Upload
yudi-muchtar-pk-siregar
View
252
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3. Lokasi Penelitian.................................................................................... 6
1.3.1. Letak Lokasi Dan Keadaan Penduduk Desa Saran Padang ........... 6
1.3.2. Latar Belakang Sosial Budaya ..................................................... 9
1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .............................................................. 10
1.5. 1.4.1. Tujuan Penelitian ........................................................................ 10
1..2. Manfaat Penelitian ..................................................................... 10
1.5. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 10
1.6. Metode Penelitian ................................................................................. 14
1.6.1. Tipe Penelitian ............................................................................ 14
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 15
1.6.1.1.Data Primer ............................................................................ 15
1.6.2.1.a. Observasi Atau Pengamatan .................................... 15
1.6.2.2.b. Informan ................................................................. 15
1.6.2.3.c. Wawancara ............................................................. 16
1.6.2.2.1. Wawancara Mendalam ................................ 16
1.6.2.2.2. Wawancara Bebas ....................................... 17
1.6.2.2. Data Sekunder ..................................................................... 17
1.6.3. Analisa Data ............................................................................... 17
BAB II MASYARAKAT KARO
2.1. Asal Usul Etnis dan Nama Karo ............................................................. 19
2.2. Daerah Wilayah Budaya Masyarakat Karo ............................................ 21
2.3. Sistem Sosial ......................................................................................... 22
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
2.3.1. Klen (Marga), dan Kampung Asal ............................................... 23
2.3.2. Senoiritas .................................................................................... 25
2.3.3. Asal Keturunan ............................................................................ 26
2.3.4.Masyarakat Desa dan Kepeminpinanya ......................................... 26
2.3.5. Sistem Politik ............................................................................... 27
2.4. Sistem Budaya Masyarakat Karo ............................................................ 29
2.4.1.Sistem Kekerabatan ....................................................................... 29
2.4.2.Sistem Kepercayaan ...................................................................... 35
2.4.3.Prinsip Hidup Masyarakat Karo ..................................................... 38
2.4.4.Sistem Gotong Royong .................................................................. 39
2.4.5. Perkawinan ................................................................................... 40
BAB III UPACARA NENGGET
3.1. Upacara Nengget.................................................................................... 47
3.2. Peralatan Dalam Pelaksanaan Upacara Nengget ..................................... 48
3.4. Pelaksana Upacara Nengget .................................................................. 49
3.4.1. Kalimbubu ................................................................................... 51
3.4.2. Anak Beru .................................................................................... 53
3.4.3. Sembyak/Senina ........................................................................... 56
3.5. Waktu dan Pelaksanaan Upacara Nengget .............................................. 59
3.6. Manfaat Pelaksanaan Upacara Nengget .................................................. 62
3.7. Kedudukan Upacara Nengget Di Tengah-Tengah Pengobatan Modern ... 63
BAB IV STUDI KASUS DALAM UPACARA NENGGET
4.1. Keluarga Yang Berhasil Mendapatkan Keturunan .................................. 66
4.1.1 Keluarga G. Tarigan Dengan R. br Bangun ................................... 66
4.1.2. Manfaat Yang Diperoleh Dari Upacara Nengget ........................... 68
4.2. Keluarga Yang Belum Berhasil Mendapatkan Keturunan ....................... 69
4.2.1. Keluarga M. Ginting Dengan B. br Sembiring .............................. 69
4.2.2. Manfaat Yang Diperoleh Dari Upacara Nengget ........................... 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ............................................................................................ 76
5.2. Saran ...................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 78
LAMPIRAN
ABSTRAK
Setiap kelompok masyarakat mempunyai berbagai jenis upacara kebudayaan dan upacara religi yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Proses dan pelaksanaanya juga berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak sekali aneka jenis upacara kebudayaan yang terdapat di Indonesaia. Seperti halnya upacara nengget yang terdapat pada masyarakat Karo, upacara nengget adalah upacara yang dilakukan pada keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan, upacara ini juga dapat dilakukan pada keluarga yang sudah memiliki keturunan akan tetapi semuanya laki-laki atau perempuan.
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tentang pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan masyarakat Karo yang hidup (tinggal) di Desa Saran Padang. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui manfaat upacara nengget dan untuk melihat sejauh mana kebertahanan upacara nengget sebagai salah satu upacara pengobatan tradisional yang berdampingan dengan pengobatan modern yang dewasa ini berkembang di desa-desa khususnya Kabupaten Karo.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya,
sebab kebudayaan ada karena adanya masyarakat pendukungnya. Salah satu
wujud dari kebudayaan adalah adat istiadat sedangkan upacara merupakan wujud
nyata aktivitas dari adat istiadat yang berhubungan dengan segala aspek
kehidupan manusia baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya.
Dalam masyarakat tradisional kegiatan mengaktifkan kebudayaan itu antara lain
diwujudkan dalam pelaksanaan beberapa upacara tradisional yang memang
menjadi sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah dimantapkan lewat
pewarisan (transformasi) tradisi. Setiap tindakan manusia secara keseluruhan
disebut kebudayaan yang didalamnya terdapat unsur-unsur secara keseluruhan
bisa di dapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua suku bangsa di Dunia.
Unsur-unsur ini di sebut dengan istilah unsur kebudayaan universal yang terdiri
dari tujuh unsur kebudayaan.Salah satu kebudayaan universal adalah sistem religi
(sistem kepercayaan) yang di dalamnya termuat sistem upacara, baik berupa
upacara tradisional maupun upacara modern merupakan suatu pranata yang di
perlukan. Masyarakat manusia sebagai usaha untuk memenuhi hasratnya untuk
melakukan komunikasi dengan kekuatan-kekuatan adi kodrati karena di dalamya
termuat simbol-simbol yang berfungsi sebagai alat komunikasi dengan mahluk
lain (Koentjaraningrat,1981;203-204).
Seperti halnya pada masyarakat Karo, terdapat berbagai bentuk upacara
yang berhubungan dengan kepercayaan religius mereka. Menurut Bangun
(1986:41) walaupun masyarakat Karo secara resmi telah dimasuki oleh ajaran
agama seperti agama Kristen Protestan, Islam, dan Katolik namun masih ditemui
pada pemeluk agama tersebut adanya keterikatan kepada kepercayaan
tradisionalnya, seperti kepercayaan pada roh-roh nenek moyang dan benda-benda
yang mereka anggap keramat.Masih banyak ditemukan perjimatan, pergi ke goa-
goa, penghormatan kepada roh-roh nenek moyang dengan berbagai jenis upacara,
adanya pengobatan-pengobatan tradisional dan lain sebagainya. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat Karo tidak bisa meninggalkan kepercayaan
tradisionalnya, meskipun mereka telah memeluk agama yang melarang hal-hal
tersebut. Salah satu kepercayaan masyarakat Karo adalah Pemena, yang berarti :
kepercayaan suku bangsa Karo terhadap suatu benda-benda yang dianggap
mempunyai kekuatan gaib terhadap roh-roh yang berdiam disuatu temapat yang
mempunyai kekutan luar biasa.
Selain Pemena masih banyak jenis-jenis kepercayaan yang diyakini
masyarakat Karo. Mereka masih meyakininya sampai sekarang dan masih ada
sebagian yang masih dilaksanakan sampai sekarang meskipun sudah hampir
punah seiring dengan kemajuan jaman. Nengget adalah salah satu jenis upacara
yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh
masyarakat Karo. Nengget dilakukan dengan mengadakan kejutan terhadap
keluarga yang sudah lama berumah tangga tetapi belum memiliki keturunan.
Nengget juga bisa dilakukan terhadap keluarga yang suadah memiliki keturunan
namun semuanya perempuan supaya keluarga ini memiliki keturunan anak laki-
laki. Kepercayaan ini sudah ada sebelum pangaruh kebudayaan Hindu di tanah
Karo, namun sampai sekarang kepercayaan ini masih diyakini oleh beberapa
orang.
Nengget adalah salah satu jenis upacara religi yang sampai saat sekarang
ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh masyarakat etnik Karo. Nengget
itu sendiri berarti mengadakan kejutan kepada keluarga yang sudah lama
menikah tetapi belum memiliki keturunan. Nengget secara harafiah berarti
membuat kejutan atau membuat orang terkejut. Dalam konteks Upacara, Nengget
erat kaitannya dengan adat istiadat Karo, dimana di dalam adat nggeluh (adat
orang hidup) Karo diatur berdasarkan merga silima ( lima marga pada
masyarakat Karo yaitu : Tarigan, Sembiring, Ginting, Karo-karo dan Perangin-
angin), rakut sitelu (tiga tingkatan silsilah dalam masyarakat Karo yaitu :
kalimbubu, anak beru dan senina), dan tutur siwaluh adalah : delapan jenis tutur
yang ada pada masyarakat Karo, diantaranya : puang kalimbubu, kalimbubu,
senina , sembuyak, senina sipemeren, senina sepengalon/sendalanen, anak beru.
Tutur adalah : tingkat hubungan persaudaraan antara satu dengan yang lainnya.
Ada tiga kelompok dalam masyarakat Karo yaitu: kalimbubu (pihak penerima
wanita), senina (saudara), dan anak beru (pihak pemberi wanita). Peranan
masing-masing yang telah diatur dan disesuaikan sedemikian rupa dan tidak
semua orang perorangan bebas berbicara dengan orang. Ada aturan-atuaran yang
telah dibuat, sebagai contoh seorang menantu laki-laki tidak bisa berbicara
langsung dengan ibu mertuanya, hal ini adalah pantang atau tabu. Ketiga
kelompok tersebut diatas memiliki peranan yang penting dalam pelaksanaan
upacara nengget. Sebelum upacara nengget dilaksanakan maka terlebih dahulu
ketiga kelompok harus berembuk untuk membicarakan pelaksanaan dari upacara
ini. Selain ketiga kelompok ini peranan dukun sangat diperlukan untuk
menentukan apa saja yang harus disediakan dan hari baik apa yang akan
digunakan sebagai pelaksanaan dari upacara ini.
Menurut Julianus (2006), ada berbagi jenis nengget berdasarkan fungsinya:
Nengget, yang dilakukan menurut adat Karo. Dengan melakukan kejutan bagi
keluarga yang belum memiliki keturunan dengan harapan agar keluarga ini
memperoleh keturunan (laki-laki dan perempuan). Lentarken, yaitu upacara
nengget yang dilakukan ketika ada yang meninggal dunia atau pada acara lainnya.
Pelaksanaanya dilakukan ketika sedang menari keluarga yang tidak memiliki
keturunan tiba-tiba ditangkap oleh turangkunya atau rebunya dia, kemudian diosei
(dipakaikan pakaian adat Karo secara terbalik) seperti pada acara nengget. Setelah
diosei dilakukan acara menari. Jera la mupus, yaitu upacara nengget yang
dilakukan pada acara memasuki rumah barunya, di depan pintu masuknya mereka
dihalangi rebunya (turangkunya)1
1 Hubungan yang tabu untuk berbicara secara langsung harus memakai perantara.
, sambil berkata “Majera kam la mupus ?”(
jeralah kau yang belum punya keturunan) maka yang oleh empunya rumah
menjawab “ jera !”. Hal ini dilakukan sebanyak empat kali, dan pada hitungan
yang ke-4 ini juga mempunyai makna yaitu selpat yang artinya: putus hubungan
dengan hal-hal yang tidak baik. Setelah empat kali ditanya maka mereka
diperbolehkan memasuki rumah barunya. Sengget yaitu terkejut ini mempunyai
proses yang mempunyai arti bagi masyarakat Karo. Misalnya seseorang yang
terkejut dapat menjadi sakit karena ditinggalkan oleh jiwa atau tendinya ini bisa
jadi kicat atau terjepit di sebuah batu, di sebuah tempat yang angker, dan
sebagainya. Untuk melepaskan tendi ini maka biasanya jug dilakukan upacara
melepas tendi ini seperti raleng tendi bisanya adalah manuk kahul (ayam
persembahan) yang dilepas. Acara ini masih dipercayai orang Karo sebagai salah
satu kegiatan upacara sekaligus sebagai sarana pengobatan bagi salah satu
keluarga yang belum memiliki keturunan, pada masa lalu bahkan sampai
sekarang. (http://www.tanahkaro.com/ simalem/ content/view/681/177/).
Pelaksana dari upacara nengget ini adalah dari keluarga pihak pemberi
dara (kalimbubu). Kalimbubu ini sendiri berarti pihak pemberi dara, dan
merupakan pihak yang harus benar-benar dihargai, dihormati dan juga dijaga
perasaannya jangan sampai dia merasa sakit hati. Suku karo meyakini apabila
kalimbubu marah karena merasa tidak dihoramati maka, hal itu akan
mengakibatkan hal-hal yang tidak di inginkan misalnya, padi tidak tumbuh, tidak
ada keturunan, anak sakit dan lain sebagainya. Kalimbubu sering juga disebut
sebagai Dibata Idah yang artinya Tuhan yang dapat dilihat. Kalimbubu
mempunyai perbedaan dari sukut/sembuyak, karena kalimbubu dibedakan secara
berjenjang mulai dari atas sampai ke bawah. Selain kalimbubu, anak beru juga
mempunyai peran yang penting dalam upacara ini, anak beru itu sendiri berati :
pihak keluarga laki-laki yang kawin atau mengambil anak perempuan suatu
keluarga, golongan anak beru yang sama dengan kalimbubu dalam hal jenjang
atau derajat berdasarkan keturunan. Oleh karena itu anak beru juga diberi nama
sesuai dengan jenjang atau tingkatannya untuk dapat membedakan satu dengan
yang lain.
Selain kalimbubu dan anak beru masih ada lagi yang lebih memiliki
paranan yang sangat penting dalam upacara ini yaitu turangku atau rebu. Yakni
dalam upacara ini dia sangat memiliki peranan yang sangat penting. Turangku
inilah yang nantinya akan menyiramkan air suci atau lau si malem-malem kepada
keluarga tersebut. Padahal sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari turangku ini
tidak dapat saling bertegor sapa dengan mereka (keluarga yang disengget). Hal
ini di pantangkan menurut adat karo yang disebut rebu.
1.2.Perumusan Masalah
Dalam kehidupan masyarakat Karo khususnya masyarakat Desa Saran
Padang upacara nengget adalah salah satu upacara yang berkaitan dengan
pengobatan tradisional yang sampai sekarang masih bertahan dan dipercayai oleh
masyarakat setempat, walaupun pengobatan tradisional sudah hampir punah oleh
pesatnya kemajuan jaman dan semakin berkembangnya pengobatan-pengobatan
modern. Sehubungan dengan itu yang menjadi masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan upacara nengget dilakukan
2. Apa manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan upacara ini?
3. Mengapa masyarakat karo masih mempercayai upacara nengget dan
mengapa upacara nengget masih bisa bertahan sampai sekarang,
sementara pengobatan-pengobatan modern semakin mudah di jumpai di
Kabupaten Karo bahkan di desa Saran Padang.
1.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Saran Padang , Kecamatan Dolok
Silau, Kabupaten Simalungun. Pertimbangan memilih lokasi penelitian ini adalah
karena penduduknya mayoritas suku bangsa Karo, dan upacara nengget masih
tetap dilaksanakan walaupun tidak terlalu sering. Selain itu, alasan penulis
memilih Desa ini sebagai lokasi penelitian karena penulis juga berdomisili di
daerah ini.
1.4.Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.4.1.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan
upacara nengget yang dilakukan masyarakat Karo yang hidup (tinggal) di Desa
Saran Padang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui manfaat upacara nengget.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kebertahanan upacara nengget
sebagai salah satu upacara pengobatan tradisional berdampingan dengan
pengobatan modern yang dewasa ini berkembang di desa-desa Kabupaten Karo.
1.4.2.Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah wacana dalam
memahami kehidupan masyarakat suku Karo terutama dalam pelaksanaan upacara
nengget dan untuk memperoleh data yang akurat terhadap suatu objek, sehingga
dapat memberi manfaat bagi masyarakat Karo khususnya yang masih meyakini
dan melaksanakan upacara nengget ini.
1.5.Tinjauan Pustaka
Masyarakat adalah pendukung suatu kebudayaan, baik itu masyarakat
pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Dimana dalam kenyataan hidup
bermasyarakat. Kebudayaan mempunyai arti penting dalam mempengaruhi
prilaku dan cara berpikir para anggotanya. Kebudayaan menurut Suparlan (1983)
adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang digunakan
untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapinya serta
untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Sikap pada dasarnya
berada pada diri seseorang individu, namun meskipun demikian sikap biasanya
juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tersebut (Suparlan dalam
Koentjaraningrat, 1981:26).
Upacara tradisional merupakan salah satu manifestasi dari kreasi manusia
sebagai mahluk sosial, yang terlahir dalam bentuk upacara tardisional dengan
berbagai jenisnya seperti, kelahiran, kematian, dan perkawinan. Umunya
kepercayaan tradisional terdapat pada kalangan masyarakat pedesaan berkaitan
dengan peristiwa alam dan kepercayaan mereka. Upacara tradisional adalah
upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu kala sampai
sekarang dalam bentuk yang relatif tetapi dalam upacara tradisional merupakan
kegiatan nasional yang melibatkan para warga masyarakat, dalam usaha bersama
untuk mencapai tujuan keselamatan bersama (Koentjaraningrat, 1989:225).
Upacara tradisional banyak kita jumpai atau kita lihat dari lingkungan
masyarakat yang ada di sekitar kita. Dalam kaitannya dapat terbaca melalui
tingkah laku resmi warga masyarakat yang dilakukan dalam peristiwa-peristiwa
yang berhubungan dengan kekuatan supernatural atau gaib. Kekuatan itu dapat
berupa kekuatan roh-roh, mahluk-mahluk halus dan kekuatan sakti. Terutama
mengenai mengapa manusia percaya kepada sesuatu kekuatan yang lebih tinggi
dari padanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dan cara-cara
yang beraneka ragam untuk mencari hubungan denagan kekuatan yang
dipercayainya (Koentjaraningrat, 1981:251).
Hal itu terjadi pada masayrakat Ndembu, Upacara merupakan ikatan utama
antar orang dan antar kelompok. Menurut Victor Turner (1968:21) upacara-
upacara di masyarakat Ndembu dapat digolongkan ke dalam dua bagian,
diantaranya upacara krisis hidup dan upacara gangguan. Yang dimaksud dengan
upacara krisis hidup di sini adalah upacara-upacara yang diadakan untuk
mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami oleh manusia karena ia beralih dari
satu tahap ke tahap berikutnya. Sedangkan upacara gangguan adalah: masyarakat
Ndembu menghubungkan nasib sial dalam kegiatan mereka sehari-hari seperti,
berburu, ketidak teraturan reproduksi pada kaum wanita dan bentuk panyakit
lainnya. Roh leluhur mengganggu mereka sehingga membawa nasib sial.
Upacara adat merupakan keperluan simbolis manusia yang mengharapkan
keselamatan. Upacara adat itu sendiri merupakan rangkaian tindakan yang ditata
oleh adat yang berlaku yang berhubungan dengan berbagai peristiwa (Subagyo,
1981:116). Sedangkan (Koentjaraningrat, 1977:241) berpendapat bahwa upacara
timbul karena adanya dorongan perasaan manusia untuk melakukan berbagai
perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib. Semua unsur
yang ada di dalamnya baik itu saat upacara, benda-benda yang digunakan, juga
orang-orang yang terlibat di dalamnya dianggap keramat.
Suatu upacara dapat dilihat sebagai suatu pertunjukan simbol, pertunjukan
simbol ini biasanya dilakukan melalui berbagai bentuk pertukaran yang pada
pokoknya melibatkan pihak pemberi dan pihak penerima. Namun pertukaran
bukan hanya berbentuk sifat ekonomis tetapi juga bersifat menyeluruh., yang
merangkum aspek-aspek kehidupan. Adapun aspek-aspek kehidupan tersebut
adalah : politik, religi,seni, pengetahuan, pertukaran berdasarkan pada klasifikasi
sosial dengan cara hubungan-hubungan sosial yang diperoleh baik melalui
keturunan, perkawinan, maupun transaksi-transaksi sosial lainnya. Demikian juga
melalui pertukaran mencoba mengupayakan kesehatan maupun keselamatan
secara umum yang pada prinsipnya bersumber dari pikiran-pikiran tentang adanya
hubungan sakral dari benda-benda yang dipertukarkan dengan kategori-kategori
sosial (Mauss, 1992:225).
Memahami upacara berarti juga harus mempelajari simbol-simbol yang
digunakan dalam upacara tersebut. Dalam hal ini simbol merupakan manifestasi
yang nampak dari ritus tersebut, simbol-simbol selalu digunakan dalam ritus.
Maka Victor Turner (1968) menegaskan bahwa tanpa mempelajari simbol yang
dipakai dalam suatu upacara maka kita akan merasa sulit untuk memahami
upacara tersebut dan masyarakat-masyarakatnya. Sedangkan untuk melihat
konsep tentang upacara nengget dari sudut pandang orang Karo peneliti harus
menguasai bahasa setempat. Sehubungan dengan penguasaan bahasa lokal,
Malinowski mengisyaratkan kepada para peneliti, hanya melalui kominikasi dari
warga masyarakat yang diteliti itulah seorang peneliti dapat memperoleh
pengertian yang mendalam tentang gejala-gejala sosial yang ditelitinya
(Malinowski dalam Koentjaraningrat 1987) Boas mengatakan “ jika tujuan kita
sungguh-sungguh untuk memahami pikiran suatu masyarakat maka seluruh
analisa pengalaman harus didasarkan pada konsep-konsep mereka, bukan konsep
kita” (Boas dalam Spradley 1997:28).
Beberapa penelitian yang pernah di lakukan berkatian dengan upacara
tradisional diantaranya adalah : upacara tolak bala yang di lakukan Elisabet
(1992). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Upacara tolak bala ini bertujuan
untuk menolak, melenyapkan atau penawar bencana yang menimpa warga
masyarakat yang bersangkutan. Diharapkan, setelah melaksanakan upacara tolak
bala akan tentram dan tenang. Selain upacara tolak bala masih ada lagi penelitian
yang berhubungan dengan pengobatan tradisioanal seperti, upacara cawir bulung
yang dilakukan Tarigan (1990). Upacara cabur bulung adalah perkawinan antara
seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Tetapi tidak sama halnya
dengan pasangan suami istri yang sah menjadi miliknya melainkan hanya sebagai
“simbol”. Tidak semua orang Karo mengalami perkawinan tersebut. Upacara
cabur bulung dilakukan karena anak yang akan di cabur bulungkan tersebut sering
sakit-sakitan, mendapat mimpi buruk, sehingga terasa menggangu hidupnya.
Menurut orang Karo, wajarlah bila upacara cabur bulung dilaksanakan agar anak
tersebut tidak sakit-sakitan lagi dan tidak lagi mendapat mimpi buruk (Tarigan
1990).
Sehubungan dengan upacara nengget ini menurut peneliti sangat menarik
untuk diteliti karena upacara nengget ini beda dari upacara-upacara lainnya yang
ada pada masyarakat suku Karo.Pada masyarakat Karo banyak sekali jenis-jenis
upacara yang dapat kita temui diantaranya: ndilo wari udan, erpangir kulau,
ngarkari, muncang, dan masih banyak lagi. Perbedaan dari upacara nengget dari
upacara-upacara lainnya adalah terlihat bahwa pada upacara nengget segala
sesuatu atau rencana pelaksanaanya sangat dirahasiakan dan apabila keluarga
yang akan disengget tersebut mengetahui tentang rencana pelaksanaan nengget ini
maka upacara ini dinyatakan batal. Karena jika upacara ini masih tetap
dilaksanakan juga namun keluarga tersebut sudah mengetahui rencana
pelaksanaan upacara tersebut maka upacara nengget ini dikatakan tidak berhasil
dan sia-sia.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu memberikan
gambaran tentang upacara nengget. Yakni upacara tradisional masyarakat karo
yang berkaitan dengan pengobatan tradisional yang sampai saat ini masaih
mampu bertahan secara berdampingan dengan pengobatan modern. Menurut
Whitney (1960), penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi
tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-
pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh
dari suatu fenomena.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Ada dua macam data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu
data primer dan data sekunder.
1.6.2.1. Data Primer
Untuk mendapatkan data primer digunakan :
1.6.2.1.a. observasi atau pengamatan
Dalam melakukan observasi2
Informan dalam penelitian ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu: informan
pangkal, informan kunci, dan informan biasa. Informan pangkal adalah orang
yang mengetri suatu masalah, namun bukan ahlinya dan dari informan ini
biasanya kita bisa bisa mendapatkan informasi lain. Informan kunci adalah orang
yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah. Sedangkan informan biasa
adalah orang-orang yang mengenali suatu masalah penelitian tetapi tidak begitu
tahu akan penjelasan lebih dalam terhadap masalah yang dikaji. Spradley
atau pengamatan, peneliti perlu membuka
dan menjalin kerjasama yang baik dengan para informannya. Hal ini bertujuan
untuk menjalin kerjasama yang baik dengan para informan yang diteliti untuk
melakukan suatu perubahan yang mengarah perbaikan, sesuai dengan kehendak
dan kebutuhan. Peneliti harus terjun langsung ke lapangan tempat penelitian
sehingga data yang diharapkan dapat diperoleh secara akurat dan jelas. Dalam hal
ini peneliti sudah pernah menyaksikan secara langsung proses dan pelaksanaan
upacara nengget tersebut. Di sini peneliti dapat melihat bagaimana gambaran
tentang pelaksanaan upacara nengget tersebut . Paling jelas peneliti dapat melihat
adalah bagaimana keluarga yang belum memiliki keturunan dikejutkan dan
disiram dengan air si malem-malem.
1.6.2.1.b.Informan
2 observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. Karena itu obserfasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakn pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dinbantu dengan panca indera lainnya. Seseorang yang melakukan pengamatan tidak selamanya menggunakan panca indera mata saja tetapi selalu mengaitkan apa yang dilihatnya dengan apa yang dihasilkan oleh panca indera lainnya seperti apa yang Ia dengar, apayang Ia cicipi, apa yang Ia cium dari penciumannya dan bahkan dari apa yang Ia rasakan dari sentuhan-sentuhan kulitnya (Bungin, 2002:115).
mengidentifikasikan lima persyaratan minimal untuk memperoleh informasi yang
baik, yaitu: 1. enkulturasi penuh, maksudnya informan mengetahui budaya
mereka dengan baik tanpa harus memikirkannya. Mefeka melakukan berbagai hal
secara otomatis dari tahun ketahun. 2. keterlibatan langsung, maksudnya informan
harus terlibat dalam suasanakebudayaan mereka dan menerapkannya setiap hari.
3. suasana budaya yang tidak dikenal. 4. waktu yang cukup, maksudnya pada saat
melakukan wawancara waktu diharapkan sesuai dengan kondisi informan. 5. non
analitis, maksudnya informna yang baik memberikan penjelasan berdasarkan
konsep mereka, bukan konsep dari luar (Spradley, 1997:61-70). Dalam penelitian
ini yang menjadi informan pangkal adalah para pengetua adat atau orang-orang
yang dituakan di desa tersebut. Sedangkan untuk informan pokok adalah para
keluarga yang sudah pernah melaksanakan kegiatan upacara nengget. Sedangkan
untuk informan ke tiga adalah informan biasa yaitu warga masyarakat desa
setempat.
16.2.1.c. wawancara
Ada dua macam wawancara yang dilakuakn dalam penelitian ini yaitu :
wawancara mendalam (depth interview) dan wawancara bebas.
1.6.2.2.1. Wawancara mendalam
Wawancara mendalam3
3 wawan cara mendalam secara umum adalah proses memperolej keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang akan diwawncarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawncara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian kekhasan wawancara mendalam adalah ketyerlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin, 2002:108)
dilakukan dengan pedoman wawancara atau
interview guide yang di tujukan pada informan-informan kunci seperti tokoh adat,
kepala desa, serta anggota masyarakat di lokasi penelitian yang pernah melakukan
upacara nengget. Fungsi dari interview guide ini hanya sebagai panduan bagi
peneliti agar pertanyaan yang diajukan tidak lari dari pokok permasalahan.
1.6.2.2.2. Wawancara bebas
Wawancara yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang dapat
beralih dari satu pokok lain dan tidak terikat pada satu pusat pokok masalah
sehingga data yang terkumpul bersifat beraneka ragam (Suyono1985;437). Dalam
metode wawancara bebas, peneliti terlebih dahulu meneliti atau memasuki
lapangan penelitian dan melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat
supaya mendapatkan hasil wawancara yang baik. Data yang didapat dari
wawancara dijadikan sebagai data tambahan sehingga data yang diperoleh
sebelumnya menjadi lebih lengkap dan akurat.
1.6.2.2. Data Sekunder
Data sekunder di kumpulkan melalui perpustakaan seperti, melalaui buku
(literatur), hasil-hasil penelitian, informasi dari internet dan catatan-catatan yang
ada pada lembaga terkait seperti kantor kecamatan dan kantor lurah setempat.
Data sekunder di perlukan untuk melengkapi data primer.
1.6.3 Analisa Data
Analisa data merupakan proses mengatur data, mengorganisasikannya ke
dalam suatu pola. Setelah data-data diperoleh dari lapangan akan diteliti kembali,
diedit untuk melihat kembali lengkapnya hasil wawancara dari daftar interview
guide. Setelah data dipelajari dan ditelaah, maka langkah selanjutnya adalah
diadakan reduksi data dengan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha
membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu
dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah
mengadakan keabsahan data. Pengolahan dan analisa data ini bertujuan untuk
menghasilkan data yang lebih lengkap dan akurat.
BAB II
JENIS-JENIS UPACARA YANG ADA PADA MASYARAKAT KARO
2.1. Letak Lokasi Dan Keadaan Penduduk Desa Saran Padang
Desa Saran Padang merupakan desa yang subur, mempunyai tanah yang
mempunyai unsur humus berwarna hitam dan juga banyak mengandung unsur
hara, luas tanah dan tata guna Desa Saran Padang sekitar 292 Ha.Desa Saran
Padang merupakan desa yang sudah maju dan desa yang mudah dijangkau dengan
prasarana transportasi darat. Pemanfaatan lahan desa Saran Padang terdiri dari:
ladang seluas kurang lebih ± 82 Ha, kebun 22 Ha, pemukiman 75 Ha, pekuburan
1 Ha, tanah kosong 102 Ha, dan sisanya pegunungan. Tanah di desa ini sebagian
bergelombang dan terjal, tanah yang datar atau areal yang lapang digunakan
sebagai tempat untuk perumahan dan juga untuk perladangan.
Desa Saran Padang terletak pada ketinggian kurang lebih ± 1.200 -1500
dpl (di atas permukaan laut), dan curah hujan rata-rata antara 2400 mm – 2600
mm, dengan hari hujan rata-rata 16 hari. Curah hujan seperti ini sanagat
mempengaruhi kualitas pertanian di desa ini. Musim kemarau hanya terjadi pada
bulan juli – agustus.Sedangkan kelembaban udara maksimum mencapai 95 % dan
minimum 85 % . hal ini pula yang menyebabkan daerah ini pada siang hari dan
malam hari terasa sangat dingin. Kelembaban udara sangat mendukung
perekonomian pada sektor pertanian. Temperatur pada siang hari berkisar antara
24 – 27 °C dan pada malam hari berkisar antara 18 - 20°C. Desa Saran Padang
mempunyai 4 dusun, masing-masing dusun I, dusun II, dusun III, dan dusun IV
yang pemukimannya menyatu. Masing-masing dusun dikepalai oleh kepala dusun,
yang berfungsi untuk mempercepat proses administrasi. Adapun batas-batas dari
desa Saran Padang adalah sebagai berikut:
• Utara : pegunungan Bukit Barisan
• Selatan : Desa Purba Tua
• Barat : Desa Paribuan
• Timur : Kabupaten Deli Serdang
Keadaan penduduk merupakan gambaran dari berbagai lapisan masyarakat
yang bermukim dan bertempat tinggal di suatu tempat. Penduduk desa Saran
padang terdiri dari 298 kepala keluarga (KK), dengan jumlah penduduk
keseluruhannya 1.325 jiwa, yang terdiri dari 657 jiwa laki-lakidan perempuan 668
jiwa, dan mayoritas penduduk desa ini adalah suku karo dan simalungun.
Demikan juga halnya dengan keyakinan yang dianut di Desa ini, mayoritas agama
Kristen protestan, Katolik, dan hanya sebagian kecil yang menganut agama Islam.
Jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan 1.218, sedangkan untuk
Katolik 96, dan untuk Islam hanya 39. Mayoritas penduduk Desa Saran Padang
ini bertani dan hanya sebagian kecil saja yang berpropesi sebagai pegawai Negri
dan Swasta. Masyarakat Desa Saran Padang mengenal berbagai sistem kesatuan
hidup setempat. Beberapa kesatuan hidup setempat seperti : sopo, rumah atau jabu
, kesain, dan kuta. Sopo adalah tempat untuk berteduh jika hari sedang hujan atau
hari sangat terik. Sopo ini biasanya berada di ladang atau di sawah. Selain itu sopo
juga dipergunkan sebagai gudang penyimpanan alat-alat untuk bekerja di ladang
atau di sawah. Selain untuk kegunaan diatas sopo juga digunakan sebagai tempat
tinggal para buruh tani yang berasal dari luar daerah ini dan kebanyakan beretnis
jawa.
Jabu atau rumah adalah keluarga inti yang kecil. Bentuk yang lebih besar
dari jabu adalah kesain atau pekarangan rumah yang merupakan kesatuan hidup.
Kumpulan dari kesain membentuk satu kuta dan dalam satu kuta ada satu
peminpin kuta yang disebut pangulu atau penghulu. Biasanya yang menjadi
pangulu adalah orang yang bermarga tarigan karena yang bermarga tarigan ini
diyakini sebagai oarang yang pertama kali mendiami atau membangun desa Saran
Padang ini. Akan tetapi karena kemajuan jaman dan sudah bercampurnya suku
bangsa yang mendiami desa ini maka kebiasaan itu hilang. Kondisi rumah bila
ditinjau dari segi bangunan maupun dari segi kesehatan sudah cukup baik.
Sebagian rumah sudah terbuat dari batu (permanen) dan sebagian lagi terdiri dari
papan (semi permanen), dan pada umumnya bentuk rumah di desa ini sudah
mengikuti bentuk rumah di kota. Tepat di tengah desa terdapat jambur atau losd
yang digunakan masyarakat setempat sebagai tempat untuk melaksanakan upacara
seperti pesata perkawinan, upacara kematian, dan juga sebagai tempat
musyawarah Desa.
2.1.1. Latar Belakang Sosial Budaya
a. Bahasa
bahasa yang digunakan penduduk setempat dalam kehidupan sehari-hari
adalah bahasa daerah. Bahasa daerah yang digunakan antara lain bahasa karo,
bahasa batak toba, dan bahasa simalungun. Masing-masing penduduk tau dan
dapat menggunakan ketiga bahasa ini, baik anak-anak, pemuda-pemudi, hingga
orang tua. Ketiga bahasa ini digunakn dalam segala aktivitas mereka untuk
memperlancar komunikasi. Sedangkan bahasa indonesia hanya digunakan di
sekolah, bahkan pada kantor pemerintah setempat yaitu kantor kepala desa,
bahasa yang digunakan pegawai kantor itu adalah bahasa daerah juga.
b. Seni
kesenian tradisional sudah jarang dilakukan sepenuhnya di desa ini,
dimana rumah tradisional tidak dapat lagi ditemukan, pada saat pesta adat seni
musik tradisional juga tidak digunakan lagi, kecuali untuk pakain ulos dan uis
gara pada pesta adat. Bentuk rumah di desa sudah hampir sama bentuknya
sehingga kita tidak dapat lagi membedakan rumah antar suku bangsa yang
berbeda. Tata dekorasi di dalam rumah dan halaman juga hampir sama untuk
keseluruhan.
c. Religi
Koentjaraningrat (1974:142) membedakan antara agama, relegi dan
kepercayaan. Agama adalah semua agama yang secara resmi diakui pemerintah,
relegi adalah sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secera resmi seperti
Konghucu, dan berbagai aliran kebatinan, sedangkan kepercayaan mempunyai arti
yang khas ialah komponen kedua dalam tiap agama maupun relegi. Walaupun
Koentjaraningrat membedakan antara agama, relegi dan kepercayaan, perbedaan
ini hanyalah memudahkan pemahaman saja, sedangkan inti dari antara agama,
relegi dan kepercayaan, sama yaitu percaya akan adanya Yang Maha Tunggal
(Tuhan), sebagai Penguasa Tunggal. Menurut Rijoatmodjo (1953:110), pada suku
Batak terdapat tiga tingkatan kepercayaan; tingkatan pertama percaya akan
adanya Sang Pencipta Alam. Sang pencipta ini bersemayam di langit yang tinggi,
tingkatan kedua, tempat berdiamnya Batara Guru, Soripada, Manggala Bulan, dan
tingkatan ketiga tempat bersemayamnya para dewa dan ruh. Dalam masyarakat
Karo tingkatan kepercayaan ini, tingkat pertama disebut dengan Guru Butara,
tingkat kedua disebut Tuhan Padukah ni Aji dan tingkat ketiga disebut Tuhan
Banua Koling. Ketiganya disebut Satu Debata (Tuhan Yang Esa). Kepercayaan
seperti ini disebut juga agama Pelbegu. Dalam pandangan Tambun (1953), agama
Pelbegu ini banyak persamaannya dengan agama Hindu. Tetapi agama pelbegu ini
bukanlah agama Hindu, kemungkinan agama pelbegu ini dipengaruhi agama
Hindu besar sekali. Pandangan terhadap pelbegu ini kemudian berubah menjadi
negatif, malah dianggap sebagai bukti dari sebuah kebiadapan. Pelbegu
diidentikkan dengan "orang bodoh", orang bodoh yang tidak mengikut i aliran
zaman, penduduk 'pedalaman yang dalam segala hal tertinggal' demikian kata
Fischer (1954:122).
Agama Pelbegu disebut juga agama pemena. Pemena artinya adalah
pertama. Agama pertama yang masuk ke Indonesia adalah agama Hindu, maka
agama Hindu inilah agama universal yang pertama datang ke wilayah Nusantara
termasuk Karo. Inti dari ajaran agama ini adalah selain percaya akan adanya Yang
Maha Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), sebagai pencipta langit dan bumi beserta
semua isinya, juga percaya masih ada kekuatan lain yang dapat membantu mereka
selama hidup di muka bumi ini. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka
menekankan pemujaan kepada kekuatan yang dianggap langsung dapat
mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka selain ingin hidup aman aman dan
damai di dunia, juga ingin selamat sampai ke akhirat. Dalam masyarakat Karo
percaya akan adanya Yang Maha Esa, suatu bukti, suatu kesadaran akan adanya
kekuatan-kekuatan di luar diri manusia, di luar kelompoknya. Kesadaran ini
mereka ekspresikan ke dalam beberapa perbuatan dan kegiatan. Bentuk ekspresi
kepercayaan mereka ini adalah: Silan, silan ini adalah suatu kepercayaan yang
menganggap pohon-pohon kayu yang besar atau batu yang besar dianggap ada
mahluk halus sebagai penghuinya. Agar penghuninya tidak mengganggu, maka
kepadanya disediakan persembahan. Pagar. Pagar adalah roh nenek moyang yang
menjadi pelindung keluarga.
Pagar ini merupakan pemujaan penduduk kampung sebagai pengormatan
kepada arwah leluhur. Letak pagar ini umumnya di sekeliling kampung. Buah
Huta-Huta. Buah Huta-Huta sama dengan pagar, bedanya, Buah Huta- Huta ini
lokasinya di tengah kampung. Ndilo Tendi, memanggil roh orang yang telah
memanggil dunia untuk diajak berdialog dengan keluarganya, melalui perantaraan
seorang dukun wanita. Erpangir Kulau. Erpangir Kulau adalah satu kebudayaan
masyarakat Karo yang bersifat kepercayaan, fungsinya untuk membersihkan diri,
agar terhindar dari berbagai kesulitan, malapetaka dan lain sejenisnya. Kegiatan
ini dapat dilakukan perorangan maupun bersama keluarga.
Pelaksanaan kegiatan ini dipimpin oleh seorang dukun yang disebut Guru
Sibaso. Perumah Begu. Perumah Begu adalah salah satu kepercayaan. Dalam
kepercayaan ini masyarakat Karo percaya orang yang telah meninggal dunia,
rohnya dapat dipangggil dan diajak berdialog, melalui seorang dukun (Guru
Sibaso). Untuk melaksanakan upacara, ada syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi, dan ada tahap-tahap tertentu yang harus dilalui. Nengget. Nengget
adalah upacara yang dilakukan terhadap suami istri yang sudah lama berumah
tangga, tetapi belum juga dikarunia anak. Atau kepada pasang suami istri yang
jenis kelamin anaknya hanya wanita saja. Melalui upacara nengget (membuat
terkejut), diharapkan ada perubahan, bagi pasangan suami istri yang belum
dikarunia anak, diharapkan akan mendapat anak. Bagi pasangan suami istri yang
anaknya semua misalnya wanita saja, diharapkan akan segera mendapatkan anak
laki-laki, sebagai penerus klen suaminya.
Ngarkari adalah upacara untuk menghindarkan keluarga dari kemalangan
atau kesialan. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun yang disebut Guru
Sibaso. Perselihi adalah upacara untuk menghindari kemalangan yang mungkin
terjadi di `dalam sebuah keluarga. Ngulakken adalah upacara pengobatan dari
sesuatu penyakit. Ngeluncang, adalah upacara pengobatan terhadap sesuatu
penyakit yang dibuat oleh orang lain, atas bantuan si dukun, penyakit tersebut
dikembalikan kepada sipembuatnya. Njunjungi Beras Piher adalah upacara ritual
mengusir roh-roh jahat dari desa, sehingga masyarakat desa terhindar dari segala
malapetaka. Selain tersebut di atas masyarakat Karo juga percaya kepada
Jinujung. Jinujung adalah roh pelindung seseorang. Kemudian ada lagi yang
disebut Guru, guru ini adalah orang yang mempunyai indra keenam, fungsinya
selain sebagai "dokter" juga sebagai peramal. Demikian juga halnya di Desa Saran
Padang masih meyakini berbagai upacara religi. Walaupun Di Desa Saran Padang
ini sudah menganut agama modren namun penduduknya masih mempercayai atau
melakukan ritual kepercyaan kuno, seperti melakukan upacara nengget untuk
masyarakat karo.
2.2. Erpangir Ku Lau
Erpangir ku lau berasal dari kata pangir, yang berarti langir, oleh sebab itu
erpangir artinya adalah berlangir. Pada tulisan ini penulis tidak membahas
pengertian berlangir dalam keadaan biasa, misalnya : seperti mencuci rambut atau
keramas. Akan tetapi arti erpangir dalam upacara religius menurut kepercayaan
tradisional Karo. Jadi, erpangir adalah suatu upacara religius berdasarkan
kepercayaan tradisional suku Karo ( pemena ), dimana seseorang/keluarga tertentu
melakukan upacara berlangir dengan/tanpa bantuan dari guru, dengan maksud
tertentu. Pada masa lalu Kebudayaan Erpangir Ku Lau merupakan kegiatan
Sakral bagi masyarakat Suku Karo, yaitu mandi ke sungai dengan memberi
sesajen agar kelak di kemudian hari diberkati Tuhan Yang Maha Esa. Acara
erpangir ku lau samapi saat ini masih ada di beberapa tempat yang dilaksanakan
dalam upacara perkawinan, membuat nama anak dan menolak penyakit yag dibuat
oleh roh -roh jahat.
Erpangir merupakan suatu teknik penyembuhan pada orang Karo yakni
penyembuhan yang dilakukan dengan upacara yang di dalamnya mengakup
kesurupan, iringan mysik tradisional, nyanyian, penggunaan mantra, dan
memberikan ramuan dibagian tubuh. Erpangir berfungsi untuk menolak bala atau
menolak mara bahaya yang menimpa suatu keluarga atau individu. Adapun jenis
bala yang ditolak dalam upacara erpangir ku lau ini adalah:
1) Berasal dari luar individu, yaitu perbuatan seseorang iri hati terhadap
individu tersebut yang mungkin karena konflik atau masalah tertentu dan
mungkin karena adanya gangguan dari mahluk halus.
2) Berasal dari diri individu itu sendiri, yaitu karena kelalaian-kelalaian dari
individu. Sebagai contoh misalnya individu tersebut berguru kepada
seseorang untuk memperoleh ilmu kekebalan tubuh. Kenyataannya yang
diberikan oleh guru tempatnya berguru tersebut bukan hal yang baik
sehingga tubuhnya tidak dapat menerima ilmu tersebut dan menjadikannya
sakit.
Selain fungsinya sebagai penolak bala, erpangir juga berguna untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam menyembuhkan penyakit erpangir
tidak dapat dipisahkan dari praktek-paraktek penyembuhan yang ada pada
masyarakat Karo.
2.2.1. Alsan-alasan Erpangir
Ada beberapa alasan mengapa seseorang/keluarga tertentu mengadakan
upacara erpangir. Adapun alasan-alasan itu, adalah :
a) Upacara Terima Kasih Kepada Tuhan Atau Dibata
Dalam hal ini erpangir sebagai upacara terima kasih dan syukur kepada
Dibata (Tuhan) yang telah memberikan rahmat tertentu. Misalnya :
memperoleh keberuntungan, terhindar dari kecelakaan, memperoleh hasil
panen yang berlimpah, sembuh dari penyakit, dan lain sebagainya.
b) Menghindarkan suatu malapetaka yang mungkin terjadi.
Dalam hal ini orang Karo melakukan upacara erpangir sebagai upaya
untuk menghindarkan suatu malapetaka yang akan terjadi, itu biasanya
sudah terlebih dahulu diterka melalui firasat atau suatu mimpi yang buruk,
atau berdasarkan keterangan dan saran dari guru.
c) Menyembuhkan suatu penyakit .
Erpangir adakalanya juga diadakan sebagai upaya untuk mengobati suatu
jenis penyakit tertentu. Misalnya untuk mengobati orang gila, atau yang
diserang oleh begu atau roh jahat.
d) Mencapai maksdud tertentu.
Erpangir juga dilakukan sebagai upaya untuk memohon sesuatu kepada
Tuhan, misalnya agar cepat mendapatkan jodoh, mendpat keberuntungan,
memperoleh kedudukan yang baiak, dan lain sebagainya.
2.2.2. Jenis-jenis Erpangir
Upacara erpangir ku lau dapat dibedakan tiga jenis berdasarkan besar
kecilnya upacara tersebut dilakukan. Besar kecilnya jenis upacara ini terkait
dengan jumlah peserta upacara atau kerabat yang terlibat dalam upacara tersebut
dan jenis hewan yang disembelih. Disamping itu juga berpengaruh kepada tempat
pelaksanaan upacara. Meskipun sebenarnya kategori ini tidak sepenuhnya dipakai
khusus untuk upacara erpangir ku lau, tetapi biasa kegiatan erpangir ku lau
merupakan suatu runtutan dari upacara utama, misalnya kegiatan erpangir ku lau
diadakan karena akan dilaksanakan upacara perkawinan, dan sebagainya. Jadi
sebenarnya pengelompokan jenis yang dimaksud adalah pengelompokan
berdasarkan upacara perkawinan tersebut. Namun khusus untuk upacara erpangir
ku lau bisa saja dilakukan dalam bentuk besar sampai bentuk yang paling kecil,
yaitu ritual erpangir yang dilakukan oleh pribadi-pribadi. Adapun jenis-jenis dari
upacara erpangir ku lau ini adalah :
1. Pangir Selamsam
Pangir Selamsam adalah suatu pangir yang paling kecil, pangir Selamsam
biasanya disebut juga sebagai kerja singuda karena jenis upacaranya lebih kecil
dan singkat, dimana peralatannnya hanya terdiri dari : rimo (jeruk purut), baja
(getah kayu besi), minyak kelapa, dan sebuah mangkuk putih untuk tempat pangir.
Pertama-tama mangkuk diisi dengan air putih, kemudian belah jeruk purut dan
peras ke dalam mangkuk, lalu masukkan baja dan minyak ke dalam mangkuk
tersebut, maka pangir sudah jadi. Pangir selamsam ini biasanya dilakukan karena
mendapat mimpi buruk. Upacara ini biasanya cukup dihadiri oleh sangkep
nggeluh dari unsur-unsur anggota keluarga yang paling dekat saja, dimana
peranan masing-masing individu tersebut sangat penting dalam proses adat yang
berlaku bagi masyarakat Karo. Unsur-unsur telu sedalanen seperti kalimbubu,
anak beru dan senina, tidak semuanya terlibat.
Dalam upacara pangir Selamsam ini, biasanya hewan yang disembelih
cukup hanya hewan yang berkaki dua saja, misalnya ayam. Waktu dan
pelaksanaan upacara ini biasanya dilakukan pada saat hari belah purnama raya,
yaitu pada hari-hari ketika bulan purnama. Waktunya biasa dilakukan pada malam
hari dan sendirian di sebuah sungai atau di tempat pemandian umum pada malam
hari.
2. Pangir Sintengah.
Pangir sintengah adalah suatu sebutan untuk pesta atau upacara yang
sifatnya menengah. Upacara ini merupakan satu tingkat dibawah upacara yang
termasuk dalam kategori kerja sintua. Pada upacara jenis ini meskipun juga
melibatkan unsur-unsur sangkep nggeluh kerabat, namun tidak selengkap anggota
kerabat yang terlibat dalam upacara kerja sintua. Dalam kerja sintua hampir
melibatkan seluruh kerabat yang jauh dan dekat, serta penduduk kampung.
Namun dalam kerja sintengah unsur-unsur kerabat yang diundang pada umumnya
kerabat yang memang terlibat dalam kegiatan adat dalam sebuah keluarga
tertentu. Hal inilah yang menyebabkan sehingga upacara ini dinamakan kerja
sintengah.Hewan yang disembelih dalam upacara ini juga biasanya hewan yang
berkaki empat, hewan yang dimaksud berkaki empat dalam hal ini adalah
kambing, lembu, babi, dan kerbau. Adapun perlengkapan yang diperlukan dalam
pangir sintengah ini adalah terdiri dari : penguras, yakni ramuan dari air (air
kelapa muda), jeruk purut, baja, minyak kelapa.
a. Empat jenis jeruk, tetapi jeruk purut (rimo mukur) harus ada.
b. Kudin taneh (kuali yang terbuat dari tanah), sebagai tempat penguras
(pangir).
c. Dilakukan di lau sirang (di tempat air mengalir terbelah menjadi dua
aliran).
d. Memakai pertolongan guru.
3. Pangir Mbelin (Agung) Pangir mbelin disebut juga sebagai kerja (Pesta) sintua merupakan pesta
yang paling besar yang ada pada masyarakat Karo. Pada pesta ini harus
melibatkan seluruh sangkep nggeluh, yaitu orang-orang yang masih mempunyai
hubungan kekerabatan dengan yang empunya hajatan serta seluruh anak kampung
dimana pesta tersebut dilaksanakan. Pada upacara ini biasanya hewan yang
disembelih adalah sapi (lembu). Dalam kerja sintua ini seluruh kerabat yang
dikenal dengan sangkep nggeluh, yang terdiri dari tiga unsur yaitu kalimbubu
(pihak pemberi wanita), senina (saudara-saudara yang melakukan hajatan), dan
anak beru (pihak penerima wanita). Masing-masing pihak dalam tiga status sosial
tersebut mempunyai peranan masing-masing serta bagaimana mereka berlaku
dalam upacara tersebut. Misalnya anak beru biasanya mempersiapkan segala
sesuatunya seperti memasak makanan untuk seluruh peserta upacara tersebut, dan
mengatur segala sesuatunya untuk keberhasilan upacara pihak kalimbubunya.
Demikian juga dengan pihak senina dan kalimbubu mempunyai fungsi dan
peranan masing-masing dalam setiap upacara maupun dalam kegiatan sehari-hari.
Meskipun pelaksanaan upacara adat yang terkait dengan erpangir ku lau
dilangsungkan di Jambur, namun upacara erpangirnya sendiri tetap diadakan di
sungai.
Dalam kegiatan ini biasanya tidak hanya menggunakan alat musik yang
relatif kecil, yaitu gendang telu sedalanen saja, tetapi juga menggunakan gendang
yang lebih besar yang disebut dengan gendang lima sedalanen. Dalam upacara ini
juga diadakan landek (menari) sesuai dengan peranannya masing-masing dalam
upacara tersebut. Dalam pelaksanaan pangir ini juga memerlukaan peralatan-
peralatan sebagai berikut :
a. penguras
b. tujuh jenis jeruk, jeruk purut harus ada
c. wajan (belanga), sebagai tempat penguras (pangir).
d. Dilakukan di lau sirang.
e. Diletakkan di atas sagak (corong bambu) dan disampingnya diberi janur
(lambe).
f. Pada zaman dahulu jenis ini pangir diikuti dengan bunyi senapan.
g. Erkata gendang (memakai alat musik Karo).
Pada umumnya setiap pangir, selalu dimantrai (itabasi) atau disebut
imangmangi, tabas (mantra) ini biasanya diucapkan oleh guru dengan
menembangkannya atau dinyanyikan. Tabas ini dipercayai mempunyai kekuatan
magis untuk mempengaruhi atau menyembuhkan penyakit tertentu. Tabas
(mantra) dalam bahasa Karo, dimulai dengan berbagai jenis kata pembukaan.
2.2.3. Peralatan dan makna peralatan dalam pelaksanaan erpangir ku lau
Perlengkapan yang dibutuhkan untuk melakukan upacara ku lau adalah :
a. Lau (sungai)
Untuk melakukan upacara erpangir ku lau mutlak membutuhkan lau
(sungai), karena bagi orang Karo pelaksanaan upacara ini harus di air yang
mengalir. Air mengalir ini juga mempunyai makna membawa hal-hal yang tidak
baik dalam tubuh seseorang. Sungai ini sendiri berbagai macam bentuknya, ada di
sungai yang mengalir tunggal, ada di sungai yang membentuk beberapa anak
sungai, dan ada juga yang dilakukan di sungai yang sudah dibangun menjadi
tempat khusus sebagai tempat erpangir.
b. Pangir (air keramas untuk ritual)
Bahan utama pangir ini biasanya adalah rimo mukur (jeruk purut) dan lau
(air), dan bahan-bahan dedaunan khusus yang diambil dari hutan, serta minyak
wangi. Minyak wangi yang digunakan biasanya adalah minyak wangi cap air mata
duyung. Banyaknya air pangir ini tergantung berapa banyak yang hendak ipangiri
atau yang mau dikeramasi secara ritual. Biasanya pangir ini ditaruh dalam
mangkuk mbentar atau mangkok putih yang terbuat dari bahan porselen dengan
ukurannya relative kecil saja kira-kira seukuran dengan mangkok bakso. Namun
apabila yang hendak erpangir berjumlah banyak, maka jumlah jeruk purut dan air
yang dibutuhkan juga cukup banyak, maka tempat pangir ini juga biasanya di
buat di dalam ember.
c. Guru (pembimbing atau pemimpin ritual).
Dalam upacara ritual erpangir dalam ketegori jenis upacara yang besar
sampaii kecil (kerja sintua, kerja sintengah dan kerja singuda) peran guru sangat
penting hadir dalam upacara tersebut sebagai mediator sekaligus pembimbing
jalannya upacara erpangir tersebut. Guru atau kadang juga disebut orang sebagai
dukun atau tabib adalah orang yang mempunyai keahlian khusus untuk melakukan
berbagai macam upacara ritual. Guru inilah yang kemudian berperan sebagai juru
pangir atau yang memandikan atau mengkeramasi individu-individu yang terlibat
dalam upacara tersebut. Guru diyakini dapat mengobati, menghilangkan hal-hal
yang tidak berkenan (kotor), penyakit yang ada pada manusia. Dalam erpangir
yang relative kecil, misalnya yang hanya dilakukan individu-individu saja,
misalnya acara erpangir untuk membersihkan tubuh karena ada roh-roh tertentu
yang berdiam dalam dirinya sebagai pelindung, misalnya begu jabu, maka
kehadiran guru dalam acara erpangir tidaklah terlalu penting. Acara erpangir
cukup dilakukan sendiri saja, karena dia sendiri telah mengerti apa permintaan
roh-roh atau spirit yang ada dalam tubuhnya itu. Hal ini juga karena sebelumnya
juga dia sudah melalui proses ipangiri oleh guru, sehingga dia juga dapat
melakukan erpangir bagi dirinya
d. Gendang Karo (musik pada masyarakat Karo)
Gendang Karo yang dimaksud disini adalah perangkat ensambel musik
yang dibutuhkan sebagai musik pengiring dalam pelaksanaan upacara tersebut.
Orang Karo selalu menyebut yang terkait dengan musik dengan kata gendang.
Oleh sebab itu pada masyarakat Karo kata gendang tersebut mempunyai makna
jamak. Setidaknya ada lima pengertian gendang tersebut sesuai dengan
konteksnya, yaitu: (1) gendang sebagai nama lagu: (2) gendang sebagai ensambel
musik; (3) gendang sebagai instrument musik; (4) gendang sebagai repertoar; dan
(5) gendang sebagai upacara. Gendang yang dimaksud dalam upacara erpangir ku
lau adalah gendang sebagai ensambel musik. Ensambel musik yang digunakan
dalam erpangir ku lau adalah gendang telu sedalanen, yaitu sering juga disebut
dengan gendang kulcapi. Ensambel musik ini dimainkan oleh tiga orang pemain
yang diberi gelar si erjabaten. Ensambel ini terdiri dari tiga buah instrument
musik, yaitu (1) kulcapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi, yaitu gitar
tradisional Karo dengan senar dua buah dengan interval kwint; (2) keteng-keteng,
yaitu alat musik bersenar yang dipukul. Alat musik ini terbuat dari satu ruas
bamboo betung, dan dari badan bamboo itu sendiri dibuat senar dua buah sebagai
pengganti suara penganak (small gong) dan gung (gong); (3) mangkuk mbentar,
yaitu mangkok putih. Disamping ensambel musik gendang telu sedalanen
tersebut, sering juga digunakan gendang blobat.
e. Si man pangiren (orang yang diupacarakan).
Siman pangiren adalah orang yang hendak dikeramasi. Orang yang hendak
dikeramasi ini adalah individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat
yang ingin melakukan upcara ritual karena berbagai latar belakang. Namun
tujuannya adalah pembersihan dari hal-hal yang kotor atau yang tidak diinginkan
atau kemalemen ate.
f.Belo cawir
Belo cawir adalah sebutan untuk sirih yang sempurna, dalam arti daun
sirih yang paling bagus. Sirih yang disebut cawir adalah tidak mempunyai
robekan di daunnya, tidak berwarna bintik-bintik hitam, tidak daun sirih muda,
tetapi cukup “tua”. Sirih yang bagus juga, serat sisi belakang daunnya biasanya
berwarna ke merah-merahan, apabila warnanya hijau, maka itu tidak
dikategorikan sebagai sirih, tetapi disebut gatap. Selain itu daun sirih ini juga
dilengkapi dengan perlengkapan lainnya yang merupakan satu kesatuan, yaitu
mbako tabeh (tembakau), mayang (pinang yang sudah dibelah), kapur dan
gamber (gambir). Kadang-kadang juga dibutuhkan rokok, rokok ini biasa sebagai
persembahan kepada roh-roh yang diyakini datang di tempat upacara. Biasanya
rokok tersebut dihisap oleh sang medium atau guru. Dan ini pertanda bahwa roh
tersebut telah datang di tempat upacara. Sirih dan rokok seperti inilah yang
dibutuhkan sebagai salah satu perlengkapan upacara erpangir ku lau. Orang yang
mau dipangiri atau anggota kerabatnya juga biasanya memberikan belo cawir
tersebut kepada sang guru untuk meminta tolong agar dibantu dan melaksanakan
upacara erpangir tersebut.
g. Cimpa
Cimpa adalah kue tradisional khas karo yang terbuat dari tepung ketan di
campur dengan gula. Cimpa ini biasa sebagai makanan, namun juga dapat
dijadikan sebagai persembahan kepada roh-roh tertentu yang dianggap sakral dan
keramat.
2.2.4. Waktu dan tempat pelaksanaan. Untuk melakukan upacara erpangir ku lau, terlebih dahulu harus
dirembukkan dengan guru si meteh wari telu puluh, yaitu dukun yang mengetahui
hari yang baik dan buruk, yang mengetehaui kapan pelaksanaan upacara tersebut
yang paling baik dilaksanakan sehingga hasilnya juga diharapkan baik. Pada
masyarakat Karo hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir dapat dilihat
berdasarkan sistem penanggalan orang Karo sendiri. Tidak semua hari dapat
dijadikan sebagai hari untuk melakukan upacara erpangir. Namun ada hari-hari
tertentu yang diyakini sebagai hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir
(berkeramas). Masyarakat Karo mempunyai sistem penanggalan sendiri yang
disebut wari-wari Karo kelender Karo. Dalam Sistem penanggalan ini satu tahun
dibagi menjadi dua belas bulan, satu bulan (paka) dibagi tiga puluh hari, satu hari
dikelompokkan lagi menjadi bagian-bagian terkecil lagi yang tidak hanya
mengenal malam, pagi, siang, sore dan malam, namun lebih rinci dari jam per
jam. Berdasarkan hari-hari yang ada maka hari yang baik untuk melakukan
upacara erpangir adalah :
(1). Nggara si mbelin
(2). Adatia turun
(3). Beras pati tanggkep
(4). Cukera dudu (lau)
(5). Belah purnama raya
(6). Nggara enggo tula
(7) Aditia turun
Ketujuh hari tersebutlah merupakan hari yang baik menurut kepercayaan
sidekah atau kepercayaan orang zaman dulu kala, sebagai hari yang baik untuk
melakukan upacara erpangir Tempat upacara erpangir ku lau tergantung kepada
jenis upacara itu sendiri. Jika upacara ini merupakan upacara kerja sintua, maka
kegiatan erpangir sendiri biasanya dilaksanakan di sebuah sungai atau di sebuah
tempat di luar kampung yang telah ditentukan, tetapi upacara selanjutnua biasanya
diadakan di jambur (balai pertemuan).
2.2.5. Peserta Upacara.
Yang dimaksud peserta dalam kegiatan ini adalah orang-orang yang
terlibat dalam upacara erpangir ku lau tersebut. Yang menjadi peserta tentunya
adalah tergantung kepada jenis upacara yang dilakukan, besar kecilnya. Ini
berdampak kepada siapa-siapa saja yang akan terlibat di dalamnya selain orang
yang akan dipangiri. Jika upacara erpangir ku lau upacara kerja sintua maka
seluruh kerabat dan orang-orang kampung biasanya akan ikut terlibat dalam
kegiatan tersebut. Namun jika erpangir ku lau dalam skala yang relative kecil,
misalnya kerja singuda maka biasanya yang terlibat hanya kerabat-kerabat dekat
saja. Demikian juga jika erpangir dilakukan oleh individu-individu karena
mempunyai silengguri, yaitu jinujung yang hubungannya lebih bersifat pribadi,
maka pesertanya cukup individu yang mempunyai jinujung itu sendiri. Dan
pelaksanaannya juga cukup singkat saja, bahkan lebih rahasia, dan tidak diketahui
oleh masyarakat luas. Pelaksanaannya pun biasanya malam hari pada saat bulan
purnama dan sebagainya.
2.2.6. Pelaksanaan upacara erpangir ku lau.
Upacara erpangir ku lau biasanya dilakukan pada pagi hari, atau disebut
juga nangkih-nangkih matawari dalam bahasa Karo (naik-naik matawari)
berangkat dari rumah ke sungai. Anak beru dari orang yang akan melaksanakan
upacara tersebut membawa segala peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan
upacara tersebut. Tiba di sungai anak beru menggelarkan tikar untuk orang yang
akan dipangiri sebagai tempat duduk. Beberapa anak beru yang lain membuat
anjab (suatu tempat persembahan) yang terbuar dari bambu dengan kaki pencagak
sebanyak tiga buah, sehingga berbentuk meja yang berbentuk segitiga. Sedangkan
guru atau dukun membuat cagak (suatu tempat berdoa) dengan membuat
gundukan pasir sungai sebesar mangkok porselin, kemudian ditancapkan sebuah
ranting kayu di pasir tersebut untuk tempat kepitan sirih dan diatasnya dan
disebelahnya diletakkan mangkok berisi air ramuan jeruk purut.
Letak cagak dan ajab berdekatan, diatas ajab diletakkan berbagai jenis
persembahan untuk roh-roh gaib antara lain : ayam, makanan, sirih, kelapa muda,
dan kain putih. Kemudian guru membungkus kepalanya dengan kain putih dan
berdiri menghadap cagak dengan tangan mengapit sehelai sirih dalam posisi
menghormat sambil mengucap kata-kata persembahan kepada ro-roh gaib. Setelah
itu guru meminpin upacara kemudian memotong jeruk dengan berbagai bentuk
potongan yang kemudian dimasukkan kedalam sebuah baskom plastik yang berisi
air yang diambil anak beru dari sungai. Setelah campuran air jeruk (pangir) selesai
guru menyiram kepala yang akan dipangiri tersebut. Setelah selesai dipangiri
orang-orang yang hadir dalam upacara tersebut juga diberi kesempatan untuk
meminum air pangir, dan setelah acara erpangir selesai maka bersiap-siap untuk
kembali ke rumah. Saat mereka tiba di rumah mereka sudah disambut dengan
gendang.
2.3.Upacara Tolak Bala
Upacara Tolak Bala sebagai upacara tradisional, merupakan bagian dari
kebudayaan, yang melibatkan seluruh warga masyarakat pendukungnya, dalam
usaha untuk mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara tolak bala
berhubungan dengan lingkaran aktivitas mata pencaharian npenduduk setempat,
terutama menyangkut pertanian yang erat kaitannya dengan saat-saat tertentu pada
musim menanam atau musim panen. Upacara tolak bala berasal dari kata “tolak”
yang berarti kegiatan yang dilakukan manusia untuk menolak, mencegah, atau
menangkal segala bencana. Sedangkan kata “bala” ialah malapetaka atau bencana
alam lainnya yang menimpa kehidupan warga masyarakat seperti wabah penyakit
baik terhadap manusia, ternak maupun tanaman penduduk. Jadi pengertian tolak
bala adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat setempat
dalam upaya menolak, melenyapakan atau penawar bencana yang menimpa warga
masyarakat yang bersangkutan. Diharapkan setelah melakukan upacara tolak bala
ini akan kembali tenang dan tentram serta hasil pertanian penduduk desa yang
melaksanakan upacara tolak bala ini akan mendapatkan hasil yang baik juga.
2.3.1. Latar Belakang Pelaksanaan Upacara Tolak Bala
Pelaksanaan upacara tolak bala ini tidak terlepas dari sistem mata
pencaharian penduduk yang sebagian besar bertani. Upacara tolak bala ini
dilaksanakan sekali dalam setahun dan dalam pelaksanaanya seluruh anggota
masyarakat ikut ambil bagian dalam pelaksanaan upacara ini. biasanya
pelaksanaan upacara ini diadakan pada tempat-tempat pintu masuk kampunng
yang mempunyai simpang empat atau pada jalan utama masuk ke desa.
Kepercayaan yang terkandung dalam upacara tolak bala ini merupakan
kepercayaan tradisional, yang masih kuat pada masyarakat yang dilaksanakan
untuk keselamatan kampung, menagkal wabah penyakit, dan meminta
pertolongan pada kekuatan adikodrat agar mendapat rezeki.
Latar belakang dilaksanakannya upacara tolak bala berhubungan dengan
alam kepercayaan mereka, bahwa ada sesuatu yang harus mereka laksanakan agar
hasil dari pertanian mereka mendapatkan hasil yang baik. Dengan masukkya
inovasi pertanian, teknik tradisional mulai ditinggalkan masyarakat, maka
orientasi masyarakat desa adalah meningkatkan hasil produksi pertanian sekaligus
meningkatkan sistem perekonomian masyarakat.
2.3.2. Waktu dan Pelaksanaan Upacara Tolak Bala
Sebagaimana lazimnya penyelenggaran upacara diperlukan persiapan dan
perlengkapan upacara. Hal ini antara lain menyangkut petugas pelaksana upacara,
pemberitahuan dan tempat pelaksanaan upacara tolak bala tersebut, serta alat-alat
yang digunakan dalam pelaksanaan upacara tersebut yang kesemuanya ini perlu
dimusyawarahkan terlebih dahulu. Musyawarah pelaksanaan upacara tolak bala
ini biasanya diadakan pada pagi hari, hal ini dilakukan karena menurut
kepercyaan penduduk desa dan pengetua-pengetua adat, apabila suatu pekerjaan
itu dimulai pada saat matahari naik atau pada saat pagi hari maka akan membawa
hasil yang baik. Demikian juga halnya pada upacara tolak bala ini hari
pelaksanaanya tergantung pada hasil kesepakatan bersama dalam musyawarah.
Pelaksanaan upacara tolak bala diadakan setelah satu minggu musyawarah
tersebut, dan penetapan upacara tolak bala bisanya diadakan pada hari jumat
petang sekitar jam 6.45 sore. Waktu penyelenggaraan upacara biasanya
dilaksanakan pada saat petani mulai menanam padi.
2.3.3. Tempat Pelaksanaan Upacara Tolak Bala
Upacara tolak bala diadakan pada setiap pintu masuk kampung atau jalan
utama masuk desa dan tempat-tenpat pemabndian umum. Alasan mengapa tempat
ini yang dipilih sebagai tempat pelaksanaan upacara tolak bala karena tempat ini
perlu dijaga acar roh-roh jahat segera menyingkir keluar dari desa, karena desa
tersebut sudah dijaga oleh kekuatan suci dari Tuhan.
2.3.4. Pelaksana Upacara Tolak Bala
Adapun pelaksana dari upacara tolak bala ini adalah terbagi kedalam dua
bagian yaitu pihak pelaksana utama dan pihak pembantu pelaksana upacara. Pihak
pelaksana utama ini adalah seorang dukun yang cukup terkenal di Desa terebut,
dalam pelaksanaan upacara ini dukun bertugas sebagai pemimpin jalannya
upacara mulai dari awal sampai selesainya upacara tersebut. Selain itu upacara ini
juga dibuka secara resmi oleh Kepala Desa. Sedangkan untuk pihak pembantu
pelaksana terdiri dari orang tua desa atau pengetua adat yang tau banyak
mengenai upacara tolak bala ini. dalam hal ini para petani juga mempunyai
peranan yang cukup penting dalam pelaksanan upacara tolak bala, karena dalam
hal ini mereka lah yang meminta agar upacara ini dilaksanakan. Dalam upacara
ini mereka memohon dan mengharapkan keberhasilan hasil pertanian mereka
kepada Tuhan, dan mencegah timbulnya bencana apapun yang dapat mengaggu
pertanian mereka.
2.3.5. Pelaksanaan Upacara Tolak Bala
Sebelum upacara dimulai dilakukan terlebih dahulu persiapan dengan
menyusun petugas utama dan pembantu dalam penyelenggaraan upacara dan
sekaligus membagi tugas apa yang harus dikerjakan dan apa-apa saja yang harus
disediakan oleh masing-masing pihak. Setelah selesai pembagian tugas maka hari
pelaksanaan upacara ditetapkan sesuai dengan kesepakatan bersama. Tepat pada
hari yang telah ditentukan maka seluruh warga dan pihak-pihak yang telah
ditentukan sebagi pelaksana upacara datang ke tempat pelaksanaan upacara.
Upacara tolak bala ini diawali dengan pembacaan doa setelah pembacaan
doa ini selesai maka para petani membawa segala jeis hasil pertaniannya dan
ditaruh di tengah tempat upacara untuk didiakan, dan hadirin yang lainnya yang
punya maksud lain dan harapan mereka ingin dikabulkan juga boleh turut
membawa sesajen lain. Setelah acara doa pembukaan selesai, lalu para pemuka
Desa terdiri dari para orang tua kampung yang sudah mengerti banyak tentang
pelaksanaan upacara tolak bala mulai menyalakan obor dan membakar kemenyan
dan merangkaikan tujuh kembang dan jeruk purut kemudian jeruk purut dipotong-
potong lalu dimasukkan atau dicampurkan kedalam air dalam guci tanah liat.
Maknanya sebagai obat penawar dan penangkal penyakit bagi yang
mengusapkannya ke kepalanya. Air ramuan tersebut ditaburkan ke sekeliling
tempat upacara berlangsung. Setelah semuanya selesai maka dilanjutkan dengan
acara makan bersama, yang sebelumnya telah disediakan oleh kaum ibu dari
rumahnya masing-masing secara sukarela. Acara makan bersama ini merupakan
ahir dari pelaksanaan upacara tolak bala dan seluruh peserta upacara dapat
kembali ke rumah masing-masing.
2.4. Upacara Caburken Bulung (Kawin Gantung)
Kata Caburken Bulung bersal dari dua kata yaitu Caburken dan Bulung,
Caburken berarti tebarkan sedangkan bulung berarti daun. Jadi pengertian
caburken bulung adalah tebarkan daun atau taburkan daun. Menurut masyarakat
Karo upacara ini diberi istilah caburkan bulung karena upacara ini merupakan
upacara perkawinan semasa anak-anak sehingga hanya bersifat simbolik saja.
Walaupun ada harapan-harapan untuk kelak hidup bersama menjadi suami istri
yang sebenarnya, upacara itu sendiri bukannlah merupakan suatu ikatan
perkawinan. Dalam pelaksanaan upacara ini tidak semua orang Karo dapat
melaksanakannya melainkan hanya orang yang yang bertutur impal4
4 Anak paman, perkawinan yang dianggap ideal bagi masyarakat Karo.
saja yang
boleh di caburken bulungkan. Upacara ini dianggap sah, namun setelah upacara
cabur bulung ini mereka tidak hidup bersama layaknya suami istri. Hal inilah
yang dimaksud dengan caburken bulung karena upacara ini diibaratkan dengan
menabur daun di tanah, walaupun ditabur sebanyak-banyak mungkin tak akan
mungkin tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya sepasang suami istri
yang akan membentuk keluarga yang baru.
2.4.1. Latar Belakang Pelaksanaan Upacara Caburken Bulung
Pelaksanannya pada mulanya ditujukan untuk memohon berkat atau pasu-
pasu dari pihak kalimbubu. Pihak kalimbubu bagi oarang Karo merupakan pihak
yang harus dihormatidan dianggap sebagai Dibata ni idah penjelmaan dari Tuhan
yang nampak, jadai mereka harus selalu menghormati kalimbubunya. Selain
disebabkan hal di atas upacara caburken bulung juga dapat dilaksanakan karena
mimpi buruk tentang si anak. Misalnnya orang tuanya bermimpi anaknya hilang
atau kawin dengan orang lain yang tidak dikenal, ataupun mimpi-mimpi lainnya
yang dianggap mengganggu ketentraman hidup si anak. Jadi menurut kepercayaan
orang Karo, datangnya mimpi buruk merupakan pertanda tidak baik bagi
keselamatan si anak. Sehingga harus dilaksanakan upacara caburken bulung untuk
mengembalikan keadaan semula. Karena secara umum caburken bulung mereka
anggap sebagai suatu upaya untuk mengikat tendi (roh) si anak dengan impalnya.
Sehingga maut yang selama ini sudah hampir menjemput si anak (karena tendinya
sudah pergi) tak akan berhasil karena tendinya sudah diikat dengan impalnya
(seseorang yang dianggap lebih ideal dan berhak untuk mengawininya).
2.4.2. Waktu dan Pelaksana Upacara Caburken Bulung
Waktu merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan, pemilihan waktu
yang tepat akan membuat sesuatu keadaan menjadi serasi sehingga apa yang
menjadi tujuan pelaksanaan akan tercapai. Sebaliknya pelaksanaan yang
dilakukan tanpa perhitungan waktu akan kurang membawa hasil atau bahkan
mungkin bisa menjadi sesuatu yang tak punya arti apa-apa. Waktu pelaksanaan
upacara caburken bulung ini biasanya dilaksanakan pada hari budaha ngadep,
karena hari ini dianggap hari yang baik dan akan membawa keberuntungan serta
memberikan berkat.
Pelaksanaan upacara ini biasanya disarankan oleh orang tua dari anak yang
sakit ataupun orang tua yang mengalami mimpi buruk. Waktu pelaksanaan
upacara caburken bulung ditentukan oleh guru si meteh wari si telu puluh (guru
yang tahu memilih hari baik diantara 30 hari yang ada). Pelaksanaan upacara
caburken bulung dilakukan di rumah kalimbubu, hal ini dikarenakan karena pihak
kalimbubu adalah pihak yang harus dihormati. Namun apabila pelaksanaan
upacara ini dilakukan dengan mengundang semua kerabat jauh dan dekat
(sangkep nggeluh) maka pelaksanaanya dilakukan di jambur (balai Desa). Pihak-
pihak yang hadir dalam pelaksanaan upacara caburken bulung ini asalah, anak
beru sebagi pihak dari laki-laki, kalimbubu, dan kerabat dekat lainnya yang
mempunyai peranan penting dalam upacara ini.
2.4.3. Pelaksanaan Upacara Caburken Bulung
Setelah semua kerabat yang di undang datang maka pelaksanaan upacara
caburken bulung ini sudah dapat dimulai. Kedua anak yang akan dicaburken
bulung tersebut mengenakan pakaian adat Karo sama halnya seperti pakaian adat
pada pengantin Karo. Akan tetapi ada juga beberapa orang yang mengadakan
upacara caburken bulung tetapi tidak memakai pakaian adat Karo yang lengkap,
karena ini bukan suatu keharusan. Setelah semuanya selesai maka kedua anak
tersebut di bawa ke jambur, dan tempat duduknya disusun berdasarkan
kelompoknya. Anak yang dicaburken bulung tersebut di dudukkan di tengah-
tengah dengan posisi si perempuan berada disebelah kiri si laki-laki. Setelah
semua ini selesai maka pembicaraan dimulai oleh pihak kalimbubu, dengan
berkata pada si anak laki-laki :
“Ini piso pengambat, kuberikan untukmu sebagai pengikat tendimu dan impalmu,
supaya terikat tendimu. Sebab sudah diikat tendimu dengan impalmu supaya
kamu tidak sakit-sakit lagi. Dan mimpu buruk yang hendak mengganggu hidupmu
semuanya hilang dan berganti dengan kebaikan dan kesejahteraan”.
Setelah piso pengambat diberikankepada anak laki-laki maka kemudian
diangkat dan di letakkan di atas kepalanya, kemudian piso tersebut digigit oleh
anak laki-laki itu. Kemudian pembicaraan dilanjutkan oleh anak beru, ini
biasanya dilakukan oleh ibu dari anak laki-laki dengan berkata kepada si anak
perempuan :
“Enda permen (menantu) kuberikan cincin pengikat untuk mengikat tendi kamu
dengan impalmu, supaya kamupun sehat-sehat memakainya, jangan lagi kamu
sakit-sakitan dan semua keinginanmu dapat tercapai di hari-hari mendatang”.
Kemudian cincin tersebut dimasukkan ke dalam jari manis anak
perempuan tersebut, seterusnya diambil padang teguh (rumput ilalang) yang
sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh anak beru dan diikatkan pada tangan
mereka masing-masing. Setelah upacara tersebut maka acara selanjutnya adat
membayar utang untuk kalimbubu. Dalam acara membayar utang adat ini ada
yang dibayar penuh seperti adat perkawinan dan ada pula yang membayar
separuhnya, bahkan ada yang dibayar sebagian saja menurut keinginan mereka
yang mengadakan upacara. Setelah ini selesai maka upacara caburken bulung
dianggap sudah selasai.
2.5. Mesur-Mesuri (Tujuh Bulanan)
Mesur-mesuri sering juga disebut dengan maba manuk mbur, yaitu upacara
tujuh bulanan bagi seorang perempuan yang sedang hamil. Untuk anak pertama,
upacara ini bernama mesur-mesuri sementara untuk anak kedua dan seterusnya
disebut maba manuk mbur atau mecah-megah tinaruh. Adapun tujuan dari dari
upacara ini adalah untuk mempersiapakan si ibu melahirkan anak. Oleh karena
itu, masalah-masalah psikis harus diselesaikan terlebih dahulu agar si ibu dapat
melahirkan dengan selamat. Pihak-pihak yang hadir dalam upacara ini adalah :
orang tua dari sembuyak kalimbubu singalo bere-bere, kalimbubu singalo
perkempun, kalimbubu singalo perbibin, dan anak beru.
2.5.1. Pelaksanaan Mesur-mesuri (Tujuh Bulanan)
Pelaksanaan mesur-mesuri ini biasanya dilakukan hanya dalam acara yang
cukup sederhana saja, karena mansud dan tujuan diadakannya upacara ini
hanyalah semata-mata untuk mendoakan keselamatan dan kesehatan si ibu dan
calon anak yang akan dilahirkan. Dalam penentuan hari pelaksanaannya juga
tidak terlalu dipermasalahkan karena dalam hari apa saja juga upacara ini dapat
dilaksanakan. Pada hari yang telah ditentukan para rombongan pelaksana upacara
mesur-mesuri ini datang dengan membawa nasi serta ayam yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Sesampainya di rumah ibu yang sedang mengandung
tersebut duduk berdampingan dengan suaminya, dan kemudian mereka diberi
makan. Setelah itu barulah mereka didoakan supaya keluarganya selalu dalam
keadaan baik-baik saja, serta ibu yang sedang mengandung tersebut sehat dan
selamat sampai pada waktunya melahirkan dan anak yang dikandungnya juga
dapat lahir dalam keadaan sehat dan normal serta keluarganya juga selalu dalam
keadaan baik. Setelah acara berdoa selesai maka dilanjutkan dengan acara makan
bersama dengan semua rombongan yang ikut dalam acara tersebut. Akhir dari
acacara mesur-mesuri ini ditutup dengan doa juga dan kemudian para rombongan
dapat kembali ke rumah masing-masing, setelelah semua ini selesai maka acara
mesur-mesuri ini sudah selesai.
2.6. Ergunting (Menggunting Rambut Pertama Kali)
Dalam adat istiadat Karo mengunting rambut anak untuk pertama kali juga
dilakukan dengan suatu upacara yang disebut “ ergunting “. Upacara ergunting ini
dilakukan pada saat anak berusia satu satu hingga dua tahun (saat di sudah mulai
pandai berbicara) ergunting ini juga mempunyai tujuan untuk kesehatan si anak,
agar anak tersebut selalu sehat dan terhindar dari hal-hal buruk. Sebelum
ergunting berlangsung terlebih dahulu ditanyakan mengenai upah apa ataupun apa
saja permintaan si anak agar ia bersedia di pangkas. Seteleh upah diberitau, pada
hari yang telah ditentukan diundanglah mamana dan mamaina ( paman dan istri
paman tersebut ) ke kampung mereka supaya memangkas beberena (anak saudara
perempuannya).
2.6.1. Proses Pelaksanan Ergunting
Sebelum pelaksanaan ergunting ini terlebih dahulu dipersiapkan beberapa
peralatan yang dipakai dalam pelaksanaan ergunting ini dan kesemuanya ini harus
sudah dipersiapakn demi kelancaran proses pelaksanaan ergunting. Adapun
peralatan yang harus disediakan adalah : bulung-bulung simelias gelar5
Setelah dipotong mamana rambutnya sekali di potong langsung anak
tersebut digendong ibunya kerumah sambil duduk sebentar, kemudian kembali
lagi ke halaman, demikian hingga tiga kali berturut-turut. Setelah itu rambut
, lau
meciho, dua piso man pergunting, ditambah dengan upah yang telah dimintanya,
yakni bisa berupa pisang dan cimpa(maknan yang terbuat dari tepung beras yang
dicampur dengan gula merah). Setelah semua peralatan dipersiapkan maka acara
ergunting dapat dimulai.
Pada tempat pelaksanaan ergunting ini digelarkan tikar dan tikar putih
sebagai tempat duduk mamana (pamannya) dan ibunya sambil menggendong
anaknya dipangkuannya. Pertama ibunya memberi belo cawir (sirih) kepada
turangna (saudara laki-laki), agar dia bersedia menggunting rambut beberena dan
saudara perempuan suaminya (beruna) sebanyak sepuluh sada kali (sebelas kali),
dengan maksud gelah ersada tendi ku rumah (supaya bersatu roh ke rumah).
Rambut yang ada di piseren (putaran rambut di abgian atas kepala) si anak di
gulung dan diikat mamana dengan benang putih. Kemudian dibasuhnya kepala
dan rambut anak itu dengan air putih (lau meciho) dan bulung-bulung simalem-
malem sampai semuanya basah, kemudian mulai dipotong mamana dengan piso
sedikit demi sedikit dan rambut yang sudah dipotong disimpan oleh maminya.
5 Daun-daun yang bernama baik, air pitih, dua piso untuk memotong rambut.
beberena sudah bisa dipotong sampai habis, semua rambut yang sudah digunting
ditimbangkan dengan uang. Kalau timbangannya sesuai dengan rupiah maka
diberikanlah rupiah sebagai upah mamana, tapi kalau timbangan rambut sesuai
dengan uang maka diberikanlah uang sebagai upah mamana sesuai dengan berat
timbangan rambut tersebut. Setelah semuanya selesai maka acara ergunting sudah
dianggap selesai.
BAB III
UPACARA NENGGET
3.1.Upacara Nengget
Mendapatkan keturunan bagi masyarakat Batak, khususnya pada
masyarakat Batak Karo adalah suatau hal yang amat penting. Walaupun dengan
perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi
apabila mempunyai anak laki-laki, karena ini berhubungan dengan penerus
keturunan dari klannya, dimana masyarakat Karo menganut garis keturunan
berdasarkan garis ayah. Namun akibat-akibat biologis dan non-biologis banyak
pasangan suami istri yang belum mendapat keturunan walaupun telah bertahun-
tahun membina hubungan rumah tangga. Salah satu upacara yang dipercayai dan
yang dilakukan masyrakat Karo untuk memperoleh keturunan adalah dikenal
dengan nengget, yaitu membuat sumi istri tersebut terkejut.
Nengget adalah suatu upacara yang dilakukakan menurut adat Karo, yaitu
dengan membuat kejutan (sengget) ke suatu keluarga tertentu, karena alasan
tertentu dan dengan tujuan tertentu. Di sini terdapat unsur kepercayaan bahwa
dengan mengejutkan keluarga itu akan tercapai keinginan. Oleh karena itu
pelaksanaanya pun dilakukan secara rahasia, keluarga yang isengget tidak boleh
mengetahui hal tersebut. Upacara nengget ini adalah: mengadakan kejutan kepada
keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan. Kata
nengget itu sendiri berarti membuat terkejut salah satu pasangan suami istri yang
sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan. Sampai saat sekarang
upacara ini masih tetap diyakini dan dipercayai oleh masayarak Karo khususnya
di Desa Saran Padang. Mereka menganggap upacara ini dapat memberi keturunan
pada mereka, selain ingin mendapat keturunan upacara ini juga biasanya
dilakukan pada keluarga yang sudah memiliki keturunan akan tetapi semuanya
perempuan, dalam kata lain ingin mendapatkan keturunan anak laki-laki. E
3.2. Latar Belakang Dan Tujuan Pelaksanaan Upacara Nengget
Upacara nengget yang di laksanakan di Desa Saran Padang ini tidak
terlepas dari unsur kepercayaan tradisional masyarakat Karo, dimana dalam
pelaksanaan upacara ini tidak ada sedikitpun terkandung unsur-unsur medis.
kepercayaan yang ada di belakang upacara nengget ini merupakan kepercayaan
tradisional, yang masih kuat pada masyarakat Karo khususnya di Desa Saran
Padang ini. Pada dasarnya pelaksanaan upacara nengget ini ditujukan untuk
memohon supaya keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum keturunan
diberikan keturunan. Selain itu nengget ini juga bisa dilakukan kepada keluarga
yang sudah memiliki keturunan akan tetapi semuanya perempuan dimana pada
masyarakat Karo hal seperti ini dianggap tidak baik apabila tidak mempunyai
keturunan laki-laki, karena dianggap tidak ada yang akan meneruskan marganya
(klan). Upacara nengget juga dapat dilakaukan pada orang yang sakit karena
mengalami mimpi buruk atau juga orang yang terkejut di suatu tempat yang
dianggap keramat.
3.3. Peralatan-Peralatan Dalam Pelaksanaan Upacara Nengget
Seperti halnya dengan upacara-upacara lainnya upacara nengget ini juga
memerlukan berbagai jenis peralatan-peralatan yang semuanya harus sudah
disediakan sebelum upacara dilaksanakan, karena semua peralatan ini sangat
memiliki peranan yang sangat penting demi kelancaran upacara negget dan
apabila salah satu peralatan yang sudah ditentukan tidak ada pada saat
pelaksanaan upacara maka pelaksanaan upacara ini tidak sempurna.. Adapun
peralatan-peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara ini adalah sebagai
berikut :
1. nasi dan lauk pauknya
2. uis arinteneng (salah satu jenis ulos pada masyarakat karo)
3. batu (anak batu) sebagai simbol anak
4. uis kapal/ ndawa (salah satu jenis ulos pada masyarakat karo)
5. gendang (tidak menjadi keharusan)
6. lau simalem-malem (air yang telah dicampurkan dengan berbagai ramuan)
jenis jenis yang terdapat pada ramuan tersebut adalah adalah :
a. air
b. ubung-ubung
c. lak-lak galuh sitabar
d. besi-besi sangka sempilat
e. beras-beras
f. sampe lulut
g. bunga sapa
h. bunga engkiong
Setiap peralatan-peralatan ini mempunyai makna dan fungsi masing-
masing, dan mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Apabila salah satu
dari perlengkapan ini tidak ada maka perlengkapan ini dikatan tidak sempurna.
Oleh sebab itu sebelum upacara nengget dilaksanakan maka, semua perlengkapan
ini sudah harus disediakan agar tepat pada hari pelaksanaanya semuanya sudah
lengkap tersedia sehingga pelaksanaan upacara dapat berjalan dengan lancar.
3. 4. Pelaksana Upacara Nengget
Orang Karo menganut sistem kekerabatan yang sifatnya patrineal tetapi
orang Karo juga mengenal sebutan untuk garis keturunan yang berasal dari pihak
ibu. Garis keturunan yang berasal dari pihak ibu ini disebut dengan bere-bere
sedangkan garis keturunan yang berasal dari pihak ayah disebut merga, untuk
kaum laki-laki dan beru untuk kaum perempuan. Maka, apabila seseorang itu
ayahnya bermarga sembiring dan ibunya tarigan maka anaknya bermarga
sembiring bere-bere tarigan. Artinya merga sembiring adalah nama kerluarga
yang didapat dari ayah, sedangkan bere-bere tarigan adalah nama yang didapat
dari pihak ibu. Setiap orang Karo mempunyai garis hubungan kekerabatan seperti:
- Merga/ Beru yakni nama keluarga yang diwarisi pihak ayah, laki-laki
disebut merga sedangkan perempuan disebut beru.
- Bere-bere yaitu nama keluarga yang didapat dari pihak ibu.
- Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari pihak
nenekya (nenek dari pihak ibu)
- Kempu yakni nama keluarga yang diwarisi seseorang dari ibu neneknya
(dari pihak ibu)
- Soler yakni nama keluarga yang diwarisi seseorang dari ibu neneknya
(pihak ibu), (Prints,1985;42).
Selain hal tersebut di atas orang Karo juga mengenal lima jenis marga
induk yang biasanya disebut dengan merga si lima. Kelima marga tersebut adalah
sebagai berikut : Karo-karo, Sembiring, Ginting, Tarigan, dan Perangin-angin.
Masing-masing dari kelima marga ini masih terbagi lagi kedalam beberapa sub-
merga. Tinggi rendahnya kedudukan orang Karo didasarkan pada sistem
kekerabatan, bukan berdasarkan pangkat atau jabatan. Sistem kekerabatan ini
adalah sangkep si telu atau sering juga disebut daliken si telu, daliken si telu dapat
dilihat berdasarkan unsur pendukung daliken si telu itu yaitu kalimbubu,
senina/sembuyak dan anakberu. Sebagai sistem kekerabatan sifatnya terbuka.
Kedudukan seseorang, sebagai anakberu, atau kalimbubu, atau senina sembuyak,
bergantung kepada situasi dan kondisi. Sistem kekerabatan seperti ini bersifat
sangat demokratis. Dalam hal ini tugas dan peranan masing-masing antara
kalimbubu, senina, dan anak beru dalam suatu kegiatan upacara berbeda-beda.
Berdasarkan fungsinya, kalimbubu dalam struktur sangkep si telu adalah
sebagai pemegang keadilan dan kehormatan, ini diumpamakan sebagai badan
legislatif, pembuat undang-undang, atau sebagai dewan pertimbangan agung,
yang siap memberikan saran kalau diminta. Saran yang diberikannya, walaupun
dia dekat dengan salah seorang dari yang meminta saran, sarannya tetap bersifat
obyektif konstruktif. Hal ini maka pihak kalimbubu disebut juga Dibata Ni Idah
(Tuhan yang Kelihatan). Senina/sembuyak ini diumpamakan sebagai eksekutif,
kekuasaan pemerintahan. Mereka bertanggungjawab kepada setiap upacara adat
sembuyaksembuyaknya,baik ke dalam maupun keluar, dan bila perlu mengadopsi
anak yatim piatu dari saudara yang sesubklen. Mekanisme ini sesuai dengan
konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung.
Sesubklen sama dengan saudara kandung. Sedangkan anakberu diumpamakan
sebagai badan yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula
hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya,
anakberu menjadi juru pendamai bagi perselisihan yang ada.
Jadi rakut si telu adalah landasan sistem kekerabatan dan menjadi
landasan dari semua kegiatan, khususnya kegiatan yang berhubungan dengan
pelaksanaan upacara adat istiadat dan interaksi antar sesama masyarakat Karo.
Rakut si telu ini didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan : kalimbubu,
senina/sembuyak, dan anak beru. Atau dengan bahasa lain rakut si telu adalah
jaringan kerja sosial- budaya yang bersifat gotong royong dan kebersamaan yang
terdapat pada masyarakat Karo.
3.4.1. Kalimbubu
Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati
dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa
kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan
dibata ni idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati
kalimbubu sangat dicela. Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak
kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anakberu tidak akan berani
mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila
selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum
pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan.
Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu dalam suatu
musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati.
Adapun orang-orang yang masuk ke dalam kelompok Kalimbubu ini
adalah ipar, mertua, mertua ayah, mertua kakek, mertua kakek ayah, dan ayah
mertua mertua kakek, paman dari ibu, anak perempuan paman (paman dari pihak
ibu) atau anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, termasuk suami dari mereka
yang menjadi istri klen lain. Dalam acara-acara adat, masing-masing kelompok ini
mempunyai peranan masingmasing. Peranan ini tidak kaku, artinya bila seseorang
pada pesta si A berperan sebagai Kalimbubu, maka pada pesta si B, dia dapat
berperan sebagai Anakberu. Jadi kedudukan seseorang itu tergantung kepada
kedekatan hubungan kekerabatan dengan penyelenggara acara yang memang
masing termasuk dalam lingkungan keluarganya. Dalam banyak literatur tentang
masyarakat Karo, Kalimbubu ini didefinisikan adalah kelompok pemberi dara atau
gadis (Prints, 1986:66, Bangun, 1989:11).
Adapun peranan dan fungsi para Kalimbubu ini dalam struktur daliken si
telu adalah sebagai supremasi keadilan dan kehormatan. Oleh Darwan Prints
(Prints, 1986:67) diumpamakan sebagai legislatif, pembuat undang-undang. Oleh
Roberto Bangun, (Bangun, 1989:12) sebagai dewan pertimbangan agung, pemberi
saran kalau diminta. Dan sarannya, berpedoman kepada obyektif konstruktif
dalam kaitan keutuhan keluarga. Hal ini maka pihak kalimbubu disebut juga
Dibata Ni Idah (Tuhan yang Kelihatan). Dalam acara-acara adat, dia harus hadir,
dan masing-masing mendapat peran. Misalnya dalam acara upacara kematian,
ketika jenajah akan dikebumikan, bagian kepala dari jenajah dipanggul oleh pihak
kalimbubu dari yang meninggal. Dalam pesta sukacita, yang berperan sebagai
kalimbubu dilayani sebaik mungkin oleh pihak anakberu dalam hal ini adalah
penyelenggara pesta.
Hak kalimbubu ini dalam struktur (daliken si telu) rakut si telu:
1. Berhak mendapat segala kehormatan dari anakberunya (diprioritaskan).
2. Dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak anakberunya.
Yang menjadi tugas dan kewajiban kalimbubu:
1. Memberikan saran-saran kalau diminta oleh anakberunya.
2. Sesuai dengan haknya dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak
anak-berunya, maka kalimbubu berhak memaksakan bentuk
perdamaiannya kepada anakberunya yang saling berselisih dan ngotot. Hal
ini sesuai dengan julukan yang diberikan kepadanya yaitu Dibata Ni
Idah(Tuhan yang Kelihatan).
3. Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga.
4. Mengosei anak berunya (meminjamkan dan mengenakan pakaian adat) di
dalam acara-acara adat.
5. Berhak menerima ulu mas, bere-bere (bagian dari mahar) dari sebuah
perkawinan, maneh-maneh (tanda mata atau kenang-kenangan) dari salah
seorang anggota anakberunya.
3.4.2. Anak beru
Terjadi hubungan Kalimbubu Anakberu karena adanya perkawinan,perkawinan
ini boleh perkawinan langsung maupun tidak langsung. Hal ini maka anakberu
disebut penerima wanita. Dalam literatur dijelaskan, anakberu adalah para
pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri (Prints, 1986:64,
Bangun, 1981:109). Oleh Darwan Prints (Prints, 1986:67) anak beru ini
diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Dalam hal ini maka
anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam
keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut. Pada
dasarnya setiap individu Karo mempunyai anakberu, minimal anakberu merga
(subklen). Dalam acara adat pelaksanaan tugas seperti di atas adalah tugas
anakberu (Anakberu Mas Pedemuken beserta anakberu menteri dan anakberu
ngukuri), mereka sebagai pelaksana acara. Anakberu Singerana (Anakberu yang
Berbicara) bertugas sebagai protokol. Anakberu Cekoh Baka Tutup beserta
anakberu iangkip/iampu/darah, bertugas mengatur pembagian tugas. Demikian
pentingnya peran anakberu dalam acara-acara adat. Dalam pelaksanaan acara adat
Anakberulah yang pertama datang dan juga yang trakhir pulang. Lebih lanjut
dapat dijelaskan mengenai tugas anakberu tersebut dalam sutu kegiatan upacara,
adapun tugas anakberu tersebut adalaha sebagai berikut:
1. Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat.
2. Menyiapkan hidangan pada pesta.
3. Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta.
4. Menanggulangi sementara semua biaya pesta.
5. Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga
danmengetahui harta benda kalimbubunya. Ia juga berhak membuka
rahasia kalimbubunya. Tugas seperti ini ditangani oleh Anakberu Cekoh
Baka.
6. Menjadwal pertemuan keluarga.
7. Memberi khabar kepada para kerabat yang lain bila ada pihak
kalimbubunya berduka cita.
8. Memberi pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian
adat) bagi kalimbubunya. Tugas seperti ini ditangani oleh Anakberu Cekoh
Baka.
9. Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya.
Sedangkan hak Anak Beru adalah:
a) Berhak mengawini putri kalimbubunya, dan biasanya para
kalimbubu tidak berhak menolak.
b) Berhak mendapat warisan kalimbubu yang meninggal dunia
Anakberu berdasarkan tutur, terbagi atas:
Anakberu Tua. Anakberu Tua adalah pihak penerima anak wanita dalam
tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal
tiga generasi. Tugas Anakberu (ditunjuk salah satu diantara yang ada)
adalah sebagai kordinator atau komandan dalam acara adat yang diadakan
oleh pihak kalimbubunya. Hal-hal mendasar yang selalu dihadapi dan
harus diselesaikannya secara adil adalah masalah perkawinan, pembagian
harta benda, mendirikan rumah dan sebagainya.
Anakberu Taneh, adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah
kampung selesai didirikan.
Anakberu berdasarkan kekerabatan:
Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka
artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan
kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia
merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.
Anakberu Iangkip, adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan
keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah
mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang.
Anakberu ini disebut juga anakberu langsung yaitu karena dia langsung
mengawini anak wanita dari keluarga tertentu. Masalah peranannya di
dalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, kalau masih orang pertama
yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan mencampuri urusan
warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh mencampurinya hanyalah
anakberu jabu.
Anakberu Menteri. Anakberu Menteri adalah Anakberu dari Anakberu.
Fungsinya menjaga penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam
bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang berlangsung. Anakberu
Menteri ini memberi dukungan kepada kalimbubunya yaitu anakberu dari
pemilik acara adat.
Anakberu Singukuri adalah anakberu dari anakberu menteri, fungsinya
memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi
dukungan tenaga yang diperlukan.
3.4.3. Sembuyak/Senina
Senina adalah pertalian saudara senenek atau semerga. Fungsi senina
demikian penting, karena akan menjadi jaminan (sikaku) dan patner yang
partisipatif. Senina dan semua keluarganya akan ikut mendukung semua
pelaksanaan adat istiadat dan dahulu, juga ikut berperang melawan musuh
seninanya. Bahkan pada waktu tertentu akan menjadi jaminan sukut. Dalam
musyawarah adat, sukut/ sembuyak akan diwakili oleh senina. Senina dalam
musyawarah adat juga berfungsi sebagai penyambung lidah pihak sembuyak dan
juga sebagai dan penengah. Faktor inilah maka masyarakat Karo sangat
memelihara hubungannya dengan para seninanya, walau pun tidak sesubmerga
dan seketurunan yang jelas sejarahnya, namun mengingat kaitan semerga dan
saling membutuhkan itu mereka tetap saling membantu.
Dalam literatur dijelaskan senina adalah mereka yang bersaudara karena
mempunyai merga yang sama, namun bukan karena subklen sama. Pada dasarnya
setiap individu Karo mempunyai senina/sembuyak. Apakah itu senina si seh ku
sukut (senina yang berkerabat langsung dengan pemilik acara adat, disebut juga
senina langsung) dan gamet, senina erkelang ku sukut (senina yang berkerabat
berperantara dengan pemilik acara adat). Senina sukut (langsung) ada dua,
pertama disebut sembuyak, dalam acara pesta perkawinan ia menerima rudang-
rudang, dan kedua biak senina, dalam pesta perkawinan ia menerima senina
kuranan. Sedangkan senina berperantara terdiri dari 4 yaitu sepupu dari ibu
(sepemeren), dalam perkawinan dia menerima perbibin (nama mahar yang
diberikan kepada pihak saudara-saudara perempuan yang sesubklen dengan ibu
kandung pengantin), sepengambilan (siparibanen), dalam perkawinan dia
menerima "perbibin" yang berasal dari istrinya, sepengalon yang berasal dari
bebere/anakberu, dan sendalanen dari kalimbubu/singempoi impal, (Prints,
1986:67) senina/sembuyak ini diumpamakan sebagai eksekutif, kekuasaan,
pemerintahan.
Secara umum terjadinya hubungan perseninanaan ini disebabkan (1)
peratliandarah, (2) sesubklan (Semerga/seberu), (3) Sepemeren (ibu bersaudara),
(4) siperibanen (istri bersaudara), (5) mempunyai istri dari beru (sesubklen) yang
sama, (6) mempunyai suami yang bersaudara (kandung, gamet, atau seklen).
Adapun tugas senina/sembuyak adalah (1) mengawasi pelaksanaan tugas
paraanakberunya, (2) secara bersama-sama menanggung sementara semua biaya
pesta. Sedangkan hak senina dan sembuyak adalah (1) mendapat pembagian harta
(hanya yang bersembuyak, seibu seayah), (2) dalam hal anak wanita kawin,
berhak mendapat mas kawin (tukor).
Hubungan kekerabatan senina disebabkan seklen, atau hubungan lain yang
berdasarkan kekerabatan. Senina ini dapat dibagi dua bagian yaitu:
1) Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena
seklen (merga). Senina berdasarkan kekerabatan. Ini dapat dibagi lagi
atas:
Senina Siparibanen perkerabatan karena istri saling bersaudara.
Senina Sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka
saling bersaudara, sehingga mereka mempunyai berebere (merga
ibu) yang sama.
Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi
wanita yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang
sama. Atau mereka yang bersaudara karena sesubklen (beru) istri
mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya
hubungan mereka dengan klen istri. Hal ini maka dalam
musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau
pendapat, apabila tidak diminta.
Senina Secimbangen (untuk wanita), mereka yang bersenina
karena suami mereka sesubklen (bersembuyak).
Tugas senina adalah memimpin pembicaraan dalam musyawarah, bila
dikondisikan dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan.
Fungsinya adalah sebagai sekaku, sekat dalam pembicaraan adat, agar tidak
terjadi friksi-friksi ketika akan memusyawarahkan pekerjaan yang akan
didelegasikan kepada anakberu. Jenis Sembuyak Sembuyak adalah mereka yang
sesubklen sama, atau orang-orang yang seketurunan (dilahirkan dari satu rahim),
tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan mencakup saudara
seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara
perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini
karena perempuan mengikuti suaminya. Peranan sembuyak (yang seklen) adalah
bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke
dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu dari saudara yang
seklen. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut,
sama dengan saudara kandung. Sesubklen sama dengan saudara kandung.
Sembuyak dapat dibagi menjadi dua bagian:
A. Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen
(merga).
B. Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas:
C. Sembuyak Kakek adalah kakek yang bersaudara kandung.
D. Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung.
E. Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung.
Demikian juga halnya pada pelaksanaan upacara nengget, pada
pelaksanaan upacara ini dihadiri oleh seluruh kelompok kerabat dari masing-
masing pihak. Adapun pihak-pihak yang hadir dalam pelaksanaan upacara
nengget adalah: pihak kalimbubu atau pihak pemberi dara, senina/sembuyak, dan
anak beru ketiga pihak ini memiliki peranan yang berbeda-beda satu dengan yang
lainnya. Selain ketiga pihak ini masih ada lagi pihak yang paling berperan dalam
pelaksanaan upacara nengget yaitu turangku atau rebu, dimana turangku inilah
yang nantinya akan menyiramkan lau si malem-malem pada pasangan suami istri
yang belum memiliki keturunan tersebut. Padahal pada dasarnya dalam kehidupan
sehari-hari mereka tidak dapat saling bertegur sapa karena hal ini dipantangkan
bagi masyarakat Karo ini disebut dengan istilah rebu, apabila mereka ini ingin
mengatakan sesuatu maka harus melalui perantara.
Rebu itu sendiri artinya pantangan, dilarang, tidak boleh atau tidak
dibenarkan melakukan sesutu menurut adat Karo, bagi siapa yang melanggar
maka ini dikatakan tidak tau adat dan dicemooh oleh masyarakat. Istilah rebu
pada masyarakat Karo dapat dibedakan atas tiga pihak diantaranya adalah :
1. Antara mami (mertua wanita) dengan kela (menantu pria). Dalam
pengetian sempit mami adalah ibu dari istri kela, sedangkan kela
adalah suami dari anak wanita mami.
2. Antara bengkila (mertua pria) dengan permain (menantu wanita)
bengkila dalam pengertian sempit adalah ayah dari suami seorang
wanita.
3. Antara turangku dengan turangku.
Pengertian rebu dalam masyarakat Karo adalah dilarang berbicara,
dilarang duduk sebangku, misalnya dengan mertua yang berbeda jenis kelamin
dan dilarang berbicara dengan suami ipar atau ustri yang berbeda jenis kelamin.
Rebu ini sebagai tanda adanya batas kemerdekaan diri, adanya rasa diri
berkebebasan, melalaui perilaku seperti ini orang meningkatkan dan sadar akan
perinsip sosial dalam cara hidup berkerabat maka melalui rebu orang akan mampu
mengontrol prilaku dan perbuatannya sendiri. Rebu melahirkan mehangke atau
enggan dan dari enggan tersebut dapat melahirkan rasa hormat seseorang. Hormat
menimbulkan sopan santun, dan ini adalah unsur mendidik bagi masyarakat Karo.
3.5. Waktu Dan Pelaksanaan Upacara Nengget
Waktu merupakan suatu hal yang sangat perlu diperhatikan, pemilihan
waktu yang tepat akan membuat sesuatu keadaan menjadi serasi sehingga apa
yang menjadi tujuan pelaksanaan akan tercapai. Sebaliknya pelaksanaan yang
dilaksanakan yang dilakukan tanpa perhitungan waktu akan membawa hasil yang
kurang baik atau bahkan bisa menimbulkan hasil yang tidak berarti apa-apa.
Orang Karo sejak lama menyadari hal itu, setiap pekerjaan tidak pernah dilakukan
sesuka hati tanpa perhitungan. Semua pekerjaan akan selalu terlebih dahulu
dicarikan waktu yang tepat. Misalnya dalam memasuki rumah baru tidak semua
hari boleh dilakukan namun hari yang tepat dan diyakini dapat membawa berkat
bila kita menempati rumah tersebut adalah wari beras pati (hari beras pati).
Selanjutnya untuk upacara buang sial dilakukan pada wari aditia turun (hari aditia
turun) dan lain sebagainya.
Demikian juga sebaliknya pada upacara nengget waktu dan hari
pelaksanaanya juga harus ditentukan terlebih dahulu dan dicari hari yang tepat
sehingga pelaksanaan upacara nengget ini tidak sia-sia. Dalam pemilihan hari
pelaksanaan upacara ini biasanya disarankan oleh pihak yang akan melaksanakan
upacara nengget, selain itu dalam pemilihan hari ini juga dapat dibantu oleh
seorang dukun atau guru simeteh wari si telu puluh (guru yang tau memilih hari
yang baik di antara 30 hari yang ada pada hari-hari Karo). Pelaksanaan upacara
nengget ini biasanya dilakukan pada malam hari tepat pada saat keluarga tersebut
sedang beristrahat. Hal ini sangat menentukan dalam proses pelaksanaan upacara
nengget, karena apabila keluarga tersebut mengetahui rencana pelaksanaan
nengget tersebut maka upacara ini dikatakan tidak berhasil.
Proses pelaksanaan upacara nengget ini dilakukan secara sangat rahasia,
sebelum upacara nengget dilaksanakan maka kalimbubu dan anak beru
bermusyawarah untuk melakukan nengget. Apabila keluarga yang akan disengget
tersebut belum memiliki anak laki-laki maka inisiatif untuk melakukan upacara
adalah dari pihak kalimbubu. Sebaliknya, bila keluarga yang akan disengget
belum memiliki anak perempuan maka inisiatif untuk melaksanakan upacara
adalah dari pihak anak beru. Acara nengget ini biasanya dilakukan pada malam
hari, pada saat keluarga yang akan disengget sedang berkumpul. Tepat pada hari
yang telah ditentukan rombongan nengget berangkat dari satu tempat tertentu,
misalnya dari rumah kalimbubu atau anak beru dan semuanya harus berjalan
secara rahasia.
Pada malam pelaksanaan upacara nengget telah diatur siasat agar keluarga
yang akan disengget berda di rumahnya. Misalnya salah seorang kerluarga dekat
datang ke rumahnya membicarakan hal-hal yang penting, atau seorang tamu yang
sangat dihormatinya berjanji datang ke rumahnya pada malam itu untuk
membicarakan suatu hal. Peralatan-peralatan nengget dipersiapakan, seperti :
tumba beru-beru diisi lau simalem-malem (air yang telah dicampur dengan
berbagai ramua) dan diserahkan kepada turangku si dilaki (istri dari ipar suami)
dan turangku si diberu (suami dari adik kakak suaminya). Mereka ini dalam
kehidupan sehari-hari adalah rebu atau pantang untuk saling bertegor sapa secara
langsung, kemudian masing-masing turangku ini masuk ke rumah yang akan
disengget secara diam-diam. Dengan tiba-tiba masukalah turangku dengan
menyiramkan turangkunya dengan lau si malem-malem, sambil berkata “ e maka
mupus anak lah engko, adi lang la kita rebu rasa lalap “ yang artinya “ maka
jumpa keturunan lah engkau, kalau tidak sampai tua kita tidak rebu “. Pada waktu
yang bersamaan gong dipukul sehingga menimbulkan suara yang riuh dan kaum
perempuan menari. Kemudian semua rombongan masuik ke rumah, lalu keluarga
yang disengget diosei (dipakaikan pakaian adat) secara terbalik yang laki-laki
dipakaikan pakaian adat perempuan sedangkan yang perempuan dipakaikan
pakaian adat laki-laki. Setelah selesai diosei maka keluarga ini dipasangkan oleh
klsimbubu dan gendangpun dipukul untuk menari bersama.
Pada saat acara menari suami istri yang disengget disatukan dan makan
dalam satu piring pasu dengan nasi dan lauknya ayam (sangkep) yang khusus
dibuat oleh kalimbubu. Sesudah mereka makan barulah orang yang hadir dalam
upacara ini makan bersama-sama. Selesai acara makan maka diadakan
musyawarah atau runggu yang isinya menanyakan : unek-unek (manek-manek)
yang disengget kepada kalimbubu, kalau memang ada maka masalah itu harus
diselesaikan pada malam itu juga. Selain itu keluarga yang disengget tersebut juga
ditanyai apakah ia mempunyai keinginan tertentu, yang masih belum kesampaian
sampai sekarang sehingga hal ini dapat terus mengaggu pikiran keluarga tersebut.
selanjutnya ipalu gendang (gendang dipukul) dan diaturlah acara menari sebagai
berikut:
1. menari dari pihak sukut
2. menari dari pihak sembuyak/senina/sipemeren/siparibanaen/sedalanen
3. menari dari pihak anak rumah
4. menari dari pihak kalimbubu
5. menari dari pihak anak beru
Setelah acara menari selesai maka acara untuk upacara nengget telah
selesai dan boleh tidur atau bercakap-cakap. Besok paginya setelah selesai acara
makan pagi, runggupun dimulai lagi yaitu untuk bembayar uang jujuran (pedalen
emas) seperti pada acara kawin. Uang jujuran ini disesuaiakn dengan
daerah/tempat dilakukannya pelaksanaan upacara nengget. Untuk biaya dari
pelaksanaan nengget ini ditanggung oleh pihak yang berinisiatif melakukan
upacara, misalnya apabila inisitif pelaksanaan nengget dari pihak kalimbubu maka
biayanya ditanggung oleh kalimbubu. Sebaliknya apabila inisiatif nengget datang
dari pihak anak beru maka biayanya dari pihak anak beru.
3.6. Manfaat Pelaksanaan Upacara Nengget
Setiap upacara yang dilaksanakan akan memberikan manfaat bagi yang
melaksanakannya, baik itu memperoleh kesehatan, keselamatan dan bahkan
memperoleh ketenangan dalam kehidupannya. Demikian juga halnya pada
pelaksanaan upacara nengget akan memberikan manfaat bagi pelaksananya.
Walaupun kadang kala pelaksanaan upacara ini tidak memberikan hasil yang
diharapkan pada orang yang melaksanakannya. Akan tetapi banyak manfaat yang
didapatkan dari pelaksanaan upacara ini. Manfaat yang paling tampak dari
pelaksanaan ini adalah adanya rasa kekerabatan dari kedua belah pihak keluarga
yang disengget. Selain itu bagi keluarga yang disengget tersebut ada yang
mendapatkan keturunan sesuai dengan apa yang diharapkan, akan tetapi ada juga
yang tidak tercapai seperti apa yang diinginkan sebelumnya. Namun hal seperti ini
bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk melaksanakan upacara nengget
untuk kedua kalinya.
3.7. Kedudukan Upacara Nengget Di tengah-tengah Pengobatan Modern
Upacara nengget merupakan satu dari beberapa jenis upacara tardisional
yang ada pada masyarakat Karo. Sealin upacara nengget ini masih banyak lagi
jenis-jenis upacara lainnya. Namun walaupun demikian ada juga upacara yang
sudah hampir terlupakan karena kemajuan zaman dan semakin pesatnya
pengobatan modern. Lain halnya dengan upacara nengget ini yang sampai
sekarang masih tetap eksis walaupun pengobatan-pengobatan medis sudah
semakin modern dan berkembang pesat. Seperti halnya pada masayarakat di Desa
Saran Padang, upacara nengget ini masih tetap dilaksanakan pada keluarga yang
belum memiliki keturunan walaupun di Desa tersebut sudah ada tersedia sarana
pengobatan medis. Masyarakat Desa Saran Padang meyakini bahwa melalui
upacara nengget ini keluarga yang sudah lama berumah tangga tersebut dapat
memberikan keturunan kepada keluarga tersebut. Namun abila setelah melakukan
upacara ini tetapi keluarga tersebut belum juga mendapatkan keturunan maka
tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk melakukannya lagi untuk kedua
kalinya dan bahkan sampai beberapa kali.
Meskipun pengobatan-pengobatan modren telah berkembang pesat, tetapi
masyarakat Desa Saran Padang masih tetap meyakini upacara nengget ini. Dalam
hal ini bukan berarti masyarakat Desa Saran Padang tidak mengenal yang
namanya pengobatan medis akan tetapi bagi mereka upacara nengget ini
merupakan suatu tradisi yang wajar dilakukan apabila salah satu dari keluarga
mereka yang sudah lama berkeluarga dan belum dikaruniai anak. Kedudukan
upacara nengget di tengah-tengah perkembangan pengobatan modern tidak ada
perbedaannya, dengan kata lain hampir sama kedudukannya dan upacara nengget
ini diterima dengan baik oleh masyarakat Desa Saran Padang. Tanpa adanya
pandangan dari masyarakat setempat bahwa siapa yang melakukan upacara ini
dianggap tidak percaya dengan pengobatan medis. Bahkan tidak menutup
kemungkinan bagi mereka yang telah disengget untuk tidak berobat ketempat
pengobatan medis, karena tidak ada larangan bagi mereka apabila sudah
melakukan upacara nengget maka tidak boleh lagi berobat ketempat manapun.
BAB IV
STUDI KASUS DALAM UPACARA NENGGET
Setiap kali kelompok atau individu yang mengadakan sesuatu hal atau
pekerjaan, tentu saja mempunyai tujuan dan harapan baik itu berupa harapan
kesehatan, rezeki, keselamatan, dan juga keturunan seperti halnya pada upacara
nengget ini. Namun kadang kala apa yang telah kita kerjakan dan yang kita
harapkan itu tidak memberikan hasil yang baik seperti yang kita rencanakan
sebelumnya. Sama halnya dalam pelaksanaan upacara nengget ini tentunya
mempunyai tujuan dan maksud dari pelaksanaannya, dan setiap kelompok yang
melaksanakannya tentu saja mengharapkan hasil yang baik sesuai dengan apa
yang telah direncanakan. Akan tetapi ada juga kelompok yang tidak berhasil
mendapatkan atau tidak tercapai tujuannya seperti apa yang di inginkan
sebelumnya. Namun walupun demikian tidak menutup kemungkinan bagi mereka
untuk melaksanakannya kembali sampai maksud dan tujuannya itu tercapai.
Dalam bab ini penulis akan memaparkan mengenai studi kasus dari
pelaksanaan upacara nengget yang dilaksanakan di Desa Saran Padang serta
manfaat apa saja yang diperoleh keluarga ini setelah melakukan upacara nengget
dan bagaiman tanggapan mereka tentang upacara nengget ini. Studi kasus ini
terjadi antara keluarga yang berhasil mendapatkan keturunan setelah mengadakan
upacara nengget yaitu : keluarga G. Tarigan dengan R. br Bangun dan keluarga
yang belum berhasil mendapatkan keturunan setelah mengadakan upacara nengget
yaitu : keluarga M. Ginting dengan B. br Sembiring.
4.1. Keluarga Yang Berhasil Mendapatkan Keturunan
4.1.1 Keluarga G. Tarigan dan R. br Bangun
Keluarga ini tinggal di Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau,
pekerjaan mereka sehari-hari adalah bertani. Mereka menikah pada tahun 2003,
tepatnya pada tanggal 20 nopember 2003. Setelah menikah mereka tidak langsung
memiliki rumah sendiri dan masih tinggal di rumah orang tua dari pihak laki-laki.
Hal ini dikarenakan pada saat itu mereka belum memiliki cukup tabungan untuk
membangun rumah sendiri. Sekitar enam bulan mereka tinggal di rumah orang tua
laki-laki dan pada saat itu pekerjaan mereka hanya bertani, modal untuk bertani
ini juga sebagian besar dari mertuanya ( ibu dari pihak laki-laki ).Hasil pertanian
mereka pada saat itu cukup membawa hasil sehingga mereka dapat membangun
rumah sendiri dan pisah dari mertuanya.
Selama satu tahun mereka tidak pernah berpikir masalah keturunan,
mereka sibuk dengan urusan ladang mereka yang semakin hari semakin
berkembang mereka hanya berusaha untuk terus menambah tabungan. Setelah
mereka berkeluarga selama dua tahun belum juga dikaruniai anak, berbagia
macam cara telah dilakukan baik itu berobat secara medis maupun secara non
medis bahkan beberapa keluarga dekat juga sudah banyak yang menyarankan
untuk berobat ke dokter maupun ke pengobatan alternatif. Tetapi hasilnya tetap
saja tidak ada. Dana yang mereka keluarkan untuk ini tidak sedikit, sampai-
sampai mereka putus asa dan berhenti berobat, yang mereka lakukan pada saat itu
hanya rajin berdoa dan beribadah. Keluarga dari kedua belah pihak juga sudah
hampir putus asa dan menyarankan kepada mereka agar mengadopsi anak saja.
Kata mereka “sekalian jadi pemancing” mana tau setelah mereka adopsi anak
mereka bisa dapat keturunan, karena di Desa Saran Padang ini ada juga yang
sudah melakukan itu dan memang benar mereka bisa dapat keturunan.
Sampai pada akhirnya orang tua dari pihak perempuan mendapat mimpi
bahwa mereka harus mengadakan upacara nengget pada anaknya tersebut dan
kalau ini tidak dilakukan maka anaknya tersebut sampai kapanpun tidak akan
mempunyai keturunan seperti apa yang mereka harapkan. Setelah mendapat
mimpi ini orang tua dari pihak sperempuan tersebut tidak langsung percaya
bahkan mengabaikannya mimpi itu begitu saja. Samapi pada malam berikutnya
dia kembali mendapat mimpi yang sama dan akhirnya dia menceritakan semua
mimpinya tersebut pada seluruh anggota keluarga dan keluarga dekat lainnya.
Setelah itu barulah mereka merencanakan untuk mengadakan upacara nengget
pada anaknya tersebut. Tak lupa juga mereka menceritakan maksud baik mereka
ini kepada keluarga dari pihak laki-laki mereka menyambut baik rencana dari
pelaksanaan upacara nengget ini.
Maka mulailah direncanakan kapan hari pelaksanaan dan siapa-siapa saja
yang diundang dalam upacara. Rencana pelaksanaan upacara ini benar-benar
dirahasiakan dari keluarga yang akan disengget tersebut. Semua kegiatan yang
menyangkut upacara ini harus benar-benar dirahasiakan dari keluarga yang akan
disengget karena apabila mereka sampai mengetahui rencana ini, maka
pelaksanaen upacara ini dikatakan gagal. Pada hari yang telah ditentukan para
rombongan yang telah diundang datang dan berkumpul di rumah yang telah
ditentukan tempatnya, dan mempersiapkan segala keperluan yang akan dibawa
pada saat pelaksanaan upacara.
Tepat pada jam satu malam para rombongan datang dan menggedor-gedor
pintu mereka, awalnya mereka takut untuk membuka pintu karena mereka
mengira kalau itu maling atau orang gila yang keluyuran malam hari. Tetapi
karena pintu terus digedor-gedor akhirnya mereka keluar juga dan pada saat
mereka membuka pintu mereka langsung disiram dengan lau simalrm-malem (air
yang telah dicampur dengan berbagai ramuan). Pada saat itu mereka berdua
terkejut dan langsung menangis sampai-sampai si istri pingsan karena terkejut.
Kemudian mereka disiram dengan lau si malem-malem secara bergantian oleh
rombongan sambil memberikan nasehat-nasehat supaya mereka cepat mendapat
keturunan. Setelah ini selesai maka dilanjutkan dengan acara makan bersama
namun sebelum itu terlebuh dahulu mereka dipakaikan pakaian adat secara
terbalik, yakni yang perempuan memakai bulang-bulang sedangkan yang laki-laki
memakai tudung. Pada sat makan mereka makan dalam satu piring, makanan ini
dibuat khusus oleh kalimbubu kepada mereka.
Beberapa bulan setelah diadakannya upacara nengget ini istri dari yang
disengget tersebut mengandung, pada awalnya mereka tidak percaya atas apa
yang terjadi sampai akhirnya mereka konsultasi ke dokter kandungan, dan
menyatakan bahwa si istri tersebut sedang mengadung dengan usia kandungannya
satu bulan. Setelah mengetahui bahwa si istri positif mengandung maka kabar
baik ini segara diberitahukan kepada keluarga lainnya. Kabar baik ini cukup
menggembirakan bagi seluruh anggota keluarga besar baik itu dari pihak laki-laki
maupun dari pihak perempaun. Mungkin karena terlalu merasa gembira dan
bersyukur maka keluarga ini mengadakan acara syukuran kecil-kecilan. Dalam hal
ini pelaksanaan nengget yang mereka laksanakan dikatakan berhasil dan
mendapatkan hasil yang baik karena secara kebetulan anak yang lahir juga anak
laki-laki. Dua tahun kemudian istrinya mengandung lagi dan melahirkan anak
perempuan.
4.1.2. Manfaat Yang Diperoleh Dari Upacara Nengget
Banyak manfaat yang mereka peroleh dari upacara nengget ini, salah satu
diantaranya adalah mereka mendapatkan keturunan seperti apa yang mereka
harapkan. Selain itu mereka juga semakin menyadari bahwa upacara nengget ini
benar-benar dapat membantu mereka dalam mendapatkan keturunan. Bagi
keluarga ini upacara nenggetlah yang telah membantu mereka sehingga mereka
mendapatkan keturunan. Selain itu keluarga ini juga sangat berterima kasih
kepada keluarga yang telah mengadakan upacara nengget kepada mereka, karena
upacara nengget tersebutlah yang membuat keluarga ini menjadi sempurna dan
mempunyai dua orang anak. Bukan hanya itu saja kekerabatan dengan seluruh
anggota keluarga juga semakin erat. Tanggapan keluarga ini terhadap upacara
nengget cukup baik, mereka sangat mendukung upacara ini dan mengharapkan
supaya upacara nengget ini tetap ada dan eksis walaupun pengobatan-pengobatan
modren sudah sangat banyak dan berkembang dengan pesat.
4.2. Keluarga Yang Belum Berhasil Mendapatkan Keturunan
4.2.1. Keluarga M. Ginting dan B. br Sembiring
Keluarga ini menikah pada tahun 2000 pada tanggal 19 oktober 2000, pada
awal mereka menikah mereka belum memiliki pekerjaan tetap dan tinggal di
rumah orang tua dari pihak laki-laki. Selama dua bulan mereka tinggal di rumah
orang tua dari pihak laki-laki, selanjutnya mereka tinggal di rumah kontrakan dan
mulai berusaha sendiri mulai membuka ladang sendiri dan mengusahakan
pekerjaan tambahan lainnya seperti membuka warung kecil-kecilan. Dilihat dari
keberuntungan rejekinya dapat dikatakan keluarga ini cukup berhasil karena hasil
dari pertanian mereka berhasil terus dan usaha kecil-kecilan mereka juga
mendapatkan penghasilan yang lumayan membantu. Tetapi dalam mendapatkan
keturunan keluarga ini tidak seberuntung seperti mereka mendapatkan rejeki.
Keluarga ini juga tinggal di Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, selama
satu tahun berumah tangga mereka belum juga diberikan keturunan. Awalnya bagi
mereka ini wajar-wajar saja, mungkin belum saatnya hanya itu yang membuat
mereka tetap sabar.
Pada saat usia pernikahan mereka memasuki dua tahun, keluarga ini mulai
sadar bahwa mereka harus melakukan sesuatu supaya menadapatkan keturunan.
Mulailah berobat, awalnya mereka berobat ke dokter sepesialis kandungan tetapi
trtap saja tidak berhasil. Bukan hanya satu dokter saja yang mereka datangi
melainkan sudah sampai lima dokter yang mereka kunjungi. Hampir sampai satu
tahun mereka berobat ke dokter sepesialis kandungan tapi, hasilnya tetap saja
tidak ada. Hal ini tidak juga membuat keluarga ini putus asa, mereka tetap
mencoba berobat sampai ke pengobatan alternatif segala jenis ramuan sudah di
coba, dari yang asin, pahit, manis dan bahkan rasa yang cukup aneh di lidah juga
sudah mereka rasakan tetapi hasilnya tetap saja sama. Sampai akhirnya mereka
merasa bosan dan berhenti berobat.
Mungkin karena keluarga dari pihak mereka juga sudah putus asa, sempat
juga keluarga ini di anjurkan untuk mengadopsi anak dari panti asuhan atau dari
rumah sakit, tetapi mereka tidak mau dengan alasan takutnya nanti anak yang
mereka dapat tidak sesuai denagan apa yang diharapkan. Bukan hanya itu saja
bahkan anak dari abang suaminya juga pernah mereka asuh selama setengah
tahun, alasan kenapa dibuat seperti ini supaya dapat menjadi pemancing. Mana
tau selama mereka mengasuh anak abangnya tersebut keluarga ini mendapatkan
keturunan, tetapi hasilnya tetap saja tidak ada. Mulai saat itu keluarga ini mulai
berhenti berharap, keluarga dekat lainnya juga sudah pasrah dan menyerahkan
semuanya pada yang di atas.
Pada tahun 2004 ada inisiatif dari pihak anak beru untuk melakukan
upacara nengget kepada keluarga ini, dan maksud baik mereka diterima oleh
pihak kalimbubu. Semua persipan upacara dipersipakan oleh pihak anak beru
karena inisiatif untuk mengadakan upacara nengget datang dari pihak anak beru,
bahkan hari pelaksanaannya juga mereka yang tentukan sendiri. Malam pada saat
pelaksanaan upacara nengget akan dilaksanakan semua para rombongan yang
telah diundang datang dan berkumpul di rumah anak beru. Tepat pada pukul satu
dini hari rombongan datang dengan membawa segala perelengkapan upacara. Tata
cara upacaranya sama seperti upacara nengget lainnya, mereka di siram dengan air
suci (lau si malem-malem) secara bergantian oleh para rombongan dan kemudian
di pakaikan pakaian adat secara terbalik dan makan bersama. Dalam pelaksanaan
upacara ini tidak ada diiringi dengan gendang atau musik.
Setelah pelaksanaan upacara nengget ini selesai seluruh anggota keluarga
berharap supaya keluarga yang belum memiliki keturunan tersebut secepat
mungkin mendapatkan keturunan sehingga upacara yang mereka lakukan tidak
sia-sia begitu saja. Mungkin Tuhan berkehendak lain bukan seperti apa yang
mereka harapkan, selama enam bulan mereka menuggu hasil dari upacara nengget
tetapi hasilnya tetap saja tidak ada. Sampai-sampai keluarga yang belum
memiliki keturunan tersebut merasa malu dan meminta kepada keluarga besarnya
baik itu dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan supaya tidak terlalu
memikirkan mereka karena keadan mereka yang belum juga mendapat keturunan.
Tetapi yang namanya orang tua tidak akan pernah rela melihat anaknya sedih
karena tertekan perasaan oleh beban hidup yang dibawa anaknya apapun akan
dilakukannya supaya anaknya bahagia.
Sampai pada akhirnya bapak (orang tua laki-laki) dari istri yang belum
memiliki keturuan tersebut bermimpi bahwa mereka harus melakukan upacara
nengget untuk kedua kalinya akan tetapi tata cara upacara nengget yang akan
mereka lakukan bukan seperti upacara nengget yang biasa orang Karo lakukan,
melainkan harus di gabung dengan tata cara upacara nengget batak Toba. Pada
dasarnya pelaksanaan nengget untuk kedua kalinya dilkaukan tidak menjadi
masalah bagi mereka tetapi yang menjadi masalah adalah kenapa harus dilkaukan
juga dengan memakai adat batak Toba. Padahal keluarga dari pihak perempuan
asli bersal dari suku Karo tidak ada sedikitpun percampuran dengan suku Batak
Toba. Mungkin karena ini merupakan amanat yang diberikan oleh orang yang
telah mendahului mereka maka upacara nengget itu dilaksanakan juga sama
seperti apa yang telah dikatakan dalam mimpi tersebut.
Pelaksanaannya ternyata tidak semudah upacara nengget yang biasa
dilakukan oleh suku Karo, pelaksanaan nengget yang dilakukan dengan tata cara
suku Toba jauh lebih rumit. Biasanya pada pelaksanaan nengget yang dilakukan
suku Karo hanya dengan menyediakan satu ekor ayam yang dimasak secara utuh
dan ini yang nantinya diberikan kepada keluarga yang belum memilki keturunan
tersebut. Beda dengan Toba mereka harus menyediakan deke boru silalahi (ikan
yang khusus diberikan pada perempuan yang bermarga silalahi) ukuran serta
beratnya juga tidak boleh sembarangan dan warnanya juga harus benar-benar
hitam. Ikan ini nantinya akan di masak secara utuh dan dibalut dengan daun tebu.
Pada saat memasak ikan ini harus benar-benar dijaga agar jangan sampai
patah, karena apabila patah atau retak sedikit saja maka ikan ini tidak layak untuk
diberikan kepada boru silalahi tersebut. Selain ikan ini masih ada lagi yang harus
disediakan yautu nitak, nitak ini adalah makanan yang terbuat dari tepung beras
yang dibentuk sedemikian rupa dan bentuknya tersebut juga mempunyai makna
tertentu sehingga dalam pembuatannya juga tidak sembarangan orang yang tau.
Nitak ini tidak diberi campuran apa-apa hanya terbuat dari tepung beras dan
campuran air sedikit. setelah dibentuk sedemikian rupa maka nitak ini dimasak
dengan cara dikukus. Nitak ini akan diberika kepada istri dari pasangan yang
belum memiliki keturunan bersamaan dengan ikan boru silalahi yang telah
dimasak.
Waktu dan tata pelaksanaan dari upacara nengget ini dilakukan sama
seperti pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan oleh suku Karo. Keluarga
yang belum memiliki keturunan di siram dengan air si malem-malem secara
bergantian oleh para rombongan. Setelah itu mereka di berikan pakaian adat Toba
walaupun tidak lengkap melainkan hanya memakai ulos saja yang diberikan oleh
pihak kalimbubu. Penutup dari upacara ini makan bersama dengan para
rombongan dan setelah semuanya selesai maka upacara ini dikatan sudah selesai
dan para rombongan dapat pulang ke rumah masing-masing. Satu tahun setelah
pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan oleh pihak kalimbubu tidak juga
mendapatkan hasil seperti apa yang mereka harapkan. Mulai saat itu pihak
keluarga sudah mulai putus asa dan merasa tidak ada harapan lagi, dan bahkan
keluarga yang belum memiliki keturunan tersebut juga tidak berharap banyak lagi.
Segala macam cara sudah dilakukan tetapi hasilnya tetap sama tidak juga berhasil
seperti apa yang diharapkan.
Bukan hanya sampai disitu saja usaha yang mereka lakukan bahkan pada
saat ada acara (mengangkat tulang-tulang dari kuburan dan dipindahkan ketempat
lain yang telah disediakan) kakek (bulang) dari istri yang belum memiliki
keturunan, mereka juga sempat di sengget oleh bibinya (saudara perempuan dari
ayah) di kuburan. Dengan cara menyiramkan air secara tiba-tiba tanpa
sepengetahuan mereka, disini istri dari yang belum memiliki keturunan tersebut
sempat pingsan karena benar-benar terkejut. Setelah si istri ssadar seketika orang
yang berada disekitar tempat itu menari dan menarik-narik pasangan yang belum
memiliki keturunan tersebut agar ikut menari bersama mereka. Pasangan ini
dipasangkan dengan turangkunya yang perempuan dibuat berpasangan dengan
turangkunya yang laki-laki, sedangkan yang laki-laki dipasangkan dengan
turangkunya yang peremupuan padahal secara adat hal ini dianggap sangat tidak
wajar dan dipantangkan.
Pada saat menari mereka dikelilingi oleh bibinya sambil ersurak atau
berteriak sehingga suasana menjadi ramai. Pasangan ini tetap diajak menari
sampai mereka menjadi seluk atau tidak sadarkan diri. Pada saat pasangan ini
tidak sadarkan diri mereka ditanyai oleh bibinya apakah selama ini ada sura-sura
(keinginan) yang belum disampaikan oleh bibinya sehingga keluarga ini belum
juga mendapatkan keturunan, atau apakah ada perkataan dan tingkah laku bibinya
yang menyakitkan hati pasangan ini. Apabila ada keinginan dari pasangan ini
yang belum dismpaikan oleh bibinya maka secepat mungkin sura-sura
(keinginan) itu harus disampaikan. Biasanya sura-sura itu berupa cincin yang
terbuat dari suasah bagi perempuan dan rawit (pisau) bagi laki-laki. Pada saat itu
memang ada sura-sura pasangan ini untuk meminta cincin dari bibinya dan rawit
dari mamanya. Satu minggu setelah mereka disengget maka bibinya dan
mamanya datang mengantarkan cincin dan rawit tersebut kepada pasangan ini
dalam hal ini tidak ada acara khusus dan keluarga yang datang juga hanya sedikit.
Dengan tujuan supaya keluarga ini secepat mungkin mendapatkan keturunan
seperti apa yang diharapkan oleh semua keluarga. Tetapi semua usaha ini tetap
saja tidak berhasil karena sampai sekarang keluarga tersebut masih saja belum
memiliki keturunan, padahal mereka telah berkeluarga hampir selama sembilan
tahun.
4.2.2. Manfaat Yang Diperoleh Dari Upacara Nengget
Manfaat yang deperoleh keluarga ini dari upacara nengget tidak terlalu
banyak, karena setelah beberapa kali mereka disengget mereka tetap saja tidak
mendapatkan keturunan seperti apa yang mereka harapkan. Tetapi bagi mereka
upacara nengget ini adalah suatu upacara yang cukup membantu bagi keluarga
yang belum memiliki keturunan, karena setelah diadakannya upacara nengget ini
mereka tidak lagi putus asa dan tidak merasa malu dengan kata lain mereka dapat
mengatakan ini sebagai cobaan dan mungkin saja pada saat ini mereka belum
beruntung seperti apa yang dialami oleh pasangan ini. Menurut keluarga ini bukan
upacara nengget itu yang salah walaupun sudah beberapa kali mereka disengget
dan belum mendapatkan keturunan juga, bagi mereka ini hanya sebagai cobaan
dari yang di atas mungkin memang belum saatnya mereka mendapatkan
keturunan.
Selain daripada itu manfaat yang diperoleh dari upacara nengget ini adalah
bahwa mereka semakin sadar kalau bukan mereka saja yang merasa terbebani
karena belum memiliki keturunan, melainkan seluruh keluarga juga ikut merasa
terbebani dengan keadaan keluarga ini yang belum juga memiliki keturunan.
karena pada masyarakat Karo apabila tidak memiliki keturunan maka tidak akan
ada lagi yang akan meneruskan marganya. Tanggapan pasangan ini terhadap
upacara nengget sama seperti tanggapan keluarga G. Tarigan, yaitu mengharapkan
supaya upacara negget ini tetap ada dan tidak terlupakan karena kemajuan zaman.
Dan jangan pernah beranggapan bahwa upacara nengget ini adalah suatu jenis
upacara yang menentang ajaran agama.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
Mendapatkan keturunan bagi masyarakat Batak, khususnya pada
masyarakat Batak Karo adalah suatau hal yang amat penting. Walaupun dengan
perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi
apabila mempunyai anak laki-laki, karena ini berhubungan dengan penerus
keturunan dari klannya, dimana masyarakat Karo menganut garis keturunan
berdasarkan garis ayah. Namun akibat-akibat biologis dan non-biologis banyak
pasangan suami istri yang belum mendapat keturunan walaupun telah bertahun-
tahun membina hubungan rumah tangga. Salah satu upacara yang dipercayai dan
yang dilakukan masyrakat Karo untuk memperoleh keturunan adalah dikenal
dengan nengget, yaitu membuat sumi istri tersebut terkejut.
Upacara Nengget adalah : mengadakan kejutan kepada salah satu keluarga
yang sudah lama berumah tangga tetapi belum memiliki keturuan. Nengget ini
tidak hanya ditujukan pada keluarga yang belum memiliki keturunan akan tetapi
upacara ini juga bisa dilakukan pada keluarga yang sudah memiliki keturunan
namun semuanya perempuan. Upacara Nengget adalah salah satu jenis upacara
religi yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh
masyarakat etnik Karo. Pelaksana dari upacara nengget ini bisanya dari pihak
kalimbubu, dan anak beru. Selain kalimbubu dan anak beru masih ada lagi yang
lebih memiliki peranan yang cukup penting dalam pelaksanaan upacara nengget
ini, yaitu turangku atau besan. . Turangku adalah: orang yang tabu untuk bertegor
sapa dalam kehidupan sehari-hari, apabila mereka ingin berbicara harus memakai
kata nina turangku atau dusebut sebagai kata istilah. Turangku inilah yang
pertama sekali menyiramkan air suci atau lau si malem-malem kepada keluarga
tersebut. Padahal sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari turangku ini tidak dapat
saling bertegor sapa dengan mereka (keluarga yang di sengget). Hal ini di
pantangkan menurut adat karo istilah ini disebut dengan istilah rebu.
Proses pelaksanaan upacara negget dilakukan pada malam hari, tepatnya
pada saat keluarga tersebut sedang beristrahat. Pada malam pelaksanaan upacara
para rombongan datang dengan membawa segala perlengkapan upacara yang
telah ditentukan sebelumnya. Sesampainya di rumah pasangan yang akan
disengget, para rombongan masuk kerumah dan menyiramkan lau si malem-
malem (air yang dicampurkan dengan beberapa ramuan) kepada pasangan tersebut
secara bergantian. Setelah itu pasangan dipakaikan pakaian adat Karo secara
terbalik laki-laki dipakaikan pakaian perempuan dan yang perempuan dipakaikan
pakaian laki-laki. Kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama dengan
para rombongan lainnya. Apabila setelah pelaksanaan upacara ini keluarga yang
telah disengget tersebut belum juga mendapatkan keturunan maka, tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan upacara nengget untuk kedua kalinya. Adapun
yang menjadi tujuan dari pelaksanaan upacara nengget ini adalah untuk memohon
supaya keluarga tersebut mendapatkan keturunan.
5.2. SARAN
Untuk dapat terus mempertahankan upacara nengget maka disini penulis
menyarankan beberapa hal, diantaranya adalah:
1. Masyarakat Karo harus tetap mempertahankan keaneka ragaman jenis-
jenis upacara yang terdapat pada masyarakat Karo supaya tidak punah
akibat kemajuan zaman.
2. Masyarakat Karo khususnya di Desa Saran Padang harus tetap
mempertahankan upacara nengget supaya tetap eksis walaupun
pengobatan modern sudah berkembang pesat.
3. Perlunya pemahaman mengenai upacara nengget, bahwa upacara nennget
itu bukan suatu upacara yang ditentang oleh ajaran agama.
4. Memperkenalkan upacara nengget kepada masyarakat awam lainnya di
luar etnis Karo, sehingga mereka dapat lebih memahami apa sebenarnya
yang menjadi maksud dan tujuan upacara nengget.
DARTAR PUSTAKA
Bangun, Teridah.
1986. Perkawinan Masyarakat Batak Karo.
Jakarta : PT Kesaint Blanc
Bungin,Burhan.
2002. Metode penelitian kualitatif.
Surabaya: PT. Raja Grafindo
Persada.
Geertz, Clifford.
1992.
Kebudayaan dan agama.
Yogyakarta: Kanisius.
H.G, Tarigan.
1990. percikan budaya karo. Bandung :
Yayasan Merga Silima.
Koentjaraningrat.
1989.
Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Rineka cipta.
1987.
Metode-metode Penelitian
Masyarakat. Jakarta : PT Gramedia
1981.
Sejarah Teori Antropologi. Jakarta :
UI Perss
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Kessing, Roger M.
1992. Antropologi Budaya: Suatu
Prespektif Kontemporer. Erlangga.
Jakarta.
Mauss, Marcel.
1992. Pemberian (bentuk dan fungsi
pertukaran di masyarakat kuno) :
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Perangin angin, Martin.L
2004. Orang Karo Diantara orang batak.
Jakarta: Sora mido.
Prinst, Darwan.
2004.
Adat Karo. Medan
1984.
Sejarah dan Kebudayaan Karo:
Yrama. Jakarta.
Suparlan, Parsudi.
1984. Manusia, Kebudayaan, dan
lingkungannya. Depdikbud. Jakarta.
Spradley, James P.
1997. Metode Etnografi. Tiara Wacana
Yogya. Yogyakarta
Saifuddin, Fedyani, Achmad.
2005. Antropologi Kontemporer (suatu
pengantar kritis mengenai
paradigma)
Sitepu sempa, sitepu bujur, sitepu A.G.
1996. Pilar Budaya Karo. Medan
Suyono, Ariyono.
1985. Kamus Antropologi. Jakarta:
Akademika pressindo.
<http://www.tanahkaro.com/simalem/content/view/681/17