KULIAH UMUMMEMBANGUN DAN MEMPERTAHANKAN IDENTITAS KOTA1
Oleh : Dr.Ir. Edi Purwanto, MT2
A. PengantarMateri kuliah umum dengan tema “Membangun dan Mempertahankan Identitas
Kota” disampaikan didepan mahasiswa strata 1 Program Studi Perencanaan Wilayah
dan Kota serta mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM. Tujuan kuliah
umum adalah membekali mahasiswa dengan pemikiran-pemikiran baru bahwa dalam
perencanaan dan perancangan kota kekayaan khasanah lokal (kearifan lokal)
mendapatkan porsi yang lebih banyak agar identitas lokal sebuah kota dapat terbangun.
Pembicara kuliah umum adalah seorang pengajar dan arsitek yang
berkecimpung dalam bidang arsitektur perkotaan, oleh karena itu materi kuliah umum
akan berfokus pada porsi objek “perancangan kota/urban design”. Fokus kedua,
makalah ini akan lebih menitik beratkan pada upaya membangun dan mempertahankan
identitas kota dari sisi pemanfaatan potensi kearifan lokalnya, dengan menitik beratkan
peran sentral masyarakat lokal, artinya rekayasa ruang yang dibangun lebih banyak
bersifat bottom up.
B. Sejarah Perkembangan Kota : Kota Terencana vs Kota OrganikSejak jaman modern atau saat revolusi industri terjadi, kebanyakan kota di dunia
Barat dirancang dalam tradisi yang menyusun kota secara teknis. Artinya budaya-
budaya di dunia Barat khususnya sejak waktu tersebut dirancang dengan standar yang
mengutamakan faktor geometri sebagai hasil pengetahuan yang bersifat teknis dan
teoritis. Kota-kota yang dibangun dengan cara demikian disebut sebagai kota terencana
(planned city). Kota itu secara keseluruhan atau beberapa kawasan besar dari kota
tersebut dibangun dengan perencanaan tertentu yang lengkap secara geometris.
Struktur kota demikian sangat dipengaruhi oleh suatu tujuan dan rencana tertentu
sehingga proses yang terjadi pada pembangunan kota ini tidak penting karena
sebelumnya semua telah diatur dan diarahkan perencanaannya (Kostof, 1991).
Sebaliknya sebelum jaman modern, kebanyakan kota-kota di luar dunia Barat
dibetuk oleh tradisi disusun secara organis, artinya hampir semua budaya di luar dunia
Barat memakai standar-standar perencanaan kota yang mengutamakan faktor organik
1 Disampaikan didepan mahasiswa strata 1 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota serta mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM, tanggal 27 Februari 20092 Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
1
sebagai hasil pandang mereka yang bersifat tradisional. Kota-kota yang dibangun
dengan cara demikian disebut kota tumbuh (growth city) dan kota itu sendiri atau
kebanyakan kawasan dari kota tersebut dibangun dalam suatu proses tanpa
memperhatikan perancangan secara keseluruhan. Struktur kota ini sangat dipengaruhi
oleh proses pembangunan sehingga yang menjadi tujuan dari rencana tersebut
terhadap pembangunan kota dianggap tidak penting. Oleh sebab itu, pembangunan
kota tidak akan diatur sebelum adanya pembangunan karena kota dianggap akan
berkembang secara organis, ilmiah sesuai kebutuhan masyarakatnya.
Bagaimana dengan sejarah kota-kota di Indonesia? Terdapat beberapa tipologi
kota yang terekam dalam sejarah kota-kota di Indonesia dan dibagi dalam 3 kelompok
(Alfian, 2007):
1. Kota Tradisional, yaitu kota yang dibentuk dan dibangun oleh penguasa pada
saat mendirikan pusat-pusat kerajaan seperti kota Jogjakarta dan Surakarta.
2. Kota dagang pra-kolonial dan awal kolonial, seperti misalnya kota Banten,
Cirebon, Surabaya, dan beberapa kota di sepanjang pantai Utara Jawa. Tipe ini
secara prinsip dapat dikategorikan sebagai kota-kota dengan konsep kota
tradisional yang telah mengalami modifikasi, meskipun dominasi tradisionalnya
masih sangat kuat.
3. Kota kolonial modern, yang secara prinsip mengacu pada konsep kota modern
dan produk industri dari negara-negara maju.
Sebagian besar kota-kota di Indonesia pada dasarnya berasal dari
perkembangan kota-kota tradisional dan kota-kota kolonial. Konsep kota tradisional di
Indonesia merupakan kosep kota yang berasal dari peradaban agraris yang bersifat
tertutup seperti terlihat pada konsep kota tradisional Jawa. Struktur pemerintahan yang
berkembang pada saat itu adalah struktur pemerintahan patrimonial (Wheatly, 1983).
Legitimasi kebudayaan kota terpusat pada legitimasi keagamaan raja. Tradisi hinduisme
dan Budhisme yang datang dari India mempunyai pengaruh yang kuat terhada ritual
dan simbol-simbol kota. Demikian pula dengan pengaruh tradisi buaya Islam dalam
penyusunan tata ruang kota, arsitektur. Simbo-simbol kota banyak ditampakkan dalam
bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono,
1995).
Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban yang terbuka.
Kehidupan kota berlangsung berdasarkan aliansi antara kelompok-kelompok sosio-
kultural dengan kelompok-kelompok sosio-religius yang sampai batas tertentu memiliki
hak-hak otonomi. Kota dagang di Indonesia tidak dibangun berdasarkan kebersamaan
sebuah sistem nilai melainkan merupakan semacam konfederasi dari kelompok-
2
kelompok sosio-kultural (McGee, 1967). Terjadi pemberlakuan sistem nilai lokal pada
tingkat yang sangat umum, sedangkan setiap kelompok mempertahankan sistem nilai
sendiri daam kelompok mereka masing-masing. Kehidupan sosial perkotaan hanya
berkembang di dalam kampung, bukan di tingkat kota. Sebaliknya, menurut prinsip kota
modern, kota harus bersifat terbuka bagi semua orang dan merupakan komunitas yang
dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama antara kelompok-kelompok yang setara
dengan tujuan membangun kehidupan bersama. Kota modern adalah tempat tawar-
menawar, jual beli, memberi dan mendapatkan apa yang diinginkan. Setiap kelompok
harus mampu menekan sebagian kepentingan kelompok mereka sendiri, demi
terbentuknya komunitas urban yang heterogen secara etnis dan religi (Nas, 1984).
Dalam perkembangannya di Indonesia, warisan tipe kota tradisional dan kota
dagang pra-kolonial/masa kolonial relatif masih bisa dikenali struktur intinya meskipun
sudah mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Kota dengan tipe demikian masih
bisa diamati seperti misalnya kota Jogjakarta dan Surakarta, serta kota-kota
disepanjang pantai utara Jawa memanjang dari sisi Barat sampai ke Timur.
C. Kehancuran Kota Tanpa Identitas : Berkaca dari Pengalaman Dalam upaya penataan ruang dan pengelolaan wilayah Indonesia sudah banyak
disusun Rencana Tata Ruang Wilayah mulai dari tingkat Nasional, Propinsi hingga kota
Kabupaten bahkan kota Kecamatan. Akan tetapi pada kenyataannya hampir sebagian
besar rencana-rencana yang dibuat dengan susah payah itu tetap tinggal sebagai
rencana saja, karena tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Terdapat
beberapa masalah yang dihadapi dalam implementasi rencana tersebut, akan tetapi
yang sangat menonjol adalah lemahnya penegakkan hukum (law enforcement) dan
kurangnya pelibatan masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa antara rencana yang
disusun dengan realitas kehidupan di dunia nyata terdapat kesenjangan yang lebar.
Terlebih lagi, aspirasi masyarakat sering tidak tertampung atau terwadahi dengan baik.
Bagaimanapun juga rekayasa ruang perkotaan yang diinginkan berdimensi
manusia yang semestinya bertolak dari perspektif ”rekayasa ruang dalam konteks
kehidupan manusia” agar efeknya mampu mendorong munculnya rancangan sosial
yang manusiawi dan bermartabat. Pendekatan perencanaan dan perancangan ruang
perkotaan di Indonesia selama ini seringkali menggunakan pola top-down dan kurang
melibatkan unsur-unsur masyarakat pelaku ruang perkotaan (bottom-up), bahkan
kadang dilakukan dengan cara mencomot begitu saja teori-teori yang berasal dari
khasanah budaya/pustaka barat kemudian langsung diterapkan. Akibatnya adopsi teori-
teori tersebut kadangkala tidak tepat dengan situasi lokal karena teori yang digunakan
3
muncul dari situasi sosio spasial yang sangat berlainan dengan permasalahan lokal
yang akan ditangani. Perencanaan dan perancangan ruang perkotaan tidak dapat
semata-mata didasarkan kepada pendekatan yang objektif-positivistis tanpa
mempertimbangkan kenyataan subjektif-fenomenologis yang dirasakan oleh pelaku
ruang sebagai penggunanya. Realitas objektif ruang perkotaan sebenarnya hanyalah
sebagian kecil dari seluruh realitasnya, yang amat kaya dengan tanggapan-tanggapan
subjektif manusia penghuninya di dalam rangkaian proses dialektika manusia – ruang,
yang berlangsung terus menerus jangka panjang. Dengan demikian, pendekatan
pembangunan ruang perkotaan yang semakin tajam dan bermakna perlu dilakukan
dengan pendekatan subjektif-fenomenologis agar menukik dan membumi sampai ke
dasar dan akar permasalahan melalui suatu proses dialogis yang terus menerus dan
dilandasi oleh sikap hati-hati yang arif, kritis dan cerdas.
Selama ini paradigma perencanaan yang terlalu teknokratik dan deterministik ini
sebenarnya telah dikritik habis-habisan oleh Jane Jacobs, melalui beberapa bukunya,
terutama buku yang terbit lebih dari tiga dasawarsa lalu yakni The Death and Life of
American Cities (1962). Dalam buku ini Jacobs menunjukkan betapa proses-proses
perencanaan dan perancangan kota yang terlalu didasarkan atas pertimbangan-
pertimbangan teknis matematis cenderung menghasilkan suatu lingkungan kehidupan
yang kurang manusiawi kering, dan tidak beridentitas. Ia menawarkan pendekatan
perencanaan dan perancangan kota yang lebih “humanistis” yang memberikan
perhatian lebih pada aspek modal sosial yang sudah tersedia. Selanjutnya menurut
Jacobs (1962), sebuah kota harus “memiliki sesuatu untuk ditawarkan kepada semua
orang, karena kota diciptakan oleh semua orang. Tanpa memiliki sesuatu untuk
ditawarkan kepada semua orang, sebuah kota tidak ubahnya sebuah labirin yang akan
membuat siapa saja tersesat dan merasa teralienasi.
Disisi lain, kehancuran kehidupan kota-kota di Amerika saat itu salah satunya
disebabkan sistem perencanaan kota yang berbasis pada efisiensi. Jalan-jalan dibuat
dengan pola grid, bangunan didirikan dengan bentuk yang seragam, serba kotak,
mengakibatkan masyarakat serasa hidup terasing. Ketika terjadi revolusi industri di
Amerika pada tahun 1760 – 1863 berakibat naiknya tingkat urbanisasi sehingga
menambah jumlah penduduk kota yang juga berarti menambah masalah di dalam kota
itu sendiri seperti komunikasi. Masalah komunikasi menyebabkan mobilitas tinggi
sehingga perlu adanya fasilitas untuk menunjang kegiatan tersebut seperti stasiun,
kantor, hotel, pasar, pusat perbelanjaan, dan sebagainya yang merubah struktur kota.
Perubahan yang cepat dengan tidak adanya penyeimbangan fasilitas kota menimbulkan
daerah kumuh (slum area) yang sampai sekarang masih jadi masalah utama di
4
berbagai kota di dunia. Maka mulainya timbul gedung-gedung bertingkat yang
menjamur karena adanya penemuan lift pada tahun 1853 dan fasilitas utilitas lainnya
seperti pompa dan sistem kontruksi baja dan beton .
Gambar 1Seorang warga dengan latar belakang bagian kota St. Louis
Sebelum merdeka pada tahun 1781, arsitektur Amerika merupakan arsitektur
kolonial Eropa yang telah disesuaikan dengan iklim dan tenaga kerja serta hasil bahan
bangunan setempat. Namun setelah terjadinya kebakaran hebat yang
membumihanguskan kota Chicago, maka mulainya muncul ciri khas arsitektur Amerika
yang sebenarnya yaitu lepas dari tradisi Eropa. Kota Chicago yang terletak diantara titik
pertemuan Sungai Chicago yang mengalir ke danau Michigan dinilai sangat strategis
dan berkembang menjadi sebuah pemukiman yang berkembang pesat menjadi sebuah
kota. Setelah terjadi kebakaran yang menghancurkan kota itu, maka para arsitek yang
tergabung di dalam “The Chicago School“ mulai memikirkan strategi membangun kota
yang efisien, cepat, dan ekonomis dengan membangun kota sistem grid (papan catur).
Gaya yang dianut adalah “Form Follow Function“ dimana bentuk bangunan mengikuti
fungsinya, dan bangunan yang terjadi seolah-olah seragam tanpa sentuhan pribadi
arsiteknya. Hasil dari Arsitektur Modern adalah bentuk-bentuk yang fungsional .
5
Kemudian munculnya standarisasi dari Eropa padahal untuk Asia ukurannya berbeda
sehingga manusia dianggap sebagai bagian dari mekanisasi bangunan (tanpa ekspresi)
lama-lama orang mulai bosan dan jenuh terhadap tampilan bangunan Arsitektur
Modern. Puncak kegagalan Arsitektur Modern adalah ketika bangunan Pruitt-Igoe, St.
Louis yang demikian terkenal yang dibangun oleh Yamasaki yang disebut sebagai karya
cemerlang pada cakrawala kota dan harapan baru bagi kaum miskin akhirnya
diruntuhkan dengan cara didinamit 15 tahun kemudian hingga rata dengan tanah oleh
para sponsornya sebagai pengakuan atas kegagalannya yang membawa malapetaka.
Alih-alih 43 gedung apartemen ini menjadi model perumahan yang nyaman dengan
uang sewa murah, justru proyek ini menjadi sarang penjahat dan perusuh. Apartemen
yang awalnya direncanakan sebagai tempat berlindung yang nyaman dan aman bagi
kaum miskin menjadi pangkalan yang penuh teror diatas tanah tak bertuan, dan
halaman rumput yang direncanakan sebagai tempat bermain yang menyenangkan bagi
anak-anak ternyata berserakkan sampah, kaleng bir dan kotoran manusia. Pruitt-Igoe
harus dibongkar karena perencanaannya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
penggunanya. Desain arsitekturnya telah membuat apartemen ini menjadi seperti
penjara. Lift hanya berhenti pada setiap 3 lantai, sehingga terciptalah perangkap pada
lantai-lantai diantaranya, sehingga perampok, pemerkosa dapat memanfaatkan ujung
tangga dan ruangan tangga yang gelap untuk melakukan perbuatan kriminalnya.
Di Indonesia, juga sedang terjadi proses menuju matinya beberapa kota-kota
terutama di sepanjang pantai Utara Jawa karena kegagalan regenerasi kota (Kompas
29 Agustus 2008 halaman 47). Padahal kota-kota disepanjang pantai Utara Jawa
sebenarnya tumbuh dari kekhasan lokal masing-masing. Kekhasan yang
terimplementasikan hingga ke level kampung dan mempengaruhi toponiminya, misalnya
Cirebon untuk menunjukkan banyaknya rebon (udang kecil) di sungai-sungai. Kekhasan
citra kota sepertinya sangat diperhitungkan oleh Belanda saat itu. Ketika Belanda mulai
mendirikan kota praja tahun 1905, lambang-lambang yang diambil adalah ciri khas kota
tersebut, misalnya Surabaya dilambangkan dengan pertarungan ikan Soera dan Boeaja.
Tidak hanya pencitraan, kekhasan antar daerah telah mendorong spesifikasi antar kota.
Pada masa lalu kota-kota di pantai Utara Jawa memiliki ciri khas masing-masing sesuai
kondisi alam dan komoditas unggulan di daerah sekitarnya. Namun pencitraan maupun
spesifikasi antar kota sekarang sudah mulai redup bahkan menuju kepada proses
kematian. Ke depan fenomena ini akan membawa kota-kota pada situasi dimana
kegiatan ekonomi dan tata ruang tidak lagi berada pada kendali dan kepemilikan warga
lokal.
6
Contoh-contoh tersebut diatas memberikan penegasan bahwa sebuah kota yang
dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya mengesampingkan peran warga lokal
sebagai aktor utamanya maka lambat laun kota tersebut akan kehilangan citra dan
identitasnya bahkan lebih jauh lagi mengakibatkan kematian dan kehancuran.
D. Identitas Kota Berbasis Kearifan Lokal : Kajian TeoriKevin Lynch dalam bukunya The Image of The City (1960) mendefinisikan
identitas kota sebagai berikut :
“........identitas kota bukan dalam arti keserupaan suatu objek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan objek lain serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri” (Lynch, 1960)
“.......identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri” (Lynch, 1960).
Menurut Lynch (1960), untuk dapat memahami indentitas sebuah kota terlebih
dahulu memahami citranya. Citra kota yang mudah dibayangkan (mempunyai
imagibilitas) dan mudah mendatangkan kesan (mempunyai legibilitas) akan dapat
dengan mudah dikenali identitasnya. Citra kota merupakan gambaran mental bagi
pengamatnya, dan hal tersebut dipengaruhi oleh komponen-komponen :
1. Identitas mempunyai potensi dibacakan, artinya pengamatan dapat
memahami gambaran perkotaan (melalui identifikasi objek-objek, perbedan
antara objek, perihal yang dapat diketahui)
2. Struktur mempunyai potensi disusun, artinya pengamat dapat melihat
pola perkotaan (hubungan objek-objek, hubungan subjek-objek, pola yang
dapat dilihat)
3. Makna mempunyai potensi dibayangkan, artinya pengamat dapat
mengalami ruang perkotaan tentang arti objek-objek, rasa yang dapat
dialami.
Dalam konteks kekinian, teori Kevin Lynch yang digunakan dalam memahami
citra dan identitas kota memerlukan modifikasi dalam tataran operasionalnya terutama
penyesuaian dengan kondisi masing-masing kota terutama kota-kota di Indonesia.
7
Memahami citra dan identitas kota tidak hanya mendasarkan pada keberadaan elemen-
elemen fisik yang dikenali maupun kejelasan struktur kotanya namun yang lebih penting
bagaimana keberjalinan manusia dengan artefak fisik dapat terbangun. Dengan kata
lain keberjalinan tersebut merupakan bagian dari pengungkapan makna yang
terkandung dibalik citra dan ientitas sebuah kota.
Berbicara identitas kota, tidak terlepas dari bentukan bentukan fisik tiga dimensi
bangunan-bangunan arsitekturnya dan kehidupan manusia yang menghuni di
dalamnya. Apalagi jika dikaitkan dengan kearifan lokal, tidak hanya keunikan dan
kekhasan artefak fisiknya saja, namun juga keunikan dan kekhasan kehidupan sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan spiritual penghuninya. Istilah kearifan lokal kurang lebih
sama dengan genius loci dicetuskan oleh Christian Norberg Schulz dalam bukunya
yang berjudul: Genius Loci, Towards a Fenomenology of Architecture. Menurut Schulz
(1984), kota akan lebih tepat bila dipandang sebagai suatu loka (loci, place, tempat).
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kota tersebut menyediakan ruang (space) untuk
kegiatan, untuk orientasi, disamping mempunyai karakter sebagai jiwa tempat, untuk
identifikasi. Selanjutnya menurut Schulz, karakter yang spesifik dapat membentuk suatu
identitas, yang merupakan suatu pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah
perkotaan, yang secara umum disebut a sense of place. Pemahaman tentang nilai dari
tempat ini merupakan pemahaman tentang keunikan dan kekhasan dari suatu tempat
secara khusus, bila dibandingkan dengan tempat lain.
Sementara itu, Rosi (1979) dalam bukunya: The Architecure of The City
mengatakan bahwa keunikan atau karaktersitik tempat (locus solus) merupakan
pembeda secara signifikan dengan tempat lainnya. Konsep locus solus dicetuskan oleh
Rosi seorang arsitek dari Italia, pelopor gerakan la Tendenza, sebagai bentuk protes
terhadap mewabahnya pengaruh gerakan arsitektur modern yang melanda seluruh
dunia. Dengan sangat kritis dikecamnya kaidah-kaidah perancangan kota modern yang
berlandaskan fungsionalisme sempit dan formalisme hampa. Semua itu mengakibatkan
terciptanya kota-kota bertampang seragam, tunggal rupa, tanpa identitas yang jelas.
Kecamannnya bukan semata-mata ditujukan pada sterilisasi bentuk atau modern yang
serba dogmatis, tetapi lebih kepada kealpaan dan ketidak acuhan para pengelola kota
serta penghancuran karya arsitektur dan kawasan kota tertentu yang memiliki keunikan
dan karakter spesifik. Padahal arsitektur atau lingkungan semacam itu mengemban misi
sebagai sumber kenangan (collective memory) masa lampau, yang merupakan koleksi
mosaik sejarah kehidupan manusianya. Menurut Budiharjo (1991) pada hakekatnya,
kota tidaklah mewujud sekadar sebagai wadah aktifitas manusia masa kini saja,
melainkan juga sebagai sumber kenangan masa lampau dan arena berfantasi ke masa
8
depan. Dengan demikian dengan banyaknya bangunan kuno yang dihancurkan, ikut
lenyap pulalah kenangan (memory) yang bisa merupakan bahan acuan untuk inspirasi
bagi perancangan karya baru yang berkualitas. Menurut Rosi, tanda-tanda, simbol,
peringatan, tengeran dan semacamnya, yang serba otentik, betapapun kecilnya akan
sangat berarti sebagai cerminan sejarah kota dalam bentuk yang teraga dan kasat
mata.
Menurut Siregar (2000), tiap kota yang ada sekarang, sebagai lingkungan
binaan, telah melalui perkembangan sejarahnya masing-masing, yang membuatnya
menjadi suatu tempat (place) dan ruang (space). Perkembangan itulah yang
menentukan karakter atau identitasnya, yang merefleksikan berjalinnya kehidupan, yaitu
budaya dan tradisi, dengan lingkungan fisik-spasial. Walaupun budaya-budaya di
Indonesia mungkin tidak terlampau tua, akarnya – terutama budaya jawa – merujuk jauh
ke belakang. Budaya-budaya Indonesia, dan perwujudannya pada lingkungan fisik,
telah melalui proses perkembangan, mengalami perubahan dan penyesuaian karena
kontak dengan – bahkan “invasi” dari – budaya dan kekuatan besar lain. Untuk konteks
Indonesia, identitas itu agaknya bukan dalam pengertian sesuatu yang mono-
characteristic seperti banyak dikemukakan bahkan diidamkan, yang bagaimana pun
menyarankan suatu keadaan ideal yang tunggal, yang merefleksikan inkarnasi impian
utopia. Identitas kota Indonesia yang kita yakini didasarkan pada realitas urban yang
kontemporer, yang selalu mempertahankan kekhususan konteks waktu dan tempatnya,
dan dengan demikian unik untuk setiap kota di Indonesia, dan di mana pun. Oleh
karena itu tiap kota seyogyanya dipahami secara spesifik, bukan dengan generalisasi.
Di sinilah kiranya arsitektur dapat mengambil peran pentingnya. Menurut Kostof (1991)
mengemukakan pengertian yang sederhana:”cities are places made up of buildings and
people”. Berdasarkan pengertian tersebut, tatanan fisik spasial lingkungan binaan
(terutama kota) menjadi titik tolak masuknya pendekatan arsitektur ke dalam masalah
perkotaan (urban) yang kompleks. Dari arah pendekatan itu dapat diperoleh gambaran
yang lebih komprehensif, karena membicarakan lingkungan perkotaan berarti
seyogyanya sekaligus membicarakan kegiatan yang dilakukan di tempat itu.
Kaitan konsep tentang kearifan lokal kaitannya dengan arsitektur dan kota pada
esensinya adalah segala upaya bagaimana merancang arsitektur dan kota yang
berbasis kepada tema identitas dan jatidiri dengan cara menuntut penggalian dan
penemuan kembali secara intensif dan ekstensif tentang kekhasan, kekhususan
keunikan dan karakter yang spesifik yang menjiwai suatu kota (termasuk produk
arsitekturnya) tertentu yang membedakannya secara bermakna dengan kota lain.
Kearifan lokal dalam tata cara hidup, perilaku, kebiasaan dan adat istiadat yang telah
9
menciptakan jatidiri masyarakat setempat harus menjadi landasan utama dalam
perencanaan dan perancangan, tidak boleh dikendalikan dengan instruksi dan doktrin
secara paksa dan pukul rata (serba sama), karena dengan demikian jiwa dan semangat
suatu tempat akan sirna.
Dalam arsitektur, sebuah bentuk (form) ketika dihuni oleh manusianya dan
memberikan segala hal yang dibutuhkannya, maka bentuk tersebut dianggap memiliki
jiwa dan semangat (spirit). Tetapi yang perlu dilestarikan dan dikembangkan sebetulnya
justru bukan bentuk itu semata, tetapi jiwa dan semangat suatu tempat jauh lebih
penting. Bentuk fisik bisa berubah bahkan mati, tetapi jiwa dan semangat harus
diupayakan tetap hidup. Jiwa dan semangat itulah yang harus ditangkap untuk
kemudian diejawantahkan kembali secara dinamis-kreatif-inovatif, dengan idiom atau
ungkapan baru yang mewakili kekinian.
E. Faktor Apa Saja yang Diperlukan dalam Membangun Identitas Kota?Berdasarkan uraian pada bagian B (Kehancuran Kota Tanpa Identitas),
disebutkan bahwa kota-kota yang dirancang dengan pendekatan proses perencanaan
dan perancangan kota yang terlalu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan teknis
matematis cenderung menghasilkan suatu lingkungan kehidupan yang kurang
manusiawi kering, dan tidak beridentitas. Jacobs (1962) mengamati beberapa kota yang
dibangun setelah revolusi industri di Amerika, dan ternyata kemudian kota-kota tersebut
akhirnya dihancurkan karena kegagalannya dalam memenuhi kebutuhan kehidupan
warga kotanya. Disisi lain kota-kota yang awalnya direncanakan secara organik
(tradisional), terutama di beberapa kota di Asia dan Afrika masih eksis hingga sekarang
dan justru menjadi ikon masing-masing negara seperti misalnya kota-kota di negara
Jepang, China, Indonesia (Jogjakarta dan Surakarta), Maroko, Mesir, dan sebagainya.
Muncul pertanyaan lain mengapa kota-kota di Eropa yang dibangun dengan pendekatan
kota modern (setelah masa renaissance) justru berhasil membangun identitasnya,
seperti kota Paris, Roma, London. Menurut Rapoport (dalam Zahd, 1999) kesamaan
kota-kota yang dibangun dengan pendekatan kota modern antara di Amerika dan di
Eropa adalah pada “struktur dan bentuk” kotanya. Namun perbedaannya adalah kota-
kota di Amerika tidak memperhatikan sifat-sifat tatanan, hirarki (tempat-tempat mana
yang lebih penting) di dalam morfologi/struktur kotanya. Sehingga kota-kota di Amerika
berkesan tidak terselesaikan dan mengarah ke ketidakterbatasan (non-ending) dan
ketidakadaan (placelessness) dan lebih menempatkan efisiensi, mobilitas dan
fleksibilitas sebagai hal yang utama.
10
Dalam kondisi masa sekarang, bagaimanakah membangun dan
mengembangkan sebuah kota sekaligus membangun identitasnya terutama untuk
kasus kota-kota di Indonesia. Hal terpenting yang patut diperhatikan adalah bagaimana
memanfaatkan potensi dan kekayaan arsitektur, iklim dan budaya lokal yang digunakan
sebagai basis dalam merencanakan dan merancang sebuah kota yang beridentitas.
1) Mempunyai Struktur Kota yang Jelas Kota yang mudah dipahami dan mempunyai kesan adalah kota yang mempunyai
struktur yang jelas, sehingga warga kota atau pengamat dapat dengan mudah
menjelajah, berorientasi terhadap lingkungan sekitar. Selain itu dengan pembagian
fungsi-fungsi perkotaan yang jelas menjadikan warga kota atau pengamat merasa
nyaman tinggal dan dengan mudah dan cepat melakukan mobilitas dalam kota tersebut.
Sebaliknya kota yang tidak jelas strukturnya, kerapkali mengundang
permasalahan bagi warga atau pengamatnya, seperti misalnya kemacetan lalu lintas
akibat beberapa fungsi kota (misal perdagangan) ditempatkan dalam posisi yang tidak
tepat sehingga membangkitkan pergerakan lalu lintas yang luar biasa atau tidak
tersedianya jalur pejalan kaki menyebabkan orang menjadi tidak nyaman dan takut
melintas.
Pada kota-kota tradisional (terutama di sepanjang pantai Utara Jawa) struktur
kotanya dapat dipahami dengan adanya pusat (inti) berupa pusat pemerintahan yang di
depannya terdapat alun-alun, sisi Barat terdapat masjid. Sayangnya pusat kota
tradisional yang berorientasi pada alun-alun lambat laun mati karena tidak terintegrasi
dengan fungsi-fungsi baru yang menjadi kebutuhan masyarakatnya.
Demikian pula dengan perencanaan dan perancangan kota-kota modern (ada
yang menyebut kota mandiri, kota satelit), ada kecenderungan developer hanya
memikirkan kepentingannya sendiri, tidak mengintegrasikan dengan wilayah sekitarnya,
sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas yang sangat luar biasa terutama saat
masyarakat beraktifitas ke kantor atau kesekolah, demikian juga sebaliknya.
Perencanaan struktur kota yang terintegrasi menjadi sebuah kebutuhan mutlak,
tidak hanya mengintegrasi fungsi-fungsi lama dengan yang baru, namun juga fungsi
baru dengan wilayah di sekitarnya. Tujuannya adalah agar masyarakat merasa nyaman
tinggal di kota tersebut dan menarik untuk dikunjungi. (Kusumawijaya, 2006).
2) Mempunyai Keunikan dan Kekhasan Artefak Fisik
11
Kota yang baik adalah kota yang mampu memberikan pengalaman ruang yang
kaya bagi warga maupun pengamatnya. Pengalaman tersebut memberikan stimulasi
pada seluruh panca indera manusia. Perjalanan di pulau Bali misalnya akan membawa
kita pada pengalaman melihat, mencium bau, mendengar dan merasakan tekstur
sebuah ruang arsitektur atau yang disebut sosiolog Ken-Ichi Sasaki sebagai ’tactility
experience’. Ini bisa terjadi karena faktor skala ruang yang baik, intim, emosional dan
antropometris.
Beberapa kota mengalami kehancuran pada sistem visualnya, kualitas visualnya
menjadi menurun, penyebabnya adalah hutan rimba papan reklame yang dipasang
dengan melupakan kaidah proporsi, skala, estetika. Dengan dalih mengejar PAD
(pendapatan asli daerah) pemerintah setempat memberikan peluang sebesar-besarnya
kepada sektor swasta untuk beriklan melalui papan reklame/baliho berukuran raksasa.
Bahkan beberapa papan reklame menutupi wajah (fasade) bangunan-bangunan kuno
dengan arsitektur yang unik dan menarik, padahal wajah bangunan yang menarik dapat
menjadi sebuah potensi kekhasan lokal.
Gambar 2Bangunan Pecinan di Jalan Malioboro tertutup oleh papan reklame
Bagi kota-kota yang termasuk tipe kota tradisional dan kota dagang relatif masih
dijumpai artefak arsitektur yang khas atau kelompok masyarakat etnis tertentu yang
tinggal secara berkelompok. Kota Jogjakarta misalnya masih dikenali melalui artefak
fisik berupa keraton dan jalan penghubungnya yang membentuk aksis (as), diantaranya
jalan Malioboro dan hingga sekarang jalan tersebut berkembang menjadi kawasan
12
perdagangan yang unik dan banyak dikunjungi wisatawan. Di beberapa kota dagang
terutama yang berada di kawasan pantai utara Jawa masih banyak dijumpai kampung-
kampung masyarakat etnis tertentu seperti misalnya kampung Arab, Cina, Kauman.
Keberadaan kampung-kampung tersebut unik dan khas karena memberikan warna
tersendiri bagi kehidupan perkotaan. Selain itu dapat dikenali pula keberadaan alun-alun
sebagai penanda letak kantor Bupati, di sekelilingnya terdapat masjid Agung (biasanya
terdapat kampung Kauman di belakang masjid), penjara, pasar. Potensi artefak fisik
yang unik dan khas dapat menjadi salah satu modal membangun identitas kota dengan
cara merevitalisasinya agar menjadi sebuah pembeda dengan kota-kota lainnya.
Meskipun dalam perkembangannya kota-kota tersebut akan mengalami pertumbuhan,
hal penting yang diperlukan adalah bagaimana kekhasan dan keunikan artefak fisik
tersebut dapat berdampingan selaras dengan bangunan/artefak fisik yang bersifat
modern dan baru.
3) Mengutamakan Sistem Transportasi Massal Inefisiensi banyak terjadi dalam perkembangan kota-kota besar di Indonesia
karena belum tersedianya transportasi masal yang representatif dan memadai. Bagi
kota-kota besar di Indonesia, penyediaan public transport seperti busway, monorail, dan
berbagai jenis moda transportasi masal jelas suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Kemacetan di banyak kota-kota besar akibat meningkatnya volume kendaraan karena
bertambahnya pengguna mobil pribadi adalah sesuatu yang mesti segera diakhiri.
Dengan demikian konsumsi energi khususnya minyak BBM diharapkan juga bisa sangat
terkurangi.
Kota Curitiba dengan tingkat kepemilikan mobil tertinggi di Brazil serta jumlah
penumpang angkutan sampai dengan 2.2 juta orang per hari, menerapkan busway
berdaya angkut sampai dengan 270 penumpang, dengan 340 rute dan 1902 bus, telah
berhasil mengurangi ketergantungan warga kota pada mobil pribadi. Selain itu Curitiba
juga menjadi salah satu kota dengan tingkat polusi terendah di dunia (karena konsumsi
energi yang rendah). Untuk menghambat penggunaan kendaraan pribadi, tingkat
pelayanan transportasi massal harus jauh lebih tinggi daripada tingkat pelayanan mobil
dan motor pribadi (Tohjiwa, 2008). Beberapa kota di Eropa dan Amerika menyediakan
fasilitas transportasi berupa kereta trem dengan menggunakan tenaga listrik dimana
jalurnya berdampingan dengan jalan raya. Gambaran yang terjadi di kota Curitiba Brasil
dan beberapa kota di Eropa dan Amerika tidak hanya memberikan kenyamanan bagi
warganya, namun juga menciptakan sebuah indentitas kota setidak-tidaknya dari aspek
transportasi massalnya. Dengan sistem transportasi massal yang aman dan nyaman,
13
akan membantu membangun sebuah pemahaman dalam kognisi siapapun yang pernah
mengalami dan melihat kota tersebut bahwa ada kekhasan setempat.
Gambar 3Jalur Kereta Api di jalan Slamet Riyadi Solo
Di kota Solo terdapat potensi transportasi jalur KA di sepanjang jalan Slamet
Riyadi, apabila dimanfaatkan sebagai transportasi kota/antar wilayah bagian kota
niscaya akan menjadi identitas kota Solo. Pada intinya pengutamaan sistem
transportasi massal lebih banyak memberikan pelayanan masyarakat dalam hal
beraksesibilitas.
Tranportasi massal yang nyaman dapat digunakan sebagai sarana city tour bagi
wisatawan.
4) Mengutamakan Ruang Pejalan Kaki dan Ruang PublikJalur sirkulasi di hampir seluruh kota di Indonesia memberi porsi yang lebih
besar bagi kendaraan bermotor. Sementara trotoar tak lebih 1,2 m saja lebarnya, dan
harus berbagi dengan pot bunga, tong sampah, pedagang kaki lima, dan lain-lain. Jika
jalur perkantoran dan bisnis di pusat kota bisa dihubungkan dengan pedestrian yang
nyaman, paling tidak untuk makan siang pegawai kantor di sekitar pusat bisnis tersebut
tidak harus menggunakan mobilnya.
Di Curitiba, Brazil, area pusat kota ditata dengan porsi bagi pejalan kaki yang
cukup lebar dengan aktivitas yang hidup hampir 24 jam, menghasilkan pendapatan di
sektor wisata kota sampai dengan 280 juta dollar AS, menyumbang 4 % pendapatan
kota, selain tentu saja mengurangi ketergantungan pada kendaraan.
14
Gambar 4Jalur Pejalan Kaki
Ruang publik memiliki peran dan fungsi penting bagi kegiatan masyakarat di
perkotaan. Oleh karena itu penanganan ruang kota seharusnya mendapat perhatian
tersendiri dan terus menerus serta selalu ditingkatkan kualitasnya agar dapat
mengakomodasi keinginan masyarakat penghuni kota, baik secara fisik maupun
aspresiasi-aspresiasinya. Dengan demikian kota dapat semakin hidup (lifelxy city) dan
berkembang. Sehingga diperlukan partisipasi dari berbagai pihak diperlukan dalam hal
ini, sehingga peningkatan kualitas ruang publik tidak bergantung pada pemerintah kota
saja, tetapi seluruh unsur masyarakat, dan lembaga-lembaga lain seperti
lembaga/organisasi profesi, asosiasi-asosiasi pengusaha dan industri, pers, pakar-
pakar, LSM, dan pemerhati kota.
Keberadaan ruang publik harus mampu membangkitkan vitalitas bagi kota
artinya bahwa ruang publik seharusnya lebih diramaikan dengan adanya cafe,
pedagang kaki lima, dan kegiatan lain yang menggunakan ruang publik misalnya
festival-festival yang akan menghidupkan suatu kawasan (Lynch.K, 1972).
15
Gambar 5Ruang Publik Perkotaan berbentuk Cafe
Karenanya ruang publik adalah elemen terpenting dalam peradaban kota. Ia
menjadi wadah lahirnya kerekatan sosial yang bisa membawa kota menuju masyarakat
madani atau civil society. Dalam sejarahnya, seperti diwacanakan Habermas, ruang
publik atau offentlichkeit ini menjadi wadah dari institusi kelas menengah yang punya
pengaruh kuat dalam proses revolusi sosial. Kekuatan kelas menengah kelas borjuasi di
Eropa misalnya tumbuh berkembang di kafe-kafe yang menjadi ruang untuk
mendiskusikan isu bisnis sekaligus isu-isu kemasyarakatan. Dalam sejarahnya, di Eropa
Timur, kafe menjadi ajang untuk berdiskusi politik dan isu-isu besar dunia, Bahkan
Trosky pun tengah mengirup kopi di kafe saat terjadinya revolusi Oktober di Rusia.
Khususnya di Paris, budaya diskusi di kafe-kafe ini membidani lahirnya karya-karya seni
dan sastra modern. Ruang Publik sendiri sejatinya adalah ruang demokratis tempat
bertemunya semua khalayak. Ia milik semua orang. Ia menjadi tempat manusia
bertoleransi terhadap perbedaan. Ia menjadi di tempat manusia berlatih menghadapi
kejutan-kejutan sosial. Pada puncaknya, toleransi pluralisme pada ruang publik ini akan
mendorong lahirnya konsepsi public domain, yaitu wacana tempat kita mendiskusikan
ruang publik atau bertukar pikiran antar grup sosial yang berbeda. Media publik seperti
halnya koran, televisi dan ruang maya di internet, kemudian menjadi sarana dalam
bernegosiasi di ruang publik tadi. Syaratnya, public domain ini haruslah independen.
5) Mempunyai Kandungan Collective Memory
Kota yang mudah mendatangkan kesan kuat bagi orang yang mengingatnya
adalah kota yang mampu menyimpan kenangan, sehingga ketika didatangi pada saat
berikutnya maka kota tersebut mampu memberikan kenangan masa lalunya. Kota yang
16
mempunyai kandungan kenangan pada umumnya merupakan kota yang lahir berkait
dengan faktor sejarah pembentukannya yang unik dan menarik. Keberadaan kota-kota
tradisional maupun kota dagang pra kolonial/kolonial pada dasarnya merupakan kota
peninggalan sejarah. Sementara itu Rosi (1982) mengatakan bahwa kota yang lahir
karena proses sejarah adalah juga gudang sejarah (a repository of history). Karena itu
sulit membayangkan untuk mempelajari fenomena kota tanpa melalui sejarah. Ada dua
pendekatan untuk memahami kota sebagai sejarah, yaitu [i] sebagai material artifact,
berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak, kota menjadi teks sejarah
(historical text); dan [ii] sebagai collective imagination, kota dilihat sebagai sintesis dari
rangkaian nilai-nilai.
Gambar 6Ruang publik dikeilingi bangunan kuno di Malioboro
diyakini mengandung memori kolektif
Salah satu contoh kota yang mempunyai kandungan kenangan kolektif adalah
kota Jogjakarta terutama di pusat kotanya (sekitar kawasan Malioboro). Sebagai ruang
perkotaan yang terbentuk karena faktor sejarah, maka ruang perkotaan ini banyak
menyimpan memori masa lalu yang berkaitan dengan aspek budaya, sosial, spiritual,
ekonomi, dan politik. Karena menyimpan memori masa lalu yang sangat kuat dan
berkesan bagi pelaku ruangnya, maka muncul keinginan untuk selalu mengulang hadir
kembali dalam pentas kehidupan ruang perkotaan ini. Hal tersebut seperti dikatakan
oleh Bono (1976) bahwa memori selalu meninggalkan jejak (memori traces), yang
berfungsi sebagai tanda (sign) atau petunjuk memori. Hal senada juga dikatakan oleh
Boyer (1994) bahwa sebuah kota tua banyak menyimpan memori masa lalu. Sehingga
17
relasi antara arsitektur, bentuk kota, aktifitas dan sejarahnya harus menjadi
pertimbangan utama dalam merancang pengembangan kota ini. Ekspresi kolektif dari
arsitektur kota adalah rangkaian memori dari berbagai bentuk arsitektur dan rencana-
rencana kota masa lalu. Oleh karena itu untuk dapat mengapresiasi makna kota,
seorang pengamat seyogyanya tidak hanya melihat kota dari sudut formal-fungsional
belaka tetapi disertai juga dengan pemahaman bentuk berserta penafsiran makna yang
dikandungnya. Ingatan kolektif bukanlah sekadar kenangan atau pengalaman yang
berkesan dari orang banyak terhadap suatu ruang perkotaan, melainkan lebih ke arah
terbangunnya ikatan emosional dan spiritual dari orang banyak terhadap ruang
perkotaan. Akibat faktor sejarah, maka ikatan emosional ini kemudian menjadi
melembaga dan menjadi sosok intitusi. Intitusi ini kemudian diikuti dengan munculnya
intitusi-institusi ikutan, yang pada akhirnya membentuk gambaran makna citra dalam
anyaman kolektif yang memiliki kekuatan luar biasa. (Sudaryono, 2002).
6) Lebih Banyak Membangun Fungsi LatenKota yang dengan mudah dikenali identitasnya, dimulai dengan bagaimana kota
tersebut menyediakan dan mengolola ruang jalan yang nyaman bagi warganya,
kemudahan beraksesibilitas antara tujuan satu dengan tujuan lainnya, dan bagaimana
jalan tersebut juga digunakan sebagai media berinteraksi. Jane Jacobs di buku The
Death and Life of Great American Cities (1962) mengingatkan kita. Apabila kita berfikir
tentang sebuah kota, maka yang akan terbersit pertama kali di benak kita adalah jalan-
jalannya. Apabila jalan-jalan di kota tersebut menarik, atraktif, dan semarak, maka
menariklah kota tersebut. Tetapi apabila jalanan itu sepi, mati, dan bahkan menakutkan,
maka kota tersebut akan menjadi membosankan dan tidak menarik untuk dikunjungi.
Kehidupan dan fungsi jalan menjadi salah satu penentu bagi kemenarikan suatu kota.
Pola pikir sebagian besar perencana dan pengelola kota biasanya melihat
keberadaan ruas jalan sebagai ’engineering space’ semata untuk mengakomodasi
angka-angka aliran kendaraan bermotor. Ruas-ruas jalan seperti ini juga umumnya
hanya direncana berdasarkan standar teknis dan jarang didesain secara baik untuk
menjadi sebuah ruang sosial yang mampu mengundang warga untuk turun berinteraksi
sosial secara suka rela. Mulai punahnya potensi ruas jalan sebagai ruang interaksi
demokratis masyarakat urban akhirnya menyebabkan kota pun menjadi rigid dan
hambar. Seperti halnya robot, kota pun berfungsi secara teknis namun tidak berjiwa.
Menurut sosiolog Jane Jacobs, kota-kota yang ’livable’ dimana nilai-nilai urbanitasnya
berkembang dengan baik, ruang interaksi sosial masyarakat urban yang utama justru
sering kali mengambil tempat di koridor jalan kota.
18
Jalan sebaiknya diberi kebebasan untuk memproduksi fungsi latennya. Jalan
tidak saja memiliki fungsi sebagai jalur lalulintas saja, namun muncul sebagai tempat
sosial masyarakat yang melakukan kegiatan di dalamnya, dan sebuah jalan dapat
dikatakan menjadi sebuah ruang bilamana jalan tersebut memiliki ciri khas budaya
setempat, dan terbentuk atas keberadaan bangunan yang melingkupinya serta
landscape yang ada. Ruang ini oleh pelaku ruang diberi kegiatan di dalamnya, dihuni
oleh keberagaman pelaku didalamnya, mulai dari pekerja kantor pemerintahan,
pedagang kakilima, dan lain sebagainya. Selain itu ada pengguna lain pada ruang ini
seperti pelaku komunitas kendaraan, pelaku ekonomi berupa kegiatan-kegiatan
periklanan serta tukang parkir jalan. Keberadaan pengguna ruang ini diduga merupakan
suatu bagian yang saling terkait, antar pengguna ruang tidak terjadi konflik, berupa
penentuan batas wilayah, perebutan hak berada dalam satu ruang, indikasinya adalah
mereka saling melengkapi keberadaannya seperti ada sebuah norma dan pranata yang
telah disepakati antar pengguna ruang.
Gambar 7Fungsi Laten Ruang Jalan, digunakan untuk nongkrong klub vespa antik
Kegiatan yang timbul pada sebuah jalan tersebut oleh Rapoport dikatakan
mempunyai fungsi laten yang merupakan ”fungsi sampingan” yang terjadi kemudian
karena adanya kegiatan-kegiatan ”varia” yang muncul meskipun biasanya tidak
dipertimbangkan sebelumnya dalam perencanaan. Disamping fungsi jalan yang memiliki
fungsi manifest yaitu fungsi dasar atau fungsi tetap dari suatu lingkungan binaan yang
ditentukan / direncanakan sejak awal dan kegiatan manifest adalah kegiatan spesifik
dari fungsi tersebut (Rapoport, 1977).
19
Dalam buku klasik 'Great Streets', Allan B Jacobs secara gamblang menyatakan
jalan yang masuk dalam klasifikasi 'great streets', biasanya selalu memiliki kualitas
spasial istimewa dan sukses merangsang warga kota, untuk turun berinteraksi sosial
dan beraktivitas urban yang sehat. Di ruas-ruas ruang publik tersebut, warga kota tidak
ragu-ragu untuk melangkahkan kakinya membeli susu dan koran pagi, berjalan
mengamati pajangan dikaca-kaca toko, bergurau santai di kafe-kafe pinggir jalan
ataupun duduk makan siang sambil mengamati lalu lalang pejalan kaki di trotoar jalan.
Mulai dari keriuhan koridor jalan Las Ramblas di Barcelona, eksotisme Malioboro
di Jogjakarta sampai kemeriahan Market Street di San Francisco. Kesemuanya menjadi
cerminan wajah kota yang lebih manusiawi dan ’livable’. Bahkan tidak jarang, ruang
linear jalan pun sering kali menjadi salah satu landmark kebanggaan warga kota, seperti
halnya The Champs Elysees di Paris, ataupun Orchard Road di Singapura.
7) Memberi Ruang Pemasaran Produk LokalBeberapa kota menjadi terkenal identitasnya karena memberikan ruang
pemasaran produk lokalnya. Sebut saja misalnya PKL di sepanjang jalan Malioboro,
dengan menempati arcade.
Para pedagang kaki lima yang mula-mula muncul kebanyakan menjual
barang-barang cinderamata, seperti batik, aneka yang disajikan cara penyajian lesehan,
emping, bakpia, dan sebagainya. Pada awalnya para pedagang kaki lima tersebut
berjualan di emperan toko dan pasar. Kemudian jumlahnya semakin banyak, sekitar
tahun 1970 an pemerintah mulai melakukan beberapa pengaturan bersamaan dengan
penataan ruang Jalan Malioboro, antara lain dengan pemberian ruang berdagang di
bawah arcade (mula-mula hanya pada sisi luar/menghadap toko), membatasi jenis
dagangan, membatasi luas area dagang maksimal 1,5 x 1,5 meter persegi, serta tinggi
tempat dasaran tidak melebih 1,25 meter agar pandangan toko dari arah jalan tidak
tertutup. Para pedagang sendiri berinisiatif membentuk suatu organisasi untuk
memudahkan koordinasi pembagian kapling berdagang. Organisasi tersebut akhirnya
menjadi sebuah koperasi bernama Koperasi Tri Dharma.
Organisasi pedagang lain yang menempati arcade adalah Persatuan Pedagang
Malioboro Ahmad Yani (Pemalni). Pada saat itu pedagang yang tidak tergabung dengan
Tri Dharma mencoba berjualan di depan toko menghadap kearah Timur. Jumlah
pedagang masih saja terus bertambah, dan akhirnya memadati sisi dalam arcade
(membelakangi toko). Mereka sebagian besar terdiri dari anak-anak muda putus
sekolah, seniman jalanan atau anak lulusan sekolah seni yang kebanyakan berjualan
barang kerajinan buatan sendiri seperti lukisan, aksesoris, gantungan kunci dan
20
sebagainya, dengan alat berdagang seadanya berupa sekadar kotak kardus atau
secarik kain/tikar yang digelar. Ketika jumlah mereka terus membengkak dan terus
digusur, mereka kemudian bersatu, membentuk organisasi, berdemonstrasi dan
berunding dengan pemerintah daerah. Akhirnya diperbolehkan berdagang dengan
berbagai batasan, antara lain luas area dagang maksimal 0,6 x 0,8 meter persegi dan
tidak boleh menutupi etalase toko (lesehan atau dengan bangku pendek saja).
Organisasi mereka bukan berbentuk koperasi, hanya perkumpulan informal tanpa
kantor resmi dengan nama Pedagang Pelukis Pengrajin Jalan Malioboro dan Jalan
Ahmad Yani (Pemalni).
Gambar 8Pedagang Kaki Lima di dalam Arcade
Keberadaan PKL tersebut menjadi ikon kawasan Malioboro, bahkan muncul
jargon “kalau ke Jogja belum ke Malioboro belum dianggap ke Jogja”. Eksistensi PKL
tersebut memberikan sebuah penegasan bahwa identitas sebuah kota dapat dibangun
dengan ikon PKL yang menjajakan produk lokal (Purwanto, 2007)
F. Bagaimana Mempertahankan Identitas Kota?
21
Mempertahankan identitas kota jauh lebih sulit ketimbang membangunnya.
Beberapa contoh kasus membuktikannya, misalnya keberadaan pusat kuliner Kesawan
dan Kya-Kya Kembang Jepun di kota Medan dan Surabaya. Awalnya kedua tempat
tersebut diharapkan menjadi ikon kota Medan dan Surabaya. Namun lambat laun kedua
ikon tersebut mati suri, bahkan pusat kuliner Kesawan sudah mati sama sekali.
Kasus kedua, keberadaan beberapa kota-kota di sepanjang pantai Utara Jawa,
saat ini sedang mengalami proses kehilangan idenditasnya karena tidak terintegrasinya
dengan fungsi-fungsi baru. Pusat kota menjadi tidak punya vitalitas, karena daya tarik
lebih mengarah ke pusat-pusat perbelanjaan.
Untuk membangkitkan vitalias sebuah ikon, memerukan apa yang disebut
dengan “daya hidup”. Menurut Tschumi (1998) daya hidup kota berupa magnet urban
generator hanya diwujudkan dalam sebuah kota yang mempunyai fungsi membaur,
dinamis atau fleksibel yang tidak formal dan kaku. Menurut Tschumi faktor terpenting
urban generator adalah adanya events dan berkumpulnya banyak orang. Hubungan
aksi-reaksi antara events dan berkumpulnya banyak orang merupakan siklus berputar
yang memberikan daya hidup sebuah kota.
Untuk mempertahankan identitas kota berbasis kearifan lokal, diperlukan sebuah
terobosan yang berani terutama dari pihak penentu kebijakan yaitu lebih banyak
melibatkan peran masyarakatnya dalam membangun kota. Apabila pihak penentu
kebijakan sudah memberikan komitmen, langkah berikutnya adalah melakukan
identifikasi/penelitian untuk memetakan potensi dan kekayaan khasanah lokal yang ada.
Hasil penelitian diharapkan dapat mengidentifikasi dan mengkaji keunikan-
keunikan dan kekhasan setempat. Keunikan-keunikan dan kekhasan tersebut tersebut
seharusnya berkaitan dengan : [i] kekayaan ruang bersifat intangible, yaitu berupa
sistem nilai, perilaku budaya, adat istiadat masyarakat lokalnya; [ii] kekayaan kota
bersifat tangible, yaitu berupa seting ruang beserta aktifitas unik yang tercipta sebagai
relasi timbal-balik antara masyarakat dengan kotanya. Dalam hal keunikan-keunikan
tersebut di atas, bahwa setiap kerja perencanaan ruang harus dimulai dari menggali
pemahaman di lapangan untuk menemukan unit-unit keunikannya, kemudian setiap
kerja perencanaan harus memperhatikan keunikan-keunikan tersebut. Dengan
demikian, setiap kerja perencanaan ruang diharapkan tidak sewenang-wenang dengan
membuat desain atau bentuk yang sama sekali baru yang justru akan membuat
masyarakat sebagai pengguna ruang perkotaan tersebut merasa asing dengan
ruangnya. Bentukan-bentukan ruang baru yang ditawarkan oleh setiap kerja
perencanaan tidak boleh melemahkan bahkan menghilangkan eksistensi dan
keberlanjutan dari unit-unit keunikan ruang yang telah ada. Peran perencana dan
22
pengelola pembangunan kota tidak sekadar merumuskan rencana masa depan kota
secara fisik dan keruangan yang serba deterministik, rasional dan fungsional, melainkan
mengarah pada aspek pelibatan pelaku ruangnya.
Selanjutnya hasil dari penelitian hendaknya menjadi pijakan yang disepakati
bersama dalam memberikan kontibusi terhadap pemecahan isu-isu perkotaan (urban
issues). Selama ini kelemahan yang terjadi dalam pendekatan perencanaan dan
perancangan kota yang didasarkan atas paham positivistik-deterministik adalah tidak
melihat hal-hal yang bersifat subjektif fenomenologis sebagai suatu “kekuatan” sehingga
hasilnya menjadi “kering” dan tidak bermakna. Akibatnya perencanaan dan
perancangan kota secara positivistik-deterministik akan menghasilkan carut-marut
wajah dan kehidupan perkotaan, sehingga dikhawatirkan generasi berikutnya akan
kehilangan ingatan kolektif dalam citra kognitifnya terhadap potensi dan identitas lokal
sebuah kota.
G. Kesimpulan dan PenutupMembangun dan mempertahankan identitas kota pada dasarnya bukanlah
perkara mudah, apalagi dengan makin besarnya kekuatan pasar yang menyebabkan
dengan mudah “mempengaruhi” kebijakan pembangunan sebuah kota yang sudah
disusun terutama dalam bentuk produk tata ruang wilayah. Disisi lain membangun
identitas kota sangat diperlukan, karena identitas kota tidak hanya berbicara jatidiri
sebuah kota namun lebih luas lagi yaitu bagaimana masyarakat yang menempati
menjadi lebih nyaman dalam bersosialisasi, berinteraksi, sedangkan masyarakat yang
mengamati menjadi lebih tertarik untuk mengunjungi dengan berbagai potensi kekayaan
khasanah lokalnya.
Disaat terjadinya krisis identitas kota, diperlukan upaya membangun identitas
kota dengan pelibatan masyarakat lokal untuk ikut serta membangun kotanya. Peran
perencana dan pengelola pembangunan kota tidak sekadar merumuskan rencana masa
depan kota secara fisik dan keruangan yang serba deterministik, rasional dan
fungsional, melainkan mengarah pada aspek pelibatan pelaku ruangnya.
Disadari bahwa pembangunan kota beridentitas yang berbasis pada kekayaan
lokal akan lebih banyak melibatkan peran masyarakatnya, dan hal tersebut akan berkait
dengan sosial budaya masyarakatnya. Konsekuensinya dibutuhkan sebuah
perencanaan yang memerlukan kesabaran dan waktu lebih lama. Hal-hal yang berkait
dengan budaya, tidak akan segera tampak bagi orang dari luar masyarakat yang
bersangkutan. Karena hal-hal yang bersifat budaya itu lebih banyak berpusat pada alam
pikiran, maka pemecahan masalah yang terjadi pada suatu masyarakat perlu
pemahaman dengan pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif akan dapat
23
mengungkap makna-makna budaya sehingga pemecahan masalah atau upaya
pembangunan yang mendasarkan pada pemahaman makna-makna budaya masyarakat
yang bersangkutan akan jauh lebih mempunyai arti yang positif bagi kehidupan mereka
daripada kalau mereka sekadar harus menerima barang jadi yang dibuat oleh pihak
perencana atau pemberi program. Seorang perencana harus membebaskan diri dari
pikirannya bahwa perencanaan fisik akan menghasilkan kefahaman tentang masyarakat
(sense of community). Penjelasan tersebut memberikan tekanan bahwa dalam
perencanaan dan pembangunan tidak berangkat dari tatanan fisik semata namun lebih
menitik beratkan pada keberadaan masyarakat.
H. DAFTAR BACAAN
Alfian, Magdalia, 2007, Kota dan Permasalahnnya, Makalah pada Diskusi Sejarah BPSNT, Yogyakarta, 11-12 April 2007.
Budihardjo, E., 1991, Arsitektur dan Kota di Indonesia, Cetakan ke-3, Alumni, Bandung.
Habermas, Juergen (1999), The Structural Transformation of The Public Sphere, Polity Press
Jacobs, J., 1969, The Death and Life Great American City, New York: Random House.
Jacobs, A.B., 1993, Great Streets, MIT Press, Cambridge.
Kostof, S., 1991, The City Shaped: Urban Patterns and Meanings Through History, Thames and Hudson, London.
Kusumawijaya, M., 2006, Kota Rumah Kita, Borneo Publication, Jakarta.
Lynch, Kevin, 1960, The Image of The City, MIT Press, Cambridge.
Lynch, Kevin, 1972, Good City Form, MIT Press, Cambridge.
McGee, T.G., 1967, The Southeast Asian City, G.Bell and Son.
Nas, PJM., 1984, Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota (Terj.), Bhratara Karya Aksara.
Purwanto, Edi, 2007, Rukun Kota: Kota Berbasis Budaya Guyub, Disertasi Doktor Teknik Arsitektur UGM (tidak dipublikasikan).
Rapoport, A., 1977, Human Aspect of Urban Form, Oxford: Pergamon Press.
Rossi, A., 1982, The Architecture of The City, The MIT Press, Cambridge.
Schulz, C.N., 1984, Genius Loci, Towards a Fenomenology of Architecture, Rizzoli, New York.
Siregar, S.A., 2000, Kota Sebagai Objek dan Konteks Arsitektur, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
24
Sudaryono, dkk, 2002, Laporan Kemajuan Penelitian : Karakter Ruang Lokal sebagai Sistem Mainstream Perencanaan Pembangunan Lokal, dalam : Riset Unggulan Terpadu Bidang Kemasyarakatan dan kemanusiaan (RUKK III), (tidak dipublikasikan).
Tohjiwa, Agus D, 2008, Kota Kompak Berkelanjutan sebagai Konsep Pembangunan Kota di Indonesia, Makalah Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan dalam Mewujudkan Kota Tropis, 6 Agustus 2008.
Wheatly, Paul, 1983, Nagara and Commandery: Origin of the Southeast Asian Urban Traditions, The University of Chicago.
Wiryomartono, A.B.P., 1995, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia: Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindhu-Budha, Islam Hingga Sekarang, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Zahd, M., 1999, Perancangan Kota Secara Terpadu, Penerbit Kanisius.
CURRICULUM VITAE
Nama Lengkap : Dr.Ir. EDI PURWANTO, MT
NIP : 131885300
Pekerjaan : Staf Pengajar Jurusan Arsitektur FT UNDIP
Tempat/Tgl. Lahir : Cilacap / 31 Desember 1963
Status : Menikah dengan 2 anak
Alamat : Jln. Bangunharjo I/15 Semarang 50264
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan : Lulus S1 Arsitektur FT UNDIP tahun 1989
Lulus S2 Arsitektur UGM tahun 1996 (cumlaude)
Lulus S3 Arsitektur UGM tahun 2007 (cumlaude)
Riwayat Pekerjaan : Tahun 2000-2002 Sekretaris Jurusan Arsitektur
Tahun 2008- Sekretaris Magister Arsitektur
Mata Kuliah yang Diampu : S1
Perancangan Arsitektur Semester 3, 4, dan 5
Perancangan Kota Semester 4, 6
Metodologi Penelitian
S2
Metodologi Penelitian
S3
25
Metodologi Penelitian
Semarang, 27 Februari 2009
26