perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KONSEP PERENCAAN DAN PERANCANGAN
REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK
TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai
Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh : AHMAD FARIS ANSORI
I0205027
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVESITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
SEBAGAI RUANG PUBLIK
Disusun Oleh : AHMAD FARIS ANSORI
I 0205027
Menyetujui, Surakarta, 1 Agustus 2012
Mengesahkan,
Pembimbing I
Ir. Suparno, MT NIP. 1955 0516 198601 1 001
Pembimbing II
Ir. Hari Yuliarso, MT NIP. 1959 0725 199802 1 001
Ketua Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik
Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT NIP. 1962 0610 199103 1 001
Ketua Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknik
Kahar Sunoko, MT NIP. 1969 0320 199503 1 003
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh....
Om Swastiastu....Om Shanti Shanti Shanti, Om.....
Namo Buddhaya...
Shalom Aleichem b’Shem Ha Mashiach....
Puji syukur kepada Allah swt. atas waktu untuk kita semua, kesempatan untuk
bernafas, kesempatan mengingat keluarga dan mengingat-Nya. Sehingga semua proses
dalam penyelesaian Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir ini pun berjalan
dengan baik.
Sebuah proses menuju akhir memang tidak mudah, tetapi juga tidak sulit,
relative. Maka berkat bantuan dari berbagai pihak, penyusunan pun selesai pada
waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT selaku Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret.
2. Kahar Sunoko, ST, MT selaku Ketua Prodi Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret.
3. Ir. Suparno, MT, selaku Dosen Pembimbing I Tugas Akhir.
4. Ir. Hari Yuliarso, MT , selaku Dosen Pembimbing II Tugas Akhir.
5. Ir. FX. Soewandi, selaku Pembimbing Akademik.
6. Teman-teman Jurusan Arsitektur UNS, teman-teman kantin, teman-teman KFA,
terima kasih atas prosesnya.
Surakarta, 31 Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
Terima kasih untuk semuanya......
Untuk keluarga, untuk kawan, untuk dosen.....
Terima kasih prosesnya.....
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
UCAPAN TERIMA KASIH iv
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1. LATAR BELAKANG 2
I.1.1. Umum – Perkembangan paradigma dan konsekuensi
pemanfaatan alun-alun kota sebagai ruang publik. 2
I.1.2. Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah
apresiasi. 4
I.2. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN 5
I.3. TUJUAN DAN SASARAN 6
I.4. LINGKUP DAN BATASAN 6
I.5. METODOLOGI 7
I.5.1. Metode Penelusuran Masalah 7
I.5.2. Metode Pencarian Data dan Informasi 7
I.5.3. Metode Perumusan Konsep Desain 7
I.5.4. Metode Desain 8
I.6. SISTEMATIKA PENULISAN 8
BAB II TINJAUAN 9
II.1. REVITALISASI 9
II.2. AWAL PERADABAN NUSANTARA 11
II.3. PERMUKIMAN KOTA JAWA 14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
II.3.1. Jagad dan Kota 14
II.3.2. Halun-Halun 28
II.3.3. Marga dan Ratan 38
II.3.4. Pasar atau Peken 43
II.3.5. Mesjid dan Pusat Kekuasaan 44
II.3.6. Pawisman atau Pamohan 46
II.3.7. Dari Kuta Negara ke Kota Modern 49
II.4. ALUN-ALUN SECARA FUNGSIONAL MASA
PRAKOLONIAL 54
II.5. RUANG PUBLIK 62
II.5.1. Peranan Ruang Publik 62
II.5.2. Permasalahan Ruang Publik Kota 65
II.5.3. Ruang Publik sebagai Elemen Perancangan Kota 70
II.5.4. Paradigma Baru Perancangan Kota di Indonesia 73
II.5.5. Tipologi Ruang Publik 76
II.5.6. Kriteria Desain Tak Terukur (unmeasureable design criterias) 83
II.6. PANGGUNG PERTUNJUKAN 84
II.6.1. Jenis-jenis Panggung 85
II.6.2. Pengetahuan Tata Pentas 93
II.6.3. Macam-macam Panggung 95
II.6.3.1. Panggung Prosenium atau Panggung Pigura 95
II.6.3.2. Panggung Portable 97
II.6.3.3. Panggung Arena 97
II.6.3.4. Panggung Terbuka 99
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
II.6.3.5. Panggung Kereta 100
II.6.3.6. Pokok-pokok Persyaratan Set Panggung/Pentas 100
II.7. KONDISI KABUPATEN PONOROGO 102
II.7.1. Potensi Kawasan Alun-alun Ponorogo 108
II.7.2. Masalah Kawasan Alun-alun Ponorogo 109
II.8. PRESEDEN 110
II.8.1. Alun-alun Wonosobo 110
II.8.2. Alun-alun Jogjakarta 111
II.9. KESIMPULAN 112
BAB III REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
SEBAGAI RUANG PUBLIK 113
BAB IV ANALISA REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN
PONOROGO 119
IV.1. ANALISA KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO 122
IV.2. ANALISA KARAKTERISTIK BANGUNAN 125
IV.3. ANALISA PERUANGAN 126
IV.3.1. Analisa Kebutuhan Ruang Panggung Utama 126
IV.3.2. Analisa Kebutuhan Ruang Pasar 127
IV.3.3. Analisa Pengelompokan Ruang Panggung Utama 128
IV.3.4. Analisa Pengelompokan Ruang Pasar 130
IV.3.5. Analisa Persyaratan Ruang 130
IV.3.6. Analisa Besaran Ruang 132
IV.3.7. Analisa Pengolahan Tapak 133
IV.3.7.1. Analisa Klimatologis 133
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
IV.3.7.2. Analisa View 135
IV.3.7.3. Analisa Pencapaian 137
IV.3.7.4. Analisa Kebisingan 138
IV.3.7.5. Analisa Zoning 139
IV.3.7.6. Analisa Pencahayaan 140
IV.3.7.7. Analisa Penghawaan 140
BAB V KONSEP REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
SEBAGAI RUANG PUBLIK 141
V.1. Konsep Bangunan Revitalisasi Kawasan Alun-alun Ponorogo 141
V.2. Konsep Peruangan 143
V.2.1. Konsep Pesyaratan Ruang 143
V.2.2. Konsep Besaran Ruang 144
V.3. Konsep Site Terpilih 145
V.4. Konsep Dalam Bangunan 146
V.5. Konsep Struktur Bangunan 146
V.6. Konsep Utilitas Bangunan 148
DAFTAR PUSTAKA xii
LAMPIRAN xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal 3
Gambar 1.2 Panggung Pertunjukan di Alun-alun Ponorogo 5
Gambar 2.1 Struktur Pusat Negara Demak 17
Gambar 2.2 Kompleks Masjid Demak 1602-1606 20
Gambar 2.3 Kompleks Masjid Demak 1602-1606 20
Gambar 2.4 Mesjid Mantingan di Jepara, dibangun sekitar 1599.
Terdapat di kompleks makam Ratu Kalinyamat 21
Gambar 2.5 Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun
kira-kira abad ke-12 merupakan puncak hasil seni
bangunan batu bata di Indonesia 22
Gambar2.6 Denah kompleks makam Kota Gede 23
Gambar 2.7 Kompleks makam-masjid Kota Gede 25
Gambar 2.8 Pusat kota Yogyakarta 31
Gambar 2.9 Denah Kompleks Keraton Yogyakarta 31
Gambar 2.10 Keraton Yogyakarta 32
Gambar 2.11 Pusat Kota Surakarta 33
Gambar 2.12 Keraton Surakarta 34
Gambar 2.13 Tatanan Keraton Surakarta berdasarkan Kosmologi 54
Gambar 2.14 Rekonstruksi Kraton Majapahit oleh Maclaine Port
berdasakan Kitab Negarakertagama (1924) 56
Gambar 2.15 Keadaan Kraton Surakarta sekarang dengan
Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
Gambar 2.16 Sketsa Topografi Kraton Yogyakarta dan
lingkungannya ketika serangan Inggris (1812) 59
Gambar 2.17 Pagar kayu yang membatasi Alun-alun Kraton
Yogyakarta, yang merupakan bukti bahwa Alun-alun
dulunya masih merupakan bagian dari Kraton 60
Gambar 2.18 Denah panggung teater kecil 85
Gambar 2.19 Berbagai macam model panggung 86
Gambar 2.20 Panggung proscenium 87
Gambar 2.21 Panggung thrust 89
Gambar 2.22 Bagian-bagian panggung I 90
Gambar 2.23 Bagian panggung II 91
Gambar 2.24 Denah Panggung Proscenium 96
Gambar 2.25 Panggung Portable 97
Gambar 2.26 Denah Panggung Tapal Kuda 98
Gambar 2.27 Denah Panggung Arena bentuk U 98
Gambar 2.28 Denah Panggung Arena bujur sangkar 99
Gambar 2.29 Denah Panggung Arena bentuk lingkaran 99
Gambar 2.30 Denah Panggung Terbuka 100
Gambar 2.31 Peta Wilayah Kabupaten Ponorogo 103
Gambar 2.32 Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo 104
Gambar 2.33 Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Ponorogo 107
Gambar 2.34 Kepadatan Penduduk Kabupaten Ponorogo 108
Gambar 2.35 Situasi Alun-alun Wonosobo 110
Gambar 2.36 Situasi Alun-alun Kidul Yogyakarta 111
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
Gambar 2.37 Kawasan Alun-alun Kabupaten Ponorogo 112
Gambar 3.1 Alun-alun Ponorogo sebelum Panggung Pertunjukan 116
Gambar 3.2 Alun-alun Ponorogo sesudah Panggung Pertunjukan 117
Gambar 4.1 Kondisi panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo
pada saat menjelang Syawal 119
Gambar 4.2 Kondisi panggung pertunjukan pada waktu
Grebeg Suro 2011 120
Gambar 4.3 Alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal 121
Gambar 4.4 Kondisi sirkulasi lalu lintas Alun-alun Ponorogo
sekarang 122
Gambar 4.5 Pasar Alun-alun Ponorogo 123
Gambar 5.1 Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang di bangun
kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak hasil
seni bangunan batu bata di Indonesia 141
Gambar 5.2 Kompleks Menara Kudus beserta Makan-Masjid 142
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAKSI
REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
SEBAGAI RUANG PUBLIK
Setiap kota memiliki keragaman bentuk sosial,budaya,dan ekonomi. Ponorogo
yang merupakan salah satu kota yang masih menganut kota jawa kuno, dimana di
dalamnya sebuah pusat kota terdapat sebuah Alun-alun. Kondisi Alun-alun pun
sekarang bergeser pemaknaannya dari awal penciptaanya. Kegiatan perekonomian pun
seperti merajai kondisi Alun-alun sekarang.
Perevitalisasian yang bersifat penggabungan antara pemaknaan Alun-alun pada
masa Keraton dengan kebutuhan ruang publik masyarakat modern sekarang.
Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara
dialektis. Tentang tata letak pusat kota Jawa, pengaruh agama Hindu Budha dalam
mendesain sebuah pusat kota.
REVITALIZATION OF ALUN-ALUN PONOROGO AREA AS A PUBLIC
SPACE
Every town has a variety of forms of social, cultural, and economic. Ponorogo
which is one city that still adhered to the ancient Javanese city, from where there is a
center of a town square. Square condition was now shifted from the initial meaning of
thought. Economic activity was dominated conditions such as the square now.
Revitalization which is a merger between the meaning of the square in the
Palace with the needs of the public sphere of modern society today. Modernization is
not an alternative to the tradition, but the two are dialectically related. About the layout
of the center of Java, the influence of Hinduism Buddhism in designing a city center.
Kata Kunci : Revitalisasi, Alun-alun, Ruang Publik, Ponorogo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1 |BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
Pengenalan tentang kebudayaan nusantara sangat penting sekali, seiring
dengan memudarnya kebudayaan itu sendiri, seolah-olah ditelan oleh modernisasi.
Pengenalan kebudayaan pun harus mempunyai solusi untuk mengembalikannya,
pengenalan yang bersifat plural dan dapat di akses oleh masyarakat secara luas
dan mudah. Sebuah modernisasi bukanlah sebuah aral yang menghambat
perkembangan seni, lalu bagaimana kita dapat berjalan seiring dengan
modernisasi dan kemajuan teknologi. Sebuah wadah yang mengapresiasi
kebutuhan akan ruang berseni yang dapat di akses oleh masyarakat luas.
Hampir setiap kota memiliki ciri khas sendiri-sendiri,kita setuju dengan
hal itu. Sama hal-nya dengan kota Ponorogo –kota asal mula kesenian reog-
mempunyai kebudayaan, kebiasaan, perilaku masyarakat yang sangat khas. Setiap
malam bulan purnama pada setiap bulannya, selalu di adakan sebuah pagelaran
seni pertunjukan di alun-alun kota. Bisa berupa seni tari reog, wayang kulit, tari
kontemporer. Adanya panggung pertunjukan mempunyai peran penting dalam
menyajian sebuah karya seni pertunjukan. Kota ponorogo pun juga memiliki
sebuah panggung pertunjukan yang sangat strategis yang dapat diakses oleh
semua warga masyarakatnya, dipusat kota, alun-alun kota ponorogo.
Tetapi panggung tersebut mempunyai nilai fungsional yang kurang
maksimal. Tidak adanya zona servis yang dapat menunjang semua kegiatan seni
pertunjukan. Dengan redesain panggung tersebut diharapkan dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2 |BAB I
memaksimalkan potensi seni pertunjukan di wilayah ponorogo dan pada akhirnya
dapat memberikan kontribusi dalam memperbaiki sosial ekonomi masyarakat
ponorogo.
I.1 LATAR BELAKANG
I.1.1 Umum – Perkembangan paradigma dan konsekuensi
pemanfaatan alun-alun kota sebagai ruang publik.
Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang
keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-
ciri sebidang alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit
dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama.
Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai
ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan.
Banyak anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka
umum dengan paham berhak melakukan apa saja.
Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini
barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat
diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai
sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu
struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan
apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah
suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis.
Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada jaman modern ini misalnya,
berarti: bergairah untuk memikirkan, mencari, menemukan, menciptakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3 |BAB I
sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada
keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang
baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak. Terhadap keadaan
yang harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu
pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang
untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat
diminati sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata
terbentuk sifatnya mungkin hanya sementara saja. Adalah tidak mungkin
untuk mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional
sebagai dasar konsensus yang berlaku sekarang. Meskipun nilai-nilai dasar
dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan
pengembangan yang memadai untuk menghadapi tantangan – tantangan
dewasa ini.
Banyak alun-alun yang
tidak lagi bisa disebut alun-alun
dalam makna tradisional. Alun-
alun sekarang adalah ruang
terbuka umum, namun tidak
seharusnya kehilangan makna
filosifis yang terkandung di
dalamnya agar alun-alun masih
menunjukkan ikatan budaya
dengan masyarakat dalam
bentuk yang sesuai dengan
Gambar 1.1
Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal
Sumber: dokumen pribadi, 4 Agustus 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4 |BAB I
perkembangan jaman. Alun-alun, sejak dahulu kala sampai sekarang, bagi
sebagian anggota masyarakat adalah tempat mencari nafkah. PKL sudah
ada sejak dahulu, perbedaannya dahulu lebih sebagai pedagang keliling
sedangkan sekarang lebih banyak membangun tenda semi permanen.
Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran alun-
alun sebagai ruang terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian,
bahkan seharusnya diperkuat peran dan fungsinya. Selain berfungsi
sebagai taman untuk menghirup udara segar, rekreasi bersama keluarga,
olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana pendidikan.
Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya,
memiliki nilai kesejarahan dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga
bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa dijual sebagai objek
pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat
penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak
bisa “bercerita” tentang sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu alun-
alun dalam skala Keraton maupun dalam skala Kabupaten. Menjadi objek
maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang terkandung
sebagai warisan kekayaan budaya nasional.
I.1.2 Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah apresiasi.
Panggung pertunjukan mempunyai peran penting dalam
pengembangan apresiasi seni, juga sebagai media pengenalan kepada
masyarakat. Seharusnya panggung tersebut memberikan kontribusi kepada
masyarakat sekitarnya. Pengenalan kepada generasi muda agar bisa tetap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5 |BAB I
menjaga kebudayaan nusantara.
Panggung pertunjukan yang ada
di alun-alun Ponorogo sekarang
ini tidak mempunyai zona servis
sendiri. Hal ini menyangkut
kenyamanan bangunan tersebut
ketika di gunakan usernya.
Ketika bangunan panggung
pertunjukan ini dapat
dimaksimalkan secara fungsional
diharapkan perekonomian
masyarakat sekitar juga meningkat
karena adanya wisatawan dalam kota maupun luar kota.
I.2 PERMASALAHAN DAN PERSOALAN
Permasalahannya, bagaimanakah merevitalisasi kawasan di alun-alun
Ponorogo yang lebih baik secara fungsional dan dapat memberikan kontribusi
dalam pengembangan potensi masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan
budaya. Persoalan dipaparkan sebagai berikut.
- Bagaimanakah desain yang dapat menjadi solusi untuk meningkatkan
fungsi bangunan.
- Bagaimana tatanan baru yang tetap dapat menjadi wadah kegiatan sosial,
budaya, dan ekonomi.
Gambar 1.2
Panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo
Sumber: dokumen pribadi, 17 Nopember 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6 |BAB I
- Bagaimanakah desain yang sebisa mungkin dapat mengembalikan fungsi
alun-alun.
I.3 TUJUAN DAN SASARAN
Tujuannya, revitalisasi kawasan Alun-alun di Ponorogo, sehingga dapat
memberikan input baru kepada masyarakat tentang kebudayaan nusantara.
Sasaran dipaparkan sebagai berikut.
- Tata massa bangunan.
- Bentuk panggung pertunjukan.
- Sistem struktur dan konstruksi bangunan.
- Material bangunan.
- Tata kawasan dan landscaping.
- Sistem sirkulasi bangunan dan kawasan.
- Sistem utilitas penunjang fungsi
I.4 LINGKUP DAN BATASAN
Lingkup pembahasan adalah cakupan disiplin ilmu arsitektur antara lain
tema spesifik mengenai ruang publik, aspek redesain panggung pertunjukan
sebagai produk fisik, aspek lingkungan alun-alun, serta lokasi (site) spesifik
area alun-alun Ponorogo. Batasannya dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Pembahasan tema ruang publik untuk masyarakat Ponorogo
- Aspek mengenai lingkungan alun-alun dibatasi pada isu-isu yang
bersangkutan, keluar dari ketentuan-ketentuan formal mengenai
pengelolaan alun-alun kota.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7 |BAB I
- Aspek lokasi berkaitan dengan fisik panggung pertunjukan dan esksisting
sebagai objek perencanaan.
I.5 METODOLOGI
I.5.1 Metode Penelusuran Masalah
- Observasi, menyusun adanya permasalahan-permasalahan yang timbul
di sekitar panggung pertunjukan dan alun-alun Ponorogo.
- Studi literatur, menemukan keterkaitan antara fenomena yang terjadi
dengan acuan ilmu.
I.5.2 Metode Pencarian Data dan Informasi
- Survey lanjutan, melanjutkan pengamatan pada lokasi dan aspek-aspek
yang berhubungan dan dibutuhkan dalam pertimbangan kebijakan
desain nantinya.
- Studi literatur, mengumpulkan referensi ilmu untuk mengolah
informasi dan data yang diperoleh.
I.5.3 Metode Perumusan Konsep Desain
Perumusan konsep perancanaan dan perancangan (desain) yaitu
melalui metoda induktif (berdasar data empirik) dan metode deduktif
(berdasar referensi yang membantu mengarahkan pembahasan). Cara yang
digunakan yaitu analisis deskriptif, yaitu analisis dengan cara
membandingkan/membahas data dan informasi dengan referensi yang
ditentukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8 |BAB I
I.5.4 Metode Desain
- Mentransformasikan konsep yang diskriptif (verbal) ke dalam bentuk
gambar (visual).
- Sketsa ide.
- Studi tiga dimensi.
- Realisasi gambar ide menjadi suatu wujud rancangan (desain).
I.6 SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I Sebagai Pendahuluan untuk memberikan gambaran
tentang keseluruhan substansi penulisan ini.
BAB II Pemahaman Referensi, di sini sebagai acuan ilmu atau
pengetahuan umum yang dipilih dan dibutuhkan berkaitan
dengan pembahasan. Disertai tinjauan Ponorogo dengan
segala potensi yang ada di dalamnya.
BAB III Merupakan Gagasan, sebuah lingkungan alun-alun yang
akan direncanakan.
BAB IV Analisa merupakan penyelesaian persoalan desain untuk
menghasilkan konsep desain.
BAB V Merupakan output, memaparkan desain dan hasil rumusan
dari proses desain sebagai Konsep.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9 |BAB II
BAB II
TINJAUAN TEORI
II.1. REVITALISASI
Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau
bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami
kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses
revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan
aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan
potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat)
(Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi
pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan
peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk
melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat.Dalam kamus
besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan
menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital.
Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk
kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa
berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan
kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah
membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10 |BAB II
adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu
sekali.
Revitalisasi termasuk di dalamnya adalah konservasi-preservasi1
merupakan bagian dari upaya perancangan kota untuk mempertahankan warisan
fisik budaya masa lampau yang memiliki nilai sejarah dan estetika-arsitektural.
Atau tepatnya merupakan upaya pelestarian lingkungan binaan agar tetap pada
kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses kerusakan.Tergantung
dari kondisi lingkungan binaan yang akan dilestarikan, maka upaya ini biasanya
disertai pula dengan upaya restorasi, rehabilitasi dan/atau rekonstruksi.Jadi,
revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian
kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami
kemunduran/degradasi. Selain itu, revitalisasi adalah kegiatan memodifikasi suatu
lingkungan atau benda cagar-budaya untuk pemakaian baru. Revitalisasi fisik
diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik)
kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan
dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk
kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives).
Hal ini mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan
akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng
terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.
Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi
sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek
sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi 1 pengawetan; pemeliharaan; penjagaan; perlindungan (sumber:http://www.artikata.com/arti-345973-preservasi.html)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11 |BAB II
lingkungan. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada
penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan
ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan
revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud
bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan
adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya
masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat luas. Ada beberapa aspek
lain yang penting dan sangat berperan dalam revitalisasi, yaitu penggunaan peran
teknologi informasi, khususnya dalam mengelola keterlibatan banyak pihak untuk
menunjang kegiatan revitalisasi. Selain itu revitalisasi juga dapat ditinjau dari
aspek keunikan lokasi dan tempat bersejarah. atau revitalisasi dalam rangka untuk
mengubah citra suatu kawasan.
Dengan dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi
harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk
kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota. Rancang kota
merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan
binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.
II.2. AWAL PERADABAN NUSANTARA2
Permukiman kota di nusantara tidak serta merta muncul begitu saja, proses
yang cukup panjang, mulai dari peradaban Hindu-Budha hingga sekarang. Negara
sebagai suatu bentuk kekuasaan politis ekonomis di Indonesia baru dikenal,
setidak-tidaknya, sejak abad ke-4. Bukti dari pengaruh ini diperoleh dari Prasasti
2 Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia (A. Bagoes P. Wiryomartono)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12 |BAB II
Kutai3 pada pertengahan abad ke-20. Meskipun pada Prasasti Kutai tersebut tidak
disebut adanya sebuah negara, dapat diduga bahwa kerajaan Kutai dibawah
Mulawarman telah mengembangkan sebuah negara. Dengan negara ini organisasi
sosial politik dan ekonomi permukiman dikelola oleh suatu sistem kekuasaan atas
beberapa desa. Lingga4 menandai suatu keyakinan bahwa kekuatan kosmik
dihadirkan diatas bumi untuk menciptakan kesatuan aturan bumi dan kosmik raya
atas masyarakat manusia.
Pada dasarnya simbolisme lingga sebagai penghubung bumi dan langit ini
tidak lebih dari monumentalitas kekuasaan. Kekuatan spiritual yang dipakai dalam
pengukuhan lingga tidak bisa dilihat terpisah dari upaya untuk mempersatukan
apa yang telah dicapai secara sekuler. Dengan ritualisasi, lingga akan tidak dilihat
orang sebagai sekadar batu tegak, tetapi suatu benda yang telah diisi oleh makna
mistis. Mitologi akan mendukung kehadiran dan monumentalitas lingga tersebut
agar penghormatan atasnya terpelihara. Mitologi berkaitan erat dengan fungsi
suatu sejarah. Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi terbukti bahwa sejarah tidak
luput dari pemaknaan perubahan kekuasaan baik polotik, sosial, maupun ekonomi.
3 Batu monumen lingga merupakan unsur penting dalam peradaban Hindu. Lingga didirikan untuk menandai tempat permukiman di mana kekuasaan dikukuhkan secara ritual menurut kepercayaan Hindu. Secara simbolik, lingga adalah representasi kekuatan Isvara. Daerah lingga biasanya didirikan/ditanami suatu prasasti yang memberikan keterangan waktu dan jumlah harta yang dipersembahkan oleh sang penguasa kepada para biarawan. Persembahan ini membuktikan kepada khalayak ramai bahwa kemampuan materi suatu wangsa telah sah dan mendapatkan restu serta dukungan spiritual. Dengan demikian wangsa yang bersangkutan memiliki legitimasi untuk memerintah daerah-daerah yang berada dibawah pengaruhnya. Lingga memiliki kesamaan dengan menhir.
4Lingga adalah sebuah arca atau patung, yang merupakan sebuah objek pemujaan atau sembahyang umat Hindu. Kata lingga ini biasanya singkatan dari Siwalingga dan merupakan sebuah objek tegak, tinggi yang melambangkan falus (penis) atau kemaluan Batara Siwa. Objek ini merupakan lambang kesuburan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13 |BAB II
Dalam kepercayaaan Hindu yang berkembang di Jawa dan Bali, lingga
berhubungan erat dengan Dewa Siwa. Dewa yang dipercaya sebagai penguasa
dunia dalam segala bentuk manifestasinya. Siwa menguasai nasib dan jalan
kehidupan manusia di atas bumi ini. Dengan keyakinan demikian, lingga bukan
hanya lambang dari awal adanya kehidupan bertempat tinggal, tetapi juga awal
dari penyerahan diri dari ketidakpastian kepada sumber kekuatan kosmik raya.
Pendirian lingga membutuhkan pengorbanan dan upacara. Semua ini mungkin
dibuat untuk memberikan makna adanya keinginan mempertautkan kekuasaan
dengan bumi dan lingkungan dengan cara membuka alam. Kebutuhan manusia
akan adanya tengaran pada lanskap atau lingkungan fisiknya tampaknya berakar
dari hakikat eksistensialnya. Ada semacam ketakutan pada manusia yang
berkelompok mendiami suatu kawasan tanpa memiliki suatu tengaran tempatnya.
Tengaran menandakan bahwa suatu daerah dapat dikatakan sebagai tempat
tinggalnya. Tinggal di suatu daerah membutuhkan suatu sistem tanda, entah
berupa tugu atau pelataran. Mungkin lingga tidak lebih dan kurang dari satu
sistem tanda manusia intik memberikan tanda teritorial yang sudah dikuasai untuk
tempat tinggal. Pendirian tugu monumen yang lazim dalam peradaban Hindu di
Indonesia tak tampak lagi setelah peradaban Islam mulai mengembangkan
pengaruhnya di Indonesia. Sebenarnya pendirian monumen semacam lingga ini
tidaklah hilang begitu saja. Beberapa kasus memperlihatkan lingga sebagai bentuk
yang monumental yang terwujud dalam bentuk candi. Selama ini, hanya candi-
candi yang memberikan indikasi bahwa pembangunannya didukung oleh
masyarakat yang berbudaya kota. Sekalipun demikian, tidaklah selalu berarti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14 |BAB II
bahwa kompleks candi menjadi petunjuk bahwa masyarakat pendirinya sudah
bermukim, terkonsentrasi menetap, dalam pengertian urban.
Ketika dalam lingkungan candi memiliki suatu masyarakat yang
terkonsentrasi menetap –bermukim- dan mempunyai sistem sosial politik
ekonomi, tidak menutup kemungkinan adanya sebuah pusat pemerintahan. Dalam
hal ini, sebuah keraton memiliki perannya. Keraton sebagai pusat kekuasaan
selayaknya merupakan pusat di mana perkembangan permukiman urban bermula.
Keraton sebagai pusat kekuasaan sudah pasti memiliki tempat yang memberikan
tengaran orientasi dan membentuk wilayah yang terorganisir pencapaiaannya.
Untuk mendukung dua kondisi ini, pusat perlu didukung oleh lapangan terbuka
dan pasar.
II.3. PERMUKIMAN KOTA JAWA5
II.3.1. Jagad dan Kota
Konsep jagad Jawa erat kaitannya dengan konsep kekuasaan yang pada
prakteknya konstan dan mengalir di alam maupun di masyarakat manusia. Dalam
konsep ini, jagad merupakan kesatuan dan keteraturan hidup yang tidak
didasarkan pada perbedaan yang tajam atas kategori organik dan anorganik.
Jagad terjadi dan mengambil ruang serta waktu tertentu yang bisa
berulang. Pusat sebuah jagad atau rat (istilah Jawa asli) merupakan konsep yang
berdasarkan peristiwa di mana kekuatan-kekuatan kosmik dipercaya hadir dalam
dunia nyata. Peristiwa ini hanya terjadi melalui satu figur kepemimpinan yang
mampu merangkum spiritual dan sekuler sekaligus. Konsep kepemimpinan yang
5 Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia (A. Bagoes P. Wiryomartono)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15 |BAB II
dikembangkan kebudayaan Jawa dalam permukiman urbannya tidak memisahkan
kekuasaan sekuler dari spiritual, justru menghendaki integrasi6 keseluruhan
kekuatan sosial yang ada dalamsatu figur. Karena konsep pusat urban Jawa tidak
pada pembendaan atau objektifikasi, bisa dipahami bila struktur fisiknya tidak
otoriter dan teratur geometris seperti halnya kota Alberti dan Scamozi7.
Sumber keberadaan jagad adalah satu dan karena itu kekuasaan pun
memiliki sifat homogen, sehingga kemanunggalan menjadi sentral dalam
pemikiran Jawa tentang jagadnya. Karena konsep kemanunggalan inilah
hubungan antara sesama manusia dan lingkungan alam maupun binaannya
cenderung mencari konsensus, bukan konflik yang dialektik8.
Jika jagad terjadi di lingkungan binaan, struktur apakah yang memberi
batas padanya? Bagaimana sebenarnya orang Jawa mendefinisikan jagad itu jika
tidak dikenal batas-batas yang jelas? Batas dimaksud berkaitan dengan struktur-
struktur yang membangun pengertian tentang apa dan bagaimana jagad itu. Dalam
Serat Centhini9 V pupuh 4 dapat dibaca perumpamaan jagad yaitu sebagai kelir-
nya pementasan wayang. Kelir dalam pengertian ini erat kaitannya dengan
6Integrasi berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi social dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Hal ini terkait dengan asimilasi dan akulturasi.
7Leon Battista Alberti (14 Februari 1404 – 20 April 1472), Arsitek Vincenzo Scamozzi (2 September 1548 – 7 Agustus 1616), Arsitek
8Dialektik merupakan seni berpikir secara teratur, logis, dan teliti yang diawali dengan tesis, antithesis, dan sintesis.
9Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16 |BAB II
pementasan itu sendiri, ada adegan, peran, tempat, dan waktu. Kelir sendiri hanya
dimengerti bila ada lampu (blencong) yang memberi bayangan pada wayang-
wayang yang berperan. Jika sang dalang itu tak ubahnya sebagai yang empunya
dan menguasai hidup ini, jagad dalam pengertian Jawa itu sebenarnya bukan
dalam kekuasaan manusia. Kejadian-kejadian ketika jagad memperlihatkan diri
sebagai fenomena bermukim oleh orang Jawa hanya dipandang sebagai mampir
untuk minum. Dalam Serat Centhini sendiri dibedakan pengertian jagad dan
dunya. Dunya dikaitkan dengan pengertian yang fana dan menawarkan
kenikmatan sensual, yang tidak memiliki kedalaman dan makna kehidupan masa
depan. Sementara jagad bicara mengenai wisma masa depan manusia yang
memberikan pengetahuan sejati dan kebersatuan antara Sang Pencipta dan yang
diciptakan. Bermukim di atas bumi ini menurut konsepsi Jawa tidak lebih dari
kesementaraan untuk membekali diri dengan air kehidupan yang bisa membawa
langkah seseorang menuju kemanunggalan dengan Penciptanya.
Dengan konsep bermukim sekadar 'mampir minum' ini, orang Jawa
banyak melihat hidup dalam pengertian suatu kerangka maju atau mundur dalam
masalah materialistik. Struktur-struktur fisik permukiman oleh orang Jawa tidak
dilihat sebagai bangunan permanen, tetapi sebagai pondok sementara. Jika konsep
kesementaraan ini yang dianut, bermukim secara Jawa tidak banyak meluangkan
waktu untuk mengembangkan seni bangunannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17 |BAB II
Bagaimanakah karya rancang-bangun dan struktur fisik dari sebuah
negara atau kuta itu sebenarnya? Kota tua Jawa yang hingga kini masih
dapatdilihat strukturnya adalah Demak, Kudus, dan Kota Gede. Bagian
kotaDemak yang masih banyak meninggalkan petunjuk gagasan kota
negara,nampak pada
daerah yang kini
disebut Kauman,
Pecinan, dan Siti
Hinggil.(Gambar 2-1).
Meskipun
dalem Sultan Demak,
Raden Patah (1500-
1518), sudah tidak
nampak, namun
lokasinya masih dapat
diketahui. Dalem ini pasti terletak di daerah yang dikenal sebagai Siti Hinggil,
sebelah selatan alun-alun. Struktur pusat negara Demak .merupakan indikasi
penting konsep pusat kota di Jawa setelah Majapahit pudar kekuasaannya di Jawa
Timur. Demak berkembang bukan dari surplus pertanian, tetapi dari turnbuhnya
jasa perdagangan di pantai utara Jawa sebelum Portugis menguasai Selat Malaka
tahun 1513-1516. Dengan jasa perdagangan inilah, kompleks mesjid Demak yang
menandai masuknya Islam dalam sistem kekuasaan Jawa itu didirikan.
Struktur pusat Demak kemungkinan merujuk pada ibukota Majapahit
dengan skala lebih kecil. Di dalam struktur ini halun-halun menjadi struktur ruang
Gambar 2-1Struktur pusat negara Demak (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18 |BAB II
pengikat bagi Dalem/keraton maupun mesjid yang bersangkutan. Elemen-elemen
yang menarik warisan rancang bangun peradaban Hindu nampak pada kompleks
Mesjid Demak. Sekalipun orang masih berharap untuk mendapat data arkeologi
pada daerah Siti Hinggil (siti: permukaan tanah/bumi, hinggil: tinggi atau
ketinggian), namun bisa dilihat bahwa keraton sebagai tempat tinggal tidak
dibangun dalam struktur sepermanen dinding-dinding mesjid. Atau, kuta atau
tembok keliling keraton telah diratakan dengan tanah untuk perumahan penduduk
setelah kekuasaan sultan pudar dan bergeser ke Pajang dan Kota Gede sejak 1518
Kudus merupakan salah satu kota penting yang melanjutkan sinkretisme10
antara peradaban Hindu dan Islam ke dalam bangunan kompleks mesjid dan
makam. Sunan Kudus dalam sejarah dikenal sebagai salah satu Wali Sanga yang
sangat berpengaruh pada kerajaan-kerajaan Jepara, Demak, dan Pajang sekitar
awal abad ke-16. Sebagaimana Mesjid Demak, Mesjid Kudus merupakan bagian
yang dibangun tidak berdiri sendiri. Mesjid Kudus merupakan pendukung
kompleks makam Sunan Kudus. Kompleks Kudus ini meliputi wilayah lebih dari
5000 meter persegi. Seperti halnya kompleks Mesjid Demak, di makam-mesjid
Sunan Kudus orang akan menjumpai perpaduan elemen-elemen pura Hindu dan
kegiatan Islam. Bagian utama Mesjid Kudus lebih kecil dari Mesjid Demak.
Mesjid di Kudus ini nampak istimewa karena memiliki struktur bentar dan
paduraksa yang menerus menembus ruang utama mesjid. Struktur gerbang-
gerbang ini sekaligus memberi arah Kiblat yang kuat. Jika hal ini dibuat secara
10Sinkretisme adalah upaya untuk penyesuaian atau pencampuran kebudayaan pertentangan perbedaan kepercayaan, sementara sering dalam praktik berbagai aliran berpikir. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19 |BAB II
sengaja, struktur utama mesjid (mungkin aslinya) tidak perlu berdinding. Sumbu
Kiblat yang dibentuk oleh gerbang-gerbang memberikan konotasi sinkretisme
Hindu Islam pada tingkat tata ruang. Sementara penggunaan menara kul-kul dan
bedug memberi konotasi sinkretisme pada tingkat rancang bangun
representatifnya.
Struktur ruang makam-mesjid Kudus tidak memiliki hierarki11 yang
sederhana. Kompleks ini dibangun dengan dinding keliling bata merah, seperti
juga di Demak. Rancangan profil dinding ini mirip dengan dinding kompleks
candi-candi di Jawa Timur, Candi Penataran dan Candi Tikus. Setiap pintu masuk
yang melalui dinding-dinding tersebut hampir selalu ditandai oleh bangunan
bentar atau paduraksa. Tata ruang yang berlapis-Iapis dan membentuk segi empat
oleh dinding batu bata menunjukkan prosesi yang jelas memperlihatkan
terhormatnya derajat wilayah makam. Di Kudus, terdapat tidak kurang dari tujuh
lapis gerbang dan halaman berdinding. Di Demak, dapat dijumpai pula tatanan
ruang berlapis-Iapis, namun tidak serumit makam Sunan Kudus. Yang menarik di
Demak adalah kejelasan struktur ruang yang dibentuk oleh tembok keliling segi
empat dengan empat gerbang penjuru angin (Gambar 2-2). Struktur yang jelas ini
menyebabkan mesjid nampak lebih menonjol monumentalitasnya.
11Hierarki adalah urutan atau aturan dari tingkatan abstraksi menjadi struktur pohon (www.id.shroong.com/social-sciences/education/2069530-pengertian hierarki)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20 |BAB II
Sarean dikompleks mesjid
ini nampak sebagai struktur
pendukung yang memiliki jalur
prosesi sendiri. Yang membuat
tata ruang berlapis-lapis adalah
sarean utama yang dibangun
dengan struktur cungkup. Struktur
ini diyakini memberi perlindungan
bagi makam sebagai mana atap
melindungi tempat tidur. Orang
Jawa melihat kuburan sebagai
tempat yang disucikan dari
kegiatan harian.
Berziarah ke makam setara
dengan menghadap pada yang bersangkutan dengan penuh hormat dan dengan
menyucikan badan dari kotoran. Untuk mengawasi tertibnya ritual ini didirikanlah
paseban, di mana petugas jaga makam melaksanakan tugasnya. Pada umumnya,
paseban sudah dapat dilihat sejak masuk kompleks makam. Untuk melengkapi
ritual ziarah, pemandian dibangun. Di beberapa makam dikenakan tradisi
menggunakan pakaian tradisional Jawa tanpa alas kaki. Ritual semacam ini
merupakan bagian dari prosesi ziarah. Ritual ini pula yang menjadi dasar tata
ruang kompleks makam.
Gambar 2-2Kompleks Mesjid Demak 1602-1606 (Sumber: Ismudiyanto, 1987:53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21 |BAB II
Lapisan ruang-ruang
yang perlu dilalui dari
prosesi ziarah ini dibuat
sedemikian rupa sehingga
memiliki kemiripan dengan
prosesi menuju tempat
tinggal raja yang
bersangkutan. Secara tata
ruang sarean dan dalem
alias kalenggahan sultan
selintas tidak berbeda. Dasar
dari struktur ruang yang
dikembangkan pada makam-makam Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat, hingga
Panembahan Senapati menunjukkan gejala yang sama yaitu sinkretisme antara
konsep candi Hindu, penghormatan leluhur asli Jawa dengan fasilitas dan ritual
Islam. Elemen-elemen pribumi nampak pada rancang bangun makam berumpak
yang mengingatkan pada punden berundak. Elemen-elemen Hindu diungkapkan
pada gubahan atap mesjid maupun struktur ruang berdinding dengan paduraksa
dan bentar. Semua terpadu untuk memberi tempat dimana kesucian badan
disyaratkan dalam mengikuti proses ritual di dalamnya.
Gambar 2-4Mesjid Mantingan di Jepara, dibangun sekitar 1599. Terdapat di kompleks makam Ratu
Kalinyamat. (Sumber: Album Peninggalan Purbakala, 1991: 79)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22 |BAB II
Teknik konstruksi
dinding terakota dan
rancang bangun kompleks
makam-mesjid Demak ini
dapat ditelusuri asal
usulnya dari bangunan-
bangunan peradaban
Majapahit, Candi Brahu,
Candi Tinggi (lihat
Gambar2-5), dan sisa-sisa Keraton Trowulan. Konstruksi batu bata yang saling
terkait tanpa bahan lain (tanpa semen pc, misalnya), selain hasil reaksi antara
gesekan bata-bata, merupakan kekhasan warisan Majapahit. Warisan seperti ini
masih dipraktekkan pada bangunan-bangunan tradisional Bali: puri, pura, dan
patirtan. Di dalam tradisi bangunan di Kota Gede, hubungan antar batu bata
tersebut dilekat oleh putih telur.
Gubahan bentuk dinding pada kompleks makam-mesjid Demak berupa
segi empat yang membentuk suatu enclosure12. Konsep segi empat ini mungkin
diturunkan dari konsep puri. Dengan konsep Sanskerta ini, wilayah terbina atau
terbangun telah menjadi suatu kategori dalem. Artinya, tempat yang dikelilingi
tembok batu bata itu sudah menjadi milik seseorang dalam mengungkapkan pusat
kekuasaan.
Dari tatanan fisik bangunannya, kompleks mesjid dan makam nampak
tidak dalam kaitan prosesi langsung, namun saling mendukung. Makam 12Enclosure merupakan struktur yang terdiri dari suatu daerah yang telah ditutup untuk beberapa tujuan tertentu.
Gambar 2-5Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak
hasil seni bangunan batu bata di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23 |BAB II
ditempatkan sebagai bagian dalam dengan mesjid sebagai latar depannya. Dengan
begitu, nampak keluhuran kepercayaan asli memberi prioritas pada mesjid untuk
langsung menghadap ke alun-alun.
Kompleks makam dan mesjid ini mungkin bukan bermula di Demak dan
Kudus, kemudian mencapai kesempurnaan di Kota Gede (lihat Gambar2-6).
Setelah Kota Gede, makam-mesjid tidak lagi dibangun di pusat kota kerajaan.
Meskipun di Mesjid Agung Yogyakarta masih terdapat makam, namun bukanlah
tempat pemakaman keluarga Keraton Yogyakarta, karena Sultan Agung
membangun makam keluarga Kerajaan Mataram di Imogiri.
Kota Gede sebagai pusat peradaban Islam Jawa dibina oleh Ki Gede
Pamanahan sekitar tahun 1577 atas piagam Raja Pajang. Diceritakan oleh de
Graaf (1954/1987:52-54) bahwa hutan Mentaok mula-mula dibuka dan
dibangunlah kuta atau tembok bata keliling. Di dalam wilayah bertembok keliling
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24 |BAB II
ini ditanami pohon buah-buahan. Ki Gede Pamanahan mendirikan mesjid sekitar
tahun 1587. Kemudian dilengkapi dengan serambi oleh Panembahan Senapati,
putra Ki Gede Pamanahan. Senapati membina apa yang sudah dirintis ayahnya ini
dengan membangun dinding luar, kitha bata putih, antara 1592-1593.
Apa yang dikenal sebagai kitha banon petak ini dibangun setelah Senapati
bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sunan yang berpengaruh besar ini menganjurkan
Senapati untuk membangun dalem-nya, dengan itu ia bisa berkuasa sebagai Raja
Mataram. Namun, tembok berbata putih masih belum sempurna bila tidak
dilindungi oleh pagar keliling yang lebih luas. Senapati memerintahkan rakyatnya
untuk membakar bata merah setiap musim kemarau dan mulai membangun kitha
jaba. Dengan pembangunan ini maka terbinalah apa yang disebut kitha jaba dan
kitha dalem. Dilaporkan oleh de Haan yang pemah mengunjungi Kota Gede tahun
1623 (de Graaf, 1987:116) bahwa jarak antara Jaba dan Dalem adalah
sepenembakan peluru (tidak lebih dari 2000 meter).
Situs Kota Gede memberikan informasi bahwa kitha dalem atau beteng
jera yang dibangun Senapati dengan banon putih masih nampak sisa-
sisanya.Beteng Jero ini melingkari kompleks keraton-singosaren (sekarang
namadesa) yang melingkupi kompleks makam-mesjid yang dibangun Ki Gede
Pamanahan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sementara itu, sepanjang beteng
atau kuta ini terdapat parit-parit. Dikabarkan bahwa Senapati biasa menggunakan
perahu kecil atau kanu untuk menuju keratonnya dari bagian selatan. Beteng jaba
kota Mataram Islam ini dibangun meliputi kawasan 5 km memanjang dari
Grojogan ke Ngipik, serta lebih dari 5 km dari Ngipik ke Wioro dan dengan jarak
yang hampir sama dari Wioro ke Warung Bokodan kembali ke Grojogan. Luas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25 |BAB II
areal yang ada di bawah perlindungan beteng jaba atau kuta jaba meliputi wilayah
seluas 25 hingga 30 km persegi.Luas ini belum apa-apa dibandingkan dengan
Trowulan yang meliputi kawasan lebih dari 10 x 10 km persegi. Benteng luar
dibedakan dengan benteng dalam karena konstruksi dan bahan bangunannya. Pada
dinding kota bagian luar, Senapati tidak membangun dengan batu putih dengan
tebal lebih dari 30 cm dan tinggi lebih dari 2 meter, melainkan dengan dinding
batu bata setebal 60-70 cm dengan tinggi 2 hingga 3 meter. (lihat Gambar 2-6 dan
Gambar2-7).
Gambar 2-7 Kompleks makam-masjid Kota Gede (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26 |BAB II
Dari apa yang dapat dilihat di Kota Gede ini dapat dibicarakan beberapa
aspek:
· Inti Kota Gede dimengerti sebagai tempat kompleks Sarean
(kuburan) Panembahan Senapati itu berada, setelah Raja Mataram
Islam ini meninggal. Keraton Kota Gede sendiri tidak nampak
seperti pemakaman keluarga raja-raja. Kawasan di mana kuta yang
dibangun oleh Senapati masih dikenal sebagai permukiman
dalem/keraton. Mungkin struktur fisik keraton secara perlahan-
lahan hancur. Beberapa bagian pentingnya sejak 1618 dibawa
pindah ke Pleret, Kartasura kemudian ke Surakarta danYogyakarta.
Bisa diduga, bahwa di kompleks ini keraton Mataram Islam
pertama itu berdiri. Mesjid, makam, dan keraton merupakan
struktur-struktur utama dari apa yang disebut pusat Jagad-nya
Mataram Islam.Struktur fisik ini dikelilingi oleh dinding keliling
atau pager bhumi sehingga disebut kuta bukan pradesa.
· Pendirian benteng yang mengelilingi pusat kekuasaan· Mataram,
yang disebut pager bhumi itu, mengingatkan orang pada tradisi
karya rancang bangun Hindu. Dinding kelilingnya memberi nuansa
pengaruh karya rancang-bangun Hindu pada tata ruang Kota Gede.
Pengaruh ini dapat dilihat lebih jelas pada bentuk gapura serta
dinding yang dibangun dengan batu bata. Tempat pusat alias nabha
dalam pengertian negara-nya Kuta Gede ini jelas tidak menganut
aturan tata ruang sumbu yang menerus. Kompleks makam-mesjid
dapat dicapai dari arah timur, di mana alun-alun semula berada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27 |BAB II
Tempat di mana permukiman dan pasar berada masih merujuk ke
kawasan sekitar nama alun-alun ini. Sekarang, lokasi daerah yang
namanya alun-alun Kota Gede itu terisi oleh permukiman yang
padat.
· Di sekitar tempat pusat atau alun-alun inilah permukiman
berkembang tanpa mengikuti jalur-jalur yang aksial geometris atau
berupa sumbu-sumbu yang terencana. Jalur pencapaian yang ada
pada prinsipnya bebas dan dibentuk oleh dinding pagar halaman.
Regol atau pintu masuk ke masing-masing rumah dicapai melalui
jalur sirkulasi yang meliuk-liuk ini.
· Permukiman Kota Gede terdiri dari beberapa kelompok yang tidak
didasarkan oleh pola geometris sistematis, tetapi merupakan
compound yang terdiri dari beberapa keluarga. Setiap satu
compound dibangun dengan pembatas dinding keliling dari batu
bata terbuka atau diplester, dan terdiri atas 6 hingga 10 rumah. Di
kawasan yang disebut Jagalan, Purbayan, dan Basen dapat dilihat
struktur permukiman yang tunggal tidak berupa compound, seperti
di Singosaren dan Mutihan. Umumnya rumah tinggal dilengkapi
oleh pendapa yang dibangun di depan sebagai tempat tamu atau
kerja. Permukiman di Kota Gede ini dalam beberapa hal memiliki
persamaan dengan permukiman Bali Aga di Bug-bug.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28 |BAB II
II.3.2. Halun-Halun13
Dalam kenyataan fisiknya, yang disebut kuta atau negara itu selalu ada
halun-halunnya, yang kemudian disebut alun-alun. Mengapa bentuk dari ruang
terbuka ini segi empat atau hampir bujur sangkar? Di Yogyakarta dapat
ditemukan bentuk denah alun-alun yang jajaran genjang. Zoetmulder(1935)
menyebut adanya Mancapat yang sering dianut oleh orang Jawa sebagai pusat
orientasi spasial. Arah empat ini dipegang oleh orang Jawa dalam hubungannya
dengan empat unsur pembentuk keberadaan bhuwana: air, bumi, udara, dan api.
Dasar pembentuk kehidupan ini kemudian diturunkan sebagai dasar kategorisasi
untuk hal-hal lain, misalnya tata ruang pada kawasan alun-alun.
Hingga kini masih belum diketahui dengan pasti asal-usul alun-alun ini.
Jawa dikenal sebagai suatu budaya yang mengembangkan pemikiran tempat
bermukim lebih pada memberi atau mengenali sifat-sifatnya. Kata halun-halun
mungkin diasosiasikan dengan suatu tempat yang memiliki sifat telaga dengan
riak yang tenang. Sifat ini diperlukan oleh konsep kekuasaan Jawa sebagai
integrator segala keragaman peran, aspirasi, dan tradisi. Dengan kemampuan
integrasi dan toleransi yang tinggi, kemungkinan besar konsep halun-halun ini
merepresentasikan orang Jawa. Dapat diperkirakan bahwa lapangan terbuka ini
sudah ada sebelum masa Borobudur dan Prambanan dibangun, meskipun pada
relief-relief candi tersebut tak dilukiskan secara gamblang.
Hinduisme dan Buddhisme memberikan kontribusi perkembangan alun-
alun itu, sebab upacara-upacara kenegaraan Hindu pada khususnya membutuhkan
ruang terbuka untuk prosesi-prosesi ritual: penobatan Ratu, perkawinan agung,
13 Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia (A. Bagoes P. Wiryomartono)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29 |BAB II
dan penyambutan-penyambutan tamu mancanegara. Catatan-catatan Portugis dan
Belanda sekitar abad ke-17 banyak merekam adu macan di alun-alun. Jadi alun-
alun bukan sekedar tempat upacara tetapi juga tempat hiburan negara. Apakah
lapangan ini gagasan asli? Jika lapangan itu tidak pernah dikenal dalam tata urban
Jawa Hindu dan Buddha, tak akan ada konsep alun-alun itu.
Kata halun-halun sendiri berasal dari Bahasa Jawa Kuno (Kawi) bukan
Sanskerta. Jadi, bisa diduga bahwa lapangan terbuka itu orisinal Jawa.
Yang menarik untuk diketahui adalah kenyataan bahwa di Tanah Sunda
(Jawa Barat) dikenal alun-alun dengan konsep yang sarna dengan di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Mungkin terdapat campur tangan Belanda dalam memberikan
status administrasi kabupaten, karesidenan, kawedanan, pada daerah-daerah
tertentu yang berada dalam pengawasan administrasi Pemerintah Kolonial.
Dugaan ini semakin kuat oleh adanya bangunan penjara yang selalu ditempatkan
di utara berhadapan dengan Kabupaten yang berada di selatan.
Dalam kitab Negarakertagama tertulis dengan jelas bahwa keberadaan
alun-alun sudah dimulai sejak abad ke-14 peradaban Majapahit. Namun alun-alun
yang dimaksud hendaknya tidak dikacaukan dengan Lapangan Bubat. Lapangan
ini lebih dekat dengan pengertian suatu waterfront Majapahit terhadap Kali
Brantas.
Negarakertagama menyebut adanya bhawana (yang bisa diduga gudang-
gudang) dan mapanta (diduga hunian pedagang). Indikasi yang diberikan dari
inskripsi mengenai negara pada zaman Majapahit tidak cukup untuk membuat
rekonstruksi fisik, tanpa bantuan data-data galian arkeologi. Hingga saat ini
kemajuan di bidang arkeologi belum memadai dan masih terus berlangsung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30 |BAB II
Meskipun demikian, Stutterheim (1948) dengan cermat telah membuat suatu
dugaan rekonstruksi dari kota Majapahit di Trowulan. Hasil rekonstruksi ini
memperlihatkan bahwa struktur kota Majapahit memiliki bentuk yang tersusun
oleh beberapa jalan dengan arah-arah sesuai dengan mata angin. Dapat ditafsirkan
bahwa struktur simpul kota Majapahit serupa dengan Perempatan Agung-nya
Hindu Bali. Dan sumbu-sumbu mata angin-lah yang mengorganisir tata ruang dan
bangunan secara keseluruhan.
Sekalipun jalan-jalan nampak tidak direncanakan dengan pegangan pada
satu sumbu aksial yang dominan, tetapi orang akan melihat posisi sentral dari
istana dan alun-alun. Dari hasil rekonstruksi yang dibuat Stutterheim, istana
Majapahit merupakan suatu struktur yang tidak sederhana dalam hierarki ruang-
ruangnya. Struktur di dalamnya dibentuk oleh bangunan-bangunan yang dibatasi
oleh dinding penyengker yang pasagi. Struktur ini menunjukkan bahwa karya
rancang-bangun Hindu berpengaruh besar terhadap tata ruang Jawa Majapahit, di
mana ruang hidup atau tempat peribadatan dibentuk oleh struktur yang memberi
kepastian orientasi. Struktur bangunan yang didirikan di dalam tembok pasagi
yang mengelilinginya dalam Bahasa Jawa Kuno disebut bangsal atau binangsal.
Jika alun-alun itu memiliki dasar keberadaan sebagai tempat ritual-ritual
dan kegiatan sosial kenegaraan, ia akan dianggap sebagai bagian dari pusat
kekuasaan bersama keraton dan candi utama. Pasar tidak akan berada di sekitar
alun-alun sebab berhubungan dengan kehidupan sekuler dan sehari-hari. Fakta ini
tidak dilihat pada kasus Kota Gede, di sini pasar (Sargede) berada di atas lahan
alun-alun tempo dulu. Bisa jadi pada zaman Majapahit pun, kegiatan sekuler dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31 |BAB II
spiritual terjadi di tempat yang sama: alun-alun. Di Jawa dikenal apa yang disebut
hari pasar, yang memungkinkan tumpang tindihnya kegiatan sekuler dan spiritual.
Dalam denah kota
Majapahit hasil rekonstruksi
Stutterheim (1948) dan tulisan
Madaine Pont (1924) didapat
keterangan bahwa alun-alun
Majapahit bersama keratonnya
terletak sentral. Di tengah alun-
alun terdapat bangunan atau
monumen, mungkin tempat Sang
Ratu dan para menterinya duduk
untuk menghadiri upacara-
upacara. Di sekitar alun-alun ini
dibangun candi Buddha. Yang
menarik adalah fakta bahwa pura-
pura Hindu-nya dibangun di
pinggiran luar kuta-negara di
Trowulan.
Pada pusat-pusat kota
Yogyakarta (lihat Gambar 2-8)
dan Surakarta (lihat Gambar2-10)
terdapat dua alun-alun, utara dan
selatan. Alun-alun
Gambar 2-8Pusat kota Yogyakarta (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di
Indonesia)
Gambar 2-9Denah Kompleks Keraton Yogyakarta (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di
Indonesia)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32 |BAB II
Gambar 2-10Keraton Yogyakarta (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di
Indonesia)
utaramerupakan tempat resmi yang berhubungan dengan raja. Sementara alun-
alunselatan untuk putra mahkota sebagai persiapan untuk melakukanupacara-
upacara kenegaraan.
Situasi di alun-alun biasanya mudah diamatidari panggung
Sanggabhuwana. Menara pandang ini tidak nampak di Keraton Yogyakarta, tetapi
dominan di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada situs Trowulan menara pandang
ini dapat ditemukan sisa-sisanya. Dengan menara pandang yang tingginya lebih
dari 12 meter ini, Sang Raja dapat mengamati lebih saksama situasi di alun-alun
maupun pasar.
Hingga saat ini, yang
disebut alun-alun di Jawa masih
dianggap lapangan formal yang
erat kaitannya dengan upacara
kenegaraan. Lapangan Monas
atau hampir semua alun-alun di
Jawa tidak menampung kegiatan
komersial. Bisa dikatakan ada
kesan bahwa alun-alun
mempunyai makna spiritual.
Betulkah konsep ini berakar dari
peradaban Jawa Hindu-Buddha?
Atau ini semua rekaan Sang
Penguasa Kolonial untuk
memperkuat kedudukan para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33 |BAB II
bupati yang diawasinya supaya tidak dekat dengan rakyatnya?
Perubahan konsep alun-alun dapat ditemukan pada kasus kota Bandung.
Semula alun-alun Bandung merupakan pendukung perkembangan kota kembang
dipimpin oleh Bupati Wiranata Kusumah (1846-1874) di bawah instruksi
Gubernur Jendral van Hoevell, penerus Daendels. Alun-alun Bandung ini
dibangun beserta mesjid dan kabupatennya atas permintaan Pemerintah Hindia-
Belanda. Dengan demikian, alun-alun Bandung bukan dibangun atas dasar
aspirasi pribumi. Pemerintah Hindia-Belanda bermaksud untuk mempermudah
kontrol pada kekuasaan lokal jika pusat pemerintahannya berada di sepanjang
Grote Postweg.
Belanda sejak VOC abad ke-17 sudah sangat berpengalaman
memanfaatkan konsep maupun kekuasaan lokal. Perubahan konsep alun-alun
sebagai tempat upacara negara menjadi taman umum kota berlangsung di
Bandung sejak 1967. Sekarang alun-alun ini telah menjadi taman kota, bukan
sebagai kekosongan yang hanya digunakan untuk upacara-upacara kenegaraan.
Perubahan makna alun-
alun sebagai tempat terjadinya
dunia dalam konteks ritual
spiritual menjadi taman atau
ruang terbuka umum kota,
adalah konsep urban yang dapat
berkembang dalam kehidupan
bermukim modern. Kebutuhan
masyarakat kota akan upacara Gambar 2-11Pusat kota Surakarta
(Sumber : Bonnef, 1986: 296)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34 |BAB II
atau ritual-ritual kenegaraan akan didesak oleh kebutuhan pragmatis ekonomis
urban modern. Yang menarik untuk diketahui adalah kenyataan bahwa persepsi
masyarakat terhadap alun-alun seperti maknanya semula tetap terpelihara dengan
adanya kegiatan ritual yang berpusat di mesjid, meskipun hanya sekali-sekali.
Misalnya pada hari Idul Fitri atau Idul Adha.
Sultan Agung merupakan salah seorang raja Jawa yang sangat cerdik
dalam memelihara makna yang dimiliki alun-alun ini. Sekatenan atau upacara
Grebeg merupakan suatu tradisi upacara yang akan mampu membina makna
urban Jawa dari keberadaan alun-alun. Dengan adanya upacara ini, konsep negara
yang terjadi melalui pesta kenegaraan selalu diaktualisasikan. Tradisi-tradisi yang
dimiliki Jawa dari Hindu dan
Islam dapat berpadu dalam satu
upacara sekaligus. Upacara ini
fenomenal bagi budaya
bermukim urban, sebab kaitan
antara fungsi-fungsi dalam
ketatanegaraan Jawa
menampakkan diri sebagai suatu
konsep dunia yang khas, yang
maknanya bukan sekadar festival,
tetapi ada hal-hal yang sakral.
Semua ini menampakkan diri
dalam bentuk puisi kekuasaan Gambar 2-12Keraton Surakarta (Sumber : Bonnef, 1986: 292)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35 |BAB II
yang penuh simbol. Orang modern yang tidak terbuka untuk belajar, mungkin
akan menganggap peristiwa atau peringatan Sekatenan sekadar pasar malam.
Jika pengertian sentra dari negara itu terjadi di alun-alun lalu bagaimana
kaitan lapangan ini dengan permukimannya? Tatanan permukiman yang ada di
Yogyakarta maupun hasil rekonstruksi Trowulan oleh Stutterheim sendiri tidak
langsung berkaitan dengan pola memusat. Ada indikasi yang dapat ditelusuri
konsep dasarnya, bahwa permukiman negara cenderung pada pola linier yang
menyebar dari alun-alun menurut empat arah utama. Posisi alun-alun sendiri
cenderung sebagai pusat orientasi mata angin.
Meskipun memiliki pusat yang berbentuk ruang terbuka, pengendalian
atau pengawasan penduduk yang besar dalam wilayah negara tidak
mengandalkan perencanaan struktur fisik yang geometris dengan bentuk dasar
tertentu. Dari struktur yang dapat ditangkap dari Kota Gede, Trowulan, maupun
Majapahit, orang cenderung mengatakan, bahwa struktur sosial masyarakat Jawa,
sekalipun hierarkis, tidak memperlihatkan sifat otoriter tegas. Struktur yang
egaliter14 nampak lebih dominan pada kota-kota Jawa ini. Hubungan konsep pusat
dan rakyat nampak lebih cenderung melalui kegiatan ritual upacara-upacara masal
di alun-alun negara. Di sini, ratu dianggap sebagai pusat kekuasaan sekaligus
pusat kegiatan ritual. Posisi ini mendukung struktur fisik permukiman urban lebih
terkonsentrasi pada ruang kegiatan upacara di depan keraton. Hingga saat ini,
belum cukup data yang memuaskan untuk memberikan rekonstruksi kota Jawa
masa Mataram Sanjaya-Syailendra hingga Majapahit.
14Egaliter berarti bersifat sama; sederajat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36 |BAB II
Apakah dengan data yang bisa dilihat di Karang Asem, Bali, dan di
Keraton Yogyakarta dan Surakarta, bisa ditelusuri konsep fisik negara? Ada
petunjuk umum bahwa pengertian ruang yang morfologis tidak dikenal di Jawa.
Hal ini ditunjukkan bukan saja pada fakta saat ini, tetapi data-data catatan Cina
abad ke-7 hingga ke-10 pun tak memberi titik terang. Ruang luar sebagai titik
tolak perencanaan dan perancangan fisik tidak sentral, tetapi ruang urban sebagai
pusat kegiatan ritual punya nilai tersendiri. Di sini, dapat diduga bahwa apa yang
disebut negara itu bisa jadi tak lebih dan tak kurang sebagai 'event' yang merujuk
pada kepentingan upacara.
Makna kekuasaan ritual dan sekuler diulangi dalam kalender beberapa
peristiwa. Konsep kekuasaan yang manunggal ini terus-menerus dibina sebagai
bagian dari tradisi urban dari zaman Mataram Hindu-Buddha hingga sekarang.
Jika dugaan ini benar, persepsi orang Jawa pada khususnya dan Indonesia secara
umum tentang kota bukan merujuk pada fisik. Rujukan mereka pada 'kejadian'
berkumpul dalam memperingati suatu peristiwa yang mempertautkan
kepentingan-kepentingan: sosiokultural, ekonomi, dan spiritual.
Jika persepsi kota merujuk pada bangun atau struktur fisik, sudah tentu ini
semua bertalian dengan organisasi sosial bermukimnya. Tetapi kenyataan
menunjukkan bahwa secara fisik, struktur permukiman urban Jawa hingga kini
cenderung linier. Pencapaian menjadi hal penting dalam tata letak. Ruang luar
yang morfologis tidak nampak dominan dalam tata letak permukiman.
Yang menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah fakta bahwa linieritas ini
menjadi bagian dari kegiatan sosial ekonomi di luar bangunan, sementara kegiatan
ritual lekat dengan pusat-pusat kekuasaan. Konsep alun-alun sendiri bisa dilihat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37 |BAB II
sebagai upaya memadukan dua kepentingan ritual yang berpusat pada keraton
atau kabupaten dan mesjid. Sementara itu, yang disebut jalan bukan semata-mata
tempat orang berjalan, tetapi lebih bermakna sebagai pusat interaksi sosial-
ekonomi di luar rumah.
Apakah dua beringin kembar yang ditanam di tengah-tengah alun-alun itu
berkaitan dengan konsep dasar halun-halun? Di Yogyakarta maupun dikota-kota
kabupaten atau kadipaten di zaman Kolonial Belanda, alun-alun selalu lekat
dengan adanya dua beringin kurung pad a sumbu yang ditarik dari kabupaten atau
kadipatennya.
Di Kota Gede, masyarakat setempat secara turun temurun masih
mengingat adanya dua beringin itu di alun-alunnya. Tengaran utama dari
kompleks keraton sekarang adalah tempat di mana Watu Cilang dari Raden
Rangga disemayamkan. Sekitar tempat yang dikeramatkan ini ditanam empat
beringin yang mengitarinya. Beringin sebagai tengaran kitha di Kerajaan Mataram
Kota Gede ditanam oleh Ki Gede Pamanahan atas restu Sunan Kalijaga di muka
kompleks makam-mesjid. Beringin tua itu kemudian diberi nama oleh Sunan
Kalijaga. Sejak kapan sebenarnya beringin mulai digunakan sebagai tengaran
pusat kota? Apakah dengan demikian alun-alun di zaman Majapahit pun punya
beringin kurung pula? Dalam peradaban Hindu-Buddha, beringin dianggap sangat
tepat untuk tempat mendapat inspirasi. Di dalam kitab Negarakertagama, adanya
beringin kurung ini disebut, tetapi posisinya tidak terlalu jelas. Pohon beringin
dalam tradisi Hindu-Buddha dipercaya sebagai tempat yang memberikan
kesempatan untuk mencapai pengetahuan hidup sejati. Dalam kepercayaan Jawa,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38 |BAB II
pohon ini sering dianggap angker dan memiliki potensi sebagai tempat kekuatan
yang tak terlihat.
II.3.3. Marga dan Ratan15
Apa yang disebut marga sebenarnya telah menjadi identik dengan jalan.
Tetapi apa yang dimaksud dalam konsep asalnya, marga berkaitan dengan
penyebab adanya jagad sehari-hari. Ini untuk membedakan dengan halun-halun.
Marga mengindikasikan adanya lantaran atau laku sehingga sesuatu
terjadi. Dunia sehari-hari orang Jawa terjadi oleh adanya marga, yang
mengantarkan dunia umum menampakkan dirinya. Dalam perkembangan
berikutnya, marga sebagai jalan tenggelam oleh konsep lain ratan yang merujuk
pada dunia publik.
Rat adalah Bahasa Jawa Kuno untuk konsep 'dunia umum'. Nama Raja
Amangku Rat sebenarnya tidak lain dari pengukuhan sang penguasa atas dunia,
bahwa ialah yang memangku kehidupan di dalamnya. Konsep Rat ini diduga
tenggelam setelah pengaruh Hindu-Buddha dengan bahasa Sansekertanya menjadi
bahasa resmi keraton sejak pemerintahan Dinasti Sanjaya dan Syailendra.
Raja-raja Jawa setelah Sultan Agung Hanyakrakusuma kemudian
menggunakan kata Rat kembali, mungkin untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat akan konsep kuno mereka akan dunia.
Apa yang disebut Rat kemudian Ratan itu bukanlah jalan atau permukaan
yang rata, tetapi suatu konsep yang mampu merangkum dunia publik, negara,
15 Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia (A. Bagoes P. Wiryomartono)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39 |BAB II
rakyat, dan semua kejadian di atas bumi pada suatu kaum atau kejadian-kejadian
yang erat kaitannya dengan kesadaran.
Rat adalah kata antonim dari tanrat yang artinya tak sadarkan diri. Jadi
konsep dunia yang asli dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno itu tidak abstrak
seperti apa yang diungkapkan oleh pengertian bhuwana. Jalan di luar pawisman di
mana kehidupan bermasyarakat terjadi itulah ratan.
Sementara, marga memberi indikasi penyebab atau lantaran terjadinya rat
itu. Jadi, marga adalah sarana untuk memungkinkan adanya atau eksistensinya
dunia sehari-hari. Jika persepsi masyarakat Jawa terhadap jalan umum itu adalah
tempat dunia di luar rumahnya, sarana ini sebenarnya bukan sebagai tempat lalu-
lalang dengan kecepatan tinggi. Di dalam modernitas kehidupan urban abad ke-20
ini, apa yang disebut jalan identik dengan jalur sirkulasi kendaraan bermotor.
Yang menarik pada jaringan jalan pada Kuta Trowulan Majapahit adalah
terlukisnya jaringan jalan utama yang membentuk dua avenue yang saling
berpotongan (Stutterheim:1948).
Jika hasil rekonstruksi kota Majapahit karya Stutterheim benar, maka apa
yang disebut marga pada kuta-negara Majapahit itu tidak lebih dan tidak kurang
sebagai ruang terbuka kota yang memberikan pedoman pembangunan. Pada
marga-marga kecil ruang umum kota itu diciptakan, sementara pada marga
utama lebih memberikan konotasi orientasi dan mobilitas transportasi untuk bala
tentara.
Dasar lain dari pembangunan marga utama tidak bisa dilepaskan dari
kemungkinan adanya prosesi ritual atau upacara yang memerlukan ruang gerak
linier untuk parade di muka Wanguntur atau balairung di muka keraton. Seberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40 |BAB II
seringkah upacara kenegaraan yang identik dengan 'grand festival' itu terjadi di
Majapahit?
Apakah jalan merupakan unsur utama pembentuk struktur kota-kota Jawa?
Yang pasti diketahui adalah, bahwa ruang umum terbuka tidak menjadi bagian
pembentuk struktur dan citra kota. Alun-alun sendiri merupakan ruang terbuka
yang lepas. Ia tidak dibentuk secara meruang oleh struktur atau bangunan
sekitarnya sehingga membentuk suatu enclosure yang terencana. Tetapi, dinding-
dinding penyengker yang terlihat di Kota Gede membentuk lorong-lorong untuk
sirkulasi pejalan kaki yang dikenal sebagai padamarga. Bahkan pada bangunan-
bangunan yang menghadap ratan terlihat struktur lorong yang memiliki skala
manusia.
Sekalipun belum terungkap secara terperinci bahwa marga tidak menjadi
struktur pertama pembentuk tata ruang kuta adhiraja Majapahit di Trowulan,
namun ada karakter khas yang perlu diperhatikan. Karakter ini adalah Catuspatha
yang pada tradisi tata ruang tradisional Bali disebut Caturmuka atau Prapatan
Agung atau simpang empat. Pada posisi ini bangunan-bangunan negara yang
penting berada. Di Trowulan Majapahit pada simpang empat ini berdiri Kuta
adhinarphati (di mana keraton berada), Brahmasthana (pohon beringin yang
besar), Peken Agung atau pasar besar, dan Lebuh atau lapangan terbuka yang
dibiarkan tak ditempati oleh bangunan dan bukan alun-alun. Simpang empat ini
menjadi pedoman orientasi arah-arah yang akan diambil ke dalam atau ke luar
kuta. Sementara pohon-pohon beringin ditanam berjejeran sebagai elemen ruang
terbuka umum yang memberikan indikasi kawasan kuta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41 |BAB II
Jika jaringan marga itu tidak berperan penting dalam memberi bentuk
struktur kota Jawa di Majapahit atau Kota Gede, pasti ada unsur fisik lain yang
membimbing orang pada pengertian strukturnya. Yang pasti bisa diketahui adalah,
bila marga menjadi pembentuk struktur dasar fisik urbannya, maka akan nampak
pola geometris yang tegas, sekalipun tidak harus aksial. Di Kota Gede hal ini
tidak dijumpai. Marga yang terbangun lebih mudah dimengerti sebagai akibat
bukan sebab dari pembangunan yang bertahap bermula di sekitar sentra utama dan
sentra-sentra selanjutnya. Sentra utama Kota Gede adalah tempat tinggal
Panembahan Senapati, sementara sentra-sentra lainnya tempat tinggal para
pangeran atau orang penting dari kerajaan Senapati.
Di kota Yogyakarta orang akan menyaksikan adanya sumbu dari Keraton
menembus alun-alun terus melalui Jalan Malioboro ke Tugu dan Gunung Merapi.
Apakah ini suatu tata ruang Jawa? Orang patut mencurigai pedoman tata ruang
dan bangunan kota menurut sumbu ini pada campur tangan arsitek Barat (Belanda
atau Portugis)16. Dalam Bahasa Jawa konsep garis aksial itu sesuatu yang asing.
Pembuatan tata ruang dengan bentuk perspektifis ini membutuhkan penggunaan
teropong dan alat ukur berpresisi tinggi.
Dari struktur fisiknya, nampak jelas bahwa permukiman yang berkembang
di luar kawasan sumbu Tugu-Keraton itu berupa 'kampung' yang tidak
berpedoman pada pola marga tetapi pada teritorialitas penyebaran pusat-utama ke
pusat-pusat anak buahnya. Marga terbangun, tidak dibangun mendahului
16Keraton Yogya (dibangun 1755) banyak menampakkan pengaruh campuran Hindu Majapahit dengan Barok Italia dan Gothik Spanyol. Terlihat dari Taman Sari (1758) yang dirancang orang Portugis. Sejak Senapati hingga Sultan Agung, juru taman keraton adalah orang Eropa atau Cina (De Graaf, 1987:88-89). Oleh karena itu, bisa jadi Keraton Yogyakarta bukan sepenuhnya rancangan arsitek Jawa, namun di bawah nasihat ahli Belanda atau Eropa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42 |BAB II
permukiman, merupakan penghubung antarsentra yang ada: Pakualaman,
Gondomanan, Suryodiningratan, Prawirotaman, Tirtodipuran, Mangkuyudan,
Sosrowijayan, Jogokarsan, Suryatmajan, Pringgokusuman, Bausasran,
Purwanggan, dan seterusnya. Nama-nama daerah ini dikenal dan diidentifikasikan
pada para pangeran yang dipercaya oleh Sang Ratu untuk mendiaminya.
Permukiman rakyat yang menjadi pengikut atau kawula dari pangeran itu
mengikuti prinsip tata ruang yang disebut di Yogya magersari. Artinya
permukiman mengelilingi ghrya Sang Pangeran tertentu itu dalam rangka
membangun pagar yang indah. Sari sendiri berarti inti. Jadi, apa yang dimaksud
dengan tata ruang magersari adalah membangun tempat bermukim mengelilingi
sebuah pusat kekuasaan yang mewakili kekuasaan keraton di tanah itu. Beberapa
kawasan tidak memiliki pola ini, misalnya: Tukangan, Godean, Mergangsan,
Jagalan, dan seterusnya. Kelompok permukiman yang berkembang di sini ada
yang berkaitan dengan profesi tertentu ada pula yang sekedar nama, artinya tidak
mengikuti tata ruang magersari.
Dengan dasar tata ruang yang membentuk 'compound' permukiman yang
berinti pada tempat tinggal Sang Penguasa ini, maka tidak mengherankan bila
jalan-jalan tradisonal itu tidak perlu lurus-lurus, bukan hanya karena moda
transportasi yang dipakai berkecepatan di bawah 30 km per jam,tetapi juga titik
tolak pembangunannya yang bukan didasarkan atas perencanaan dan desain
arsitektural. Dalam tata kehidupan negara, marga pun memiliki fungsi yang
penting dalam menghidupkan aktivitas ekonomi. Aktivitas semacam ini bisa
diduga tempatnya tak akan jauh dari tepian jalan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43 |BAB II
II.3.4. Pasar atau Peken17
Pasar secara harfiah berarti berkumpul untuk tukar menukar barang atau
jual beli sekali dalam 5 hari Jawa. Pasar diduga dari kata Sanskerta
Pancawara.Pasar dalam konsep urban Jawa adalah kejadian yang berulang secara
ritmik dimana transaksi sendiri tidak sentral. Yang sentral dalam kegiatan pasaran
adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa. Berkumpul dalam arti
saling ketemu muka dan berjual beli pada hari pasaran menjadi semacam
panggilan sosial periodik. Kata lain dari pasar adalah peken yang kata kerjanya
mapeken artinya berkumpul.
Peken adalah tempat berkumpul yang tidak berkaitan dengan upacara.
Berbeda dengan berkumpul karena ada 'gawe' atau upacara atau 'slametan',
kegiatan pasar atau peken tidak dititipi oleh ritual dan simbol-simbol. Ini menjadi
petunjuk, bahwa hari pasar bukanlah peristiwa dimana manifestasi kekuasaan itu
mengalami proses transformasi. Pada pertemuan ritual atau 'slametan', orang Jawa
percaya adanya transformasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi stabilitas
Jagad Jawa. Jika pasar dipandang sebagai kejadian periodik yang tidak
bersangkut-paut dengan konsep kekuasaan secara langsung,letak pasar secara
urban Jawa tidak akan di alun-alun. Pasar akanmenjadi kejadian di luar alun-alun
dan masuk ke dalam kegiatan margayang menyebabkan kehidupan dunya bisa
berlangsung.
Pasar atau peken di kehidupan urban Majapahit terletak di simpang empat
yang menjadi titik orientasi sebelum masuk ke kuta-negara. Dari titik inilah dapat
diketahui daerah-daerah yang ada dalam kawasan urbannya. Peken Agung
17 Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia (A. Bagoes P. Wiryomartono)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44 |BAB II
memiliki arti tersendiri bagi Majapahit, karena di tempat inilah pertempuran besar
terjadi. Mungkin inilah tempat pertempuran antara Pajajaran dan Majapahit akibat
kesalahan fatal Maha Patih Gajahmada di alun-alun Bubat. Peken Agung disebut
dalam sejarah Majapahit bukan sekadar pasar tetapi tempat yang mengingatkan
pada kepahitan sejarah.
II.3.5. Mesjid dan Pusat Kekuasaan18
Mesjid kota Jawa hampir selalu berada di kawasan alun-alun sebelah
barat. Pusat kekuasaan ditempatkan hampir selalu di bagian selatan dan
menghadap ke alun-alun. Sumbu bangunan mesjid dan pusat pemerintahan
diusahakan bertemu di bagian tengah alun-alun. Arah atau orientasi sembahyang
ke Kiblat tidak selalu menjadi sumbu bangunan mesjid. Keunikan tata bangunan
ini memberikan arah penafsiran yang berbeda-beda. Di antara penafsiran itu
adalah struktur fisik yang membentuk konsep kuta-negara itu memiliki kepatuhan
pada satu sistem orientasi yang berpangkal pada bentuk pasagi alun-alun.
Apakah orientasi ini perlu taat pada Mancapat? Jawaban pertanyaan untuk
ini masih perlu kajian lebih jauh disertai dukungan data baru. Kesatuan struktur
dari bangunan pusat kekuasaan dan mesjid bisa dianggap sebagai representasi
terpangkunya jagad oleh dua struktur kelembagaan yang mengatur kehidupan
manusia. Kegiatan sembahyang sendiri dapat ditafsirkan sebagai bagian dari
elemen jagad yang dapat menyesuaikan diri. Jadi, bangunan akan menjadi wadah
terjadinya jagad yang dianggap perlu struktur yang mantap dan bersatu.
18 Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia (A. Bagoes P. Wiryomartono)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45 |BAB II
Sebaliknya, manusia sebagai pengisi struktur yang mantap itu dipandang dapat
selalu luwes mengikuti tatanan wadahnya.
Selain mesjid dan keraton, di dalam kuta-negara Majapahit dikenal banyak
bangunan yang berkaitan dengan ketatanegaraan dan kehidupan urban. Bangunan
kamentrian merupakan tempat kerja para menteri negara. Letaknya tidak terpusat,
tetapi tersebar di dalam kawasan sekitar pusat kota di luar keraton. Bangunan
institusi pemerintah lainnya adalah: Kadhyaksal/Kadharmmadhyaksa (kejaksaan),
Gosti (tempat berunding), Kusalasala (rumah sakit), Nyasa (balai serba guna),
Nrttasala (sanggar tari), Witana (balai untuk pesta-pesta kenegaraan di dalam
maupun di luar keraton), dan seterusnya. Sementara bangunan peribadatan
chaitya19 atau Pura ditempatkan tersebar. Di sekitar alun-alun Bubat nampak
candi Buddha, yang mengundang pertanyaan: mengapa bukan candi chiva?
Diketahui pula bahwa pemakaman Islam Torloyo yang bertarikh 1281 ada di situs
Trowulan. Tidak mengherankan bahwa berbagai keyakinan hidup berdampingan
secara damai di Majapahit. Buddha dan Hindu sudah memulai hidup
berdampingan ini sejak dari tanah asalnya: India.
Biasanya bangunan-bangunan peribadatan atau chaitya dan biara dan juga
pertapaan merupakan mandala atau tanah yang dibebaskan dari pajak dan diberi
otonomi untuk mengatur administrasi sendiri. Tanah demikian sering disebut
tanah perdikan. Mandala semacam ini tetap di bawah perlindungan aparat
keamanan Keraton. Di alun-alun Bubat, berdirinya candi Buddha itu mungkin
berkaitan dengan keyakinan yang dipeluk Sang Ratu yang membangun kuta-
19 Chaitya adalah sebuah kuil Buddha atau Jain termasuk stupa. Dalam teks-teks modern pada arsitektur India, istilah chaitya-Griha sering digunakan untuk menunjukkan ruang pertemuan atau doa yang rumah stupa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46 |BAB II
negara di Trowulan pertama kalinya. Bisa jadi Raden Wijaya adalah pemeluk
ajaran Buddha, sementara Hayam Wuruk pemeluk ajaran Hindu chiva/Siwa.
Karakteristik untuk mesjid negara di Jawa, mungkin juga di Indonesia,
adalah kaitannya dengan makam orang-orang yang dianggap penting seperti para
raja dan wali. Kudus, Demak, dan Kota Gede membuktikan hal ini. Sejarah
Hindu-Buddha tidak bisa diabaikan dalarn mengaitkan antara makam dan candi,
meskipun tidak semua candi dipakai untuk mengabadikan abu jenazah. Candi
yang digunakan untuk mengabadikan Raja Singasari, Kertanegara, tidak
digunakan untuk peribadatan. Mesjid dan makam menjadi satu sistem tata ruang
yang secara mencolok ditemukan pada tempat tempat di mana 8 wali dikuburkan.
Mesjid Kota Gede yang dibangun oleh Ki Gede Pamanahan, ayah Panembahan
Senapati, dipertautkan dalam satu sistem tata ruang sarean Raja Mataram Islam
pertama itu. Mungkin makam Nabi Muhammad SAW dijadikan contoh
keterkaitannya dengan mesjid yang berdiri di situ.
II.3.6. Pawisman atau Pamohan20
Permukiman dalam konsep urban Jawa merupakan suatu perluasan dari
Dalem Keratan hingga kawasan Negara Agung. Ada beberapa terminologi yang
digunakan untuk menyebut tempat tinggal. Konsep dalem berarti suatu teritori
tempat suatu dunia keluarga bermula. Secara fisik apa yang disebut hunian atau
tempat tinggal seseorang Jawa dalam terminologi dalem itu adalah di dalam pagar
di mana rumah didirikan. Kata omah sendiri dekat dengan pengertian humah
dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti lantai yang bisa ditinggali. Ini berarti
20 Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia (A. Bagoes P. Wiryomartono)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47 |BAB II
bahwa di dalam budaya Jawa, konsep rumah itu tidak merujuk semata-mata pada
fisik bangunannya, tetapi di dalam wilayah di mana seseorang dan keluarganya
tinggal. Ketidakpermanenan rumah mungkin erat kaitannya dengan pemikiran
'tempat tinggal' sebagai kampung halaman, bukan bangunan. Keterikatan sosial
yang memberikannya rasa aman dan teritorialitas halaman yang diakui oleh
masyarakat sebagai dalem-nya, merupakan struktur utama konsep hunian itu.
Dalam budaya Jawa, tempat tinggal juga merujuk pada kalenggahan dan
ngasta alias bekerja. Duduk atau lenggah itu sendiri menunjukkan suatu posisi
memberi indikasi menetap. Duduk sendiri dalam budaya Jawa merupakan suatu
aktivitas yang memberikan informasi mengenai posisinya dalam tata ruang
negara. Jarak dan peran (ngasta) ini akan memberikan petunjuk kaitannya dengan
pusat kekuasaan. Perlu dicatat di sini bahwa jarak tempat tinggal seseorang
terhadap keraton tidak bisa dijadikan petunjuk kedudukan orang itu tanpa tahu
ngasta apa yang dilakukannya.
Kata ngasta sendiri berarti secara harfiah/kasar menangani. Kehidupan
dunia Jawa tidak lepas dari asta atau 'tangan-tangan' yang terlibat di dalamnya
sehingga berputar dan berkembang. Sangat menarik kaitan konsep asta ini untuk
ditelaah lebih lanjut kaitannya dengan pemikiran Heidegger (1927) yang
disebutnya: Zuhandenheit. Dunia di mana manusia hidup menurut pemikiran
Heidegger berdiri di atas suatu struktur yang dipahami dan karena itu semua yang
ada termasuk manusia, benda, alam, dan seterusnya berada pada kondisi 'teraih
oleh tangan', sebagai kata kiasan kerja yang dilakukan orang karena memahami
dunianya. Dari pemahaman inilah seseorang mampu menciptakan tempat tinggal
yang membuatnya kerasan/betah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48 |BAB II
Dalam perwujudan fisiknya, yang disebut hunian atau pawisman dalam
budaya Jawa memiliki hierarki status yang dikaitkan dengan hubungan kepala
keluarga yang bersangkutan dengan pusat kekuasaan. Hunian bermula dari: omah,
grhya, graha, puri hingga keraton. Di keraton pun ada berbagai kategori menurut
orang-orang yang tinggal di situ. Masyarakat biasa tinggal di sekitar pusat-pusat
kekuasaan, dari rumah patih, bhupati, mentri, pangeran, hingga Sang Ratu. Di
desa-desa dalam kawasan Negara Agung di luar Jaba sebuah kuta, tidak dikenal
nama-nama yang berkonotasi 'privilege' pada rumah-rumahnya. Mereka hanya
mengenal tempat tinggal seseorang sebagai omah.
Secara epistemologi21, rekonstruksi kota Jawa lama dapat dibuat. Makam-
mesjid merupakan salah satu struktur penting bagi rekonstruksi ini, sebab fasilitas
mesjid merupakan salah satu pusat kegiatan sosial spiritual masyarakat hingga
kini. Kompleks makam-mesjid ini merupakan struktur yang terus menerus
dipelihara masyarakatnya. Sementara keraton dan pasar serta alun-alun bisa saja
berubah atau dipindahkan atau lenyap.
Pengalaman kota Surabaya (Multhaupt & Santoso, 1987:128) memberikan
keterangan, bahwa sekalipun kota Surabaya telah berubah secara fisik, namun
beberapa daerah tetap menggunakan konsep aslinya: Kepraban (tempat para
pembesar keraton), Kepatihan (wilayah tempat tinggal patih kerajaan), Ngabla
(lumbung keraton), Kranggan (wilayah para pande keris), Pandean (wilayah para
pande besi), Pengampon (tempat produksi keramik terakota), Pencindilan (tempat
21 Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49 |BAB II
penghasil kain tenun), Pegirian (tempat para pekerja kasar), Ngaglili (tempat
membudidayakan kain katun), Ketabang (tempat membudidayakan bahan
bangunan bambu), Jagalan (tempat pemotongan hewan), Keputran (tempat
pendidikan dan tinggal putra-putri pangeran keluarga kerajaan), dan sebagainya.
II.3.7. Dari Kuta-Negara ke Kota Modern22
Dalam perkembangan tradisi politik Jawa, pergeseran kekuasaan dari
daerah pesisir, Demak ke Yogyakarta, merupakan awal dari pemantapan konsep
Negarigung. Konsep ini memantapkan kawasan atau daerah Yogyakarta sebagai
pusat dunia. Daerah-daerah lain di luar, disebut Mancanegari dan Pesisir, dan
akhirnya Tanah Sabrang. Apa yang disebut Negarigung itu tak lain dan tak bukan
adalah tempat keraton berada dan daerah sekitarnya yang berlapis-Iapis dari Jeron
Mbeteng hingga daerah para buphati yang berbatasan dengan Mancanegari.
Konfigurasi yang berlapis-Iapis dari konsep kekuasaan Jawa sekitar abad
ke-17, ketika Sultan Agung berkuasa, memperlihatkan spektrum halus-kasar dari
pusat (keraton) ke luar. Sedangkan dalam organisasi teritorialnya, desa-desa di
kawasan Negarigung terstruktur dalam prinsip Mancapat. Prinsip ini dibangun
oleh ikatan lima desa yang saling bekerjasama dalam gotong royong untuk
mengerjakan daerah pertanian sawah dan bantuan bila terjadi malapetaka
(Koentjaraningrat, 1984:431-432).
Konsep Mancapat ini membentuk mata rantai yang sangat efektif untuk
kerjasama sosial dan ekonomi dalam produksi pertanian. Hal ini tidak terjadi di
daerah pesisir karena kebutuhan kerjasama semacam ini tidaklah dominan.
22 Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia (A. Bagoes P. Wiryomartono)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50 |BAB II
Sementara di kawasan Mancanegara kebutuhan struktur Mancapat bisa jadi ada,
namun tidak dikaitkan dengan struktur kekuasaan seperti yang ada pada
Negarigung.
Struktur Mancapat yang dimantapkan di Negarigung oleh Sultan Agung
Hanyakrakusuma (1613-1645) diangkat ke dalam pemahaman kosmologis23 yang
dikenal dalam Primbon Jawa. Jadi Primbon merupakan interpretasi kosmologik
untuk memberi nilai elemen-elemen yang membentuk Mancapat: desa, arah,
warna, dan kala.
Primbon ini memantapkan prinsip Mancapat dengan simbolisasi kosmik,
sehingga desa-desa yang terlibat mempunyai tempat yang berharga dalam
gambaran dunia keseluruhan.
Puser atau pusat setiap struktur Mancapat tidaklah berarti pusat kekuasaan
terhadap empat desa sekitarnya dalam konstelasi mata angin. Puser dalam hal ini
diartikan kedudukan suatu desa terhadap empat desa yang mengitarinya.
Hubungan antara desa-desa itu terhadap sub-sub pusat Negarigung dinyatakan
dengan setoran pajak berkala.
Sementara kabupaten sebagai subpusat akan mengirim upeti ke pusat
Negarigung secara berkala pula. Sebagai imbalannya, Negarigung menjamin
keamanan teritorial dari kemungkinan infiltrasi mancanegara. Perlindungan ini
diperhalus oleh suatu konsep spiritual mengenai makna pusat kekuasaan sebagai
kiblat dari praktek ritual.
23Kosmologi berarti [n] (1) ilmu (cabang astronomi yg menyelidiki asal-usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dr alam semesta; (2) ilmu tt asal-usul kejadian bumi, hubungannya dng sistem matahari, serta hubungan sistem matahari dng jagat raya; (3) ilmu (cabang dr metafisika) yg menyelidiki alam semesta sbg sistem yg beraturankos.mo.lo.gis[a] bersifat atau berhubungan dng kosmologi (http://kamusbahasaindonesia.org/kosmologi/)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51 |BAB II
Kesultanan Yogyakarta memakai nama Hamengkubhuwana, sementara di
Kasunanan Surakarta dipakai Pakubhuwana. Kedua nama Ratu Jawa tersebut
secara jelas memberikan pengukuhan pada kaitan konsep dunia dengan pusat
kekuasaan. Yang menarik untuk diperhatikan adalah indikasi bahwa Sang Ratu
memiliki peran yang 'mendefinisikan' dunia baik dalam pengertian memangku
maupun memaku. Ada kecenderungan untuk membuat dunia Jawa itu 'terpegang'
dan tidak bergerak di luar pengendalian. Ini berarti bahwa di mana negara itu
berpusat, di situlah 'pegangan' orientasi maupun kehidupan itu bersumber. Jika
dugaan ini benar, maka struktur fisik kuta-negara itu memiliki representasi
penampung yang mampu untuk berorientasi. Struktur inilah yang bisa dilihat
orang pada alun-alun. Negara sebagai Jagad hanya mungkin menunjukkan dirinya
pada event/ereignis di alun-alun. Konsep Manunggaling Gusti Ian Kawula secara
fenomena hanya akan bermakna di lapangan terbuka alun-alun.
Terintegrasinya konsep kekuasaan dalam praktek ritual ini kemudian
menjadi bagian dari karakter khas kesejarahan kota-kota di Jawa. Kejadian-
kejadian penting dalam pembangunan kota tidak luput dari ritualisasi yang dibuat
oleh pemegang tampuk kekuasaan. Pembangunan jembatan, pendirian gedung
penting, perayaan peristiwa penting, dan peringatan kejadian menjadi bagian dari
pembentuk citra kota Jawa itu. Semua praktek ritual itu memperkuat gagasan kota
sebagai negara. Kota dalam pemikiran Jawa nampaknya bukan suatu sistem
permukiman yang terpisah dari kehidupan bernegara. Kegiatan ekonomi atau
perdagangan seperti yang hidup di pesisir Jawa, tidaklah dalam kerangka
pengertian kuta-negara dalam Negarigung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52 |BAB II
Konsep kuta-negara secara perlahan-lahan berkembang dalam masa
pemerintahan Hindia-Belanda. Dan, tampaknya masih merupakan konsep yang
terus berkembang dalam Indonesia modern saat ini. Sekalipun kekuatan pasar
ekonomi terus bertambah kuat, namun kejadian-kejadian penting di dalamnya
tidak luput dari ritualisasi kenegaraan. Ritualisasi ini melibatkan peranan para
petinggi birokrasi untuk meresmikan setiap awal pembangunan, penggunaan, atau
produksi.
Kaitan ritualisasi pembangunan fasilitas kota dengan upacara resmi
mungkin merupakan ciri tersendiri dalam kehidupan kota di Indonesia. Apa
ritualisasi yang khas dari Indonesia ini dalam kaitannya dengan identitas kota
Indonesia? Tidak tertutup kemungkinan beberapa realitas dan persepsi urban masa
kini berhubungan dengan konsep urban masa lalu. Kota, di mana pun, kebanyakan
tidak direncanakan sebagai suatu karya rancang-bangun yang selesai. Sekalipun
direncanakan sejak awal berdirinya, namun kenyataan menunjukkan bahwa
permasalahan pengendalian kualitas hidup dan peradabannya ditantang untuk
selalu berubah. Semua ini merupakan karakteristik suatu kota sebagai tempat
bermukim urban. Bermukim selalu merupakan proses belajar untuk menciptakan
'dunia yang membuat kerasan'. Permasalahan dasar kota tidak bisa mengabaikan
aktualisasi kehidupan bermukim sesuai dengan zamannya.
Perubahan masyarakat dalam proses modernisasi akan berhadapan dengan
masalah identitas kultural. Pencarian pada karakter fisik kota yang tak
mengaitkannya dengan konsep mengenai dunia-nya akan sia-sia, sebab kota
dalam budaya Jawa mungkin juga Indonesia berintikan pada 'kejadian' yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53 |BAB II
mengintegrasikan seluruh warga ke dalam suatu upacara yang mengambil tempat
dan waktu di alun-alun, mesjid, dan istana.
Di dalam kehidupan urban modern dewasa ini, ritual dan upacara tetap
berperan dalam kota-kota modern Indonesia. Tak banyak kota-kota dunia yang
memiliki tradisimemperingati peristiwa-peristiwa nasional seperti Indonesia
Perencanaan dan perancangan kota perlu melihat sejarah. Apa yang
disebut di Yogyakarta sebagai tata ruang Magersari itu tak lain dan tak bukan dari
penciptaan suatu komunitas yang terintegrasi secara sosial, di mana beberapa
lapisan sosial dari pegawai rendahan hingga pangeran bertempat tinggal di satu
komunitas. Pelajaran ini bukan untuk romantisasi, tetapi usaha demikian sudah
pernah terjadi. Apa yang disebut subsidi silang dan simbiose mutualistik itu bukan
sekadar konsep-konsep di atas kertas. Komunitas berciri Pancasila ini merupakan
suatu potensi yang perlu dikembangkan di Indonesia, jika pembinaan karya
rancang-bangun kota berakar dari budaya luhur masyarakatnya. Sebab, karya
rancang-bangun kota yang sehat hanya mungkin dibangun dan dipelihara oleh
masyarakat yang sehat pula. Sehat secara kultur tidak mungkin menjadi lebih baik
tanpa terjadinya hidup berkomunitas di suatu lokasi bermukim.
Kehidupan bermukim modern Indonesia ditantang untuk lebih
memperhatikan peradaban masyarakatnya daripada memikirkan wajah bangunan,
sebab jika wajah-wajah itu. Tidak mencerminkan budaya masyarakatnya, maka
akan menjadi bahan cemoohan dan tak akan dicatat dalam sejarah peradaban
masyarakat di mana ia berada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54 |BAB II
II.4. ALUN-ALUN SECARA FUNGSIONAL MASA PRAKOLONIAL
Apakah sebenarnya alun-alun
itu? Apa fungsi sebenarnya di masa
lampau? Mengapa alun-alun itu
selalu terdapat di hampir setiap kota
di P. Jawa? Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini selalu muncul dan perlu
diketahui sebelum kita bisa
menentukan sikap lebih lanjut
tentang nasib alun-alun tersebut
untuk masa mendatang.
Di dalam buku “Encyclopedie van Nederlandsch Indie” (Paulus, 1917:31),
terdapat penjelasan tentang alun-alun’ sebagai berikut :
“ Di hampir setiap tempat kediaman Bupati, seorang kepala distrik di Jawa, orang
selalu menjumpai adanya sebuah lapangan rumput yang luas, yang dikelilngi oleh
pohon beringin di tengahnya. Lapangan inilah yang dinamakan ‘alun-alun’. Di
kota-kota bekas kerajaan kuno (seperti Surakarta dan Yogyakarta), mempunyai
dua buah ’alun-alun’, sebuah terletak di Utara Kraton dan sebuah lagi terletak
disebelah Selatan Kraton.
Di permukaan alun-alun tersebut tidak boleh ada rumput tumbuh dan
diatasnya ditutup dengan pasir halus. Di bagian Selatan dari alun-alun tersebut
terdapat pintu masuk yang menuju ketempat kediaman Raja atau Bupati, dimana
disana berdiri sebuah pendopo. Pegawai negeri atau orang-orang lain yang ingin
bertemu dengan raja atau Bupati menunggu waktunya disana untuk dipanggil, jika
Gambar 2-13 Tatanan Kraton Surakarta Berdasarkan Kosmologi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55 |BAB II
Raja merestui untuk menerima kedatangan mereka.Oleh sebab itu pendopo
tersebut kadang-kadang dinamakan juga Paseban (asal kata seba).
Pada masa lampau di alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau
Senenan) diadakan permainan Sodoran (pertandingan diatas kuda dengan
menggunakan tombak yang ujungnya tumpul), atau pertandingan macan secara
beramai-ramai yang dinamakan ‘rampog macan’. Pada waktu pertunjukan ini raja
duduk di Siti Inggil, tempat yang paling tinggi dimuka pintu Kraton. Pada tempat-
tempat Bupati terdapat panggung untuk melihat tontonan tersebut.
Di Jawa Barat juga terdapat alun-alun kecil di depan rumah kepala desa,
tapi alun-alun tersebut tidak dikelilingi oleh pohon beringin. Mesjid seringkali
terdapat disebelah Barat dari alun-alun.
Kehadiran alun-alun sudah ada sejak jaman prakolonial. Meskipun dari
dulu sampai sekarang bentuk fisik alun-alunnya sendiri tidak banyak mengalami
perubahan, tapi konsep yang mendasari bentuk fisiknya sejak jaman prakolonial
sampai sekarang telah mengalami banyak perubahan. Konsep inilah yang
sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran laun-alun dalam suatu kota di Jawa.
Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari
kehadiran alun-alun di masa lampau, sebagai pertimbangan untuk menghidukan
kembali alun-alun yang sekarang masih banyak terdapat pada kota-kota di Jawa,
tapi keadannya seperti ‘hidup segan matipun enggan’. Perlu dipikirkan disini
bahwa persoalan dan kegagalan yang terjadi dalam proses pembangunan
seringkali bersumber dari keinginan membentuk suatu masyarakat baru tanpa
mengenal lebih dulu nilai-nilai tradisional masa lalu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56 |BAB II
Dimasa lalu sejak jaman Mojopahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18),
alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam
masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus
merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan dimana raja tinggal,
maka Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos24. Komplek Kraton
biasanya diberi pagar yang terpisah dari daerah lainnya pada suatu ibukota
kerajaan, Batas pagar ini tidak selalu ditafsirkan melalui sistem pertahanan, tapi
dapat ditentukan juga dari aspek kepercayaan/keagamaan. Untuk itu kita harus
mengerti dulu hubungan antara kepercayaan/keagamaan dengan kota/komplek
Kraton.
Manusia yang religius
seperti halnya mayarakat agraris
yang religius di Jawa ini biasanya
membagi ruang menjadi dua jenis,
ruang yang homogen atau sakral
(disucikan) disatu pihak dan ruang
yang inhomogen atau yang tidak
teratur (bisa disebut profan) dilain
pihak. Di alam sakral segalanya
teratur, baik tingkah laku manusia
24Kepercayaan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos (antara jagat raya dan dunia manusia) yang dijumpai dalam hubungan kosmologis dari negara dan kedudukan raja di Asia Tenggara, khususnya di Jawa, yang banyak dijumpai pada ujud :gelar-gelar raja, pengaturan negara, penyuunan tata ruang ibukota, denah-denah Kraton, candi-candi dsb.nya telah banyak dibahas para ahli misalnya dalam buku: Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia oleh Robert Heine Geldern, Kraton and Cosmos In Traditional Java oleh Timothy Earl Behren dan sebagainya.
Gambar 2-14 Rekonstruksi Kraton Majapahit Oleh Maclaine Pont berdasarkan Kitab
Negarakretagama (Tahun 1924)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57 |BAB II
maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak
teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65). Wilayah Kraton selalu
dianggap sebagai wilayah yang homogen (Sakral), yang teratur atau harus diatur.
Manifestasi dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari
susunan sebuah Kraton. Seperti dijelaskan di depan bahwa Kraton dianggap
sebagai miniatur dari makrokosmos. Manifestasinya adalah sebagai berikut:
tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai ‘dalem ageng’ diibaratkan sebagai
puncak Mahameru (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan
wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut
‘negara agung’ (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini
kekuasan raja masih terasa besar. Di luar ‘negara agung’ dinamakan kawasan
‘mancanegara’ (luar daerah). Ini sudah diluar, tapi belum keluar dari batas teras
Kraton. Di tempat inilah biasanya raja menerima tamu. Diluarnya lagi disebut
Pasisir. Batas luarnya sudah mencapai Siti Inggil, bangunan di batas alun-alun
dengan Kraton.
Di Pesisir raja makin jarang muncul, hanya beberapa kali dalam setahun
misalnya bila ada perayaan tertentu. Daerah paling luar disebut ‘sabrang’ (daerah
seberang). Didaerah inilah bangsal pertemuan untuk para Bupati ditempatkan.
Jadi jelaslah disini meskipun tempatnya paling luar tapi ‘alun-alun’ masih
terletak di dalam komplek tembok/pagar Kraton25.Di dalamKraton Majapahit
25Disini jelas adanya perbedaan yang mencolok antara konsep alun-alun dengan Agora di Yunani. Alun-alun pada awalnya dirancang sebagai ‘ruang sakral’. Sedangkan Agora merupakan ruang luar yang bersifat ‘profan’ sebagai pencerminan faham demokrasi yang dianut oleh negara Yunani waktu itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58 |BAB II
seperti dilukiskan oleh Prapanca dalam Negarakretagama26, di sebelah Utara dari
komplek Kraton terdapat dua alun-alun.
Masing-masing dinamakan Bubat (terkenal sebagai tempat pertarungan
sengit antara utusan kerajaan pajajaran dengan pasukan Gajah Mada), yang
luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan alun-alun Utara
yang disebut sebagai Waguntur. Meskipun keterangan Prapanca dalam
Negarakretagama kurang begitu jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa
pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari pusat kota. Fungsi kedua alun-
alun ini agak berbeda. Lapangan Bubat lebih bersifat profan . Pesta rakyat yang
diadakan setiap tahun sekali pada bulan caitra (Maret/April) diselenggarakan di
lapangan Bubat. Pada 3-4 hari
terakhir pertunjukan dan permainan
diselenggarakan dengan kehadiran
dari raja. Fungsi lapangan
Waguntur lebih sakral. Lapangan
ini terletak di dalam pura raja
Majapahit, yang digunakan untuk
lapangan upacara penobatan atau
resepsi kenegaraan. Di lapangan
Waguntur ini terdapat Siti Inggil,
serta komplek pemujaan (kuil
26Negarakretagama ditemukan di P. Lombok pada th. 1902. Sejak itu banyak sejarawan dan ahli-ahli lainnya berusaha untuk merekonstruksi ibukota Majapahit berdasarkan uraian yang dibuat Prapanca. Usaha rekonstruksi ini dilakukan oleh Prof. H. Kern (1905 & 1914), Poerbacaroko (1924), Stutterheim (De Kraton van Majapahit, 1941), Th.G. Pigeaud (1960-1963), dan juga Prof. Slamet Mulyono (1965). Bahkan pada th. 1970 oleh sarjana Perancis Denys Lombard.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59 |BAB II
Siwa) yang terletak di sebelah Timur dari lapangan Waguntur. Ini lebih mirip
dengan alun-alun Lor Kraton Yogyakarta atau Surakarta, hanya komplek
pemujaan pada alun-alun Lor diganti dengan mesjid yang letaknya di sebelah
Barat dari alun-alun.
Model yang masih bisa
kita lihat sebagai prototype alun-
alun kota di Jawa pada jaman
yang lebih muda adalah alun-alun
Yogyakarta dan Surakarta bekas
perpecahan kerajaan Mataram
dimasa lampau. Baik di
Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun Lor
dan Kidul27.
Di masa lalu alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi
berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan
suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum.
Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja
dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.
Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat
berukuran 300x265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di
sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian
rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya.
27Di Surakarta alun-alun Lor dan Kidul mempunyai dimensi yang hampir sama luasnya yaitu kurang lebih 300x400 meter. Di Yogyakarta alun-alun Lor mempunyai dimensi yang lebih kecil yaitu 300x265 meter.
Gambar 2-16 Sketsa Topografi Kraton Yogyakarta dan lingkungannya ketika serangan Inggris (1812)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60 |BAB II
Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon
beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang
Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua
suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti
mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan
(Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia
yang arief bijaksana, karena orang
Jawa berangapan bahwa kegiatan
bijaksana berasal dari kosmos.
Pohon beringin dengan
demikian melambangkan kesatuan
dan harmoni antara manusia
dengan universum. Kesatuan ini
tidak timbul dengan sendirinya.
Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat
didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di
bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud,
1940:180).
Alun-alun jaman Mataram juga digunakan oleh warga (rakyat biasa) untuk
bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau sesuatu kasus
perselisihan. Orang harus memakai pakaian dan penutup kepala putih dan harus
duduk menunggu diantara kedua pohon beringin sampai diperbolehkan
menghadap raja. Perbuatan seperti ini disebut “pepe”. Di sebelah Barat alun-alun
terdapat mesjid. Di halaman mesjid tersebut terdapat dua buah bangsal terbuka
Gambar 2-17 Pagar kayu yang membatasi alun-alun Kraton Yogyakarta, yang merupakan bukti bahwa alun-
alun dulunya masih merupakan bagian dari Kraton (1772)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61 |BAB II
untuk dua buah perlengkapan gamelan. Yang satu disebut “Kyai Sekati” dan yang
lain disebut “Nyai Sekati”. Keduanya dimainkan bergantian dimainkan hanya
pada 3 upacara keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg
Besar.
Di seberang mesjid terdapat bangunan yang disebut ‘Pamonggangan”
tempat untuk menyimpan gamelan yang lain. Dahulu pada jaman Mataram, setiap
hari Sabtu sore (di luar Kasultanan diadakan pada hari Senin sehingga sering
disebut Seton atau Senenan) diadakan pertunjukan ‘Sodoran’28 di alun alun.
Gamelan tersebut dimainkan sewaktu ada pertunjukan itu. Di sebelah bangunan
“Pamonggangan” tersebut terdapat sebuah kadang harimau dan binatang buas
lainnya. Pada hari Sabtu sore selain pertunjukan Sodoran kadang-kadang juga
diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu
diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng
(dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah
harimau (dalam bahasa Jawa disebut Simo).
Pada jaman penjajahan banteng sering dilambangkan dengan orang Jawa
dan harimau sebagai orang Belanda. Dalam pertunjukan ini banteng menang, dan
orang Belanda ikut bertepuk tangan, karena mereka tidak mengerti. Ada juga
dipertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan), secara beramai-ramai,
yang dinamakan ‘rampog macan”. Jadi alun-alun yang pada mulanya merupakan
pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan
28Sodoran adalah pertujukan adu ketangkasan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul. Tentang pertujukan Sodoran bisa ibaca pada buku karangan Rob Nieuwenhuis, yang berjudul ‘Oost Indische Spiegel’, yang dterjemahkan oleh Dick Hartoko, dengan judul “Bianglala Sastra Belanda’, Djambatan, 1985, hal.5-7. Pertujukan Sodoran ini diceritakn oleh R. van Goens utusan V.O.C. pada jaman Mataram.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62 |BAB II
sebagai pohon beringin dan bumi yang dilambangkan sebagai pasir halus, dimasa
ini telah bertambah artinya.
Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai
(Santoso, 1984) :
1. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.
2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan
penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).
3. Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profan.
II.5. RUANG PUBLIK
II.5.1. Peranan Ruang Publik
Peranan ruang publik sebagai salah satu elemen kota dapat memberikan
karakter tersendiri. Dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi
masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya. Secara
langsung nilai komersial yang ditawarkan tidak begitu menjanjikan bagi investor
yang berminat berkiprah menanamkan modalnya, karena masyarakat yang
menggunakan ruang publik untuk usaha atau kegiatan sosial yang lain tidak
memungkinkan ditarik pajak terlalu tinggi karena daya beli yang relatif rendah,
sehingga tidak dapat diandalkan untuk pengembalian modal bagi investor secara
langsung.
Perlu dipikirkan keterkaitan antara fasilitas pelayanan umum yang
memiliki nilai kormersial dengan ruang-ruang publik secara sinergis. Dalam pasal
28 UU RI Nomer 26 tahun 2007 perlunya rencana penyediaan dan pemanfaatan
ruang terbuka hijau dan non-hijau, penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63 |BAB II
sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal dan ruang
evakuasi bencana yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota
sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat penumbuhan wilayah.
Secara rinci dipertegas dengan pasal 29 yang merupakan kelanjutan pasal
28 bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari
luas wilayah kota, dan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota
paling sedikit 20%. Karena pentingnya fungsi ruang publik dalam perencanaan
kota perlu diuraikan sebagai berikut (Darmawan, 2001):
a. Sebagai pusat interaksi, komunikasi masyarakat, baik formal maupun
informal seperti upacara bendera, Sholat led pada Hari Idul Fitri, dan
peringatan-peringatan yang lain; serta informal seperti pertemuan-
pertemuan individual, kelompok masyarakat dalam acara santai dan
rekreatif seperti konser musik yang diselenggarakan berbagai televisi
swasta atau demo mahasiswa yang menjadi pemandangan sehari-hari
akhir-akhir ini dengan tujuan untuk menyampaikan aspirasi, ide-ide
atau protes terhadap keputusan-keputusan pihak penguasa, instansi
atau lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang lain.
b. Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor, jalan yang
menuju ke arah ruang publik tersebut dan ruang pengikat dilihat dari
struktur kota, sekaligus sebagai pembagi ruang-ruang fungsi bangunan
di sekitarnya serta ruang untuk transit bagi masyarakat yang akan
pindah ke arah tujuan lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64 |BAB II
c. Sebagai tempat pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan
minuman, pakaian, souvenir, dan jasa intertainment seperti tukang
sulap, tarian kera dan ular, dan sebagainya.
d. Sebagai paru-paru kota yang dapat menyegarkan kawasan tersebut,
sekaligus sebagai ruang evakuasi untuk menyelamatkan masyarakat
apabila terjadi bencana gempa atau yang lain.
Sebaliknya, timbul dilema karena banyak investor yang mengincar ruang-
ruang publik kota sebagai tempat bisnis. Secara langsung investor beranggapan
bahwa pemanfaatan ruang-ruang publik kota tersebut secara langsung tidak
banyak memberikan kontribusi yang berarti, sehingga banyak yang bersikeras
untuk mengubah fungsl ekonomi yung lebih menguntungkan, contohnya:
departement store dibangun di kawasan alun-alun kola.
Di masa mendatang pada setiap program yang akan merubah fungsi ruang
publik dengan fungsi lain harus melalui proses yang melibatkan pendapat atau
aspirasi masyarakat kota dan mempertimbangkan Undang-Undang baru Penataan
Ruang.
Ruang publik yang menarik akan selalu dikunjungi oleh masyarakat luas
dengan berbagai tingkat kehidupan sosial-ekonomi-etnik, tingkat pendidikan,
perbedaan umur dan motivasi atau tingkat kepentingan yang berlainan. Kriteria
ruang publik secara esensial ada. tiga macam sbb :
a. Dapat memberikan makna atau arti bagi masyarakat setempat secara
individual maupun kelompok (meaningful).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65 |BAB II
b. Tanggap terhadap semua keinginan pengguna dan dapat
mengakomodir kegiatan yang ada pada ruang publik tersebut
(responsive).
c. Dapat menerima kehadiran berbagai lapisan masyarakat dengan
bebas tanpa ada diskriminasi (democratic).
Siapa pun tanpa membedakan anak, dewasa, atau orang tua, kaya atau
miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, atasan atau bawahan, dapat
memanfaatkan ruang publik kota untuk segala macam kegiatan baik individual
alau berkelompok.
Kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan itulah kadang-
kadang perlu pengendalian aktivitas-aktivitas yang terjadi, perlu pengaturan
fungsi ruang, sirkulasi lalu lintas dan parkir kendaraan bermotor, perlu
penempatan pedagang kaki lima dan sebagainya sehingga pengertian demokratik
tidak diartikan sebagai kebebasan yang menyimpang dari harapan kita. Secara
langsung dari segi finansial, fungsi ruang publik tidaklah memberi kontribusi
besar kepada investor, akan tetapi ruang publik merupakan salah satu pendukung
kegiatan dalam perancangan kota yang harus dipertimbangkan, secara tidak
langsung sangat mendorong perkembangan kawasan tersebut.Selanjutnya
diperlukan penataan yang baik agar dapat tercapai keseimbangan di kawasan
tersebut.
II.5.2. Permasalahan Ruang Publik Kota
Sampai saat ini Pemerintah Kota, investor, pengembang (developer), dan
masyarakat luas masih belum banyak menyentuh perancangan ruang publik Kota.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66 |BAB II
Secara langsung ruang-ruang publik belum dapat memberikan keuntungan secara
finansial.
KadangPemerintah Kota lebih merencanakan dan merevisi kembali
Rencana Umum Tata Ruang Kota secara periodik, sehingga perencanaan yang
lebih detail belum banyak terealisir berdasarkan hirarkinya. Padahal banyak sekali
permasalahan ruang publik kota antara lain peruhahan-perubahan fungsi taman
kota menjadi fungsi bangunan yang tidak terkendali, trotoor dipakai untuk
pedagang kaki lima (PKL) sehingga menganggu hak-hak bagi pejalan kaki,
masalah penataan parkir yang tidak pernah dipikirkan kelayakannya terutama di
pusat-pusat fasilitas pelayanan umum, sehingga mengakibatkan macetnya
transporatasi kota.
Perencanaan ruang-ruang publik akan muncul pada produk Tata Ruang
Kota yang lebih detail, misalnya pada Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) atau Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) yang merupakan bagian dari
Rencana yang lebih makro seperti RDTRK dan RUTRK.
Perencanaan ruang publik biasanya tidak akan didesain selama
perencanaan yang lebih makro belum ada. Hal inilah yang perlu dipahami oleh
Pengelola Kota dan masyarakat pada umumnya.
Beberapa terobosan dilakukan oleh instansi-instansi yang berkompeten
untuk mendesain ruang publik dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) meskipun belum ada Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)nya,
dapat mengacu pada hirarki yang lebih makro seperti Rencana Umum Tata Ruang
Kota (RUTRK) yang ada. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pedoman
teknis dalam mengendalikan pembangunan yang sangat cepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67 |BAB II
Perencanaan ruang publik yang terkait dengan (RTBL) atau (RTRK) tidak
mengacu pada Kriteria Desain Tak Terukur (Non measureble design criterias)
yang melibatkan peran dari masyarakat pengguna secara sungguh-sungguh,
sehingga ruang-ruang publik yang didesain, banyak yang tidak sesuai dengan
kenyamanan masyarakat pengguna.
Dalam perencanaan ruang publik sering tidak dipikirkan ke depan tentang
perawatan dan pengelolaannya. Desain ruang-ruang publik yang dirancang dengan
penekanan estetika dan bentuk yang rumit akan menyulitkan dalam perawatan.
Bagaimana sistem pengelolaannya perlu dipikirkan, karena selama ini
semua ruang publik dibebankan Pemerintah Kota. Metode pengelolaan inilah
yang perlu dikembangkan menjadi metode kemitraan bersama masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam pengelolaannya.
Masih banyak ruang-ruang kota yang tidak berfungsi (unusage) baik ruang
kecil maupun ruang-ruang yang luas belum dimanfaatkan secara optimal serta
belum disentuh untuk pengembangan ruang publik Kota. Sosialisasi pentingnya
peranan ruang publik dalam meningkatkan kualitas ruang kota pada masyarakat
perlu ditingkatkan, di samping memotivasi mereka untuk senantiasa peduli
terhadap lingkungan ruang kota.
Pembangunan ruang-ruang publik di Indonesia masih belum banyak yang
memikirkan tentang aksesibilitas bagi orang cacat atau orang yang memiliki
kemampuan yang berbeda (diffable). Hal ini sangat dirasakan sekali bagi mereka,
sehingga ruang geraknya sangat terbatas dan selalu membutuhkan bantuan orang
lain, ini tidak sesuai dengan keinginan hati nurani mereka yang ingin mandiri
seperti layaknya orang normal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68 |BAB II
Pemahaman tentang Perancangan Kota (Urban Design) oleh beberapa
kalangan mahasiswa, praktisi maupunmasyarakat masih rancu. Dalam praktek di
lapangan berbagaiaspek regional, kawasan maupun detail, fisik, sosial,
ekonomi,budaya dan lingkungan menjadi lahan pertimbangan.
Goslingdan Maitland (1984) dalam Hidle B (1999) mengatakan
bahwaperancangan kota merupakan jembatan antara perencanaankota dan
arsitektur (Urban design as bridging the gab between planning and architecture).
Perencanaan kota Iebihmenitikberatkan pada bentuk tata guna lahan (landuse
pattern) dan masalah sosial ekonomi, sedangkan arsitektur lebih padaperancangan
bangunan (Conway.H dan Roenish,R. 1994).
Dari perbedaan itu muncul Perancangan Kota sebagai ilmuyang berperan
merancang ruang-ruang publik (the design of public spaces).
...It is concerned with the physical form of the public
realm over a limited physical area of the city and that it there
foreliesbetween the two well established design scales of
architecture, whIch is concerned the physical form of the private
realm of the individual building and town and regional planning,
which is concerned with the organization of public realm in its
wider context.... (Frey, H: 1999)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69 |BAB II
Perancangan Kota (Urban Design) menitikberatkan pengguna (user),
fasilitas pelayanan umum di lapangan, bentuk-bentuk aktivitas, infrastruktur, dll.
Karakteristik Perancangan Kota (Urban Design) sulit dibedakan dengan
perencanaan kota secara luas, sehingga beberapa konsep yang dikemukakan oleh
Yokio Nishimura (1999) bahwa ada elemen-elemen urban design yang dapat
membedakan dengan jelas dengan desain yang lain:
Bagaimana menentukan langkah awal untuk mengevaluasi kedudukan dan
sejarah ruang-ruang kota tersebut? Pendekatan yang terbaik dalam urban design
adalah mempertimbangkan aspek sosial yang berkaitan dengan ruang-ruang kota
yang ada.
Urban design didasarkan pada persepsi dari ruang-ruang kota (urban
spaces) sebagai objek yang dapat direkayasa atau dimodifikasi sehingga perlu
strategi yang dapat menciptakan bentuk yang melebihi keadaan semula, seperti
usaha revitalisasi elemen peninggalan yang ada di kota dengan memperhitungkan
perubahan fisik penting dan pengaruh terhadap kegiatan penghuninya.
Urban design merupakan bagian dari kota, sehingga fungsi dari
perancangan tersebut harus berkaitan dengan fungsi-fungsi bagian kota yang lain,
architecture planning
Urb
an d
esig
n
Pera
ncan
gan
kota
Bagan 2-1. Kedudukan Ilmu Perancangan Kota (Urban Design)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70 |BAB II
dan secara menyeluruh merupakan bagian dari jaringan yang ada. Urban design
dapat merefleksikan strategi kebijakan secara integral sehingga tidak terjadi
ketimpangan program dalam pembangunan. Urban design tidak hanya merupakan
konsep estetika, tetapi suatu proses pengambilan keputusan termasuk aspek
sosiologi kota dengan mengacu pada strategi global.Hasil dari urban design
menitikberatkan pada masalah yang penting atau mendesak bagi kehidupan
manusia dan kegiatan kotanya.
Urban design adalah suatu bentuk perancangan yang berkelanjutan dan
tidak akan pernah selesai (never endingmovement), persoalan baru selalu ada
setiap saat seiring dengan tuntutan kebutuhan manusia yang selalu berkembang
dengan teknologi yang semakin modern.
Urban design terdiri dari desain perangkat keras (hard ware) dan desain
lunak (soft space). Perangkat keres merupakandesain fisik, sedangkan perangkat
lunak merupakan alat kantrolefektif. Perubahan struktur ruang kota secara internal
dapatdicapai dengan pendekatan terhadap perilaku dari individu-individupenghuni
kota tersebut. Keterkaitan antara perangkatkeras dan lunak merupakan satu
konsep yang harusdiperhitungkan dalam perancangan kota (urban design).
II.5.3. Ruang Publik sebagai Elemen Perancangan Kota
Berbicara masalah elemen dalam Urban Design, terdapat banyak pendapat
yang berlainan. Ada yang berpikir bahwa masalah utama dalam urban design
adalah faktor keindahan. Sehingga elemen yang perlu dipikirkan antara lain:
pepohonan, perabot jalan, paving, trotoar, penerangan, tanda-tanda asesoris kota
dan sebagainya. Lingkup urban design seperti yang telah diketahui, merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71 |BAB II
bagian dari proses perencanaan kota yang berkaitan dengan masalah kualitas fisik
lingkungan. Dalam praktek tidak dapat sepenuhnya memasukkan semua elemen
atau komponen kota ke dalam objek perancangan yang sudah terbentuk
sebelumnya, karena akan mengalami berbagai kesulitan.
Ruang-ruang yang berada di antara bangunan disebut ruang publik dalam
urban design. Bagaimana cara mendesain ruang tersebut? Ada beberapa contoh
antara lain pada Urban Design Plan di San Francisco tahun 1970 yang berusaha
menghubungkan 4 kelompok ruang-ruang:
(1) Bentuk dan kesan secara internal (internal pattern and image).
(2) Bentuk dan kesan secara ekstemal (external form and Image).
(3) Parkir dan sirkulasi (circulation and parking). lebih berkaitan dengan
melihat jalan dan karakteristiknya, baik dari aspek kualitas perawatan,
luasan, susunan, kemonotonan, kejelasan dari rute, orientasi ke tujuan,
aman, kemudahan sirkulasi, persyaratan parkir dan lokasinya.
(4) Kualitas lingkungan (quality ofenvironment) (Shirvani. 1985; Darmawan,
2003).
Dalam menilai Kualitas Lingkungan delapan faktor yang harus
diperhatikan yakni:
(1) Kecocokan dalam penggunaan lahan.
(2) Keberadaan elemen-elemen alami.
(3) Arah keruang terbuka.
(4) Pandangan yang menarik dari tampak potongan membujur jalan.
(5) Kualitas dari sudut-sudut pemandangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72 |BAB II
(6) Kualitas perawatan.
(7) Kebisingan
(8) Klimatoiogi
Dulu para desainer lebih memperhatikan aspek internal pattern image dan
external form and image (Gifford.R, 1987; Heimsath.C, 1980), karena kedua
aspek ini lebih berorientasi pada aspek fisik dalam urban design. Terutama
elemen fisik yang lebih spesifik seperti plaza, mall, area tempat duduk, pohon-
pohon, lampu-lampu hias atau elemen lain yang spesifik bagi lingkungan
masyarakat setempat. Beberapa analisa terhadap elemen urban design
menghasilkan beberapa variasi bentuk, kebijakan, perancangan, pedoman
perancangan, program lain di kota-kota yang berlainan.
Dari beberapa pengalaman dalam praktek, untuk menentukan elemen-
elemen dalam urban design yang saling terkait satu dengan yang lain. Hamid
Shirvani (1985), menentukan elemen urban design dalam delapan kategori
sebagai berikut:
(1) Tata guna lahan.
(2) Bentuk bangunan dan massa bangunan (Krier.R, 1979).
(3) Sirkulasi dan ruang parkir (Childs.M. 1999).
(4) Ruang terbuka.
(5) Jalan pedestrian (Robeinstein.H, 1992).
(6) Kegiatan pendukung.
(7) Tanda-tanda(Broadbent.G, 1980).
(8) Konsevasi (Cohan.N, 1999;Lynch, 1981).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73 |BAB II
II.5.4. Paradigma Baru Perancangan Kotadi Indonesia
Perancangan kota pada dasamya merupakan kegiatan untuk mengatur
ruang kota agar aktivitas kehidupan manusia dan lingkungan alam di sekitarnya
berkembang secara harmonis dan bersifat lestari. Dua hal pokok yang menjadi
azas pemanfaatan ruang di Indonesia yakni pertama, adanya tiga unsur penting
dalam penataan ruang kota yaitu manusia beserta aktivitasnya, lingkungan alam
sebagai tempat, dan pemanfaatan ruang oleh manusia di lingkungan alam tersebut.
Ketiga unsur ini rnerupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan berada dalam
keseimbangan, sehingga aktivitas manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan
hidupnya harus memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungannya yang
berorientasi pada kehidupan yang berkelanjutan. Kedua, proses pemanfaatan
ruang harus bersifat terbuka, efektif, partisipatif agar terwujud ruang yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada
kawasan rawan bencana. Sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis
mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan
kehidupan dan penghidupan. Hal tersebut di atas diatur oleh Undang-Undang
Republik lndonesia Nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang memiliki
pcrlindungan hukum dan mampu memenuhi kepentingan semua pihak, terpadu,
berdaya guna, dan serasi.
Sejalan dengan perkembangan sosial politik di Indonesia, rnasyarakat
menuntut adanya pergeseran pola pikir yang menyangkut penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang
No.32/2004 tentang Otonomi Daerah. Bergesernya peran pelaku pembangunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74 |BAB II
dari pemerintah ke masyarakat dan dunia usaha merupakan paradigma baru dalam
proses perancangan kota. Perancangan kota yang lebih dikenal dengan istilah
Perencanaan Tata Ruang merupakan suatu bentuk kesepakatan publik dan
mengikat sebagai suatu kontrak sosial, atau suatu bentuk keputusan kolektif yang
dihasilkan dari proses politik dan kemudian menjadi kebijakan publik yang harus
ditaati oleh seluruh pelaku pembangunan (Ibrahim, 2000). Paradigma baru
Perancangan Kota, harus mempertimbangkan aspek globalisasi, desentralisasi,
demokratisasi dan sistem pemerintahan.
· Globalisasi
Aspek ini menekankan perancangan yang berorientasi pada
integritas dengan kota-kota lain di sekitarnya, yang dapat dijadikan
mitra dalam pengembangan, dengan harapan saling mengisi dan
menguntungkan. Dan dalam setiap elemen kota yang dikembangkan,
harus dipikirkan bagaimana bisa diberdayakan menjadi pemasukan
manusia aktivitas
Fasilitas
Area
kota
Bagan 2-2. Hubungan Struktur Unsur Kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75 |BAB II
bagi pemerintah kota, sehingga perencana harus berorientasi pada City
Marketing.
· Desentralisasi
Sistem sentralisasi sudah bergeser ke desentralisasi, sehingga
Pemerintah pusat sudah tidak lagi menjadi penentu dalam perancangan
kota, akan tetapi lebih berperan sebagai mitra dalam memberi saran
pemecahan masalah bagi penyelesaian konflik penataan wilayah atau
kota antardaerah melalui fasilitas, penyiapan bantuan teknis, norma
dan standar, serta pedoman. Pemerintah pusat tidak lagi terlibat secara
fisik, kecuali pada tingkat yang lebih makro dan strategis nasional.
Dengan demikian pemerintah kota dapat meningkatkan kapasitas
manajemen secara optimal, dengan perancangan yang lebih berbasis
pada pertumbuhan lokal. Di pihak lain harus senantiasa
memprioritaskan peningkatan pelayanan pada masyarakat dengan
sebaik-baiknya.
· Demokratisasi
Bahwa perancangan kota harus bersifat partisipatif artinya disusun,
dilaksanakan, dan dimonitor oleh Stakeholders kota secara bersama-
sama berdasarkan sosial budaya lokal, sehingga dapat dilaksanakan
sesuai dengan kemampuan masyarakat dan kondisi daerah
perencanaan. Singkatnya, bahwa pemberdayaan masyarakat harus
lebih diutamakan sehingga hasilnya secara optimal dapat dirasakan dan
dinikmati oleh mereka. Sebagai kontrol terhadap perancangan kota,
diperlukan terbentuknya forum/Asosiasi kota.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76 |BAB II
· Sistem pemerintahan yang bersih
Pemerintahan diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator dan
dapat memberikan citra yang bersih atau GoodGorvernance. Oleh
karena itu segala kcbijakan dan pelayanan umum harus bersifat
transparan. Peran Lembaga Legislatif dan petaruh (stakeholder) harus
dapat mengontrol pernbangunan kota itu sendiri.
II.5.5. Tipologi Ruang Publik
Dari perkembangan sejarah, ruang publik kota memberi pandangan yang
lebih luas tentang bentuk variasi dan karaktemya. Pengertian ruang publik secara
singkat merupakan suatu ruang yang berfungsi untuk kegiatan-kegiatan
masyarakat yang berkaitan dengan sosial, ekonomi, dan budaya.
Sikap dan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi juga berpengaruh terhadap tipologi ruang kota yang direncanakan.
Asesori ruang publik yang harus disediakan semakin berkembang, baik dari segi
kualitas desain, bahan dan perawatannya, Misalnya: papan-papan informasi dan
reklame, tempat sampah, telpon boks, lampu-Iampu, dsb. Tipologi ruang publik
ini memiliki banyak variasi yang kadang-kadang memiliki perbedaan yang tipis
sehingga seolah-olah memberi pengertian yang tumpang tindih (overlapping).
Menurut Stephen Carr (1992) ruang publik dibagi menjadi beberapa tipe
dan karakter sebagai berikut:
1. Taman Umum (Public Parks)
Berupa lapangan / taman pusat kota dengan skala pelayanan yang
beragam sesuai dengan fungsinya. Tipe ini ada tiga macam yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77 |BAB II
· Taman Nasional (National Parks)
Skala pelayanan taman ini adalah tingkat nasional, lokasinya
berada di pusat kota. Bentuknya berupa zona ruang terbuka yang
memiliki peran sangat penting dengan luasan melebihi taman-
taman kota yang lain, dengan kegiatan yang dilaksanakan berskala
nasional. Di samping sebagai Landmark Kota Jakarta juga dapat
sebagai Landmark nasional, terutama tugu monumen yang
didukung dengan elemen asesori kota yang lain seperti air
mancur,jalan pedestrian yang diatur dengan pola-pola menarik, di
samping taman dan penghijauan di sekitar kawasan tersebut
(Simonds.J.O, 1961).
· Taman Pusat Kota (Downtown Parks)
Taman ini berada di kawasan pusat kota. berbentuk lapangan hijau
yang dikelilingi pohon-pohon peneduh atau berupa hutan kota
dengan pola tradisional atau dapat pula dengan desain
pengembangan baru. Areal hijau kota yang digunakan untuk
kegiatan-kegiatan santai dan berlokasi di kawasan perkantoran,
perdagangan, atau perumahan kota. Contohnya lapangan hijau di
lingkungan perumahan atau perdagangan/perkantoran.
· Taman Lingkungan (Neighborhood Parks)
Ruang terbuka yang dikembangkan di lingkungan perumahan
untuk kegiatan umum seperti taman bermain anak-anak, olahraga,
dan bersantai bagi masyarakat disekitarnya. Contohnya taman di
kompleks perumahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78 |BAB II
· Taman Kecil (Mini Parks)
Taman kecil yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan, termasuk
air mancur yang digunakan untuk mendukung suasana taman
tersebut. Contonhnya taman-taman di sudut-sudut
lingkungan/setback bangunan.
2. Lapangan dan Plasa (Squares and Plazas)
Merupakan bagian dari pengembangan kota plaza atau lapangan yang
dikembangkan sebagai bagian dari perkantoran atau bangunan komersial.
Dapat dibedakan menjadi Pusat Kota (Central Square) dan Plasa pengikat
(Corporate Plaza).
· Lapangan Pusat Kota (Central Square)
Ruang publik ini sebagai bahan pengembangan sejarah berlokasi di
pusat kota dan sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan formal
seperti upacara-upacara peringatan hari nasional, sebagai
rendevous point koridor-koridor jalan di kawasan tersebut. Di
samping untuk kegiatan-kegiatan masyarakat baik sosial, ekonomi,
maupun apresiasi budaya.
· Plaza Pengikat (Corporate Plaza)
Plaza ini merupakan pengikat dari bangunan-bangunan komersial
atau perkantoran, berlokasi di pusat kota dan pengelolaannya
dilakukan oleh pemilik kantor atau pemimpin kantor tersebut
secara mandiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79 |BAB II
3. Peringatan (Memorial)
Ruang publik yang digunakan untuk memperingati memori atau
kejadian penting bagi umat manusia atau masyarakat ditingkat lokal
atau nasional.
4. Pasar (Markets)
Ruang terbuka atau ruas jalan yang dipergunakan untuk transaksi,
biasanya bersifat temporer atau hari tertentu.
5. Jalan (Streets)
Ruang terbuka sebagai prasarana transportasi. Menurut Stepen Carr
(1992) dan Rubeinstein, H (1992) tipe ini dibedakan menjadi
Pedestrian Sisi Jalan (Pedestrian Sidewalk), Mall pedestrian
(Pedestrian Mall), Mall transit (Transit Mall), Jalur Lambat (Traffic
Restricted Streets) dan Gang Kecil Kota (Town Trail).
· Pedestrian Sisi Jalan (Pedestrian Sidewalk).
Bagian ruang publik kota yang banyak dilalui orang yang sedang
berjalan kaki menyusuri jalan yang satu yang berhubungan dengan
jalan lain. Letaknya berada di kiri dan kanan jalan.
· Mall pedestrian (Pedestrian Mall).
Suatu jalan yang ditutup bagi kendaraan bermotor, dan
diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki fasilitas tersebut biasanya
dilengkapi dengan asesoris kota seperti pagar, tanaman, dan
berlokasi di jalan utama pusat kota.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80 |BAB II
· Mall transit (Transit Mall).
Pengembangan pencapaian transit untuk kendaraan umum pada
penggal jalan tertentu yang telah dikembangkan sebagai pedestrian
area.
· Jalur Lambat (Traffic Restricted Streets).
Jalan yang digunakan sebagai ruang terbuka dan diolah dengan
desain pedestrian agar lalu lintas kendaraan terpaksa berjalan
lamban, disamping dihiasi dengan tanaman sepanjang jalan tersebut
atau jalur jalan sepanjang jalan utama yang khusus untuk pejalan
kaki dan kendaraan bukan bermotor.
· Gang Kecil Kota (Town Trail).
Gang-gang kecil ini merupakan bagian jaringan jalan yang
menghubungkan ke berbagai elemen kota satu dengan yang lain
yang sangat kompak. Ruang publik ini direncanakan dan dikemas
untuk mengenal lingkungan lebih dekat lagi.
6. Tempat Bermain (Playground)
Ruang publik yang berfungsi sebagai arena anak-anak yang dilengkapi
dengan sarana pemainan, biasanya berlokasi di lingkungan perumahan.
Tipe ini terdiri dari Tempat bermain (Playground) atau Halaman
Sekolah (Schoolyard). (Darmawan. 2005; Simonds.J.O, 1961)
· Tempat bermain (Playground)
Ruang publik ini berlokasi di lingkungan perumahan, dilengkapi
peralatan tradisional seperti papan luncur, ayunan, dan fasilitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81 |BAB II
tempat duduk, disamping dilengkapi dengan alat permainan untuk
kegiatan petualangan.
· Halaman Sekolah (Schoolyard)
Ruang publik halaman sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas
untuk pendidikan lingkungan atau ruang untuk melakukan
komunikasi.
7. Ruang Komunitas (Community open space)
Ruang kosong di lingkungan perumahan yang didesain dan
dikembangkan serta dikelola sendiri oleh masyarakat setempat. Ruang
komunitas ini berupa taman masyarakat (Community Garden). Ruang
ini dilengkapi dengan fasilitas penataan taman termasuk gardu
pemandangan, areal bermain, tempat-tempat duduk. Dan fasilitas
estetis lain. Ruang ini biasanya dikembangkan di tanah milik pribadi
atau tanah tak bertuan yang tidak pernah dirawat (Cullen, 1986).
8. Jalan Hijau dan Jalan Taman (Greenways and Parkways)
Merupakan jalan pedestrian yang menghubungkan antara tempaat
rekreasi dan ruang terbuka, yang dipenuhi dengan taman dan
penghijauan.
9. Atrium/Pasar di dalam Ruang (Atrium/Indoor Market Place)
Tipe ini dibedakan menjadi dua yaitu atrium dan pasar/pusat
perbelanjaan di pusat kota (Market Place/Downtownshopping center)
(Darmawan, 2005).
· Atrium
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82 |BAB II
Ruang dalam suatu bangunan yang berfungsi sebagai atrium,
berperan sebagai pengikat ruang-ruang di sekitarnya yang sering
digunakan untuk kegiatan komersial dan merupakan pedestrian
area. Pengelolanya ditangani oleh pemilik gedung atau
pengembang/investor.
· Pasar/pusat perbelanjaan di pusat kota (market place/downtown
shopping center)
Biasanya memanfaatkan bangunan tua yang kemudian
direhabilitasi ruang luar atau ruang dalamnya sebagai ruang
komersial. Kadang-kadang dipakai untuk festival pasar dan
dikelola sendiri oleh pemilik gedung tersebut.
10. Ruang di Lingkungan Rumah (Found/Neigborhood Spaces)
Ruang publik ini merupakan ruang terbuka yang mudah dicapai dari
rumah, seperti sisa kapling di sudut jalan atau tanah kosong yang
belum dimanfaatkan dapat dipakai sebagai tempat bermain bagi anak-
anak atau tempat komunikasi bagi orang dewasa atau orang tua.
11. Waterfront
Ruang ini berupa pelabuhan, pantai, bantaran sungai, bantaran danau
atau dermaga. Ruang terbuka ini berada di sepanjang rute aliran air di
dalam kota yang dikembangkan sebagai taman untuk waterfront
(Torre.L.A, 1989).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83 |BAB II
II.5.6. Kriteria Desain Tak Terukur(unmeasureable design criterias)
Kriteria desain tak terukur merupakan kriteria yang lebih menekankan
pada aspek kualitatif di lapangan. Kriteria ini sering dipakai dalam penelitian
kualitatif, untuk mengukur suatu kualitas lingkungan kota. Menurut Shirvani.H
(1985:57), ada 6 kriteria desain tak terukur antara lain:
1. Pencapaian (access)
Access memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan bagi para
pengguna untuk mencapai tujuan dengan sarana dan prasana
transporatasi yang mendukung kemudahan aksesibilitas yang
direncanakan dan dirancang sesuai dengan kebutuhan pengguna
sehingga dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam
menjalankan aktivitasnya. Fasilitas untuk aksesibilitas ini hendaknya
dalam perencanaan dan perancangannya memperhatikan tatanan, letak,
sirkulasi, dan dimensi (Lynch. 1976).
2. Kecocokan (compatible)
Kecocokan adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi,
kepadatan, skala dan bentuk masa bangunan.
3. Pemandangan (view)
Pemandangan berkaitan dengan aspek kejelasan yang terkait dengan
orientasi manusia terhadap bangunan. View dapat berupa landmark,
Nilai visual ini dapat diperoleh dari skala dan pola serta warna, tekstur,
tinggi dan besaran.
4. Identitas (identity)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84 |BAB II
ldentitas adalah nilai yang dibuat atau dimunculkan oleh objek
(bangunan/manusia) sehingga dapat ditangkap dan dikenali oleh indera
manusia. Identity dikenal juga dengan citra (Darmawan, 2003).
5. Rasa (sense)
Rasa kesan atau suasana yang ditimbulkan. Sense ini biasanya
merupakan simbol karakter dan berhubungan dengan aspek ragam
gaya yang disampaikan oleh individu/ kelompok bangunan atau
kawasan (Lyncn.K, 1976; Steele.F,1981).
6. Kenyamanan (livability)
Kenyamanan adalah kenyamanan untuk tinggal ataurasa kenyamanan
untuk tinggal atau beraktivitas di suatu kawasan/obyek (Darmawan,
2003).
Dari kriteria desain tak terukur di atas dapat diartikan bahwa persepsi
setiap individu atau kelompok masyarakat akan menuntut kebutuhan fasilitas kota
yang berlainan pula, tergantung hirarki sosial ekonomi masyarakat pengguna kota.
Menurut Frey. H (1999) kriteria yang dapat mendorong kesinambungan
bentuk dan struktur kota diperbandingkan antara kebutuhan dasar manusia
menurut hierarki Maslow dan tuntutan kebutuhan fasilitas umum kota.
II.6. PANGGUNG PERTUNJUKAN
Dalam sejarah perkembangannya, seni teater memiliki berbagai macam jenis
panggung yang dijadikan tempat pementasan. Perbedaan jenis panggung ini
dipengaruhi oleh tempat dan zaman dimana teater itu berada serta gaya
pementasan yang dilakukan. Bentuk panggung yang berbeda memiliki prinsip
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85 |BAB II
artistik yang berbeda.Misalnya, dalam panggung yang penontonnya melingkar,
membutuhkan tata letak perabot yang dapat enak dilihat dari setiap sisi. Berbeda
dengan panggung yang penontonnya hanya satu arah dari depan. Untuk
memperoleh hasil terbaik, penata panggung diharuskan memahami karakter jenis
panggung yang akan digunakan serta bagian-bagian panggung tersebut.
II.6.1. Jenis-jenis Panggung
Panggung adalah tempat berlangsungnya sebuah pertunjukan dimana
interaksi antara kerja penulis lakon, sutradara, dan aktor ditampilkan di hadapan
penonton.Di atas panggung inilah semua laku lakon disajikan dengan maksud
agar penonton menangkap maksud cerita yang ditampilkan.Untuk menyampaikan
maksud tersebut pekerja teater mengolah dan menata panggung sedemikian rupa
untuk mencapai maksud yang dinginkan.Seperti telah disebutkan di atas bahwa
banyak sekali jenis panggung tetapi dewasa ini hanya tiga jenis panggung yang
sering digunakan. Ketiganya adalah panggung proscenium, panggung thrust, dan
panggung arena. Dengan memahami bentuk dari masingmasing panggung inilah,
penata panggung dapat merancangkan karyanya berdasar lakon yang akan
disajikan dengan baik.
· Arena
Panggung arena adalah panggung yang
penontonnya melingkar atau duduk mengelilingi
panggung (Gambar 2-18). Penonton sangat dekat
sekali dengan pemain. Agar semua pemain dapat
Gambar 2-18 Denah panggung teater arena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86 |BAB II
terlihat dari setiap sisi maka penggunaan set dekor berupa bangunan tertutup
vertikal tidak diperbolehkan karena dapat menghalangi pandangan penonton.
Karena bentuknya yang dikelilingi oleh penonton, maka penata panggung dituntut
kreativitasnya untuk mewujudkan set dekor. Segala perabot yang digunakan
dalam panggung arena harus benar-benar dipertimbangkan dan dicermati secara
hati-hati baik bentuk, ukuran, dan penempatannya.Semua ditata agar enak
dipandang dari berbagai sisi.
Panggung
arena biasanya
dibuat secara
terbuka (tanpa
atap) dan
tertutup.Inti dari
pangung arena
baik terbuka atau
tertutup adalah
mendekatkan penonton dengan pemain.Kedekatan jarak ini membawa
konsekuensi artistik tersendiri baik bagi pemain dan (terutama) tata panggung.
Karena jaraknya yang dekat, detil perabot yang diletakkan di atas panggung harus
benar-benar sempurna sebab jika tidak maka cacat sedikit saja akan nampak.
Misalnya, di atas panggung diletakkan kursi dan meja berukir. Jika bentuk ukiran
yang ditampilkan tidak nampak sempurna – berbeda satu dengan yang lain – maka
penonton akan dengan mudah melihatnya. Hal ini mempengaruhi nilai artistik
pementasan.
Gambar 2-19 Berbagai macam model panggung teater arena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87 |BAB II
Lepas dari kesulitan yang dihadapi, panggun arena sering menjadi pilihan
utama bagi teater tradisional.Kedekatan jarak antara pemain dan penonton
dimanfaatkan untuk melakukan komunikasi langsung di tengah-tengah
pementasan yang menjadi ciri khas teater tersebut.Aspek kedekatan inilah yang
dieksplorasi untuk menimbulkan daya tarik penonton.Kemungkinan
berkomunikasi secara langsung atau bahkan bermain di tengah-tengah penonton
ini menjadi tantangan kreatif bagi teater modern.Banyak usaha yang dilakukan
untuk mendekatkan pertunjukan dengan penonton, salah satunya adalah
penggunaan panggung arena.Beberapa pengembangan desain dari teater arena
melingkar dilakukan sehingga bentuk teater arena menjadi bermacam-macam.
Masing-masing bentuk memiliki keunikannya tersendiri tetapi semuanya
memiliki tujuan yang sama yaitu mendekatkan pemain dengan penonton.
· Proscenium
Panggung
proscenium bisa juga
disebut sebagai
panggung bingkai
karena penonton
menyaksikan aksi
aktor dalam lakon
melalui sebuah
bingkai atau lengkung proscenium (proscenium arch).Bingkai yang dipasangi
layar atau gorden inilah yang memisahkan wilayah akting pemain dengan
penonton yang menyaksikan pertunjukan dari satu arah (Gambar 2-20).Dengan
Gambar 2-20 Panggung proscenium
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88 |BAB II
pemisahan ini maka pergantian tata panggung dapat dilakukan tanpa
sepengetahuan penonton.Panggung proscenium sudah lama digunakan dalam
dunia teater. Jarak yang sengaja diciptakan untuk memisahkan pemain dan
penonton ini dapat digunakan untuk menyajikan cerita seperti apa adanya. Aktor
dapat bermain dengan leluasa seolah-olah tidak ada penonton yang hadir
melihatnya. Pemisahan ini dapat membantu efek artistik yang dinginkan terutama
dalam gaya realisme yang menghendaki lakon seolah-olah benar-benar terjadi
dalam kehidupan nyata.
Tata panggung pun sangat diuntungkan dengan adanya jarak dan
pandangan satu arah dari penonton.Perspektif dapat ditampilkan dengan
memanfaatkan kedalaman panggung (luas panggung ke belakang). Gambar
dekorasi dan perabot tidak begitu menuntut kejelasan detil sampai hal-hal terkecil.
Bentangan jarak dapat menciptkan bayangan arstisitk tersendiri yang mampu
menghadirkan kesan.Kesan inilah yang diolah penata panggung untuk
mewujudkan kreasinya di atas panggung proscenium.Seperti sebuah lukisan,
bingkai proscenium menjadi batas tepinya.Penonton disuguhi gambaran melalui
bingkai tersebut.Hampir semua sekolah teater memiliki jenis panggung
proscenium.Pembelajaran tata panggung untuk menciptakan ilusi (tipuan)
imajinatif sangat dimungkinkan dalam panggung proscenium.
Jarak antara penonton dan panggung adalah jarak yang dapat dimanfaatkan
untuk menciptakan gambaran kreatif pemangungan.Semua yang ada di atas
panggung dapat disajikan secara sempurna seolah-olah gambar nyata.Tata cahaya
yang memproduksi sinar dapat dihadirkan dengan tanpa terlihat oleh penonton
dimana posisi lampu berada. Intinya semua yang di atas panggung dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89 |BAB II
diciptakan untuk mengelabui pandangan penonton dan mengarahkan mereka pada
pemikiran bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kenyataan. Pesona inilah
yang membuat penggunaan panggung proscenium bertahan sampai sekarang.
· Thrust
Panggung thrust
seperti panggung proscenium
tetapi dua per tiga bagian
depannya menjorok ke arah
penonton. Pada bagian depan
yang menjorok ini penonton
dapat duduk di sisi kanan dan
kiri panggung (Gambar 2-21).
Panggung thrust nampak
seperti gabungan antara panggung arena dan proscenium.
Untuk penataan panggung, bagian depan diperlakukan seolah panggung
Arena sehingga tidak ada bangunan tertutup vertikal yang dipasang. Sedangkan
panggung belakang diperlakukan seolah panggung proscenium yang dapat
menampilan kedalaman objek atau pemandangan secara perspektif. Panggung
thrust telah digunakan sejak Abad Pertengahan (Medieval) dalam bentuk
panggung berjalan (wagon stage) pada suatu karnaval. Bentuk ini kemudian
diadopsi oleh sutradara teater modern yang menghendaki lakon ditampilkan
melalui akting para pemain secara lebih artifisial (dibuat-buat agar lebih menarik)
kepada penonton. Bagian panggung yang dekat dengan penonton memungkinkan
Gambar 2-21 Panggung thrust
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90 |BAB II
gaya akting teater presentasional yang mempersembahkan permainan kepada
penonton secara langsung, sementara bagian belakang atau panggung atas dapat
digunakan untuk penataan panggung yang memberikan gambaran lokasi kejadian.
· Bagian-bagian Panggung
Panggung teater
modern memiliki bagian-
bagian atau ruangruang yang
secara mendasar dibagi
menjadi tiga, yaitu bagian
panggung, auditorium
(tempat penonton), dan ruang
depan. Bagian yang paling
kompleks dan memiliki
fungsi artistik pendukung
pertunjukan adalah bagian
panggung.Masing-masing memiliki fungsinya sendiri.Seorang penata panggung
harus mengenal bagian-bagian panggung secara mendetil.Gambar 2-22 dan 2-23
menerangkan bagian-bagian panggung.
A. Border. Pembatas yang terbuat dari kain. Dapat dinaikkan dan diturunkan.
Fungsinya untuk memberikan batasan area permaianan yang digunakan.
B. Backdrop. Layar paling belakang. Kain yang dapat digulung atau diturun-
naikkan dan membentuk latar belakang panggung.
C. Batten. Disebut juga kakuan. Perlengkapan panggung yang dapat
Gambar 2-22 Bagian-bagian Panggung 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91 |BAB II
digunakan untuk meletakkan atau menggantung benda dan dapat
dipindahkan secara fleksibel.
D. Penutup/flies. Bagian atas rumah panggung yang dapat digunakan untuk
menggantung set dekor serta menangani peralatan tata cahaya.
E. Rumah panggung (stage house). Seluruh ruang panggung yang meliputi
latar dan area untuk tampil
F. Catwalk (jalan sempit). Permukaan, papan atau jembatan yang dibuat di
atas panggung yang dapat menghubungkan sisi satu ke sisi lain sehingga
memudahkan pekerja dalam memasang dan menata peralatan.
G. Tirai besi. Satu tirai khsusus yang dibuat dari logam untuk memisahkan
bagian panggung dan kursi penonton. Digunakan bila terjadi kebakaran di
atas panggung. Tirai ini diturunkan
sehingga api tidak menjalar keluar
dan penonton bisa segera
dievakuasi.
H. Latar panggung atas. Bagian latar
paling belakang yang biasanya
digunakan untuk memperluas area
pementasan dengan meletakkan
gambar perspektif.
I. Sayap (side wing). Bagian kanan
dan kiri panggung yang
tersembunyi dari penonton,
biasanya digunakan para aktor menunggu giliran sesaat sebelum tampil.
Gambar 2-23 Bagian panggung 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92 |BAB II
J. Layar panggung. Tirai kain yang memisahkan panggung dan ruang
penonton. Digunakan (dibuka) untuk menandai dimulainya pertunjukan.
Ditutup untuk mengakhiri pertunjukan.
Digunakan juga dalam waktu jeda penataan set dekor antara babak satu dengan
lainnya.
K. Trap jungkit. Area permainan atau panggung yang biasanya bisa dibuka
dan ditutup untuk keluar-masuk pemain dari bawah panggung.
L. Tangga. Digunakan untuk naik ke bagian atas panggung secara cepat.
Tangga lain, biasanya diletakkan di belakang atau samping panggung
sebelah luar.
M. Apron. Daerah yang terletak di depan layar atau persis di depan bingkai
proscenium.
N. Bawah panggung. Digunakan untuk menyimpan peralatan set. Terkadang
di bagian bawah ini juga terdapat kamar ganti pemain.
O. Panggung. Tempat pertunjukan dilangsungkan.
P. Orchestra Pit. Tempat para musisi orkestra bermain. Dalam beberapa
panggung proscenium, orchestra pit tidak disediakan.
Q. FOH (Front Of House) Bar. Baris lampu yang dipasang di atas penonton.
Digunakan untuk lampu spot.
R. Langit-langit akustik. Terbuat dari bahan yang dapat memproyeksikan
suara dan tidak menghasilkan gema.
S. Ruang pengendali. Ruang untuk mengendalikan cahaya dan suara (sound
system).
T. Bar. Tempat menjual makan dan minum untuk penonton selama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93 |BAB II
menunggu pertunjukan dimulai.
U. Foyer. Ruang tunggu penonton sebelum pertunjukan dimulai atau saat
istirahat.
V. Tangga. Digunakan untuk naik dan turun dari ruang lantai satu ke ruang
lantai lain.
W. Auditorium (house). Ruang tempat duduk penonton di panggung
proscenium. Istilah auditorium sering juga digunakan sebagai pengganti
panggung proscenium itu sendiri.
X. Ruang ganti pemain. Ruang ini bisa juga terletak di bagian bawah
belakang panggung.
II.6.2. Pengetahuan Tata Pentas
Tata pentas bisa disebut juga dengan scenery atau pemandangan latar
belakang (Background) tempat memainkan lakon. Tata pentas dalam pengertian
luas adalah suasana seputar gerak laku di atas pentas dan semua elemen-elemen
visual atau yang terlihat oleh mata yang mengitari pemeran dalam pementasan.
Tata pentas dalam pengertian teknik terbatas yaitu benda yang membentuk suatu
latar belakang fisik dan memberi batas lingkungan gerak laku. Dengan mengacu
pada definisi di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa tata pentas adalah
semua latar belakang dan benda-benda yang ada dipanggung guna menunjang
seorang pemeran memainkan lakon.
Sebelum memahami lebih jauh tentang tata pentas, kita perlu mengetahui
apa yang dimaksud pentas itu sendiri. Pentas menurut Pramana Padmodarmaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94 |BAB II
ialah tempat pertunjukan dengan pertunjukan kesenian yang menggunakan
manusia (pemeran) sebagai media utama. Dalam hal ini misalnya pertunjukan tari,
teater tradisional (ketoprak, ludruk, lenong, longser, randai makyong, mendu,
mamanda, arja dan lain sebagainya), sandiwara atau drama nontradisi baik
sandiwara baru maupun teater kontemporer. Webster mendefinisikan pentas
sebagai suatu tempat yang tinggi dimana lakon-lakon drama dipentaskan atau
suatu tempat dimana para aktor bermain. Sedang W.J.S. Purwadarminta dalam
kamus umum bahasa Indonesia menerangkan pentas sebagai lantai yang agak
ketinggian dirumah (untuk tempat tidur) ataupun di dapur (untuk memasak).
Dengan demikian kalau disimpulkan pentas adalah suatu tempat dimana para
penari atau pemeran menampilkan seni pertunjukan dihadapan penonton.
Selain istilah pentas kita mengenal istilah panggung. Panggung menurut
Purwadarminta ialah lantai yang bertiang atau rumah yang tinggi atau lantai yang
berbeda ketinggiannya untuk bermain sandiwara, balkon atau podium. Dalam seni
pertunjukan panggung dikenal dengan istilah Stage melingkupi pengertian seluruh
panggung. Jika panggung merupakan tempat yang tinggi agar karya seni yang
diperagakan diatasnya dapat terlihat oleh penonton, maka pentas juga merupakan
suatu ketinggian yang dapat membentuk dekorasi, ruang tamu, kamar belajar,
rumah adat dan sebagainya. Jadi beda panggung dengan pentas ialah pentas dapat
berada diatas panggung atau dapat pula di arena atau lapangan.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan, pentas merupakan bagian dari
panggung yaitu suatu tempat yang ditinggikan yang berisi dekorasi dan penonton
dapat jelas melihat. Dalam istilah sehari-hari sering disebut dengan panggung
pementasan, dan apabila suatu seni pertunjukan dipergelarkan tanpa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95 |BAB II
menggunakan panggung maka disebut arena pementasan. Sehingga pementasan
dapat diadakan diarena atau lapangan.
Kini yang dianggap pentas bagi seni pertunjukan kontemporer tidak saja
berupa panggung yang biasa terdapat pada sebuah gedung akan tetapi keseluruhan
dari pada gedung itulah pentas, yakni panggung dan tempat orang menonton.
Sebab pada penampilan seni pertunjukan tokoh dapat saja turun berkomunikasi
dengan penontonnya atau ia dapat muncul dari arah penonton. Seperti istilah
Shakespeare bahwa seluruh dunia ini adalah pentas ( all the word’s stage).
Dengan begitu bisa saja setiap lingkungan masyarakat memiliki sebuah pentas
yang memadai dan sesuai untuk mementaskan sebuah seni pertunjukan.
II.6.3. Macam-macam Panggung
Secara fisik bentuk panggung dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu
panggung tertutup, panggung terbuka dan panggung kereta. panggung tertutup
terdiri dari panggung prosenium, panggung portable dan juga dapat berupa arena.
Sedangkan panggung terbuka atau lebih dikenal dengan sebutan open air stage
dan bentuknya juga bermacam-macam.
II.6.3.1. Panggung Prosenium atau Panggung Pigura
Panggung prosenium merupakan panggung konvensional yang memiliki
ruang prosenium atau suatu bingkai gambar melalui mana penonton menyaksikan
pertunjukan. Hubungan antara panggung dan auditorium dipisahkan atau dibatasi
oleh dinding atau lubang prosenium. Sedangkan sisi atau tepi lubang prosenium
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96 |BAB II
bisa berupa garis lengkung atau garis lurus yang dapat disebut dengan pelengkung
prosenium (Proscenium Arch).
Panggung prosenium dibuat untuk membatasi daerah pemeranan dengan
penonton. Arah dari panggung
ini hanya satu jurusan yaitu
kearah penonton saja, agar
pandangan penonton lebih
terpusat kearah pertunjukan.
Para pemeran diatas panggung
juga agar lebih jelas dan
memusatkan perhatian
penonton. Dalam kesadaran
itulah maka keadaan pentas prosenium harus dapat memenuhi fungsi melayani
pertunjukan dengan sebaik-baiknya.
Dengan kesadaran bahwa penonton yang datang hanya bermaksud untuk
menonton pertunjukan, oleh karena itu harus dihindarikan sejauh mungkin apa
yang nampak dalam pentas prosenium yang sifatnya bukan pertunjukan. Maka
dipasanglah layar-layar (curtain) dan sebeng-sebeng (Side wing). Maksudnya agar
segala persiapan pertunjukan dibelakang pentas yang sifatnya bukan pertunjukan
tidak dilihat oleh penonton. Pentas prosenium tidak seakrab pentas arena, karena
memang ada kesengajaan atau kesadaran membuat pertunjukan dengan ukuran-
ukuran tertentu. Ukuran-ukuran atau nilai-nilai tertentu dari pertunjukan itu
kemudian menjadi konvensi. Maka dari itu pertunjukan yang melakukan konvensi
demikian disebut dengan pertunjukan konvensional.
Gambar 2-24 Denah Panggung Proscenium
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97 |BAB II
II.6.3.2. Panggung Portable
Panggung portable
yaitu panggung tanpa layar
muka dan dapat dibuat di
dalam maupun di luar
gedung dengan
mempergunakan panggung (podium, platform) yang dipasang dengan kokoh di
atas kuda-kuda. Sebagai tempat penonton biasanya mempergunakan kursi lipat.
Adegan-adegan dapat diakhiri dengan mematikan lampu (black out) sebagai
pengganti layar depan. Dengan kata lain bahwa panggung portable yaitu
panggung yang dibuat secara tidak permanen.
II.6.3.3. Panggung Arena
Panggung arena merupakan bentuk panggung yang paling sederhana
dibandingkan dengan bentuk-bentuk pangung yang lainnya. Panggung ini dapat
dibuat di dalam maupun di luar gedung asal dapat dipergunakan secara memadai.
Kursi-kursi penonton diatur sedemikian rupa sehingga tempat panggung berada di
tengah dan antara deretan kursi ada lorong untuk masuk dan keluar pemain atau
penari menurut kebutuhan pertunjukan tersebut. Papan penyangga (peninggi)
ditempatkan di belakang masing-masing deret kursi, sehingga kursi deretan
belakang dapat melihat dengan baik tanpa terhalang penonton dimukanya.
Sebagai penganti layar pada akhir pertunjukan atau pergantian babak dapat
digunakan dengan cara mematikan lampu (black out). Perlengkapan tata lampu
dapat dibuatkan tiang-tiang tersendiri dan penempatannya harus tidak
mengganggu pandangan penonton.
Gambar 2-25 Panggung Portable
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98 |BAB II
Berbagai ragam bentuk Panggung Arena adalah sebagai berikut :
1. Panggung Arena Tapal Kuda adalah panggung dimana separuh bagian
pentas atau panggung masuk kebagian penonton sehingga membentuk
lingkaran tapal kuda.
2. Panggung Arena ¾, berarti ¾ dari panggung masuk kearah penonton
atau dengan kata lain penonton dapat menyaksikan pementasan dari
tiga sisi atau arah penjuru panggung. Panggung arena ¾ biasanya
berupa pentas arena bentuk U.
3. Panggung Arena Penuh yaitu dimana penonton dapat menyaksikan
pertunjukan dari segala sudut atau arah dan arena permainan berada di
tengah-tengah penonton. Panggung arena penuh biasanya panggung
arena bujur sangkar atau panggung arena bentuk lingkaran.
Gambar 2-26 Denah Panggung Tapal Kuda
Gambar 2-27 Denah Panggung Arena bentuk U
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99 |BAB II
II.6.3.4. Panggung Terbuka
Panggung terbuka sebetulnya lahir dan dibuat di daerah atau tempat
terbuka. Berbagai variasi dapat digunakan untuk memproduksi pertunjukan di
tempat terbuka. Pentas dapat dibuat di beranda rumah, teras sebuah gedung
dengan penonton berada di halaman, atau dapat diadakan disebuah tempat yang
landai dimana penonton berada di bagian bawah tempat tersebut. Panggung
terbuka permanen (open air stage) yang cukup popular di Indonesia antara lain
adalah panggung terbuka di Candi Prambanan.
Gambar 2-28 Denah Panggung Arena bujur sangkar
Gambar 2-29 Denah Panggung Arena bentuk lingkaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100 |BAB II
II.6.3.5. Panggung Kereta
Panggung kereta disebut juga dengan panggung keliling dan digunakan
untuk mempertunjukkan karya-karya teater dari satu tempat ke tempat lain dengan
menggunakan panggung yang dibuat di atas kereta. Perkembangan sekarang
panggung tidak dibuat di atas kereta tetapi dibuat diatas mobil trailer yang
diperlengkapi menurut kebutuhan dan perlengkapan tata cahaya yang sesuai
dengan kebutuhan pentas. Jadi kelompok kesenian dapat mementaskan karyanya
dari satu tempat ke tempat lain tanpa harus memikirkan gedung pertunjukan tetapi
hanya mencari tanah yang agak lapang untuk memarkir kereta dan penonton bebas
untuk menonton.
II.6.4. Pokok-pokok Persyaratan Set Panggung/Pentas
Set panggung atau pentas (scenery) yaitu penampilan visual lingkungan
sekitar gerak laku pemeran dalam sebuah lakon. Untuk itu dalam merancang
pentas harus memperhatikan aspek-aspek tempat gerak-laku, memperkuat gerak-
laku dan mendandani atau memperindah gerak-laku. Oleh sebab itu, tugas seorang
perancang pentas hendaklah merencanakan set-nya sedemikian rupa sehingga :
a. Dapat memberi ruang kepada gerak-laku.
b. Dapat memberi pernyataan suasana lakon.
Gambar 2-30 Denah Panggung Terbuka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101 |BAB II
c. Dapat memberi pandangan yang menarik.
d. Dapat dilihat dan dimengerti oleh penonton.
e. Merupakan rancangan yang sederhana
f. Dapat bermanfaat terus menerus bagi pemeran atau pelaku.
g. Dapat secara efisien dibuat, disusun dan dibawa.
h. Dapat membuat rancangan yang menunjukkan bahwa setiap elemen yang
terdapat didalam penampilan visual pentasnya memiliki hubungan satu
sama lain.
Oleh karena itu, secara singkat seorang perancang pentas yang membuat
set harus memiliki tujuan yaitu: lokatif, ekspresif, atraktif, jelas, sederhana,
bermanfaat, praktis dan organis.
· Lokatif yaitu penataan pentas itu harus dapat memberi tempat kepada
gerak laku pemeran atau pelaku pertunjukan.
· Ekspresif yaitu penataan pentas harus dapat memperkuat gerak-laku
dengan memberi penjelasan, menggambarkan keadaan sekitar dan
menciptakan suasana bagi gerak-laku tersebut.
· Atraktif yaitu penataan pentas itu harus dapat memberi pandangan yang
menarik bagi penonton.
· Jelas yaitu penataan pentas itu harus merupakan rancangan yang dapat
dilihat dan dimengerti oleh penonton dari suatu jarak tertentu.
· Sederhana yaitu penataan pentas itu harus sederhana. Sederhana tidak
berarti bahwa pentas hanya terdiri dari satu meja dan dua kursi, tetapi
penataannya tidak ruwet dan penonton dapat melihat dan menarik
maknanya tanpa memeras pikiran dan perasaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102 |BAB II
· Bermanfaat yaitu penataan pentas harus dirancang sedemikian rupa
sehingga dapat bermanfaat bagi para pemeran dengan efektif dan seefisien
mungkin.
· Praktis yaitu penataan pentas itu harus dapat secara efisien dibuat, disusun
dan dibawa serta dapat memenuhi kebutuhan teknis pembuatan tata pentas
atau scenery.
Organis yaitu penataan pentas itu harus dapat menunjukkan setiap elemen
yang terdapat didalam penampilan visual penataannya dan memiliki hubungan
satu sama lainnya
Alun-alun merupakan suatu tempat yang kompleks. Pusat kota yang segala
aktivitas masyarakat dapat ditampung didalamnya. Mulai dari sekedar jalan-jalan
ke alun-alun hingga tamu pemerintahan pun juga dapat mengakses alun-alun
dengan mudah. Dengan demikian, alun-alun menjadi sebuah “welcome space”
bagi mereka yang belum pernah mengunjungi sebuah kota. Sebuah tempat yang
strategis untuk menunjukkan potensi wisata daerah itu sendiri.
Kota Ponorogo yang memiliki kesenian tari reog, sebuah potensi besar
dalam bidang pariwisata apabila dikelola dengan baik. Potensi besar untuk
mendapatkan pendapatan daerah dan ketika pariwisata dapat berkembang dengan
dinamis maka pendapatan masyarakat sekitar pun akan cenderung naik.
II.7. KONDISI KABUPATEN PONOROGO
Kota Ponorogo sebagai ibukota Kabupaten Ponorogo yang terletak di bagian
Barat Daya Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur mempunyai keuntungan lokasi
yang strategis, yaitu terletak di sebagai pusat kegiatan regional Madiun - Pacitan –
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103 |BAB II
Gambar 2-31 Peta wilayah Kabupaten Ponorogo
Trenggalek - Wonogiri (Jawa Tengah) dan Magetan. Dengan demikian kota
Ponorogo mempunyai peranan yang sangat penting baik sebagai pusat koleksi
maupun sebagai pusat distribusi bagi wilayah hinterlandnya. Secara umum dapat
dikatakan bahwa kecenderungan perkembangan Kota Ponorogo berlangsung
dengan ekspansive (horisontal) dengan pola campuran antara pola pertumbuhan
rural (tumbuhnya kampung-kampung yang yang bersifat (enclave) dan pola
pertumbuhan urban yang dicirikan dengan perkembangan permukiman antara pola
linier dan menyebar (dispersed).
Secara geografis Kota Ponorogo terletak pada 111°17’-111°52’ Bujur Timur
dan 7°49’-8°20’ Lintang Selatan dengan wilayah seluas 5.119,905 Ha. Kota
Ponorogo termasuk ke dalam iklim tropis dan mempunyai curah hujan tertinggi
pada bulan Januari-April yaitu sebesar 227-370 mm/det, dan tingkat curah hujan
terkecil terjadi pada bulan Oktober-Desember yaitu 51-70 mm/det. Suhu rata-rata
di kota Ponorogo berkisar antara 28-34° C.
Kota Ponorogo
berada pada ketinggian
antara 100-199 meter diatas
permukaan air laut dengan
kondisi lahan yang hampir
90% landai atau datar.
Dengan kemiringan rata-
rata dibawah 10% maka
dapat dikatakan bahwa Kota
Ponorogo tidak mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104 |BAB II
kendala untuk berkembang secara ekspansive terutama bila ditinjau dari segi
topografi. Di Kota Ponorogo terdapat beberapa sungai utama yang mengalir dan
memperngaruhi sistem tata air dan secara tidak langsung mempengaruhi pola
perkembangan kota tersebut yaitu Sungai Cokromenggalan, Sungai Mangkungan,
Sungai Bibis, Sungai Gendol, Sungai Keyang, Sungai Genting, Sungai Sungkur
dan Sungai Sekayu.
Kota Ponorogo telah mempunyai fasilitas perdagangan yang lengkap,
fasilitas tersebut berupa pasar dan pertokoan yang terkonsentrasi di pusat kota.
Khususnya Pasar Kota Ponorogo seperti Pasar Legi di Desa Banyudono, Pasar
Pon di Desa Mangunsuman dan pasar yang ada di Desa Tonotan. Selain
menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari, keberadaan pasar tersebut juga penting
dalam rangka menunjang
kegiatan sistem koleksi –
distribusi terhadap barang-
barang kebutuhan penduduk
dan beberapa komoditi
pertanian yang dihasilkan
oleh Kota Ponorogo dan wilayah
sekitarnya. Sedangkan fasilitas perdagangan yang berupa pertokoan terutama
banyak terkonsentrasi di Desa Mangkujayan, Tamanarum, Tambakbayan, dan
Bangunsari. Hanya saja untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang
kebutuhan yang sifatnya tersier seperti peralatan elektronik, otomotif dan
sebagainya, penduduk selain pergi ke Kota Ponorogo sendiri juga pergi ke kota
besar lainnya seperti Madiun bahkan Surabaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105 |BAB II
Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk
Kabupaten Ponorogo sementara adalah 854.878 orang, yang terdiri atas 427.365
laki-laki dan 427.513 perempuan. Dari hasil SP2010 tersebut masih tampak
bahwa penyebaran penduduk Kabupaten Ponorogo masih bertumpu di Kecamatan
Ponorogo yakni sebesar 8,70 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Babadan
sebesar 7,32 persen, dan kecamatan lainnya lainnya di bawah 7 persen. Pudak,
Ngebel dan Sooko adalah 3 kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit
yang masing-masing berjumlah 8.899 orang, 19.102 orang, dan 21.885 orang.
Sedangkan Kecamatan Ponorogo, Babadan dan Ngrayun merupakan 3 kecamatan
yang paling banyak penduduknya, yakni masing-masing sebanyak 74.354 orang,
62.567 orang dan 55.510 orang. Dengan luas wilayah Kabupaten Ponorogo sekitar
1.371,78 kilo meter persegi yang didiami oleh 854.878 orang maka rata-rata
tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Ponorogo adalah sebanyak 623 orang per
kilo meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya
adalah Kecamatan Ponorogo yakni sebanyak 3.333 orang per kilo meter persegi
sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Pudak yakni sebanyak 182
orang per kilo meter persegi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106 |BAB II
Penduduk Ponorogo terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam empat
dasa warsa terakhir menunjukkan adanya tren peningkatan jumlah penduduk.
Pada tahun 1980 jumlah penduduk tercatat sebanyak 783.356 jiwa, meningkat
menjadi 837.055 jiwa pada tahun 1990 dan 841.497 jiwa pada tahun 2000.
Sementara itu hasil SP2010 mencatat jumlah penduduk Ponorogo mencapai
854.878 jiwa.
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Ponorogo per tahun selama
sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 0,16 persen. Laju
pertumbuhan penduduk Kecamatan Pudak adalah yang tertinggi dibandingkan
kecamatan lain di Kabupaten Ponorogo yakni sebesar 0,95 persen, sedangkan
yang terendah di Kecamatan Kauman yakni sebesar -0,46 persen. Kecamatan
Tabel 2-1 Jumlah Penduduk menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin
(Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107 |BAB II
Sawoo walaupun menempati urutan keempat dari jumlah penduduk di Kabupaten
Ponorogo namun dari sisi laju pertumbuhan penduduk adalah cukup rendah yakni
hanya sebesar -0,33 persen. Kecamatan Ponorogo walaupun jumlah penduduknya
yang paling banyak tetapi laju pertumbuhannya masih di bawah Kecamatan
Pudak (0,95 persen) dan Kecamatan Babadan (0,76 persen) yakni sebesar 0,52
persen.
Tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Ponorogo tidak merata. Tingkat
kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Ponorogo. Daerah kecamatan
penyangga wilayah kota, meliputi kecamatan Babadan, Siman, Jetis, Jenangan
dan Mlarak merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk relatif
lebih tinggi dibandingkan kecamatan lainnya. Kecamatan di wilayah timur dan
selatan umumnya memiliki tingkat kepadatan penduduk rendah dikarenakan luas
Gambar 2-33 Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Ponorogo
(Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108 |BAB II
hutan negara yang mendominasi wilayah tersebut. Wilayah dengan kepadatan
penduduk rendah meliputi Kecamatan Ngrayun, Sampung, Sawoo, Sooko, Pudak,
Pulung dan Ngebel.
II.7.1. Potensi Kawasan Alun-alun Ponorogo
Perkembangan seni tidak lepas dari perkembangan kebudayaan
masyarakat yang ada di Ponorogo, perkembangan kebudayaan tidak lepas dari
perilaku masyarakat sebagai pembentuk sebuah kebudayaan. Dengan adanya
kesenian tari reog, perkembangan seni akan meningkat seiring dengan fasilitas
penunjang kesenian tersebut yang dikelola secara maksimal. Pengoptimalan
Gambar 2-34 Kepadatan Penduduk Kabupaten Ponorogo
(Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109 |BAB II
panggung pertunjukan yang di alun-alun Ponorogo menjadi alternatif sebagai
pengenalan kesenian kepada masyarakat Ponorogo.
Kawasan Alun-alun merupakan sebuah pusat kebudayaan dalam suatu
daerah. Dengan warisan kebudayaan berupa tari reog Ponorogo bisa membuat
peluang meraih pendapatan daerah yang lebih besar melalui sektor pariwisata.
Bukan hanya pendapatan daerah saja yang bertambah, pendapatan masyarakat
yang disekitar kawasan Alun-alun pun juga ikut meningkat. Menjajakan souvenir
ataupun oleh-oleh khas Kabupaten Ponorogo.
Hal ini terkait dengan kebutuhan proses jual-beli yang berada di kawasan
alun-alun. Menjadi sebuah ruang publik yang plural, siapapun dapat mengakses
alun-alun secara bebas. Sebagai ruang publik masyarakat Ponorogo alun-alun bisa
digunakan sebagai media untuk memberi pengetahuan secara tidak langsung
tentang kebudayaan, sosial masyarakat Ponorogo, dan berbagai potensi wisata di
Kabupaten Ponorogo selain kawasan Alun-alun.
II.7.2. Masalah Kawasan Alun-alun Ponorogo
Potensi yang ada di Kabupaten Ponorogo tidak diimbangi dengan
memfasilitasi sebuah ruang yang mempunyai daya tarik tersendiri. Sebuah
Panggung Pertunjukan Utama yang berada di dalam Alun-alun pun tidak
diperhatikan keberadaannya, rusak. Pedagang Kaki Lima pun semakin semrawut
karena tidak adanya penganturan yang jelas. Sebuah sistem di atas kertas pun
tidak mampu menahan laju pertumbuhan Pedagang Kaki Lima. Kegiatan ekonomi
memang penting bagi masyarakat tetapi Alun-alun yang menjadi pusat
kebudayaan kota seakan memudar maknanya dengan penataan kegiatan ekonomi
yang buruk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110 |BAB II
II.8. PRESEDEN
Dalam preseden ini perancang mengambil pola kawasan alun-alun Wonosobo
dan alun-alun kidul Yogyakarta.
II.8.1. Alun-alun Wonosobo
Pedestrian yang di olah sangat baik oleh pemerintah kota Wonosobo
untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakatnya. Sirkulasi pejalan kaki pun
sangat diperhatikan. Tidak adanya penjual kaki lima yang berjualan di atas
trotoar. Terdapat empat pendopo di setiap pojok-pojok alun-alun –sebagai shelter
bagi pejalan kaki- sebuah perencanaan arsitektural yang memperhatikan perilaku
manusia. Penggunaan material pedestrian yang pas dengan sejarah alun-alun yang
Gambar 2-35 Situasi Alun-alun Wonosobo
(Sumber: www.Hestywork.blogspot.com)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111 |BAB II
sejak dulu ada dan sekarang sudah mengalami pergeseran fungsi. Didukung
dengan pola lantai yang dinamis, seperti itulah alun-alun selalu dinamis tidak
statis.
II.8.2. Alun-alun Yogyakarta
Nilai spiritual
yang terus dijaga
menjadikan Alun-alun
Kidul Yogyakarta
seakan-akan tetap
hidup di jaman
sekarang ini.
Disamping Kraton
Jogjakarta yang
menjaga nilai spiritual
tersebut masyarakat
sekitar juga sangat
berperan penting
dalam menghidupkan
nilai sebuah alun-alun.
Alun-alun Ponorogo pun juga memerlukan masyarakat sekitar untuk
merevitalisasi lingkungan alun-alun Ponorogo, dan untuk menarik mayarakat agar
ikut serta dalam revitalisasi tersebut diperlukan sebuah bentuk arsitektural yang
dapat menarik masyarakat.
Gambar 2-36 Situasi Alun-alun Kidul Yogyakarta
(Sumber: dokumen pribadi)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112 |BAB II
Gambar 2-37 Kawasan Alun-alun Kabupaten Ponorogo
II.9. KESIMPULAN
Masyarakat perkotaan membutuhkan
ruang gerak yang dapat mendukung aktivitas
mereka. Kebutuhan akan ruang gerak ini diikuti
dengan kebutuhan interaksi antar-manusia
sebagai makhluk sosial. Kebutuhan ini
mendorong munculnya ruang-ruang publik yang
dapat menampung berbagai jenis kegiatan
tersebut.
Masyarakat Ponorogo pun tidak lepas
akan kebutuhan ruang publik kota. Dengan
memanfaatkan alun-alun sebagai ruang publik
menurut kehidupan dan kebutuhan masyarakat
Ponorogo sekarang ini. Sekaligus untuk media
pengenalan sektor pariwisata Ponorogo.
Merevitalisasi alun-alun Ponorogo dengan
meredesain ulang panggung utama serta
lingkungan alun-alun Ponorogo merupakan
salah satu upaya agar tujuan tersebut diatas dapat terwujud. Meredesain dengan
memperhatikan sejarah alun-alun tersebut mulai dari jaman kerajaan, jaman
kolonial hingga sekarang ini. Begitu juga elemen-elemen yang membentuk alun-
alun itu sendiri. Dengan begitu nilai spiritual alun-alun Ponorogo tidak hilang
begitu saja ketika harus ada bangunan berwajah baru diatasnya. Sebuah
sinkronisasi antara yang lama yang mistis dengan yang baru yang fungsionalis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113 | BAB III
BAB III
REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
SEBAGAI RUANG PUBLIK
Kota, permukiman, masyarakat, sebuah sistem keterkaitan satu sama lain. Secara
umum perancangan kota di Jawa tidak lepas dari hadirnya sebuah alun-alun yang
menjadi pusat kota. Pusat yang menjadi acuan perkembangan permukiman yang bersifat
konsentris29. Begitu pula dengan kota Ponorogo yang memiliki alun-alun, tetapi alun-
alun tersebut sudah mengalami pergeseran bentuk dan fungsi seiring dengan
perkembangan masyarakat modern. Apakah perkembangan alun-alun sekarang masih
mengacu pada konsep penentuan alun-alun pada awal mula kerajaan jawa?. Sekarang
ini kondisi alun-alun Ponorogo menjadi sebuah tempat yang banyak mengakomodasi
kegiatan yang bersifat konsumerisme30. Para pedagang kaki lima pun menggelar
lapaknya secara random tidak ada keteraturan. Alangkah indahnya para pedagang itu
disediakan tempat yang lebih mewadahi kegiatan mereka yang sekaligus meningkatkan
pendapatan mereka. Di barat Alun-alun Ponorogo selain terdapat masjid jami’ juga
terdapat pasar. Bangunan ini dapat di redesain sehingga dapat mengakomodasi kegiatan
perekonomian yang bersifat continue tanpa harus membuat lapak yang permanen.
Kegiatan masyarakat yang bersifat rekreasi pun dapat dijumpai di Alun-alun
Ponorogo. Kebanyakan masyarakat menikmati suasana sore hari sambil bercanda ria
29 mempunyai pusat yang sama. 30 Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114 | BAB III
dengan keluarga, bahkan bersama kawan. Sebuah potensi untuk menempatkan sebuah
bangunan yang bisa mengedukasikan masyarakat tentang sejarah kota Ponorogo,
tentang potensi wisata kota Ponorogo sehingga dengan penempatan bangunan yang
strategis dapat memacu pendapatan daerah melalui sektor pariwisata. Meskipun setiap
tahun di adakan acara seperti syawalan ataupun suroan menjadi salah satu
penyelenggaraan yang bersifat rekreatif tetapi kota Ponorogo membutuhkan sebuah
bentuk kegiatan rekreatif yang bersifat continue tanpa harus menghilangkan konsep
alun-alun yang flexible.
Pemaknaan alun-alun Ponorogo seakan-akan hilang ketika pohon beringin yang
berada di tengah-tengah alun-alun ditumbangkan. Sebuah klasifikasi simbolik manusia
jawa “keblat papat kalimo pancer”. Sebuah pancer telah ditumbangkan, sangat
disayangkan. Apakah pancer selalu di simbolkan dengan pohon beringin dan selalu
ditengah?.
Ketika kita memahami arti alun-alun sebenarnya -menurut tinjauan teori- perlu
adanya revitalisasi kawasan alun-alun Ponorogo. Revitalisasi, pemvitalan kembali
lingkungan alun-alun. Sebuah pengaturan ulang secara sistematis dan programatis akan
kebutuhan ruang. Kebutuhan ruang makro yang menyangkut fungsi bangunan dengan
masyarakat sekitarnya. Kebutuhan ruang mikro, pengolahan desain bangunan dengan
fungsi bangunan itu sendiri.
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui
beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115 | BAB III
1. Intervensi fisik Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan
dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi
fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka
kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi
visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini
perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting,
sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan.
Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang.
2. Rehabilitasi ekonomi Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan
artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik
kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan
ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu
memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U. Pfeiffer, 2001). Dalam konteks
revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya
aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).
3. Revitalisasi sosial/institusional Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan
terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan
sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak
positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga
(public realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan
perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati
diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu
pengembangan institusi yang baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116 | BAB III
Gambar III-1 Alun-alun Ponorogo sebelum Panggung Pertunjukan
(Sumber : Ahmad M. Nizar Alfian H.)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117 | BAB III
Gambar III-2 Alun-alun Ponorogo sesudah Panggung Pertunjukan
(Sumber : Google Earth)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118 | BAB III
Revitalisasi kawasan Alun-alun Ponorogo dengan memperbaiki fasilitas yang ada tanpa mehilangkan pemaknaan dari alun-alun itu sendiri.
Alun-alun
· Perbaikan pedestrian · Penertiban PKL · Penataan taman
disekitar Alun-alun
Penambahan site untuk redesain panggung pertunjukan sekaligus media edukasi untuk masyarakat Ponorogo tentang kesenian. Dan tetap memperhatikan bentuk kota Jawa yang bersifat linier konsentris
Area yang mendukung Panggung Utama Alun-alun.
· Ruang publik masyarakat dan para seniman.
· Tempat sarana edukasi untuk masyarakat
· Panggung pertunjukan indoor beserta bangunan penunjangnya
Area untuk penertiban PKL yang ada di Alun-alun.
· Redesain pasar · Penambahan kios-
kios souvenir · Tempat parkir
mobil
Komplek masjid jami’ Ponorogo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119 |BAB IV
BAB IV
ANALISA REVITALISASI KAWASAN
ALUN-ALUN PONOROGO
Perencanaan dan perancangan revitalisasi alun-alun Ponorogo yang salah
satunya meredesain panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo ditujukan untuk
menyelesaikan permasalahan funsional panggung pertunjukan yang sekarang ini tidak
bisa mengakomodir semua kegiatan pertunjukan di panggung pertunjukan di alun-alun
tersebut. Persoalan yang ada berdasarkan urutan prioritas yaitu sebagai berikut :
1. Pemaknaan alun-alun -dulu pada masa-masa kerajaan- dan pemaknaan
masyarakat Ponorogo sekarang ini.
2. Alun-alun sebagai ruang publik masyarakat Ponorogo.
3. Alun-alun sebagai ruang terbuka hijau dalam kawasan kota Ponorogo.
Gambar 4.1
Kondisi panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal
Sumber: dokumen pribadi, 4 Agustus 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120 |BAB IV
Pemaknaan dari alun-alun tidak lepas dari jiwa spiritual masyarakat yang
mempunyai alun-alun tersebut. Jiwa alun-alun sebuah kota terdapat dalam penghargaan
masyarakat terhadapat tempat tersebut. Dalam hal jiwa spiritual tidak hanya bersifat
religius tetapi juga bisa bersifat sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik. Selain itu alun-
alun juga mempunyai peran penting dalam perkembangan permukiman kota, menjadi
sebuah centre. Dengan perkembangan masyarakat Ponorogo sekarang pemaknaan alun-
alun pun bergeser secara perlahan-lahan. Kegiatan yang terjadi di alun-alun lebih sering
untuk kegiatan ekonomi. Tidak memungkiri bahwa kegiatan ekonomi tersebut juga
terjadi interaksi antar warga masyarakat Ponorogo.
Gambar 4.2 Kondisi panggung pertunjukan pada waktu Grebeg
Suro 2011 Sumber: dokumen Irfan Nurraharja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121 |BAB IV
Alun-alun sebagai ruang publik pun menjadi sebuah solusi yang aplikatif untuk
fungsi alun-alun sekarang tanpa harus mengurangi makna yang terkandung dalam alun-
alun itu sendiri. Alun-alun dapat digunakan sebagai ruang publik yang fleksibel, sesuai
dengan acara yang akan terjadi di dalamnya.
Penambahan fungsi panggung pertunjukan utama di alun-alun mempunyai
konsekuensi apabila panggung tersebut tidak bisa diterima oleh kalangan masyarakat.
Penambahan bangunan pun didesain berada di basement sehingga tanpa mengurangi
pandangan masyarakat soal alun-alun yang selalu lapang. Penambahan bentuk
arsitektural pada masa Hindu-Budha memberikan makna lebih pada bangunan
panggung pertunjukan yang sudah ada dan memberikan edukasi kepada masyarakat
bahwa alun-alun sudah terbentuk sudah beratus-ratus tahun yang lalu. Penambahan
basementpun tidak serta merta menghabiskan ruang terbuka hijau (RTH) yang berapa di
kawasan kota Ponorogo. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor:05/PRT/M/2008 tentang Pedoman dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan menyebutkan bahwa ruang tebuka hijau 20-30% dari luas kota.
Gambar 4.3 Alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal
Sumber: dokumen pribadi, 4 Agustus 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122 |BAB IV
Sehingga penambahan fungsi bangunan seiring dengan penambahan fisik bangunan
sangat memperhatikan ruang terbuka hijau (RTH) untuk perkotaaan. Diharapkan dengan
adanya ruang terbuka hijau yang lebih banyak dapat menjadikan alun-alun sebagai
alternatif ruang publik untuk masyarakat Ponorogo.
IV.1. ANALISA KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
Penganalisaan secara makro di kawasan alun-alun Ponorogo dimulai dari
sirkulasi lalu lintas yang melalui alun-
alun. Jalur lalu lintas yang mengelilingi
alun-alun sekarang ini di buat 2 jalur.
Jalur ini juga di gunakan angkutan umum
dari kota Trenggalek, Tulungagung,
Pacitan, dan sekitarnya. Konsekuensinya
adalah ketika ada sebuah acara di alun-
alun –syawalan atau suroan- selalu
menjadi macet. Lain halnya alun-alun Lor
ataupun alun-alun Kidul Jogjakarta dan
alun-alun Wonosobo yang
meemberlakukan satu jalur. Dengan ini dapat mengurangi masalah lalu lintas sekitar
alun-alun. Juga pengenalan potensi wisata di Ponorogo bagi wisatawan agar secara tidak
langsung akan mengelilingi alun-alun.
Sebuah alun-alun tidak lepas dari kegiatan perekonomian karena hampir
disetiapnya pasti ada sebuah pasar ataupun pedagang kaki lima. Pasar yang sekarang
Gambar 4-7 Kondisi sirkulasi lalu lintas
Alun-alun Ponorogo sekarang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123 |BAB IV
masih tercampur antara pedagang yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari dengan
pedagang yang menjajakan souvenir khas kota Ponorogo. Pengkategorian dengan
barang yang dijual akan memudahkan konsumen untuk memenuhi kebutuhannya.
Sebuah pengayoman pemerintah daerah ketika memelihara alun-alunnya sebagai
ruang publik masyarakatnya. Alun-alun Ponorogo juga menjadi tempat usefull, ketika
pagi hari banyak siswa-siswi yang melakukan olah raga dan sore hari banyak keluarga
yang mengajak anak-anaknya sekedar bermain di alun-alun. Alun-alun banyak sekali
menampung kegiatan masyarakat, menjadi ruang publik yang komplek.
Gambar 4-8 Pasar Alun-alun Ponorogo
(Sumber : dokumen pribadi)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124 |BAB IV
Panggung utama pertunjukan yang berada didalam alun-alun memerlukan
penambahan fungsi karena tidak adanya ruang servis untuk pengguna panggung utama.
Kemudian penambahan dilakukan di luar lahan alun-alun tetapi masih dalam kawasan
alun-alun.
Tidak hanya penambahan zona servis saja tetapi penambahan fungsi yang
memasukkan konsep ruang publik. Ruang publik disini disediakan fasilitas tertentu agar
masyarakat mengetahui sejarah kota, potensi wisata, dan seluruh hal-hal yang
menyangkut kota Ponorogo.
Penambahan site
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125 |BAB IV
IV.2. ANALISA KARAKTERISTIK BANGUNAN
Dalam merancang karakteristik bangunan ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
- Menanggapi keadaan tapak pada bangunan
- Memaksimalkan penghematan energi meskipun bangunan ini berprospek
menggunakan energi listrik yang cukup banyak.
- Memanfaatkan kondisi iklim dan dan sumber energi alami
- Memperhatikan pengguna bangunan
- Memperhatikan ekosistem lingkungan
Dengan menerapkannya maka nantinya akan memunculkan desain bangunan
revitalisasi alun-alun yang merespon keadaan tapak dan iklim setempat. Dengan
demikian akan muncul desain bangunan revitalisasi yang berkesinambungan
dengan masyarakat Ponorogo.
Dasar pertimbangan :
- Kondisi existing site.
- Kesesuaian dengan fungsi, karakter kegiatan, tuntutan ruang, dan tampilan
bangunan.
monumental dan berbentuk irasional sesuai dengan paham ekspresionis pada
bab sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126 |BAB IV
IV.3. ANALISA PERUANGAN
Analisa peruangan merupakan analisa perencanaan dan perancangan bangunan
dengan cara mengelompokkan pelaku, kebutuhan ruang tiap pelaku, persyaratan tiap
ruang, serta besaran ruang yang dibutuhkan tiap pelaku. Gubahan masa dan bentuk
bangunan merupakan target utama dalam perancangan revitalisasi Alun-alun
Ponorogo. Oleh karenanya analisa peruangan yang akan dilakukan harus
mengikuti bentuk dari bangunan itu sendiri. Sehingga beberapa analisa
ruangan merupakan sebuah ide awal yang diselaraskan dengan bentuk
bangunan dan besaran ruangan yang diperoleh merupakan besaran minimal.
Analisa peruangan yang hendak diselaraskan dengan bentuk bangunan adalah
kebutuhan ruang, pengelompokan ruang, persyaratan ruang, serta besaran ruang.
IV.3.1. Analisa Kebutuhan Ruang Panggung Utama
Kebutuhan ruang diperoleh dari analisa pelaku dan macam kegiatan yang
dilakukannya dalam bangunan panggung utama. Pengguna dibedakan menjadi tiga
yaitu pengelola, penampil, dan pengunjung. Pengunjung adalah orang yang ingin
menonton penampilan dari seniman penyaji, berinteraksi dengan sesama
pengunjung ataupun pengelola, atau sekedar menikmati suasana ruang publik.
Penampil adalah seniman yang menampilkan karyanya di masyarakat umum.
Sedangkan pengelola yaitu orang yang akan mengelola hasil redesain panggung
utama ini. Pengelola terdiri dari satu pimpinan utama dan empat bagian, yaitu
bagian administrasi, bagian bendahara,bagian perlengkapan, dan bagian perawatan.
Setiap bagian mempunyai beberapa staff untuk melayani pengguna maupun
penampil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127 |BAB IV
Berikut adalah tabel diagramatik pelaku kegiatan, macam kegiatan, dan
peruangan yang dibutuhkan.
Tabel Kebutuhan Ruang Panggung Utama
Pelaku Macam Kegiatan Ruang
Pengunjung Parkir Area parkir Bersosialisasi Semua area Makan/minum Food Court Istirahat R. Istirahat Ibadah Mushola Metabolisme Lavatory
Pimpinan Utama Parkir Area parkir Memimpin Semua Staff R. Pimpinan Makan/Minum Food Court Istirahat R Istirahat Ibadah Mushola Metabolisme Lavatory
Kepala bagian Parkir Parkir Area Memimpin Tiap Bagian R. Kabag Makan/minum Food Court Istirahat R. Istirahat Ibadah Mushola Metabolisme Lavatory
Staff Parkir Area parkir Melayani pengunjung Semua area Makan/minum Food Court Istirahat R. Istirahat Ibadah Mushola Metabolisme Lavatory
IV.3.2. Analisa Kebutuhan Ruang Pasar
Kebutuhan ruang untuk pasar yang berada di sekitar alun-alun. Pengguna
dibedakan menjadi tiga yaitu pengelola, penjual, dan pembeli. Pengelola adalah
pegawai dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Penjual yang memiliki barang
untuk dijajakan, sedangkan pembeli yaitu orang yang memenuhi kebutuhannya dengan
nilai tukar barang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128 |BAB IV
Berikut adalah tabel diagramatik pelaku kegiatan, macam kegiatan, dan
peruangan yang dibutuhkan.
Tabel Kebutuhan Ruang Panggung Utama
Pelaku Macam Kegiatan Ruang
Pembeli Parkir Area parkir Proses pembelian Semua area Bersosialisasi Semua area Makan/minum Kantin Istirahat R. Istirahat Ibadah Mushola Metabolisme Lavatory
Pengelola Parkir Area parkir Memimpin Semua Staff R. Pengelola Makan/Minum Kantin Istirahat R Istirahat Ibadah Mushola Metabolisme Lavatory
Penjual Parkir Parkir Area Proses penjualan Los/kios Makan/minum Kantin Istirahat R. Istirahat Ibadah Mushola Metabolisme Lavatory
IV.3.3. Analisa Pengelompokan Ruang Panggung Utama
Setelah memperoleh macam ruangan yang dibutuhkan, maka langkah selanjutnya
adalah menganalisa setiap ruangan untuk kemudian dikelompokkan dan direncanakan
perletakan ruangan di dalam bangunan. Pengelompokan ruang didasarkan pada
fungsinya dan rencana perletakan ruangan diperoleh dari analisa pencapaian menuju
ruangan. Berikut adalah tabel diagramatiknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129 |BAB IV
Tabel Analisa Pengelompokan Ruang Panggung Utama
Kelompok Ruang Macam Ruang Pencapaian Rencana
Perletakan Hiburan Panggung
Utama Dapat diletakkan pada lantai dasar
Lt. 1
Panggung Pertunjukan indoor
Dapat diletakkan pada lantai dasar
Lt. 1
Pendopo Dapat diletakkan pada lantai dasar
Lt. 1
Ruang Penginapan
Home stay Butuh ketenangan Lt. 1+
Ruang Pameran
Indoor Dekat dengan lobi utama
Lt. 1
Semi Outdorr Dekat dengan ruang pameran indoor
Lt. 1
Outdoor Dapat dilihat dari segala arah
Lt. 1 outdoor
Pengelola R. Pimpinan Pada area yang lebih privat
Lt. 1+
R. Sekretaris Dekat dengan R. Pimp. Lt. 1+ R. Kabag Dekat dengan R. Pimp. Lt. 1+ R. Kasubag Dekat dengan R. Kabag Lt. 1 R. Staff Dekat dengan ruang
pengelola lainnya, dekat dengan ruang yang di tangani
Lt. 1
Parkir Pengelola Dekat dengan ruangan pengelola
Lt. 1
Penunjang Lavatory Dekat dengan setiap ruangan
Setiap lantai
Mushola Lebih maksimal jika ada pada setiap lantai
Setiap lantai
Area Santai Dekat dengan setiap ruangan
Setiap lantai
Coffe Shop Mudah di akses dari setiap ruang
Lt. 1,3
Area Parkir Dekat dengan area luar Lt. 1 Basement
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130 |BAB IV
IV.3.4. Analisa Pengelompokan Ruang Pasar
Tabel analisa pengelompokan Ruang Pasar
Kelompok Ruang
Macam Ruang Pencapaian Rencana Perletakan
Ruang Jual-Beli
Los /Kios Mudah diakses Lt. 1+ Parkir Dekat dengan Pintu
Utama Lt. 1
Pengelola R. Pimpinan Pada area yang lebih privat
Lt. 1+
R. Sekretaris Dekat dengan R. Pimp. Lt. 1+ R. Kabag Dekat dengan R. Pimp. Lt. 1+ R. Kasubag Dekat dengan R. Kabag Lt. 1 R. Staff Dekat dengan ruang
pengelola lainnya, dekat dengan ruang yang di tangani
Lt. 1
Parkir Pengelola Dekat dengan ruangan pengelola
Lt. 1
Penunjang Lavatory Dekat dengan setiap ruangan
Setiap lantai
Mushola Lebih maksimal jika ada pada setiap lantai
Setiap lantai
Area Santai Dekat dengan setiap ruangan
Setiap lantai
Coffe Shop Mudah di akses dari setiap ruang
Lt. 1,3
Area Parkir Dekat dengan area luar Lt. 1 Basement
IV.3.5. Analisa Persyaratan Ruang
Setelah memperoleh pengelompokan dan rencana perletakan ruangan, maka
langkah selanjutnya adalah menganalisa persyaratan ruangan, untuk menentukan
konsep dasar interior ruangan dan hubungan antar ruangan. Untuk memperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131 |BAB IV
interior ruangan yang memberi kesan otaku, maka persyaratan ruang didasarkan pada
konteks mengekspresikan otaku ke dalam ruangan.
Tabel Analisa Persyaratan Ruang
Macam Ruang Persyaratan Ruang
Ruang pengelola
- Memerlukan penerangan yang baik - Memerlukan penghawaan yang baik - Dekat dengan zona servis - Lay out ruangan yang nyaman
Home stay - Dekat dengan toilet dan penjualan makanan - Terdapat ruang tunggu/santai/komunal di luar
ruangan - Memerlukan layout ruangan yang nyaman pada
tempat memilih film - Memerlukan penerangan yang baik - Memerlukan penghawaan yang baik
Panggung Pertunjukan indoor
- Memerlukan layout ruangan yang nyaman - Memerlukan penerangan yang baik - Memerlukan penghawaan yang baik - Privat - Dekat dengan home stay - Dekat dengan zona penunjang - Dekat dengan bangunan Pengelola
Pendopo - Dekat dengan home stay - Dekat dengan bangunan pengelola - Ruang publik
Los/Kios pasar - Memerlukan ruangan yang nyaman - Memerlukan penerangan yang baik - Memerlukan penghawaan yang baik
Area Komunal - Memerlukan area yang luas - Memerlukan penerangan yang baik - Memerlukan penghawaan yang baik - Dekat dengan toilet dan penjualan makanan - Dapat dipergunakan sebagai tempat memajang
hasil karya seniman Kantin - Memerlukan penerangan yang baik
- Memerlukan penghawaan yang baik - Dekat dengan toilet - Interior dibentuk seperti guild bar atau yang
lainnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132 |BAB IV
IV.3.6. Analisa Besaran Ruang
Setelah memperoleh hasil analisa persyaratan ruang, maka langkah selanjutnya
adalah menganalisa besaran ruang. Besaran ruang diperoleh dari asumsi rencana
layout ruangan, yang diperoleh dari penyusunan furnitur dan flow minimal yang
dibutuhkan. Dengan demikian besaran ruang yang diperoleh adalah besaran ruang
minimum sehingga besaran ruang tersebut harus dipenuhi dan tidak menutup
kemungkinan bahwa besaran ruang akan melebihi berasan ruang minimum. Hal
tersebut disebabkan oleh bentuk ruang publiksehingga akan ada beberapa spot yang
memerlukan perlebaran, tidak dapat dipakai sebagai ruangan, serta beberapa hal teknis
lainnya.
Kebutuhan Ruang
Analisa Besaran Ruang Luas Minimal
Panggung pentunjukan indoor
sesuai dengan Time-Saver Standards for Interior Desain andSpace Planning = 400 m2
±400 m2
Pendopo joglo Pendopo limasan
12x12 = 144 m2
20x12 = 420 m2
total luas = 144+420 = 564 m2
±564 m2 Home stay 25x4x3=300m2 ±300 m2
Los/kios pasar 50x5x3=750m2 ±750 m2
R. Pimpinan 1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 set sofa + meja= 6m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 10,8 = 6,48 m2 total luas = 10,8 + 6,48 = 17,28 m2
±18 m2 R. Sekretaris 1 meja + 3 kursi = 4 m2
1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2
±8 m2 R. Kabag (4 orang)
1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2
±8 m2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133 |BAB IV
4x 8 m2 = 32 m2 ±32 m2 R. Kasubag (14 orang)
1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2
14 x 8 m2 = 112 m2
8 m2
±112 m2 R. Staff (34 orang)
1 meja + 3 kursi = 4 m2 flow 60% = 0,6 x 4= 2,4 m2 total luas = 4 + 2,4 = 6,4 m2
34 x 6,5 m2 = 221 m2
6,5 m2
±221 m2 lavatory menyesuaikan ±100 m2 mushola menyesuaikan ±100 m2 food court menyesuaikan ±300 m2 Luas Total Minimum ±2913 m2
IV.3.7. Analisa Pengolahan Tapak
IV.3.7.1. Analisa Klimatologis
1) Dasar pertimbangan :
- arah datang sinar matahari
- arah angin
- pemecahan masalah akibat iklim terhadap bangunan
2) Kondisi site
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134 |BAB IV
a) Analisa
Masalah yang berhubungan dengan iklim mempunyai beberapa
altematif pemecahan masalah dengan pertimbangan sebagai berikut
:
· Bukaan
Biasanya berhubungan dengan dimana seharusnya diletakkan
bukaan untuk menangkap sinar matahari kedalam bangunan
ataupun bukaan bagi angin sebagai penghawaan alami.
· Barrier
Barrier atau penghalang dapat berupa sebagai vegetasi ataupun
bangunan dan pagar yang didesain sebaik mungkin sebagai
penghalang sinar matahari ataupun angin yang merugikan
bangunan dan kegiatan di dalamnya.
· Material
Material lebih difungsikan sebagai pemecahan masalah
bangunan dengan sinar matahari, dimana ia berperan sebagai
filter sinar dan mengurangi kesilauan (glare) dalam bangunan.
b) Hasil analisa
· Sinar matahari
- Timur
Karena merupakan sinar yang dibutuhkan, maka pada sisi
timur bangunan perlu diberikan bukaan untuk menangkap
sinar matahari untuk mendukung kegiatan di dalamnya.
- Barat
Sinar dihindari dengan shading pada bangunan yang dapat
berupa pepohonan atau bentuk-bentuk penutup dinding yang
sedemikian rupa. sedikit bukaan pada bangunan dan juga
penggunaan material yang tidak menyerap sinar matahari dan
mengurangi efek silau.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135 |BAB IV
· Bentuk Bangunan
- Bentuk bangunan dibuat memanjang dan tipis untuk
memaksimalkan area bangunan yang menghadap ke arah
selatan dan utara, sehingga dapat metode cross ventilation
(penghawaan alami) dapat berjalan maksimal dan mengurangi
kedalaman ruang sehingga ruang yang berada di tengah
banguan juga dapat terkena sinar matahari.
· Orientasi Bangunan
- Orientasi bangunan terhadap sinar matahari yang paling
cocok dan menguntungkan adalah memanjang dari arah
barat ke timur, bukaan dimaksimalkan pada bagian fasade
utara dan selatan bangunan sehingga cahaya tetap dapat
dimanfaatkan tanpa menimbulkan dampak silau dan panas
yang berlebihan.
- Yang pada umumnya mengalir dari arah barat laut
sedangkan bagian lain tetap memanjang ke arah timur dan
barat. Aliran udara masih bisa ditangkap dengan desain
yang baik namun sinar matahari merupakan hal yang tidak
bisa dikondisikan.
-
IV.3.7.2. Analisa View
1) Dasar pertimbangan :
- Orientasi dimaksudkan sebagai pengarah atau penunjuk terhadap
kegiatan yang ada pada bangunan
- View meupakan point of interest yang akan didesain pada sebuah
bangunan
- View bisa didapatkan dari arah dalam maupun luar bangunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136 |BAB IV
- Letak site dan sirkulasi memegang peranan dalam penentuan view
bangunan
2) Kondisi eksisting :
3) Analisa :
- View from site menghadap utara konsentris dengan Alun-alun.
- View to site terbesar berasal dari jalan Alun-alun Selatan dari arah
utara
4) Hasil analisa :
- Orientasi utama bangunan diarahkan ke jalan Alun-alun Selatan
sebagai jalan utama untuk menarik pengunjung.
Dari dalam site diberi beberapa view seperti taman dan sebagainya, selain itu
sebagai plasa tempat berkumpul seperti pada fungsinya yaitu sebagai perluasan
kawasan Alun-alun sekaligus sarana sosialisasi dan ruang publik .
View in view in terbesar berada
pada bagian timur sebelah utara
View out View out langsung ke Alun-
alun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137 |BAB IV
IV.3.7.3. Analisa Pencapaian
1) Dasar pertimbangan :
- penentuan ME (main entrance) dan SE (second entrance)
- sirkulasi yang mudah, aman dan nyaman
- kondisi, arus kendaraan dan potensi jalan
2) Analisa
- Dari kondisi eksisting tersebut, dengan pertimbangan jumlah arus
transportasi yang melalui Jalan Alun-alun Selatan maka letak ME
akan lebih efektif diletakkan di depan. Sedangkan jalur SE
diletakkan disamping (bagian barat) demi kenyamanan sirkulasi
pengelola.
3) Hasil analisa
- ME diletakkan pada Jalan Alun-alun Selatan karena lebih potensial
dan lebih mudah dicapai.
- SE diletakkan di jalan sebelah barat ME karena cukup nyaman untuk
sirkulasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138 |BAB IV
IV.3.7.4. Analisa Kebisingan
1) Dasar Pertimbangan :
- Penentuan zona publik dan servis
- Penempatan area outdoor dan area indoor
2) Kondisi eksisting :
3) Analisa
- Pemberian vegetasi ditekankan pada usaha untuk mereduksi
kebisingan dari perempatan, sehingga tidak mengganggu aktivitas
di dalam bangunan.
- Pemberian vegetasi selain sebagai barrier kebisingan juga untuk
elemen estetika.
- Peletakan ruangan yang menjauhi pusat kebisingan terbesar
4) Hasil analisa
- Bangunan yang bersifat privat diposisikan lebih barat untuk menjauhi
kebisingan.
- Bagian utara merupakan zona publik dan zona servis.
Noise Noise terbesar berada pada sebelah utara. Akan lebih
efektif jika digunakan sebagai area outdoor, bukan
ruangan/indoor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139 |BAB IV
IV.3.7.5. Analisa Zoning
1) Dasar pertimbangan :
- Hasil dari analisa makro (pengolahan tapak) yang disesuaikan
dengan konsep bangunan yang ingin diterapkan.
2) Kondisi Eksisting :
3) Analisa
- ME di posisikan sebagai pintu utama masuknya area.
- Zona publik diletakkan di bagian depan site, yaitu di dekat ME.
- Zona servis yaitu zona untuk pengelola diletakkan di dekat SE.
4) Hasil analisa
- Zona publik diletakkan di bagian timur sebagai area untuk outdoor ,
taman, dan plasa.
- Zona privat berada di tengah sebagai area untuk massa utama.
- Zona servis berada di bagian barat atau utara sebagai area
pengelola.
Semi Area semi publik merupakan
area transisi. Dapat dipergunakan sebagai area outdoor atau area indoor
dengan tingkat sirkulasi tinggi
Publik Sesuai dengan analisa
sebelumnya, maka area publik lebih sesuai jika diletakkan
pada bagian timur site, dekat dengan Main Entrance
Privat Sesuai dengan analisa sebelumnya, maka
area privat akan lebih sesuai jika diletakkan pada bagian tengah site.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140 |BAB IV
IV.3.7.6. Analisa Pencahayaan
- Setelah mendapatkan hasil analisa dari pencahayaan yang masuk ke
dalam site, maka analisa pencahayaan di dalam bangunan diperlukan
sebagai rencana pengaplikasian sistem pencahayaan yang diperlukan
di setiap ruangan. Beberapa poin yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut:
o Dinding transparan.
- Penggunaan dinding agar terkesan simple, ringan. Pemilihan
bahan ini ditujukan pada bangunan yang bersifat publik. Agar
masyarakat bisa ikut merasakan sebuah bentuk ruang.
o Skylight
- Pemberian kesan lapang secara vertikal, sekaligus untuk
memasukkan cahaya matahari. Pengaplikasiannya juga
digunakan untuk menunjukkan sirkulasi dalam ruang.
o Jendela dan roster
- Digunakan pada bangunan-bangunan yang bersifat privat.
Pengunaan rosterpun untuk menambah sisi artistik dalam ruang.
IV.3.7.7. Analisa Penghawaan
- Sama seperti analisa pencahayaan, hasil analisa dari penghawaan yang
masuk ke dalam site akan dianalisadan dipergunakan sebagai rencana
pengaplikasian sistem penghawaan yang diperlukan di setiap ruangan.
Penataan komposisi massa bangunan mempengaruhi sirkulasi udara di
dalam site.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141 |BAB V
BAB V
KONSEP REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN
PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK
V.1. Konsep Bangunan Revitalisasi Kawasan Alun-alun Ponorogo
Terjadinya sebuah Alun-alun tidak lepas dari perkembangan sosial, ekonomi,dan
budaya masyarakatnya. Begitu pula dengan bentuk bangunan yang ada
disekitarnya. Tetapi ketika masyarakat berkembang secara future berpikir kearah
modernisasi, apakah serta merta bentuk arsitektur bangunannya juga
mengikutinya?. Bentuk yang mengakulturasi sejarah perkembangan bentuk
bangunan diharapkan dapat memberikan pemahaman untuk masyarakat agar lebih
merespon sebuah perjalanan kebudayaan sebuah kota.
Penentuan bentuk bangunan mengacu pada proses seni bangunan dan seni bina
kota pada masyarakat Jawa
pada umunya. Mempelajari
tentang bentuk-bentuk pada
masa Jawa kuno, bentuk-
bentuk arsitektural
bangunan masyarakat
Ponorogo sekarang ini, dan
bentuk-bentuk prediksi
tentang masa depan.
Gambar 5-1Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak
hasil seni bangunan batu bata di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142 |BAB V
Pengaplikasian bahan-bahan bangunan yang bisa memunculkan kesan usang, serta
bahan-bahan pabrikasi.
Pengambilan bentuk-bentuk candi Hindu-Buddha menjadi salah satu alternatif
dalam pengembangan panggung utama yang berada di Alun-alun Ponorogo. Seperti
halnya menara Kudus yang dapat mengakulturasi 3 macam kebudayaan, Cina,
Hindu-Buddha, dan Islam. Sebuah kota di Jawa tidak lepas dari rentetan sejarah
yang panjang.
Panggung Pertunjukan Utama didesain dengan urutan perjalanan kebudayaan
yang ada di Jawa dari 100 tahun yang lalu hingga 100 tahun kedepan. Semua
dirangkai agar menjadi sebuah urutan yang dinamis.
Gambar 5-2 Komplek Menara Kudus beserta Makam-Masjid
(Sumber : Kesit Himawan Setiadji)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143 |BAB V
Kegiatan masyarakat di Alun-alun sekarang sudah berbeda dengan kegiatan
masyarakat 100 tahun lalu. Pengelolaan pedestrian dan taman di sekitar Alun-alun
perlu pengolahan kembali agar kegiatan publik masyarakat bisa optimal.
V.2. Konsep Peruangan
V.2.1. Konsep Pesyaratan Ruang
Macam Ruang Persyaratan Ruang Ruang pengelola
- Memerlukan penerangan yang baik - Memerlukan penghawaan yang baik - Dekat dengan zona servis - Lay out ruangan yang nyaman
Home stay - Dekat dengan toilet dan penjualan makanan - Terdapat ruang tunggu/santai/komunal di luar ruangan - Memerlukan layout ruangan yang nyaman pada tempat
memilih film - Memerlukan penerangan yang baik - Memerlukan penghawaan yang baik
Panggung Pertunjukan indoor
- Memerlukan layout ruangan yang nyaman - Memerlukan penerangan yang baik - Memerlukan penghawaan yang baik - Privat - Dekat dengan home stay - Dekat dengan zona penunjang - Dekat dengan bangunan Pengelola
Pendopo - Dekat dengan home stay - Dekat dengan bangunan pengelola - Ruang publik
Los/Kios pasar - Memerlukan ruangan yang nyaman - Memerlukan penerangan yang baik - Memerlukan penghawaan yang baik
Area Komunal - Memerlukan area yang luas - Memerlukan penerangan yang baik - Memerlukan penghawaan yang baik - Dekat dengan toilet dan penjualan makanan - Dapat dipergunakan sebagai tempat memajang hasil karya
seniman Kantin - Memerlukan penerangan yang baik
- Memerlukan penghawaan yang baik - Dekat dengan toilet - Interior dibentuk seperti guild bar atau yang lainnya
Tabel 5-1 Tabel Persyaratan Ruang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144 |BAB V
V.2.2. Konsep Besaran Ruang
Kebutuhan Ruang Analisa Besaran Ruang Luas
Minimal Panggung pentunjukan indoor
sesuai dengan Time-Saver Standards for Interior Desain andSpace Planning = 400 m2
±400 m2
Pendopo joglo Pendopo limasan
12x12 = 144 m2
20x12 = 420 m2
total luas = 144+420 = 564 m2
±564 m2 Home stay 25x4x3=300m2 ±300 m2
Los/kios pasar 50x5x3=750m2 ±750 m2
R. Pimpinan 1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 set sofa + meja= 6m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 10,8 = 6,48 m2 total luas = 10,8 + 6,48 = 17,28 m2
±18 m2 R. Sekretaris 1 meja + 3 kursi = 4 m2
1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2
±8 m2 R. Kabag (4 orang)
1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2
4x 8 m2 = 32 m2
±8 m2
±32 m2 R. Kasubag (14 orang)
1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2
14 x 8 m2 = 112 m2
8 m2
±112 m2 R. Staff (34 orang)
1 meja + 3 kursi = 4 m2 flow 60% = 0,6 x 4= 2,4 m2 total luas = 4 + 2,4 = 6,4 m2
34 x 6,5 m2 = 221 m2
6,5 m2
±221 m2 lavatory menyesuaikan ±100 m2 mushola menyesuaikan ±100 m2 food court menyesuaikan ±300 m2 Luas Total Minimum ±2913 m2
Tabel 5-2 Tabel Besaran Ruang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145 |BAB V
V.3. Konsep Site Terpilih
Pemilihan site yang berada di
sebelah selatan Alun-alun. Agar
tujuan revitalisasi Alun-alun sesuai
dengan pola kota Jawa pada
umumnya, yaitu linier konsentris.
Redesain pasar yang berada di sebelah
barat juga termasuk salah satu
rangkaian revitalisasi Alun-alun Ponorogo. Tidak lepas dari kedua site tersebut,
lingkungan Alun-alunpun juga mejadi perhatian yaitu masalah pedestrian dan
pedagang kaki lima.
Semi Area semi publik merupakan
area transisi. Dapat dipergunakan sebagai area outdoor atau area indoor
dengan tingkat sirkulasi tinggi
Publik Sesuai dengan analisa
sebelumnya, maka area publik lebih sesuai jika diletakkan
pada bagian timur site, dekat dengan Main Entrance
Privat Sesuai dengan analisa sebelumnya, maka
area privat akan lebih sesuai jika diletakkan pada bagian tengah site.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146 |BAB V
V.4. Konsep Dalam Bangunan
Setelah mendapatkan hasil analisa dari pencahayaan yang masuk ke
dalam site, maka analisa pencahayaan di dalam bangunan diperlukan sebagai
rencana pengaplikasian sistem pencahayaan yang diperlukan di setiap ruangan.
Beberapa poin yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. Skylight
Skylight dipergunakan sebagai penghantar cahaya maupun pengarah
sirkulasi. Skylight dipergunakan pada bagian transisi antar ruangan dan di
sekitar panggung pertunjukan indoor.
b. Dinding Transparan
Digunakan di massa bangunan yang bersifat publik, agar memberi kesan lapang
sekaligus fleksible.
c. Jendela dan roster
Digunakan pada bangunan-bangunan yang bersifat privat. Pengunaan rosterpun
untuk menambah sisi artistik dalam ruang.
V.5. Konsep Struktur Bangunan
a. Sub Struktur
Pondasi yang dipilih adalah pondasi tiang pancang dengan pertimbangan
sebagai berikut :
- Jenis tanah pada area tapak yang cukup keras
- Karakter bangunan revitalisasi kawasan Alun-alun Ponorogo
mempunyai beban yang dinamis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147 |BAB V
b. Super Struktur
Sistem struktur yang dipilih adalah struktur core, struktur rangka, struktur
kantilever, struktur gantung, dengan pertimbangan sbb :
- Struktur core dipergunakan untuk struktur utama di bagian tengah
bangunan. Core juga dipergunakan untuk menyangga struktur gantung.
- Bangunan pengelola bukan merupakan bangunan yang tinggi sehingga
hanya memerlukan struktur yang bentuk dan sistemnya sederhana dan
ringan namun cukup kuat, yaitu struktur rangka.
- Struktur rangka memungkinkan bukaan-bukaan yang cukup banyak
sehingga bisa mendukung prinsip penghematan energi bangunan dengan
pencahayaan dan penghawaan alami.
- Struktur kantilever digunakan untuk menyangga balkon, dan ruangan lain
yang berada di bagian atas bangunan.
- Struktur gantung juga dipergunakan untuk menyangga ruangan yang
berada di bagian atas bangunan.
c. Upper Struktur
Sistem struktur atap bangunan pameran yang dipilih adalah sistem plat
beton (dak), folded plate, cangkang, dan rangka baja, dengan pertimbangan:
- Sistem plat beton dipergunkan untuk membentuk rooftop.
- Folded plate dipergunakan untuk membentuk atap pada bagian bangunan
yang tidak diperuntukkan untuk rooftop.
- Sistem cangkang dari baja dan kaca dipergunkan untuk bagian ruangan
komunal, dan areayang membutuhkan pencahayaan yang lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148 |BAB V
- Rangka Baja dipergunakan untuk ruangan yang membutuhkan bentang
yang lebar tanpa adanya kolom di tengah ruangan.
V.6. Konsep Utilitas Bangunan
Sistem utilitas bangunan yang difungsikan untuk mendukung kelangsungan
bangunan dapat dijabarkan sebagai berikut :
- Sistem Jaringan Listrik
- Sistem Telematika (Komunikasi)
- Sistem Jaringan Air (Bersih Dan Kotor)
- Sistem Pemadam Kebakaran
- Sistem Penangkal Petir
Berikut akan dibahas satu persatu
a. Sistem Jaringan Listrik
Kebutuhan listrik pada bangunan disuplai dari PLN dan untuk
keadaan tertentu ketika suplai PLN terhenti digunakan tenaga cadangan dari
Genset (Generator set). Listrik dari PLN dan genset dihubungkan dengan
sebuah automatic transfer dengan sistem ATS yaitu suatu alat transfer yang
secara otomatis akan menjalankan genset apabila aliran listrik dari PLN
padam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149 |BAB V
Keterangan
M = meteran
MDP = Main Distribution Panel
SDP = Sub Distribution Panel
UPS = Uninteruptable Power Supply
S = Sekering
b. Sistem Telematika (komunikasi)
- Komunikasi user dengan lingkungan luar
Komunikasi ini bisa terjadi antara pengelola dengan pihak luar atau
pengunjung dengan pihak luar. Untuk pengelola yang melakukan
komunikasi (biasanya formal) dengan pihak luar, diinstalasikan sistem
telepon PABX dan WAN (Wide Area Network). Sedangkan untuk
pengunjung disediakan box telepon umum/wartel (meskipun saat ini
penggunaan telepon seluler sudah marak).
PLN Trafo
Genset
M Autoswitch HDP
UPS
SDP Distribusi K
Skema 5.1. Skema Sistem Jaringan Listrik Sumber : dokumen pribadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150 |BAB V
- Komunikasi sesama user di dalam bangunan
Komunikasi user dalam bangunan meliputi komunikasi pengelola
dengan pengunjung, atau komunikasi antar pengelola. Komunikasi antar
pengelola dapat dilayani memakai sistem telepon dengan operator
(PABX) dan LAN. Sementara itu, untuk komunikasi pengelola dengan
pengunjung dapat dipergunakan intercom atau speaker yang
diinstalasikan pada ruang-ruang terutama yang diakses publik. Sistem ini
misalnya, berguna untuk pemberitahuan informasi kepada pengunjung.
c. Sistem Jaringan Air Bersih
Penggunaan sumur sebagai sumber air utama dipertimbangkan
berdasar pada nilai ekonomis dan mampu menyediakan air dalam jumlah
banyak dengan debet air yang relatif konstan.
Penggunaan kembali air kotor yang berasal dari sebelumnya di olah
terlebih dahulu pada bagian water treatment. Pertama air kotor disaring
terlebih dahulu dengan lapisan ijuk dan koral, setelah itu air tersebut
diaduk dan diendapkan dengan larutan bubuk biji kelor. Menurut
penelitian, biji daun kelor dapat menjernihkan dan mengikat zat racun dalam
air kotor (www.BPPT.co.id). Langkah ini dapat menghemat penggunaan air
sumur sehingga menjaga muka air tanah.
Ada dua cara pendistribusian air, yaitu Up Feed Distribusion dan
Down Feed Distribution. Pemakaian sistem Down Feed Distribution lebih
baik karena air tanah tidak terus menerus dipompa ke atas (seperti Up Feed
Distribution ), tetapi ditampung dalam tangki-tangki air yang diletakkan di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151 |BAB V
atas beberapa menara kemudian didistribusikan. Keuntungan menggunakan
sistem ini adalah mampu memperhitungkan jangkauan distribusi dengan
membagi area pelayanan terhadap luasan tapak.
Keterangan
M = meteran
GT = Ground Tank
UT = Upper Tank
WT = Water Treatment
P = Pompa
d. Sistem Jaringan Air Bersih
Sistem jaringan air kotor dibagi menjadi dua bagian, yaitu jaringan air
kotor padat (tinja & lavatory) dan j aringan air kotor cair (air hujan, roof garden,
wastafel, tempat wudlu, dan dapur). Air kotor padat disalurkan ke Septictank
kemudian ke peresapan, sedangkan air kotor cair dikumpulkan di Water
treatment untuk di olah kembali sehingga bisa digunakan untuk perawatan
Sumur
M
UT Distribusi P
PAM
GT
Air Kotor
Air Hujan
WT UT Distribusi P GT
Skema 5.2. Skema Sistem jaringan Air Bersih Sumber : dokumen pribadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152 |BAB V
roof garden.
e. Sistem Penanggulangan Bahaya Kebakaran
Peristiwa kebakaran merupakan bahaya yang sering terjadi pada
bangunan, terutama bangunan pameran, konvensi dan hotel dimana ada
beribu orang berkumpul untuk menyaksikan pameran, rapat, dsb. Untuk
mengantisipasi dan mengatasinya, perlu disediakan sistem pencegahan
bahaya kebakaran dalam bangunan. Beberapa sistem pemadaman dan bahan
yang dipergunakan dijelaskan pada tabel berikut .
Kelas
Kebakaran
Sistem
pemadaman
Bahan Pemadaman
Air Foam
(busa)
CO2 CTF-BT Powder
Dry Kelas A
kayu, karet,
Pendinginan,
penguraian, Baik Boleh Boleh Boleh Boleh
Bak Kontrol
Air Kotor
Air Hujan WT
P GT
Dapur Penangkap Lemak
Riol Kota
Kotoran Padat
Septic Tank Resapan
Kotoran Cair
Skema 5.3. Skema Sistem Air Kotor Sumber : dokumen pribadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153 |BAB V
Kelas B
bensin, cat, Isolasi Bahaya Baik Baik Boleh Boleh
Kelas C
listrik dan
atau mesin
Isolasi Bahaya Bahaya Baik Boleh Baik
Kelas D
logam
Isolasi,
pendinginan
Bahaya Bahaya Boleh Bahaya Baik
Tabel 5.3. Tabel Sistem Pemadaman dan Bahan yang Dipergunakan
Keterangan
BCF = Bromide, Chlorine, Fluorine adalah jenis gas Halon
Bahan pemadam api CO2 = Carbon dioxida
Sistem pemadaman meliputi :
Penguraian = pemisahan / menjauhkan benda-benda yang mudah terbakar
Pendinginan = penyemprotan air pada benda-benda yang terbakar
Isolasi = dengan cara menyemprotkan CO2
Blasting effect system = pemberian tekanan yang tinggi sekaligus menyerap
O2 dengan menggunakan bahan peledak
Cara kerja yang dipilih untuk diterapkan pada bangunan revitalisasi
kawasan Alun-alun Ponorogo adalah sistem semi otomatis untuk ruang-
ruang pengelola, mengingat pentingnya dokumen-dokumen yang terdapat
Tingkat bahaya Prosentase CO2 Volume C02 Berat CO2 / m3
Berbahaya 40% 40% x volume ruang 0,8 kg Cukup berbahaya 30% 30% x volume ruang 0,6 kg
Sumber : Utilitas Bangunan, In Hartono Poerbo, M.Arch, dalam Febri Fahmi Hakim, 2005: 153
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154 |BAB V
pada ruang-ruang tersebut. Hal ini akan merugikan apabila sistem
pemadaman otomatis dengan splinker air langsung dipakai tanpa melihat
dulu seberapa besar kebakaran yang terjadi. Untuk itu pula tetap
disediakan tabung-tabung gas C02 dengan tujuan ketika digabung
dengan sistem semi otomatis, manusia bisa mengambil keputusan apakah
kebakaran yang terjadi masih bisa dikendalikan dengan tabung COZ atau
tidak.
f. Sistem Penangkal Petir
Dasar pertimbangan :
- Penangkal petir mempunyai kemampuan tinggi untuk melindungi
bangunan dari sambaran petir.
- Sistem penangkal petir tidak menimbulkan efek elekrifikasi/ flash over
pada saat penangkal tersebut mengalirkan arus ke grounding sistem.
- Pemasangan penangkal petir tidak mengganggu fasad bangunan.
Sistem penangkal petir pada terdiri dari:
- Sistem franklin, Prinsip kerja melindungi isi dari kerucut, dimana jari
Manual (Tabung
CO2)
Alat Deteksi
Api Asap
Panel Alarm
Alat Pemadam
Aktif
Manusia/ Operator
Sistem Start
Pemadam Kebakaran
Skema 5.4. Skema Sistem Penanggulangan Bahaya Kebakaran. Sumber : Hakim, Febri Fahmi, 2005 : 154
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155 |BAB V
jari dan alasnya sama dengan tinggi kerucut. Sistem ini untuk bangunan
dengan luasan atap yang relatif luas dirasa kurang efektif dan efisien.
- Sistem faraday, Sistem ini menggunakan jaringan tiang-tiang kecil
yang dipasang di atas atap. Tinggi tiang tidak lebih dari 60cm.
Sistem ini lebih efektif dibanding sistem franklin.
- Sistem Thomas, Sistem ini menggunakan alat berbentuk payung
setinggi 50 cm yang dipasang di atas atap dan diisolasi agar tidak
mengalirkan listrik kedalam bangunan.
g. Sistem Jaringan Sampah
Pengolahan sampah pada bangunan revitalisasi kawasan Alun-alun
Ponorogo ini akan menggunakan sistem sampah yang membagi sampah
menjadi beberapa bagian sesuai dengan jenisnya. Langkah ini diambil
untuk ikut mendukung gerakan peduli lingkungan untuk mengatasi
permasalahan pengolahan sampah. Jadi sampah akan dibagi menjadi 3 jenis,
yaitu:
- Sampah anorganik, Contoh : logam, besi, kaleng, plastik, karet, botol,
dll. yang tidak dapat mengalami pembususkan secara alami.
- Sampah organik, Contoh : Sampah dapur, sampah restoran, sisa sayuran,
rempah-rempah atau dedaunan, dll. yang dapat mengalami pembusukan
secara alami.
- Sampah berbahaya, contoh : Baterei, botol racun nyamuk, jarum suntik
bekas, dll.
Sampah-sampah tersebut kemudian dialihkan ke tempat pembuangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156 |BAB V
sementara sesuai jenisnya dan selanjutnya diambil oleh petugas untuk
dialihkan ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sehingga akan ikut
mempermudah proses penyeleksian untuk kemudian akan di olah kembali oleh
pihak yang bersangkutan dalam pengolahan sampah.
Sampah Organik Bak Penampung (Pengkomposan) TPA
Sampah Anorganik Bak Penampung
Sampah Anorganik TPA
Sampah Berbahaya Bak Penampung
Sampah Berbahaya TPA
Skema 5.5. Skema Sistem Pengelolaan Sampah. Sumber : www.walhi.or.id