MORFOLOGI KOTA Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Guttenberg (Chapin, 1979) menyatakan bahwa peranan transportasi
adalah usaha masyarakat dalam mengatasi jarak sehingga sehingga transportasi akan
berpengaruh kepada penyebaran fasilitas. Guttenberg juga menyatakan bahwa jika suatu
kota memiliki aksessibilitas atau transpotasi yang baik ke berbagai kawasan kota, yang akan
terjadi adalah distribusi fasilitas. Demikian juga sebaliknya apabila aksessibilitas kota
keberbagai kawasan kota jelek/rendah sudah dapat dipastikan tidak terjadi distribusi fasilitas
sehingga akan terjadi pola yang memusat. Dengan demikian dapat disimpulkan adanya
tranpostasi dapat mempengaruhi bagaimana suatu kota itu tumbuh dan berkembang.
Selain itu, Herbert juga mengemukakan bukti-bukti yang kuat akan pengaruh
transportasi terhadap morfologi kota berdasarkan hasil studi kota-kota di Amerika. Dari mula
terbentuknya suatu kota sampai dengan perkembangan mutakhir kota-kota di Amerika
dapat dikategorikan menjadi tiga golongan besar yaitu:
1. Morfologi kota dalam masa pertumbuhan kompak, ini terjadi pada masa
perkembangan teknologi transportasi masih terbatas pada pejalan kaki dan kereta
yang ditarik binatang.
2. Morfologi kota dalam masa pertumbuhan lateral, meliputi masa perkembangan
hubungan transportasi antar kota mulai berkembang.
3. Morfologi kota dalam masa pertumbuhan menyebar (leap frog development),
dengan ciri tumbuhnya pusat-pusat baru di sekeliling kota karena dibangunnya
beberapa jalan lingkar.
Dalam praktek pengembangan kota di Indonesia sarana dan prasarana transportasi
sering dijadikan instrumen dalam mengarahkan perkembangan kota. Salah satu elemen
transportasi yang sering dipakai dalam mengarahkan perkembangan kota adalah
pembangunan prasarana transportasi seperti jaringan jalan dan penempatan terminal.
Dalam mengarahkan perkembangan kota seperti di atas digunakan untuk memacu
pertumbuhan suatu bagian atau kawasan kota. Dengan pembangunan sarana jalan dan
terminal yang baik dapat menarik orang untuk melakukan pembangunan apakah sebagai
tempat tinggal ataupun tempat usaha.
Banyak contoh kota-kota yang mengunakan pendekatan seperti di atas dalam
mengarahkan dan memacu pertumbuhan suatu kawasan seperti di Kota Jakarta, Bandung,
Bogor, Kota Pekanbaru, dan banyak lagi. Kondisi ini dapat dijadikan alasan bagi pengelola
kota untuk menjadikan aspek transportasi (darat, laut dan udara) sebagai instrumen dalam
mengarahkan dan mengendalikan pertumbuhan kota. Dalam makalah ini akan dibahas
MORFOLOGI KOTA Page 2
bagaimana aspek transportasi meliputi jaringan jalan, jaringan rel kereta api serta jaringan
transportasi udara dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan Kota Solo.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah “Proses Pertumbuhan Kota yang Dipengaruhi
Aspek Transportasi” adalah untuk mengetahui pertumbuhan kota yang didorong oleh
perkembangan aspek transportasi meliputi jaringan jalan, jaringan transportasi rel dan
jaringan transportasi udara.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah “Proses Pertumbuhan Kota yang Dipengaruhi Aspek
Transportasi” adalah:
1. Menambah pengetahuan mahasiswa mengenai bagaimana aspek transportasi
mempengaruhi pertumbuhan suatu kota.
2. Sebagai salah satu literatur pembantu untuk mengetahui proses pertumbuhan Kota
Solo yang dipengaruhi oleh aspek transportasi.
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari laporan ini adalah:
Bab I Pendahuluan
Berisi latar belakang, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan dari makalah
mengenai proses pertumbuhan Kota Solo yang dipengaruhi oleh aspek
transportasi.
Bab II Aspek Transportasi yang Mempengaruhi Pertumbuhan Kota
Berisi data-data yang diperoleh berdasarkan survei sekunder (studi literatur)
mengenai gambaran umum sejarah pertumbuhan Kota Solo serta bagaimana
aspek transportasi yang meliputi jaringan jalan, jaringan transportasi rel dan
jaringan transportasi udara dapat mempengaruhi pertumbuhan Kota Solo saat
ini.
Bab III Penutup
Berisi kesimpulan terkait pemaparan data-data yang diperoleh berdasarkan
studi literatur yang diperoleh pada Bab II.
MORFOLOGI KOTA Page 3
BAB II
ASPEK TRANSPORTASI YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN KOTA
2.1 Gambaran Umum Sejarah Pertumbuhan Kota
Surakarta yang juga disebut Solo atau Sala, adalah kota yang terletak di provinsi Jawa
Tengah Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sebesar 503.421 jiwa (2010) dan
kepadatan penduduk sebesar 13.636/km2. Kota ini memiliki luas area 4.404,06 Ha yang
terdiri dari lima kecamatan yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan
Pasarkliwon, Kecamatan Jebres, Kecamatan Banjarsari.
Secara geografis kota Solo terletak pada ketinggian 200 m di atas permukaan laut.
Berada di antara gunung Merapi, Merbabu dan Lawu serta dibatasi oleh Sungai Bengawan
Solo dan dibelah oleh Kali Pepe. Kota Surakarta terletak di antara 110 45` 15" - 110 45` 35"
Bujur Timur dan 70` 36" - 70` 56" Lintang Selatan. Batas wilayah dari Kota Surakarta sendiri
adalah sebagai berikut:
Utara : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali
Timur : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo
Barat : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo
Selatan : Kabupaten Sukoharjo
Gambar 2.1
Peta Batas Kota Solo
Sumber : Morlok (1978 : 684)
MORFOLOGI KOTA Page 4
Kota Solo merupakan kota budaya yang berasal dari sebuah desa bernama Solo,
desa ini sudah ada sejak abad 18, jauh sebelum kehadiran Kerajaan Mataram. Sejarahnya
bermula ketika Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan
Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. Van Hohendorff untuk
mencari lokasi Ibukota Kerajaan Mataram Islam yang baru. Mempertimbangan faktor fisik
dan non fisik, akhirnya desa Solo yang terpilih. Sejak saat itu desa tersebut berubah menjadi
Surakarta Hadiningrat dan terus berkembang pesat. Adanya Perjanjian Giyanti, 13 Februari
1755 menyebabkan Mataram Islam terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta dan
terpecah lagi dalam perjanjian Salatiga 1767 menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran.
Kota Solo merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang menyimpan berbagai
peninggalan kebudayaan dari bermacam etnik, baik pada jaman sejarah maupun
prasejarah. peninggalan pada masa sejarah, seperti candi, keraton, pura maupun
bangunan-bangunan kuno masih dapat dijumpai di berbagai sudut Kota Solo. Pada saat
sekarang ini, ruang Kota Solo selain dibentuk oleh bangunan-bangunan modern seperti
kota-kota lainnya di Indonesia, maka secara arsitektural ruang kotanya masih mampu
memperlihatkan bangunan-bangunan yang bercirikan era kerajaan (feodal) Jawa dan era
kolonial Belanda, bahkan pada beberapa bagian kota masih terdapat bangunan-bangunan
dengan arsitektur etnik Cina, Arab dan Indoland/ Campuran.
Morfologi kota Solo telah mengalami proses perubahan selama 500 tahun. Kota yang
umumnya tumbuh secara irreversible, secara biologis tersusun atas tiga elemen utama,
yaitu „tulang‟ (utilitas kota: jalan, rel, riol), „kulit‟ (bangunan hunian: rumah, pasar, gedung
kantor, sekolah, rumah sakit) dan „darah‟ (aktivitas manusia: bekerja, bepergian, berkumpul).
Temuan utama pada Kota Solo tahun 1500-2000 adalah, elemen „tulang‟ telah tumbuh
membentuk berbagai formasi, yaitu memusat, mengelompok dan organik. Elemen „daging‟
telah tumbuh secara horisontal, vertikal dan interestisial. Sementara elemen „darah‟ telah
berkembang dari orang-orang pribumi (Jawa, Madura, Banjar) bertambah dengan orang-
orang pendatang (Cina, Arab, India, Belanda), dengan mata pencaharian dari agricultural ke
non-agricultural.
MORFOLOGI KOTA Page 5
Gambar 2.2 Gambar 2.3
Peta kota Solo pada tahun 1821 Peta kota Solo pada tahun 1853
Sumber : Jurnal Ilmiah Sumber : Jurnal Ilmiah
Gambar 2.4 Gambar 2.5 Peta kota Solo pada tahun 1945 Peta Kuno Surakarta/Kota Solo,
dari awal th.1950 an
Sumber : Jurnal Ilmiah Sumber:http://koleksitempodoeloe.blogspot.com/
MORFOLOGI KOTA Page 6
Temuan penting lainnya adalah Kota Solo tersusun oleh tiga konsep yang berlainan,
yang saling tumpang tindih, yaitu konsep organik oleh masyarakat pribumi, konsep kolonial
oleh masyarakat Belanda dan konsep kosmologi oleh masyarakat Keraton Jawa. Kota Solo
pada tahun 1500-1750 masih berupa kota tepian sungai di Bengawan Solo, kemudian pada
tahun 1750-1850 berkembang menjadi kota campuran antara kota perairan dan daratan.
Sejak tahun 1850an, Kota Solo mulai meninggalkan lalu lintas sungai dan berganti ke lalu
lintas daratan, sehingga menjadi kota daratan. Apalagi sejak tahun 1900an, setelah
dibangun teknologi baru pada sarana transportasi dan utilitas kota, yaitu jalur rel kereta api,
jalur trem, jaringan listrik dan jaringan air bersih, maka Kota Solo benar-benar telah berubah
ke kota daratan, meninggalkan hiruk-pikuk kota tepian sungai yang pernah terjadi di
Bengawan Solo. Pada tahun 2000an, Kota Solo mengalami permasalahan kota yang
umumnya juga terjadi di kota-kota besar di Indonesia, yaitu permasalahan pada lingkungan
alaminya, lingkungan buatannya dan lingkungan humannya. Akumulasi permasalahan kota
itu menjadikan Kota Solo pada masa-masa mendatang akan semakin memasuki masa ke
arah decline, sehingga perlu dicarikan grand-design kota yang sustainable.
Solo merupakan salah satu kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang
pertumbuhannya sangat pesat, mengalami perkembangan di seluruh bidang kegiatan. Baik
dalam bidang industri, jasa, permukiman, pendidikan, perdagangan maupun transportasi.
Seiring dengan perkembangan wilayah perkotaan tersebut, maka terjadi alih fungsi lahan
yang tadinya merupakan lahan pertanian yang tidak terbangun menjadi daerah terbangun
(built up area). Perubahan ini menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk dan
kepadatan permukiman.
Perkembangan pada aspek transportasi seperti jaringan jalan, jaringan transportasi rel
dan jaringan transportasi udara secara tidak disadari juga telah mempengaruhi pertumbuhan
dari kota Solo ini. Sebelumnya yang masih jarang akan permukiman serta ekonomi masih
rendah, kini menjadi semakin padat permukiman serta pada sektor ekonomi pun meningkat
daripada sebelumnya. Akses untuk melakukan kegiatan dan hubungan dengan wilayah lain
semakin mudah. Maka dapat dikatakan bahwa aspek transportasi juga turut membantu
dalam pertumbuhan kota Solo ini.
MORFOLOGI KOTA Page 7
2.2 Pertumbuhan Kota Solo yang Dipengaruhi Pola Jaringan Jalan
Pola jaringan jalan yang terdapat dalam suatu kota sangat menentukan pola
pergerakan. Menurut pola jaringan jalannya, struktur ruang Kota Surakarta menganut pola
pengembangan secara konsentrik yang mengenal adanya pusat kota. Kawasan pusat kota
terbentuk dari magnet-magnet utama yang merupakan penggerak aktivitas kota baik secara
lokal maupun regional yaitu adanya kawasan Keraton, balaikota, Pasar Gede dan Pasar
Klewer. Struktur Kota Surakarta berkembang atas pola penyebaran aktivitas ekonomi yang
cenderung berkembang secara grid atau dikatakan struktur kotanya memiliki pusat-pusat
kegiatan yang menyebar dengan pola dasarnya adalah jaringan jalan grid atau pola
konsentris yang berkembang mengikuti pola grid.
Gambar 2.6
Pola Jaringan Jalan Surakarta Berbentuk grid
Sumber : Jurnal Ilmiah
Gambar 2.7
Jaringan Transportasi Kota Surakarta dengan Kota-kota di Pulau Jawa Sumber : Jurnal Ilmiah
MORFOLOGI KOTA Page 8
Perkembangan Kota Surakarta yang pesat baik perkembangan fisik dan kegiatannya
yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan, mempengaruhi pola penggunaan ruang
kota yang mengakibatkan perkembangan selanjutnya adalah gejala perluasan aktivitas ke
arah pinggiran yang merupakan wilayah perbatasan. Lebar jaringan jalan-jalan di Surakarta
sempit, pendek, banyak persimpangan dan sulit untuk dibuat lebar karena sudah merupakan
kawasan terbangun, terutama di kawasan pusat kota. Jalan-jalan ini merupakan jalan lama
yang ada sejak jaman pemerintahan lama keraton. Sistem jaringan transportasi Kota
Surakarta terletak pada jalur transportasi nasional dipengaruhi jalur jaringan jalan utama
yang menghubungkan kota-kota orde satu, yaitu Kota Semarang, Kota Jogjakarta, dan Kota
Surabaya. Letak geografis tersebut menyebabkan Kota Surakarta banyak dilalui pergerakan
regional kendaraan dari luar kota baik dalam maupun luar provinsi. Pergerakan regional dari
dan menuju wilayah Barat, Utara (Jogjakarta dan Semarang) dan Timur (Surabaya) masih
bercampur dengan pergerakan lokal yaitu Jl. Selamet Riyadi, Jl. Ahmad Yani, Jl. Kol
Sutarto, dan Jl. Ir. Sutami.
Gambar 2.8
Peta Jaringan Jalan Kota Surakarta
Sumber : Dinas PU Kota Surakarta
MORFOLOGI KOTA Page 9
2.2.1 Terminal Tirtonadi
Terminal Tirtonadi adalah terminal bus terbesar di kota Surakarta. Terminal ini
terletak di kecamatan Banjarsari. Terminal ini beroperasi 24 jam karena merupakan jalur
antara yang menghubungkan angkutan bus dari Jawa Timur (terutama Surabaya dan
Banyuwangi) dan Jawa Barat (Bandung).
Gambar 2.9
Ruang Tunggu dan Pintu Masuk Terminal Tirtonadi
Sumber: Survei Literatur
Terminal Tirnonadi ini melayani tujuan AKDP Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri,
Baturetno, Purwantoro, Pracimantoro, Karanganyar, Matesih, Batu Jamus, Tawangmangu,
Sragen, Purwodadi, Semarang, Purwokerto, Wonosobo. Dan melayani AKAP Jogja, Semin,
Pacitan, Surabaya, Malang, Jember, Banyuwangi, Denpasar, Cirebon, Tasikmalaya,
Bandung, Sukabumi, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, Merak, Bandar Lampung,
Palembang, Baturaja, Muara Enim, Lubuk Linggau, Bengkulu, Jambi, Padang, Bukit Tinggi,
Pekanbaru, Dumai, Ujung Batu Rokan, Medan, Banda Aceh.
Gambar 2.10
Kondisi Eksisiting Terminal Tirtonadi
Sumber: Survey Literature
MORFOLOGI KOTA Page 10
2.3 Pertumbuhan Kota Solo yang Dipengaruhi oleh Jaringan Rel Kereta
Secara geografis letak kota Surakarta sangat strategis dan merupakan titik
persimpangan jalur transportasi regional dan sekaligus sebagai daerah tujuan dan bangkitan
pergerakan. Letak geografis yang strategis memungkinkan Kota Surakarta sebagai
transitment point bagi kegiatan ekonomi dan pariwisata Propinsi Jawa Tengah.
Perubahan terbesar pada masa interval ini adalah telah diketemukannya teknologi
transportasi darat dengan kereta api. Sistem baru ini tentu mampu mengubah paradigma
berlalu lintas yang semula masih sebagian di sungai sebagaian di darat, kemudian dapat
beralih total ke darat.
Pada tahun 1862 disetujui rencana pembangunan jalan kereta api pertama di Jawa,
yaitu jalur Semarang-Vorstelanden (daerah Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta yang ketika
itu merupakan daerah pertanian paling produktif, tapi sekaligus juga paling sulit dijangkau),
dan jalur antara Batavia (Jakarta) – Buitenzorg (Bogor), tempat kedudukan pemerintah
Hindia Belanda dan daerah penghasil teh dan kopi.
Dengan berbagai masalah yang timbul, akhirnya pada 10 Februari 1870 selesailah
jalur sampai ke Solo, setahun kemudian pembangunan jalan rel telah sampai ke
Yogyakarta. Akhirnya, pada 21 Mei 1873 jalur Semarang-Surakarta-Yogyakarta, termasuk
cabang Kedungjati-Willem I (Ambarawa) diresmikan pemakainnya. Pada tahun itu selesai
pula alur Batavia-Buitenzorg. Jalan rel yang pertama di Indonesia, antara Semarang dan
Yogyakarta melalui Solo, tadinya mempunyai lebar sepur 1435 milimeter (4 kaki 8 inchi),
sama dengan lebar sepur standar di Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Sejak tahun 1900an, setelah dibangun teknologi baru pada sarana transportasi dan
utilitas kota, yaitu jalur rel kereta api, jalur trem, jaringan listrik dan jaringan air bersih, maka
Kota Solo benar-benar telah berubah ke kota daratan, meninggalkan hiruk-pikuk kota tepian
sungai yang pernah terjadi di Bengawan Solo.
Selain itu, kondisi sungai-sungai di Solo juga sudah terjadi pendangkalan, sehingga
sulit dilalui kapal-kapal besar. Sistem tanam paksa yang pernah dimunculkan pada tahun
1830, berakibat gundulnya hutan-hutan di daerah hinterland, sehingga secara akumulatif
tanah-tanah daratan yang longsor dan berguguran di sungai mejadi mengendap dan
mendangkalkan sungai.
MORFOLOGI KOTA Page 11
Gambar 2.11
Peta Rel Historis Milik NIS
Sumber: JJG Oegema, 1983
Gambar 2.12
Peta Jaringan Rel di Jawa Tengah dan Jawa Timur 1993
MORFOLOGI KOTA Page 12
Kota Solo yang secara geografis terletak di lembah dan tempuran sungai, tentu
mudah sekali terjadi banjir. Maka pada interval ini (tahun 1857-1900), pihak Belanda,
bersama-sama Kasunanan dan Mangkunegaran melakukan proyek besar pengang-
gulangan bahaya banjir, baik berupa pembuatan kanaal, pembuatan sungai baru atau
pembuatan tanggul. Pada bagian utara kota, Kali Pepe dipotong oleh sungai baru, yang
kemudian disebut sebagai Kali Anyar, sehingga air bah tidak memasuki kota melainkan
dialirkan melalui luar kota, dan mengikuti Kali Anyar yang bermuara di Bengawan Solo.
Pada bagian selatan kota, Kali Laweyan juga dipotong oleh sungai baru dan ditambahi
dengan tanggul yang menuju Bengawan Solo, yang kemudian disebut sebagai Kali Tanggul,
yang berfungsi menahan air bah dari Kali Laweyan. Sedangkan pada sisi timur kota,
dibangun tanggul yang mendampingi Bengawan Solo, sehingga luapan air sungai ketika
banjir tidak masuk kota. Proyek ini mengingatkan kita pada penyelesaian kasus-kasus kota
di Belanda tentang masalah banjir.
Namun Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya Kota Surakarta sebagai kota
budaya dan pariwisata, diikuti dengan kemajuan pesat khususnya bidang
perekonomian membuat arus mobilitas manusia dan barang yang masuk dan keluar
Kota Surakarta semakin meningkat jumlahnya. Salah satu konsekuensi dari
meningkatnya mobilitas tersebut adalah keharusan ditingkatkanya sarana dan prasarana
transportasi yang layak dapat mengakomodasi kebutuhan dan keinginan pengguna jasa
angkutan umum, baik yang menuju maupun yang meninggalkan Kota Surakarta.
Diperkirakan sebagian besar pengguna jasa transportasi yang masuk maupun keluar
dari Kota Surakarta diangkut dengan menggunakan angkutan jalan raya, sementara
hanya sedikit saja yang menggunakan kereta api, sedangkan kalangan tertentu yang
sangat kecil jumlahnya menggunakan pesawat terbang, melalui bandara Adi Sumarmo.
Padahal ditinjau dari efisiensi penggunaan energi bahan bakar di seluruh Indonesia
tercatat angkutan jalan raya mengkonsumsi bahan bakar paling banyak, kemudian
disusul angkutan air, dan angkutan udara. Sementara angkutan kereta api sejauh ini
mengkonsumsi energi bahan bakar paling sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan angkutan kereta api belum dimanfaatkan secara optimal. Ada beberapa
hal yang menyebabkan calon pengguna jasa angkutan umum lebih memilih angkutan lain
dibandingkan kereta api, antara lain bahwa pelayanan jasa kereta api, termasuk
sarana dan prasarananya, kurang dapat mengakomodasi semua kebutuhan dan
keinginan pengguna jasa angkutan kereta api. Salah satu prasarana angkutan kereta
api yang langsung berhubungan dengan penumpang maupun calon penumpang kereta
api adalah keberadaan stasiun kereta api.
MORFOLOGI KOTA Page 13
Stasiun kereta api adalah suatu bangunan yang merupakan titik simpul tempat
berpindahnya penumpang dari moda jalan raya ke moda jalan rel atau sebaliknya
(Iman Subarkah, Jalan Kereta Api, 1981). Sehingga dapat pula dikatakan bahwa stasiun
adalah bangunan yang merupakan tempat berhentinya kereta api dan tempat naik dan
turunnya penumpang kereta api. Stasiun kereta api yang ada di Surakarta dan difungsikan
sebagai stasiun penumpang utama Kota Surakarta adalah Stasiun Kereta Api
Solobalapan.
Menurut sejarahnya, didekat stasiun kereta api Solo ini (sekitar kawasan GOR
Manahan) dahulu terdapat arena pacuan/ balapan kuda. Orang-orang yang datang untuk
melihat atau bertaruh balapan kuda tersebut banyak diantaranya menggunakan kereta
api untuk mencapai kota Surakarta. Lambat laun orang banyak menyebut stasiun ini
sebagai Stasiun Solobalapan. Stasiun Kereta Api Solobalapan merupakan stasiun
antara karena terletak dilintasan jalur kereta api antara Surabaya, Malang, Yogyakarta,
Bandung, Jakarta. Menurut klasifikasinya, Stasiun Solobalapan merupakan stasiun besar
karena :
Berkedudukan di kota besar dan berada di tengah-tengah kota
Melayani penumpang dalam jumlah yang relatif besar, sehingga terdapat
karyawan yang cukup banyak pula
Frekuensi kereta api yang melewati stasiun ini cukup padat.
Dengan semakin meningkatnya pengguna jasa angkutan kereta api di Stasiun
Solobalapan, dapat dilihat terutama saat kedatangan kereta api, kerumunan
pengunjung harus berdesak-desakan, terlebih lagi pada hari-hari menjelang hari libur
atau perayaan hari raya.
Gambar 2.13 Gambar 2.14
Stasiun Solo Balapan Peta Stasiun Solo Balapan
MORFOLOGI KOTA Page 14
2.4 Perkembangan dan Pertumbuhan Kota Solo dari aspek Transportasi Udara
Solo meupakan salah satu kota menengah dengan sistem transportas yang cukup
lengkap. Hal tersebut dikarenakan Solo terkenal sebagai kota wisata dengan warisan
kebudayaan Jawa yang masih terjaga. Kemudahan dalam mengakses kota Solo ditunjang
dengan adanya bandara Adi Soemarmo Solo.
Gambar 2.15
Letak Bandara Adi Soemarmo di Sebelah Utara Kota yang Berbatasan dengan Kota Boyolali
Dahulunya Bandara Adi Soemarmo dikenal sebagai Pangkalan Udara (Lanud)
Panasan yang dibangun pertama kali pada tahun 1940 oleh Pemerintah Belanda sebagai
lapangan terbang darurat. Hingga pada tahun 1977 dirubah namanya menjadi bandara Adi
Soemarmo untuk kepentingan komersial.
Bandara Udara Adi Sumarmo (SOC/WRSQ) adalah bandara yang melayani kota
Surakarta (Solo) 57108, Jawa Tengah yang dioperasikan PT (Persero) Angkasa Pura I.
Bandar Udara Adi Sumarmo melayani penerbangan Garuda Indonesia, Sriwijaya Air, Lion
Air, dan Batavia Air untuk penerbangan Jakarta-Solo Pulang Pergi, dan Silk Air untuk
penerbangan Solo-Singapura PP serta Air Asia untuk penerbangan Solo-Kuala Lumpur, di
samping penerbangan langsung ke Mekkah atau Jeddah, Arab Saudi dikarenakan Solo
sebagai kota embarkasi Haji untuk wilayah Jawa Tengah dan DIY. Sebagaimana bandara
yang lain, Bandara Adi Sumarmo ini terletak di luar kota Solo tepatnya di Ngemplak,
Boyolali. Bandara ini juga berfungsi sebagai pangkalan TNI AU.
MORFOLOGI KOTA Page 15
Gambar 2.16
Bandara Adi Sumarmo Solo
Data Bandara Adi Sumarmo Solo :
Jarak dari Surakarta, 14 kilometer.
Koordinat 07°30´58"S, 110°45´25"E.
Ketinggian 128 meter.
Jumlah terminal: 2 terminal penumpang, 2 terminal kargo, 11 tempat parkir pesawat.
Perusahaan Penerbangan yang beroperasi di Bandara Adi Soemarmo ini adalah:
a. Penerbangan Domestik
Garuda Indonesia (Jakarta)
Sriwijaya Air (Jakarta)
Lion Air (Jakarta)
Batavia Air (Jakarta)
b. Penerbangan Internasional
Air Asia (Kuala Lumpur)
Silk Air (Singapura)
Gambar 2.17
Bandara Adi Sumarmo dalam Citra Satelit
MORFOLOGI KOTA Page 16
Sejak saat itu tumbuh permukiman dan bertambahnya sektor perdagangan dan jasa
di sekitar kawasan Bandara Adi Soemarmo. Seperti yang terlihat pada citra satelit diatas
bahwa tumbuh kawasan permukiman dan perdagangan dan jasa di bagian selatan Bandara.
Namun, adanya pertumbuhan ini bukan berbentuk kota dengan bangunan-bangunan tinggi
karena berada pada area penerbangan sehingga ketinggian bangunan dibaasi untuk
keselamatan.
Adanya pertumbuhan yang pesat tersebut ditunjang oleh tingginya mobilitas pada
kawasan di sekitar bandara, akses menuju kawasan sekitar bandara pun telah banyak
dilakukan perbaikan baik dari segi sarana maupun prasarana sehingga muncul banyak
kawasan permukiman dan perdagangan jasa di kawasan tersebut. Adanya kawasan
perdagangan jasa yang didominasi oleh hotel sebagai penunjang eksistensi bandara dan
toko-toko oleh-oleh khas Kota Solo.
Pakar perencanaan wilayah dan kota Fakultas Teknik UNS, Winny Astuti,
perpendapat bahwa perlunya kerja sama lintas kabupaten/kota dalam pengembangan
wilayah di sekitar bandara. Winny berharap pemegang otoritas pemerintahan harus berfikir
tentang pengembangan wilayah secara regional, bukan lagi kedaerahan. Dalam konteks itu,
Winny menegaskan tidak adanya batas administratif ketika suatu kawasan berkembang
menjadi kota metropolitan atau globalization city.
Dewasa ini rencananya bandara Adi Sumarmo akan dikembangkan dengan
menambah area seluas 37 Hektar ke arah Barat dan Timur. Tambahan area ini untuk
kepentingan perpanjangan landasan pacu (run way) dari 2.600 meter menjadi 3.000 meter,
selain pengembangan terminal penumpang, apron dan area public.
Pengembangan Infrastruktur yang diperkirakan akan menghabiskan dana sebesar
65 miliar Rupiah. Bandara Adi Sumarmo merupakan satu satunya bandara di Jawa Tengah
yang masih dapat dikembangkan karena 2 bandara lain seperti di Adi Sutjipto dan Ahmad
Yani di Semarang memiliki keterbatasan area untuk dikembangkan, karena terhimpit
perumahan penduduk, area bisnis serta pegunungan. Dalam mewujudkan pengembangan
tersebut, Angkasa Pura telah menjalin kesepakatan dengan pemerintah provinsi Jawa
Tengah untuk menata ulang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota Solo.
Diharapkan, pasca pengembangan infrastruktur akan menambah rute penerbangan
internasional seperti penerbangan dari dan ke Eropa tanpa perlu adanya transit di Batam.
Kedepannya, dengan adanya pembukaan jalur baru dari dan menuju Solo akan menjadi
katalis pertumbuhan ekonomi kota melalui pariwisata dan menambah Eksistensi Kota Solo
Sebagai kota Pariwisata budaya Jawa.
MORFOLOGI KOTA Page 17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada tahun 1500 Kota Solo merupakan kota tepian sungai Bengawan Solo yang
kemudian berganti ke lalu lintas daratan setelah dibangun jaringan transportasi berupa jalur
rel kereta, terminal dan bandara udara.
Kota Solo memiliki letak yang strategis, jaringan jalan utama yang menghubungkan
Kota Semarang, Kota Jogjakarta, dan Kota Surabaya dan ditunjang dengan keberadaan
Terminal Tirtonadi menjadikan kota ini sebagai “transitment point” bagi kegiatan ekonomi
dan pariwisata Propinsi Jawa Tengah. Pola Jaringan jalan Kota Solo cenderung berpola segi
empat (grid iron).
Untuk dapat menjangkau Vorstelanden (daerah Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta
yang ketika itu merupakan daerah pertanian paling produktif) maka pada tahun 1862
disetujui rencana pembangunan jalan kereta api pertama di Jawa yaitu jalur Semarang-
Vorstelanden.
Sejak dibukanya bandara Adi Soemarmo secara komersial, tumbuh pemukiman dan
bertambahnya sektor perdagangan dan jasa di sekitar kawasan Bandara Adi Soemarmo.
Namun dengan adanya pertumbuhan ini bukan berbentuk kota dengan bangunan-bangunan
tinggi karena berada pada area penerbangan sehingga ketinggian bangunan dibaasi untuk
keselamatan. Dewasa ini rencananya bandara Adi Sumarmo akan dikembangkan dengan
menambah area seluas 37 Hektar ke arah Barat dan Timur. Tambahan area ini untuk
kepentingan perpanjangan landasan pacu (run way) dari 2.600 meter menjadi 3.000 meter,
selain pengembangan terminal penumpang, apron dan area publik. Kedepannya, dengan
adanya pembukaan jalur baru dari dan menuju Solo akan menjadi katalis pertumbuhan
ekonomi kota melalui pariwisata dan menambah Eksistensi Kota Solo Sebagai kota
Pariwisata budaya Jawa.
MORFOLOGI KOTA Page 18
DAFTAR PUSTAKA
Catanese, Antony J. dan Synder, J. C. 1991. Pengantar Perencanaan Kota. Jakarta :
Erlangga.
Chapin, F, Stuart, Jr., dan Edward J. Kaiser. 1979. Urban Land Use Planning 3 rd ed. USA :
University of Illionis.
Christianti, Carolina Vivien. 2010. Evaluasi Atas Kebijakan AMDAL Dalam Pembangunan
Tata Ruang Kota Surakarta. Online Public Access Catalog, Perpustakaan Universitas
Indonesia.
Novita, Nur Endah Puspita Dewi. 2013. Pembentukan Citra Perpustakaan oleh Teks Media
Massa di Kotamadya Surakarta Studi Kasus: Pembentukan Citra Perpustakaan oleh
Teks Media Massa Solopos Periode Bulan Oktober 2009 sampai dengan Bulan Oktober
2010. Undergraduate thesis, Ilmu Perpustakaan.
Qomarun dan Budi Prayitno. 2007. Morfologi Kota Solo (Tahun 1500-2000). Jurusan Teknik
Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra.
Rahajeng, Shabrina O. 2007. Solo, The Spirit Of Java. Semarang : Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
Warpani, Suwarjoko. 1990. Merencanakan Sistim Perangkutan. Bandung : Institut Teknologi
Bandung
Yunus, Hadi Sabari. 2001. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Koleksi Tempo Doloe. Peta Kuno Surakarta / kota Solo, dari awal th.1950 an.
http://koleksitempodoeloe.blogspot.com/search/label/Peta%20Solo. (diakses tanggal 28
November 2014).
Seputar Semarang (2013). Jalur Kereta Api Pertama di Indonesia & Stasiun di Semarang
Seputar Semarang. http://seputarsemarang.com/. (diakses tanggal 27 November 2014).
Langsiran (Kereta Api Indonesia). (2012). Sejarah Perkeretaapian Indonesia.
http://langsiran.wordpress.com/2012/01/20/sejarah-perkeretaapian-indonesia/ (diakses
tanggal 27 November 2014)