28
Sejarah Perkembangan Hadits Page 1 Bab 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya. Khususnya para ulama ahli hadits terhadap hadits serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Bahkan, menguatnya kajian hadis dalam dunia islam tidak lepas dari upaya umat islam yang melakukan counter balik terhadap sangkaan-sangkaan negatif kalangan orientalis terhadap keaslian hadis. Goldziger misalnya, ia meragukan sebagian besar keaslian (orisinalitas) hadits, oleh yang diriwayatkan oleh Bukhari sekalipun. Salah satu alasannya adalah semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW dengan masa upaya pentadwinan hadis sangat jauh, menurutnya, sangat sulit untuk menjaga tingkat orisinalitas hadis tersebut. 1 Sebab studi tentang keberadaan hadis selalu makin menarik untuk di kaji seiring dengan perkembangan manusia yang semakin kritis. Oleh karena itu mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan tersebut. 1 Goldziger adalah seorang orientalis kelahiran Hongaria yang banyak dan mengkaji literatur-literatur Islam terutama hadit s. Melalui karya tulisnya “Muhammedanische Studien”, Goldziger berhasil menanamkan keragu - raguan kepada banyak orang termasuk orang islam sendiri terhadap sumber tasyri’ yang kedua ini. Lihat Goldzger, Hadis dan Sunah, dalam H.L Beck dan N.J.G.Kaptein, Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosof, Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1988)

Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)

Embed Size (px)

Citation preview

Sejarah Perkembangan Hadits Page 1

Bab 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat

mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya. Khususnya para ulama ahli

hadits terhadap hadits serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap

periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Bahkan,

menguatnya kajian hadis dalam dunia islam tidak lepas dari upaya umat islam yang

melakukan counter balik terhadap sangkaan-sangkaan negatif kalangan orientalis terhadap

keaslian hadis. Goldziger misalnya, ia meragukan sebagian besar keaslian (orisinalitas)

hadits, oleh yang diriwayatkan oleh Bukhari sekalipun. Salah satu alasannya adalah semenjak

wafatnya Nabi Muhammad SAW dengan masa upaya pentadwinan hadis sangat jauh,

menurutnya, sangat sulit untuk menjaga tingkat orisinalitas hadis tersebut.1 Sebab studi

tentang keberadaan hadis selalu makin menarik untuk di kaji seiring dengan perkembangan

manusia yang semakin kritis. Oleh karena itu mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya

mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya.

Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang

dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka

pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan

tersebut.

1 Goldziger adalah seorang orientalis kelahiran Hongaria yang banyak dan mengkaji literatur-literatur Islam

terutama hadits. Melalui karya tulisnya “Muhammedanische Studien”, Goldziger berhasil menanamkan keragu -

raguan kepada banyak orang termasuk orang islam sendiri terhadap sumber tasyri’ yang kedua ini. Lihat Goldzger,

Hadis dan Sunah, dalam H.L Beck dan N.J.G.Kaptein, Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosof,

Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1988)

Sejarah Perkembangan Hadits Page 2

B. Rumusan Masalah

a. Pengertian sejarah hadits?

b. Hadits pada masa Nabi Muhammad SAW?

c. Sejarah hadits pada masa sahabat dan Tabi’in

d. Hadits pada abad ke-II, III, dan IV H

e. Sejarah pada abad ke-V sampai sekarang perkembangan hadits

Bab 2

PEMBAHASAN

a. Pengertian Sejarah Hadits

Sejarah hadits terdiri dua kata yaitu kata “sejarah” dan kata “hadits”. Kata sejarah

sendiri yang digunakan pada masa sekarang ini bersumber dari bahasa Arab yaitu

Syajaratun yang berarti pohon. Dari sisi lain, istilah history merupakan terjemahan dari

bahasa Yunani yakni histories yang memberikan arti suatu pengkajian. Dalam sebuah

tulisan yang berjudul definisi sejarah (2007) mengutip pandangan Bapak Sejarah

Herodotus yang menurutnya sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu perputaran

jatuh bangunnya seorang tokoh masyarakat dan peradaban.

Sedangkan menurut Aristoteles sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang

mempunyai catatan, rekam-rekam atau bukti-bukti yang kukuh.2

Hadits secara Lughowi (Harfiyah) adalah ism masdar yang fi’il madhi dan mudhori’nya

hadatsa-yahdutsu yang berarti baru. Hadits secara istilah ialah segala perkataan (aqwal),

perbuatan (af’al) dan persetujuan (taqrir) dan sifat Nabi Muhammad SAW. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa sejarah hadits ialah suatu kajian peristiwa-peristiwa

2 http://mus_1981.tripod.com/definisi_sejarah.htm. http:/Ispa.wordpress.com/2007/11/14/definisi-sejarah/

Sejarah Perkembangan Hadits Page 3

masa lalu dari segala perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan persetujuan (taqrir) dan

sifat Nabi Muhammad SAW.3

b. Hadits Pada masa Nabi Muhammad SAW

Membicarakan hadis pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadis pada awal

pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul

SAW sebagai sumber hadis. Rasul SAW membina umatnya selama 23 tahun . Masa ini

merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwujudkannya Hadis.

Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui

perkataan(aqwal), perbuatan(af’al), dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang

didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan

ubudiyah mereka. Rasul SAW merupakan satu-satunya bagi para sahabat, karena ia

memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda

dengan manusia lainnya.

1. Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis

Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya.

Umat islam secara langsung menerima hadis dari Rasul SAW tanpa hijab. Allah

menurunksan Al-Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya

adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga

merupakan wahyu. Kedudukan Nabi yang demikian itu secara otomatis menjadikan

semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi para sahabat. Para sahabat

secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka

tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat.

Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan diantara kedua belah pihak sangatlah terbuka

dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan Rasul SAW cukup bervariasi,

3 Drs. Atang Abd. Hakim, MA. DR. Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam Hal. 84

Sejarah Perkembangan Hadits Page 4

seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika

muqim (berada di rumah).4

Ada beberapa cara Rasul menyampaikan hadis kepada para sahabat,yaitu :

Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaaannya yang disebut majlis al-‘Ilmi.

Melalui hadis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis,

sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan

dan ajaran yang diberikan oleh Nabi.

Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul juga menyampaikan hadisnya melalui para

sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena

terkadang ketika ia mewujudkan hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang

saja, baik karena disengaja oleh Rasul sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang

hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti hadis-hadis yang

ditulis oleh Abdullah ibn Amr ibn Al-‘Ash

Ketiga, cara yang dilakukan Rasul adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka,

seperti ketika haji wada’ dan fathul Makkah.5

2. Perbedaan para sahabat dalam menguasai hadis

Di antara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang

memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada

beberapa hal: Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul.

Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain,

Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat

tinggal dari masjid Rasul.

4 Dr. Musthafa Al- Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi Al-Tasyri’Al-Islami,(Kairo: Dar Al-Salam, 1988), Cet.Ke-

1,hlm. 64

5 Mushtafa Al- Siba’i, op.cit.,hlm. 64-65

Sejarah Perkembangan Hadits Page 5

3. Menghafal dan Menulis Hadis

a. Menghafal hadis

Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Qur’an dan Hadis,

sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul menempuh jalan yang berbeda. Yaitu menghafal

dan menulis.

Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam

kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya

bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra islam dan mereka terkenal kuat hafalannya;

kedua, Rasul banyak memberikan spirit melalui do’a-do’anya; ketiga, seringkali ia

menjanjikan kebaikan akhirat kepada yang menghafal dan menyampaikannya kepada

orang lain. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal

dan menyampaikan / menyebarluaskan hadisnya, dalil yang menunjukkan perintah ini

yaitu berdasarkan sabda Rasulullah SAW.

أ مقعده من النار دا فليتبو } رواه المسلم { وحدثوا عني ول حرج ومن كذب علي متعم

“Dan ceritakanlah dari padaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan

apa yang didengar dari padaku. Barang siapa berdusta terhadap diriku, hendaklah ia

bersedia menempati kediamannya di neraka”.6

Hadis tersebut dapat dipahami bahwa latar belakang Rasulullah SAW memerintahkan

untuk menyebarluaskan hadis yaitu karena keadaan para sahabat dan juga kepentingan

penyiaran Islam. Hadis tersebut dapat juga mengandung pengertian bahwa diantara para

sahabat banyak yang kuat ingatannya, dan diantara para sahabat, banyak yang tidak hadir

ketika Rasulullah SAW menyampaikan wahyu, maupun dalam bentuk hadis, namun

ketidakhadiran para sahabat tersebut diakibatkan karena tempat tingalnya yang jauh,

karena kesibukannya dan juga karena sahabat malu bertanya langsung kepada Rasulullah

SAW tentang suatu masalah (contohnya, yaitu Sayyidina Ali pernah meminta tolong

kepada temannya, untuk menanyakan tentang hukumnya air madzy kepada Rasulullah

6 Muslim no. 5326

Sejarah Perkembangan Hadits Page 6

SAW. Sayyidina Ali rupanya malu bertanya langsung, mungkin karena hubungan

kekerabatan sebab beliau adalah menantu Nabi, sedang yang ditanyakan berhubungan

dengan sesuatu yang sangat bersifat pribadi).

b. Menulis Hadis

Sebelumnya Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan

menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi

orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang

shahih tentang larangan menulis hadits.

Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang

penulisan dan pembukuan hadits adalah7

a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-

orang yang baru masuk Islam.

b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.

c. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.

Nabi telah mengeluarkan ijin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu

Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits

yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota

Makkah, beliau berpidato didepan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari

Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya.

Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah8

""يا رسول هللا اكتبوا لى. فقال :اكتبوا ألبى شاه

“Wahai Rasulullah, tuliskanlah untukku, Nabi bersabda (pada para sahabat yang lain),

tuliskannya untuknya.”

Di antara sahabat Nabi yang mencatat hadits Nabi dalam shahifah-shahifahnya adalah:

1. Abdullah bin Amr bin Ash. Shahifahnya diberi nama الصحيفة الصادقةMenurut Ibnu al-

Atsir di dalam shahifah tersebut termuat sekitar 1000 hadits. Hadits-hadits Abdullah

7 http://denologis.blogspot.com/2008/03/makalahku-sejarah-perkembangan hadits.html 8 http://denologis.blogspot.com/2008/03/makalahku-sejarah-perkembangan hadits.html

Sejarah Perkembangan Hadits Page 7

bin Amr ini sekarang terhimpun bersama sama hadits yang disusun oleh Imam Ahmad

bin Hambal dalam kitab Musnadnya.

2. Jabir bin Abdullah Al-Anshari. Shahifahnya disebut Shahifah Jabir. Imam Muslim

dalam kitab shahihnya telah menghimpun hadits-hadits Jabir bin Abdullah ini dalam

masalah haji.

3. Abdullah bin Abi Awfa. Shahifahnya dikenal dengan nama Shahifah Abdullah bin Abi

Awfa.

4. Samurah bin Jundub. Shahifahnya diwarisi oleh anaknya yang bernama Sulaiman bin

Samurah.

5. Ali bin Abi Thalib, Shahifahnya berisi hadits-hadits Nabi yang berhubungan dengan

diyat.9

c. Sejarah hadits pada masa sahabat dan Tabi’in

Hadist pada Masa Sahabat, Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah

masa sahabat, khususnya adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin

Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan

masa sahabat besar.10

Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah

yaitu periode membatasi hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena

para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan

penyebaran Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan haditspun kurang mendapat perhatian,

bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati - hati dan membatasi dalam meriwayatkan

hadits.

Kehati - hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadits yang

dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan

kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadits adalah sumber ajaran setelah Al-

Qur’an.11

9 Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 286-289 10 Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits (Semarang: RaSAIL Media Group, 2007), 79. 11 Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 71.

Sejarah Perkembangan Hadits Page 8

Keberadaan hadits yang demikian harus dijaga keautentikannya sebagaimana

penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-

Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al - zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha

keras untuk memperketat periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan periwayatan

hadis pada masa sahabat.

a. Abu Bakar Al-Shiddiq

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat

hati hati. Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabi (wafat 748H/1347M),

sahabat Nabi yang pertama - tama menunjukkan sikap kehati - hatiannya dalam

meriwayatkan hadits adalah Abu Bakar Al-Shiddiq.

Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan

tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits yang dimilikinya.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah

membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar tersebut

lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam

meriwayatkan hadits Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadits yang

diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama

Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman

sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat.

Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga factor yang

menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits, yaitu

(1) Dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah;

(2) Kebutuhan akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya;

(3) Jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.

Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits

pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada

masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat

menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan

kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya Rasulullah SAW baik yang datang dari

Sejarah Perkembangan Hadits Page 9

dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat

diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.

b. Umar ibn al-Khathab

Tindakan hati - hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh

sahabat Umar bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat

berhati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu

riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.

Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah

Abu Bakar dan khalifah Umar bi Al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas

jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam.

Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa

membedakan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang, karena dari

catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil, demikian

pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa Umar ini

periwayatan hadits juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan

tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.

c. Utsman Ibn Affan

Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara yang

sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman

Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khathab.

Meskipun Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam

berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam

dalam periwayatan hadist telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan

periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak

begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam

periwayatan hadist. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman yang tidak

sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang

Sejarah Perkembangan Hadits Page 10

mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara

ketat.

d. Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda

dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati

didalam meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a

tidak menerima hadits sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.12 Hanya saja,

kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta mereka untuk

bersumpah.

Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah

sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu,

apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak

mungkin keliru.

Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang

diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits

yang berupa catatan, isinya berkisar tentang:

[1] hukuman denda (diyat);

[2] pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir;

[3] larangan melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh

orang kafir.

Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang

terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.

Hadits Pada masa Tabi’in, Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh

kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja

persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada,

masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf.

12 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra,

1999), 47.

Sejarah Perkembangan Hadits Page 11

Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam sampai

meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika, Bashrah, Syam dan Khurasan. Penyebaran para

sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat,sehingga masa ini dikenal dengan

masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar)

1. Pusat-pusat Pembinaan hadis

Beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat

tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah al-

Munawarrah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan

Andalus, Yaman dan Khurasan. Beberapa orang yang meriwatyatkan hadis cukup

banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah

ibn Abbas, Jaabir Ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri13

Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena di sinilah Rasul SAW menetap

setelah Hijrah. Di sini pula Rasul membina masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri

atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku dan kabilah.

Di antara para sahabat yang membina hadis di Makkah yaitu, Mu’adz ibn Jabal, ‘Atab

ibn Asid, Haris ibn Hisyam, Ustman ibn Thalhah dan ‘Utbah ibn Al-Haris.14

Di antara para Tabi’in yaitu, Mujtahid ibn Jabbar,Atha’ ibn Abi Rabah, Thawus ibn

Kaisan dan Ikrimah maulana ibn Abbas.15 Di antara para sahabat yang membina hadis di

Kufah yaitu, Ali bin Abi Thalib,Sa’ad ibn Abi Waqas, dan Abdullah ibn Mas’ud. Di

antara para tabi’in yaitu, Al-Rabi’ ibn Qosim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i dan Abu Ishaq

Al-Sa’bi16

Di antara sahabat yang membina hadis di Basrah yaitu, Anas ibn Malik, Abdullah ibn

Abbas,’Imran ibn Husain, Ma’qal ibn Yasar, Abdurrahman ibn Samrah dan Abu Sa’id

Al-Anshari. Di antara para Tabi’in yaitu, Hasan Al-Bishri, Muhammad ibn Sirrin, Ayub

Al-Sakhyatani, Yunus ibn ‘Ubaid, Abdullah ibn ‘Aun, Kahatadah ibn Du’amah Al-

13 Ibid., hlm.111 14 Al-Hakim,op.cit., hlm.192 15 ‘Ajjaj Al-Khatib,op.cit.,hlm.111-118 16 Al-Hakim,op.cit.,h lm.243

Sejarah Perkembangan Hadits Page 12

Sudusi dan Hisyam ibn Hasan.17 Di antara para sahabat yang membina hadis di Syam

yaitu, Abu Ubaidah Al-Jarrah,Bilal ibn Rabbah, Ubadah ibn Shamid, Mu’adz ibn

Jabal,Sa’ad ibn Ubaidah,Abu Darda’ Surahbil ibn Hasanah,Khalid ibn Walid dan Iyad

ibn Ghanam. Di antara para tabi’in yaitu Salim ibn Abdillah al-Muharibi,Abu Idris Al-

Khaulani, Abu Sulaiman Al-Darani dan Umar ibn Hana’i.18

Para sahabat yang membina di Mesir yaitu, Amr ibn Al-‘Ash,Uqbal ibn Amr,

Kharisah ibn Huzafah dan Abdullah ibn Al-Haris. Para tabi;in diantaranya Amr ibn Haris,

Khair ibn Nu’aimi Al-Hadrami,Yazid ibn Abi Habib,Abdullah ibn Abi Jafar dan

Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil.19 Di Maghribi dan Andalus yaitu,Mas’ud ibn Al-

Aswad Al-Balwi,Bilal ibn Haris ibn ‘Ashim Al-Muzani,Salamah ibn Al-Akwa dan Walid

ibn ‘Uqbah ibn Abi Muid. Para tabi’in yaitu, Ziyad ibn An’am Al-Mu’arif,Abdurrahman

ibn Ziyad, Yazid ibn Abi Mansyur,Al-Mughirah ibn Abi Burdah,Rifa’af ibn Rafi’ dan

Muslim ibn Yasar.20

Para sahabat yang terjun di Yaman yaitu, Mu’adz ibn Jabal, dan Abu Musa Al-As’ari.

Para Tabi’in diantaranya yaitu, Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn Munabah,

Thawus dan Ma’mar ibn Rasyid.21 Sedang para tabi’in yaitu, Muhammad ibn Ziyad,

Muhammad ibn Tsabit Al-Anshari dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri.22

2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis

Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal

dan perang Siffin yaitu ketika kekuasaan di pegang oleh Ali bin Abi Thalib. Langsung

atau tidak dari pergolakan politik di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap

perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah

17 Ibid., hlm.192 dan 242. 18 Ibid., hlm.193 dan 242 19 Ibid., hlm.193 dan 241 20 ‘Ajjaj Al-Khthib,loc.cit 21 Ibid 22 Al-Hakam,op.cit.,hlm.249

Sejarah Perkembangan Hadits Page 13

dengan munculnya hadis-hadis palsu (maudhu’) untung mendukung kepentingan

politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.23

d. Hadits pada abad ke-II, III, dan IV H

Pada abad ke II, Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal

adil dan wara', sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima. Beliau

sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam

ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila

tidak segera dikumpulkan dan dikodifikasi dalam buku-buku hadis dari para perawinya,

mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka

tergeraklah untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih

hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada

gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan

hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.

Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang

berbunyi:24

انظر ماكان من حديث رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فاكتبه فإني خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولتقبل

من ليعلم فإن العلم ليهلك حتى إلحدبث الرسول صلى هللا عليه وسلم ولتفشوا العلم ولتجلسوا ختى يعلم

يكون سترا

Artinya:

"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut

akan lenyapnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis

Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu

23 Pembahasan sekitar pemalsuan hadis atau hadis Maudhu’ akan diuraikan secara khusus pada bahasan bab

selanjutnya. 24 Bandingkan dengan Utang Ranuwijaya dan Mundzir Suparta, op.cit, hal. 74-75

Sejarah Perkembangan Hadits Page 14

supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu

itu tidak sirna sampai dirahasiakan. "

Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur

lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat

kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri.

Kemudian Ibnu Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut. Az-

Zuhri inilah yang merupakan salah satu ulama, yang pertama kali membukukan hadis

(sedang Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm, Gubernur Madinah adalah

kaum birokrat pertama yang membukukan hadits nabi) .

Dari Ibnu Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-

ulama berikutnya, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Malik bin Anas (93-179 H)Ibn

Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H) Ibnu Abi Dzi’bin (80-158 H)

Hammam bin Sulaiman (w. 176) Sufyan al-Tsawri (97-161 H) Al-Awza’I (88-157 H)

Ibnu al-Mubarak (118-181 H) Jarir bin Abd Hamid (110-188 H) Muhammad bin Ishaq

(w. 151)dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya.25

Di antara kitab hadits yang disusun pada abad II H, dan dapat sampai di tengah-

tengah kita adalah :

1. Al-Muwatha’, disusun oleh Imam Malik bin Anas atas permintaan khalifah Abu

Ja’far al-Manshur.

2. Musnad al-Syafi'i , disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi'i Kumpulan hadits

ini dimuat juga di dalam kitab beliau ,Al-Umm

3. Mukhtalif al-Hadits, susunan Muhammad bin Idris al-Syafi'i . Di dalamnya dibahas

tentang cara menerima hadits sebagai hujjah, dan cara mengompromikan hadits-

hadits yang secara lahiriyah tampak berlawanan.

4. Sirat al-Nabawiyah, disusun oleh Ibnu Ishaq, berisi antara lain tentang perjalanan

Nabi saw dan peperangan yang terjadi zaman Nabi.26

25 Ibid. hal. 76 26 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung : Ankasa, 1991), Hal. 104

Sejarah Perkembangan Hadits Page 15

Ciri-Ciri Pembukuan Pada Periode Abad II H

Dengan kegiatan pembukuan hadits yang pertama kali secara resmi, maka secara resmi

pula kaum muslimin memiliki kitab-kitab hadits yang dapat dijadikan rujukan untuk

belajar dan mendalami petunjuk-petunjuk Nabi saw. Akan tetapi buku atau kitab hadits

tersebut masih dalam bentuknya yang sederhana. Secara umum ciri-ciri yang dimaksud

adalah sebagai berikut:

a. Hadits yang dibukukan dalam kitab/dewan hadits, mencakup hadits Nabi saw, fatwa

shahabat dan tabi’in. Dengan demikian kitab hadits dalam periode ini, belum ada

pemisahan antara hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’. Kitab hadits saat

itu yang hanya husus menghimpun hadits Nabi saw adalah yang ditulis oleh

Muhammad bin Hazm, Gubernur kota Madinah yang mendapat Instruksi Khalifah

Umar bin Abd. Aziz :

ل اال حديث الرسول صلى هللا عليه وسلمالتقب

b. Hadist yang ditulis dalam kitab hadits saat itu, umumnya belum dikelompokkan

dalam judul-judul (maudhu’) tertentu. Dengan demikian hadits yang tertulis dalam

kitab, masih bercampur antar berbagai tema, belum ada pengelompokan misalnya

bab tentang hukum, sejarah Nabi, hadits tentang tafsir dan sebagainya. Yang pertama

melakukan pengelompokan berdasar tema adalah Imam al-Syafi’i, yaitu masalah

thalaq, terkumpul dalam satu bab.

c. Hadits-hadits yang disusun dalam kitab belum dipisah, antara yang shahih, hasan dan

dha’if.

Pemalsuan Dan upaya Penyelamatan Hadits Nabi

Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib

serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat

Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing

kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah.

Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu.

Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula

membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan

Sejarah Perkembangan Hadits Page 16

jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah

berpusat pada waktu itu.

Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya

propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai

imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk

membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul

juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar

mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.

Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil

darinya:

1. Orang yang kurang akal.

2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti

hawa nafsunya.

3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada

Rasul.

4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-

nilai hadis yang diriwayatkannya.27

Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-

perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah

Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-

benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.

Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para

ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-

golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam

tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun

kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain:

Kitab تذكرت الموضوعات oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdisi(w. tahun 507 H)

Kitab الموضوعات الكبرى oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)

27 Ibid, hal. 109-110

Sejarah Perkembangan Hadits Page 17

Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan

serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu.

Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:

1. Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas

rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis:

لتسبوا الديك فإنه صديقي

Artinya:

"Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. "

2. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:

الباذنجان شفاء من كل داء

Artinya:

"Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. "

3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti

hadis:

ولد الزنا الجنة ليدخل

Artinya:

"Anak zina itu tidak akan masuk surga. "

4. Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :

ولتزروازرة وزرأخرى

Artinya:

"Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. Fatir: 18)

Sejarah Perkembangan Hadits Page 18

Pada abad ke-III, Periode ini dimulai sejak masa akhir pemerintahan Bani Abbas

angkatan pertama (Khalifah al-Makmun) sampai awal pemerintahan Bani Abbas

angkatan ke dua (Khalifah al-Muqtadir). Periode abad ini disebut sebagai masa

penyaringan dan seleksi hadits, karena pada masa inilah kegiatan pentashihan hadits

Nabi mulai dilakukan dengan sitematis.

a. Kegiatan Para Ulama Hadits

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak

akhir masa pemerintahan Bani Umayyah angakatan pertama (awal pemerintahan Bani

Umayah angkatan ke dua) sampai ahir abad II H, tetapi belum begitu sempurna. Kitab

hadits yang ada berisi campuran antara hadits yang shahih dan dha’if. Begitu pula belum

dipisahkan antara hadits yang marfu’, mauquf dan maqthu’. Maka pada awal abad III H.

dilakukan upaya penyempunaan; berupa kegiatan sebagain berikut:

1. Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh. Kegiatan ini dilakukan karena

hadits-hadits Nabi yang sudah dibukukan pada abad II H baru terbatas pada hadits

hadits Nabi yang ada di kota-kota tertentu saja, padahal dengan telah tersebarnya

para perawi hadits ke tempat-tempat yang jauh (karena kekuasaan Islam telah

semakin luas), maka masih sangat banyak hadits Nabi yang belum dibukukan. Oleh

karena itu untuk melengkapi koleksi hadits Nabi, jalan satu-satunya adalah

melakukan rihlah (perjalanan) ke tempat-tempat yang dimaksud. Usaha ini

dipelopori oleh Imam al-Bukhori. Selama 16 tahun beliau telah melakukan

perlawatan ke kota Makkah, Madinah, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mesir, Demaskus,

Naisabur dan sebagainya. Kemudian diikuti Imam Muslim, Abu Dawud, al-

Turmudzi, al-Nasa’I dan lain-lain.

2. Mengadakan klasifikasi antara hadits yang marfu’(hadits yang disandarkan kepada

Nabi), mauquf (yang disandarkan kepada Sahabat Nabi) dan yang maqthu’(yang

disandarkan kepada Tabi’in). Dengan usaha ini, maka hadits Nabi telah terpelihara

dari percampuran dengan fatwa sahabat dan fatwa tabi’in.

3. Para ulama mulai mengadakan seleksi kualitas hadits antara hadits yang shahih dan

yang dha’if. Ulama yang mempelopori kegiatan ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih.

Kemudian tilanjutkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud , al-Turmudzi, al-

Sejarah Perkembangan Hadits Page 19

Nasa’I, Ibnu Majah dan lain-lain. Sebelum kemunculan al-Turmudzi, klasifikasi

hadits hanya terdiri atas hadits shahih dan dha’if. Akan tetapi setelah al-Turmudzi,

klasifikasi itu berkembang menjadi hadits shahih, hasan dan dha’if.

4. Menghimpun kritik yang dilontarkan para ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik

yang ditujukan kepada pribadi perawi maupun pada matan hadits. Kemudian

dilakukan upaya pembelaan dengan melakukan bantahan terhadap kritik tersebut.

Salah seorang ulama yang melakukan kegiatan ini adalah Ibnu Qutaibah dengan

menyusun kitab“Ta’wilu Mukhtalif al-Hadits fi Raddi ‘Ala ada’ al-Hadits.

5. Menyusun kitab hadits hadits berdasarkan tema dan masalah, sehingga kitab tersebut

memiliki bab-bab sesuai dengan masalah tertentu. Metode ini dilakukan untuk

mempermudah mencari masalah yang dikandung oleh hadits. Metode ini dikenal

dengan istilah metode Mushannaf. Ulama yang merintis mertode ini adalah Imam al-

Bukhari, kemudian diikuti oleh muridnya sendiri yaitu Imam Muslim. Sesudah itu

baru diikuti oleh Abu Dawud, al-Turmudzi dan lain-lain.28

b. Bentuk Penyusunan Kitab-Kitab Hadits

Sistem pembukuan (kodifikasi) hadits pada periode ini dapat diklasifikasikan ke

dalam tiga bentuk :

1. Kitab Shahih, Yaitu kitab hadits yang disusun dengan cara menghimpun hadits-hadits

yang berkualitas shahih, sedang hadits-hadits yang berkualitas tidak shahih tidak

dimasukkan ke dalam kitab. Bentuk penyusunan kitab shahih termasuk bentuk

mushannaf. Contohnya kitab al-Jami’ al-Shahih, karya al-Bukhari, dan al-Jani’ al-

Shahih karya Imam Muslim.

2. Kitab Sunan, yaitu kitab hadits yang dususun, selaim memuat hadits-hadits yang

berkualitas shahih, juga mengikut sertakan hadits yang berkualitas hasan dan dha’if,

dengan catatan tidak berkualitas hadits mungkar dan terlalu lemah. Untuk hadits yang

berkualitas tidak shahih biasanya , oleh penyusunnya, diterangkan kelemahannya.

Kitab sunan termasuk disusun dengan metode mushannaf. Contohnya adalah Kitab

28 Ibid, hal. 113-115

Sejarah Perkembangan Hadits Page 20

Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah dan

Sunan al-Darimi.

3. Kitab Musnad, yaitu kitab hadits yang disusun dengan menggunakan nama-nama

perawi pertamanya (rawi dari kalangan shahabat Nabi) sebagai bab. Misalnya hadits-

hadits yang diriwayatkan saiyidah A’isyah, dihimpun di bawah titel A’isyah. Hadits-

hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas,dihimpun di bawah titel Ibnu Abbas dan

seterusnya. Kitab musnad ini berisi hadits yang berkualitas shahih dan tidak shahih,

tetapi tidak dijelaskan kualitasnya oleh sang penyusun. Contoh Kitab Musnad , karya

Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad, karya Abu al-Qasim al-Baghawi, kitab Musnad ,

karya Utsman bin Abi Syaibah.29

c. Kitab-Kitab Hadits Induk

Berkat keuletan para ulama hadits yang telah bersusah-payah mengadakan

perjalanan melacak hadits ke berbagai daerah, ahirnya mereka telah berhasil

menyusun berbagai kitab hadits. Demikian pula berkat kesungguhan mereka dalam

melakukan kegiatan penyaringan hadits, mereka telah berhasil membukukan hadits-

hadits yang shahih, atau kitab-kitab yang isinya lebih banyak memuat hadits shahih.

Kitab-kitab ini pada perkembangan selanjutnya dikenal al-kutub al-sittah (kitab induk

enam) atau al-kitab al-tis’ah (kitab induk sembilan).

Al-Kutub al-Sittah terdiri atas kitab-kitab shahih dan kitab-kitab sunan sebagai

berikut:

●Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari

●Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim

●Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud

●Sunan al-Turmudzi karya Imam al-Turmudzi

●Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’I

●Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah

Sedangkan al-Kutub al-Tis’ah adalah terdiri atas kitab-kitab induk yang enam di

atas, ditambah dengan kitab-kitan hadits berikut:

29 Fathurrahman, Drs. Ikhtisar Mushthalah Hadits ( Bandung : al-Ma’arif, 1985) hal. 39. Bandinmgkan dengan

Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits……ibid, hal. 115-116

Sejarah Perkembangan Hadits Page 21

●Al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas

●Sunan al-Darimi karya Imam al-Darimi

●Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hambal

Suatu catatan yang perlu diketahui bahwa walaupun kitab-kitab hadits di atas disebut sebagai

kitab induk (hadits), tetapi tidak semua hadits Nabi yang dikandung di dalamnya, berstatus

shahih secara keseluruhan. Masih ada beberapa hadits yang kualitasnya hasan atau bahkan

lemah dalam sanad tertentu. Oleh karena itu tetap diperlukan sikap kritis di dalam

mempergunakannya. Tindakan selektif dengan memperhatikan pendapat para ulama yang

tetah melakukan pengkajian dan penelitian hadits patut diperhatikan. Namun demikian, perlu

diketahui pula bahwa jika terdapat suatu hadits yang lemah dari sisi sanad tertentu, masih ada

kemungkinan shahih pada sanadnya yang lain. Untuk itu melakukan konfirmasi dan

membandingkan suatu matan hadits melalui berbagai sanad yang berbeda sangat bermakna,

guna menghindari sikap gegabah dalam melemahkan suatu hadits.30

Hadits pada periode abad ke-IV H ( Periode Penyempurnaan Sistematika

Pembukuan) Dan Sesudahnya. Periode ini dimulai pada masa pemerintahan Bani Abbas

angakatan ke dua (masa pemerintahan al-Muqtadir). Masa ini disebut juga dengan istilah

Periode ulama muta’akhirin.31 Mulai pada periode ini dinamakan sebagai masa

pemeliharaan, penertiban, penambahan, penggabungan, pensyarahan dan pentahrijan.

a. Kegiatan Para Ulama

Pada periode ini kaadaan daulat islamiyah sudah mulai melemah, namun kegiatan para

ulama hadits dalam melestarikan hadits Nabi tetap tidak terpengaruh, sebab kenyataannya

masih sangat banyak para ulama yang menekuni dan mendalami serta bersungguh-sungguh

dalam memelihara dan mengembangkan pembinaan hadits, sekalipun caranya berbeda

dengan ulama sebelumnya.

Pada abad III H hampir seluruh hadits Nabi telah terbukukan. Oleh karena itu kegiatan

para ulama abad IV H ini, meskipun masih ada yang melakukan usaha pembukuan

(melakukan perlawatan ke daerah dengan tujuan mendapatkan hadits untuk dihimpunan

30 Selanjutnya baca Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Haadist ( Jakarta : AMZAH, 2008 ) hal. 64-65 31 Ulama yang hidup sebelum abad IV H dinamakan ulama mtaqaddimin (salaf/klasik). Sedangkan ulama yang

hidup pada abad IV H dinamakan ulama muta’akhkhirin (modern)

Sejarah Perkembangan Hadits Page 22

dalam suatu kitab), tetapi kebanyakan kegiatan mereka ditujukan kepada pemeliharaan

hadits dengan berpedoman pada kitab-kitab yang sudah ada, dengan cara (1) mempelajari (2)

menghafal (3) memeriksa dan menyelidiki sanad (4) menyusun kitab-kitab baru dengan

tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling

berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang sudah ada (5)

memberikan syarah dan komentar hadits-hadits yang sudah dihimpun dalam kitab hadits

yang ada.32

Di antara kitab-kitab yang tersusun pada abad ini ialah sebagai berikut:

1. Kitab al-Shahih, karya Ibnu Huzaimah

2. Al-Anwa’ wa al-Taqsim, susunan Ibnu Hibban

3. Kitab Musnad, karya Abu Awanah

4. Al-Muntaqa , susunan Ibnu Jarud

5. dan lain-lain

b. Ciri-Ciri Sistem Pembukuan Hadits

Ulama hadits pada periode ini di samping menyusun kitab hadits seperti metode yang

ditempuh ulama sebelumnya, yaitu dalam bentuk mushannaf dan musnad, juga menyususn

kitab hadits dengan sistem baru sebagai berikut:

1. Kitab Athraf; yaitu kitab hadits yang isinya hanya menyebut sebagian-sebagian dari

matan hadits tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan yang

bersangkutan., baik dari sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip, maupun

dari kitab lain. Misalnya :

Athraf al-Shahihain, karya Ibrahin al-Dimasyqy

Athraf sl-Shahihain, susunan Abu Muhammad Khallaf Ibnu Muhammad al-Wasithi

Athraf Kutub al-Sittah, susunan Muhammad Ibnu Thahir al-Maqdisi

2. Kitab Mustakhraj; yaitu kitab hadits yang memuat matan-matan hadits yang

diriwayatkan misalnya oleh al-Bukhari dan Muslim, atau salah satunya, kemudian

penyusun kitab meriwayatkan matan-matan hadits tersebut dengan menggunakan

sanadnya sendiri yang berbeda. Misalnya:

32 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits……op. cit. hal. 120-121

Sejarah Perkembangan Hadits Page 23

a. Mustakhraj Shahih al-Bukhari , karya al-Jurjani

a. Mustakhraj Shahih Muslim, karya Abu Awanah

b. Mustakhraj Bukhari-Muslim, karya Abu Bakar Ibnu Abdan al-Syirazi

3. Kitab al-Mustadrak; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits yang memiliki

syarat , misalnya Bukhari-Muslim, atau memiliki syarat dengan salah satu kitab

Bukhari-Muslim. Contohnya : Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihaini, karya Imam al-

Hakim

4. Kitab Jami’ ; yaitu kitab hadits yang menghimpun (mengumpulkan )hadits hadits

Nabi yang terlah termuat dalam kitab yang telah ada dalam satu kitab tertentu.

Contohnya :

a. Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya Ibnu al-Furat

b. Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya al-Baghawi

c. Mashabih al-Sunan, karya al-Baghawi

5. Kitab Berdasar pokok Masalah; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits

Nabi berdasar masalah tertentu dari kitab-kitab yang telah ada, contohnya antara lain:

a. Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majduddin Abd. Salam

b. Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baghawi

c. Umdat al-Ahkam, karya Abd. Ghoni al-Maqdisi

6. Kitab Syarah ; yaitu kitab hadits yang memuat hadits-hadits dari kitab tertentu yang

sudah ada, kemudian dijelaskan dan dikomentari maksudnya, baik dengan

menggunakan ayat al-qur’an, atau hadits nabi atau dengan keterangan rasional.

Contohnya antara lain:

a. Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Atsqalani

b. Al-Minhaj, Syarah Muslim, karya Imam al-Nawawi

c. Aun al-Ma’bud, syarah Sunan Abi Dawud, karya Syamsul Haq al-Adhim al-

Abady

d. Qutul Mughtadzi, Syarah al-Turmudzi, karya Imam al-Syuyuthi

e. Syarah Ta’liq, syarah sunan al-Nasa’i, karya Imam al-Syuyuthi

f. Al-Dibajah, syarah Sunan Ibnu Majah, karya Kamaluddin al-Damiri.

Sejarah Perkembangan Hadits Page 24

7. Kitab Mukhtashar; yaitu kitab hadits yang memuat hadits hadits yang sudah

dihimpun dalam kitab yang sudah ada, dengan cara menyederhanakan / meringkas

periwayatan hadits tertentu. Misalnya dengan membuang sanad, Contoh :

a. Al-Jami’ al-Shaghir, mukhtashar kitab Jam’ul Jawami’, karya Imam al-Syuyuthi

b. Muhtashar Shahih-Muslim, karya Muhammad Fu’ad Abd. Baqi

8. Kitab Petunjuk /Kamus Hadits : yaitu kitab yang disusun dengan memuat sebagian

kalimat dari sustu hadits Nabi, kemudian menjelaskan letak hadits yang dimaksud di

dalam kitab-kitab hadits; mulai dari nama kitab, bab dan sub babnya. Sebagian kitab

kamus hadits, ada yang menyebut tempat hadits dengan menunjuk juz dan halaman

kitab hadits yang dimaksud. Contohnya antara lain ialah kitab Miftah Kunuz al-

Sunnah, karya Prof. Dr. A.J.Winsink. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab

oleh Muhammad Fuad Abd. Baqy. Kitab ini memberikan petunjuk untuk mencari

matan hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits (Kitab shahih al-Bukhari,

Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan al-Turmudzi, Sunan Ibnu

Majah, Sunan al-Darimi, Muwattha’ Malik, Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abu

Dawud al-Thayalisi, Musnad Ahmad bin Hambal, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Sirat Ibnu

Hisyam dan al-Maghazi al-Waqidi)

9. Kitab Tahrij ; yaitu kitab yang disusun dengan memuat penjelasan tentang tempat-

tempat pengambilah hadits yang dimuat dalam kitab tertentu, selkaligus menjelaskan

kualitanya. Di antara contohnya :

Kitab Takhrij Ahadits al-Anbiya’, karya Al-Iraqi, merupakan kitab tahrij

terhadap hadits-hadits yang ada dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, karya al-Ghazali

Kitab Takhrij Ahadits al-Baidhawi, karya al-Mannawi,sebagai takhrij terhadap

hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Tafsir Baidhawi.

10.Kitab Zawa’id ; yaitu kitab hadits yang disusun dengan memuat hadits-hadits yang

diriwayatakan oleh ulama hadits tertentu (dan dimuat dalam kitab ulama tersebut,

misalnya hadits yang dimuat dalam kitab Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi),

tetapi tidak dimuat di dalam kitab hadits yang disusun oleh ulama tertentu

pula.Contohnya Seperti kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra, karya al-Bushiri. Memuat

Sejarah Perkembangan Hadits Page 25

hadits hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi. Tetapi tidak dimuat dalam al-

Kutub al-Sittah.

e. Sejarah pada abad ke-V sampai sekarang perkembangan hadits

Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Hadits

seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya

dengan sumber utamanya kitab-kitab Hadits abad 4 H.33

Kitab-kitab yang muncul pada abad 5 H ini adalah:34

Hasil penghimpunan

Bersumber dari kutubus sittah saja

1. Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)

2. Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)

- Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami’ul Masanid oleh Ibnu

Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)

- Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami’ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911

H / 1445-1505 M)

Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)

-Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :

1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)

2. As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)

3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil ‘Id (625-702 H / 1228-1302 M)

33 http://belajar.tiganetwork.com 34 http://belajar.tiganetwork.com

Sejarah Perkembangan Hadits Page 26

4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)

5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)

6. ‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)

7. Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)

-Kitab Al Hadits Akhlaq:

1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)

2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)

Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist)35

1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H /

1371-1448 M)

2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676

H/1233-1277 M)

3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu’allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)

4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H /

1834 M)

5. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan’ani (wafat 1099 H /

1687 M)

Mukhtashar (ringkasan)

1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak

(546-631 H / 1152-1233 M)

2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-

1258 M)

Lain-lain

1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi

hadits-hadits tentang doa.

35 http://belajar.tiganetwork.com

Sejarah Perkembangan Hadits Page 27

2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Al Hadits yang

dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.

Perkembangan penulisan dan pengkodifikasian hadits pada abad 12 H. mulai abad

terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para

ulama’ dalam bidang hadits, kecuali hanya membaca, memahami, dan memberikan

syarah hadits-hadits yang telah terhimpun sebelumnya.

Bab 3

PENUTUP

Kesimpulan:

Dari pembahasan di atas maka kami dari kelompok 1 (satu) dapat mengambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis dimulai sejak Nabi Muhammad SAW

diangkat menjadi Rasul.

2. Masa pembukuan hadis yang secara resmi dilakukan atas kebijaksanaan pemerintah yang

terjadi pada zaman khalifah Umar bin Abd Aziz.

3. Masa pentasihan atau penyaringan hadis dimulai ketika pemerintah dipegang oleh Dinasti

Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar 201-300)

4. Pada masa pengkajian hadis, para ulama’ hadis mengalihkan perhatiannya untuk

menyusun kitab-kitab hadis atau topik-topik tertentu.

5. Masa kontemporer adalah zaman Mutakalimin, yaitu era tahun-tahun terakhir yang kita

jalani hingga saat sekarang ini.

Sejarah Perkembangan Hadits Page 28