Sejarah Perekonomian Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIAIan Azhar Avandi Saputra 0906065 0906310

PERIODE SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA MASA PRA-MODERN MASA PRA-KEMERDEKAAN MASA ORDA LAMA MASA ORDE BARU MASA TRANSISI MASA REFORMASI

PEREKONOMIAN INDONESIA MASA PRA-MODERN Pada masa pemerintahan pra-modern, perkonomian Indonesia berpusat pada perdagangan dan pertanian. Kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia sangat berperan penting dalam perkembangan perekonomian Indonesia. Sistem pembayaran pada awalnya dilakukan dengan cara barter, baru setelah masuknya kerajaan Islam ke Indonesia alat tukar dengan koin emas diperkenalkan.

FAKTOR PENGHAMBAT BERKEMBANGNYA PEREKOMIAN PADA MASA PRA- MODERN1. Makin kuatanya tekanan pertambahan penduduk dalam lingkup tanah pertanian yang baik untuk bercocok tanam. Mand-land ratio menjadi tidak seimbang. 2. Sulitnya membangun dan mempertahankan sistem administrasi pemerintahan yang terprogram, berkesinambungan dan efisien. 3. Sering kekuasaan lokal dan kerjaan-kerajaan melibatkan diri dalam peperangan yang menyebabkan biaya perang tidak cukup ditutup oleh hasil peperangan baik dalam bentuk perolehan wilayah, rampasan perang dan pencaplokan tanah pertanian baru.

SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA PRAKEMERDEKAANSebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu: Portugis Belanda Inggris Jepang

MASA KEKUASAAN BELANDABelanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Indonesia kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda.

VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi : Hak mencetak uang Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai Hak menyatakan perang dan damai Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja

Cultuurstelstel (sistem tanam paksa)Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia.

Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) Diperintahkan pembudidayaan produkproduk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.

Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh.

Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.

Pendudukan Inggris (1811-1816) Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah.

PENYEBAB GAGALNYA SISTEM LANDRENT Masyarakat Indonesia pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak. Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit. Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi jabatan secara turuntemurun.

Pendudukan Jepang (1942-1945)Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik.

Pendudukan Jepang (1942-1945)Sebagai akibatnya : Terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.

Periode Orde LamaPerang kemerdekaan berakhir (tahun 1945-1949): Pengakuan terhadap RIS Pembangunan dititik-beratkan pada Nation Building Peran pemerintah dalam perekonomian sangat dominan Pengeluaran pemerintah terkonsentrasi untuk tujuan politik dan keamanan dan ketertiban Usaha untuk perbaikan di bidang ekonomi terabaikan

Periode ORLA Anggaran Belanja Defisit, ditutup dengan mencetak uang, mengakibatkan inflasi sangat tinggi Pertumbuhan ekonomi rendah, bahan pokok sulit didapatkan masyarakat, sehingga harganya tinggi

Diperparah dgn beredarnya berbagai jenis mata uang: uang De Javasche Bank, uang pemerintah Belanda, uang NICA, ORI, dan beberapa jenis uang lokal (URIPS-Sumatera, URITA-Tapanuli, URPSU-Sumatera Utara/Aceh, URIBA-Aceh, URIDAP-Banten, Uang MandatPalembang

Kebijakan moneter 1950 Tujuan: Memperbaiki posisi neraca pembayaran Pengendalian harga (inflasi)

Menggali sumber pendapatan pemerintah untuk menutup defisit anggaran

Moneter 1950 Langkah: Penyatuan mata uang: De Javasche Bank menerbitkan uang baru. ORI ditukar dgn uang baru berdasarkan daya beli. Pengguntingan uang (Gunting Syafruddin): pengguntingan uang kertas menjadi 2 bagian. Bagian sebelah kiri dapat digunakan transaksi, sedangkan sebelah kanan ditukar dengan obligasi Penetapan Sertifikat Devisa: hak diberikan kepada perorangan atau perusahaan membeli devisa dari bank devisa untuk kegiatan impor. Kurs US$1 = Rp3,8.

Tahun 1952 Sertifikat Devisa dihapus. Kurs baru US$1 = Rp11,4. Tahun 1957 dimulainya Ekonomi Terpimpin (Konsepsi Presiden) Pengeluaran pemerintah tidak terkendali. Mendorong ekonomi pribumi dan memperbaiki perusahaan hasil nasionalisasi Operasi militer dan politik untuk menciptakan keamanan dan ketertiban

Tahun 1959: dilakukan penurunan nilai uang (Sanering). Pecahan Rp500 dan Rp1.000 masing-masing menjadi Rp50 dan Rp100. Giro dan deposito di atas Rp25.000 dibekukan dan diganti dengan pinjaman jangka panjang Kurs : US$1 = Rp45

Kondisi tahun 1960 Mulai tahun 1960 proyek politik pemerintah meningkat Konfrontasi dengan Malaysia Penyelenggaraan Asean Games Penyelenggaraan Pekan Olah Raga (GANEFO) Pembebasan Irian Barat dari Belanda

Tahun 1965: Bank Indonesia sebagai Bank Berdjoang bersedia menutupi defisit anggaran pemerintah dengan mencetak uang baru

Inflasi sangat tinggi (Tahun 1965 sebesar 635%) Desember 1965 penggantian uang (Rp1.000 uang lama diganti Rp1 uang baru) Tahun 1966 terjadi krisis politik: pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru

Masa orde baru Masalah yang dihadapi: Tidak mampu bayar utang Defisit Neraca Perdagangan Anggaran pemerintah defisit Inflasi tinggi (635%) Buruknya prasarana ekonomi

Upaya yang dilakukan: Pengendalian inflasi Penyediaan bahan pangan, terutama beras Rehabilitas prasarana ekonomi Meningkatkan ekspor Menciptakan lapangan kerja Perbaikan iklim investasi, terutama investasi asing Pelaksanaan pembangunan berencana (PELITA): Trilogi Pembangunan

mengejar pertumbuhan tinggi dan pemerataan pendapatan melalui 'trickle down effect' memberikan segala kemudahan seperti perizinan, perlindungan bea masuk, kredit bank, peruntukkan lahan dsbnya untuk mendukung pengembangan usaha besar memberikan monopoli beberapa jenis komoditi kepada usaha-usaha besar

1966-1970: Masa Stabilisasi (Recovery) Menjalankan kebijakan Anggaran Belanja Seimbang Mendorong Investasi (tahun 1968: UUPMA dan UUPMDN) Menata sistem perbankan nasional (UU No. 13 1968 tentang Bank Sentral dan UU No. 14 tahun 1967 tentang bank Umum)

Tahun 1970: tercipta stabilitas ekonomi nasional. Inflasi dapat ditekan: Tahun 1967 Tahun 1968 Tahun 1969 Tahun 1971 112% 85% 10% 2,5%

Mulai dilaksanakan kebijakan industrialisasi di Indonesia (industri substitusi impor) misalnya industri pupuk Mulai diterapkan rencana pembangunan yang berkesinambungan (Repelita I)

1973/1974: Bonansa Minyak (Oil Boom) Harga minyak dunia meningkat 400% Penerimaan Negara naik ( 48%), inflasi naik ( 58%) Peran minyak dominan, non migas tertinggal Peranan Swasta dalam perekonomian kecil

Kebijakan mengatasi inflasi, Bank Indonesia melakukan intervensi ekonomi: Menetapkan pagu (batas tertinggi) kredit Menaikan suku bunga pinjaman Menaikan cadangan minimum perbankan Menaikkan suku bunga deposito berjangka Melarang bank pemerintah menerima deposito berjangka yang dananya berasal dari luar negeri

Inflasi dapat ditekan: 1974/1975 : 21% 1977/1978 : 19%

1980 an: Masa resesi Terjadi over supply minyak dunia, menyebabkan harga minyak turun Terjadi defisit perdagangan luar negeri Amerika Terjadi kenaikan harga mata uang yen Jepang terhadap dolar Amerika (Yendaka) Pendapatan Negara turun, hutang negara (dalam matauang Yen) naik Terjadi upaya penyesuaian (Devaluasi, deregulasi, penghematan)

Masa deregulasi 1983 (1 Juni): Deregulasi Perbankan Bank bebas menentukan bunga dan pagu kredit

1984: Deregulasi bidang Fiskal UU pajak baru (prinsip Self Assessment)

1985: Deregulasi bidang Perdagangan Penurunan tariff bea masuk (0 s.d 225% menjadi 0 s.d 60%)

1986: Sistem pengembalian bea masuk 1987: Transparansi alokasi kuota tekstil 1988: Penghapusan monopoli impor plastik dan baja

1986: Deregulasi bidang Investasi PMA boleh memiliki saham 95% asalkan untuk ekspor

1987: Deregulasi pasar modal Investor asing boleh membeli obligasi di BEJ

1988: Pakto 88 Kemudahan mendirikan bank Aturan Legal Lending Limit (49%) Cadangan minimum turun dari 15% menjadi 2%

Penyebab utama krisis moneter Indonesia 1997-sekarang Anwar Nasution: Neraca berjalan (current account) selalu defisit Utang luar negeri (pemerintah dan swasta) Lemahnya sistem perbankan nasional

Bank Dunia Akumulasi utang luar negeri swasta berjangka pendek (jatuh tempo 18 bulan) Sistem perbankan nasional lemah Kemampuan pemerintah mengatasi masalah keuangan Ketidakpastian politik

Kondisi Fundamental Ekonomi Indonesia

Perkembangan perbankan terlalu cepat Perekomian Indonesia overheated Pemerintah melakukan tight money policy Swasta yang perlu modal mencari dana di luar negeri. Pertimbangannya: Mudah (Indonesian Tiger) Ada jaminan pemerintah dengan kebijakan kurs (intervension band)

Kenaikan utang luar negeri (1992-1997): 85% kenaikan merupakan utang LN swasta Karakteristik utang LN swasta: Unhedged Currency mismatch Utang jangka pendek untuk membiayai proyek jangka panjang

Tahun 1997: utang jatuh tempo (kurang 1 tahun) US$ 20,8 milyar. Padahal cadangan devisa yang dimiliki BI hanya sekitar US$ 27 milyar.

Kebijakan makro ekonomi yang tidak seimbang: didominasi oleh kebijakan moneter Tidak/belum ada good governance: banyak terjadi KKN Kondisi politik yang tidak kondusif Rendahnya Law Inforcement

KRISIS MONETER REGIONAL Devaluasi Bath Thailand (2 Juli 1997) dan Peso Philipina (11 Juli 1997), diikuti krisis keuangan di beberapa negara Asia lainnya, seperti Korea Selatan dan Malaysia Menimbulkan kekhawatiran akan merambat ke Indonesia (aspek psikologis)

Krisis moneter di Indonesia:Kenaikan permintaan dolar (kenaikan kurs dolar) memaksa Bank Indonesia melakukan kebijakan intervensi (Kebijakan nilai tukar mengambang terkendali): intervension band

Rentang kendali (intervension band): batas atas dan batas bawah kurs antarbank. Bank umum dapat menjual dan membeli US$ di Bank Indonesia Sept 1996, rentang kendali dinaikkan dari 5% menjadi 8% Juli 1997: , intervension band dinaikkan lagi menjadi 12% Agustus 1997: nilai Rp di pasar valas antarbank menembus batas atas kisaran BI (terendah Rp2.374 per dolar dan tertinggi Rp2.678 per dolar). Hal ini memaksa BI melepas kebijakan rentang kendali (mengambang terkendali/managed float) menjadi mengambang bebas (Free Float). Kurs rupiah ditentukan melalui mekanisme pasar

Rupiah terus melemah karena permintaan US$ semakin tinggi. Penyebabnya: Spekulasi Capital Flight Pelunasan hutang swasta

Tahun 1997 banyak hutang swasta yang jatuh tempo. Kreditur luar negeri menolak roll over Akhir tahun 1997 nilai tukar Rp17.000 per US$ Usaha menurunkan nilai tukar oleh BI menyedot banyak cadangan devisa (dari US$26,6 milyar menjadi US$13,2 milyar pada tahun 1997)

Krisis perbankan Bank mengalami kesulitan likuiditas sebagai akibat Gejolak nilai tukar Menurunnya kepercayaan masyarakat thd. Bank Tingginya NFL (kredit macet)

Nopember 1997 terjadi rush, kerana pencabutan ijin 16 bank swasta nasional oleh pemerintah. Suku bunga antarbank mencapai 300%. Fungsi bank sebagai intermediasi dalam perekonomian terganggu

Krisis ekonomiLC bank di Indonesia dijamin oleh bank di Singapura Kesulitan mengimpor bahan baku untuk produksi dalam negeri karena harga impor makin mahal dan cadangan devisa makin sedikit. (catatan: kandungan impor industri dalam negeri tinggi)

Krisis ekonomiProduksi dalam negeri menurun, terjadi kontraksi ekonomi, kesulitan mendapatkan barang kebutuhan pokok Terjadi Krisis multidimensi Mei 1998, pergantian presiden Soeharto

Penyelesaian hutang swasta Pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) Tugas: mendorong dan memperlancar restrukturisasi pinjaman luar negeri swasta Juni 1998: TPULNS dan Bank Steering Committee (sbg. wakil kreditur) berunding di Frankfurt ttg Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta

Penyelesaian hutang swasta Frankurt Agreement berisi tentang penyelesian: pinjaman antarbank: rescheduling pembiayaan perdagangan: membuka credit line pinjaman perusahaan swasta: Indonesian Restructuring Asset/INDRA) dan Jakarta Initiative)

20 Oktober 1999 akhir masa transisi politik (Pemilu)

Kondisi makro ekonomi Indonesia 9798Nilai rupiah merosot ( tinggal 85% dari semula) Inflasi meningkat tajam (Des. 1998 mencapai 77,6%) Kontraksi ekonomi (sebesar -13,2%) Investasi dalam negeri turun, kecuali investasi asing Suku bunga meningkat (SBI 1 bulan = 70%) Ekspor dan impor turun (kecuali ekspor sektor pertanian) Transaksi berjalan surplus

Terjadi pemindahan modal dalam negeri ke luar (capital flight) sebesar 10%-15% dari PDB (lebih dari US$25 milyar) Cadangan devisa turun (Maret 1997 sebesar US$26,6 milyar; Maret 1998 sebesar US$13,2 milyar; Maret 1999 sebesar US$15,8 milyar) Uang primer meningkat (tahun 1996 sebesar 8,1% terhadap JUB; tahun 1997 sebesar 26,4% dan tahun 1998 sebesar 41,4%)

Penyehatan perekonomian Indonesia 19991. Penyehatan kerangka makro ekonomiPengendalian inflasi kisaran 20% Transaksi berjalan diupayakan surplus untuk membantu membayar hutang

2. Revisi APBN dengan parameter baruDefisit diusahakan berkisar 1% dari PDB Pengurangan subsidi di bidang enerji (terutama BBM), namun tetap memberi perlindungan rakyat miskin

3. Transparansi kebijakan fiskalDana reboisasi dimasukkan dalam APBN

Upaya pemulihan ekonomi4. Proyek swastaPenjadwalan kembali 12 proyek infrastruktur Dana negara untuk IPTN dihentikan, proyek N-2130 didanai asing dan perbankan Pencabutan perlakuan khusus dan fasilitas kredit bagi proyek Mobnas

5. Penegasan kebijakan moneterBI diberi otonomi penuh dalam menentukan kebijakan moneter dan suku bunga Pemerintah memberi dukungan penuh pada bank swasta dan pemerintah untuk merger

6. Restrukturisasi sektor perbankan dan sektor swasta

7. Restrukturisasi strukturalBulog hanya memonopoli beras (terigu dan gula dihapus) Perdagangan domestik produk pertanian sepenuhnya dideregulasi BPPC dihapus Pendanaan ADB dipusatkan hanya pada usaha kecil, menengah, dan eksportir Hambatan investasi pada kelapa sawit dihapus Penghapusan aturan investasi pada penjualan grosir dan retail

Juli 1997 Krisis Keuangan di Asia, yang merembet juga ke Indonesia posisi mata uang Indonesia thp US$ tidak stabil Juli 1997-Februari 1998 1US $ = Rp 2500 - Rp 11.000 Kebijakan Pemerintah: Pemerintah minta bantuan kepada IMF Paket bantuan mencapai 23 miliar US$ Pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat Hasil !! Rp terus melemah, kepercayaan masyarakat LN&DN merosot Nota kesepakatan (LOI): 50 butir kebijaksanaan ekonomi makro, restrukturisasi sektor keuangan & reformasi struktural Pemerintah Indonesia tidak melakukan reformasi sesuai kesepakatan dengan IMF pencairan pinjaman angsuran 2 diundur56

Pemerintahan Transisi

Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerjasama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena hal-hal berikut: Krisis Indonesia berubah menjadi krisis kepercayaan dari masyarakat dunia usaha DN&LN sulit mendapat bantuan Satu2nya yang bisa memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia kemitraan usaha sepenuhnya dengan IMF Indonesia sangat membutuhkan US$ untuk membiayai ULN jangka pendek, bayar bunga pinjaman jangka panjang, memacu laju pertumbuhan ekonomi Maka, dilakukan kesepakatan baru Memorandum Tambahan 1. Program stabilisasi pasar uang stabil, mencegah hyperinflation 2. Restrukturisasi perbankan 3. Restrukturisasi struktural 4. Penyelesaian ULN swasta 5. Bantuan bagi rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah)57

Krisis Rupiah Krisis Ekonomi Krisis Politik Tragedi Trisakti, Kerusuhan Mei, Pendudukan DPR oleh mahasiswa Mundurnya Presiden Soeharto Pemerintahan Transisi (B.J. Habibie) Dianggap tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya karena tidak ada perubahan yang nyata & orang-orang dalam kabinet adalah rezim Orde Baru

58

Awal pemerintahan reformasi Gus Dur Masyarakat umum, kalangan usaha& investor menaruh harapan besar dalam meningkatkan kembali perekonomian nasional & menuntaskan masalah rezim Orde Baru (KKN, supremasi hukum dll) Perekonomian mulai menunjukkan perbaikan Pertumbuhan PDB mulai positif Laju inflasi & tingkat suku bunga menurun kondisi moneter mulai stabil

Pemerintahan Reformasi

Rezim Gus Dur: Gus Dur sering menunjukkan sikap&ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku bisnis Tidak ada masalah DN yang dapat diselesaikan dengan baik Hubungan pemerintah dengan IMF tidak baik World Bank mengancam penghentikan pinjaman baru, pelaku bisnis (investor) enggan menanamkan modal di Indonesia Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor) Lembaga peringkat menurunkan prospek janka panjang Indonesia menjadi negatif59

Indikator ekonomi saat rezim Gus Dur: Pergerakan IHSG menunjukkan tren pertumbuhan negatif Pergerakan nilai Rupiah terhadap US$ Angka inflasi yang meningkat Cadangan devisa yang terus menurun

60

Pemerintahan Megawati Kondisi Perekonomian lebih buruk daripada pemerintah Gus Dur, beban pemerintah sangat berat: Tingkat suku bunga tinggi Inflasi tinggi (mencapai 2 digit) Juli 2000-Juli 2001: target inflasi 9,4% vs kenyataan 13,5% Saldo neraca pembayaran Defisit APBN Bom Bali Laju pertumbuhan output rendah (akhir 2002 menunjukkan peningkatan) Nilai ekspor menurun Nilai tukar rupiah lebih baik dari pemerintahan sebelumnya IHSG cenderung menurun, akibat: Kurang menariknya perekonomian Indonesia Tingginya deposito menarik modal ke sektor perbankan drpd pasar modal61

Pemerintahan Gotong Royong

Penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi Kurang berkembangnya investasi swasta (PMDN, PMA) akibat tidak stabilnya kondisi ekonomi&sosial, tidak ada kepastian hukum investasi asing mengalihkan modal ke negara tetangga

62

Masa Kepemimpinan SBY Kebijakan: Mengurangi subsidi BBM/Menaikkkan harga BBM Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS.

63