PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI
TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN DAYA TETAS
TELUR IKAN DEWA (Tor soro)
IFFI RIZKIYA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
ii
PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP
PERKEMBANGAN EMBRIO DAN DAYA TETAS TELUR IKAN DEWA
(Tor soro)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
IFFI RIZKIYA
11160950000044
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M/1442 H
iii
PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP
PERKEMBANGAN EMBRIO DAN DAYA TETAS TELUR IKAN DEWA
(Tor soro)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
IFFI RIZKIYA
11160950000044
Menyetujui:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Eri Setiadi, S.Si., M.Sc.
NIP. 196502051999031001
Etyn Yunita, M.Si.
NIP. 197006282014112002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Priyanti, M.Si.
NIP. 197505262000122001
iv
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “Pengaruh Salinitas dan Kecepatan Aerasi terhadap
Perkembangan Embrio dan Daya Tetas Telur Ikan Dewa (Tor soro)” yang
ditulis oleh Iffi Rizkiya, NIM 11160950000044 telah diuji dan dinyatakan LULUS
dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Februari 2021. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) Program Studi
Biologi.
Menyetujui,
Penguji I, Penguji II,
Dr. Dasumiati, M.Si.
NIP. 197309231999032002
Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si.
NIP. 197203222002122002
Pembimbing I, Pembimbing II,
Eri Setiadi, S.Si, M.Sc.
NIP. 196502051999031001
Etyn Yunita, M.Si.
NIP. 197006282014112002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi
Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud.
NIP. 196904042005012005
Dr. Priyanti, M.Si.
NIP. 197505262000122001
v
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
MANAPUN.
Jakarta, Februari 2021
Iffi Rizkiya
11160950000044
vi
ABSTRAK
Iffi Rizkiya. Pengaruh Salinitas dan Kecepatan Aerasi terhadap Perkembangan
Embrio dan Daya Tetas Telur Ikan Dewa (Tor soro). Skripsi. Program Studi
Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2020. Dibimbing oleh Eri Setiadi dan Etyn Yunita.
Populasi ikan (Tor soro) dewa telah mengalami penurunan bahkan termasuk kedalam
kategori terancam punah yang diakibatkan oleh penangkapan berlebihan, kerusakan
habitat, dan belum stabilnya produksi ikan hasil budidaya. Budidaya merupakan upaya
untuk mencegah terjadinya kepunahan. Penambahan salinitas bertujuan untuk
mempercepat penetasan dengan merangsang enzim chorionase, sedangkan kecepatan
aerasi untuk menciptakan sirkulasi dan meningkatkan oksigen terlarut. Penelitian ini
bertujuan untuk menentukan salinitas dan kecepatan aerasi optimal terhadap
perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa guna menghasilkan larva yang
berkualitas. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan dua tahap kegiatan, pertama salinitas (0, 2, 4, dan 6 ppt) dan kedua
kecepatan aerasi (0, 500, 1000, 1500, dan 2000 ml/menit) dengan 3 kali ulangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa telur ikan dewa hanya dapat bertahan pada salinitas 0
ppt dengan daya tetas sebesar 90,00±10,00%. Persentase abnormalitas tertinggi
ditemukan pada perlakuan kecepatan aerasi 0 ml/menit dan terendah pada 500
ml/menit. Nilai LPKT dan panjang mutlak tertinggi ditemukan pada perlakuan 1500
ml/menit yaitu 0.1268±0.0056 mm3/hari untuk LPKT dan 4.6435±0.2518 mm untuk
panjang mutlak. Kondisi terbaik untuk inkubasi telur ikan dewa adalah pada air tawar
yang bersalinitas 0 ppt dan pada kecepatan aerasi 1000 ml/menit dengan nilai oksigen
terlarut 6,58-7,31 mg/L.
Kata kunci: Ikan dewa, Kecepatan aerasi, Salinitas
vii
ABSTRACT
Iffi Rizkiya. Effect of Salinity and Aeration Rate on Embryonic Development and
Hatching Rate of Mahseer (Tor soro). Undergraduate Thesis. Departement of
Biology. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic
University Jakarta. 2020. Advised by Eri Setiadi and Etyn Yunita.
The mahseer (Tor soro) population is getting down even threatens with extinction
caused by over fishing, habitat destruction, and unstable of fish culture production. The
effort of fish cultivation prevent occurring of threaten. The addition of water salinity
has an aim to fasten the hatching time by stimulating chorionase enzyme, meanwhile
the aeration rate can affect circulation and increase the dissolved oxygen. This
experiment aimed to determine the optimal salinity and aeration rate for embryonic
development and hatching rate of Mahseer eggs in order to produce high-quality larvae.
The experimental design used was a completely randomized design with two steps of
experiment. The first step was salinity (0, 2, 4, and 6 ppt), and the second step was
aeration rate treatment (0, 500, 1000, 1500, and 2000 ml/minute) with 3 repetitions,
respectively. The result showed that Mahseer eggs only survived on 0 ppt salinity with
a hatching rate of 90,00±10,00%. The highest percentage of abnormality found on 0
ml/minute treatment and the lowest on 500 ml/minute treatment. The highest value of
yolk sac absorption (0.1268±0.0056 mm3/day) and absolute length (4.6435±0.2518
mm) was found on 1500 ml/minute treatment. The dissolved oxygen value was
increasing along with the increasing of aeration rate. The best condition for Masheer
culture is on salinity of 0 ppt and aeration rate of 1000 ml/minute.
Keywords: Aeration rate, Mahseer, Salinity
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafa’atnya di akhirat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas
limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga
penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan skripsi dengan judul “Pengaruh
Salinitas dan Kecepatan Aerasi terhadap Perkembangan Embrio dan Daya Tetas
Telur Ikan Dewa (Tor soro)”.
Tulisan ini dapat diselesaikan berkat adanya pihak-pihak yang telah memberikan
bimbingan serta dukungan kepada penulis. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Dr. Priyanti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Narti Fitriana, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains
dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta selaku penguji seminar
proposal dan seminar hasil yang telah memberikan masukan dan saran kepada
penulis.
4. Eri Setiadi, S.Si., M.Sc. selaku kepala Instalasi Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Lingkungan dan Toksikologi Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor
sekaligus Pembimbing I skripsi yang telah bersedia membimbing penulis
selama penelitian hingga dapat menyelesaikan skripsi.
5. Etyn Yunita, M.Si. selaku Pembimbing II yang telah yang telah bersedia
membimbing penulis selama penelitian hingga dapat menyelesaikan skripsi.
ix
6. Dr. Dasumiati, M.Si. dan Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si. selaku dosen
penguji sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan
skripsi ini.
7. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. selaku penguji seminar proposal dan seminar hasil
yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.
8. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan Bogor
yang telah memberi izin kepada penulis agar dapat melaksanakan penelitian.
9. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu senantiasa memberikan dukungan
moril maupun materil kepada penulis.
10. Aisyah dan Dina yang telah memberikan bantuan selama melaksanakan
penelitian, serta teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu.
Jakarta, Februari 2021
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ................................................................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................... 3
1.3. Hipotesis ........................................................................................................ 3
1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4
1.6. Kerangka Berpikir ......................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6
2.1. Ikan Dewa ...................................................................................................... 6
2.2. Perkembangan Embrio Ikan .......................................................................... 7
2.3. Daya Tetas Telur Ikan ................................................................................... 8
2.4. Salinitas ......................................................................................................... 9
2.5. Kecepatan Aerasi ........................................................................................... 9
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................................. 11
3.1. Waktu dan Tempat....................................................................................... 11
3.2. Alat dan Bahan ............................................................................................ 11
3.3. Rancangan Penelitian .................................................................................. 11
3.4. Cara Kerja .................................................................................................... 12
3.5. Analisis Data................................................................................................ 16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 17
4.1. Pengaruh Perbedaan Salinitas terhadap Daya Tetas Telur/Hatching Rate
(HR) ............................................................................................................. 17
4.2. Pengaruh Kecepatan Aerasi Berbeda terhadap Perkembangan Embrio,
Daya Tetas Telur, Abnormalitas, Volume Penyusutan Kuning Telur, dan
Laju Penyerapan Kuning Telur .................................................................... 19
4.3. Parameter Kualitas Air ................................................................................ 29
xi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 30
5.1. Kesimpulan .................................................................................................. 30
5.2. Saran ............................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 31
LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................................... 37
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian pengaruh salinitas dan kecepatan
aerasi terhadap perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa....... 5
Gambar 2. Morfologi ikan Tor soro dewasa ................................................................. 6
Gambar 3. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kondisi salinitas
berbeda ...................................................................................................... 17
Gambar 4. Perkembangan embrio ikan dewa 0 jam setelah pembuahan .................... 19
Gambar 5. Perkembangan embrio ikan dewa 4-16 jam setelah pembuahan............... 20
Gambar 6. Perkembangan embrio ikan dewa 18-36 jam setelah pembuahan............. 20
Gambar 7. Perkembangan embrio ikan dewa 42-68 jam setelah pembuahan............. 21
Gambar 8. Larva ikan dewa setelah menetas .............................................................. 21
Gambar 9. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kecepatan aerasi
berbeda ...................................................................................................... 22
Gambar 10. Persentase rata-rata abnormalitas larva ikan dewa pada kecepatan
aerasi berbeda .......................................................................................... 23
Gambar 11. Morfologi larva abnormal ....................................................................... 24
Gambar 12. Penyusutan volume kuning telur pada perlakuan kecepatan aerasi
berbeda .................................................................................................... 25
Gambar 13. Rata-rata laju penyerapan kuning telur pada kecepatan aerasi
berbeda .................................................................................................... 26
Gambar 14. Rata-rata panjang mutlak larva ikan dewa pada kecepatan aerasi
berbeda .................................................................................................... 27
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan dewa (Tor soro) yang juga dikenal dengan sebutan ikan batak, ikan soro,
ikan kancra, maupun ikan semah merupakan ikan bertulang sejati atau Teleostei. Ikan
ini merupakan fauna lokal Indonesia yang dijadikan masakan khas oleh masyarakat
suku Batak di Sumatera Utara. Budaya masyarakat Batak menyajikan ikan sebagai
syarat pada upacara adat seperti pernikahan dan kelahiran anak (Siregar, Barus, &
Ilyas, 2013). Hal ini menjadi salah satu faktor yang meningkatkan aktivitas
penangkapan ikan tersebut. Mulanya ikan dewa memiliki daerah persebaran yang luas
meliputi perairan Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Namun ikan tersebut semakin sulit
dijumpai karena terdesak oleh ikan-ikan introduksi seperti ikan mas dan nila.
Keberadaan ikan dewa pun kian terancam punah karena terjadinya pencemaran air,
serta penggundulan hutan (Haryono, Agus, Jojo, Asih, & Gema, 2010). Genus ikan Tor
termasuk dalam kategori terancam punah (threatened species) menurut IUCN Red List
Status (2014). Budidaya ikan dewa masih berlangsung saat ini namun domestikasi dan
reproduksinya masih belum optimal. Masalah lainnya adalah ikan ini memiliki
pertumbuhan yang lambat dan fekunditas yang rendah. Induk ikan dewa memiliki nilai
fekunditas sebesar 2.063 butir/kg. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan ikan Tor
douronensis yaitu 4.085 butir/kg (Radona, Subagja, & Arifin, 2015).
Salah satu cara untuk mengurangi ancaman kepunahan bagi ikan dewa adalah
melakukan pembudidayaan dengan menciptakan lingkungan dan kondisi yang
optimum bagi pertumbuhannya. Keberhasilan pembenihan ikan ditentukan oleh faktor
utama yang salah satunya adalah kualitas telur. Tingkat pembuahan (fertilitas), daya
tetas telur (hatching rate) yang tinggi dan rendahnya tingkat abnormalitas merupakan
ciri dari telur yang berkualitas (Andriyanto, Slamet, & Ariawan, 2013). Faktor yang
juga mempengaruhi perkembangan embrio serta daya tetas telur ikan adalah kondisi
lingkungan. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas air dalam kegiatan
2
akuakultur diantaranya adalah suhu air, oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO),
pH, alkalinitas, kadar amonia, nitrit, nitrat, karbondioksida, serta bahan organik terlarut
lainnya (Islami, Hasan, & Anna, 2017). Menurut Hijriyanti (2012), daya tetas telur
dipengaruhi oleh mutu telur, suhu air, salinitas, gerakan air, dan luas permukaan wadah.
Salinitas termasuk salah satu faktor media yang dapat mempengaruhi faktor lain
seperti mengontrol osmoregulasi, kerja enzim, serta reaksi biokimia yang terjadi pada
embrio maupun organisme perairan (Anggoro & Muryati, 2007). Apabila osmotik
lingkungan berbeda jauh dengan tekanan osmotik dalam telur ikan, maka osmotik
media akan menjadi beban bagi telur sehingga dibutuhkan energi yang relatif besar
untuk mempertahankan osmotik telurnya (Diana, Masithah, Mukti, & Triastuti., 2013).
Di samping itu, aktivitas enzim chorionase yang terdapat pada cangkang telur dapat
dipengaruhi oleh salinitas lingkungannya. Di mana enzim chorionase sendiri
merupakan enzim yang terdiri atas pseudokeratin yang bersifat mereduksi lapisan
chorion menjadi lunak (Waris, Mansyur, & Rusaini, 2018). Salinitas yang tidak sesuai
dapat menghambat stimulasi kelenjar endodermal embrio yang berperan dalam sekresi
enzim tersebut (Kumar & Tembhre, 1997). Berdasarkan penelitian Heltonika (2014)
diketahui bahwa penetasan telur ikan jambal siam dipengaruhi oleh faktor lingkungan
yakni salinitas yang berhubungan dengan oksigen terlarut. Dalam penelitian tersebut
didapatkan salinitas terbaik untuk penetasan telur ikan jambal siam adalah 4 ppt. Selain
itu Hadid, Syaifudin, & Amin (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa salinitas
berpengaruh terhadap persentase daya tetas telur, laju penetasan telur, dan
kelangsungan hidup larva ikan baung dengan hasil terbaik adalah 2 ppt.
Salah satu cara lain untuk menjaga kualitas air adalah dengan memberikan aerasi.
Kecepatan aerasi memiliki hubungan yang erat dengan kadar oksigen terlarut serta
sirkulasi air. Aerasi digunakan untuk meningkatkan oksigen terlarut yang dapat
mengurangi kejenuhan gas. Penurunan tingkat kebutuhan oksigen biologis di perairan
disebabkan oleh respirasi organisme akuatik baik tanaman maupun hewan seperti ikan,
hewan bentik, bakteri, dan zooplankton (Meade, 1989). Telur dan benih ikan memiliki
tingkat metabolisme yang tinggi. Karenanya kadar oksigen terlarut yang memadai
sangatlah diperlukan, yaitu tidak kurang dari 4-5 mg/L (Aryani, 2015).
3
Menurut Sunarma (2007), aerasi yang cukup dapat berpengaruh terhadap daya
tetas telur. Adanya aerasi dapat memberikan tambahan oksigen serta sirkulasi di
perairan. Lingkungan tanpa sirkulasi dapat menyebabkan penyebaran oksigen tidak
merata dan menghambat perkembangan embrio (Slembrouck, Komarudin, Maskur, &
Legendre, 2005). Namun, jika sirkulasi yang diberikan terlalu tinggi maka dapat
menyebabkan kematian pada larva yang baru menetas (Nurmansyah, 2019). Rahman
et al. (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa aliran air dan aerasi dapat
mempengaruhi perkembangan embrio ikan lele spesies Clarias batrachus. Fase
pembelahan embrio dapat terhenti jika suatu perairan tidak memiliki aliran air maupun
aerasi. Selain itu kecepatan aerasi terbukti dapat mempengaruhi daya tetas telur, lama
penetasan telur, serta tingkat kelangsungan hidup pada larva ikan bawal (Colossoma
macropopum) (Hadi, 2016) dan ikan lele mutiara (Clarias sp.) (Nurmansyah, 2019).
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya terhadap ikan dewa yang membuktikan
bahwa salinitas dapat mempercepat perkembangan embrio (Prakoso & Radona, 2015),
serta suhu berpengaruh terhadap daya tetas telur (Irfandi, Thaib, & Nurhayati, 2020).
Namun informasi mengenai pengaruh salinitas dan kecepatan aerasi terhadap
perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan Tor soro masih sangat sedikit, sehingga
dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah lama waktu perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa
pada perlakuan salinitas dan kecepatan aerasi berbeda?
2. Salinitas dan kecepatan aerasi manakah yang dapat menghasilkan perkembangan
embrio yang cepat dan daya tetas telur ikan dewa tertinggi?
1.3. Hipotesis
Salinitas dan kecepatan aerasi dapat berpengaruh positif terhadap perkembangan
embrio dan daya tetas telur ikan dewa.
4
1.4. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui lama waktu perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa pada
perlakuan salinitas dan kecepatan aerasi berbeda.
2. Menentukan salinitas dan kecepatan aerasi optimal terhadap perkembangan
embrio dan daya tetas telur ikan dewa guna menghasilkan larva yang berkualitas.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai kondisi
optimum untuk perkembangan embrio dan daya tetas ikan dewa tertinggi, serta tingkat
abnormalitas larva yang dihasilkan.
5
1.6. Kerangka Berpikir
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian pengaruh salinitas dan kecepatan aerasi
terhadap perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa
Ikan Tor soro merupakan fauna lokal Indonesia
Ikan Tor soro terancam punah karena terdesak ikan-
ikan introduksi, penangkapan berlebihan, dan
kerusakan habitat (pencemaran perairan)
Perlunya dilakukan
budidaya
Masih terbatasnya
informasi dan teknologi
budidaya ikan dewa
Menentukan kondisi
lingkungan optimum
untuk perkembangan
embrio dan daya tetas
telur
Dilakukan optimasi salinitas serta kecepatan aerasi
agar mendapatkan kondisi terbaik untuk
perkembangan embrio serta meningkatkan daya tetas
telur
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Dewa
Ikan dewa atau Tor soro (Gambar 2) merupakan salah satu ikan lokal Indonesia.
Terdapat tiga kerabat ikan Tor soro yang dapat ditemukan di Indonesia antara lain Tor
tambroides, Tor tambra, dan Tor douronensis (Kottelat et al., 1993). Ikan ini dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: Filum: Chordata, Kelas: Teleostei, Ordo:
Cypriniformes, Famili: Cyprinidae, Genus: Tor, Spesies: Tor soro (Valenciennes
(1842) dalam Haryono et al. (2010)).
Gambar 2. Morfologi ikan Tor soro dewasa
Pada umumnya, ikan dengan genus Tor memiliki bentuk tubuh yang pipih
memanjang, moncong agak meruncing, mulut tebal dan letaknya inferior atau
subinferior, serta bibir bawah yang tidak terputus dengan ada-tidaknya cuping
(Haryono et al., 2010). Secara morfologi ikan dewa memiliki panjang maksimal 1
meter dengan gurat sisi atau linea lateralis sepanjang 24-28 cm. Ciri yang membedakan
ikan ini dengan genus Tor lainnya adalah adanya dua lobus di bibir bawah mulut ikan.
Pembeda lainnya adalah ukuran sirip dubur yang lebih pendek dibandingkan sirip
punggung, serta terdapat warna perak mengkilap di bagian belakang (Haryono &
Tjakrawidjaja, 2005). Beberapa ciri fisik yang membedakan ikan dewa jantan dan
7
betina dapat dilihat dari bentuk badan, warna sisik, tutup insang, serta papila (Haryono
et al., 2010).
Haryono & Subagja (2008) menyatakan bahwa habitat ikan dewa dapat
dibedakan menjadi tiga berdasarkan ukurannya. Ikan dewa yang masih dalam tahap
larva atau juvenil (ukuran 5 – 50 mm) umumnya mendiami tepi sungai dengan substrat
dasar perairan berpasir, arus tenang, warna air jernih, dan dangkal. Ikan berukuran kecil
sampai sedang (5 – 20 cm) berhabitat di sungai dengan karakteristik dasar perairan
bebatuan, arus air sedang sampai deras, warna air jernih, serta substrat yang tersusun
dari kerikil dan pasir. Ikan dewasa dengan ukuran minimal 21 cm umumnya hidup di
lubuk sungai dengan arus tenang sampai lambat, dasar perairan bebatuan, substrat
tersusun dari pasir dan kerikil, serta warna air jernih. Ikan dewa termasuk ikan pelagis
yang bergerak aktif karena merupakan penghuni sungai pada hutan tropis terutama
pada kawasan pegunungan, bagian hulu sungai yang merupakan daerah perbukitan
dengan air yang jernih dan berarus kuat (Sinaga, Pulungan, & Efizon, 2015).
Beberapa penelitian mengenai ikan genus Tor sudah dilakukan sebelumnya.
Penelitian tersebut diantaranya adalah mengenai induksi ovulasi dan pemijahan
(Farastuti, Sudrajat, & Gustiano, 2014), analisis keragaman dan penentuan variasi
genetik (Asih, Nugroho, Kristanto, & Mulyasari, 2008; Nugroho, Soewardi, &
Kurniawirawan, 2007), kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih (Qudus, Lili, &
Rosidah, 2012), kebiasaan makan (Siregar et al., 2013), habitat (Subagja & Marson,
2008), dan pertumbuhan (Rumondang & Mahari, 2017; Subagja & Radona, 2018).
2.2. Perkembangan Embrio Ikan
Embriologi dan perkembangan larva merupakan hal yang penting dalam praktek
produksi ikan. Tersedianya informasi mengenai perkembangan embrio dan larva ikan
menjadi kunci untuk memaksimalkan pertumbuhan serta kelangsungan hidup larva
(Puvaneswari, Marimuthu, Karuppasamy, & Haniffa, 2009). Tahap perkembangan
embrio pada ikan merupakan tahap yang paling sensitif dalam seluruh siklus hidup ikan
dan dapat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas benih. Ciri telur ikan yang telah
terfertilisasi ditandai dengan warna transparan, sedangkan yang tidak terfertilisasi
8
cenderung berwarna putih pucat pada inti (Saputra, Raharjo, & Rachimi, 2014). Jumlah
telur yang menetas dan tingkat kelangsungan hidup larva ikan dalam kegiatan produksi
benih dipengaruhi oleh beberapa jenis stresor lingkungan dapat mengakibatkan
rendahnya tingkat produksi benih ikan (Prakoso & Kurniawan, 2015).
Tahap perkembangan embrio diawali dengan pembelahan zigot (cleavage),
stadia morula, blastula, gastrula, dan organogenesis. Tiga tahapan dalam proses
embriogenesis ikan antara lain tahap pembelahan, embrionik, dan eleutheroembrionik
(fase ikan menetas hingga dapat mencari makan dari luar). Fase embrionik berlangsung
ketika proses pembuahan terjadi hingga ikan dapat mencari makan sendiri (Tang &
Ridwan, 2004).
2.3. Daya Tetas Telur Ikan
Persentase telur yang menetas setelah kurun waktu tertentu disebut hatching rate
atau daya tetas telur. Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya penetasan telur
yaitu kerja mekanik dan enzimatik. Kerja mekanik merupakan akibat dari adanya
aktivitas embrio. Semakin aktif embrio bergerak maka semakin cepat proses penetasan
terjadi. Sedangkan kerja enzimatik adalah adanya enzim chorionase dalam telur yang
berfungsi mereduksi lapisan terluar telur (chorion). Chorion yang terdiri dari
pseudokeratin akan menjadi lembek, sehingga bagian cangkang yang tipis dan terkena
enzim chorionase akan pecah. Ekor embrio akan keluar dari cangkang kemudian diikuti
tubuh dan kepalanya (Gusrina, 2014).
Kualitas benih dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah penetasan
yang dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi hormon
serta volume kuning telur (Hadid et al., 2015). Hormon yang dihasilkan oleh hipofisa
dan tiroid berperan dalam proses metamorfosa, dan volume kuning telur berhubungan
dengan perkembangan embrio sedangkan faktor luar yang mempengaruhi penetasan
adalah suhu, pH, salinitas (Kamler, 1992), gas-gas terlarut (oksigen, CO2 dan amoniak)
(Lagler, 1972), intensitas cahaya (Nikolsky, 1963), serta kecepatan aerasi (Sugama,
Trijoko, Ismi, & Setiawati, 2004).
9
2.4. Salinitas
Salinitas atau kadar garam terlarut dalam air merupakan salah satu faktor penting
yang juga memengaruhi perkembangan embrio serta daya tetas telur ikan. Salinitas
merupakan salah satu penentu kualitas air yang dapat mempengaruhi telur dan larva
ikan. Salinitas berpengaruh terhadap daya tetas telur (Holliday, 1969), kelulushidupan
larva (Lee & Menu, 1981), serta proses perkembangan telur ikan terutama dalam proses
osmoregulasi (Lopez, Martinez., & Garcia., 2004). Selain itu salinitas juga
mempengaruhi tingkat kerja osmotik, daya absorpsi air, dan proses pengerasan selaput
terluar telur (chorion). Hal tersebut diduga dapat berpengaruh terhadap pemanfaatan
energi kuning telur untuk pertumbuhan embrio dan osmoregulasi (Anggoro, 1992).
Menurut Mubarokah, Tarsim, & Kadarini (2014), faktor lingkungan seperti
salinitas media budidaya dapat mempengaruhi daya tetas telur dan embriologi. Jika
konsentrasi antara cairan dalam telur dengan lingkungannya sudah hampir sama dan
telur masih mampu mentoleransi perubahan salinitas yang diberi, maka energi untuk
telur melakukan osmoregulasi dapat digunakan untuk bermetabolisme. Menurut
Prakoso & Kurniawan (2015), abnormalitas larva dapat terjadi karena selama proses
inkubasi embrio mendapatkan salinitas di luar ambang batas.
2.5. Kecepatan Aerasi
Kecepatan aerasi memiliki hubungan yang erat dengan kadar oksigen terlarut
serta kecepatan arus perairan. Aerasi digunakan untuk meningkatkan oksigen terlarut
agar dapat mengurangi kejenuhan gas. Penurunan kadar oksigen terlarut di kolam
dipengaruhi oleh ikan yang dipelihara, zooplankton, bentos, dan aktivitas bakteri
(Effendi, 2004). Abuzar et al. (2012) menyatakan bahwa aerasi merupakan transfer gas
yang cenderung dikhususkan pada transfer oksigen atau proses penambahan oksigen
ke dalam air.
Oksigen merupakan faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air
tidak mencukupi kebutuhan biota perairan, maka segala aktivitas biota akan terhambat
(Kordi, Ghufron, & Andi, 2007). Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat
menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan.
10
Sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan
pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Oksigen
terlarut dalam air utamanya bersumber dari fotosintesis fitoplankton serta udara yang
melewati proses difusi (Simanjuntak, 2012). Oksigen terlarut yang baik bagi
pertumbuhan ikan adalah 5-7 mg/L (Boyd, 1990). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 82 tahun 2001 bahwa oksigen terlarut untuk perikanan adalah ≥3 mg/L. Kecepatan
arus air pada media akuakultur sangat dipengaruhi oleh kecepatan aerasi yang
diberikan. Kecepatan arus yang sesuai sangat dibutuhkan dalam budidaya perikanan
karena arus sangat berperan dalam sirkulasi air, membawa bahan terlarut dan
tersuspensi serta mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air (Affan, 2011).
11
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2020. Berlokasi di Instalasi
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Lingkungan dan Toksikologi Perikanan
Budidaya Air Tawar, Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 15 buah akuarium
kaca berukuran 70 x 25 x 30 cm, 12 buah toples kaca volume 2 liter, bak fiber,
mikroskop stereo, termometer, refraktometer, aerator, batu aerasi, infus aerasi atau
pengatur udara, kamera, dan alat tulis. Bahan yang digunakan antara lain adalah
telur ikan Tor soro yang telah dibuahi, air tawar salinitas 0 ppt, serta air laut. Telur
ikan dewa didapatkan dari hasil pemijahan buatan di Instalasi Riset Plasma Nutfah
Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor.
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahapan perlakuan berbeda, tahap pertama
perlakuan salinitas kemudian dilanjutkan dengan perlakuan kecepatan aerasi.
Masing-masing tahapan digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
penelitian tahap pertama terdiri dari 4 jenis perlakuan salinitas yaitu 0, 2, 4, dan 6
ppt (Lampiran 1) dan penelitian tahap kedua terdiri dari 5 jenis perlakuan kecepatan
aerasi yaitu 0, 500, 1000, 1500, dan 2000 ml/menit (Lampiran 2). Masing-masing
perlakuan dilakukan dengan 3 kali pengulangan. Pada perlakuan salinitas
digunakan sebanyak 10 butir telur ikan dewa yang telah dibuahi, sedangkan
perlakuan kecepatan aerasi sebanyak 200 butir. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis secara statistik.
12
3.4. Cara Kerja
3.4.1. Persiapan Wadah
Pada penelitian ini digunakan 12 buah toples kaca yang masing-masing
berukuran 2 L untuk perlakuan salinitas, dan 15 buah akuarium berukuran 70 x 25
x 30 cm untuk perlakuan kecepatan aerasi. Toples dan akuarium dibersihkan
terlebih dahulu. Volume air yang digunakan adalah 1 L untuk toples dan 40 L untuk
akuarium. Masing-masing wadah perlakuan dilengkapi dengan aerasi, kemudian
diberi label sesuai perlakuan. Seluruh wadah perlakuan ditempatkan dalam satu
ruangan dengan AC agar suhu air tetap stabil berkisar antara 22-23°C. Menurut
Irfandi et al. (2020) suhu ideal untuk penetasan ikan dewa adalah 22°C.
3.4.2. Seleksi Induk
Proses seleksi induk dilakukan dengan mengacu pada penelitian Yulianti
(2016). Tujuan dilakukannya seleksi induk adalah untuk mendapatkan induk ikan
dewa sesuai kriteria sehingga menghasilkan benih yang unggul. Dari hasil seleksi
maka dapat dibedakan induk jantan dan betina, induk yang sudah matang gonad,
induk yang paling baik, tidak cacat, dan sehat. Seleksi induk dilakukan dengan cara
memijat perut induk betina secara perlahan ke arah lubang kelamin hingga keluar
cairan telur. Indukan betina yang siap memijah ditandai dengan dihasilkannya telur
yang berukuran seragam, kenyal, berwarna kuning pudar, dan berminyak. Beberapa
ciri yang menunjukkan bahwa induk ikan dewa telah matang gonad adalah
berupaya berenang menghampiri sumber mata air, serta induk jantan akan mengejar
induk betina. Untuk proses pemijahan digunakan perbandingan induk jantan
dengan induk betina yaitu 2:1. Hal tersebut bertujuan untuk memaksimalkan proses
pembuahan karena jumlah sperma lebih banyak dari telur sehingga diharapkan telur
yang dibuahi lebih banyak.
3.4.3. Proses Pembuahan
Pengurutan atau stripping telur pada induk betina dilakukan oleh 2 orang
(Lampiran 3). Pertama, ikan dewa yang akan diurut dimasukkan ke dalam kain
basah yang bertujuan untuk memberi rasa nyaman dan mengurangi pergerakan saat
pengurutan. Proses pengurutan dilakukan mulai dari bagian dada sampai menuju ke
arah genital papila. Proses ini dilakukan dengan hati-hati agar mencegah induk
13
melakukan gerakan. Telur yang keluar ditampung dalam mangkuk yang bersih dan
kering agar tidak terjadi kontaminasi. Telur dicampurkan dengan sperma kemudian
diaduk rata menggunakan bulu ayam (Lampiran 3). Setelah keduanya tercampur,
dibersihkan dengan air untuk menghilangkan sisa-sisa sperma yang tidak
membuahi telur.
3.4.4. Perhitungan dan Penetasan Telur
Metode gravimetri digunakan dalam perhitungan jumlah telur yang
dihasilkan dari proses stripping. Telur ikan dewa diambil sebanyak 1 gram,
kemudian sampel satu gram dihitung untuk mengetahui jumlah telur yang ada untuk
dikonversi dengan jumlah total berat telur yang dikeluarkan oleh induk betina
setelah proses stripping. Telur-telur yang didapat dari hasil fertilisasi kemudian
dibagi untuk masing-masing perlakuan salinitas dan kecepatan aerasi.
3.4.5. Pengaturan Salinitas
Perlakuan konsentrasi salinitas yang digunakan mengacu pada penelitian
sebelumnya oleh Prakoso & Radona (2015) yaitu 0, 2, 4, dan 6 ppt. Dua belas buah
toples untuk perlakuan salinitas diletakkan di dalam bak fiber yang sudah terisi air.
Dilakukan pencampuran antara air tawar dengan air laut dan diukur dengan
refraktometer hingga mencapai salinitas yang dikehendaki menggunakan rumus
persamaan sebagai berikut (Ardi, Setiadi, Kristanto & Widiyati, 2016):
Va.Na= V1.N1 + V2. N2
Keterangan:
Va = Volume akhir air yang dikehendaki (L)
Na = Tingkat salinitas akhir air yang dikehendaki (ppt)
V1 = Volume air laut yang diencerkan (L)
N1 = Tingkat salinitas air laut yang diencerkan (ppt)
V2 = Volume air tawar yang ditambahkan (L)
N2 = Tingkat salinitas air tawar yang ditambahkan (ppt)
14
Dalam penelitian ini air tawar yang digunakan berasal dari air minum isi
ulang dengan salinitas 0,00 ppt. Setiap toples diisi dengan air sesuai perlakuan
kemudian dipasang aerator (Lampiran 3).
3.4.6. Pengaturan Kecepatan Aerasi
Untuk perlakuan kecepatan aerasi digunakan 15 buah akuarium yang diberi
aerasi sesuai perlakuan (Lampiran 3). Kecepatan aerasi diukur berdasarkan metode
volumetri (Sugama et al., 2004), yaitu dengan cara memasukan batu aerasi ke dalam
beaker glass volume 1000 ml, kemudian volume gas yang masuk ke dalam beaker
glass tersebut dicatat sesuai dengan waktu yang ditetapkan sebagai perlakuan.
Kecepatan aerasi disesuaikan dengan perlakuan yang telah ditentukan yaitu 0, 500,
1000, 1500, dan 2000 ml/menit.
3.4.7. Parameter Pengamatan
Perkembangan embrio
Pengamatan perkembangan embrio dilakukan dengan menggunakan
mikroskop stereo perbesaran 10 x 1,5 dengan mengamati setiap fase perkembangan
embrio mulai dari fertilisasi hingga menetas. Pengamatan telur dilakukan setelah
telur dimasukkan ke dalam akuarium pada masing-masing perlakuan kecepatan
aerasi. Satu buah telur diambil dan disimpan pada wadah yang digantungkan ke
dinding akuarium (Lampiran 1). Pengamatan perkembangan embrio pada hari
pertama dan kedua dilakukan setiap 2 jam, pada hari ketiga dilakukan setiap 3 jam,
dan pada hari keempat setiap 2 jam. Waktu perubahan setiap fase perkembangan
embrio dicatat dan didokumentasikan.
Lama waktu penetasan
Lama waktu penetasan atau hatching time merupakan durasi yang diperlukan
telur agar dapat menetas. Untuk menghitungnya dapat digunakan rumus:
HT = Ht – Ho
Keterangan:
HT = Hatching Time
Ht = Lama waktu akhir penetasan
Ho = Waktu pasca pembuahan
15
Persentase daya tetas telur/Hatching Rate (HR)
Setelah terjadi proses penetasan, dilakukan pengamatan untuk mengetahui
daya tetas telur atau hatching rate. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah telur
yang menetas dari jumlah total telur yang dihasilkan. Pada saat semua telur telah
menetas, jumlah larva dihitung dan dilakukan perhitungan untuk mencari hatching
rate dengan menggunakan rumus menurut Effendie (1997):
HR = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒍𝒖𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒕𝒂𝒔
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒕𝒆𝒍𝒖𝒓 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
3.4.8. Parameter Pendukung
Laju penyerapan kuning telur ikan
Budiardi et al. (2005) menyatakan bahwa energi yang besar dibutuhkan
dalam aktivitas metabolisme yang tinggi sehingga dapat mempercepat laju
penyerapan volume kuning telur. Volume kuning telur yang besar akan
menghasilkan sumber energi yang mencukupi bagi perkembangan embrio telur ikan
sehingga telur cepat menetas. Menurut Sriyani (1993), volume kuning telur
dihitung dengan rumus:
V = 𝝅
𝟔𝑪𝟏𝑪𝟐²
Keterangan:
V = Volume kuning telur (mm3)
C1 = Panjang kuning telur (mm)
C2 = Lebar kuning telur (mm)
Sedangkan untuk menghitung laju penyerapan kuning telur menggunakan rumus
menurut Ardimas (2012):
LPKT = 𝑽𝒐−𝑽𝒕
𝑻
Keterangan:
LPKT = Laju Penyerapan Kuning Telur (mm3/hari)
Vo = Volume kuning telur awal (mm3)
Vt = Volume kuning telur akhir (mm3)
T = waktu (hari)
16
Persentase abnormalitas
Pengamatan abnormalitas dalam penelitian ini meliputi bentuk kepala, bentuk
tubuh, dan bentuk ekor. Perhitungan dilakukan untuk mengetahui besarnya
abnormalitas seperti dikemukakan oleh Wirawan (2005), yaitu:
Abnormalitas = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒍𝒂𝒓𝒗𝒂 𝒂𝒃𝒏𝒐𝒓𝒎𝒂𝒍
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒍𝒂𝒓𝒗𝒂 𝒙 𝟏𝟎0%
Panjang mutlak larva
Panjang mutlak merupakan selisih panjang larva dari kepala hingga ujung
ekor pada hari pertama setelah menetas dan hari terakhir saat kuning telur habis.
Perhitungan dilakukan dengan rumus Effendie (1997):
Pm = Lt – Lo
Keterangan:
Pm = Pertambahan panjang mutlak (mm)
Lt = Panjang rata-rata akhir (mm)
Lo = Panjang rata-rata awal (mm)
3.4.9. Parameter Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini meliputi nilai oksigen
terlarut yang diukur menggunakan DO meter, suhu (termometer), serta pH (pH
meter).
3.5. Analisis Data
Data hasil pengamatan yang didapat meliputi daya tetas telur, abnormalitas,
laju penyerapan kuning telur, serta panjang mutlak larva dianalisis menggunakan
uji ANOVA. Jika terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple
Range Test (DMRT) atau uji perbandingan berganda Duncan. Aplikasi yang
digunakan adalah software IBM SPSS versi 20.
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Perbedaan Salinitas terhadap Daya Tetas Telur/Hatching Rate
(HR)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telur pada kondisi 0 ppt dapat
menetas dengan daya tetas sebesar 90,00±10,00%, sedangkan pada salinitas 2, 4,
dan 6 ppt tidak ditemukan adanya telur yang menetas (Gambar 5). Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh terhadap daya tetas telur (p<0,05). Hasil
uji Duncan menunjukkan bahwa salinitas 0 ppt berbeda dengan 2, 4, dan 6 ppt
terhadap daya tetas (p<0,05).
Gambar 3. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kondisi salinitas
berbeda
Hasil yang didapat berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Prakoso &
Radona (2015) yaitu telur ikan dewa dapat berkembang pada salinitas 0, 2, 4, dan
6 ppt serta berhasil menetas pada salinitas 0 ppt dengan persentase daya tetas
sebesar 97,33% dan 2 ppt sebesar 58,67%. Perbedaan daya tetas telur tersebut
diduga disebabkan oleh metode yang digunakan serta kualitas telur yang berbeda.
Pada penelitian sebelumnya tidak dijelaskan bagaimana cara pembuatan tingkatan
salinitas apakah menggunakan air laut atau garam serta tidak disebutkan parameter
kualitas air selama pengamatan. Kemungkinan lain diduga telah terjadinya
90,00±10,00%
0 0 00
20
40
60
80
100
120
0 ppt 2 ppt 4 ppt 6 ppt
Day
a T
etas
(%
)
Perlakuan
18
penurunan kualitas telur yang dibuktikan dengan daya tetas penelitian sekarang ini
lebih rendah (90,00%) dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Prakoso
& Radona (2015) sebesar 97,33%. Putri et al. (2013) (Putri et al., 2013)melaporkan
bahwa kualitas telur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor
internal seperti umur induk dan kondisi genetik, dan faktor eksternal seperti pH,
suhu, cahaya, dan oksigen terlarut. Namun di samping itu pada penelitian Prakoso
& Radona (2015) terbukti bahwa peningkatan salinitas dapat menurunkan
persentase daya tetas telur, seperti halnya yang terjadi pada hasil penelitian ini.
Ketidakmampuan telur ikan dewa untuk menetas pada lingkungan dengan
salinitas 2, 4, dan 6 dapat disebabkan karena konsentrasi garam yang terlalu tinggi
sehingga menyebabkan lingkungan menjadi hiperosmotik dan telur gagal
berkembang bahkan pecah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sukendi (2003)
di mana salinitas bisa berpengaruh pada osmoregulasi dalam proses penetasan, jika
telur ikan air tawar berada dalam larutan yang kadar garamnya tinggi maka akan
terjadi pengembungan dan menyebabkan pecahnya telur. Hal itu merupakan akibat
dari kondisi di luar telur yang hiperosmotik, sehingga cairan dari luar akan masuk
kedalam telur yang hipoosmotik. Diketahui pula bahwa ikan dewa merupakan ikan
yang hidup di perairan dataran tinggi sehingga cenderung tidak dapat mentoleransi
air dengan kadar garam tinggi. Subagja & Marson (2008) memaparkan bahwa ikan
Tor sp. Termasuk ikan yang hidup di perairan pada dataran tinggi dan dikenal
sebagai ikan yang bernilai ekonomis terutama untuk masyarakat di sekitar habitat
ikan tersebut.
Penambahan kadar garam pada media inkubasi dalam penelitian ini awalnya
dimaksudkan agar kondisi di luar telur memiliki salinitas yang hampir sama dengan
kondisi di dalam telur, sehingga dapat mengurangi energi untuk melakukan
osmoregulasi dan dapat memaksimalkan penggunaan energi untuk metabolisme
dan perkembangan embrio. Selain itu pemberian salinitas juga diharapkan dapat
merangsang sekresi enzim chorionase agar mempercepat penetasan telur. Namun
dari hasil penelitian yang didapat ikan dewa hanya mampu menetas pada salinitas
0 ppt, maka untuk perlakuan kecepatan aerasi digunakan air dengan salinitas
tersebut.
19
4.2. Pengaruh Kecepatan Aerasi Berbeda terhadap Perkembangan Embrio,
Daya Tetas Telur, Abnormalitas, Volume Penyusutan Kuning Telur, dan
Laju Penyerapan Kuning Telur
4.2.1. Perkembangan Embrio
Pengamatan perkembangan embrio dilakukan setelah penebaran telur hingga
telur menetas kemudian dilanjutkan dengan perhitungan daya tetas telur serta
pengamatan pada larva. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan tidak ada
perbedaan signifikan dalam perkembangan embrio dari setiap perlakuan.
Gambar 4. Perkembangan embrio ikan dewa 0 jam setelah pembuahan. A. Telur
ikan dewa yang terfertilisasi; B. Pembentukan blastodisc, 1. Blastodisc;
C. Pembelahan 4 sel; D. Pembelahan 16 sel; E. Pembelahan 32 sel
Fase pertama pada 0 jam pasca fertilisasi diawali dengan pembentukan
blastodisc pada zigot dan pembelahan sel (Gambar 6) hingga mencapai fase morula
dilanjutkan dengan pembentukan sel epiboli (Gambar 7). Telur mengalami fase
pembelahan hingga menjadi morula pada 4 jam pertama dan pada jam ke-8 embrio
mulai memasuki fase blastula. Ardhardiansyah et al. (2017) menyatakan bahwa
Setelah melewati tahap morula, embrio akan mengalami tahap blastula di mana
ditandai dengan terbentuknya rongga kosong dalam embrio yang disebut
blastocoel.
20
Gambar 5. Perkembangan embrio ikan dewa 4-16 jam setelah pembuahan. A. 4 jam
(morula); B. 8 jam (blastula awal); C. 12 jam (blastula tengah); D. 16 jam
(blastula akhir), 1. Sel epiboli
Gambar 6. Perkembangan embrio ikan dewa 18-36 jam setelah pembuahan.
A. 18 jam (gastrula awal), 1. Germ ring; B. 20 jam (gastrula akhir); C.
24 jam (segmentasi), 2. Somite; D. 30 jam, 3. Notochord, 4. Tail bud;
E. 36 jam
Setelah berumur 18 jam, embrio memasuki fase gastrula awal dan mulai
terlihat terbentuknya germ ring (Gambar 8). Usia 24 jam, embrio telah mengalami
tahap segmentasi dan mulai terlihat terbentuknya somite. Selanjutnya terlihat
terbentuknya notochord dan tail bud pada jam ke-30. Setelah berumur 48 jam mulai
21
terlihat embrio telah memiliki mata (Gambar 9), dan jantung mulai terlihat
terbentuk pada jam ke-54. Khasanah et al. (2019) berpendapat bahwa pada tahapan
organogenesis, bintik mata pada embrio semakin lama mengalami pelebaran dan
perubahan warna menjadi semakin gelap, selain itu terjadi pembentukan jantung
dan pemanjangan pada ruas tulang belakang hingga membentuk ekor.
Gambar 7. Perkembangan embrio ikan dewa 42-68 jam setelah pembuahan.
A. 42 jam; B. 48 jam, 1. Mata; C. 54 jam, 2. Jantung; D. 68 jam
Gambar 8. Larva ikan dewa setelah menetas. A. 80 jam (larva menetas), 1.
Cangkang telur; B. 86 jam, 2. Yolk sac
Didapati bahwa lama waktu penetasan atau hatching time telur adalah 80 jam
setelah pembuahan (Gambar 10). Proses penetasan lebih lambat dari penelitian
sebelumnya oleh Subagja et al. (2013) yakni larva ikan Tor sp. mulai menetas pada
umur 72 jam setelah fertilisasi dengan suhu air 25-27°C. Kisaran suhu air pada
pengamatan ini antara 22,7-23,4°C, hal tersebutlah yang memperlambat proses
22
penetasan. Seperti yang dikemukakan Hutagalung, Alawi, & Sukendi (2016), suhu
yang lebih tinggi umumnya dapat mempercepat penetasan telur karena
menyebabkan metabolisme berlangsung lebih cepat, hal tersebut mempercepat
perkembangan embrio sehingga terjadi pergerakan embrio dalam cangkang yang
lebih intens.
4.2.2. Daya Tetas Telur
Daya tetas telur ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda menunjukkan
bahwa tertinggi (90,63±2,67%) dijumpai pada perlakuan kecepatan aerasi 500
ml/menit. Kemudian diikuti oleh perlakuan 2000, 1000, 1500, dan 0 ml/menit
masing-masing sebesar 84,50±1,19%, 82,51±7,01%, 82,05±5,91%, dan
81,24±4,71% (Gambar 6). Persentase daya tetas telur yang didapat pada setiap
perlakuan kecepatan aerasi sesuai dengan persentase daya tetas sebelumnya dari
perlakuan salinitas 0 ppt yaitu 90,00±10,00%. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa tidak diperoleh adanya perbedaan (p>0,05) antar perlakuan kecepatan aerasi
terhadap daya tetas telur.
Gambar 9. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kecepatan aerasi
berbeda
Hasil pengamatan daya tetas telur pada kecepatan aerasi berbeda
menunjukkan tidak adanya beda nyata dari setiap parlakuan. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh telur yang masih memanfaatkan energi internal sehingga belum
memerlukan kadar oksigen yang spesifik untuk perkembangannya. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Anggoro (1992) yaitu sumber energi
aa
a a a
0
20
40
60
80
100
0 ml/menit 500 ml/menit 1000 ml/menit1500 ml/menit 2000 ml/min
Day
a T
etas
(%
)
Perlakuan
23
utama pada proses pertumbuhan dan metabolisme embrio berasal dari oksidasi
lemak yang terkandung dalam kuning telur. Namun di samping itu, persentase
penetasan yang didapat pada perlakuan ini lebih besar dari penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Subagja et al. (2013) yaitu daya tetas sebesar 67% pada suhu
25-27°C.
4.2.3. Abnormalitas
Persentase abnormalitas larva ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda
(Gambar 7) yang baru menetas menunjukkan bahwa nilai tertinggi (23,23±0,26%)
dijumpai pada perlakuan 0 ml/menit, kemudian diikuti oleh perlakuan kecepatan
aerasi 2000, 1500, 1000, dan 500 ml/menit dengan masing-masing nilai
6,39±2,40%, 6,16±1,50%, 4,63±2,24%, dan 2,84±0,36%.
Gambar 10. Persentase rata-rata abnormalitas larva ikan dewa pada kecepatan
aerasi berbeda
Kecepatan aerasi membuktikan bahwa semakin tinggi kecepatan aerasi
diikuti dengan meningkatnya abnormalitas. Hasil statistik menunjukkan bahwa
abnormalitas dipengaruhi oleh kecepatan aerasi (p<0,05). Hasil uji Duncan
diperoleh bahwa kecepatan aerasi 500 ml/menit berbeda dengan 0, 1500, dan 2000
ml/menit terhadap abnormalitas (p<0,05). Kecepatan aerasi 0 ml/menit juga
diperoleh abnormalitas yang berbeda (p<0,05) dengan kecepatan aerasi 500, 1000,
1500, dan 2000.
Persentase abnormalitas tertinggi dijumpai pada perlakuan tanpa aerasi
dengan bentuk larva abnormal yang bervariasi (Gambar 13). Tidak adanya aerasi
c
a
ab bb
0
5
10
15
20
25
0 ml/menit 500 ml/menit 1000 ml/menit1500 ml/menit2000 ml/menit
Ab
no
rmal
itas
(%
)
Perlakuan
24
menyebabkan telur tidak mendapatkan oksigen yang merata dan telur saling
menempel satu sama lain sehingga menyebabkan tingginya abnormalitas. Hal
tersebut didukung oleh teori yang dikemukakan Aidil et al. (2016) bahwa
terbatasnya kadar oksigen di perairan, dan sifat telur yang saling menempel
(adhesive) mengakibatkan telur saling menumpuk atau menggumpal. Di habitat
aslinya ikan dewa cenderung mendiami perairan berarus, sehingga saat memijah
telur-telur yang dikeluarkan akan mendapat sirkulasi. Selain itu Effendie (1985)
juga menjelaskan bahwa kurangnya ketersediaan oksigen dapat menghambat proses
penetasan telur serta membuat lapisan chorion mengeras, sehingga embrio sulit
keluar dan menyebabkan kecacatan atau kematian.
Keterangan: Klasifikasi morfologi larva mengacu pada Jezierska et al. (2000).
Gambar 11. Morfologi larva abnormal. A. Tubuh memendek, skoliosis abdomen,
ekor melengkung ke atas, kuning telur berubah bentuk; B. Lordosis,
perubahan bentuk kuning telur; C. Skoliosis; D. Larva berbentuk C,
ekor dan tulang belakang berubah bentuk
Data abnormalitas juga menunjukkan bahwa semakin besar kecepatan aerasi
maka semakin tinggi persentase abnormalitas. Persentase abnormalitas terendah
didapati pada perlakuan kecepatan aerasi 500 ml/menit dikarenakan pada perlakuan
tersebut memiliki kadar oksigen terlarut yang memadai serta arus air yang tidak
terlalu besar. Semakin besarnya kecepatan aerasi akan menciptakan arus air yang
semakin kencang dan menyebabkan telur menjadi sering mengalami goncangan.
25
Goncangan tersebutlah yang menyebabkan larva menjadi abnormal. Seperti yang
dikemukakan oleh Woynarovich dan Horvath (1980) dalam Heltonika (2014)
bahwa kematian telur selama fase inkubasi dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain suhu yang tidak tepat, kadar oksigen terlarut, telur yang tidak terbuahi,
gangguan mekanis (goncangan atau pergeseran), serta parasit (jamur, bakteri, larva
serangga, dan binatang lainnya).
4.2.4. Penyusutan Volume dan Laju Penyerapan Kuning Telur
Penyusutan volume kuning telur selama waktu pengamatan (Gambar 8)
terlihat bahwa terjadi penurunan pada semua perlakuan dari kecepatan aerasi 0
sampai 2000 ml/menit.
Gambar 12. Penyusutan volume kuning telur pada perlakuan kecepatan aerasi
berbeda
Pada hari ke-0 sampai hari ke-2 terlihat penurunan yang cukup drastis
dijumpai pada kecepatan aerasi 500 dan 1000 ml/menit, dan hari berikutnya
penurunan relatif konstan, sedangkan pada kecepatan aerasi 0 dan 2000 ml/menit
menunjukkan bahwa penyusutan kuning telur cukup lambat namun terjadi
penurunan yang cukup tajam pada hari ke-2 dan ke-3 pada kecepatan aerasi 2000
ml/menit dan pada kecepatan aerasi 0 ml/menit dijumpai pada hari ke-3 dan ke-4.
Pada perlakuan kecepatan aerasi 1000 ml/menit terjadi penurunan drastis mulai dari
hari ke-0 hingga hari ke-4.
-
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Vo
lum
e K
unin
g T
elur
(mm
3)
Hari ke-
0 ml/menit
500 ml/menit
1000 ml/menit
1500 ml/menit
2000 ml/menit
26
Perbedaan lamanya waktu penyusutan kuning telur tiap perlakuan diduga
dipengaruhi oleh proses perkembangan dan pertumbuhan dari setiap individu larva
yang diamati. Penyusutan kuning telur yang drastis diakibatkan karena terjadinya
proses organogenesis pada larva sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak.
Seperti yang dikemukakan Herjayanto et al. (2017), bahwa energi yang digunakan
selama proses perkembangan berasal dari kuning telur, hal tersebut ditandai dengan
ukuran kuning telur yang kian mengecil seiring dengan berjalannya proses
perkembangan.
Gambar 13. Rata-rata laju penyerapan kuning telur pada kecepatan aerasi berbeda
Laju penyerapan kuning telur (Gambar 9) terlihat bahwa nilai tertinggi
sebesar 0,1268 ± 0,0056 mm3/hari pada kecepatan aerasi 1500 ml/menit,
selanjutnya diikuti oleh kecepatan aerasi 1000, 500, 2000, dan 0 ml/menit dengan
masing-masing nilai 0,1155±0,0077, 0,0884±0,0063, 0,0874±0,0047, dan
0,0770±0,0074 mm3/hari. Berdasarkan hasil uji statistik ANOVA menunjukkan
bahwa kecepatan aerasi berpengaruh terhadap laju penyerapan kuning telur
(p<0,05). Hasil uji Duncan diperoleh bahwa kacepatan aerasi 1000 dan 1500
berbeda dengan kecepatan aerasi 0, 500, dan 2000 ml/menit terhadap laju
penyerapan kuning telur.
Laju penyerapan kuning telur sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Larva yang baru menetas mendapatkan energi dari kuning telur juga
lingkungannya. Kecepatan aerasi terbaik untuk laju penyerapan kuning telur
dijumpai pada perlakuan 1500 ml/menit yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan
aa
b b
a
0.0000
0.0200
0.0400
0.0600
0.0800
0.1000
0.1200
0.1400
0 ml/menit 500
ml/menit
1000
ml/menit
1500
ml/menit
2000
ml/menit
LP
KT
(m
m3/h
ari)
Perlakuan
27
1000 ml/menit. Hal tersebut disebabkan pada kecepatan aerasi 1000 dan 1500
ml/menit larva mendapatkan suplai oksigen yang cukup sehingga mempercepat
proses metabolisme pada tubuh larva. Selain itu kecepatan aerasi perlakuan tersebut
menghasilkan sirkulasi air yang cukup kencang sehingga larva memerlukan energi
yang lebih banyak untuk dapat berenang. Pada perlakuan 0 dan 500 ml/menit larva
cenderung mendapat oksigen yang lebih sedikit sehingga menyebabkan proses
metabolisme lebih lambat. Edsall & Smith (1990) menyatakan dalam pengelolaan
pembenihan ikan, oksigen murni digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan pada tahap awal. Sedangkan untuk
perlakuan 2000 ml/menit, larva cenderung berkumpul di sudut-sudut akuarium
untuk menghindari arus yang terlalu besar. Di habitatnya, larva ikan dewa sendiri
cenderung mendiami perairan dengan arus yang tenang.
4.2.5. Panjang Mutlak
Panjang mutlak larva ikan dewa (Gambar 10) terlihat bahwa nilai tertinggi
terdapat pada perlakuan kecepatan aerasi 1500 ml/menit yaitu sebesar
4,6435±0,2518 mm, selanjutnya diikuti oleh kecepatan aerasi 1000, 0, 2000, dan
500 ml/menit dengan nilai panjang mutlak masing-masing 4,2773±0,2659,
4,0113±0,2630, 3,5457±0,1356, dan 3,0837±0,1215 mm.
Gambar 14. Rata-rata panjang mutlak larva ikan dewa pada kecepatan aerasi
berbeda
c
a
cdd
b
0
1
2
3
4
5
6
0 ml/menit 500 ml/menit 1000 ml/menit1500 ml/menit2000 ml/menit
Pan
jang M
utl
ak (
mm
)
Perlakuan
28
Berdasarkan uji statistik ANOVA diperoleh hasil bahwa panjang mutlak larva
dipengaruhi oleh kecepatan aerasi (p<0,05). Hasil uji Duncan diperoleh bahwa
kecepatan aerasi 500 ml/menit berbeda nyata (p<0,05) dengan 0, 1000, 1500, dan
2000 ml/menit. Kecepatan aerasi 2000 ml/menit berbeda nyata dengan 0, 500, 1000,
dan 1500 ml/menit. Kecepatan aerasi 0 ml/menit berbeda nyata dengan 500, 1500,
dan 2000 ml/menit.
Pertambahan panjang larva ikan dewa berlangsung seiring dengan
menyusutnya kuning telur. Kuning telur yang diserap oleh larva selain digunakan
untuk metabolisme juga berguna untuk proses pertumbuhan dan perkembangan.
Dapat dilihat hasil terbaik untuk panjang mutlak larva dijumpai pada kecepatan
aerasi 1000 dan 1500 ml/menit. Perlakuan tersebut memberikan suplai aliran air
yang optimal untuk larva sehingga menciptakan pertumbuhan yang baik. Seperti
yang dikemukakan oleh Djarijah (2001), aliran air selama proses pemeliharaan
harus selalu terkontrol karena aliran terlalu kecil dapat menyebabkan larva
terkumpul dan penyebaran oksigen tidak merata yang menyebabkan persaingan.
Selain itu Afrianto & Liviawaty (1988) juga mengemukakan jika aliran air terlalu
deras dapat menghambat pertumbuhan sebab larva menggunakan sebagian
energinya untuk mempertahankan diri dari pengaruh air. Hal tersebut pula yang
diduga menyebabkan larva pada perlakuan 2000 ml/menit memiliki nilai panjang
mutlak yang lebih rendah.
Larva pada perlakuan tanpa aerasi didapati memiliki nilai panjang mutlak
yang lebih besar dibandingkan larva pada perlakuan kecepatan aerasi 500 dan 2000
ml/menit. Hal tersebut diduga karena tidak adanya arus air sehingga larva hanya
menggunakan energi untuk pertumbuhan saja, tidak memerlukan energi untuk
melawan arus. Sementara itu, rendahnya pertumbuhan pada larva perlakuan 500
ml/menit kemungkinan disebabkan karena larva menggunakan energi yang terdapat
pada kuning telur untuk memperbaiki jaringan-jaringan yang rusak. Seperti yang
diungkapkan Nuswantoro (2019), kuning telur yang diserap selain untuk
pertumbuhan, juga dapat digunakan untuk memperbaiki sel dan jaringan tubuh yang
rusak. Kemudian diperkuat dengan pandangan Cyrino et al., (2008), bahwa pakan
yang diserap ikan akan dipecah menjadi energi untuk metabolisme, pertumbuhan,
reproduksi, ekskresi, dan pencernaan.
29
4.3. Parameter Kualitas Air
Kualitas air merupakan parameter penting dalam kelangsungan hidup ikan.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa kisaran suhu dan pH masih berada dalam
ambang batas yang sesuai untuk tempat hidup ikan (Tabel 1).
Tabel 1. Pengukuran kisaran parameter kualitas air pada perlakuan kecepatan aerasi
berbeda
Perlakuan Suhu (°C) DO (mg/L) pH
0 ml/menit 22.7-23.3 3.21-3.91 6.43-7.37
500 ml/menit 22.8-23.3 6.12-6.64 6.47-7.16
1000 ml/menit 22.8-23.4 6.58-7.31 6.62-6.85
1500 ml/menit 22.9-23.4 7.07-7.37 6.36-7.09
2000 ml/menit 22.9-23.4 7.45-7.9 6.57-7.19
Berdasarkan penelitian Siregar et al. (2013) kisaran temperatur untuk tempat
hidup ikan dewa adalah 22-26°C. Menurut Robertson-Bryan Inc. (2014) aktivitas
fisiologis hewan air tawar dapat berjalan normal dalam rentang pH antara 6-9.
Kebanyakan organisme akuatik menyukai pH sekitar 7-8,5 (Yosmaniar, 2014).
Sementara itu, kisaran nilai DO kian meningkat seiring dengan peningkatan
kecepatan aerasi. Oksigen terlarut yang ideal untuk pertumbuhan ikan air tawar
adalah di atas 5 mg/L (Pescod, 1973). Dari hasil yang didapat, larva ikan dewa
masih mampu bertahan hidup di lingkungan dengan nilai DO 3,21 mg/L.
30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Telur ikan dewa hanya dapat menetas pada salinitas 0 ppt dengan daya tetas
sebesar 90,00±10,00% dan tidak dapat berkembang pada salinitas 2, 4, dan 6 ppt.
2. Lama waktu penetasan telur ikan dewa pada salinitas 0 ppt adalah 80 jam dan
tidak dipengaruhi oleh kecepatan aerasi.
3. Kecepatan aerasi 1000 ml/menit dapat menghasilkan larva ikan dewa dengan
persentase abnormalitas rendah (4,63±2,24%) dan laju pertumbuhan yang cepat.
4. Kondisi terbaik untuk inkubasi telur ikan dewa adalah pada air bersalinitas 0 ppt
atau air tawar dan pada kecepatan aerasi 1000 ml/menit dengan nilai oksigen
terlarut 6,58-7,31 mg/L.
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut adalah saran yang dapat
diberikan untuk penelitian selanjutnya:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan salinitas yang lebih kecil,
berkisar antara 0-2 ppt guna mendapat salinitas yang dapat mempercepat
perkembangan embrio tanpa merusak telur.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kecepatan aerasi terhadap ikan
dewa stadia larva guna mengetahui lingkungan yang optimal untuk
pemeliharaan larva.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abuzar, S. S., Putra, Y. D., & Emargi, R. E. (2012). Koefisien transfer gas (Kla) pada
proses aerasi menggunakan tray aerator bertingkat 5 (lima). Jurnal Teknik
Lingkungan Unand, 9(2), 155–163.
Affan, J. M. (2011). Seleksi lokasi pengembangan budidaya dalam Keramba Jaring
Apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di perairan Pantai
Timur Kabupaten Bangka Tengah. Jurnal Sains MIPA, 17(3), 99–106.
Afrianto, E., & Liviawaty, E. (1988). Beberapa Metode Budidaya Ikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Aidil, D., Zulfahmi, I., & Muliari. (2016). Pengaruh suhu terhadap derajat penetasan
telur dan perkembangan larva ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var.
Sangkuriang). JESBIO, 5(1), 30–33.
Andriyanto, W., Slamet, B., & Ariawan, I. M. D. J. (2013). Perkembangan embrio dan
rasio penetasan telur ikan kerapu raja sunu (Plectropoma laevis) pada suhu media
berbeda. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 5(1), 192–203.
Anggoro, S. (1992). Efek osmotik berbagai tingkat salinitas media terhadap daya tetas
telur dan vitalitas larva udang windu Penaeus monodon. [Pascasarjana Tesis].
Institut Pertanian Bogor (IPB).
Anggoro, S., & Muryati. (2007). Efek berbagai medium isosmotik terhadap aktivitas
enzim ca-chorionase, energetika dan keefektifan penetasan telur udang jahe
(Metapenaeus elegans). Jurnal Ilmu Kelautan, 12(4).
Ardhardiansyah, Subhan, U., & Yustiati, A. (2017). Embriogenesis dan karakteristik
larva persilangan ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) jantan dengan ikan
baung (Hemibagrus nemurus) betina. Jurnal Perikanan Dan Kelautan, 8(2), 17–
27.
Ardi I., Setiadi E., Kristanto A. H., & Widiyati A. (2016). Salinitas optimal untuk
pendederan benih ikan betutu (Oxyeleotris marmorata). Jurnal Riset Akuakultur,
11(4), 339-347
Ardimas, Y. A. Y. (2012). Pengaruh gradien suhu media pemeliharaan terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan betok (Anabas testudineus
Bloch). [Pascasarjana Tesis]. Institut Pertanian Bogor (IPB).
Aryani, N. (2015). Nutrisi Untuk Pembenihan Ikan. Padang: Bung Hatta University
Press.
Asih, S., Nugroho, E., Kristanto, A. H., & Mulyasari. (2008). Penentuan variasi genetik
ikan batak (tor soro) dari Sumatera Utara dan Jawa Barat dengan metode analisis
Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD). Jurnal Riset Akuakultur. 3(1),
32
91–97
Boyd, C. E. (1990). Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham, Alabama:
Birmingham Publishing Co.
Budiardi, T., Cahyaningrum, W., & Effendi, I. (2005). Efisiensi pemanfaatan kuning
telur embrio dan larva ikan mannvis (Ptherophyllum scalare) pada suhu inkubasi
berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(1), 57–61.
Cyrino, J. E. P., Bureau, D. P., & Kapoor, B. G. (2008). Feeding and Digestive
Functions of Fishes. Boca Raton: CRC Press.
Diana, A. N., Masithah, E. D., Mukti, A. T., & Triastuti., dan J. (2013). Embriogenesis
dan daya tetas telur ikan nila (Oreochromis niloticus) pada salinitas berbeda.
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Djarijah, A. S. (2001). Budi Daya Ikan Bawal. Yogyakarta: Kanisius.
Edsall, D. A., & Smith, C. A. (1990). Aquaculture. 90, 251–259.
Effendi, I. (2004). Pengantar Akuakultur. Jakarta: Penerbit Swadaya.
Effendie, M. I. (1985). Penilaian perkembangan gonad ikan belanak (Liza subviiridiss
Valenciences) di Perairan Sungai Cimanuk. [Pascasarjana Tesis]. Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Effendie, M. I. (1997). Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Farastuti, E. R., Sudrajat, A. O., & Gustiano, R. (2014). Induksi ovulasi dan pemijahan
ikan soro (Tor soro) menggunakan kombinasi hormon. LIMNOTEK, 4(1), 87–94.
Gusrina. (2014). Genetika dan Reproduksi Ikan. Yogyakarta: Deepublish.
Hadi, M. S. (2016). Pengaruh jumlah aerasi terhadap daya tetas telur dan sintasan
larva bawal (Colossoma macropomum, Cuvier). [Skripsi]. Universitas Gajah
Mada.
Hadid, Y., Syaifudin, M., & Amin, M. (2015). Pengaruh salinitas terhadap daya tetas
telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr.). Jurnal Akuakultur Rawa
Indonesia, 2(1), 78–92.
Haryono, Agus, H. T., Jojo, S., Asih, S., & Gema, W. (2010). Teknik Budidaya Ikan
Tambra. Bogor: LIPI.
Haryono, & Subagja, J. (2008). Populasi dan habitat ikan tambra, Tor tambroides
(Bleeker, 1854) di perairan kawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah.
Jurnal Biodiversitas, 9(4), 306–309.
Haryono, & Tjakrawidjaja, A. H. (2005). Pengenalan Jenis Ikan Tambra yang Bernilai
Komersial Tinggi dan Telah Rawan Punah untuk Mendukung Domestikasi.
33
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Heltonika, B. (2014). Pengaruh salinitas terhadap penetasan telur ikan jambal siam
(Pangasius hypohthalmus). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 2(1), 13–23.
Herjayanto, M., Carman, O., & Soelistyowati, D. T. (2017). Embriogenesis,
perkembangan larva dan viabilitas reproduksi ikan pelangi (Iriatherina werneri
Meinken, 1974) pada kondisi laboratorium. Akuatika Indonesia, 2(1), 1.
https://doi.org/10.24198/jaki.v2i1.23389
Hijriyanti, K. H. (2012). Kualitas telur dan perkembangan awal larva ikan kerapu
bebek (Cromileptes altivelis, Valenciennes (1928)) di Desa Air Saga, Tanjung
Pandan, Belitung. [Skripsi]. Universitas Indonesia.
Holliday, F. G. T. (1969). The effect of salinity on the eggs and larvae of teleosts. Fish
Physiology, 1, 293–309.
Hutagalung, J., Alawi, H., & Sukendi. (2016). Pengaruh suhu dan oksigen terhadap
penetasan telur dan kelulushidupan awal larva ikan pawas (Osteochilus hasselti
C.V.). [Skripsi]. Universitas Riau.
Irfandi, M., Thaib, A., & Nurhayati. (2020). Pengaruh perbedaan suhu terhadap daya
tetas telur ikan keurling (Tor soro). Jurnal TILAPIA, 1(2), 28–33.
Islami, A. N., Hasan, Z., & Anna, Z. (2017). Pengaruh perbedaan siphonisasi dan aerasi
terhadap kualitas air, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup pada budidaya ikan
nila (Oreochromis niloticus) stadia benih. Jurnal Perikanan Kelautan, 8(1).
IUCN. (2014). The IUCN Red List of Threatened Species (ISSN 2307-). Inggris.
Jezierska, B., Lugowska, K., Witeska, M., & Sarnowski, P. (2000). Malformations of
newly hatched larvae. Electronic Journal of Polish Agricultural Universities,
3(2).
Kamler, E. (1992). Early Life History Of Fish (Series 4). London: Chapman & Hall:
An Energenetic Approach.
Khasanah, U., Sulmartiwi, L., & Triastuti, R. J. (2019). Embriogenesis dan daya tetas
telur ikan komet (Carassius auratus auratus) pada suhu yang berbeda. Journal of
Aquaculture and Fish Health, 5(3), 108. https://doi.org/10.20473/ jafh.v5i3.11331
Kordi, M., Ghufron, & Andi. (2007). Pengelolaan Kualitas Air Dalam Media Budidaya
Perairan. Jakarta: Rineka Cipta.
Kottelat, M., Whitten, A. J., & Kartikasari, S.N. Wirjoatmodjo, S. (1993). Freshwater
Fishes of Wstern Indonesia and Sulawesi (Periplus E). Hong Kong.
Kumar, S., & Tembhre, M. (1997). Anatomy and physiology of fishes. In Vikas
Publishing House PVT LTD. New Delhi.
Lagler, K. F. (1972). Freshwater Fishery Biology. Iowa: Brown Company Publisher
34
Dubuque.
Lee, C. S., & Menu, B. (1981). Effect of salinity on egg development and hatching in
grey mullet (Mugil cephalus). J. of Fish Biol, 19, 179–188.
Lopez, G. V., Martinez., K. M., & Garcia., M. M. (2004). Effect of temperature and
salinity on artifacialy reproduced eggs and larvae or the leopard grouper
Mycteropercia rosacea. Programa de Acuaculture, Centro de Investigaciones
Biologicas Del Noroeste (CIBNOR), 485–498.
Meade, J. W. (1989). Aquaculture Management. New York: Van Nostrand Reinhold.
Mubarokah, D., Tarsim, & Kadarini, T. (2014). Embriogenesis dan daya tetas telur ikan
pelangi (Melanotaenia parva) pada salinitas yang berbeda. AQUASAINS, Jurnal
Ilmu Perikanan Dan Sumberdaya Perairan.
Nikolsky, G. V. (1963). The Ecology of Fishes. New York: Academic Press.
Nugroho, E., Soewardi, K., & Kurniawirawan, A. (2007). Analisis keragaman genetik
beberapa populasi ikan batak (Tor soro) dengan metode Random Amplified
Polymorphism DNA (RAPD). Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan Perikanan
Indonesia, 14(1), 53–57.
Nurmansyah, R. (2019). Pengaruh debit aerasi terhadap derajat penetasan telur dan
kelangsungan hidup larva ikan lele mutiara (Clarias sp.). [Skripsi]. Institut
Pertanian Bogor.
Nuswantoro, S., Pradhana, A., Kusumah, R. V., & Fariedah, F. (2019). Hubungan laju
penyerapan kuning telur dengan pertumbuhan larva ikan maanvis (Pterophyllum
scalare). Journal of Fisheries and Marine Research, 3(2), 3–5.
Pescod. (1973). Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for Tropical
Countries. Bangkok: A.I.T.
Prakoso, V. A., & Kurniawan. (2015). Pengaruh stressor suhu dan salinitas terhadap
perkembangan embrio ikan nilem (Osteochilus hasselti). Jurnal Sains Natural
Universitas Nusa Bangsa, 5(1), 49–59.
Prakoso, V. A., & Radona, D. (2015). Pengaruh media pemeliharaan bersalinitas
terhadap perkembangan telur ikan torsoro (Tor soro). Prosiding Forum Inovasi
Teknologi Akuakultur, (2014), 873–880.
Putri, D. A., Muslim, & Fitriani, M. (2013). Presentasi penetasan telur ikan betok
(Anabas testudineus) dengan suhu inkubasi yang berbeda. Jurnal Akuakultur
Rawa Indonesia, 1(2), 184–191.
Puvaneswari, S., Marimuthu, K., Karuppasamy, R., & Haniffa, M. A. (2009). Early
embryonic and larval develompnet of Indian catfish, Heteropneustes fossilis. Eur.
Asia J. Biol. Sci., 3, 84–96.
35
Qudus, R. R., Lili, W., & Rosidah. (2012). Pengaruh padat penebaran yang berbeda
terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan torsoro (Tor Soro).
Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(4), 253–260.
Radona, D., Subagja, J., & Arifin, O. Z. (2015). Performa reproduksi induk dan
pertumbuhan benih ikan tor hasil persilangan (Tor soro dan Tor douronensis)
secara resiprokal. Jurnal Riset Akuakultur, 10(3), 335. https://doi.org/10.15578/
jra.10.3.2015.335-343
Rahman, S. M., Habib, M. A., Hossain, Q. Z., Siddiqui, M. N., Rahman, M. M., &
Ahsan, M. N. (2013). Embryonic development of Clarias batrachus under the
influence of aeration and water flow. Ecoprint: An International Journal of
Ecology, 18(May 2016), 25–31. https://doi.org/10.3126/eco.v18i0.9395
Robertson-Bryan Inc. (2014). pH Requirements of Freshwater Aquatic Life. California.
Rumondang, & Mahari, A. (2017). Growth and mortality of tor fish (Tor soro
valenciennes 1842) in Asahan River. International Journal of Fisheries and
Aquatic Research, 2(4), 23–26.
Saputra, S. I., Raharjo, E. I., & Rachimi. (2014). Pengaruh getah pepaya (Carica
papaya L.) kering terhadap derajat pembuahan dan penetasan telur ikan jambal
siam (Pangasius hypothalamus). Jurnal Ruaya : Jurnal Penelitian Dan Kajian
Ilmu Perikanan Dan Kelautan, 3(1), 26–34. https://doi.org/10.29406/rya.v3i1.475
Simanjuntak, M. (2012). Kualitas air laut ditinjau dari aspek zat hara, oksigen terlarut,
dan pH di Perairan Banggai, Sulawesi Tengah. In Oseanografi. Jakarta.
Sinaga, E. S., Pulungan, C. P., & Efizon, D. (2015). Length-weight and length-length
relationship among the body parts of Batak fish (Tor soro) from the upstream of
the Aek Godang River, North Sumatera Province. JOMFAPERIKA, 3(1).
Siregar, B., Barus, T. A., & Ilyas, S. (2013). Hubungan antara kualitas air dengan
kebiasaan makanan ikan batak (Tor Soro) di Perairan Sungai Asahan. Jurnal
Biosains Unimed, 1(2), 1–11.
Slembrouck, J., Komarudin, O., Maskur, & Legendre. (2005). Petunjuk Teknis
Pembenihan Ikan Patin Indonesia (Pangasius djambal). Jakarta: IRD, BRPBAT,
BRPB, BRKP.
Sriyani, R. (1993). Perkembangan dan kelangsungan hidup embrio dan larva ikan
bandeng (Chanos chanos Forsk). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor (IPB).
Subagja, J., Kristanto, A. H., & Sulhi, M. (2013). Domestikasi ikan semah (Tor
douronensis ) melalui pengembangan budidaya. (Prosiding Forum Inovasi
Teknologi Akuakultur), 1–7.
Subagja, J., & Radona, D. (2018). Profitabilitas dan keragaan pertumbuhan benih ikan
tor tambroides dengan frekuensi pemberian pakan yang berbeda. Jurnal Ilmu-
Ilmu Hayati, 17(2).
36
Subagja, & Marson. (2008). Identifikasi dan habitat ikan semah (Tor sp.) di Sungai
Lematang, Sumatera Selatan. BAWAL, 2 (3), 113–116.
Sugama, K., Trijoko, S., Ismi, S., & Setiawati, K. M. (2004). Enviromental factors
affecting embryonic development and hatching of humpback grouper
(Cromileptes altivelis) Larvae. In Advance in grouper aquaculture (Rimmer, M.,
p. 134). ACIAR.
Sukendi. (2003). Vitelogenesis dan manipulasi fertilisasi pada ikan. In Biologi
Reproduksi Ikan (p. 110). Pekanbaru: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau Pekanbaru.
Sunarma, A. (2007). Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius
hypophthalmus). Sukabumi: BBPBAT Sukabumi.
Tang, U. M., & Ridwan, A. (2004). Biologi Reproduksi Ikan. Pekanbaru: Uni Press.
Waris, A., Mansyur, K., & Rusaini. (2018). Penggunaan bubuk daun ketapang
(Terminalia catappa) dengan dosis dan suhu inkubasi berbeda terhadap
embriogenesis dan penetasan telur ikan cupang (Betta splendens). Prosiding
Simposium Nasional Kelautan Dan Perikanan V. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
Wirawan, I. (2005). Efek pemaparan copper sulfat (CuSO4) terhadap daya tetas telur,
perubahan histopatologik insang dan abnormalitas larva ikan zebra
(Brachydanio rerio). [Pascasarjana Thesis]. Universitas Airlangga.
Yosmaniar. (2014). Kajian kualitas air untuk budidaya perikanan di Cibalagung dan
Cijeruk. Prosiding Forum Inovasi Akuakultur 2014, 379–388.
Yulianti, B. E. (2016). Pengaruh suhu terhadap perkembangan telur dan larva ikan
tor (Tor tambroides). [Skripsi]. Universitas Lampung.
37
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Tata letak unit perlakuan salinitas
Keterangan:
P.A = salinitas air 0 ppt
P.B = salinitas air 2 ppt
P.C = salinitas air 4 ppt
P.D = salinitas air 6 ppt
Lampiran 2. Tata letak unit perlakuan kecepatan aerasi
Keterangan:
P.E = kecepatan aerasi 0 ml/menit
P.F = kecepatan aerasi 500 ml/menit
P.G = kecepatan aerasi 1000 ml/menit
P.H = kecepatan aerasi 1500 ml/menit
P.I = kecepatan aerasi 2000 ml/menit
P.x = Perlakuan
y = Ulangan
38
Lampiran 3. Gambar proses pelaksanaan tahap penelitian
Gambar Kegiatan Keterangan
Proses stripping induk betina
Proses pencampuran telur dan sperma
induk
Instalasi perlakuan salinitas
Instalasi perlakuan kecepatan aerasi
39
Wadah penyimpanan telur untuk
pengamatan perkembangan embrio