“Pembacaan Hermeneutika Hadits Tentang Perempuan
Kekurangan Akal dan Agama: Perspektif Hans-Georg Gadamer”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Lia Andriyani
NIM: 1112034000069
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H./2017 M.
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 7 November 2016
Lia Andriyani
ii
ABSTRAK
Lia Andriyani. “PEMBACAAN HERMENEUTIKA HADITS TENTANG
PEREMPUAN KEKURANGAN AKAL DAN AGAMA: PERSPEKTIF HANS-
GEORG GADAMER”
Skripsi ini membahas penafsiran hadits tentang “perempuan kekurangan akal
dan agama” dengan perspektif hermeneutika Hans-Georg Gadamer. Sejauh peneliti
dapat telusuri kajian atas hadits ini, hanya menyentuh rasionalisasi yang terkesan
diskriminasi terhadap perempuan. Hadits tersebut mengisyaratkan perempuan untuk
mengambil sikap hati-hati. Dengan cara misalanya, Hamim Ilyas melihatnya pada
fakta sosial sekarang yang menunjukan bahwa perempuan sering terbawa emosi, labil
dan tidak kuat pendirian. Sementara fokus kajian dalam skripsi sekarang mencoba
mengisi yang belum diungkap dalam kajian tersebut, yaitu aspek historikalitas hadits.
Peneliti berkeyakinan pendalaman pemahaman akan kesejarahan teks hadits ini akan
menyingkap apa yang sebenarnya dimaksudkan tentang “perempuan kekurangan akal
dan agama”.
Adapun penelitian dalam skripsi menemukan beberapa temuan menarik,
antara lain melalui analisis hermeneutika Gadamer. Penemuan pertama, analisis
cakrawala teks tentang “perempuan kekurangan akal dan agama” yang diriwayatkan
oleh al-Bukhārī, menginformasikan bahwa pesan hadits tersebut tidak dimaksudkan
untuk melemahkan perempuan. Akan tetapi, hadits tersebut hanya menginformasikan
kelemahan dan kekurangan dalam diri perempuan. Dalam arti perempuan tidak bisa
menunaikan ibadah shalat dan puasa ketika menstrulasi itulah maksud kekurangan
agama. Sedangkan kekurangan akal perempuan dalam arti perbedaan penilaian satuan
persaksian, dimana dua orang saksi perempuan sebanding dengan satu orang laki-
laki.
Penemuan kedua, analisis cakrawala pembaca menginformasikan bahwa
pesan hasil dari analisis cakrawala teks sesuai dengan perkembangan gagasan dan
kesadaran pembaca yang telah mengenal semangat zaman modern. Yaitu demokrasi,
kesetaraan dan sensifitas gender.
Penemuan ketiga, analisis peleburan cakrawala menginformasikan bahwa
pessan hadits tentang “perempuan kekurangan akal dan agama” lebih pas dibaca
secara kontekstual. Karena kekhususan-kekhususan makna yang terkandung di
dalamnya yang bersifat praktis dan tidak menyalahi semanagat besar Islam sebagai
agama yang universal, adil, demokratis, setara serta rahmat bagi sekalian alam.
Hasil dari penelitian ini tentunya masih jauh dari sempurna, masih banyak
ruang yang perlu diteliti lebih jauh. Salah satu ruang yang perlu diteliti lebih lanjut,
misalnya meneliti hadits “perempuan kekurangan akal dan agama” dari segi
semiotika.
iii
KATA PENGANTAR
puji dan syuur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan jasmani, rohani, taufik, rahmat dan hidayah-Nya, serta kemudahan dan
kesabaran dalam menghapi berbagai kesulitan dan cobaan dalam menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah
Saw, Rasul penutup para Nabi, serta doa untuk keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini merupakan satu diantara tugas yang harus diselesaikan dalam
rangka mendapatkan gelar Sarjana Agama Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
jurusan Tafsir-Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Judul skripsi ini adalah “Memahami Kembali Hadits Tentang Perempuan
Kekurangan Akal dan Agama (Studi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer), penulis
menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini dan sangat memerlukan
perbaikan. Oleh karena itu, penulis membuka lebar-lebar kritikan dan saran yang
sifatnya konstruktif.
Penulis menyadari sepenuhnya, karya ini bisa terwujud bukan karna hasil
karya seorang diri, namun tidak lain berkat dukungan moril dan materil yang telah
rela meluangkan waktu disela-sela kesibukannya. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof dede rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat beserta seluruh jajarannya.
iv
3. Ibu Dr. Lililk Umi Kultsum, MA., dan Ibu Dra. Banun Binaningrum M.Pd.,
selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Tafsir-Hadits
4. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, MA. dan Bapak Kusmana, MA., selaku
dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran
dengan memberikan banyak ilmu serta dukungan dan motifasi dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa membalass segala
kebaikan beliau-beliau.
5. Bapak Faris Pari dan seluruh dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bnayak ilmu, bimbingan
dan motivasi selama kuliah.
6. Orang tua tercinta Bapak Anwar dan Ibu Khujaemah, yang telah
mecurahkan cinta dan kasih sayang dan do‟a sepanjang waktu. Senantiasa
berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
7. Keluarga besar H. M. Yusuf dan kost Bapak Ujang yang telah banyak
berbagi suka dan duka, dukungan serta do‟a.
8. Teman-teman seperjuangan Tafsir-Hadits angkatan 2012, semoga tali
kekeluargaan kita semua tetap berjalan dengan baik juga diberikan
kesehatan dan kemudahan dalam mencapai maksud dan tujuannya.
9. Lovely patner Aga Pratama, yang telah banyak membatu baik dari segi
moril maupun materil.
Ciputat, 22 Desember 2016
v
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Identifikasi.................................................................................................... 6
C. Pembatasan dan Perumuan Masalah ........................................................... 7
D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 8
E. Kegunaan Penelitian..................................................................................... 8
F. Kajian Pustaka ............................................................................................. 9
G. Metode Penelitian ...................................................................................... 14
H. Sistematika Penulisan ................................................................................ 19
BAB II MISOGINIS DAN EKSISTENSINYA DALAM AL-QUR’AN DAN
HADITS
A. Definisi Misoginis ...................................................................................... 21
B. Al-Qur‟an dan Misoginis .......................................................................... 23
1. Misoginis dalam Keluarga ................................................................... 23
a. Otoritas Talaq ................................................................................. 23
b. Berpoligami .................................................................................... 26
2. Misoginis dalm Muamalah ................................................................... 29
a. Status Persaksian Perempuan ......................................................... 29
b. Status Kepemimpinan Perempuan ................................................. 32
C. Hadis dan Misoginis ................................................................................... 36
1. Misoginis dalam Ibadah: Larangan Puasa Tanpa Ijin Suami ............... 36
2. Misoginis dalam Keluarga ................................................................... 38
a. Penciptaan Perempuan Dari Tulang Rusuk Laki-Laki................... 38
b. Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual ............................... 40
D. Hadis Tentang Perempuan Kekurangan Akal dan Agama ......................... 43
BAB III ANALISIS HADITS MISOGINIS PERSPEKTIF HERMENEUTIKA
HANS-GEORG GADAMER
A. Pengertian Hermeneutika ........................................................................... 46
B. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ......................................................... 47
1. Biografi Hans-Georg Gadamer ............................................................ 47
2. Karya-karya Hans-Georg Gadamer ...................................................... 48
3. Pemikiran Hermeneutika Secara Umum .............................................. 49
4. Pemahaman Teks Hans-Georg Gadamer ............................................. 52
C. Cakrawala Teks Hadits .............................................................................. 53
a. Deskripsi Hadits ............................................................................. 54
b. Historikalitas Hadits ....................................................................... 57
vi
D. Cakrawala Pembaca ................................................................................... 63
a. Kesadaran akan Sejarah ................................................................ 63
b. Pra-pemahaman (Praduga Pemahaman) ........................................ 67
E. Peleburan Cakrawala ................................................................................. 68
F. Tinjauan Kritis Pemahaman Hadits Tentang Perempuan Kekurangan Akal
dan Agama ................................................................................................. 70
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 77
B. Saran-Saran ................................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam “Buku Pedoman Akademik
Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan
B be
T te
Ts te dan es
J je
H h dengan garis di bawah
Kh ka dan ha
D de
Dz de dan zet
R er
Z zet
S es
Sy es dan ye
S es dengan garis di bawah
D de dengan garis di bawah
T te dengan garis di bawah
Z zet dengan garis di bawah
´ koma terbalik di atas hadap
kanan
viii
Gh ge dan ha
F ef
Q ki
K ka
L el
M em
N en
W we
H ha
apostrof
Y ye
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia,
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fathah
I kasrah
U dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
ix
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i
Au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas
î i dengan topi di atas
û u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
diwân bukan ad-diwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ()ّ, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
x
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
.tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya الّضرورة
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No Tanda Vokal Latin Keterangan
1 tarîqah
2 al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah
3 Wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa
Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama
xi
tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama
diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
(Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi
bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan mengenai perempuan sebenarnya bukanlah kajian yang baru,
namun dari waktu kewaktu kajian ini terus bergulir dan berkembang hingga saat
ini. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa perempuan dianggap sesuatu yang
negatif, bernilai rendah bahkan diremehkan.1
Diskursus kesetaran gender ini sebenarnya telah ada sejak zaman
Rasulullah Saw hidup, hanya saja tidak terlalu diperdebatkan. Pada waktu itu,
Ummu Salamah pernah mempertanyakan kepada Rasulullah Saw tentang naskah
al-Qur‟an yang kurang memberi tempat kepada kaum perempuan dan ia kurang
berkenan dengan narasi al-Qur‟an yg memberi tempat lebih kepada laki. Ini
diperkuat oleh struktrur bahasa Arab yang memasukkan perempuan dalam bahasa
yang dipakai untuk laki- laki. Meski pertanyaan tersebut tidak mendapatkan
penjelasan lebih rinci, namun belakangan para ahli tafsir sering menjadikan
pertanyaan Ummu Salamah tersebut sebagai dasar argumen bahwa al-Qur‟an
menjadi satu-satunya kitab yang berbicara langsung kepada kaum perempuan.
Pertanyaan Ummu Salamah tersebut memantapkan kenyataan bahwa nilai realitas
perempuan diatara kaum mukminin bukan sekedar pelengkap, melainkan juga
menjadikan perempuan sebagai bagian dari wacana ketuhanan dan kemanusiaan.2
Sebagaiman Hadits yang diungkapkan oleh Nabi bahwa kaum perempuan
memilki kekurangan akal dan juga agama. Kemudian Nabi memerintahkan untuk
1 Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Penekatan Filsafat, Sosiologi
dan Pendekatan Sejarah (Yogyakarta: Qirtas, 2014), h. 3. 2 Subhamis, “Pendekatan Feminis terhadap al-Qur‟an dan Bibel”, Jurnal Al-Ta’lim V 1,
no 3 (November 2012): h. 232.
2
bersedeqah kepada seluruh umatnya baik perempuan maupun laki-laki.
Bersedeqah merupakan bagian dari cara perempuan melengkapi pengamalan
keagamaannya, dilain pihak penyebab perempuan kekurangan agama disebabkan
datangnya menstrulasi, tidak seperti laki-aki yang ibadahnya tidak terintrupsi
karna menstrulasi. Sedangkan kekurangan akal perempuan ditunjukan dengan
adanya kesaksian dua orang perempuan yang disamakan dengan kesaksian
seorang laki-laki.
Hadits Nabi tentang perempuan kekurangan akal dan agama juga banyak
dijuampai dalam literatur hadits, diantaranya kitab Jāmi’ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī
Muḥammad bin Ismā‟īl Abū Abdillāh al- Bukhārī (1442 H), Jāmi’ Ṣaḥiḥ Muslim
karya Muslim bin al-Ḥajāj (t.t), Fatḥ al-Bārī karya Ibn Ḥajar al-„Asqalānī (1424
H), Syarḥ Saḥiḥ Muslim karya Abu Zakariyyā al-Nawawi (1422 H), Tuḥfatu al-
Aḥwadzī fi Syarḥ Sunan al-Tirmidzī karya Muḥammad Abd Rahman al-
Mubārakfūrī (1353 H), dan masih banyak lagi literatur keagamaan yang
menjadikan hadis tersebut sebagai dalil.
Adanya mainstream patriarchy yang demikian kuat ini sangat dipahami
oleh Nabi, sehingga dalam mengucapkan hadits, seringkali Nabi menggunakan
bahasa-bahasa yang elastis hal ini bisa dilihat dalam kasus hadits-hadits yang
secara tekstual dianggap mendukung pandangan-pandangan “misoginis”3. Hadits-
hadits yang tampak “misoginis” tadi mempengaruhi cara pandang mereka yang
berujung pada ketimpalan relasi gender dalam praktek-praktek kehidupan. Karena
itu hadits-hadits yang dipandang misoginis tadi perlu diteliti validasi dan isinya,
guna diperoleh pengetahuan dan pandangan baru yang memiliki tempat
3 Hadits Misoginis adalah hadits yang isinya tidak berpihak paada kaum perempuan, lihat:
Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam. Penerjemah Yaziar Radianti (Bandung: Pustaka, 1994),
h. 62.
3
terciptanya keadilan dan keseimbangan dalam pola hubungan laki-laki dan
perempuan sebagaimana dicita-citakan Islam.4
Dalam penelitiannya, Agus Moh. Najib mengatakan bahwa agama Islam
menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sejajar. Islam datang
mendobrak budaya dan tradisi patriarki bangsa Arab, bahkan dapat dikatakan
dengan cara yang revolusioner. Tradisi Arab ketika itu secara umum
menempatkan perempuan hampir sama dengan hamba sahaya dan harta benda.
Mereka biasa mengubur hidup-hidup bayi perempuan, tidak memberikan hak
waris kepada perempuan, poligami dengan belasan istri, dan membatasi hak-hak
perempuan baik dalam wilayah publik maupun domestik. Islam datang dengan
mengecam penguburan bayi-bayi perempuan, membatasi poligami, memberikan
hak waris dan hak-hak lainnya kepada perempuan sesuai dengan fungsi dan peran
sosial perempuan ketika itu. Dengan demikian semangat dan pesan universal yang
dibawa Islam pada dasarnya adalah persamaan antara laki-laki dan perempuan
serta berusaha menegakan kesetaraan dalam masyarakat5. Yang sering disebut
dengan keadilan gender.6
Mansour Faqih dalam buku Analisis Gender dan Transformasi sosial
menjelaskan, setidaknya terdapat lima bentuk ketidak adilan gender. Pertama,
violence, kekerasan dalam kehidupan sosial. Penyebabnya adalah lemahnya kaum
perempuan. Tiadanya aturan yang dapat memperkuat posisi perempuan manakala
4 Khariroh, “Hadis-Hadis Tentang Kekurangan Akal dan Agama Bagi Perempuan”
(skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Institut Agama Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2001), h. 5-6. 5 Hamim Ilyas dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis (Yogyakarta:
Elsaq Press dan PSW, 2008), h. 31. Lihat Qs. Al-Hujurāt (49): 13, Ali „Imran (3): 195, an-Nisā
(4): 124, dan al-Taubah (9): 71. 6 Gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas,
dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily.
Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 517.
4
dihadapkan pada situasi demikian. Kedua, marginalisasi, pemiskinan perempuan
dalam kehidupan ekonomi. Terdapat banyak perbedaan jenis dan bentuk, tempat
dan waktu serta mekanisme proses pemiskinan perempuan, kerena perbedaan
gender. Ketiga, stereo type, pelabelan negatif dalam kehidupan budaya. Stereo
tyipe dalam kaitannya dengan gender adalah pelabelan negatif terhadap jenis
kelamin tertentu, umumnya kaum perempuan. Perempaun tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi, karena tugasnya hanya berkutat di sumur, dapur, dan kasur.
Pelabelan ini sangat populer di masyarakat. Keempat, Duoble burden, beban
berganda dalam kehidupan keluarga. Seorang isteri, selain melayani suami,
memasak dan merawat anak, membersihkan rumah, mencuci pakain, membentu
kerja suami ditoko, kantor, sawah, pasar, dan sebagainya. Kelima, subordinasi,
penomorduaan dalam kehidupan politik. Bentuk ketidakadilan ini antara lain,
berupa penempatan perempuan hanya pada posisi yang kurang penting, posisi
yang tidak mempunyai wewenang untuk mempengaruhi proses pembentukan
keputusan.7
padahal Al-Qur‟an menjelaskan prinsip tentang keadilan antara laki-laki
dan perempuan, sebagaimana firman Allah surah Al- Hujarāt/ 49: 13 berikut:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
7 Munawir Haris, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam”, Analisis: Jurnal Studi
Keislaman V 15, no. 1 ( Juni 2015): h. 82-83.
5
Hadits tentang perempuan sudah berkembang sejak lama, hal tersebut
terkait erat dengan peradaban Islam yang ditandai dengan produksi literer
(berhubungan dengan tradisi) yang bersifat masif (kuat). Pemahaman yang kurang
memperhatikan aspek-aspek historis akan menimbulkan kesalahpahaman dalam
memahami hadits Nabi, sehingga banyak pemahaman pesan hakiki hadits Nabi
tersebut tidak sampai. Pemahaman yang hanya memperhatikan aspek bahasa tidak
akan mendapatkan pesan yang terkandung dalam teks, karena teks adalah
reportase masa lalu, termaksud teks hadits. Dengan demikian, memahami hadits
Nabi tidak bisa dilepaskan dari konteks temporal masa lalu.8
Oleh karena itu, pendekatan hadits harus terbuka dalam usaha
menegosiasikan makna dan tidak hanya didominasi oleh sekelompok otoritas
tertentu. Terbukaanya pemaknaan mengembalikan hadits pada spirit Islam sebagai
agama pembebasan. Pembaca harus memperhatikan beberapa aspek terkait dalam
upaya menegosiasikan matan dengan realita kemasyarakatan sekarang ini,
termaksud dengan menggunakan kajian hermeneutika. 9
Memahami sebuah teks dengan menggunakan metode hermeneutika, di
dalam kajian al-Qur‟an dan hadits sendiri hingga saat ini masih diperdebatkan
dikalangan pemikir Muslim. Banyak dari mereka menolak secara keseluruhan dan
sebagian lain menerima dan sebagian lagi menolaknya tidak secara keseluruhan.10
Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk mengintegrasikan
hermeneutika sebagai teori memahami hadits misoginis karena adanya
8 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi (Jogyakarta: Idea Press,
2008), h. 30-31. 9 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta:
Pesantren Nawesia Press, 2009), h. 15. 10
Phil Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur’an & Hadis (Yogyakarta: elSAQ
Press, 2010), h. 1.
6
pemahaman yang bias gender. Pada wilayah inilah hermeneutika menjadi metode
interpretasi bagi problem pembacaan hadits. Meskipun secara ajaran hadits
mempunyai nilai normatif keagamaan, tetapi hadits telah manjadi sebuah teks
yang dapat dipahami oleh siapa saja yang ingin mengungkap makna yang
terkandung dalam teks. Namun terkadang menjadi persoalan ialah, apa mungkin
menghadapkan hadits yang memiliki pesan normatif keagamaan dengan kajian
hermeneutika yang memiliki kecenderungan memperlakukan semua data secara
historis (relatif dan tentatif).11
Dalam tulisan ini penulis tertarik mengkaji hadits misoginis tentang
perempuan kekurangan akal dan agama. Seperti yang telah ditegaskan dari awal,
bahwa perkembangan diskriminasi perempuan banyak berangkat dari hadits Nabi
yang terbingkai dalam relasi sosial. Oleh karena itu, judul skripsi yang penulis
ambil adalah “Pembacaan Post-Modern Hadits Perempuan Kekurangan Akal
dan Agama: Perspektif Hermeneutika Hans-Georg Gadamer”.
B. Identifikasi Masalah
Dari permasalahan-permasalahan yang timbul dari latar belakang di atas,
penulis mengidentifikasi beberpa persoalan yang dapat dibagi:
1. Islam adalah agama yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan
namun ada hadits-hadits yang terkesan menempatkan perempuan menjadi
subordinasi. Padahal di dalam al-Qur‟an sendiri Allah telah menjelaskan
dalam Al-Hujurāt/49:13, bahwa manusia itu sejatinya adalah sama. Oleh
karena itu, manusia memiliki kedudukan yang sama.
11
Moh Mohtador “Hadits-Hadits Misoginis dalam Perspektif Gender dan Hermeneutika
(Studi Hadits Tentang Perempuan Dalam Keluarga)” (Tesis S2 Fakultas Agama dan Filsafat, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 6.
7
2. Adanya mainstream patriarchy yang demikian kuat sangat dipahami oleh
Nabi, sehingga dalam mengucapkan hadits, seringkali Nabi menggunakan
bahasa-bahasa yang elastis hal ini bisa dilihat dalam kasus hadits-hadits
yang secara tekstual dianggap mendukung pandangan-pandangan
misoginis.
3. Secara ajaran hadits mempunyai nilai normatif keagamaan, tetapi hadits
telah manjadi sebuah teks yang dapat dipahami oleh siapa saja yang ingin
mengungkap makna yang terkandung dalam teks. Namun terkadang
menjadi persoalan ialah, apa mungkin menghadapkan hadits yang
memiliki pesan normatif keagamaan dengan kajian hermeneutika yang
memiliki kecenderungan memperlakukan semua data secara historis
(relatif dan tentatif).
Inilah beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penulis untuk
mengadakan penelitian terhadap permasalahan tersebut, dengan memberikan
gmabaran tentang makna yang terkandung di dalam hadits yang menyebutkan
perempuan kekurangan akal dan agama.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama telah banyak
diriwayatkan oleh perawi hadits, namun penulis membatasi pembahasan pada
poin ketiga dengan mengambil hadits yang diriwayatkan dalam kitab Ṣaḥiḥ al-
Bikhārī dengan menggunakan hermeneutika sebagai teori interpretasi. Karena
hadits tersebut menyatakan bahwa kodrat perempuan memiliki kekurangan, baik
kekurangan dari segi akal maupun agama, dan banyak dibincangkan mengandung
unsur-unsur misoginis atau kebencian terhadap perempuan.
8
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dipaparkan di atas,
perumusan masalah yang penulis angkat di dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana penggunaan metode hermeneutika Hans-Georg Gadamer dalam
memahami hadits tentang perempuan kurangan akal dan agama?”
D. Tujuan Penelitian
Dengan seiringnya rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
yaitu:
1. Untuk memahami kembali pemahaman hadits tentang perempuan kurang
akal dan agama.
2. Untuk memahami horizon teks hadits tentang perempuan kurangan akal
dan agama, dengan menggunakan hermeneutika Hans-Georg Gadamer
sebagai teori interpretasi ketika memahami teks hadits tersebut.
E. Kegunaan Penelitian.
Dari hasil penelitian ini mempunyai kegunaan secara prakris dan teoritis.
Adapun kegunaan tersebut sebagai berikut:
1. Mendapatkan pemahaman ulang dalam memahami hadits tentang
perempuan kurang akal dan agama.
2. Mendapatkan pemahaman yang jelas tentang kajian hermeneutika Hans-
Georg Gadamer sebagai teori interpretasi dalam memahami horizon teks
hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama.
F. Kajian Pustaka
Setelah melakukan penelusuran dari berbagai penelitian, sejauh
pengamatan dan pencarian yang dilakukan, penulis menemukan beberapa karya
ilmiah yang sejalan dengan kajian ini:
9
1. Buku
penulis menemukan buku yang di dalamnya sedikit menyinggung tentang
hadits kekurangan akal dan agama, yang berjudul “Perempuan Tertindas: Kajian
Hadits-Hadits Misoginis” karya Hamim Ilyas dkk, yang diterbitkan oleh ElSAQ
Press tahun 2005. Dalam buku tersebut berisikan makalah-makalah seputar isu-isu
misoginis yang terdapat dalam hadits Nabi, yang ditulis oleh beberapa dosen
Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di dalam buku tersebut ada
satu makalah yang menyinggung hadits Nabi tentang perempuan kekurangan akal
dan agama yang ditulis langsung oleh Hamim Ilyas.
Dan penulis dapati juga beberapa buku yang membahas tentang
hermeneutika, diantaranya berjudul “Kebenaran dan Metode” karya Hans-Georg
Gadamer yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Sahidah
dengan judul asli “Wahrheit and Methode”, yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar
tahun 2010. Dalam bukunya Gadamer menjelaskan tentang ruang lingkup
hermeneutika, dan tokoh-tokoh hermeneutika serta perbedaan pemikiran dalam
menafsirkan sebuah teks. Termasuk metode atau cara Gadamer sendiri dalam
melihata dan memahami sebuah teks yang ada.
2. Jurnal
Selain buku-buku seputar perempuan dan hermeneutika, penulis juga
mendapati beberapa jurnal yang membahas permasalahan yang sama. Di
antaranya ialah jurnal yang membahas seputar kajian hadits mosoginis, yang
ditulis oleh Nawang Rofiq Kholis dengan judul “Kedudukan Perempuan Dalam
Rumah Tangga” dalam jurnal AL-IFKAR Vol 1, no. 1 (Maret 2013). Ia
menjelaskan seputar perempuan dan hadits-hadits misoginis baik dari segi sanad
10
maupun matan. Khususnya hadits seputar kedudukan perempuan dalam rumah
tangga, bagaimana Rasul mejelaskan tentang hadits-hadits perempuan, yang
terkesan mengandung unsur-unsur misoginis padahal Rasul sendri yang
mengangkat derajat perempuan setelah kemunculan Islam.
Jurnal lainnya yaitu, yang ditulis oleh Limmatus Sauda‟ dengan judul
“Hadits Misoginis dalam Perspektif Hermeneutika Fatima Mernissi” dalam Jurnal
Keilmuan Tafsir-Hadits, Vol 4, no. 2 (Desember 2014). Mernissi mempunyai
cara tersendiri dalam mengkritisi hadis-hadis misoginis, yaitu dengan kajian
historis dan metodologis. Pada dasarnya dua tahapan ini tidak berbeda dengan
kaidah kritik hadis konvensional, yang membedakannya adalah aspek
penerapannya. Adapun mengenai kajian historisnya, Mernissi tidak hanya
melibatkan situasi pada waktu ketika hadis itu muncul. Data historis tersebut tetap
ia gunakan untuk dijadikan sebagai pertimbangan dan bahan uji dengan situasi
kontemporer masa kini. Pada level ini Mernissi mencoba menunjukkan bahwa
hadits itu tidak hanya milik umat Islam masa lalu, umat Islam yang sekarang juga
masih terus meyakini hadits. Selain untuk mengetahui pemahaman Mernissi
tentang hadits-hadits misoginis, penjelasan Mernissi ini dipaparkan untuk
menelusuri kerangka hermeneutika hadisnya.
3. Skripsi
Selain jurnal-jurnal tersebut saya pun mendapatkan beberapa skripsi yang
membahas seputar isu-isu yang terjadi pada perempuan, antara lain:
Latifa Anwar dengan judul “Wanita Berbentuk Setan”. Yang
memfokuskan pada studi sanad dan matan, hal ini disesuaikan dengan komponen
hadits yang terdiri dari 2 komponen yaitu sanad dan matan. Adapun pemaknaan
11
tentang perempuan berbentuk setan dalam Sunan al-Tirmidzi nomor indeks 1161
ialah perempuan memiliki bentuk yang indah dan mempesona sehingga sangat
berpotensi membuat kaum pria tergoda. Hadits tersebut berisi peringatan dan
pengarahan terhadap kaum pria untuk mengendalikan kaum pria, karena Allah
telah memberikan kecendrungan dalam hatinya untuk menyukai wanita yang telah
diberi keistimewaan oleh Allah dengan keindahannya. Oleh karna itu, keduanya
harus bisa saling menjaga agar tidak berlanjut pada perbuatan maksiat. Rasullah
memberikan peringatan pada kaum pria supaya berhati-hati terhadap perempuan
dan memerintahkan mendatangi istrinya jika merasa tergoda ketika melihat
perempuan lain agar terhindar dari perbuatan maksiat.
Ulfa Zakia dengan judul “Re-Interpretasi Hadits Perempuan Mayoritas
Penghuni Neraka (Kajian Hadits Misoginis)”. Di dalam tulisannya ia mencoba
berbicara tentang perempuan dalam pandangan hadits, dalam penelitiannya ia
memfokuskan untuk membahas hadits yang menyatakan bahwa perempuan
mayoritas penghuni neraka. Adapun fokus yang ia bahas dalam penelitiannya
ialah membaca kembali hadits yang menyatakan perempuan mayoritas penghuni
neraka yang ia anggap musykil.
Umi Aflaha dengan judul “Kajian Hadits Dalam Ormas-Ormas Islam Di
Indonesia (Analisa Pemahaman NU dan Muhammadiyah Terhadap Hadits-hadits
Misoginis)”. Dari uraiannya ia menyimpulkan permasalahan-permasalahan
akademis yang menjadi fokus kajian atas pemahaman ormas-ormas Islam (NU
dan Muhammadiyah) terhadap hadits Nabi SAW, khususnya mengenai hadits-
hadits misoginis ialah dengan menjawab beberapa pertanyaan tentang bagaimana
pemahaman hadits-hadits misoginis menurut ormas-ormas Islam di Indonesia.
12
Juga menjawab tentang bagaimana tipologi pemahaman ormas-ormas Islam di
Indonesia terhadap hadits-hadits misoginis serta menjawab tentang implikasi
pemahaman hadits mereka ditengah-tengah masyarakat Indonesia.
Qoriatul Hasanah dengan judul “Kritik Hadits Wanita (Studi atas Tujuan
dan Metode Kritik Aisyah r.a terhadap Hadits-hadits tentang Wanita)”. Hasil
penelitian dan pembahasan yang telah Qoriatul Hasanah uraikan yaitu tema hadits
yang dikeritik Aisyah r.a adalah hadits-hadits ibadah, yang meliputi: hadits
tentang ciuman pasangan suami istri mengharuskan berwudhu, kewajiban bagi
perempuan untuk menguraikan rambutnya ketika sedang mandi, perempuan
sebagai penyebab terputusnya shalat, dan status perempuan haidh yang sedang
melakukan ibadah haji. Tema lainnya yang dikeritik oleh Aisyah r.a adalah hadits-
hadits tentang etika, yang meliputi: etika hubungan suami istri, kesialan terdapat
pada perempuan, dan perempuan diazab karena seekor kucing. Tujuan kritik
Aisyah r.a terhadap hadits-hadits tetang perempuan yang dikritiknya adalah untuk
menjelaskan dan meluruskan pemahaman dari hadits-hadits tersebut agar
diketahui dengan jelas kapan dan untuk siapa hadits itu ditunjukan.
4. Tesis
Moh. Muhtador dengan judul “Hadits-Hadits Misoginis Dalam Perspektif
Gender dan Hermeneutika (Studi Hadis Perempuan Dalam Keluarga)”. Dalam
tesisnya ia mengkaji hadits misoginis dalam keluarga dengan melihat dari segi
sosiologi, bahwa perkembangan diskriminasi perempuan banyak berangkat dari
hadits Nabi yang terbingkai dalam relasi kekeluargaan. Pada tataran penulisan
tersebut ia tertarik mengkaji karena rangkaian deskriminasi atas perempuan tidak
13
terjadi pada satu masa, tapi sikap deskriminasi perempuan berkembang secara
masif, dimulai dari prapernikahan sampai seorang hidup berumah tangga.
Agus Moh. Najib dengan judul “Penciptaan Perempuan dari Tulang
Rusuk Laki-laki”. Dalam penelitiannya ia mencoba untuk mekontruksi
pemahaman yang berkembang dimasyarakat, bahwa perempuan diciptakan dari
tulang rusuk laki-laki. Penelusuran awal, Agus Najib mencari tahu status hadits
tersebut dengan mentakhrij sanadnya. Dari kesimpulan yang didapat bahwa hadits
tersebut sanadnya bernilai shahih, tetapi masih terdapat perbedaan pendapat
tentang matannya, karena matan hadits tersebut masih diperdebatkan. Setidaknya
ada dua kelompok terkait dengan matan tersebut. Kelompok pertama menerima
hadits tersebut karena sebagai tafsir An-Nisa ayat 1, dan ada yang mengartikan
bahwa hadits tersebut harus ditarik secara metafora, yaitu laki-laki harus berlaku
baik dan bijaksana dalam memperlakukan perempuan. Kelompok kedua menolak
hadits tersebut secra matan, karena tidak sesuai dengan semangat al-Qur‟an dan
tidak ada akurasi kesahihan matan yang terdapat dalam hadits tersebut.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu
objek yang dapat diambil dan diteliti.12
2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen
perpustakaan tertulis (librarty research) maka pengumpulannya ialah degan cara
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), h. 3.
14
menelusuri kitab-kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya. Data-data
tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer
dan sumber data sekunder. Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini
adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Jāmiʻ al-Ṣaḥīḥ, yang
terdapat pada kitab al-Siyam, Bab Tarku′l Haid Al-Shaum, Jilid I hadits nomor
29 yang menyatakan bahwa kodrat perempuan kekurangan akal dan agama. Serta
buku Truth and Method dan terjemahannya Kebenaran dan Metode (2010) yang
menjealskan motode hermeneutika Gadamer sebagai interpretasi dalam
memahami teks. Adapun sumber skunder yaitu yang dapat digunakan dalam
memahami hadis secara tekstual maupun kontekstual, maka digunakanlah kitab-
kitab syarh hadis seperti kitab Fatḥ al-Bārī syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karya Ibn
Hajar al-ʻAsqalānī. Dan jurnal serta buku-buku pendukung lainnya seperti
“Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi” karya Richard E. Palmer
(2013) dan “Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer” karya Ridwan Inyak
M (2010).
3. Cara Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data-data untuk penelitian, penulis mentakhrij
hadis-hadis tentang perempuan kekurangan akal dan agama dengan menggunakan
kitab Muʻjam al-Mufahras li-Alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawiy, karya A.J. Wensink.
Kitab ini menyajikan data-data yang memadai. Disamping itu, kitab ini lebih
mudah digunakan.
4. Analisa data
Setelah data-data terkumpul, penulis menganalisa aspek kebahasaan di
dalam hadits yang diteliti. Kemudian menelusuri pesan yang terkandung dalam
15
hadits tersebut, dengan melihat lintasan sejarah dan mengeceknya dalam
referensi-referensi terkait.
penulis juga merujuk kepada pendapat Yūsuf Qarḍāwī bahwa diantara
cara-cara yang baik dalam memahami hadis Rasulullah Saw ialah dengan
memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakanginya. Sebagaimana
yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau yang disimpulkannya, serta dapat
dipahami dari kejadian yang menyertainya.13
Dalam tahap ini hadits-hadits
tentang perempuan kekurangan akal dan agama akan ditinjau dari segi asbāb al-
wurūd nya dan kondisi sosial masyarakat arab ketika hadis tersebut muncul.
Langkah selanjutnya penulis menggunakan metode hermeneutika dalam
memahami hadits Nabi. Sebagai teori interpretasi hermeneutika menjadi penting
ketika dikaitkan dengan pemahaman hadis misoginis. Pemahaman yang
berkembang atas hadits Nabi menyisakan problem atas pemahaman komprehensif
tentang realitas sosial. Dengan demikian hermeneutika Gadamer menjadi penting
karena merupakan teori pemahaman, meski secara eksplisit Gadamer tidak
membicarakan tentang hadits. Teori gadamer dianggap relevan dalam kajian
pemahaman hadits dengan model keseimbangan pembacaan secara komprehensif
atas suatu hadits, sehingga membuka wacana yang lebih luas karena cara analisis
heremeneutika Gadamer membantu memahami hadits lebih dekat dengan apa
yang sesungguhnya terjadi atau terkait. Setidaknya ada tiga komponen
hermeneutika Gadamer dalam memahami sebuah teks: kesadaran sejarah diri,
prapemahan dan peleburan cakrawala.
13
Muḥ ammad Yūsuf Qarḍ āwī, Bagaimana memahami hadits Rasulullah Saw.
Penerjemah Muhammad al-Baqir (Bandung: Karisma, 1994), h. 131.
16
Horizon pertama, ialah kesadaran sejarah diri. Yaitu dalam memahami
teks seseorang harus memperhatikan sejarah atau horizon-horizon tentang dirinya
yang berkaitan dengan tradisi dan menjadi bagian dalam kehidupnya. Karena hal
tersebut adalah beban dalam proses pemahaman dan sejarah bukanlah suatu
kebenaran konklusif. Seperti ungkapan Gadamer:
“Wirkungsgeschichtliches bewustsein is primarilly consciousness of the
hermeneutical situation. To acquire an awareness of a situation is, however
alwats a task of peculiar dificulty...this is also true of the hermeneutic
situation, the situation in which we find ourselves with regard to the
tradition that we are trying to understand. (Kesadaran sejarah adalah
kesadaran tentang situasi hermeneutika. Namun, untuk mendapatkan sebuah
kesadaran merupakan tugas khusus yang sulit. Ini juga terjadi pada situasi
hermeneutik, yakni situasi dimana kita menemukan diri kita berhubungan
dengan tradisi yang coba kita pahami”.14
Adapun penerapannya dalam penelitian skripsi ini tentang kesadaran akan
sejarah, menjadi hal yang penting dalam memahami suatu hadits. Yakni seorang
pembaca harus memahami sejarah atau budaya dan berhubungan dengan tradisi
yang dipahami oleh pembaca. Termaksud isu-isu dan masalah-masalah yang
berkembang dalam dunia perempuan.
Horizon kedua, ialah prapemahaman (praduga pemahaman). Yaitu
merupakan konsep yang menitik beratkan pada prasangka-prasangka yang telah
dibentuk oleh seseorang untuk memahami sesuatu, karena akal budi yang baik
secara metodologi bisa menyelamatkan seseorang dari kesalahan, hal tersebut
diungkapkan oleh Discartes.15
Sebagai media untuk memahami sesuatu
prapemahaman selalu memainkan peran, dimana prapemahaman tersebut diwarnai
oleh tradisi yang berpengaruh dalam aktivitas pemahaman, begitu juga prejudis-
prejudis yang telah termuat dalam horizon pembaca. Oleh sebab itu Gadamer
14
Hans-Georg Gadamer ,Trurh and method (London: Continuum: 1989), h. 301. 15
Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2010), h.
335.
17
menilai dalam memahami teks, seorang penafsir sepantasnya untuk tidak langsung
menggali makna yang terdapat dalam teks, namun meneliti aspek-aspek yang
terkait dengan prapemahaman dan makna teks. Sebagimana diungkapkan:
“But understaning realizes its full potential only when the foremeaning that
it begins with are not arbitrary, relying solely on the fore-meaning already
available to him, but rather explicitlyto examine the legitimacy-the origin
and validy- of the fore meanings dwelling within him. (Tetapi pemahaman
mencapai potensilitas hanya seutuhnya ketika asumsi awal yang digunakan
tidak arbitrer “sewenang-wenang” , benar sekali bagi penafsir untuk tidak
mendekati teks secara langsung dengan semata-mata menyadarkan pada
asumsi awal sekaligus prapemahamannya, namun agaknya dengan menelaah
secara eksplisit kesahannya, yakni asal-usul dan kesahihan, asumsi awal yag
ada padanya)”.16
Gadamer mendefinisikan penjelasan tersebut adalah kerja prasangka
subjek. Subjek dalam mengalisis pengalaman diberi kesempatan untuk melakukan
prasangka atas sejarah teks. Menurut Heidegger, dalam penafsiran sejarah, subjek
tidak berangkat dengan otak kosong, subjek harus berangkat dari prasangka, ide
dan gagasan. Tanpa hal tersebut subjek tidak bisa menggiring sejarah pada posisi
dinamisasi. Karena pada intinya, kerja hermeneutika adalah kerja dialogisasi.
Oleh karean itu, sejarah harus dibentuk sebagai objek dinamisasi melalui
prasangka subjek. Prasangka subjek adalah pertanyaan awal atas objek.17
Adapun penerapannya dalam penelitian skripsi ini tentang pra-
pemahaman, yaitu menjadi sebuah keharusan bagi seorang pembaca untuk tidak
langsung menggali makna yang terkandung dalam teks hadits tersebut. Akan
tetapi, pembaca diharuskan untuk mengeluarkan asumsi-asumi awal yang ia
pahami dalam memahami teks hadits tersebut. Dengan tidak melepaskan sejarah
yang dipahami oleh pembaca.
16
Gadamer, Trurh and method, h. 270. 17
Salahudin, “Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Dialogis
Historikalitas Dalam Memahami Teks” (Tesis S2 Fakultas Sosiologi, Universitas Muhamadiyah
Malang, 2011), h. 10.
18
Horizon Ketiga, ialah peleburan cakrawala. Yaitu pertemuan dua horizon
dari unsur yang berbeda, yaitu horizon penafsir yang temporal dan horizon teks
yang historis. Sebagimana yang dikatakan Gadamer.
“Insofar as we must imagine the other situation. But into this other situation
we must bring, precisely, ourselves. (Sejauh harus kita bayangkan situasi
berbeda. Tetapi dalam situasi lain pembaca harus membawa sistemnya)”.18
Dalam setiap pemahaman dan penafsiran, kedua horizon tersebut selalu
ada termasuk bagian yang harus diperhatikan. Karena untuk mengungkap makna
yang akan dicapai keduanya harus dikomunikasikan supaya tidak terjadi
ketegangan. Seperti yang dikutip Sahiron dalam tulisan Gadamer yang lain, the
tension between the horizons of the text and the reader is dissolved19
. (ketegangan
antara cakrawala teks dan pembaca dileburkan). Dalam hal ini, seorang penafsir
harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horizon lain, yakni horizon
teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horizon pembaca.
Dengan demikian, dalam memahami teks seorang penafsir tidak boleh
hanya menggunakan makna teks saja, namun ruang yang melingkupi kemunculan
teks harus diperlihatkan. Selain itu, sisi penafsir yang telah dipengaruhi kondisi
sosial, politik, ekonomi dll, juga memberikan pengaruh. Oleh sebab itu, interaksi
antara teks dan penafsir harus bernegosiasi, karena keduanya muncul dalam ruang
dan waktu yang berbeda. Pertemuan dua unsur tersebut harus menemukan makna
baru. Karena dalam pandangan Gadamer pemahaman dan penafsiran tidak cukup
tanpa adanya penerapan. 20
18
Gadamer, Trurh and method, h. 303. 19
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 48. 20
Muhtador, “Hadis-Hadis Misoginis Dalam Perspektif Gender dan Hermeneutika”, h.
24-25.
19
Adapun penerapannya dalam penelitian skripsi ini tentang peleburan
cakrawala, yaitu pembaca harus menegosiasikan makna yang terkandung di dalam
teks hadits, yang menjadi ketegangan antara cakrawala teks dan cakrawala
pembaca untuk dileburkan. Sehingga menghasilkan makna yang dapat dipahami
minimal bagi pembaca.
5. Teknik Penulisan
Adapun mengenai teknik penulisan dan transliterasi, saya merujuk pada
buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang
diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development Ana Assurance)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Sebagai
pedoman transliterasi, saya menggunakan pedoman transliterasi Arab-Indonesia
berdasarkan Surat Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22 Januari 1988.
H. Sistematika Penulisan.
Dalam Skripsi ini penulis membagi bahasan menjadi empat bab dengan
rincian sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang mendeskripsikan perdebatan
seputar hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama, sehingga perlu
adanya pemahaman ulang untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas
mengenai maksud dari hadis tentang perempuan kekurangan akal dan agama.
Ulasan bab ini terdiri dari: latarbelakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian yang digunakan, sistematika penelitian. Dengan kata
20
lain, bab ini sebagai kerangka dari seluruh ini penelitian. Sedangkan secara
terperinci hasil penelitian tersebut peneliti ulas dalam bab selanjutnya.
Bab kedua, membahas lebih jelas tentang definisi misoginis, kemudian
mengklasifikasikan hadits-hadits dan juga ayat-ayat al-Qur‟an yang diduga
mengandung unsur-unsur misoginis, dan mencari keabsahan hadits tentang
perempuan kekurangan akal dan agama. Sehingga dari sini lain akan terlihat hasil
pemahaman dari literatur-literatur Islam seputar isu Misoginis.
Bab ketiga, berbicara seputar hermeneutika Hans-Georg Gadamer, yaitu
meliputi pengertian hermeneutika secara umum, biografi Gadamer, karya-karya
Gadamer, pemikiran hermeneutika secara umum, dan pemahaman teks Gadamer.
Serta mengaplikasikasikan hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama
dengan menggunakan metode hermneneutka Gadamer, dengan melihat lebih jelas
maksud yang sebenarnya dalam hadits Nabi tersebut. Sehingga mendapatkan
pemahaman lain bagi pembaca tentang maksud ysng terkandung dalam hadits
Nabi tentang perempuan kekurangan akal dan agama.
Bab keempat, merupakan kesimpulan dari seluruh uraian yang telah
dikemukakan jawaban atas permaslahan yang diteliti, dilengkapi dengan saran-
saran yang dapat direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya dari penelitian
ini, sekaligus sebagai pamungkas dari penelitian ini.
21
BAB II
MISOGINIS TERMINOLOGI DAN EKSISTENSINYA DALAM AL-
QUR’AN DAN HADITS
A. Definisi Misoginis
Dalam kamus bahasa Inggris sendiri istilah misoginis berasal dari kata
“misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”1
Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin”
berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci
akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya
“laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah
misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang
secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang
terdapat dalam beberapa teks hadits seputar kedudukan perempuan.2 Sedang
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan orang yang membenci wanita.3
Istilah “misoginis” yang membenci perempuan masih menimbulkan
banyak pertanyaan, fungsi Rasulullah SAW diutus Allah adalah tidak lain
mengangkat harkat dan martabat manusia termasuk kaum perempuan. Oleh
karena itu, untuk menjembatani adanya yang pro dan kontra maka penulisan
istilah misoginis di sini ditulis dalam tanda kutip. Secara luas kajian atas hadits-
1 John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), h.
382. 2 A. Partantopius dan al-Barry M Dahlan, kamus Ilimah Populer (Surabaya: Arkola,
1994), h. 473. 3 Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h.
660.
22
hadits “misoginis” perlu dikembangkan untuk memperlihatkan wajah Islam yang
sesungguhnya.4
Klaim adanya unsur misoginis dalam hadits digunakan oleh Fatima
Mernissi5 (W 2015) di dalam bukunya Women and Islam: An Historical and
Theological Enquiry. Untuk menunjukkan hadits-hadits yang dianggapnya
membenci dan merendahkan derajat perempuan.6
Istilah hadits sebagaimana diketahui adalah suatu yang disandarkan
kepada Rasuullah SAW. Baik ucapan, perbuatan, maupun taqrir. Disebut hadits
misoginis karena di dalamnya mengandung makna-makna yang memojokan
kedudukan kaum perempuan serta deskriminasi terhadap hak dan kewajiban kaum
perempuan.
Adanya penafsiran yang mengandung unsur-unsur misoginis, salah
satunya terdapat dalam Tafsir al-Qurtubi (W 671 H) dikatakan bahwa laki-laki
memiliki kelebihan akal, managerial, kejiwaan dan naluri, yang tidak dimiliki
oleh perempuan. Naluri laki-laki diyakini didominasi oleh unsur panas dari kering
yang merupakan sumber kekuatan, sementara naluri perempuan didominasi unsur
basah dan dingin yang merupakan sumber kelembutan dan kelemahan. Senada
dengan al-Qurtubi, Zamakhsari (W 538 H) yang berasal dari kalangan Mu‟tazilah
4 Hasani Ahmad Said, “Hadis-Hadis Misoginis: Wacana Pemahaman Hadis, Menggali
Akar Sosio-Kultural”, Al-Dzikra V 6, no. 1 (Januari-Juni 2012): h. 4-5. 5 Fatima Mernissi, merupakan salah satu sarjana feminis di Timur Tengah yang paling
populer. Fatima sendiri sangat produktif dalam menerbitkan karya-karyanya baik dalam bahasa
Prancis maupun dalam bahasa Arab. Diantara karya-karyanya yang telah diterjemahkan kedalam
bahasa Inggris adalah Beyond the Veil (Indiana University Press), Doing Daily Battle (Women‟s
Press/Rutgers University Press), The Veil and the Male Elite (Addison Wesley) diterbitkan di
Inggris dengan judul Women and Islam (Blackwell), The Forgotten Queens of Islam (Polity
Press/University of Minnesota Press), Islam and Democracy (Addison Wisley/ Virago), dan
Dreams of Trespass (Addison Wesley), diterbitkan di Inggris dengan judul The Harem Within
(Doubleday). Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wnita Dalam
Sejarah Muslim. Penerjemah Rahmani Atuti (Bandung: Mizan, 1999), h. 5. 6 Fatima Mernissi, Wanita didalam Islam. Penerjemah Yaziar Radianti (Bandung:
Pustaka, 1994), h. 62.
23
dan dikenal dengan rasionalitasnya mengatakan bahwa laki-laki memiliki
berbagai kelebihan diantaranya dalam hal akal, ketegasan, kekuatan tekad, dan
kekuatan fisik. Sehingga menurutnya laki-laki pantas menjadi para Nabi, ulama,
kepala negara, dan Imam. Masih banyak ahli tafsir lain seperti Ibn Kasir (W 774
H) dan Fakhruddin al-Razi (W 1966), yang mengukuhkan superioritas laki-laki
dengan legitimasi tekstual dan dalil dari al-Qur‟an maupun Hadits.7
Dari penjelasan di atas, dapat saya simpulkan bahwa istilah hadits
misoginis ialah penafsiran atau ucapan Nabi yang dituding mengandung unsur-
unsur kesenjangan sosial yang terjadi antara perempuan dan laki-laki yang
menyangkut perbedaan kedudukan, hak dan juga kewajiban, baik yang
dijelaaskan dalam al-Qur‟an maupun hadits. Oleh karena itu, disini saya mencoba
untuk mengkelompokannya ke dalam beberapa tema.
B. Al-Qur’ān dan Misoginis
Pembicaraan tentang masalah kedudukan perempuan dalam paradigma
Islam sesungguhnya telah dimulai sejak munculnya agama itu sendiri. Al-Qur‟an
sebagai kitab suci umat Islam, bahkan secara spesifik membahas hal-hal yang
menyangkut kewajiban dan kedudukan perempuan di dalam beberapa surat.8
1. Misoginis dalam Keluarga
a. Otoritas Thalaq
Sebagimana firman Allah yang tertera dalam al-Qur‟an surah At-
Thalaq/65: 1 berikut:
7 Siti Zubaedah, “Mengurai Problematika Gender dan Agama” Yin Yang V 5, no. 2 (Jul-
Des 2010): h. 258. 8 Sa‟diyah, “Isu Perempuan (Dakwah dan Kepemimpinan Perempuan dalam Kesetaraan
Gender)”, h. 315.
24
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Maka
Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak
mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
Dalam ayat ini Allah berfirman kepada Nabi-Nya, “Hai Nabi, apabila
kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar”. Maksudnya adalah
wahai Nabi, bila kamu menthalaq istri-istrimu maka thalaqlah mereka pada saat
mereka dalam keadaan suci. Maka kamu dapat menghitungnya sebagai satu fase
masa iddah. Adapun ahli tafsir yang berpendapat sama dengan pendapat tersebut
ialah Abu Kuraib, Ibnu Basysyar, Ibnu Al Mutsanna dan Ya‟qub bin Ibrahim. 9
Thalaq adalah suatu keadaan yang menyebabkan ikatan perkawinan
menjadi terputus. Dalam Islam konsep awal thalaq ini memang dipegang oleh
pihak suami. Artinya di tangan suamilah sebuah perkawinan bisa tetap berlanjut
atau terputus.
Paling tidak, ada dua alasan mengapa hak thalaq ada di tangan suami,
Pertama, perempuan memiliki perasaan yang lebih halus ketimbang laki-laki.
Artinya secara emosional, perempuan akan lebih mudah terbawa oleh
9 Abū Ja‟far Muḥ ammad bin Jarīr al-Ṭ abarī, Tafsir al-Ṭ abarī. Penerjemah Anshari
Talim dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Jilid XXV, h. 137.
25
perasaannya. Ketika hak thalaq ada di tangan perempuan, maka dikhawatirkan dia
akan menggunakannya untuk alasan-alasan sepele yang sebenarnya tidak patut
digunakan untuk mengakhiri kehidupan rumah tangga.
Kedua, thalaq sesungguhnya memiliki konsekwensi-konsekwensi
ekonomis. Seorang suami yang masih berhutang (belum membayar) mahar
kepada isterinya, maka ia harus membayarnya ketika ia menceraikan isterinya itu.
Seorang suami juga masih berkewajiban secara lahir menafkahi isterinya selama
masa iddah. Karena konsekwensi-konsekwensi ekonomis inilah maka kemudian
sang suami tidak akan sembarangan menjatuhkan thalaq kepada isterinya.10
Dari segi kontrak pernikahan sendiri, sebenarnya sang isteri telah
mengetahui bahwa suaminyalah yang memiliki otoritas thalaq. Artinya sejak awal
perkawinan sang isteri telah mengetahui bahwa thalaq memang diputuskan oleh
pihak laki-laki. Namun demikian, sebenarnya pihak isteri bisa saja mensyaratkan
thalaq yang bisa dilakukannya seizin pihak suami pada saat kontrak nikah
dimulai. Kita megenal ini dengan istilah ta'liq thalaq. Maksudnya jika ada hal-hal
yang menurut isteri akan merugikan dirinya dan itu dilakukan oleh pihak suami,
maka saat itu thalaq bisa terjadi. Misalnya jika suami tidak bisa menafkahi lahir
batin isterinya selama enam bulan berturut-turut, dan sang isteri menjadikan itu
sebagai ta'liq thalaq, maka begitu genap enam bulan sang suami tidak
menafkahinya, secara hukum agama Islam telah terjadi thalaq. Atau ketika sang
isteri mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, ia juga mempunyai
hak untuk melaporkannya ke pengadilan untuk meminta cerai dari suaminya.11
10
Didin Faqihuddin, “Memahami Ayat-Ayat Misogyny dalam Al-Qur‟an”, Musawa, V 2,
no 2 (Desember 2010): h. 176-177. 11
Wahbah al-Zuhailī, Al-Fiqḥ al-Islām wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), Jilid
VII, h. 360-361.
26
Dengan demikian, saya dapat memahami ayat di atas terlihat jelas bahwa
hak thalaq yang ada ditangan suami adalah konsep awal yang tidak kaku. Karena
pada kenyataan nya pihak istri sendiri bisa menuntut cerai ketika ia mengalami
hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan perkawinannya. Hak thalaq
yang berada ditangan suami tidak lebih dari sekedar bahwasanya secara emosional
laki-laki lebih stabil dibandingkan dengan perempuan, ayat di atas sekaligus
memberikan nasihat agar suami tidak sembarangan dalam menjatuhkan thalaq
kepada istrinya.
b. Berpoligami
Sebagaimana firman Allah yang tertera dalam al-Qur‟an suarat surah An-
Nisaa‟/4: 3 berikut:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya”.
Jika dibaca secara sepintas ayat ini memang terkesan “menganiaya”
perasaan perempuan karena adanya redaksi yang memerintahkan laki-laki untuk
mengawini perempuan sampai jumlah empat orang. Namun memahami ayat Al-
Qur‟an tidak bisa dilakukan secara parsial, misalnya hanya dengan melihat
redaksi dan seterusnya tanpa melihat konteks sosial ayat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa maknanya ayat tersebut yaitu, “Jika
kalian takut wahai wali-wali anak yatim untuk tidak berlaku adil dalam
27
(memberikan) mahar kepada mereka (bila kamu menikahi mereka), kemudian
kalian berlaku adil dalam hal itu dan memberikan mahar kepada mereka sesuai
mahar perempuan-perempuan yang seperti mereka, maka janganlah kalian
menikahi mereka. Akan tetapi, nikahilah perempuan selain mereka yaitu
perempuan-perempuan yang telah Allah halalkan dan jadikan baik bagi kalian
mulai dari satu sampai empat. Bila kalian takut akan melampaui batas dengan
menikahi perempuan-perempuan yang asing itu lebih dari satu sehingga kalian
tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah satu orang (saja) atau budak-budak yang
kalian miliki. Riwayat yang berpendapat sama juga dijelaskan oleh Ibnu Humaid,
Yunus bin Abdil A‟la, Yunus bin Yazid, dan Al Hasan bin Yahya.
Adapula yang berpendapat bahwa makna (firman Allah) tersebut adalah
“Dilarang menikahi dengan lebih dari empat orang perempuan, guna melindungi
harta anak yatim agar tidak dihabiskan oleh walinya. Riwayat yang berpendapat
sama juga dijelaskan oleh Ḥannad bin as-Sarī, Muḥ ammad bin Al Muṭ sanna,
dan Muḥ ammad bin Sa‟ad12
Ayat tersebut sesungguhnya bukan berisi perintah menikahi perempuan
lebih dari satu tanpa reserve (syarat). Secara kontekstual, ayat ini masih terkait
dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan pengasuhan terhadap anak yatim. Pada
masa itu di Arabia, ada seseorang yang mengasuh anak yatim perempuan dan
bermaksud menikahinya dengan pemikiran bahwa menikahi anak yatim tidak
perlu dibayarkan maharnya seperti menikahi perempuan lainnya. Dalam
pandangan Islam hal ini mencedarai rasa keadilan. Maka Islam mempersilahkan
untuk menikahi perempuan lain saja bahkan jika mau boleh sampai empat, dengan
12
Al-Ṭ abarī, Tafsir al-Ṭ abarī, Jilid VI, h. 379-384.
28
catatan mahar harus dibayar dan keadilan diantara para istri itu harus
diwujudkan.13
Menurut Ulfa Yusuf dalam bukunya Hîrah Muslimah bahwa perbincangan
poligami di dalam al-Qur‟an hanya berkisar pada dua ayat saja, yaitu dalam surah
al-Nisâ/4: 3 dan 129. Terkait dua ayat ini, para mufasir sibuk menjelaskan tentang
makna adil yang dinilai menjadi syarat keabsahan poligami. Menurutnya yang
lebih penting adalah mengamati kembali bahwa surah al-Nisâ/4: 4 tersebut sama
sekali tidak berbicara tentang keabsahan poligami secara multak. Ada syarat yang
jauh lebih penting diperhatikan, yaitu kekhawatiran menzalimi seorang anak
yatim perempuan.
Secara umum, ia menegaskan bahwa pada dasarnya perkawinan
monogamilah yang paling ideal. Hal ini didasarkan pada persyaratan Al-Qur‟ an
sebagaimana diuraikan di atas, disamping itu juga adanya argumen dari hadis
sahih. Misalnya kisah ketika Nabi tidak membolehkan Alī ibn Abū Thālib untuk
menikahi perempuan lain selama istri pertamanya (Fātimah) masih hidup, kecuali
setelah menceraikannya.14
Dengan demikian, saya dapat memahami konteks ayat di atas yaitu
sebagai kritik terhadap laki-laki yang hendak berlaku curang mengawini
perempuan yatim tanpa mau membayar maharnya. Al-Qur‟an mepersilahkan
untuk menikahi perempuan lain yang tentu maharnya harus dibayarkan. Agama
Islam membolehkan laki-laki untuk menikahi empat orang perempuan sekaligus
dengan syarat harus berlaku adil kepada perempuan-perempuan yang telah
dinikahinya. Apabila ia tidak bisa berlaku adil karena berkewajiban untuk
13
Faqihuddin, “Memahami Ayat-Ayat Misogyny dalam Al-Qur‟an”, h. 172. 14
Ahmad Fawaid, “Pemikiran Mufasir Perempuan Tentang Isu-Isu Perempuan”, Karsa V
23, no. 1 (juni 2015): h. 70.
29
membiayai dan memenuhi kebutuhan istri-istrinya, maka cukup nikahi satu orang
istri saja. Hal demikian yang lebih baik untuk dikerjakan.
2. Misoginis dalam Muamalah
a. Status Persaksian Perempuan.
Sebagaimana firman Allah yang tertera dalam al-Qur‟an surah Al-
Baqarah/2: 282 berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
30
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu‟amalahmu itu),
kecuali jika mu‟amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah
kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu”.
Maksud ayat tersebut ialah, mintalah kesaksian dari dua orang laki-laki.
Apabila tidak ada dua orang laki-laki, boleh dengan seorang laki-laki dan dua
orang perempuan. Yang demikian ini adalah dalam urusan harta benda, seperti
hutang piutang, jual beli, sewa menyewa, penggadaian, pengakuan harta benda
dan penggasaban (pemanfaatan barang taapa izin pemiliknya).
Dalam kitab ringkasan Ibnu Katsir disebutkan bahwa Sufyan al-Ṭ sauri
meriwayatkan dari Ibnu Abbās “Ayat yang diturunkan berkaitan dengan masalah
salam (mengutangkan) hingga waktu tertentu. Saya bersaksi bahwa salam yang
dijamin untuk diselesaikan pada tempo tertentu adalah di halalkan dan di izinkan
oleh Allah. 15
Perintah ayat ini secara redaksional ditunjukan kepada orang-orang
beriman tetapi yang dimaksud ialah mereka yang melakukan transaksi hutang
piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berutang. Hal ini agar yang
memberi piutang merasa tenang dengan punulisan itu. Sebab menulisnya adalah
perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan.16
Ibnu Ḥajar al-Asqalānī dalam kitabnya Fatḥ ul Bārī memberi keterangan
bahwasanya Jumhur Ulama mengkhususkan hadits tersebut pada masalah
15
Al-Ṭ abarī, Tafsir al-Ṭ abarī, h. 43. 16
Muzakir S, “Regulasi Hutang Piutang dalam Tinjauan Ekonomi Islam (Telaah
Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 282)”, Iqtishaduna V 5, no 1 (Juni 2014): h. 69.
31
kebendaan, dan mereka tidak membolehkan kesaksian perempuan di dalam
masalah hudud dan qishas. Jumhur ulama juga berselisih di dalam masalah nikah
dan thalaq.
Berbeda dengan pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa
perempuan tidak diperbolehkan menjadi saksi dalam hudud. Imam Malik dan
Imam Syafi‟i memperbolehkan kesakisian seorang laki-laki dan dua orang
perempuan dalam hal harta benda, akan tetapi kesaksian perempuan tidak diterima
dalam hal hukum badani seperti hudud, qishash, nikah, thalaq, dan rujuk.
Maka berbeda halnya dengan pendapat Ibn Hazm, menurutnya perempuan
dapat menjadi saksi untuk semua perkara tanpa terkecuali dengan ketentuan untuk
kedudukan satu orang laki-laki dapat ditempati oleh dua orang perempuan dalam
kesaksian.
Dari keterangan Ibnu Hazm di atas telah jelas bahwa ia dengan tegas
menerima kesaksian perempuan, tidak hanya menerima perempuan menjadi saksi
dalam wilayah hukum hudud dan qishash saja. Tetapi Ibnu Hazm menerima
kesaksian perempuan dalam semua perkara dan kejadian, dan mengagap
kesaksian perempuan mempunyai kekuatan yang sama sebagaimana kerasksian
orang laki-laki. Adapun yang menjadi alasan Ibnu Hazm dalam memberikan
kedudukan perempuan untuk menjadi saksi dalam semua perkara atau kejadian
ialah dengan merujuk firman Allah surah Al-Imran/3: 77.17
17
Pradita Nur Alim, “ Status Kesaksian Wanita dalam Hukum Pidana Islam Menurut
Pendapat Ibn Hazm” (Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negri
Semarang, 2016), h. 46-48.
32
Sedangkan alasan mengapa dianjurkannya dua orang saksi perempuan,
sebab bila yang seorang lupa maka yang lainnya bisa mengingatkannya dan
melengkapi kesaksiannya.18
Dengan demikian, saya dapat memahami bahwa ayat diatas mengandung
perintah penting yaitu anjuran untuk mencatat dan mendatangkan saksi apabila
dibutuhkan, hal itu sebagai upaya dalam memperkuat bukti atau sebagai arsip
bagi kedua belah pihak. Sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan.
b. Status Kepemimpinan Perempuan
Sebagaimana firman Allah yang tertera dalam al-Qur‟an surah An-
Nisaa‟/4: 34 berikut:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
Ahli tafsir menyatakan bahwa qowwam berarti pemimpin, pelindung,
pengatur dan lain-lain. Ketika menjelaskan surah al-Nisā/4:34, para mufasir
memiliki penafsiran yang beraneka ragam. Al-Ṭ habarī menafsirkan potongan ayat
18
Muzakir S, “Regulasi Hutang Piutang dalam Tinjauan Ekonomi Islam (Telaah
Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 282)”, Iqtishaduna V 5, no. 1 (Juni 2014): h. 71-72.
33
tersbut bahwa laki-laki adalah orang yang pantas memimpin istri-istrinya, baik
dalam hal mendidik mereka atau dalam hal mengarahkannya untuk melaksanakan
tanggung jawab Allah dan tanggung jawab
Keunggulan laki-laki disebabkan oleh keunggulan akal dan fisiknya,
demikian ungkap al-Razy dalam Tafsir al-Kabir. Di samping itu, al-Zamakhsari
dalam Tafsir al-Kasysyaf mengungkapkan keunggulan laki-laki atas perempuan
adalah karena akal, ketegasan, tekad yang kuat, kekuatan fisik, secara umum
memilik kemampuan baca tulis dan keberanian. Thaba‟thaba‟i mengungkapkan
kelebihan laki-laki disebabkan oleh akalnya saja mampu melahirkan jiwa-jiwa
seperti keberanian, kekuatan, dan kemampuan dalam mengatasi kesulitan.
Sebaliknya, perempuan lebih sensitif dan emosional. Oleh sebab itu, banyak tugas
berat yang diembankan kepada laki-laki sebagai Nabi, imam, guru dan
sebagainya. Demikian pula dalam jihad, azan shalat jum‟at, sedangkan wali
perempuan tidak banyak dilibatkan dan tidak memiliki otoritas.
Konsep qowwam dalam al-Qur‟an tersebut adalah laki-laki sebagai
pemimpin perempuan dalam ruang lingkup rumah tangga. Hal ini ditegaskan
dengan kewajiban laki-laki untuk memberi nafkah kepada perempuan, pemberian
nafkah hanya dilakukan suami kepada istrinya dan tidak ada kewajiban untuk
menafkahi perempuan selain istrinya. Ibn Katsir, Ibn Arabi, dan al-Maraghi
mempunyai titik kesamaan terkait dengan kelebihan antara laki-laki terhadap
perempuan.
Kalimat Arrijalu qawwamūn ala an-nisā yang terdapat dalam ayat tersebut
selalu menjadi salah satu dasar normatif superioritas laki-laki atas perempuan.
Kalimat ini sering diartikan kewajiban laki-laki untuk dijadikan sebagai seseorang
34
pemimpin bagi perempuan dalam segala urusan, baik itu urusan domestik maupun
urusan publik.
Pelarangan kepemimpinan perempuan juga didasarkan pada hadits Nabi
Saw yang diriwayatkan oleh Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī, ketika beliau mendengar berita
bahwa masyarakat persi telah memilih putri Kisra sebagai pemimpin. Kemudian
Nabi bersabda “Apabila suatu kaum menyerahkan urusannya kepada perempuan
maka rusaklah kaum itu”. 19
Menurut Abū Ja‟far kelebihan yang Allah berikan kepada kaum laki-laki
atas istri-istrinya disebabkan pemberian mahar, pemberian nafkah dari hartanya,
dan merekalah yang mencukupi kebutuhn istri-istri mereka. Itu merupakan
keutamaan yang Alah berikan kepada kaum laki-laki atas istri-istri mereka,
sekaligus orang yang melaksanakan apa yang Allah wajibkan kepada mereka
dalam urusan istri-istri mereka.20
Berbeda dengan pandangan Izzat Darwazah yang mengatakan bahwa ayat
tersebut meskipun menggunakan redaksi umum, tapi dilihat dari semangat
ayatnya berhubungan dengan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan
diranah domestik seperti ranah rumah tangga. Namun, dalam konteks publik ayat
tersebut tidak tepat untuk digunakan. Meskipun ayat ini absen menjelaskan
kebebasan perempuan dalam ranah sosial politik, hal itu tidak berarti bahwa hak
politik perempuan ditundukkan oleh otoritas laki-laki. Ini didasarkan bahwa Al-
Qur‟an memberikan hak yang sama, baik pada laki-laki maupun perempuan,
19
Ida Novianti, “Dilema Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam”, Yinyang V 3, no 2
(Juli-Desember 2008):h. 2. 20
al-Ṭ abarī, Tafsir al-Ṭ abarī, Jilid VI, h. 881.
35
dalam keimanan, beramal, mencari pengetahuan, berpikir, berjihad, berdakwah
pada kebaikan, berinfak dan lain sebagainya.21
Pendapat yang serupa diucapkan oleh Jamaluddin Muḥ ammad Maḥ mud.
Menurutnya, tidak ditemukan satu ketentuan yang dapat dipahami sebagai
larangan keterlibatan wanita dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang
membatasi bidang tersebut hanya pada kaum laki-laki.
Pendapat lainnya mengenai larangan perempuan dalam dunia politik dan
kepemimpinan, M. Quraish Shihab dalam salah satu makalahnya mengenai:
Kosnep Wanita Menurut Al-Qur’an, Hadits dan Sumber-sumber Ajaran Islam,
memberi kupasan yang cukup lengkap mengenai hak-hak perempuan dalam
bidang politik. Menurutnya, wanita mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.22
Dengan demikian, saya dapat memahami bahwa ayat di atas menjelaskan
pemimpin yang ideal dalam agama Islam baik dalam ruanglipkup domestik
maupun publik. Adapun anggapan laki-laki sebagai pemimpin yang paling utama
dikarnakan kemampuan laki-laki dalam memberikan nafkah kepada perempuan,
dan apabila laki-laki tidak sanggup lagi dalam memberikan nafkah untuk
keluarganya maka istri dapat mengambil alih peran qawwam itu. Oleh karena itu,
ayat diatas tidak bisa digunakan untuk melarang perempuan tampil sebagai
pemimpin publik seperti presiden atau yang lainnya. Sebagaimana dadalm al-
Qur‟an surat al-Hujarat/49: 3, menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa
hubungan laki-laki dan perempuan merupakan mitra sejajar dalam berbagai hal,
baik kesamaan dalam hak dan juga kewajiban.
21
Fawaid, “Pemikiran Mufasir Perempuan Tentang Isu-Isu Perempuan”, h. 68. 22
Nur Khoirin, “Laporan Hasil Penelitian Telaah Terhadap Otentitas Hadits-Hadits
Misogini” (IAIN Sunan Kalijjaga Yogyakarta, 2000), h. 75-76.
36
Demikian ayat-ayat diatas yang banyak diklaim dan dipahami
mengandung unsur-unsur misoginis dan menjadikan perempuan sebagai
subordinat, dan sering dijadikan dalil untuk menjatuhkan kelompok lainnya.
Sehingga terjadi kesenjangan sosial antara laki-laki dan perempuan.
C. Hadits dan Misoginis
Hadits-hadits yang dimaksud ialah riwayat-riwayat yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw, yang isinya bernada merendahkan perempuan
lebih rendah martabatnya dibandingkan laki-laki sebagai lawan jenisnya.
Dalam hadits-hadits misoginis secara eksplisit laki-laki memperoleh
kedudukan yang kuat. Laki-laki diposisikan sebagai pemimpin, pembanding, dan
sekaligus sebagai pelindung. Sedangkan perempuan sebagai makhluk yang lemah
secara tabi’i (fitrah) yang harus dipimpin, dibimbing, dan dilindungi agar
perjalanan hidupnya terarah dan ampai pada tujuan. Sebagai konsekuensinya,
seorang perempuan selaku istri harus terkait secara ekonomis, psikologis, dan
bahkan secara teologis. Dengan kata lain, gambaran seorang perempuan yang baik
adalah yang mampu menyerahkan dirinya secara total dan mentaati suaminya
dengan penuh rasa pengabdian.23
Adapun hadits-hadits yang diklaim mengandung unsur-unsur misoginis.
Di antaranya ialah sebagai berikut:
1. Misoginis dalam Ibadah: Larang Berpuasa Tanpa ijin Suami
23
Khoirin, “Laporan Hasil Penelitian Telaah Terhadap Otentitas Hadits-Hadits
Misogini”, h. 16. 24
Muḥ ammad bin Ismā‟īl Abū Abdillāh al- Bukhārī, Jāmi’ Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī
(Damaskus: Dār Ṭ hauq al-Najah, 1442 H), Jilid IV, h. 30.
37
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil Telah
mengabarkan kepada kami Abdullah Telah mengabarkan kepada kami Ma'mar
dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: "Janganlah seorang wanita berpuasa padahal
suaminya sedang ada, kecuali dengan seizinnya."
Secara harfiah hadits tersebut memberikan pengertian bahwa soeorang istri
yang melakukan puasa sunah, tatkala suaminya ada di rumah, diharuskan meminta
izin kepada suaminya. Berdasarkan pemahaman tekstual ini, matoritas ulama
terdahulu berpendapat bahwa ketika suami ada di rumah haram hukumnya
seorang istri berpuasa sunah. Manakala puasa sunah tetap dilakukan, maka alih-
alih mendapakan pahala yang terjadi malah ia telah melakukan dosa karena
mengerjakan perbuatan yang dilarang. Pendapat demikian hingga saat ini dianut
oleh umumnya masyarakat Muslim.
Peralihan nilai puasa yang semula berpehala menjadi berdosa karena
tatkala istri berpuasa sunah dipandang telah membiarkan suaminya tanpa
diberikan hak “pelayanan”. Dalam hubungan ini an-Nawawi mengatakan bahwa
seorang istri dalam situasi apa pun harus siap memberikan pelayanan kepada
suaminya. Karena apabila ia melakukan perbuatan yang nilainya hanya sunah,
maka suamilah yang harus didahulukan, karena memberikan pelayanan kepada
suami hukumnya wajib dan tidak dapat dikalahkan oleh perbuatan sunah.25
Adapun penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sofyan A.P dan
Zulkarnain Suleman, menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak cukup dipahami
secara tekstual sebagaimana dipahami kebanyakan ulama. Sebab „illat hukum
(kausa legis) yang mendasari keharusan istri meminta izin kepada suami untuk
puasa sunah adalah wa zawjuhā syāhid (selama suaminya berada dirumah). Oleh
25
Hamim Ilyas dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2008), h. 158-159.
38
karena itu, jika suami tidak berada dirumah, maka istri tidak perlu izin. Jika hal ini
dipandang sebagai „illah al-ḥ ukum (kausa legis), sedangkan hukum berubah
seiring dengan ada tidaknya (al-ḥ ukum yadūru ma’a ‘illatih wujūdan wa
‘adaman), maka ketentuan hukum tentang meminta izin dapat berubah. Secara
substansial hadits tersebut tidak sedang menegaskan kewajiban istri meminta izin
kepada suami. Akan tetapi, pesan moral hadits tersebut adalah kemampuan istri
dalam menyeimbangkan kewajibannya terhadap suami dan keinginan dirinya
beribadah kepaa Tuhannya.
Dengan demikian, saya dapat memahami bahwa hadits tentang dilarangnya
perempuan berpuasa tanpa izin suami, apabila dipahami secara tekstual maka
maknanya akan sangat memojokan perempuan. Sehingga perempuan tidak dapat
melakukan apapun sesuai dengan keinginannya, peralihan nilai puasa yang semula
berpahala menjadi berdosa dikarnakan istri sedang berpuasa sunah tanpa ijin
suaminya. Yang dipandang telah membiarkan suaminya tanpa hak pelayanan apa
pun. Akan tetapi, jika melihatnya dari segi tekstual maupun kontekstual seorang
istri boleh melaksanakan ibadah puasa sunah tanpa izin suami. Apabila suami
sedang tidak dirumah, seperti berpergian.
2. Misoginis dalam Keluarga
a. Penciptaan Perempuan dari Tulang Rusuk Laki-Laki
“Telah bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Musa bin Hizam
keduanya berkata, telah bercerita kepada kami Husain bin "Ali dari Za'idah
dari Maisarah Al Asyka'iy dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu
'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Nasehatilah
para wanita karena wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan
26
Al-Bukhārī, Jāmi‟ Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī, Jilid III, h. 133.
39
yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya, jika kamu
mencoba untuk meluruskannya maka dia akan patah namun bila kamu
biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu nasehatilah para wanita".
Hadits tersebut secara tekstual memiliki arti bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk, atau perempuan seperti tulang rusuk. Dalam hadits tersebut
tidak dijelaskan siapa perempuan yang dimaksud dan diciptakan dari tulang rusuk
siapa. Namun, teks hadits inilah yang berkembang dimasyarakat, bahkan mereka
memberikan penafsiran lebih lanjut bahwa perempuan yang dimaksud hadits
tersebut adalah perempuan pertama, yaitu Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk
Adam.
Pemahaman bahwa Hawwa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk
Adam (laki-laki) yang diyakini berasal dari hadits Nabi. Kemudian menjadi
doktrin teologi yang dipercayai oleh kebanyakan masyarakat Islam.27
M. Quraish Shihab dalam karyanya Wawasan al-Quran mengatakan ada
sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan pria. Mereka
tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan wanita, sebagaimana
tidak berhasilnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Dikemukakan pula oleh Fatima Mernissi dalam bukunya Women and
Islam: An Historical and Theological Enquiry, keduanya menolak pandangan
penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Dengan alasan bahwa, konsep
semacam ini datang dari Injil masuk lewat kepustakaan hadis yang penuh
kontroversi.
Dalam syarah Umdat al-Qari karya al-Aini dikatakan bahwa maksud hadis
tersebut adalah “carilah wasiat dari dirimu sendiri tentang hak-hak mereka (kaum
27
Ilyas dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis, h. 42-43.
40
wanita) dengan baik”. Ini mengandung makna anjuran untuk berbuat baik kepada
kaum wanita.28
Dengan demikian, saya dapat memahami bahwa hadits penciptaan wanita
dari tulang rusuk laki-laki tidak sesuai apabila dipahami sebagai informasi bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Apabila dicermati lebih jauh hadits
tersebut sebenarnya berisi anjuran atau perintah kepada laki-laki untuk saling
menasihati satu sama lain, dan berbuat baik serta bijaksana terhadap istri-istri
mereka.
b. Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi dari Syu'bah dari Sulaiman dari
Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: "Jika seorang suami mengajak isterinya ke
tempat tidur, lalu ia enggan untuk memenuhi ajakan suaminya, maka ia akan
dilaknat Malaikat hingga pagi."
Hadits di atas berkaitan dengan campur tangan malaikat dalam
hubungan seksual suami-istri, salah satunya diriwayatkan oleh Bukhārī dan
Muslim. Apabila dipahami secara harfiah hadis tersebut megatakan bahwa
melayani kebutuha seksual suami adalah sebuah keharusan yang tidak dapat
ditunda-tunda. Istri hanya boleh menolak ajakan suami jika ia dalam keadaan
haidh dan nifas.
Mengenai hadits tersebut, para ulama dan ilmuwan berbeda pendapat
dalam memahaminya. Ada kelompok yang menerima hadits tersebut apa
28
Hasani Ahmad Said, “Hadis-Hadis Misoginis: Wacana Pemahaman Hadis, Menggali
Akar Sosio-Kultural”, Al-Dzikra V. 6, no. 1 (Januari - Juni 2012): h. 8-9. 29
Al-Bukhārī, Jāmi’ Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī, Jilid VII, h. 30.
41
adanya secara tekstual, sedangkan kelompok yang lain mencoba untuk
melihat dari konteksnya. Perbedaan pandangan antara kelompok pertama dan
kedua menurut Mas‟udi disebabkan oleh perbedaan konstruk tentang
seksualitas itu sendiri.
Kelompok pertama mengatakan bahwa melayani ajakan suami untuk
berhubungan seksual adalah sebuah keharusan kapan pun dan sesibuk apa
pun. Salah satu hak suami yang harus dipenuhi istri adalah melayani
kebutuhan seksualitas suami.
Berbeda dengan kelompok sebelumnya, kelompok kedua banyak
dipelopori oleh tokoh-tokoh gerakan perempuan yang menyatakan bahwa
hadits tersebut perlu dilihat kembali. Jika dilihat secara tekstual saja maka
ada kesan bahwa perempuan atau istri tidak mempunyai hak akan kepuasan
seksual. Dalam tasawuf seks, orgasme merupakan jalan menyatukan diri
seorang hamba dengan Tuhannya. Karena itu baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama memiliki hak untuk dapat menikmati hubungan seks
yang mereka lakukan. 30
Masdar F Mas‟udi menyatakan meskipun hadits ini diriwayatkan Bukhari
dan Muslim, tapi tidak dapat diterima begitu saja karena Rasulullah saw tidak
mungkin mensabdakan ketidakadilan suami terhadap istri. Kritik yang sama
diungkapkan Siti Musdah Mulia bahwa pemahaman tekstual terhadap hadits
tersebut akan menimbulkan kesan yang kuat tentang ketinggian derajat lelaki atas
perempuan, bahkan menjadi alat legitimasi bagi lelaki untuk memaksa dan
mengeksploitasi perempuan dalam hubungan seksual. Menurutnya, jika penolakan
30
Ilyas dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis, h. 216-219.
42
dikarenakan kondisi istri sedang tidak sehat atau tidak bergairah atau karena
suami mengajak dengan kasar dan tidak manusiawi, maka seharusnya suamilah
yang mendapat laknat malaikat karena dia dianggap melakukan nusyuz terhadap
istri. Zaitunah Subhan juga berpendapat serupa, bahwa laknat malaikat tidak bisa
disimpulkan mutlak menimpa istri yang tidak memenuhi ajakan suaminya saja,
tetapi juga berlaku bagi suami, karena Islam mengakui keberadaan perempuan
sebagai individu independen yang juga mempunyai hak yang dapat dituntut.31
Dengan demikian, saya dapat memahami bahwa laknat malaikat terhadap
istri yang menolak ajakan suami tidak bisa difahami secara konteks saja. Dalam
urusan seksualitas bukan hanya kewajiban seorang istri akan tetapi keduanya,
dalam hal tersebut tidak hanya mementingkan kepuasan laki-laki tetapi kepuasan
bersama. Oleh karena itu, peran keduannya sangat penting dalam hal berhubungan
dan harmonis. Adapun perempuan yang menolak ajakan suami tidak bisa
dianggap telah dilaknat oleh malaikat, tetapi kembali kepada psikologi suami,
apabila ia memaafkan istrinya maka hal tersebut tidak berlaku padanya.
Begitupun sebaliknya apabila suami memaksa sedangkan istri dalam keadaan
kurang baik, maka pada hakikatnya suami telah melanggar prinsip mu’asyarah bil
ma’ruf. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-Nisa‟/4:19.
D. Hadis Tentang Perempuan Kekurangan Akal dan Agama
31
Nawang Rofiq Kholis, “Kedudukan Perempuan dalam Rumah Tangga: Kajian Hadits
Misoginis” AL-IFKAR V 1, no. 01 (Maret 2013): h. 93.
43
Berbicara seputar hadis misoginis tentang perempuan kekurangan akal dan
agama, terdapat dalam beberapa kitab induk hadits selain dari Ṣaḥ iḥ Bukhārī
hadits tersebut pun diriwayatkan oleh riwayat lain, diantaranya sebagai berikut:
1. Terdapat dalam Kitab Ṣaḥ iḥ Bukhārī
“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Maryam berkata,
telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata, telah
mengabarkan kepadaku Zaid -yaitu Ibnu Aslam- dari 'Iyadl bin 'Abdullah
dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pada hari raya 'Iedul Adlha atau Fitri keluar menuju tempat shalat, beliau
melewati para wanita seraya bersabda: "Wahai para wanita! Hendaklah
kalian bersedekahlah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah
yang paling banyak menghuni neraka." Kami bertanya, "Apa sebabnya
wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "Kalian banyak melaknat dan banyak
mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang
laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian."
Kami bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan
lemahnya agama?" Beliau menjawab: "Bukankah persaksian seorang wanita
setengah dari persaksian laki-laki?" Kami jawab, "Benar." Beliau berkata
lagi: "Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia
sedang haid dia tidak shalat dan puasa?" Kami jawab, "Benar." Beliau
berkata: "Itulah kekurangan agamanya."Telah menceritakan kepada kami
Ibnu Abu Maryam telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far
berkata, telah menceritakan kepada saya Zaid dari 'Iyadh dari Abu Sa'id
radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila (seorang wanita) sedang mengalami haidh, maka dia tidak shalat
dan tidak puasa. Yang demikian itu menunjukkan kurangnya agamanya".
Adapun hadits serupa, memiliki lafad yang sama dengan Ṣaḥ iḥ Bukhārī
diriwayatkan juga oleh Ibn Majah33
, Sunan Abī Daud34
, dan Sunan Ad-Dārimī35
.
32
Al- Bukhārī, Jāmi Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī, Jilid I, h. 68. 33
Yazid al-Quzwainī, Sunan Ibn Mājah, Jilid I, h. 1326 34
Abū Daud Sulaimān bin al-Asy‟as Abū Daud, Sunan Abī Daud (Beirut: Maktabah Al-
Asyriyah, tt.), Jilid IV, h. 214. 35
Abdullāh bin Abdurahmān al-Dārimī, Musnad al-Dārimī (Saudi Arabiyah: Dāru al-
Mughnī linasyr wa al-Tauzī”, 1412 M), Jilid I, h. 684.
44
2. Terdapat dalam Kitab Ṣ aḥ iḥ Muslim
“Telah meriwayatkan Muhammad bin Rumh bin al-Muhajir al-
Mishri telah mengabarkan kepada kami al-Laits dari Ibnu al-Had dari
Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Wahai kaum wanita!
Bersedekahlah kamu dan perbanyakkanlah istighfar. Karena, aku melihat
kaum wanitalah yang paling banyak menjadi penghuni Neraka." Seorang
wanita yang pintar di antara mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa
kaum wanita yang paling banyak menjadi penghuni Neraka?" Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. bersabda: "Kalian banyak mengutuk dan
mengingkari (pemberian nikmat dari) suami. Aku tidak melihat mereka yang
kekurangan akal dan agama yang lebih menguasai pemilik akal, daripada
golongan kamu." Wanita itu bertanya lagi, "Wahai Rasulullah! Apakah
maksud kekurangan akal dan agama itu?" Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menjawab: "Maksud kekurangan akal ialah persaksian dua orang
wanita sama dengan persaksian seorang lelaki. Inilah yang dikatakan
kekurangan akal. Begitu juga kaum wanita tidak mengerjakan shalat pada
malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadlan
(karena haid). Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama." Dan telah
menceritakan tentangnya kepada kami Abu ath-Thahir telah mengabarkan
kepada kami Ibnu Wahab dari Bakar bin Mudlar dari Ibnu al-Had dengan
sanad ini semisalnya." Dan telah menceritakan kepadaku al-Hasan bin Ali al-
Hulwani dan Abu Bakar bin Ishaq keduanya berkata, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abu Maryam telah mengabarkan kepada kami
Muhammad bin Ja'far dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Zaid bin
Aslam dari Iyadl bin Abdullah dari Abu Sa'id al-Khudri dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah mengabarkan
kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah serta Ibnu Hujr mereka
bertanya, telah menceritakan kepada kami Ismail -yaitu Ibnu Ja'far- dari
Amru bin Abu Amru dari al-Maqburi dari Abu Hurairah dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits yang semisal dengan hadits Ibnu
Umar, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam”.
36
Muslim bin al-Ḥajāj, Jāmi’ Ṣ aḥ iḥ Muslim (Beirut: Dār al-Iḥ yā al-Turās al-Arabī, tt.),
Jilid I, h. 86.
45
Adapun hadits serupa, memiliki lafad yang sama dengan Ṣ aḥ iḥ Muslim
diriwayatkan oleh Sunan Abū Daud37
.
Berdasarkan pengumpulan hadits yang setema tersebut, dapat dilihat hadits
tersebut memiliki beberapa jalur sanad. Hal ini menunjukan bahwasanya hadits ini
banyak diriwayatkan dan memilki kwalitas yang tinggi, terbukti hadits tersebut
terdapat dalam kitab-kitab induk hadits yang memiliki kreadibilitas yang tinggi
diantaranya terdapat dalam Ṣaḥ iḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥ iḥ Muslim. Selain itu,
varian hadits-hadits tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Perbedaannya hanya terdapat dalam redaksi yang sedikit berbeda saja, tidak
berbeda dalam hal makna.38
37
Daud Sulaiman, Sunan Abī Daud, Jilid IV, h. 214. 38
Ulfa Zakiyah, “Re-Interpretasi Hadis Perempuan Mayoritas Penghuni Neraka (Kajian
Hadis Misoginis)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2015), h. 71-72.
46
BAB III
ANALISIS HADITS MISOGINIS PERSPEKTIF HERMENEUTIKA
HANS-GEORG GADAMER
A. Pengertian Hermeneutika
Kata hermeneutika secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari kata
Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneueia
secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Istilah
hermeneutik merujuk pada mitos Hermes (Dewa Yunani) yang bertugas
menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia.1 Menurut Hossein
Nasr sebagaimana yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, Hermes tak lain adalah
Nabi Idris a.s. yang disebut dalam Alquran. Sementara menurut cerita yang
beredar dikalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukan tenun.
Jika propesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang Dewa Hermes,
di sana terdapat korelasi positif. Kata kerja “menenung” atau “memintal” yang
dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text,
memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika yang dinisbahkan pada
Hermes. Jadi, kata hermeneutika adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna
melalui interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks. Bagi Nabi
Idris atau Dewa Hermes, ketika persoalan pertama yang dihadapi adalah
bagaimana menyampaikan pesan-pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa
“langit” agar bisa dipahami manusia yang berbicara dengan bahasa “bumi”2.
1 Abdul Hadi W. M, Hermeneutika Sastra Barat dan Timur, (Jakarta: Sadra Press, 2014),
h. 26. 2Sulaiman Ibrahim, “Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana Metode Tafsir Qur‟an” Studia
Islamika V 11, no.1 (Juni 2014): h. 27.
47
Sedangkan menurut Carl Braaten mendefinisikan hermeneutika sebagai
“ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau satu kejadian
dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara
eksistensial dalam situasi kita sekarang”.3
B. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer
1. Biografi Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer merupakan salah satu tokoh yang sangat terkenal
diantara para tokoh filsafat hermeneutika. Gadamer lahir pada tanggal 11 Februari
1900 ia terlahir sebagai anak kedua di tengah keluarga pasangan Emma Caroline
Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928) dikota
Marburg, sebuah kota bagian selatan Jerman. Sejak berusia dua tahun, ia pindah
ke kota Breslau (sekarang dikenal dengan nama Wroclau, Polandia) karena
ayahnya diminta menjadi profesor luar biasa di Universitas Breslau.
Gadamer mempelajari filsafat kepada sejumlah filsuf diantaranya ialah
Paul Natorp, Nikolai Hartman, Martin Heidegger, dan Rudolf Blutmann. Pada
tahun 1922 Gadamer berhasil merebut gelar doktor dengan sebuah disertasi
berjudul “The Nature of Pleasure According to Platos Dialogues” di bawah
bimbingan filsuf Paul Natorp. Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger pada
tahun 1923 di Universitas Freiburg. Pada tahun 1927 Heidegger mengusulkan
kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman,
orang yang memiliki gelar doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation
sebelum bisa diangkat sebagai dosen di Universitas. Dibawah bimbingan
3 Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme.
Penerjemah Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), h. 83.
48
Heidegger akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika
dialektis Plato. Akhirnya Gadamer diangkat menjadi dosen di Universitas
Marburg.4 Gadamer meninggal di Jerman, 13 Maret 2002 pada umur 102 tahun.
2. Karya-Karya Hans-Georg Gadamer
Karya-karya Gadamer diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.
Keseluruhan karya itu telah dikumpulkan dalam edisi khusus sebanyak 10 jilid
Gesammelte Worke (The Complete Works).
Gadamer juga dikenal sebagai seorang penulis kontemporer dalam bidang
hermeneutika yang amat terkemuka, lewat karya monumentalnya Wahrheit and
Methode: Grundzuge einer Philosophischen Hermeneutik (Kebenaran dan
Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis menurut garis besarnya)5. Kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Truth anda Method6.
Penelitian tersebut menjadi adikarya Gadamer karena di dalamnya terangkum
pemikiran-pemikiran inti yang telah beliau rintis sejak masa perkuliahannya,
sekaligus mejadi titik acuan bagi perkembangan pemikirannya. Buku ini menjadi
berat karena kepadatan isinya, keluasan, dan kedalaman analisisnya. Hal ini
berangkat dari pertanyaan-pertanyaan perihal epistemologi
Geisteswissenschaften, lalu menyususri wilayah seni, sejarah, dan berakhir dia
analisis tentang bahasa.
4 Inyak Ridwaan Munzir, Hermenutika Filosofis Hans-Georg Gadamer (Yogyakarta: AR
RUZZ MEDIA, 2010), h. 40-44. 5 Sofyan A.P. Kau, “Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsir”, Farabi V
11, no 1. (Juni 2014): h, 5. 6 Truth and Method adalah karya Gadamer yang telah di terjemahkan kedalam bahasa
Inggris diterjemahkan oleh J. Weinsheirmer dan D.G. Marshall, Truth and Method, (New York:
Seabury Press, 1989). Dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Sahidah,
Kebenaran dan Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010).
49
Adapun karya-karya Hans-Georg Gadamer dalam bahasa Jerman,
diantaranya ialah :
Der Anfong der Philohie. Stuttgart: Reclam, (1996).
Das Erbe Europas: Beitrnge. Frankfurt:Suhrkamp, (1989).
Hermeneutische Entwiirfe. Tubigen: Mohr Siebeck. (2000).
Dan karya-karya Hans-Georg Gadamer yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Inggris, diantaranya ialah:
The Beginning of Philosopy. Translated by Rod Coltman (New York:
Continuum, 1998).
Hegel’s Dialectic: Five Hermeneutical Studies. Translated by F.
Christopher Smith (New Haven: Yale University Press, 1976).
Lectures on Philosophical Hermeneutics (Pretoria: Universiteit van
Pretoria, 1981).
Truth and Method. Translated by J. Weinsheimer and D. G. Marshall
(New York: Seabury Press, 1989).7
3. Pemikiran Hermeneutika Secara Umum
Kehadiran hermeneutika tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan
pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada
awalnya hermeneutika banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dalam
kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia, model ini
dikenal dengan Ilmu Tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutika tidak mutlak hanya
7 Munzir, Hermenutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, h. 58-59.
50
milik kaum penafsir kitab suci saja, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin
ilmu yang luas.8
Josef Bleicher (2007) membagi hermeneutika kedalam tiga bagian yaitu
Teori Hermeneutika, Filsafat Hermeneutika, dan Hermeneutika Kritis. Tiga
bagian tersebut memiliki kajian berbeda.
Teori hermeneutika bertitik pada kajian untuk memahami apa yang
dimaksud dengan konsep hermeneutika, yang selanjutnya dikembangkan oleh
Dilthey. Ia berurusan dengan epistemologi dalam konteks “Critique of Historical
Reason” yang mengusahakan sebuah penelitian transendental atas kondisi-kondisi
mengenai kemungkinan pengetahuan historis dengan mengikuti contoh yang telah
disediakan oleh Kant dalam “Critique of Pure Reason”. Dilthey mempertajam
aspek metodologisnya menjadi interpretasi atas dokumen-dokumen yang secara
linguistik sempurna (Bleicher, 2007).
Filsafat hermeneutika terfokus pada kajian dalam menemukan metode
hermeneutika. Salah satu pandangan utama filsafat hermeneutik menegaskan
bahwa ilmuwan sosial atau interpretator dan obyek yang diinterpretasikan pada
prinsipnya telah dihubungkan oleh sebuah konteks tradisi. Hal ini
mengindikasikan, bahwa ia telah memiliki sebuah pra-pemahaman atas objek
tersebut, sehingga tidak mungkin untuk memulai dengan sebuah pemikiran yang
netral. Filsafat hermeneutika tidak bertujuan mencapai sebuah pengetahuan
objektif dengan menggunakan prosedur-prosedur metodis, melainkan pada
pengungkapan dan deskripsi fenomenologis mengenai Dasein manusia dalam
temporalitas dan historisitasnya (Bleicher, 2007).
8 Ibrahim, ““Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana Metode Tafsir Qur‟an”, h. 26.
51
Hermeneutika kritis mengkaji bagaimana menerapkan konsep
hermeneutika kedalam tindakan praktis. Apel dan Habermas melangkah pada
bidang hermeneutika kritis ini. Mereka mengkombinasikan pendekatan metodik
dan objektif dengan mengusahakan pengetahuan yang secara praktis relevan.
Yang dimaksud “Kritis” di sini secara umum adalah penaksiran atas hubungan-
hubungan yang telah ada dalam pandangan standar yang berasal dari pengetahuan
mengenai sesuatu yang lebih baik yang telah ada sebagai sebuah potensi atau
tendensi di masa kini; ia dituntun oleh prinsip rasio sebagai tuntutan komunikasi
tanpa tekanan dan pembatasan diri (Bleicher, 2007).9
Meskipun terdapat perbedaan kajian, ketiga bidang hermeneutika tersebut
tidak dapat berdiri sendiri, namun memiliki kesatuan historis. Hal ini dilihat dari
pemikir-pemikir hermeneutika yang kajian hermeneutiknya tidak dibatasi oleh
ruang pembagian tersebut. Misalnya, Hans-Goerg Gadamer oleh Josef Bleicher
ditempatkan pada bidang kajian filsafat hermeneutika. Meskipun demikian,
Gadamer juga mengkaji hermeneutika pada bidang kritis dan mengkaji
pemahaman epistimologis hermeneutika. Inilah yang dimaksud dengan kesatuan
historis.
Josef Bleicher menggolongkan Gadamer pada bidang filsafat
hermeneutika, alasannya karena Gadamer menghabiskan banyak waktu dalam
membicarakan pertanyaan, metode apa yang tepat untuk melakukan pemaknaan
9Sembodo Ardi Widodo, “Metode Hermeneutika dalam Pendidikan”, UNISIA V 31, no 70
(Desember 2008): h. 325-326.
52
(penafsiran) terhadap teks, dan bagimana menerapkan pemaknaan. Hal ini dapat
dijumpai pada isi bukunya yang berjudul Truth and Method.10
4. Pemahaman Teks
Problematika mendasar dalam mengkaji hermeneutika adalah problem
penafsiran teks, baik teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karena itu,
persoalan-persoalan yang akan dicoba untuk diselesaikan adalah berbagai
persoalan seputar teks dalam kaitannya dengan tradisi di satu sisi, dengan
pengarang di sisi lain. Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana agar
problem tersebut tidak mengacaukan relasi antara penafsir dengan teks. Relasi
antara penafsir dengan teks ini adalah masalah serius dan merupakan pijakan awal
bagi para filosof hermeneutika.
Teks sebagai hasil komunikasi sebenarnya muncul dalam sekali waktu
ketika proses komunikasi terjadi. Namun demikian ketika teks mula-mula muncul
dalam bentuk ucapan diproduksi kembali ke dalam teks tertulis, keberadaan teks
menjadi lebih mapan dan tahan lama. teks dalam bentuk ucapan mudah
mengalami perubahan karena lebih mengandalkan hapalan dan proses
penyebarannya lebih mengandalkan pada peralihan suara, maka teks tertulis
memberikan jaminan keberlangsungan yang lebih mapan dari segi materinya.
Meskipun bentuk materinya sangat dimungkinkan mengalami perubahan juga.11
Memahami teks adalah proses dialogis antara interpertator dengan teks.
Interpretator melakukan komunikasi intensif terhadap teks sebagai objek
interpretatif. Interpretator menyampaikan pertanyaan-pertanyaan penting terhadap
10
Salahudin, “Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Dialogis
Historikalitas Dalam Memahami Teks” (Tesis S2 Fakultas Sosiologi, Universitas Muhamadiyah
Malang, 2011), h. 8-9. 11
Ibrahim, ““Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana Metode Tafsir Qur‟an”, h. 28-29.
53
objek. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut Gadamer harus mampu
mengeksplorasikan hakikat yang ada dibalik teks. Inilah tugas utama interpretator
dalam hermeunitika teks.
“Tugas utama interpretator adalah menemukan pertanyaan yang padanya
sebuah teks menghadirkan jawaban, memahami sebuah teks adalah
memahami pertanyaan. Pada waktu yang sama, sebuah teks hanya menjadi
sebuah objek interpretasi dengan menghadirkan interpretator yang bertanya
(Josef Bleicher,2007:166)”.
Proses tanya jawab yang demikian memungkinkan terjadinya keterbukaan
antara interpretator dengan objek interpretatif. Pertanyaan yang disampaikan oleh
interpretator menjadi hal penting bagi teks untuk mengeluarkan jawaban atas teks
yang dituangkan.12
C. Cakrawala Teks Hadits
Cakrawala teks adalah tebaran pandangan (Gesichtskreis) yang
merangkum dan mencakup segala hal yang dapat dilihat dari suatu titik pandang
terhadap teks-teks. Dalam menganalisa hadits ini, maka cakrawala teks hadits
yang dimakasud adalah wawasan atau gambaran yang terkandung dalam teks
hadits itu sendiri dengan memaknai esensi yang terkandung di dalam hadits.
Hadits yang saya teliti disini mengenai kodrat perempuan yang kekurangan akal
dan juga agamanya. Oleh karena itu, perlu adanya pembuktian dan pemahaman
yang lebih jelas.
12
Salahudin, “Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Dialogis
Historikalitas Dalam Memahami Teks”, h. 17-18.
54
“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Maryam berkata,
telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata, telah
mengabarkan kepadaku Zaid -yaitu Ibnu Aslam- dari 'Iyadl bin 'Abdullah
dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pada hari raya 'Iedul Adlha atau Fitri keluar menuju tempat shalat, beliau
melewati para wanita seraya bersabda: "Wahai para wanita! Hendaklah
kalian bersedekahlah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah
yang paling banyak menghuni neraka." Kami bertanya, "Apa sebabnya
wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "Kalian banyak melaknat dan banyak
mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang
laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian."
Kami bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan
lemahnya agama?" Beliau menjawab: "Bukankah persaksian seorang wanita
setengah dari persaksian laki-laki?" Kami jawab, "Benar." Beliau berkata
lagi: "Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia
sedang haid dia tidak shalat dan puasa?" Kami jawab, "Benar." Beliau
berkata: "Itulah kekurangan agamanya."Telah menceritakan kepada kami
Ibnu Abu Maryam telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far
berkata, telah menceritakan kepada saya Zaid dari 'Iyadh dari Abu Sa'id
radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila (seorang wanita) sedang mengalami haidh, maka dia tidak shalat
dan tidak puasa. Yang demikian itu menunjukkan kurangnya agamanya".
1. Deskripsi Hadist
Dalam memahami hadits perlu dilihat lafadz dan juga makna yang
terkandung di dalamnya. Kata yang saya teliti dalam hadits perempuan
kekurangan akal dan agama ialah lafad “Nisā’, Nuqṣ ān dan „Aql”.
Dalam bahasa Arab perempuan disebut dengan ungkapan “al-Mar’ah”
atau “Imra’ah” selain itu disebut pula “an-Nisā” atau “Niswah”. 14
Nisā‟ adalah bentuk jama‟ dari kata mar’ah yang berarti perempuan. Kata
nisā‟pada dasarnya berasal dari kata kerja nasa-yansu yang berarti meninggalkan,
yaitu meninggalkan masa kanak-kanak kemudian dewasa dan menjadi ibu. Oleh
13
Muḥ ammad bin Ismā‟il al- Bukhārī , Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī (Damaskus: Dāru Ṭ hauq al-
Najah, 1442 H), Jilid I, h. 68. 14
Marwati, “Pemberdayaan Perempuan (Kajian Tafsir al-Qur‟an surah an-Nisa ayat 1)” ,
Adabiyah V 15, no. 2 (2015): h, 103.
55
karena itu, kata ini biasanya diterjemahkan dengan istri atau perempuan yang
sudah berkeluarga. Sebagaimana imra’ah, kata an- Nisā’ tidak pernah digunakan
untuk perempuan di bawah umur. Bahkan kedua kata ini lebih banyak digunakan
dalam kaitan tugas reproduksi.
Di samping kata nisā‟, al-Qur‟an juga menggunakan kata niswah yang
juga berarti perempuan. Keduanya menunjukkan jama‟, dalam al-Qur‟an kata
nisā’ disebut sebanyak 57 kali, tersebar dalam beberapa ayat dan surah,
sedangkan kata niswah disebut 2 kali, yaitu pada QS. Yūsuf /12: 30 dan 50.
Walaupun kedua kata nisā’ dan niswah itu berasal dari akar kata yang sama,
namun dalam pengertian dan penggunaannya dalam al-Qur‟an terdapat perbedaan.
Perbedaan itu diantaranya sebagai berikut: Pertama, dari segi pengertian kata nisā‟
digunakan untuk menyatakan wanita di dalam jumlah yang lebih kecil, sedangkan
kata niswah digunakan untuk menyatakan wanita di dalam jumlah yang lebih
besar. Ath-Thabārī, ketika menafsirkan kata niswah di dalam QS. Yūsuf/12: 30,
menerangkan bahwa niswah adalah jamā’ah min an-nisā’ (sekelompok besar
wanita). Kedua kata nisā‟ digunakan di dalam konteks pembicaraan tentang
perempuan secara umum, sedangkan kata niswah digunakan al-Qur‟an dalam
konteks pembicaraan tentang perempuan-perempuan pada masa Nabi Yusuf as.
Dalam al-Qur‟an kata nisā‟ pada umumnya diungkap dalam konteks pembicaraan
tentang perkawinan, hubungan suami-istri, perceraian atau talak, pewarisan, dan
soal aurat atau kesopanan. Karena itu hanya perempuan dewasa yang sudah
berkewajiban menutup aurta.15
15
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir QS, An-Nisa’ [4]: 34-35 Menurut Beberapa Mufasir.
Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 2-3.
56
Sedangkan lafadz nuqṣ ān sendiri adalah bentuk maṣ dar dari kata naqasā
dalam kitab Lisān al-Arab disebutkan qadr al-syai’ al-dzāhib min al-manqūṣ
yang artinya kadar sesuatu yang hilang dari sesuatu yang dikurangi, sedangkan
bentuk masdar yang lainnya adalah Naqsān dan Naqīsātan,16
Adapun makna lain
dari lafad Nuqsān ialah sesuatu yang hilang setelah ia sempurna17
.
Kemudian kata Al-‘Aql merupakan maṣ hdar dari kata „aqala-ya’qilu-
‘aqlan-wama’qūlan yang diartikan dalam Kamus Bahasa Arab disebut dengan tali
pengikat, pikiran, ingatan, paham dan rasio18
. Menurut Ibn Manzūr dinamakan
„aql karena mencegah pemiliknya dari keadaan kosong, ‘aql juga sebagai
pembeda antara manusia dan semua jenis binatang. „aql secara bahasa pengikat
atau penghalang. Maka dari itu, kita dapati dalam al-Qur‟ān menggunakannya
sebagai “Sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam
kesalahan atau dosa”. Oleh sebab itu, dalam kitab Lisān al-Arab kata „aqil
disebutkan sebagai orang yang menjaga diri atau menjauhkan diri dari hawa nafsu
dan perbuatan tercela19
. Dapat diartikan bahwa orang yang berakal ialah orang
yang dapat menahan amarahnya, mengendalikan hawa nafsunya sehingga dapat
mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam setiap persoalan yang
dihadapinya. Orang-orang yang berfikir atau berakal sering juga disebut sebagai
Ulil AlBāb dan al-Qur‟an pun memberikan pujian pada mereka yang tidak hanya
terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi kaum perempuan juga. Hal ini menunjukan
16
Ibn Manzūr, Lisān al-Arab, Jilid VIII (Qairo: Dār al-Ḥadīts, 2013), h. 675 17
Murtadhā al-Zabīdī, Tāj al-Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, Jilid XVIII (tpn: Dār al-Hidāyah,
tt), h. 189 18
Achmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h. 957. 19
Manzūr, Lisān al-Arab, Jilid IV, h. 3046.
57
bahwa kaum perempuan juga dapat berfikir, mengingat, memahami, mempelajari
dan kemudian mengamalkan seperti kaum laki-laki.
2. Historikalitas Hadits
Point pertama. Sejarah status dan tradisi perempuan di jazirah Arab
sebelum datangnya Islam sama halnya dengan status perempuan di luar jazirah
Arab. Status perempuan pada dasarnya tidak lebih baik dari peradaban dan
agama-agama yang sudah ada. Berbagai literatur sejarah menceritakan bahwa
nasib perempuan sebelum datangnya Islam tidak pernah mendapatkan warisan
dari manapun, termasuk dari keluarga dekatnya seperti ayah, suami, anak atau
saudara laki-lakinya.20
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya
masyarakat pada masa tersebut tidak memberikan perhatian khusus kepada
perempuan. Terlebih dalam hal waris perempuan dan anak-anak tidak memiliki
hak waris, hak waris mutlak diberikan kepada laki-laki yang memiliki kekuatan
untuk berperang. Selain perempuan tidak memiliki hak waris, perempuan juga
bisa dijadikan barang warisan. Perempuan masuk kelompok hak kekayaan
(property) yang dapat diwariskan, sama halnya dengan hak kepemilikan benda-
benda lain.21
Seperti pada umumnya masyarakat dikawasan Timur Tengah pada
saat itu menganut sistem patriarki. Otoritas bapak atau suami menempati posisi
yang dominan dan peranannya penting di dalam keluarga.22
Kontinuitas budaya bangsa Arab pra-Islam menurut Lapidus terjadi dalam
berbagai bidang, seperti struktur keluarga dan ideologi patriarki. Keluarga
20
Nasaruddin Umar, Fiqih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010),
h. 135. 21
Zakiyah, ”Re-Interpretasi Hdis Perempuan Mayoriytas Penghuni Neraka (Kajian Hadis
Misoginis)”, h. 33-34. 22
Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h. 128-129.
58
masyarakat Arab pra-Islam dapat dibedakan atas lima bentuk, yaitu: kabilah,
subkabilah, suku, keluarga besar, dan keluarga kecil. Namun, apapun nama dan
bentuk kesatuan sosialnya, kedudukan laki-laki di dalam lima kelompok
masyarakat tersebut tetap sentral sifatnya. Segala kebijakan prinsip baik dalam
lingkungan keluarga terkecil sampai kepada lingkungan kelompok terbesar berada
ditangan laki-laki. Sebaliknya, kaum perempuan berada pada posisi yang
subordinatif. Yang bertindak sebagai pimpinan dalam kelompok-kelompok
tersebut adalah laki-laki.23
Point kedua. Setelah Islam datang derajat kaum perempuan menjadi lebih
baik, mereka dihormati, dimuliakan, dan diberikan kedudukan yang sejajar
dengan kaum laki-laki. Terbukti Pada zaman Nabi banyak sekali sahabat
perempuan yang pintar dan juga cerdas, perempuan pada masa Nabi memiliki
peran yang penting dalam periwayatan hadis. Bahkan sepanjang sejarah
periwayatan hadis, masa Nabi adalah masa dimana jumlah perempuan periwayat
hadis memiliki jumlah yang paling banyak. Diantaranya 'Aisyah dan Ummu
Salamah, beliau adalah isteri Nabi yang paling banyakmeriwayatkan hadis. Selain
para isteri Nabi, beberapa sahabat perempuan juga tercatat sebagai periwayat
hadis, seperti Zainab binti Abī Salamah, Asma' binti Abū bakar, Ummu 'Athiyah,
Fathimah binti Abī Thalib atau Ummu Hani', Fathimah binti Qays dan
sebagainya.24
Perempuan-perempuan lainnya di kubu Muslim disebut-sebut
sebagai perawat mereka yang terluka, memindahkan mereka yang gugur dan
23
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an (Jakarta:
Penerbit Paramadina, 2001), h. 124-125. 24
Atiyatul Ulya, Proposal Penelitian "Pembacaan Ulang Kualitas Matan Hadis Perempuan
Lemah Akalnya" Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
59
terluka dari medan perang.25
Tokoh Umarah pun menjadi sorotan, ia juga turut
bertempur dalam sebuah peranng dikubu Muslim bersama suami dan anak-
ankanya. Keberanian dan kemahirannya dalalm menggunakan senjata membuat
Nabi tahu bahwa ia lebih hebat dari kebanyakan laki-laki.26
Dengan demikian
laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan dan kewajiban yang sama yang
menjadi pembeda adalah ketaqwaannya, sebagaimana telah dijelaskan dalam
surah al-Hujurāt/49:13. Karna pada dasarnya prinsip universal Islam menyuarakan
nilai-nilai kesetaraan (Al-Musawah), pembebasan (Al-Hurriyah), anti kekerasan
(Al-Salam), toleransi (Al-Tasamuh), solidaritas kemanusiaan (Al-Ukhuwwah Al-
Basyariyah), cinta dan kasih sayang (Al-Mahabbah).27
Point ketiga. Taqwa sendiri dapat dipahami sebagai prilaku untuk selalu
menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya, sebagai balasannya
Allah menjanjikan syurga bagi orang-orang yang bertaqwa. Begitupun sebaliknya
Allah telah menyiapkan neraka bagi orang-orang yang tidak bertaqwa kepada
Allah. Penghuninya terdiri dari para pelaku maksiat, kezaliman dan seumpama
dengan itu. Neraka digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan kesengsaraan
tanpa kesudahan dan pengurangan. Neraka disimpulkan sebagai tempat yang
penuh dengan keburukan tanpa ada sedikitpun di dalamnya kebaikan. Kata al-
Nar ialah sesuatu yang membakar, dan selalu memiliki kesan dengan menyala
(lahib) serta dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Kata al-Nar juga
25
Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000),
h. 62. 26
Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000),
h.. 85. 27
Munawir Haris, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam”, Analisis: Jurnal Studi
Keislaman V 5, no. 1 (Juni 2015): h, 83.
60
memiliki sifat panas28
, seperti dapat dilansir dari surah al-Baqarah/2:24.
“peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang
disediakan bagi orangorang kafir”.
Point keempat. Hadits tentang kodrat perempuan kekurangan akal dan
agama, disebebkan karna prilaku tidak taqwa sehingga menyebabkannya menjadi
penghuni neraka. Diantaranya tidak melaksanakan perintah agama seperti
sedekah, puasa, shalat, dan memperbanyak istighfar. Serta melakukan
pelanggaran yang dilarang seperti melaknat suami, dan tidak mensyukuri
pemeberian suami. Kedua prilaku tersebut dilakukan karena kurang pengetahuan
agama dan kurang dalam penggunaan akal, sebab tidak shalat dan puasa diwaktu
haidh merupakan perintah dari agama. Sebagaimana yang dijelaskan oleh An-
Nawawi dalam al-Majmū’, berkata juga Abu Ja‟far dalam kitabnya Ikhtilāfu al-
Fuqahā berkata: “ para ulama sepakat bahwasanya perempuan yang sedang
berhalangan wajib untuk meninggalkan shalat yang fardhu maupun yang sunah,
menjauhi semua puasa wajib maupun puasa sunah, serta mengabaikan semua
thawaf yang wajib maupun yang sunah. Kalaupun ia mengerjakan shalat, puasa
atau thawaf, maka hal itu tetap tidak bisa menggantikan yang diwajibkan atasnya
(pada saat tidak haidh). Begitupun dalam al-Muhallā ddikatakan: “ larangan
mengerjakan shalat, puasa, thawaf, dan bersetubuh dalam masa haidh adalah ijma‟
yang diyakini dan pasti. Tidak ada perselisihana diantara umat Islam pada
28
Deddy Ilyas, “Antara Surga dan Neraka: Menanti Kehidupan nan Kekal Bermula”, Jia
V 14, no. 2 (Desember 2013): h, 171.
61
masalah ini”.29
oleh karena itu, seseorang yang meninggalkan shalat dan puasa
diwatu haidh bukan termaasuk dosa besar. orang yang bertaqwa. Begitupula
kedudukan dua orang perempuan sebagai saksi yang sama dengan satu orang laki-
laki. Hal tersebut menunjukan perbuatan yang bertaqwa karena telah mengerjakan
pekerjaan yang dilarang, sedangkan balasan orang-orang yang bertakwa ialah
mendaptkan surga yang telah dijanjikan dan disediakan oleh Allah. Dengan
demikian kasus persaksian dua orang perempuan dan tidak mengerjakan shalat
serta puasa diwaktu haidh menggambarkan bahwa perempuan yang diajak bicara
oleh Nabi saat itu kurang pengetahuan akan agama dan kurang akal penggunaan
akal. Karena menurut Zaitunah Subhah pada masa itu perempuan masih sedikit
sekali yang berkemampuan, berkreasi, dan ini dapat dimaklumi karena wanita
baru mendapat kebebasan untuk hidup (dihargai sebagai manusia), yaitu sejak
Nabi Muhammad menjadi Rasul utusan Allah.
Point kelima, Mengenai sebab turunnya hadits perempuan kekurangan
akal dan agama tidak ada asbab al-wurud yang jelas, Nabi menyampaikan hadits
tersebut ketika hari Raya Id. Namun, ada keraguan dari perawi apakah dihari Raya
Id al-Fitri atau Id al-Adha.30
Dalam kitab Fatḥ ul Bārī dijelaskan bahwa Nabi
hendak melaksanakan shalat di hari Raya, ketika Nabi melewati kerumunan
perempuan. Pada waktu itu Nabi berjanji untuk memberikan khutbah khusus bagi
perempuan, dan pada saat itu Nabi menepati janjinya untuk memberikan nasihat
serta kabar gembira bagi kaum perempuan. Hadits tersebut diawali dengan
29
Syaikh Husain bin „Audah al-„Awaisyah, Ensiklopedi Fiqih Praktis Menurut al-Qur’an
dan as-Sunnah. Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari dkk (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2009), h.
226-227. 30
Burhanuddīn bin Hamzah al-Damaski, Al-Bayān wa al-Ta’rīf fī Asbab al-Wurūd Al-
Hadits Al-Syarīf (Beirut: Dar al-Kitāb al-A‟rābi, tth), Jilid I, h. 306.
62
pernyataan Nabi yang memerintahkan untuk bersedekah kepada para perempuan
yang sedang berkumpul pada hari Raya Id31
. Adapun keadaan pada saat itu sudah
sangat mendesak, dan ketika Nabi khutbah dihari Raya Id beliau memerintahkan
kepada para perempuan untuk bersedekah. Karena pada saat itu sedekah
merupakan kebaikan yang paling utama. Kemudian perintah untuk bersedekah
tersebut dilanjutkan dengan cerita surga dan neraka yang Nabi lihat ketika
peristiwa isra’ dan mi’raj32
. Perkataan Nabi tersebut seolah menjadi bentuk
pernyataan agar kaum perempuan pada saat itu lebih memperhatikan sekaligus
menggugah kaum perempuan untuk bersedekah.33
Abū Syuqqah memberikan penjelasan yang cukup menarik mengenai
bagaimana memahami hadits perempuan kekurangan akal dan agama.
Menurutnya, hadits tersebut memiliki konteks khusus yang tidak bisa
digeneralisasikan begitu saja. Abū Syuqqah juga menegaskan bahwa hadits itu di
nyatakan Nabi pada hari Raya Idul Fitri, yakni ketika Nabi bersama para sahabat
sedang bercakap-cakap di dalam masjid setelah menunaikan shalat Ied. Dalam
suasana Ied seperti itu, tidak mungkin Nabi secara sengaja mengungkapkan kata-
kata yang menyakiti umatnya, termaksud dalam hal ini adalah menyakiti kaum
perempuan. Apalagi dalam prilaku keseharian Nabi dikenal sangat santun dalam
memperlakukan istri dan anak-anak perempuannya.
Abū Syuqqah juga memandang, bahwa dari segi audiens atau orang-orang
yang mendengarkan perkataan Nabi, hadits tersebut ditunjukan kepada para
31
Ibnu Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ ul Bārī (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), Jilid IV, h. 53. 32
al-Asqalānī, Fatḥ ul Bārī, Jilid III, h. 508. 33
Ulfah Zakiyah, ”Re-Interpretasi Hdis Perempuan Mayoriytas Penghuni Neraka (Kajian
Hadis Misoginis)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 73-74.
63
perempuan Anshar yang pada umumnya dikenal berani dan pandai berbicara. Abū
Syuqqah menceritakan bahwa sifat yang demikian sempat mengusik hati Umar
bin Khattab. Umar mengkhawatirkan bahwa para perempuan Muhajirin ikut
meniru perangai mereka. Dengan melihat karakter audiens yang demikian, Nabi
mengucapkan hadits tersebut untuk menjadi peringatan bagi perempuan yang
pandai berbicara, khususnya perempuan Anshar. Itulah alasan yang membuat
Nabi mengatakan hal demikian kepada kaum perempuan.
D. Cakrawala Pembaca
1. Kesadaran Akan Sejarah Diri
Saya Lia Andriyani lahir di Desa Gelam Jaya dan kuliah di Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, berbicara tentang perempuan dalam
kajian agama bukanlah kajian yang baru. Jika melihat realitas zaman sekarang,
banyak kaum perempuan yang memiliki kecerdasan melebihi kaum laki-laki.
Dimana konteks perempuan sekaranng mengalami pergeseran, perempuan saat ini
lebih aktif dan dapat bebas bersaing dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan.
Sehingga dapat membedakan mana prilaku yang baik yang dapat berguna bagi
dirinya sendiri dan orang lain serta prilaku yang buruk yang dapat merugikan
dirinya sendiri dan orang lain, bahkan perempuan saat ini berlomba-lomba untuk
mendapatkan pendidikan yang layak dan baik untuk dapat meraih apa yang ia
cita-citakan. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan saat ini lebih diakui
keberadaannya dan kebebasan dalam memilih.
Hal tersebut terbukti dengan adanya Undang-Undang Repubik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2004 untuk mengatur dan melindungi kaum perempun, dan
64
adanya gerakan-gerakan feminisme serta konferensi-konferensi PBB yang
meratifasi anti diskrimani dan penyamaan hak dan kesempatan dalam berbagai
bidang. Terbukti Pada tahun 1975 diadakan deklarasi konferensi PBB dengan
tema Women In Development (WID), yaitu memprioritaskan pembangunan bagi
perempuan yang dikembangkan dengan mengintegrasi perempuan dalam
pembangunan. Kemudian pada tahun 1980 tema WID diubah menjadi Women and
Development (WAD), karena di dalam studi menunjukan bahwa kualitas
kesetaraan lebih penting daripada kuantitas. Pada tahun 1981 diberlakukan
Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts
Women (ICEDAW) sebuah kesepakatan hak asasi internasional yang secara
khusus mengatur hak-hak perempuan . Kemudian pada tahun 1992 dan 1993
dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development
(GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara
perempuan dan laki-laki, dan pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan The
Millenium Development Goals (MDGs) yang memproklamasikan kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi
kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang
sungguh-sungguh dan berkelanjutan.
Adanya paham-paham misoginis atau unsur-unsur kebencian banyak
ditemukan dalam literatur keagamaan, sehingga paham misoginis tersebut
digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir
memojokkan dan merendahkan derajat perempuan Adanya teks-teks tersebut
65
merupakan respon atas masyarakat pada saat Nabi yang berbudaya patriarkhi dan
menindas perempuan.
Mengenai faktor biologis dan fisiologis perempuan dan laki-laki memiliki
perbedaan. Secara fisiologis, kaum perempuan memang diciptakan Allah dengan
struktur anatomi tubuh khusus yang berbeda dengan laki-laki. Pada perempuan
harus terjadi proses pendarahan sebagai lahan untuk terjadinya pembuahan dalam
rangka keberlangsungan hidup generasi manusia. Dengan demikian menstruasi
atau haidh merupakan sesuatu di luar kehendak kaum perempuan yang sudah
menjadi suratan takdir yang telah diberikan oleh Allah kepada kaum perempuan.
Hasil riset pakar biologi dan anatomi membuktikan bahwa pada masa
haidh, wanita mengalami beberapa perubahan sebagai berikut:
1. Daya tahan suhu tubuh semakin menurun sehingga suhu dan temperature
tubuhnya rendah.
2. Denyut jantung semakin pelan, tekanan darah menurun, dan sel-sel darah
merahnya berkurang.
3. Alat cerna terganggu, pita suara mengalami perubahan, dan kekuatan tarikan
nafas melemah.
4. Indera perasa melemah, anggota tubuh terasa tak bergairah.
5. Ingatan berkurang, sementara pemusatan pikiran bertambah.
Semua perubahan ini membuat perempuan yang awalnya sehat pun
seolah-olah sedang sakit dan berpengaruh bagi kejiwaan perempuan. Dengan
adanya dispensasi untuk tidak shalat dan tidak puasa, hal tersebut membuat
perempuan merasakan kenyamanan, dan inilah letak keadilannya. Sehingga wajar
66
saja jika Allah memutuskan hukum terebut sebagai keringanan yang harus
disyukuri.
Selain merasakan efek samping yang kurang nyaman, ternyata pasca haidh
memiliki dampak yang baik bagi kesehatan tubuh. Petama, membersihkan
tubuh. Siklus menstruasi yang berjalan normal setiap bulan sangat berguna untuk
membersihkan tubuh dari berbagai macam organisme seperti bakteri. Kedua,
mempengaruhi penampilan. Pengaruh hormonal pada waktu menstruasi akan
memberikan dampak positif setelah menstruasi. Ketiga, membuat kondisi tubuh
lebih sehat. Proses menstruasi akan membantu menyeimbangkan kadar zat besi di
dalam tubuh sehingga akan membuat kondisi tubuh tetap bugar dan berstamina.
Keempat, menjaga berat badan ideal. Manfaat menstruasi yang selanjutnya yaitu
untuk menjaga berat badan supaya tetap ideal. Kelima, menstabilkan kondisi
tubuh. Menstruasi merupakan salah satu tanda bahwa hormone-hormon di dalam
tubuh tetap seimbang sehingga hal ini menjadi indikator kesehatan.
Sedangkan perbedaan biologis yang terjadi antara laki-laki dan perempuan
sebagai berikut:
1. Emosi, Salah satu hal paling jelas mengenai perbedaan antara pria dan wanita
adalah emosi. Wanita mempunyai sistem limbik (struktur neural di otak terkait
emosi) yang lebih besar daripada pria, hal ini memperbolehkan mereka untuk
lebih "mendalami" perasaan mereka dan lebih baik mengekspresikan diri
mereka.
2. Rasa Sakit, Wanita dan pria mempersepsikan rasa sakit dalam arti yang
berbeda. Studi menunjukkan bahwa wanita lebih membutuhkan morfin lebih
banyak daripada pria untuk mengurangi rasa sakit dalam tingkat yang sama.
67
3. Kinerja Otak, Seperti yang kita ketahui bahwa otak manusia dapat dibagi
menjadi dua bagian, yakni otak kiri dan otak kanan. Dimana otak kiri terkait
dengan fungsi logika dan perhitungan sedangkan otak kanan terkait dengan
fungsi kreativitas dan emosi. Hasil penelitian disebutkan bahwa pria lebih kuat
terkait dengan penggunaan otak kiri sedangkan wanita lebih mengarah ke otak
kanan hal inilah kenapa pria lebih berorientasi tugas dalam memecahkan
masalah, sedangkan wanita lebih memecahkannya secara kreatif.
2. Pra-Pemahaman (Praduga Pemahaman)
Praduga penulis ketika membaca dan meneliti hadits Nabi yang
menyebutkan kodrat perempuan kekurangan akal dan agama, merupakan salah
satu hadits yang mengandung unsur-unsur misoginis. Karena hadits tersebut
mengandung faktor kebencian terhadap perempuan bahkan merendahkan derajat
dan kedudukan perempuuan, perempuan sering dianggap sebagai suatu musibah
atau kesialan yang sangat besar. Pada zaman dahulu banyak bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup, perempuan dianggap sebagai makhluk yang paling hina dan
banyak memiliki kekurangan. Dianataranya kekurangan akal dan kekurangan
agama, kekurangan akal pada perempuan berupa persaksian. Sehingga perempuan
tidak bisa dijadikan saksi yang valid dalam memecahkan suatu permasalahan.
Oleh karena itu, dalam hal persaksin kesaksian dua orang perempuan setara
dengan kesaksian seorang laki-laki. Secara tidak langsung laki-laki memiliki
kemampuan diatas perempuan, sehingga kemampuan perempuan dianggap jauh
lebih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Begitupun dalam hal keagamaan,
perempuan dianggap memiliki kekurangan dalam beribadah karena perempuan
memiliki fase menstrulasi yang dianggap sebagai musibah yang ada dalam diri
68
perempuan. Diamana pada masa menstrulasi perempuan dilarang untuk
melaksanakan ibadah „Amaliyah seperti shalat dan juga puasa, sehingga apabila
dibadingkan ibadah perempuan jauh lebih berkurang dibandingkan dengan ibadah
yang dilakukan laki-laki. Dengan demikian hal tersebut dipahami sebagai bentuk
kerugian yang dimiliki oleh kaum perempuan.
E. Peleburan Cakrawala
Adapun peleburan cakrawala yang dihasilkan dari peleburan cakrawala
teks dengan cakrawala pembaca, menghasilkan beberapa pemahaman yang dapat
dipahami oleh pembaca.
Peleburan pertama, perempuan pada masa jahiliyah tidak dihormati,
dibunuh hidup-hidup dan tidak diberikan warisan. kemudian pada saat Rasul
perempuan diangkat derajatnya, dilindungi dan dimuliakan. Sedangkan realitas
kehidupan perempuan saat ini lebih diakui keberadaannya, dihormati, dilindungi
bahkan dimuliakan. Dimana perempuan memiliki derajat yang sama dengan
derajat laki-laki, yang membedakannya hanyalah tingkat ketaqwaan. Sebab
kepatuhan terhadap perintah Allah merupakan iman yang tertinggi, sedangkan
Islam sendiri artinya ialah ketundukan, kepatuhan, dan kepasrahan pada Allah.
Oleh karena itu, orang yang tinggi tingkat kepatuhannya menandakan kualitas
iman yang baik.
Peleburan kedua. Penyebab perempuan masuk neraka karena prilaku
kurang baik (tidak bertaqwa) yang terimplementasi dari prilaku-prilaku yang
buruk, karena dapat merugikan dirinya maupun orang lain. Diantara prilaku
perempuan yang paling banyak menjadi penghuni neraka dalam hadits Nabi
69
tersebut, karena prilaku yang sering melaknat orang lain serta mengingkari
pemberian suami (tidak bersyukur). Inilah yang menjadi alasan Nabi
mengucapkan hadits tersebut, sebab pada saat itu perempuan anshar dikenal
sebagai perempuan yang pemberani dan pandai berbicara, dan sempat mengusik
hati Umar bin Khattab. Sedangkan perempuan pada saat ini sering terbawa emosi,
alih-alih menahannya perempuan lebih suka mengeluarkannya dengan bentuk
umpatan atau makian. Dengan demikian. prilaku perempuan pada masa lalu dan
sekarang memiliki kesamaan. sehingga prilaku inilah yang menyebabkan
perempuan menjadi penghuni neraka.
Peleburan ketiga. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits tersebut,
bahwa tidak shalat dan puasa merupakan bentuk kekurangan yang ada dalam diri
perempuan. Namun tidak shalat dan tidak puasa diwaktu haid tidak
mengakibatkan perempuan menjadi penghuni neraka, Justru sebaliknya, tidak
melaksanakan shalat dan puasa diwaktu haidh menyebabkan perempuan masuk ke
dalam syurga. Jika dipahami tidak logis perempuan masuk neraka berdasarkan
prilaku yang suka meninggalkan shalat dan puasa diwaktu datangnya haidh.
Karena hal tersebut merupakan larangan yang telah diperintahkan oleh Allah, dan
menjadi bukti kemuliaan kodrat perempuan serta kelebihan yang dimiliki
perempuan. Sedangkan makna kekurangan akal dan agama pada perempuan
tersebut akibat dari prilaku yang tidak bertaqwa, karena disebabkan kurang
pengetahuan agama dan kurang penggunaan akal.
70
F. Tinjauan Kritis Pemahaman Hadits Perempuan Kekurangan Akal dan
Agama
Sebelum membaca dan meneliti hadits tentang perempuan kekurangan
akal dan agama, penulis membaca dan merangkum buku “Perempuan Tertisdas?
Kajian Atas Hadits-Hadits Misoginis” yang ditulis oleh Hamim Ilyas dkk. Salah
satunya penelitian hadits tentang kodrat perempuan kekurangan akal dan agama
yang diteliti oleh Hamim Ilyas. Adapun metode analisis yang ia pakai dalam
mengkaji hadits Nabi tersebut ialah dengan metode takhrij hadits, yaitu dengan
meneliti hadits dari segi sanad maupun matan. Setelah diteliti hadits perempuan
kekurangan akal dan agama diriwayatkan dalam enam kitab hadits seperti al-
Bukhārī, Muslim, Aḥ mad bin Hambal, Ibn Mājah, Abū Dāwud, dan At-Tirmīzi.
Dari hasil penelitiannya melalui jalur sanad hadits, bisa diketahui hadits yang
menyebutkan kekurangan akal dan agama pada perempuan nilainya saḥ iḥ .
Kesaḥ iḥ an hadits itu menurut hirarki hadits-hadits saḥ iḥ yang dikemukakan an-
Nawawi berada pada tingkatan yang pertama, karena diriwayatkan oleh Bukhāri
dan Muslim, yang kitab himpunan hadits keduanya diakui sebagai kitab hadits
yang paling saḥ iḥ dan otoritatif dibandingkan dengan himpunan-himpunan kitab
hadits lain. Kemudian ia dapati jumlah periwayat dari kalangan sahabat Nabi
terdiri dari tiga orang, dan dari kalangan generasi berikutnya meningkat yaitu
lebih dari tiga. Hadits tersebut termasuk hadits yang mustafid yang derajat
kesaḥ iḥ an nya hanya berbeda satu tingkat dibawah hadits mutawatir. Oleh
karena itu, apa yang diungkapkan oleh hadits, tidak bisa harus diterima sebagai
fakta sejarah yang benar-benar terjadi dimasa Nabi.
71
Sedangkan bagian awal matan, Hamim Ilyas menjelaskan situasi makro
dari hadis tersebut bahwa Nabi menyatakan sabdanya itu dijalan ketika beliau
menuju lapangan untuk melakukan salat Idul Adha. Kedua shalat sunat ini
disyariatkan setelah hijrah, hal tersebut menujukan kalau nabi melakukan dialog
itu di salah satu jalan di Madinah. Jalan-jalan di Madinah ketika itu, seperti jalan-
jalan dipemukiman yang lain, dulu dan sekarang. Bahkan biasa digunakan baik
oleh laki-laki maupun perempuan untuk duduk-duduk di depan rumah sambil
mengobrol kesana kemari, kebiasaan ini diantaranya melatarbelakangi turunnya
surat an-Nur/24:30-31 yang berisikan perintah kepada kaum Mu‟minin untuk
menundukkan pandangan mata. Kebiasaan itu nampaknya kuat berakar
dikalangan penduduk Madinah, Nabi pernah bermaksud untuk melarang
kebiasaan itu. Namun banyak orang yang berkeberatan, sehingga beliau
membolehkan para sahabat untuk tetap melakukannya dengan syarat mereka harus
mau memenuhi hak-hak jalan. Hak-hak itu disebutkan Nabi diantaranya adalah:
menundukkan pandangan mata, menahan diri dari menyakiti pihak lain,
menjawab salam, menganjurkan yang ma‟ruf dan melarang yang munkar.
Riwayat tersebut dapat kita lihat di dalam riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, dan
Abu Dawud dari Abu Sa‟id al-Khudri).
Berkaitan dengan ini ada kekosongan informasi tentang perempuan-
perempuan yang dijumpai Nabi di jalan itu, apakah mereka itu sedang duduk-
duduk didepan rumah, sedang lewat atau sedang melakukan kegiatan yang lain.
Mengingat kuatnya kebiasaan itu, nampaknya mereka itu sedang duduk.
Pertanyaannya kemudian adalah apa saja yang mereka bicarakan dalam keisengan
itu.
72
Tidak ada informasi yang jelas mengenai hal tersebut, namun dalam hadis itu
sendiri ada petunjuk yang bisa digunakan untuk dijadikan petunjuk informasi
bahwa mereka yang melakukan kebiasaan tersebut sering terbawa oleh situasi.
Sehingga mereka tidak bisa memenuhi hak-hak jalan yang disebutkan dalam hadis
dari Abu Sa‟id al-Khudri tersebut. Bukannya mereka menahan pandangan mata
tetapi malah mengumbarnya, bahkan juga mengumbar mulut mereka untuk
menggunjing dan menyoraki orang-orang yang lewat. Mereka yang dijumpai Nabi
dijalan itu nampaknya juga tidak bisa memenuhi harapan toleransi Nabi dengan
melaksanakan etika duduk-duduk dijalan yang beliau ajarkan. Jelaslah bahwa
kekurangan akal dan agama tersebut bukan merupakan kodrat perempuan, tapi
merupakan nasihat atau kritik terhadap perempuan-perempuan di zaman Nabi
yang memiliki perilaku tertentu. Bila penerapan pandangan itu diperluas, maka
orang-orang yang bisa dinilai seperti itu bukan hanya perempuan saja. Tapi juga
orang-orang lain yang memiliki perilaku yang sama dengan perilaku mereka, baik
perempuan maupun laki-laki.
Sedangkan analisis yang dilakukan Abū Syuqqah atas teks hadits tersebut
belum tuntas, ia meneliti hadits tersebut hanya sebatas pada historikalitas teks
dengan melihat sebab yang melatabelakangi turunnya hadits tersebut dan melihat
realitas kehidupan perempuan pada masa itu. Namun Abū Syuqqah memberikan
penjelasan yang cukup menarik mengenai bagaimana memahami hadits
perempuan kekurangan akal dan agama. Menurutnya, hadits tersebut memiliki
konteks khusus yang tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Abū Syuqqah juga
menegaskan bahwa hadits itu di nyatakan Nabi pada hari Raya Idul Fitri, yakni
ketika Nabi bersama para sahabat sedang bercakap-cakap di dalam masjid setelah
73
menunaikan shalat Ied. Dalam suasana Ied seperti itu, tidak mungkin Nabi secara
sengaja mengungkapkan kata-kata yang menyakiti umatnya, termaksud dalam hal
ini adalah menyakiti kaum perempuan. Apalagi dalam prilaku keseharian Nabi
dikenal sangat santun dalam memperlakukan istri dan anak-anak perempuannya.
Abū Syuqqah juga memandang, bahwa dari segi audiens atau orang-orang
yang mendengarkan perkataan Nabi, hadits tersebut ditunjukan kepada para
perempuan Anshar yang pada umumnya dikenal berani dan pandai berbicara. Abū
Syuqqah menceritakan bahwa sifat yang demikian sempat mengusik hati Umar
bin Khattab. Umar mengkhawatirkan bahwa para perempuan Muhajirin ikut
meniru perangai mereka. Dengan melihat karakter audiens yang demikian, Nabi
mengucapkan hadits tersebut untuk menjadi peringatan bagi perempuan yang
pandai berbicara, khususnya perempuan Anshar. Itulah alasan yang membuat
Nabi mengatakan hal demikian kepada kaum perempuan.
Adapun pandangan para ulama tradisional dalam memahami Hadis tentang
kekurangan akal dan agama perempuan cenderung tekstual, hal itu bisa dilihat
dari hasil penafsiran-penafsiran mereka yang menonjolkan supremasi laki-laki
atas perempuan. Adapun pendapat para ulama tradisional ketika memahami
maksud yang terkandung dalam hadits tersebut ialah: Pertama, banyak perempuan
yang menjadi penghuni neraka karena mereka tidak mensyukuri dan berterima
kasih terhadap nafkah yang telah diberikan oleh suami, mereka juga sering
mengumpat dan mencaci maki suami mereka. Ini adalah akibat sifat emosional
perempuan yang lebih mendominasi dari pada akalnya. Kedua, beberapa
kekurangan yang dimiliki perempuan tersebut yang mendorong Rasulullah untuk
menasihati kaum wanita agar banyak beristighfar dan bersedekah sehingga dapat
74
menjadi penyeimbang. Ketiga, maksud kekurangan agama menurut ulama
tradisional adalah ketika perempuan itu haid dan dia harus meninggalkan shalat
dan puasa, maka ini akan mengurangi aktifitas ibadah kaum perempuan. Begitulah
tafsiran yang menjadi pemahaman umum tersebut, sehingga tafsiran tersebut
menjadi kebenaran mutlak dimasyarakat. Sehingga hadits tersebut banyak
dijadikan argumen oleh para ulama tradisional dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟an, di antaranya dapat dijumpai dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓ īm karya Ibn
Katsīr, Fatḥ al-Bārī karya Ibn Ḥajar al-„Asqalānī, Bidāyatul Mujtahid karya Ibn
Rusyd, Tafsīr Aḥ kam al-Qur’ān karya al-Jaṣ ṣ aṣ dan kitab Al-Ṭ uruq al-
Ḥukmiyyah kaya Ibn al-Qayyim, dan masih banyak lagi literatur keagamaan yang
menjadikan hadis tersebut sebagai dalil.
Selanjutnya penelitian Nawang Rofik Kholis yang merupakan salah satu
pemerhati perempuan. Dalam penelitiannya ia tidak hanya meneliti hadits dari
segi sanad maupun matan, ia juga meneliti perbedaan fisiologis dan psikologis
laki-laki dan perempuan. Kajian dari sanad hadist diperoleh dari lima sahabat
yaitu Abu Said Al- Khudri, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurayrah, dan Ibn
Mas‟ud. Dengan banyak sekali jalur periwayatan yang ditulis dalam kitab hadits
mu‟tabar seperti Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī, Ṣ aḥ iḥ Muslim, Tirmīzi, Ibn Mājah dan
Aḥ mad bin Ḥanbal. Dua hadits diriwayatkan Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī dan satu riwayat
dalam Ṣ aḥ iḥ Muslim, sehingga tidak diragukan kesahihannya. Sementara al-
Albāni juga menyatakan hadis riwayat Tirmizi dan Ibn Majah adalah sahih.
Sedangkan kajian dari segi matan hadits, jika hadits ini dipahami secara tekstual
saja tentu kita akan salah memahaminya. Mengapa perempuan disebutkan lebih
banyak masuk neraka, padahal perempuan diciptakan sama seperti lelaki, yaitu
75
tanpa dosa asal. Oleh karena itu, hadits ini harus dipahami bersama-sama dengan
hadits lain yang semakna dengannya. Sehingga ada beberapa hal yang mesti
diperhatikan yaitu: Pertama. Apakah hadits ini berarti perempuan lebih dominan
dikuasai kejahatan dalam fitrah mereka sementara lelaki tidak? Jawabannya tentu
tidak, jika memang kejahatan telah ada pada diri perempuan, tentu mereka tidak
akan diminta pertanggungjawaban darinya. Akan tetapi, hadits tersebut
menyatakan bahwa mereka bertanggung jawab terhadap apa yang mereka
kerjakan sendiri, seperti tidak patuh kepada suami. Kedua. Peringatan Rasulullah
saw dalam hadits ini mudah diterima oleh muslimah pada zaman Rasulullah saw
karena mereka sering mengingat dan diingatkan tentang hari kebangkitan, padang
mahshar, syurga dan neraka. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memahami hadits
ini sesuai suasana masyarakat ketika ia disabdakan. Ketiga. Hadits ini bermanfaat
bagi seluruh kaum muslimin baik lelaki maupun perempuan agar mereka berusaha
sedaya upaya untuk menghindarkan diri dari siksa neraka. Bagi kaum perempuan,
dapat dilakukan dengan memperbanyak sedekah dan meninggalkan sikap durhaka
terhadap suami atau kufur terhadap budi baiknya. Sedangkan bagi lelaki, dengan
memelihara ibu-ibu, istri-istri, puteri- puteri, dan saudari-saudarinya dengan baik.
Dia berkewajiban menyediakan kesempatan yang cukup bagi mereka untuk
mendapatkan pengajaran dan melakukan berbagai ibadah dan ketaatan pada Allah,
agar hati mereka dipenuhi nilai-nilai iman dan taqwa. Sehingga di dalam hadis ini
terdapat anjuran menyampaikan nasihat kepada perempuan sebab nasihat dapat
menghilangkan sifat tercela, sedangkan bersedekah yang dianjurkan kepada
perempuan dapat menghindarkan azab dan menghapuskan dosa yang terjadi
antara para makhluk.
76
Sedangkan penelitian yang dialkukan oleh penulis saat ini, yaitu dengan
melakukan analisis dan penafsiran terhadap teks hadis Rasulullah SAW dengan
menggunakan teori hermeneutika Hans-Georg Gadamer sebagai teori interpretasi
ketika memahami memahami teks hadits Nabi. Dimana hermeneutika Gadamer
merupakan proses produksi, bukan reproduksi. Oleh karena itu, suatu teks
dipahami tidak untuk mencari tau ide-ide penulis saja (proses reproduksi),
melainkan suatu sintesa (proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion
of horizons) yang dilakukan oleh pembaca ketika membaca teks tersebut.
Penulis juga melakukan analisa terhadap cakrawala teks hadits tersebut,
dengan melakukan penelitian terhadap deskripsi teks mengunakan pendekatan
bahasa dan historikalitas teks menggunakan pendekatan kesejarahan. Selanjutnya
melakukan analisa terhadap cakrawala pembaca atau peneliti, tentang kesadaran
akan sejarah dan pra-pemahaman, untuk mendapatkan peleburan cakrawala.
Adapun hasil peleburan tersebut dapat dilihat bahwa realitas perempuan saat ini
dengan saat Rasul memiliki kesamaan. Yaitu sama-sama dilindungi, dihormati,
bahkan dimuliakan yang memjadi pembeda hanyalah tingkat ketaqwaan.
Diceritakan bahwa prilaku kurang baik, seperti banyak melaknat dan tidak
mensyukuri pemberian suami menjadi penyebab perempuan saat itu menjadi
penghuni terbanyak di dalam neraka. Begitupun sebaliknya, perempuan pada saat
ini memiliki peluang yang sama untuk menjadi penghuni neraka apabila ia
melakukan kesalahan yang serupa. Sedangkan tidak shalat dan puasa diwaktu
haidh bukan sebuah dosa atau kekurangan, justru sebaliknya tidak mengerjakan
shalat dan puasa diwaktu haidh merupakan bagian dari kebaikan (taqwa) dan
menjadi bukti kelebihan kodrat perempuan. Dengan demikian dapat disimpulkan
77
kata kekurangan akal dan agama dalam hadits tersebut ditunjukan sebagai
peringatan untuk berprilaku, baik peringatan untuk belajar pengetahuan agama
maupun peringatan dalam penggunaan akal (yang holistik). Serta mennjukan
kemulian kedudukan perempuan, dimana perempuan masa Nabi dan masa
sekarang memiliki kesamaan. Sehingga jika dilihat hadits tersebut masih relevan
sampai saat ini.
Nama Metode Hasil
Tradisional Literal Diterima sebagai fakta kebenaran
Abū Syyuqah Historis Belum tuntas
Hamim Ilyas Kritik Sanad
Historis
Makna
Peringatan (lebih kepada prilaku)
Nawang Rofik
Kholis
Kritik Sanad
Historis
Maksud
Anjuran untuk menyampaikan
nasihat kepada perempuan karena
dapat menghilangkan sifat tercela
dan anjuran untuk bersedekah
kepada perempuan karena dapat
menghindarkan azab dan
menghapuskan dosa yang terjadi
antara para makhluk
Peneliti Fusion of Horizon
Gadamer
1 Horizon
1. Peringatan
a. Prilaku
b. Untuk belajar agama
78
Historis
2 Horizon saat
ini
3 Peleburan
(pengetahua)
c. Penggunaan akal (yang
holistik)
2. Kemuliaan perempuan
3. Perempuan masa lalu dan masa
sekarang sama.
79
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, hadits Nabi tentang
perempuan kekurangan akal dan agama tidak dapat dipahami secara tekstual saja.
Kata kekurangan akal dan agama dalam hadis ini tidak berarti perempuan secara
potensial tidak mampu menyamai atau melampaui prestasi dan kreatifitas akal dan
ibadah laki-laki. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang lebih jauh dalam
melihat hadits perempuan kekurangan akal dan agama, sehingga dapat memahami
maksud Nabi yang sebenarnya dalam hadits tersebut.
Pemakain metode hermeneutika Gadamer dalam memahami hadits yang
bias gender, membantu pembaca untuk memahami hadits lebih dekat dengan apa
yang sebenarnya terjadi atau terkait. Karena metode Gadamer dianggap relevan
dengan model keseimbangan pembacaan secara kompeherensif, dimana pembaca
diberikan ruang untuk ikut berbaur di dalam teks hadits tersebut, terbukti dengan
adanya pra-pemahaman dan fusion of horizon terhadap teks yang dipahami.
Adapun makna kekurangan akal dan agama yang diucapkan Nabi di dalam
hadits ini, bukan menunjukan kodrat perempuan sebagai makhluk yang memiliki
kekurangan. Karena kedudukan perempuan sebagai saksi dan tidak melaksanakan
shalat serta puasa ketika datangnya haidh bukanlah bentuk dari kekurangan atau
kesalahan. Akan tetapi anjuran untuk belajar pengetahuan agama dan penggunaan
akal. Serta senantiasa untuk berprilaku baik, sebab dosa yang paling banyak
menyeret perempuan masuk ke neraka adalah kemaksiatan tehadap suaminya dan
80
pengingkaran terhadap segala kebaikan suaminya. Sehingga penulis memahami
hadits tersebut bukan hanya sekedar peringatan Nabi kepada kaum perempuan.
Akan tetapi, termasuk bukti kemuliaan kedudukan perempuan.
Berdasarkan penjelasan di atas, tidak sedikitpun kita temukan fakta bahwa
terdapat unsur misoginis di dalam hadis Nabi tersebut. Bahkan semua ini semakin
mengukuhkan syari’at Islam sebagai satu-satunya agama yang menjaga dan
mengatur secara terperinci hak-hak setiap individu lelaki maupun wanita, agar
dapat terpenuhi sesuai fitrahnya masing-masing.
B. Saran-Saran
Seperti kutipan dalam Al-Qur’an, bahwa tiada makhluk yang lebih
sempurna dibandingkan Allah SWT. Begitu pula dengan skripsi ini yang sangat
jauh dari kesempurnaan. Berkenaan dengan pembahasan ini bahwasanya masih
banyak yang bisa lebih di eksplor dalam skripsi ini, seperti halnya bagaimana
Islam memahami hadits yang dituduh mengandung unsur-unsur misoginis dan
mengapa hadits tersebut tersebar dalam kajian-kajian keagamaan.
Selain itu, hadits ini berangkat dari kwalitas hadits yang ṣ aḥ iḥ yang
banyak diriwayatkan oleh perawi-perawi hadits. Bahkan hadits ini sering
dipolitisasi untuk dijadikan senjata dalam menjatuhkan kaum tertentu. Oleh
karena itu, untuk penelitian selanjutnya perlu diteliti lebih jauh hadits tentang
“Perempuan Kekurangan Akal dan Agama dalam Perspektif Semiotika”.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahmān, Abdullāh bin al-Dārimī. Musnad al-Dārimī. Saudi Arabiyah: Dāru
al-Mughnī linasyr wa al-Tauzī”, 1412 M
Ahmed, Leila. Wanita dan Gender dalam Islam. Jakarta: PT Lentera Basritama,
2000.
Ahmad, Hasani Said. “Hadis-Hadis Misoginis: Wacana Pemahaman Hadis,
Menggali Akar Sosio-Kultural”, Al-Dzikra V 6, no. 1 (Januari-Juni 2012): h.
4-5.
Ardi, Sembodo Widodo. “Metode Hermeneutik dalam Pendidikan”, UNISIA, V
XXXI, no. 70 (Desember 2008): h. 6.
Esack, Farid. Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme.
Terjemahan Watung A. Budiman. Bandung: Mizan, 2000.
Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 1983.
Faqihuddin, Didin. “Memahami Ayat-Ayat Misogyny dalam Al-Qur’an”,
Musawa, Vol. 2, No 2 (Desember 2010): h. 176-177.
Georg , Hans Gadamer. Kebenaran dan Metode. Yogyakarta: Puataka Pelajar,
2010.
Ibrahim, Sulaiman. “Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana Metode Tafsir Qur’an”
Studia Islamika V 11, No.1, (Juni 2014): h. 26-27.
Al-Ḥajāj. Muslim bin. Jāmi’ Ṣ aḥ iḥ Muslim. Beirut: Dār al-Iḥ yā al-Turās al-
Arabī, t.t.
Hamzah, Burhanudin bin Al-Damaski. Al-Bayān wa al-Ta’rīf fī Asbab al-Wurūd
Al-Hadits Al-Syarīf. Beirut: Dar al-Kitāb al-A’rābi, tt.
Ismā’īl, Muḥ ammad bin Abū Abdillāh al- Bukhārī. Jāmi’ Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī.
Damaskus: Dār Ṭ hauq al-Najah, 1442 H.
Ilyas, Hamim dkk. Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis.
Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008.
Ja’far, Abū Muḥ ammad bin Jarīr al-Ṭ abarī. Tafsir al-Ṭ abarī. Penerjemah
Anshari Talim dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Jannah, Nur Ismail. Peremuan dalam Pasungan. Yogyakarta: Lkis, 2003.
Khariroh, “Hadis-Hadis Tentang Kekurangan Akal dan Agama Bagi
Perempuan”. Skripsi S1. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Institut Agama
Islam Sunan Kalijaga, 2001.
Khoirin, Nur “Laporan Hasil Penelitian Telaah Terhadap Otentitas Hadits-Hadits
Misogini”. IAIN Sunan Kalijjaga. Yogyakarta, 2000.
Manzūr, Ibn. Lisān al-Arab, Juz VIII. Qairo: Dār al-Ḥadīts, 2013.
Mernissi, Fatima. Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wnita Dalam
Sejarah Muslim, Terjemahan Rahmani Atuti. Bandung: Mizan, 1999.
Mernissi, Fatima. Wanita di dalam Islam, Penerjemah Yaziar Radianti. Bandung:
Pustaka, 1991.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002.u
Monady, Hanief. “Hermeneutika Hadits Abū Syuqqah,” artikel diakses pada 29
September 2016 dari
http://www.academia.edu/20309569/Hermeneutika_Hadis_Abu_Syuqqah
82
Muhtador, Moh. “Hadis-Hadis Misoginis Dalam Perspektif Gender dan
Hermeneutika”, Tesis S2 Fakultas Agama dan Filsafat, Universitas Islam
Negri Sunan Klijaga, 2015.
Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi. Jogyakarta: Idea
Press, 2008.
Munhanif, Ali. Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islmak Klasik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002
Novianti, Ida. “Dilema Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam”, Yinyang V 3,
No 2 (Juli-Desember 2008):h. 2.
Phil, Sahiron Syamsuddin. Hermeneutika al-Qur’ᾱ n & Hadis. Yogyakarta:
elSAQ Press, 2010.
Sa’diyah, Dewi. “Isu Perempuan” (Dakwah dan Kepemimpinan Perempuan dalam
Kesetaraan Gender)” Ilmu Dakwah V 4, no. 12 (Juli – Desember 2008): h.
325-326.
Sahidah, Ahmad. Kebenaran dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Salahudin, “Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Dialogis
Historikalitas Dalam Memahami Teks”. Tesis S2 Fakultas Sosiologi,
Universitas Muhamadiyah Malang, 2011.
Ridwan, Inyak Munzir. Hermenutika Filosofis Hans-Georg Gadamer.
Yogyakarta: AR RUZZ MEDIA, 2010.
Rofiq, Nawang Kholis. “Kedudukan Perempuan Dalam Rumah Tangga: Kajian
Hadis Misoginis”, Al-Ifkar V 1, no. 1 (Maret 2013): h. 89.
Sa’diyah, Dewi. “Isu Perempuan (Dakwah dan Kepemimpinan Perempuan dalam
Kesetaraan Gender)”, Jurnal Ilmu Dkwah, V 4, no. 12 (Juli-Desember
2008): h. 315.
S, Muzakir. “Regulasi Hutang Piutang dalam Tinjauan Ekonomi Islam (Telaah
Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 282)”, Iqtishaduna V 5, No 1 (Juni
2014):h. 71-72.
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LKiS, 1999
Subhamis, “Pendekatan Feminis terhadap al-Qur’an dan Bibel”, Jurnal Al-Ta’lim
V 1, no 3 (November 2012): h. 232.
Thahir, Lukman S. Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Penekatan Filsafat,
Sosiologi dan Pendekatan Sejarah. Yogyakarta: Qirtas, 2014..
Tuttle, Lisa. Encyclopedia of Feminism, New York: Facts On File Publication,
1986.
Ulya, Atiyatul. Proposal Penelitian "Pembacaan Ulang Kualitas Matan Hadis
Perempuan Lemah Akalnya" Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2015.
Umar, Nasaruddin. Fiqih Wanita Untuk Semua. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2010.
Umar, Nasaruddin.Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an. Jakarta:
Penerbit Paramadina, 2001.
Warson, Achmad Munawwir dan Fairuz, Muhammad. Al-Munawwir Kamus
Indonesia-Arab. Surabaya: Pustaka Progresif, 2007.
Weinsheirmer, J. dan Marshall, D.G. Truth and Method. New York: Seabury
Press, 1989.
83
Yazid, Muḥ ammad bin al-Quzwainī, Sunan Ibn Mājah. Beirut: Dār al-Iḥ ya’ āl-
Islāmiyyah, t.t.
Daud, Abū Sulaimān bin al-Asy’as Abū Daud. Sunan Abī Daud. Beirut: Maktabah
Al-Asyriyah, tt.
Zakiyah, Ulfa. “Re-Interpretasi Hadis Perempuan Mayoritas Penghuni Neraka
(Kajian Hadis Misoginis)”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015
Zubaedah, Siti. “Mengurai Problematika Gender dan Agama” Yin Yang V 5, no. 2
(Jul-Des 2010): h. 258.