cina, dan lain-lain. Krisis keuangan global juga
telah meningkatkan persaingan antar produk ekspor di pasar dunia. Di sisi impor
Indonesia, terdapat ancaman serbuan produk impor dari negara lain akibat dari
menurunnya permintaan produk di beberapa pasar utama ekspor dunia, yang
kemudian mereka mengalihkannya ke pasar Indonesia. Hal tersebut memberikan
efek defisit terhadap neraca perdagangan Indonesia dimana nilai impor lebih
besar dari ekspor.
KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RILL PASCA KRISIS
Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak
yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya telah mengganggu stabilitas
sektor keuangan dan sektor riil, bahkan terhadap pembangunan daerah. Hal ini
sebenarnya merupakan rentetan dampak dari krisis keuangan, dimana krisis keuangan
memberikan efek terhadap sektor riil, selanjutnya terganggunya perkembangan sektor
riil mempengaruhi keberlangsungan pembangunan daerah.
Pengaruh Krisis Keuangan Global Terhadap Sektor Riil
Terjadinya depresiasi nilai Rupiah terhadap Dollar Amerika merupakan imbas krisis
global di sektor keuangan. Kejadian ini sangat berdampak pada sektor riil, yakni pada
sektor pembangunan infrastruktur, sektor perumahan dan pemukiman, sektor
pertanian, sektor kehutanan, dan sektor perdagangan dan industri.
Pertama pada pembangunan infrastruktur. Berkurangnya anggaran pemerintah akibat
krisis keuangan global mengakibatkan semakin tidak terpenuhinya kebutuhan
pemeliharaan dan rehabilitasi infrastruktur, khususnya infrastruktur transportasi.
Terdepresiasinya nilai Rupiah dan tingginya tingkat inflasi menyebabkan terjadinya
kenaikan biaya transportasi. Hal ini diperparah dengan sempat melonjaknya harga
minyak dunia yang mendorong meningkatnya harga/subsidi bahan bakar kendaraan
bermotor. Kenaikan harga bahan bakar tersebut menambah beban biaya transportasi.
Dengan demikian terjadilah penurunan tingkat kinerja infrastruktur transportasi dalam
mendukung kegiatan ekonomi, antara lain penurunan tingkat keselamatan, kelancaran
distribusi, dan terhambatnya hubungan dari satu daerah ke daerah lain.
Penurunan kinerja infrastruktur ini berimplikasi pada terhambatnya distribusi barang
dan jasa yang menyebabkan kenaikan biaya angkut, sehingga biaya produksi
meningkat. Akibatnya terjadilah kesenjangan harga yang tajam untuk produk yang
sama di daerah yang berbeda. Ini akan menyebabkan pula kesenjangan daya beli
antar daerah. Hambatan transportasi juga menyebabkan menurunnya mobilitas tenaga
kerja sehingga meningkatkan konsentrasi keahlian dan keterampilan pada beberapa
lokasi wilayah tertentu saja.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa pembangunan infrastruktur ini membutuhkan
biaya yang sangat besar. Bahkan menurut road mappembiayaan infrastruktur untuk
2005-2009 mencapai Rp 1.400 Triliun (Kementrian BUMN 2005). Dengan demikian
dana sebesar itu tak dapat hanya mengandalkan pembiayaan dalam negeri, sehingga
diperlukan investor atau donatur dari beberapa lembaga asing. Untuk menarik investor
asing, Indonesia perlu menjaga stabilitas ekonomi dan politik di dalam negeri.
Meskipun stabilitas ekonomi dan politik bisa kita capai, investor asing tidak otomatis
tertarik karena krisis keuangan global telah membuat kepercayaannya menurun dalam
berinvestasi.
Kedua, pada sektor perumahan dan pemukiman. Krisis keuangan global yang
melanda, telah memberikan dampak yang serius pada sektor perumahan dan
pemukiman. Pengurangan likuiditas akibat krisis keuangan global mendorong
terjadinya keterbatasan anggaran pemerintah untuk sektor perumahan. Kondisinya
diperparah lagi oleh kepanikan bank sehingga mereka menaikkan suku bunga kredit
perumahan. Padahal dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang sebesar 1,9
persen per tahun, maka kebutuhan terhadap perumahan akan terus meningkat. Untuk
menghadapi situasi tersebut, Bank Indonesia mengambil kebijakan menurunkan BI
rate. Namun kebijakan BI dimaksud terkesan sangat lamban direspon oleh dunia
perbankan dalam menurunkan suku bunga KPR. Disamping itu, pihak Perbankan
sangat selektif dalam mengucurkan dana kreditnya. Memang sebagian bank sudah
mulai menurunkan suku bunga kredit rata-rata antara 0,5 sampai 1 persen. Namun,
penurunan suku bunga kredit sebesar itu tidak banyak berarti bagi konsumen maupun
pengembang karena persoalan utama dunia perbankan belum teratasi secara tuntas,
yakni keterbatasan likuiditas.
Ketiga, pada sektor pertanian. Dampak krisis keuangan global terhadap sektor
pertanian relatif kecil. Hal ini dikarenakan sektor pertanian memiliki skema pembiayaan
tersendiri dan tidak ada di pasar saham. Namun dampak krisis sangat berpengaruh
pada market demand di sektor ini, yang terlihat dari penurunan permintaan terhadap
komoditas pertanian secara umum karena daya beli konsumen yang sedang turun. Hal
ini berdampak pada volume perdagangan pangan yang menurun secara signifikan di
tingkat global. Data perdagangan Indonesia menunjukkan telah terjadi penurunan
ekspor untuk sektor pertanian sebesar 8,24 persen pada Januari 2009 dibandingkan
Januari 2008.
Untuk subsektor pertanian yakni perikanan dan kelautan, krisis keuangan global juga
mengakibatkan menurunnya permintaan akan hasil perikanan dan kelautan sehingga
harganya menjadi tertekan, selanjutnya mengancam terjadinya gagal bayar karena
persoalan finansial pada perusahaan skala besar. Selain itu, negara-negara besar
importir perikanan mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya penggunaan teknik
budidaya perikanan yang tidak ramah lingkungan karena nelayan mencoba
mengurangi biaya produksi.
Keempat, pada sektor kehutanan. Imbas krisis keuangan global terhadap sektor
kehutanan tak jauh berbeda dengan sektor pertanian. Asumsi pertumbuhan ekspor
yang hanya satu persen atau bahkan negatif akan sangat memukul sektor kehutanan
dengan alasan episentrum krisis keuangan global juga melanda negara-negara yang
selama ini menjadi pasar komoditas kehutanan Indonesia, yaitu Amerika Serikat, Eropa
dan Jepang. Selain itu, sektor kehutanan tidak terlalu memperoleh perhatian untuk
mendapatkan stimulus fiskal karena Pemerintah pusat dan daerah lebih
memprioritaskan sektor yang lain.
Keterbatasan likuiditas yang terjadi akibat krisis keuangan global mendorong
pengusaha hutan untuk membuat skala prioritas dalam pengelolaan aset
kehutanannya. Penetapan prioritas ini akan mengorbankan beberapa pos anggaran
yang dianggap tidak langsung terkait dengan kelangsungan kegiatan operasional
seperti biaya dalam pelestarian lingkungan dan sosial kemasyarakatan. Hal inilah yang
justru akan membahayakan keberlangsungan sektor kehutanan di masa yang akan
datang.
Kelima, dalam bidang perdagangan dan industri. Krisis keuangan global berdampak
pada kesulitan mendapatkan bahan baku industri yang sebagian besar berasal dari
luar negeri. Selain itu, krisis juga menggerus daya beli yang selanjutnya menurunkan
permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa. Dengan demikian perusahan akan
menurunkan volume produksinya sehingga mendorong terjadinya PHK yang berakibat
meningkatnya pengangguran. Krisis keuangan global telah menurunkan volume ekspor
impor Indonesia. Ekspor Indonesia menurun akibat lemahnya permintaan dari negara-
negara importir utama seperti Amerika Serikat, Cina, dan lain-lain. Krisis keuangan
global juga telah meningkatkan persaingan antar produk ekspor di pasar dunia. Di sisi
impor Indonesia, terdapat ancaman serbuan produk impor dari negara lain akibat dari
menurunnya permintaan produk di beberapa pasar utama ekspor dunia, yang
kemudian mereka mengalihkannya ke pasar Indonesia. Hal tersebut memberikan efek
defisit terhadap neraca perdagangan Indonesia dimana nilai impor lebih besar dari
ekspor.
Kebijakan Penguatan Sektor Riil
Berbagai dampak tersebut haruslah disikapi oleh instansi terkait dengan membuat
kebijakan-kebijakan tepat sasaran agar sektor riil sebagai tumpuan pertumbuhan
ekonomi Indonesia tetap dapat berkembang dengan baik. Adapun kebijakan-kebijakan
yang telah dibuat antara lain sebagai berikut.
Pertama, kebijakan dalam sektor infrastruktur adalah dengan mengalokasikan dana
stimulus fiskal untuk belanja infrastruktur. Dana tersebut diprioritaskan untuk proyek-
proyek infrastruktur yang bersifat padat karya diberbagai bidang, antara lain dalam
bidang pekerjaan umum, bidang perhubungan, bidang energi, dan bidang perumahan
rakyat.
Di sektor transportasi, instansi terkait telah melaksanakan beberapa kebijakan, antara
lain: (1) pengembangan transportasi berdasarkan sistem transportasi nasional dan
penyiapan prakarsa pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem
Transportasi Nasional; (2) memprioritaskan pengembangan angkutan masal di
perkotaan; (3) menyelesaikan pembangunan prasarana transportasi agar dapat
dimanfaatkan; (4) memprioritaskan pemeliharaan dan rehabilitasi prasarana
transportasi; dan (5) pengembangan pelayaran keperintisan dan kelas ekonomi.
Kedua, pada sektor perumahan dan pemukiman. Di sektor perumahan, perlu diambil
langkah-langkah dari sektor pasokan berupa penyediaan perumahan dan dari sisi
permintaan yakni dari konsumen atau pembeli rumah. Dari sisi pasokan berupa: (1)
mendorong pemanfaatan tanah untuk pembuatan rumah susun milik (Rusunami); (2)
kemudahan/penyederhanaan perizinan untuk pembangunan Rusunami; (3) mendorong
penempatan dana Taperum-PNS; dan (4) memberdayakan masyarakat melalui
penciptaan lapangan kerja dan industri/perdagangan bahan bangunan lokal terkait
program KPR/KPRS Mikro Bersubsidi sejalan dengan PNPM. Sementara dari sisi
permintaan adalah dengan: (1) memberlakukan fixed-rate untuk kredit perumahan; dan
(2) memperluas akses kredit dan pilihan skim subsidi.
Di sektor pemukiman, krisis keuangan global telah mengakibatkan terjadinya
penurunan alokasi anggaran untuk penyediaan pelayanan air minum, pengelolaan air
limbah, persampahan dan drainase. Dengan demikian kebijakan dalam mencegah
dampak krisis keuangan global adalah: (1) pelaksanaan advokasi dan sosialisasi
kepada pemerintah daerah dan legislatif guna meningkatkan prioritas pembangunan air
minum, pengelolaan air limbah, persampahan, dan drainase; (2) menciptakan skema
insentif berbasis kinerja untuk pemda dalam meningkatkan investasi air minum; (3)
peningkatan efektivitas dan akuntabilitas anggaran pemerintah untuk penyediaan air
minum, pengelolaan air limbah, persampahan , dan drainase; (4) peningkatan
kerjasama dengan pihak swasta, melalui skema PPP (public-private-partnership)
Ketiga, pada sektor pertanian. Kebijakan yang ditempuh adalah: (1) meningkatkan
kelembagaan pertanian, khususnya permodalan dan penelitian; (2) memberikan
perlindungan kepada petani dalam konteks ketahanan pangan, tingkat penghidupan
masyarakat desa dan kesejahteraan masyarakat.
Terkait komoditas pangan, langkah yang perlu ditempuh adalah dengan memantapkan
ketahanan pangan nasional yang mengusahakan bertumpu pada produksi dalam
negeri, menjamin kelancaran manajemen distribusi pangan pokok, stabilitas harga
pangan nasional, dan melaksanakan diversifikasi pangan.
Untuk subsektor perikanan perlu langkah-langkah riil berupa: (1) pembinaan dan
pengembangan sistem usaha perikanan melalui pengembangan kemitraan; (2) subsidi
benih ikan dan pakan ikan; (3) memperkuat kebijakan dan peraturan dalam pemasaran
produk; (4) Penguatan akses permodalan nelayan; dan (5) meningkatkan industri
pengolahan ikan.
Keempat, pada bidang kehutanan. Beberapa kebijakan yang telah dan tengah
dilakukan antara lain: (1) menata ulang arah reformasi sektor perkayuan; (2)
membatasi permintaan kayu bulat; (3) memperlambat laju konversi hutan; (4)
menggeser agenda ke arah keadilan. Sementara itu, kebijakan dalam menangani
permasalahan lingkungan hidup yakni: (1) meningkatkan kapasitas dan koordinasi
lembaga pengelolaan lingkungan; (2) meningkatkan upaya harmonisasi
pengembangan hukum lingkungan dan penegakan hukum secara konsisten; (3)
meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan; (4) meningkatkan konservasi
SDA dan penataan lingkungan melalui pendekatan penataan ruang; (5) membangun
kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan sebagai
kontrol sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup, dan (6) meningkatkan
peranserta masyarakat dalam pengelolaan SDA dengan memberikan akses dan
kontrol pengelolaan SDA di tingkat lokal.
Kelima, dalam bidang perdagangan dan industri. Upaya yang dilakukan dalam sektor
perdagangan adalah: (1) mengupayakan peningkatan pencegahan dan penangkalan
penyelundupan barang-barang dari luar negeri, (2) memperkuat pasar dalam negeri
dan promosi penggunaan produk dalam negeri, dan (3) mendorong ekspor hasil
industri padat karya.
Keseluruhan dari kebijakan untuk kelima sektor tersebut haruslah diikuti peran aktif dari
berbagai instansi terkait serta masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat
memberikan efek positif dalam mempertahankan atau bahkan meningkatkan
pertumbuhan sektor riil.
PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN
Keunggulan sektor pertanian yang telah teruji melalui masa krisis tahun 1997 maupun
krisis keuangan global tahun 2008, menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini. Sejak
tahun 1960-an para ahli ekonomi telah menolak adanya dikotomi antara sektor
pertanian dengan sektor industri, dan menekankan pentingnya terus menjaga saling
ketergantungan antar sektor ekonomi (Daryanto, 1995). Peranan sektor pertanian
dalam pembangunan ekonomi adalah sebagai:
1. Sumber utama penyediaan bahan makanan.
2. Sumber penghasil dana investasi atau penghasil pajak.
3. Sumber penghasil devisa yag diperlukan untuk mengimpor modal, bahan baku, dan
bahan penolong.
4. Pasar dalam negeri untuk menampung hasil produksi industri dan sektor bahan
pertanian lainnya.
5. Sumber masukan bagi sektor lainnya.
Melihat peranan sektor pertanian yang besar selama ini dan beberapa kendala tersebut
di atas, maka tindak lanjut pembangunan pertanian menjadi sangat penting. Ditinjau
dari perspektif pembangunan pertanian secara lebih luas, pembangunan pertanian
setidak-tidaknya perlu mendapat perhatian yang memadai. Sektor pertanian
mempunyai prospek yang besar untuk dapat dikembangkan baik dilihat dari sisi
penawaran (supply side) maupun dari sisi permintaan (demand side).
Dari sisi penawaran, Indonesia memiliki iklim tropis, keanekaragaman hayati baik yang
ada di daratan maupun di pengairan. Sumber daya perairan seluas 5-7 juta km2 dan
garis pantai 91 000 km. Komoditas perkebunan potensial seperti kelapa, minyak kelapa
sawit, karet, kopi, teh, dan kakao dimana Indonesia menjadi produsen terbesar di dunia.
Peternakan ayam ras yang memiliki struktur hulu cukup kuat, dan sumber daya
manusia yang cukup memadai, serta struktur sosial yang mendukung pengembangan
pertanian. Dari sisi permintaan, Indonesia mempunyai prospek pengembangan sektor
pertanian dimana konsumsi per kapita produksi pangan masih tergolong rendah kecuali
beras akibat relatif rendahnya pendapatan per kapita dan pasar internasional yang
masih terbuka lebar apalagi negara-negara di dunia di era liberalisasi lebih
menekankan industrialisasi yang tidak berbasis pada pertanian khususnya di negara-
negara dengan wilayah yang sempit (Saragih dan Krisnamurthi, 1994).
Alasan agar sektor pertanian tetap harus diprioritaskan untuk dikembangkan karena
adanya penalaran yaitu: Pertama, adalah adanya keyakinan bahwa sektor pertanian
memiliki kemampuan untuk menghasilkan surplus. Hal ini hanya mungkin terjadi jika
produktivitas diperbesar, sehingga dapat menghasilkan pendapatan petani yang lebih
besar yang memungkinkan mereka menabung dan mengakumulasi modal. Dengan
pendapatan yang lebih tinggi pula pemerintah dapat menarik pajak tanah dan pajak
pendapatan yang lebih tinggi. Kedua, adalah cara produksi pertanian dapat
dipermudah dengan menerapkan teknologi agar produktivitas lebih tinggi dan hasil
pertanian lebih besar khususnya bidang pangan, sehingga sebagian besar tenaga
kerja di sektor pertanian dapat digeser ke sektor industri (Rahardjo, 1984).
Sebagian besar penduduk Indonesia sejak penjajahan bergantung pada sektor
pertanian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sistem pembangunan pertanian yang
masih tradisional pada saat penjajahan digerakkan oleh penguasa untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan negara penjajah. Sumberdaya pertanian dipaksakan untuk
memproduksi komoditi yang dapat mendukung perekonomian dan keperluan perang
oleh negara penjajah.
IMPLIKASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN
BERWAWASAN INDUSTRIALISASI
Secara umum, agribisnis didefinisikan sebagai: “The sum total of all
operations involved in the manufacture and distribution of farm suplies: production
operations on the farm, processing and distribution of farm komodities and items made
from them,” (J.H. David and R.A. Goldberg: A Concept of Agribusiness, 1957).
Pengertian pertanian dalam arti luas adalah seluruh mata rantai proses pemanenan
energi surya secara langsung melalui fotosintesa dan proses pendukung lainnya untuk
kehidupan manusia yang mencakup aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan
kemasyarakatan dan mencakup bidang tanaman pangan, holtikultura, peternakan,
perikanan, perkebunan dan kehutanan (Saragih, 2001).
Berdasarkan pengertian ini, pertanian merupakan salah satu bagian dari agribisnis.
Agribisnis mencakup 3 (tiga) sektor yaitu; (i) sektor industri hulu pertanian yaitu
industri-industri yang menghasilkan sarana produksi (input) pertanian contohnya:
industri agro-kimia (industri pupuk, industri pestisida, dan industri obat-obatan
hewan), industri agro-otomotif (industri alat dan mesin pertanian, industri peralatan
pertanian, industri mesin dan peralatan industri pengolahan hasil pertanian) dan
industri pembibitan/perbenihan tanaman/hewan, (ii) sektor pertanian dalam arti luas,
disebut juga on-farm agribisnis, yaitu pertanian tanaman pangan, tanaman
hortikultura, tanaman obat-obatan, perkebunan, peternakan, perikanan laut dan air
tawar serta kehutanan, dan (iii) sektor industri hilir pertanian atau agribisnis hilir yaitu
kegiatan industri yang mengolah hasil hilir seperti kegiatan industri yang mengolah
hasil pertanian menjadi produk-produk olahan baik produk antara maupun produk
akhir.
Pembangunan agribisnis merupakan pembangunan industri dan pertanian serta jasa
sekaligus. Melalui pembangunan agribisnis diharapkan akan mampu
mentransformasikan perekonomian Indonesia dari berbasis pertanian dengan
produk utama kepada perekonomian berbasis industri dengan produk utama bersifat
capital and skill labor intensive dan kepada perekonornian berbasis teknologi
dengan produk utama bersifat knowledge and skill labor intensive. Dengan demikian
sumbangan pertanian dalam perekonomian semakin lama semakin turun, namun
kontribusi agribisnis akan tetap besar.
Perkiraan menurut data tahun 1997 (sebelum krisis ekonomi), pangsa pertanian
dalam PDB non migas hanya sebesar 16 persen, sedangkan agribisnis mencapai 70
persen. Begitu juga pangsa pertanian dalam penyerapan tenaga kerja yang hanya
43 persen, tetapi pangsa agribisnis adalah 73 persen. Lebih fantastis lagi adalah
pangsa agribisnis dalam ekspor total yang mencapai 77 persen, padahal pangsa
pertanian hanya 27 persen. Angka-angka pangsa agribisnis tersebut tidak akan
muncul jika agribisnis dianggap sama dengan pertanian, sehingga terjadi
misunderstanding terhadap agribisnis. Pangsa agribisnis terhadap penyerapan
usaha kecil, menengah dan koperasi mencapai 90 persen dengan pangsa
penerimaan pajak sampai 65 persen. Ini berarti langkah awal pemerintahan baru
yang memberikan pressure terhadap pengembangan pengusaha kecil, menengah
dan koperasi sangat tepat (Saragih, 2001).
Membangun agribisnis berarti mengintegrasikan pembangunan pertanian,
industri dan jasa, sedangkan membangun pertanian saja menyebabkan pertanian,
industri dan jasa saling terlepas. Sehingga tidak mungkin mewujudkan
perekonomian modern dan berdaya saing. Membangun agribisnis berarti
membangun ekonomi rakyat, membangun daerah, membangun usaha kecil-
menengah, koperasi dan membangun daya saing perekonomian, membangun dan
melestarikan lingkungan hidup serta membangun bangsa dan negara ini seutuhnya.
Untuk menjamin terciptanya fundamental ekonomi yang solid dan demi mewujudkan
peningkatan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di
masa mendatang, seyogyanya strategi pembangunan ke depan harus didasarkan pada
realitas kekuatan sumberdaya domestik dan yang banyak menyerap tenaga kerja.
Dalam kaitan ini, sektor pertanian merupakan prioritas pilihan yang dapat menjamin
kondisi tersebut. Sehingga sangatlah relevan jika sektor pertanian dijadikan sektor
strategis pembangunan di masa mendatang. Ada beberapa alasan yang dapat
diungkapkan sebagai landasan dari munculnya ide tersebut, yaitu; (i) mayoritas
penduduk Indonesia bertempat tinggal di daerah pedesaan yang identik dengan sektor
pertanian. Sektor ini menguasai kurang lebih 80 persen penduduk, dan sekitar 50
persen dari seluruh tenaga kerja banyak terserap di sektor ini, (ii) kebanyakan
sumberdaya alam yang kita miliki merupakan sumberdaya pertanian, (iii) kelembagaan
masyarakat yang masih cooperatif dan mapan sampai saat ini adalah di sektor
pertanian, (iv) satu-satunya sektor produksi yang selalu mempunyai local content
sangat tinggi adalah sektor pertanian, dan (v) sudah terbukti bahwa sektor pertanian
berhasil melewati masa krisis ekonomi dengan baik. Pada saat sektor-sektor lainnya
mengalami pertumbuhan negatif, sebaliknya sektor pertanian justeru masih mengalami
pertumbuhan positif, dan tampil sebagai penyelamat perekonomian Indonesia pada
masa krisis tersebut.
Strategi pembangunan pertanian di masa mendatang sepatutnya diarahkan pada
strategi pembangunan berbasis pertanian (Agriculture-Based Development – ABD). Di
bawah strategi ini, maka pertumbuhan ekonomi bisa dipacu lebih tinggi, dan upaya
untuk mengurangi ketimpangan pembagian pendapatan melalui peningkatan
pendapatan masyarakat di pedesaan dapat terlaksana dengan baik. Jika strategi
pembangunan ABD semacam itu bisa dilalui dan berlangsung baik, sangat
dimungkinkan proses pemulihan ekonomi sekarang akan berjalan dengan baik.
Disadari bahwa untuk membangun pertanian saat ini masih mengalami kendala.
Beberapa kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam rangka membangun pertanian
dasar di masa mendatang antara lain adalah sebagai berikut:
1. Petani dan penduduk pesisir laut serta pedesaan memiliki bargaining power yang
masih lemah, sehingga sering menjadi pihak yang selalu terkalahkan.
2. Perlindungan harga-harga komoditi pertanian yang strategis tidak dijalankan secara
sungguh-sungguh dan efektif, sehingga pendapatan petani sangat rendah yang
akan berakibat ditinggalkannya usahatani.
3. Rendahnya produktivitas usahatani dan nelayan serta kualitas sumberdaya manusia
mengakibatkan menurunnya produksi di sektor pertanian.
4. Akibat banyak lembaga tani yang kurang berjalan sebagaimana mestinya serta
adanya tumpang tindih, menyebabkan efektifitas, peran dan fungsi kelembagaan
petani tidak berjalan dengan baik.
5. Masih kurangnya jaminan dan kepastian hukum bagi petani terutama dalam hal
pemilikan hak atas tanah, menyebabkan terjadinya pengalihan fungsi lahan
pertanian menjadi lahan-lahan usaha non pertanian seperti industri, property dan
infrastruktur lainnya. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar petani hanya
menguasai dan mengusahakan lahan yang sempit, sehingga usahatani menjadi
tidak menguntungkan. Di samping hak kepemilikan tanah petani harus juga ada
jaminan atas air dan bibit yang akhir-akhir ini semakin melemah karena
pemanfaatan air bukan hanya digunakan untuk keperluan sektor pertanian tetapi
juga kebutuhan lainnya sehingga tumbuh persaingan penggunaan sumberdaya air
(Soetrisno, 2002).
6. Petani dan nelayan umumnya kurang menguasai sistem manajemen informasi
dengan baik, sehingga sulit memanfaatkan peluang yang seharusnya dapat
memberikan nilai tambah.
7. Kurangnya dukungan kebijakan moneter dan fiskal untuk mendorong
pengembangan sektor pertanian.
8. Sektor industri banyak yang tidak berbasis bahan dasar lokal, sehingga hubungan
dengan sektor pertanian lemah.
9. Tantangan global (seperti adanya WTO dan AFTA) telah menuntut sektor pertanian
harus mempunyai daya saing di pasar internasional. Apabila sektor pertanian tidak
siap dengan persaingan ketat dari produk negara lain, maka dapat tergusur dari
pasar. Selain itu, dampak dari komitmen-komitmen yang telah disepakati dalam
berbagai perundingan perdagangan akan mempengaruhi kinerja sektor pertanian
dan perekonomian Indonesia. Penurunan tarif komoditi pertanian, pengurangan dan
penghapusan berbagai proteksi dan subsidi bagi sektor pertanian sebagai akibat
dari kondisi keuangan negara yang juga mendapat tekanan dari IMF secara
langsung akan berpengaruh terhadap sektor pertanian.
10. Praktek moral hazard, kredit ekspor lunak dan bentuk distorsi lainnya akan pula
berdampak pada pasar domestik dimana berbagai produk pertanian impor dapat
dengan mudah masuk ke pasar domestik dengan harga yang lebih rendah.
Memperhatikan berbagai kendala dan tantangan di atas, semua komponen
bangsa, khususnya pemerintah harus mempunyai perhatian dan mendukung dengan
langkah-langkah kebijakan yang kondusif dan berpihak kepada upaya pembangunan
pertanian dasar. Untuk menentukan arah kebijakan dan perencanaan pembangunan
pertanian dasar diperlukan komitmen kuat dan visi yang jelas dalam menempatkan
sektor pertanian sebagai leading sector pembangunan ekonomi nasional. Menurut
Kasryono (1996) bahwa visi pertanian pada era sekarang ini adalah mewujudkan
pertanian tangguh yang modern berorientasi agribisnis dan berbudaya industri di
pedesaan.
Choundhary (2000) memberikan saran tentang strategi pembangunan berbasis
pertanian harus mempunyai tujuan utama antara lain yaitu:
1. Mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sampai pada tingkat gross root level
secara berkelanjutan.
2. Membuka lapangan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan.
3. Meningkatkan produksi komoditi pertanian unggulan.
4. Menyediakan fasilitas dasar bagi penduduk pedesaan seperti air bersih infrastruktur
kesehatan, dan pendidikan.
5. Meningkatkan jaringan komunikasi terutama akses pasar dan membangkitkan
kesadaran petani.
6. Mendukung terbangunnya industri-industri kecil (usaha kecil dan mikro) dan
penyediaan kredit lunak untuk masyarakat berpendapatan rendah.
Beberapa ahli pertanian lain juga memberikan gagasan tentang langkah yang dapat
ditawarkan untuk mewujudkan pembangunan berbasis pertanian yang tangguh di masa
mendatang terangkum antara lain adalah sebagai berikut:
1. Dukungan kebijakan makro yang dapat menciptakan iklim ekonomi yang kondusif
bagi pembangunan berbasis pertanian melalui instrumen kebijakan makro ekonomi
seperti kebijakan moneter maupun fiskal.
2. Kebijakan pembangunan ketahanan pangan. Dalam GBHN 1999-2004 diamanatkan
bahwa mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman
sumberdaya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal dalam menjamin
tersedianya pangan yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan
pendapatan petani/nelayan serta produksi yang diatur dengan undang-undang.
Strategi kebijakan pembangunan pertanian melalui sistem ketahanan pangan
mencakup keberimbangan antara komponen ketersediaan/ produksi, distribusi, dan
konsumsi. Oleh karena itu, kebijakan ketahanan pangan diarahkan kepada; (i)
keragaman sumberdaya, kelembagaan, dan budaya lokal, (ii) efisiensi ekonomi dan
keunggulan kompetitif dan komparatif suatu wilayah, (iii) pengaturan distribusi
pangan mengacu kepada mekanisme pasar, dan (iv) sebagai bagian dari upaya
peningkatan pendapatan petani/nelayan. Kebijakan ketahanan pangan merupakan
kebijakan yang bersifat menyelaraskan kegiatan yang menunjang ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi pangan, agar penduduk dapat memperoleh pangan dan
mengelola konsumsinya untuk memenuhi kecukupan gizi. Dalam hal ketersediaan
pangan, kebijakan yang perlu dilakukan adalah menyelaraskan antara produksi,
ekspor, impor, dan konsumsi sehingga terjadi keseimbangan sesuai dengan
kebutuhan pada wilayah tertentu, dan antar wilayah dari waktu ke waktu pada
tingkat harga yang proporsional. Kebijakan distribusi pangan diarahkan untuk
mendorong kelancaran proses distribusi dari lokasi produsen dengan konsumen
sehingga masyarakata dapat mengakses pangan dari waktu ke waktu sesuai yang
dibutuhkan. Sedangkan kebijakan konsumsi pangan diarahkan untuk mendorong
masyarakat mampu mendayagunakan sumberdaya untuk memperoleh dan
mengkonsumsi pangan yang cukup gizi dan seimbang.
3. Pendayagunaan sumberdaya alam dan lingkungan yang sustainable. Untuk
mewujudkannya, upaya pelestarian sumberdaya keragaman hayati dan lingkungan
harus dimasukkan sebagai bagian dari pembangunan berbasis pertanian.
Pelestarian keragaman sumberdaya hayati, habitat asli, tanah, air, dan perairan
umum diharapkan mampu menjamin adanya sumber materi genetik untuk
memperbaharui dan mendiversifikasi komoditas pangan. Untuk itu,
menumbuhkembangkan kelembagaan lokal dan melegalisasi property right atas
tanah masyarakat lokal menjadi sangat penting karena menyangkut tanggung jawab
pelestariannya. Selain itu, perlindungan terhadap lahan pertanian juga perlu
dilakukan. Hal ini penting karena banyak lahan pertanian produktif yang sudah
beralih fungsi kepada usaha non pertanian. Perlindungan kepada lahan pertanian
produktif perlu mencakup ekosistemnya seperti wilayah tangkapan air.
4. Pengembangan pusat-pusat produksi unggulan daerah. Desentralisasi merupakan
peluang bagi daerah untuk menentukan komoditi unggulan daerah yang mempunyai
daya saing tinggi untuk dikembangkan. Pengembangan pusat produksi unggulan
harus dikaitkan dengan ekonomi regional sehingga dapat terintegrasi dengan
perekonomian regional maupun internasional, serta pengembangannya harus
inklusif dengan pembangunan daerah yang bersangkutan. Pengembangan
Kawasan Pertumbuhan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang berbasis pertanian seperti
Kawasan Agroindustri Terpadu (KAT), Pengembangan Sentra Produksi Agribisnis
Komoditi Unggulan (SPAKU), dan Kawasan Andalan (KADAL), merupakan contoh-
contoh pengembangan kawasan yang perlu penanganan secara sungguh-sungguh.
Penumbuhan kawasan pengembangan pusat pembangunan berbasis pertanian
memerlukan dukungan infrastruktur seperti transportasi, pergudangan, industri
pendukung, dan sistem informasi untuk memperlancar akses pasar. Selain itu, pola
insentif yang dapat merangsang investasi di sektor pertanian dan sektor
pendukungnya perlu diciptakan.
5. Pengembangan kelembagaan tani yang tangguh. Kebijakan yang mengupayakan
berkembangnya unit-unit usaha yang dibutuhkan antara lain:
a. Lembaga keuangan/permodalan.
Pengembangan lembaga keuangan dimaksudkan untuk dapat menjadi sumber
permodalan bagi usaha sektor pertanian dan industri pendukungnya. Pelaku
sektor ini agar diupayakan adanya penyediaan kredit dengan prosedur
sederhana, suku bunga kondusif, dan sistem agunan yang dapat dipenuhi oleh
masyarakat tani, serta sesuai dengan kebutuhan (jenis, besaran, dan
persyaratan). Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan kredit usaha kecil dan
menengah merupakan salahsatu lembaga keuangan yang cukup ideal untuk
dikembangkan agar kegiatan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah
dapat terlayani dengan baik. Lembaga-lembaga keuangan seperti ini perlu
dipertahankan, dikembangkan dan ditata dengan manajemen perbankan yang
baik.
b. Pengembangan organisasi ekonomi petani.
Pembangunan berbasis pertanian merupakan pembangunan kerakyatan yang
demokratis (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat) sehingga peranan rakyat
dalam menumbuhkembangkan pertanian secara menyeluruh perlu dibangkitkan.
Kelembagaan lokal yang telah pernah ada di daerah perlu ditumbuhkan kembali
dan didayagunakan untuk mendukung keberhasilan pembangunan pertanian.
Kelembagaan pangan tradisional seperti lumbung desa/keluarga yang ada
disetiap daerah perlu dikembangkan kembali sebagai kelembagaan ketahanan
pangan (food security). Sistem kelembagaan yang berbasis pada
keanekaragaman bahan pangan dan budaya lokal akan mampu menjadi sistem
ketahanan pangan nasional yang tangguh dan efesien. Organisasi ekonomi
seperti koperasi pertanian juga perlu dikembangkan menjadi organisasi ekonomi
petani yang baik, menguntungkan dan berorientasi pasar. Koperasi yang perlu
dikembangkan adalah koperasi yang dibentuk atas dasar keinginan yang kuat,
rasa kebersamaan baik aktifitas maupun kepentingan dari masyarakat tani, dan
tumbuh berasal dari kelompoktani yang telah berfungsi sebagai modal
kerjasama, kelas belajar mengajar dan sebagai unit produksi.
c. Pengembangan fungsi penelitian dan pengembangan.
Fungsi penelitian dalam menghasilkan teknologi dan berbagai model
kelembagaan tani harus dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta, organisasi
profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan juga organisasi petani. Oleh karena
itu diperlukan suatu kebijakan yang dapat merangsang keterlibatan berbagai
pihak dalam melakukan penelitian dan pengembangan yang menunjang
pembangunan pertanian. Khusus untuk teknologi yang ditujukan untuk diadopsi
oleh petani, maka proses perencanaan dan pelaksanaan penelitian partisipatif
harus dijadikan strategi dalam menghasilkan teknologi yang sesuai dengan
kebutuhan petani. Agar hasil pertanian primer memenuhi tuntutan ecolabelling
dan food safety, perlu dikembangkan suatu teknologi yang diarahkan kepada
penggunaan teknologi ecofarming dan organic farming, seperti teknologi
zero/minimum tillage, teknologi konservasi tanah dan air, teknologi biologi tanah,
teknologi pemberantasan hama dan penyakit yang ramah lingkungan.
Sedangkan pengembangan teknologi processing diarahkan untuk peningkatan
efesiensi dan untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminimumkan waste
dan pollutan, dan menghasilkan produk yang mengakomodir value attribute dan
package attributes. Untuk mendukung adanya fungsi penelitian dan
pengembangan teknologi yang kuat perlu dibentuk suatu lembaga yang
memayunginya.
6. Pengembangan industri pendukung pembangunan berbasis pertanian. Strategi
pembangunan bertumpu pada pertanian (ABD) harus integrated dan
interdependent. Untuk meningkatkan daya saing komoditi pertanian perlu juga
adanya pembangunan pertanian yang sinergi dengan pengembangan industri yang
bersifat local resources based industries dan mendukung pembangunan pertanian.
Industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian (upstream industry) seperti
industri pembibitan/pembenihan industri agrokimia dan industri agro-otomotif
diperlukan oleh sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas usahatani.
Sedangkan industri yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk-
produk olahan (downstream industry) baik berupa produk antara (intermediate
product) maupun produk akhir (final product) beserta kegiatan perdagangannya
akan memberikan dampak terhadap kemampuan daya saing produk pertanian.
Berdasarkan hasil analisis multiplier SNSE Indonesia baik untuk tahun 1995
maupun 1999 menunjukkan bahwa salah satu agroindustri yang mempunyai potensi
untuk dikembangkan adalah industri makanan, minuman, dan tembakau karena
mempunyai nilai output multiplier yang tinggi.
7. Pengembangan sarana dan prasarana pendukung yang dapat mempercepat
gerakan pembangunan berbasis pertanian. Penyediaan sarana infrastruktur seperti
jalan/farm road, transportasi, sarana pengairan (irigasi dan drainase), listrik,
telekomunikasi untuk menjamin jaringan informasi, dan pelabuhan atau terminal
yang dapat memperlancar arus hasil produksi pertanian
8. Pembangunan berbasis pertanian bersifat lintas sektoral/departemen. Hal ini berarti,
perlu adanya koordinasi yang baik dan sinergis dengan departemen yang terkait.
Komitmen dari berbagai pihak untuk mendukung strategi pembangunan berbasis
pertanian akan sangat membantu tercapainya tujuan pembangunan.
9. Meletakkan reformasi agraria dalam landasan pokok pembangunan pertanian.
Upaya ini diharapkan dapat memberikan kesejahteraan petani dan memberikan rasa
aman dan jaminan kepastian hukum akan hak tanah yang dimilikinya.
10. Impor komoditi sektor pertanian dilakukan hanya pada saat ada kekurangan dan
dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan
strategi orientasi ekspor komoditi pertanian perlu dikembangkan, terutama
pengembangan ekspor produk pertanian yang mempunyai nilai tambah tinggi
(bukan produk primer lagi tetapi produk olahan).
Langkah operasional pembangunan berbasis pertanian memerlukan komitmen yang
kuat dan peran aktif dari seluruh komponen bangsa. Oleh karena itu setiap
perencanaan pembangunan berbasis pertanian harus membuka ide dan gagasan yang
membangun bagi kemajuan sektor pertanian. Pembangunan pertanian akan dapat
berjalan dengan baik dan tepat apabila proses perencanaan dan aplikasinya tepat dan
integrated. Perencanaan pembangunan pertanian merupakan proses pengambilan
keputusan tentang apa yang hendak dilakukan mengenai tiap kebijakan dan tindakan
yang mempengaruhi pembangunan pertanian selama jangka waktu tertentu sehingga
perencanaan mempunyai tempat yang strategis dalam pembangunan pertanian.
Kunci bagi perencanaan yang efektif adalah pengertian dan pemahaman yang
luas dan mendalam mengenai pertanian dan pembangunan berbasis pertanian.
Rencana yang baik tidak mungkin dapat disusun dengan mengadakan kompromi-
kompromi di kalangan spesialis yang masing-masing sesungguhnya hanya
memahami bagiannya sendiri. Setiap ahli yang ikut serta dalam perencanaan perlu
memiliki pengertian yang umum dan luas mengenai pertanian secara keseluruhan.
Pertania yang identik dengan wilayah pedesaan akan lebih bermakna dan
memberikan kesejahteraan yang lebih manakala di dukung oleh masuknya industry
berbasis pertanian yang menyentuh wilayah pedesaan. Salah satu alternative
kebijakan sektoral adalah mendorong pembangunan industrialisasi pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2000. Laporan Perekonomian Indonesia 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_____________. 1999. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 1998. Biro Pusat
Statistik, Jakarta.
_____________. 1998. Statistik Indonesia 1998. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
_____________. 1995. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 1995. Biro Pusat
Statistik, Jakarta.