BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF Laporan KasusFAKULTAS KEDOKTERAN Oktober 2015UNIVERSITAS PATTIMURA
Multipel Sklerosis
Oleh :
Chresta D. Illintutu
(2008-83-048)
Pembimbing :
dr. Parningotan Yosi Silalahi, Sp.S
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKLUTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2015
1
PENDAHULUAN
Multiple sklerosis adalah penyakit kronis sistem saraf pusat. Penyakit ini biasanya
memperlihatkan gejala defisit neurologis, yang kemudian dalam perjalan penyakitnya,
cenderung tidak kembali seperti semula bahkan semakin lama semakin parah defisit yang
dialami bahkan dapat menyebabkan kecacatan. Manifestasi klinis sangat beragam
tergantung dari area kerusakan yang dialaminya. 1
Multiple sklerosis merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling sering
menyerang orang pada usia muda. Gejala jarang muncul sebelum usia 15 tahun atau
setelah usia 60 tahun. Multiple sklerosis ditandai dengan timbulnya destruksi bintik
mielin yang meluas diikuti oleh gliosis pada susbtansia alba susunan saraf pusat. Ciri
khas perjalanan multiple sklerosis adalah serangkaian serangan terbatas yang menyerang
bagian susunan saraf pusat yang berlainan. Masing-masing serangan kemudian akan
memperlihatkan beberapa derajat pengurangan, namun keseluruhan gambaran adalah
suatu keadaan yang makin memburuk.2,
Multiple sklerosis merupakan penyakit demielinasi inflamasi sistem saraf pusat.
Penyakit ini menunjukkan cidera pada selubung myelin (materi lemak yang menutupi
akson) dan oligodendrti (sel yang membentuk myelin). Gejala-gejala multiple sklerosis
sangat bervariasi tergantung dari lokasi plak dalam sistem saraf pusat. Meskipun penyakit
ini tidak dapat disembuhkan atau dicegah, pengobatan tersedia untuk mengurangi
keparahan dan progresifitas penyakitnya. 3
Penyakit ini terutama mengenai substansia alba otak dan medulla spinalis, serta
nervus optikus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan mielin dengan akson yang
relatif masih baik. Pada substansia alba terdapat daerah yang masih tampak normal yang
2
berselang seling dengan focus inflamasi dan demielinisasi yang disebut juga plak, yang
seringkali terletak dekat venula. Demielinisasi inflamasi jalur susunan saraf pusat
menyebabkan penurunan dan gangguan kecepatan hantar saraf dan akhirnya hilangnya
penghantaran informasi oleh jaras tertentu. 4
Gejala-gejala klasik yang merupakan manifestasi dari multiple sklerosis adalah
kelemahan motorik, parastesia, penurunan penglihatan, diplopia, nistagmus, disartria,
tremor, ataksia, kehilangan sensibilitas, gangguan saluran berkemih, paraparesis, dan
perubahan respon emosional. Karena bervariasinya manifestasi klinis yang muncul, maka
penegakan diagnosisnya tidak selalu dilihat dari gejala klinis yang dirasakan penderita,
karena gejala tersebut muncul sangat tergantung dari letak lesi yang terjadi. 5
LAPORAN KASUS
Pasien wanita usia 23 tahun datang dengan keluhan penglihatan kabur yang
dialami sejak 5 hari yang lalu sebelum masuk RS. Keluhan ini dialami pada mata sebelah
kanan dan kadang pasien tidak dapat melihat cahaya dalam jarak lebih dari 2 meter serta
penglihatan sering membayang.. Keluhan ini juga disertai dengan sakit kepala sebelah
kanan seperti tertusuk-tusuk dan terasa berdenyut, pusing seperti terputar-putar, kadang
demam disertai menggigil namun telinga berdenging, mual, muntah yang dialami 5 hari
sebelum masuk RS, muntah kurang lebih 3 x isi makanan. Pasien mempunyai riwayat
kejang sejak kecil, menurut pasien sebelum keluhan penglihatan kabur pasien sempat
kejang 3 x dengan durasi 1 – 2 menit. Selain ini pasien mengatakan sering demam hilang
timbul yang dialami sejak kecil namun sembuh sendiri tanpa minum obat. Pasien juga
3
pernah dirawat sekitar 2 kali (tahun 2011 dengan keluhan sering sakit kepala dan tahun
2013 dengan keluhan mata kiri tidak dapat melihat disertai sakit kepala)..
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tampak sakit sedang dan kedua mata tampak
eksoftalmus. Pada pemeriksaan nervus kranialis didapatkan ketajalaman penglihatan pada
mata kanan 2/60 dan mata kiri 4/60, ukuran dan bentuk pupil pada mata kanan 4mm/bulat
dan mata kiri 2mm/bulat serta keduanya anisokor, tidak ada reflex cahaya langsung pada
mata kanan.Pada pemeriksaan lapangan pandang mata kanan, pasien tidak dapat melihat
dari arah temporal dan medial. Pada tes gangguan koordinasi yaitu tes jari hidung
dilakukan tidak tepat.
DISKUSI
Multipel sklerosis merupakan penyakit demyelinasi dan penyakit peradangan
kronis pada sistem saraf pusat yang terkait dengan imun.Penyakit ini merupakan salah
satu gangguan neurologis yang paling sering menyerang orang muda di mana perempuan
terinfeksi 2 kali lipat dari laki-laki meskipun awitannya lambat. Usia rata-rata timbulnya
gejala yaitu 30 tahun dengan kisaran antara 18 – 40 tahun.2,3 Sesuai dengan teori, pasien
pada kasus ini berjenis kelamin perempuan didiagnosa Suspek Multipel Sklerosis berusia
23 tahun. Etilogi dari penyakit ini belum jelas. Diduga Bukti-bukti terbaru mendukung
teori bahwa multiple sklerosis adalah penyakit autoimun, mungkin berkaitan dengan
pemicu lingkungan yang tidak dapat ditentukan seperti infeksi virus. Hipotesis ini berasal
dari observasi bahwa infeksi virus biasanya menyebabkan peradangan yang melibatkan
produksi interferon gamma, yaitu suatu zat kimia yang diketahui dapat memperburuk
multiple sklerosis. Sejumlah virus telah diajukan sebagai agen penyebab yang mungkin
4
pada multiple sklerosis. Beberapa peneliti menduga virus campak (rubeola). Berbagai
antibodi campak telah ditemukan dalam serum dan cairan serebrospinalis (CSF) pasien
multiple sklerosis, dan bukti yang ada mengesankan antibody ini dihasilkan dalam otak.
Teori lain menduga bahwa faktor genetik tertentu menyebabkan beberapa orang lebih
peka terhadap invasi susunan saraf pusat dengan berbagai virus “lambat”. Virus yang
lambat memiliki masa inkubasi yang lama dan hanya mungkin berkembang dengan
keadaan defisiensi atau imun yang abnormal. Antigen histokompabilitas tertentu ( HLA-
A3, HLA-A7) telah ditemukan lebih sering pada pasien multiple sklerosis dibandingkan
dengan subjek yang terkontrol. Adanya antigen ini mungkin berkaitan dengan defisiensi
pertahanan imunologis dalam melawan infeksi virus Beberapa keadaan yang biasanya
dianggap sebagai faktor pencetus adalah kehamilan, infeksi (khususnya dengan demam),
stress emosional, dan cedera. Multipel Sklerosis diyakini terutama dimediasi (namun
tidak eksklusif) oleh autoreaktif sel Th1 secara auto-antigen yang diaktifkan di perifer
oleh mekanisme yang belum dikenalkan (pilihan termasuk mimikri molekuler dengan
faktor peptida lingkungan menular; super-antigens; kerusakan toleransi imunologi oleh
mekanisme lain, dll). Sel-sel T aktif berploriferasi, mengekspresikan berbagai reseptor
dan molekul adhesi, mensekresi mediator proinflamasi dan metaloproteinase,
mengaktifkan blood-brain barrier (BBB) dan berinteraksi untuk masuk ke dalam otak,
dimana mereka mengalami reaktivasi oleh autoantigen lokal yang dihadirkan oleh
molekul MHC kelas II diekspresikan pada mikroglia aktif, astrosit dan makrofag. Ini
memulai reaksi inflamasi lokal di mana sitokin, kemokin dan mediator lain disekresikan
oleh sel-sel aktif, menarik dan mengaktifkan komponen lainnya dari sistem kekebalan
tubuh (makrofag, sel T sitotoksik, sel B, astrosit dan komplemen) dan menyebabkan
5
serangan terpadu pada mielin, akson dan glia, yang dimediasi oleh sel sitotoksik dan
sitokin, fagositosis, protease, antibodi antimyelin, komplemen, glutamat, NO dan
intermediet oksigen reaktif lain. Hasil berupa edema, demielinasi, transeksi aksonal,
kehilangan oligodendrocytes dan aktivasi astrosit berkontribusi terhadap disfungsi
neurologis, untuk pembentukan plak akut diikuti kemudian oleh bekas luka gliotic dan
hilangnya volume otak. Proses lain seperti apoptosis, pergeseran Th1 ke Th2, pelepasan
faktor pertumbuhan dan sitokin oleh glia aktif, dan perubahan lingkungan sitokin yang
berkontribusi terhadap regulasi dan resolusi dari respon inflamasi lokal. Hal ini
memungkinkan pelepasan blok konduksi, reorganisasi jalur fungsional pada tingkat
selular dan tingkat sistem, remielinasi dan beberapa aktivitas regeneratif, dan sinyal
pemulihan fungsional. Mekanisme restoratif ini hanya efektif sebagian dan hanya untuk
sementara, seperti akumulasi hilangnya aksonal ireversibel dari waktu ke waktu secara
signifikan, reaktivitas astrosit menyegel lesi, dan gliosis menyebabkan penghalang fisik
untuk remielinasi lebih lanjut, mengurangi kapasitas untuk mengakomodasi defisit
kumulatif, dan menandai transisi ke tahap defisit persisten. Kehilangan dukungan trofik
dari glia ke akson dapat berkontribusi pada degenerasi aksonal kronis dan peningkatan
defisit klinis yang merupakan karakteristik dari fase progresif dari penyakit5
Penyembuhan sempurna biasanya terjadi setelah serangan pertama. Remisi biasanya
timbul dalam waktu 1 hingga 3 bulan dengan serangan yang berturut-turut. Namun pada
akhirnya penyembuhan tidak terjadi secara sempurna, dan pasien diwarisi kerusakan
permanen tambahan setelah serangan penyakit tersebut.2,3 Pada pasien ini penyebab
multiple sklerosis belum jelas namun diduga dari riwayat infeksi lama.
6
Gejala-gejala multiple sklerosis sangat bervariasi tergantung dari lokasi plak
dalam sistem saraf pusat.3 Pola waktu evolusi gejala yang umum terjadi adalah gambaran
klinis memburuk selama beberap hari atau beberapa minggu, mencapai plateau dan
kemudian membaik secara bertahap, sebagaian atau total. Kemudian dapat terjadi
rekurensi pada interval yang tidak dapat diperkirakan yang mengenai pada bagian yang
sama atau berbeda pada susunan saraf pusat. Beberapa pasien dapat mengalami satu atau
lebih episode inisial kemudian tidak ada gejala untuk bertahun-tahun (pola jinak hingga
10%). Dapat terjadi resolusi simptomatik total atau hampir total, khususnya dengan
episode-episode awal (penyakit relaps-remisi, kurang lebih pada 80%). Sebagian akan
mengalami akumulasi disabilitas, walaupun tetap mampu bekerja selama bertahun-tahun.
Akan tetapi sepertiga pasien terkena lebih parah. Saat ini belum dapat diprediksi
prognosis setiap pasien, walaupun biasanya keterlibatan motorik dan serebelar
mempunyai prognosis lebih buruk.4 Lokasi lesi menentukan manifestasi klinisnya. Segala
bentuk kombinasi tanda dan gejala berikut ini dapat terjadi yaitu antara lain :
1. Gangguan sensorik
Derajat parestesia (rasa baal, rasa geli, perasaan “mati”, tertusuk-tusuk jarum dan
peniti) (pins and needles) bervariasi dari satu hari ke hari lainnya. Bila terdapat
lesi pada kolumna posterior medulla spinalis servikalis, fleksi pada leher
menyebabkan sensasi seperti syok yang menuruni spinalis (tanda Lhermitte).
Gangguan proprioseptif seringkali meningkatkan ataksia sensoris dan
inkoordinasi lengan. Sensasi getar seringkali terbatas.
Karena gangguan sensorik tak dapat diperagakan secara obyektif, maka gejala-
gejala tersebut dapat disalah duga sebagai histeria.2,5
7
2. Gangguan penglihatan
Banyak pasien yang mengalami keluhan visual sebagai gejala awal. Sering
dilaporkan adanya diplopia (pandangan ganda), pandangan buram, distorsi warna
merah-hijau, dan lapangan pandang abnormal dengan bintik buta (skotoma) pada
satu atau dua mata. Penglihatan dapat hilang sepenuhnya pada satu mata dalam
beberapa jam hingga beberapa hari. Neuritis optikus merupakan dasar dari
gangguan ini. Keluhan lain yang sering diungkapkan adalah diplopia akibat lesi
batang otak yang mengenai jaras serabut atau nucleus dari otot ekstraokular dan
nistagmus.5
3. Kelemahan spastik anggota gerak
Sering dikeluhkan kelemahan ekstremitas pada satu sisi tubuh atau kelemahan
dengan distribusi asimetris pada keempat ekstremitas. Pasien dapat mengeluh
kelelahan dan rasa berat di satu tungkai dan secara sadar menyeret kaki itu dan
memiliki control yang buruk. Spastisitas lebih jelas jika dibarengi dengan spasme
otot yang nyeri. Refleks tendon dapat menjadi hiperaktif dan tidak terdapat refleks
abdomen; respons plantaris adalah ekstensor (tanda Babinski). Tanda-tanda
tersebut mengindikasikan keterlibatan jaras kortikospinalis.5
4. Tanda-tanda serebelum
Nistagmus (bola mata bergerak cepat kearah horizontal atau vertikal) dan ataksia
serebelum adalah gejala lazim lain yang mengindikasikan keterlibatan traktus
serebelum dan kortikospinalis. Gerakan volunter yang tidak terkoordinasi, tremor
intensional, gangguan keseimbangan dan koordinasi, pusing, sakit kepala serta
8
disartria (pengamatan bicara dengan kata-kata yang terpisah ke dalam suku kata
dan berhenti di antara suku kata) adalah tanda dari ataksia serebelum2,5
5. Disfungsi kandung kemih
Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menyebabkan gangguan pengontrolan
sfingter; hesitansi, urgensi (tidak dapat menahan kencing), dan sering berkemih
lazim terjadi dan mengindikasikan adanya penurunan kapasitas spastik kandung
kemih. Juga terjadi retensi akut dan inkontinensia..2
6. Gangguan afek
Banyak pasien mengalami euforia (perasaan gembira yang tidak sewajarnya).
Perasaan ini diyakini akibat keterlibatan substansia alba lobus frontalis. Tanda
lain dari gangguan otak adalah hilangnya memori dan demensia.2,5
Pada kasus, pasien`cenderung lebih menunjukkan gejala gangguan penglihatan
yaitu adanya penglihatan yang kabur pada satu mata dan riwayat penglihatan hilang pada
mata kiri 5 bulan lalu namun membaik setelah dirawat beberapa hari di RS. Selain itu,
pasien juga mengeluh penglihatan sering membayang. Kemudian pada pemeriksaan
ditemukan ketajaman penglihatan dan lapangan pandang yang abnormal yakni ketajaman
penglihatan pada mata kanan 2/60 dan mata kiri 4/60 serta lapangan pandang pada mata
kanan di mana pasien tidak dapat melihat dari arah medial dan temporal. Adanya keluhan
tanda-tanda serebelum yang dialami oleh pasien ini yaitu sering pusing, sakit kepala, dan
adanya gangguan koordinasi ketika dilakukan tes jari hidung.
Meskipun sebagian individu mengalami kombinasi gejala multiple sklerosis yang
berbeda-beda maka miltipel sklerosis ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :6,7
9
1. Relapsing-Remiting Multiple Sclerosis
Pada multiple sklerosis jenis ini, terjadi kekambuhan beberapa kali yang tidak
terduga. Serangan ini berlangsung dalam waktu yang bervariasi (dalam hitungan
hari atau bulan) dan dapat pulih secara parsial atau total. Jenis ini dapat bersifat
‘tidak aktif’ selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Frekuensinya kurang
lebih 25%.
2. Benign Multiple Sclerosis
Setelah satu atau dua kali serangan kemudian pulih total, Multiple sklerosis jenis
ini tidak mengalami perburukan dan tidak timbul kecacatan permanen. Jenis ini
hanya dapat diidentifikasi ketika adanya gejala yang ringan timbul pada masa 10-
15 tahun setelah serangan dan pada awalnya dapat dikategorikan sebagai multiple
sklerosis relaps-remisi. Jenis ini juga cenderung berhubungan dengan gejala-
gejala yang tidak parah ketika terjadinya serangan (contohnya pada sistem
sensorik). Frekuensinya kurang lebih 20%.
3. Secondary Progressive Multiple Sclerosis
Bagi beberapa pasien yang mengalami Relapsing-Remiting Multiple Sclerosis,
dalam perjalanan penyakitnya ada bentuk perkembangan lebih lanjut yang
mengarah pada ketidakmampuan yang bersifat progresif dan sering kali disertai
kekambuhan terus menerus. Frekuensinya kuarng lebih 40%.
4. Primary Progressibe Multiple Sclerosis
Multipel sklerosis jenis ini ditandai dengan tidak ada serangan yang parah, tetapi
ada serangan-serangan kecil dengan gejala yang terus menerus memburuk secara
nyata. Terjadi satu akumulasi perburukan dan kerdakmampuan yang membawa
10
penderita pada tingkat/titik yang semakin rendah atau terus berlanjut hingga
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Frekuensinya kurang dari 15%.
Pada pasien ini termasuk mulipel sklerosis dengan jenis Relapsing-Remising
karena pasien mengalamai serangan yang tidak terduga dan sekitar 5 bulan lalu pasien
mengalami serangan gejala yaitu penghilatan yang hilang namun kemudian sembuh
parsial.
Karena tidak ada yang spesifik untuk Multipel Sklerosis, maka diagnosa terutama
berdasarkan adanya remisi dan relaps pada pasien itu sendiri, dengan lesi multifokal dan
asimetrik pada traktus subtansia alba. 7,8
1. Clinically definite MS
Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih dari satu
lesi atau dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI atau evoked
2. Laboratory supported definite MS
Terbuktinya ada dua lesi adri riwayat penyakit dan pemeriksaan jika hanya satu
lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked potensial dan
kadar Ig G abnormal
3. Clinically probable MS
Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesa dan bukan dari keduanya, terbukti ada
lebih dari satu lesi. Jika hanya satu lesi terbukti dari anamnesa dan hanya satu dari
pemeriksaan neurologik, evoked potensial atau adanya bukti pada MRI lebih lesi
dan pemeriksaan IgG CSF normal.
4. Laboratory supported probable
11
Kriteria yang dipakai pada MS ada dua yaitu kriteria Schumacher dan Poser,
tetapi yang banyak adalah kriteria poser.
Kriteria Poser
Jumlah serangan
Bukti adanya > 1 lesi IgG CSF
Klinik LabA. Clinically definite
A1A2
22
21 dan 1
B. Laboratory–supported definiteB1B2B3
211
1 atau 1 2 1 dan 1
+++
C. Clinically probableC1C2C3
211
1 2 1 dan 1
D. Laboratory-suported probable
2 0 +
Beberapa pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pasien
dengan multiple sklerosis antara lain :
a. Laboratorium
Tidak ada tes laboratorium tunggal untuk menegakkan diagnosis Multipel
Sklerosis, namun, beberapa tes dapat mendukung diagnosis klinis penyakit.
Analisis cairan serebrospinal menunjukkan ikatan oligoclonal IgG, yang
mengindikasikan sintesis imunoglobulin intratekal dan inflamasi patologi di
lebih dari 90% pasien. Latensi tertunda pada peningkatan potensi visual,
auditori dan somatosensori pada studi elektrofisiologi dari jalur sensorik
pusat, sebagaimana waktu konduksi memanjang pada motor sentral,
12
merupakan ciri khas dari demielinasi, dan dapat menunjukkan lesi
tersembunyi secara klinis. Tes darah biasanya digunakan untuk
menyingkirkan penyakit lain yang dapat menyerupai gejala infeksi awal dari
Multipel Sklerosis.8.9
b. Pencitraan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah tes yang paling sensitif untuk
mendeteksi dan menunjukkan lesi Multipel Sklerosis. MRI digunakan untuk
mendukung diagnosis, memperkirakan beban lesi dan aktivitas penyakit,
mengukur atrofi otak dan hilangnya aksonal, mengikuti perkembangan
penyakit, memberikan prognosis, berfungsi sebagai penanda pengganti dan
memberikan hasil pengukuran pada percobaan klinis. Lesi Multipel Sklerosis
hyperintense pada T2, kepadatan proton atau pencitraan FLAIR, dan
hypointense atau isointense pada pencitraan T1 Lesi Multipel Sklerosis
biasanya berbentuk bulat telur, ukuran kecil (rata-rata 3-8mm, meskipun plak
raksasa dapat terjadi) dan terletak terutama di lapisan putih periventricular.
Lesi tersebut cenderung tegak lurus ke ventrikel, melibatkan corpus callosum
dan U-fibers dan dapat meningkatkan gadolinium, terutama selama
peradangan aktif, karena gangguan dari BBB10.
Pada kasus ini tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang baik laboratorium
dengan analisis cairan serebrospinal maupun pencitraan yakni MRI karena adanya
keterbatasan fasilitias di RS. Oleh karena itu pengobatan yang diberikan kepada pasien
hanya secara simptomatik.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Mumenthelar, Mark. Multiple sklerosis: Fundamentals.of.Neurology.edisi 1
volume 1.2006.New York:ebook. Hal:156
2. Price Sylvia A., Wilson Lorraine M. Multipel Sklerosis. Patofisiologi : konsep
klinis proses-proses penyakit Edisi 6 Volume 2. 2005. Jakarta : EGC. Hal. 1145-
1147.
3. Compston A. Coles A. Multiple Sclerosis. Lancet Neurology . 2012; 359: 1321-31
4. Lucchinetti C, Bruck W, Parisi J, et al. Heterogeneity of multiple sclerosis
lesions: Implications for the pathogenesis of demyelination. Ann Neurol 2014;
47(10): 707-17
5. Matthews B. Symptoms and signs of multiple sclerosis. In: Compston A (ed.).
McAlpine’s Multiple Sclerosis. Churcill Livingstone. London: 2013;39(6): 208-14
6. Lublin FD, ReinGOLD sc. Defining the clinical course of multiple sclerosis:
Results of an international survey. National Multiple Sclerosis Society (USA)
Advisory Committee on Clinical Trials of New Agents in Multiple Sclerosis.
Neurology 201;46(4);907-11.
7. Hauser SL,MD. Manegement of Multiple Sclerosis. Departement of
Neurology;University of California; 2013; 20(4): 281-5
8. Polman CH, Reingold SC, Edan C, et al. Diagnostic criteria for multiple sclerosis:
2010 revisisons to the “Poster criteria”. Ann Neurol 2011; 56(6): 840-6
9. ZH Nevrol, Korsakova SS, Brian VV, Pozer CHM. Multiple Sclerosis:
Laboratory Findings: 2014; 23(5): 133-38
14
10. Filippi M, Bakshi R, Rovaris M, Comi G. MRI and Multiple Sclerosis; What
Happened in the last 10 years? J Neuroimaging 2014; 17(7):S1-7
15
Recommended