6
Upacara Adat Sekaten Asal kata Sekaten,berasal dari : 1) Sahutain: menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng. 2) Sakhatain: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan karena watak tersebut sumber kerusakan. 3) Sakhotain: menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan. 4) Sekati: setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk. 5) Sekat: batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan. Nabi Besar Muhammad S.AW. lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan ketiga dari tahun jawa. Di Yogyakarta,biasanya

Sejarah ( upacara adat )

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sejarah ( upacara adat )

Upacara Adat Sekaten

Asal kata Sekaten,berasal dari :

1) Sahutain: menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng.

2) Sakhatain: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan karena watak tersebut sumber kerusakan.

3) Sakhotain: menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan.

4) Sekati: setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk.

5) Sekat: batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.

Nabi Besar Muhammad S.AW. lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan ketiga dari tahun jawa. Di Yogyakarta,biasanya kelahiran Nabi diperingati dengan upacara Grebeg Maulud.Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad. Diselenggarakan pada tanggal 5 hingga tanggal 12 dari bulan yang sama.

Pada masa-masa permulaan perkembangan agama Islam di Jawa, salah seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan Kalijogo,mempergunakan instrumen musik Jawa Gamelan, sebagai sarana untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitannya.Untuk tujuan itu dipergunakan 2 perangkat gamelan, yang memiliki laras swara yang merdu. Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Disela- sela pergelaran,

Page 2: Sejarah ( upacara adat )

kemudian dilakukan kotbah dan pembacaan ayat-ayat suci dari Kitab Alquran. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat,sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam. Istilah Syahadat ; yang diucapkan sebagai Syahadatain; ini kemudian berangsur- angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi ; Syakatain; dan pada akhirnya menjadi istilah ; Sekaten ;hingga sekarang. Pada tanggal 5 bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur madu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dibangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 ke dua perangkat gamelan tersebut dipindahkan kehalaman Masjid Agung Yogyakarta, dalam suatu iring-iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap.

Pada umumnya , masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.AW.ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai " Srono " (Syarat) nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten. Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan sekaten itu, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman Kemandungan,di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekatnya ini, mereka memberi cambuk (bhs. Jawa ;pecut) yang dibawanya pulang. Selama lebih kurang satu bulan sebelum upacara Sekaten dimulai, Pemerintah Daerah Kotamadya, memerintahkan perayaan ini dengan pasar malam, yang diselenggarakan di Alun-alun Utara Yogyakarta. 

Acara Sekaten yang diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW diakhiri dengan acara Grebeg Maulud.

Grebeg adalah upacara adat berupa sedekah yang dilakukan pihak kraton kepada masyarakat berupa gunungan.

Kraton Yogyakarta dan Surakarta setiap tahun mengadakan upacara grebeg sebanyak 3 kali, yaitu Grebeg Syawal pada saat hari raya Idul Fitri, Grebeg Besar pada saat hari raya Idul Adha, dan Grebeg Maulud atau sering disebut dengan Grebeg Sekaten pada peringatan Maulid Nabi Muhammad.

Menilik sejarah, kata “grebeg” berasal dari kata “gumrebeg” yang berarti riuh, ribut, dan ramai. Tentu saja ini menggambarkan suasana grebeg yang memang ramai dan riuh.

Gunungan pun memiliki makna filosofi tertentu. Gunungan yang berisi hasil bumi (sayur dan buah) dan jajanan (rengginang) ini merupakan simbol dari kemakmuran yang kemudian dibagikan kepada rakyat.

Page 3: Sejarah ( upacara adat )

Pada upacara grebeg ini, gunungan yang digunakan bernama Gunungan Jaler (pria), Gunungan Estri (perempuan), serta Gepak dan Pawuhan.

Gunungan ini dibawa oleh para abdi dalem yang menggunakan pakaian dan peci berwarna merah marun dan berkain batik biru tua bermotif lingkaran putih dengan gambar bunga di tengah lingkarannya. Semua abdi dalem ini tanpa menggunakan alas kaki alias nyeker.

Gunungan diberangkatkan dari Kori Kamandungan dengan diiringi tembakan salvo dan dikawal sepuluh bregada prajurit kraton sekitar pukul 10 siang.

Dari Kamandungan, gunungan dibawa melintasi Sitihinggil lalu menuju Pagelaran di alun-alun utara untuk diletakkan di halaman Masjid Gedhe dengan melewati pintu regol.

Saat berangkat dari kraton, barisan terdepan adalah prajurit Wirabraja yang sering disebut dengan prajurit lombok abang karena pakaiannya yang khas berwarna merah-merah dan bertopi Kudhup Turi berbentuk seperti lombok.

Sebagai catatan, prajurit Wirabraja memang mempunyai tugas sebagai “cucuking laku”, alias pasukan garda terdepan di setiap upacara kraton.

Kemudian ketika acara serah terima gunungan di halaman Masjid Gedhe, prajurit yang mengawal adalah prajurit Bugis yang berseragam hitam-hitam dengan topinya yang khas serta prajurit Surakarsa yang berpakaian putih-putih.

Setelah gunungan diserahkan kepada penghulu Masjid Gede untuk kemudian didoakan oleh penghulu tersebut, gunungan pun dibagikan.

Namun belum selesai doa diucapkan, gunungan pun sontak direbut oleh masyarakat yang datang dari seluruh penjuru Jogja. Yang memprihatinkan, banyak sekali nenek-nenek yang ikut berebut gunungan.

Memang ada kepercayaan dari masyarakat bahwa barangsiapa yang mendapat bagian apa pun dari gunungan tersebut, dia akan mendapat berkah.

http://pariwisata.jogja.go.id/index/extra.detail/1754/upacara-adat-sekaten.htmlwww.jogjajib.com/Lain-Lain/ Upacara - Adat - Sekaten .html

Page 4: Sejarah ( upacara adat )

Upacara Adat Larung Saji

Merupakan suatu upacara ritual tradisional masyarakat nelayan Ujung Genteng dengan menjatuhkan (melabuh) sesajen ke laut dengan harapan agar hasil tangkapan berlimpah setiap tahun dan memelihara hubungan baik dengan Nyi Dewi Roro Kidul sang penguasa Pantai selatan. Upacara Pesta laut biasanya diselenggarakan di daerah pesisir jawa barat seperti Pelabuhan Ratu (Sukabumi) dan Pangandaran (Ciamis). Upacara ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil laut yang diperoleh para nelayan, juga sebagai ungkapan permohonan agar para nelayan selalu selamat dan sehat serta memperoleh hasil laut yang melimpah. Di dalam upacara tersebut perahu-perahu nelayan dihiasi dengan berbagai ornamen berwarna-warni yang dinaiki oleh para nelayan dan dilengkapi sesajen. Yang unik dalam upacara ini adalah para nelayan menghadiahkan kepala kerbau yang sudah dibungkus kain putih kepada penguasa laut sebagai penolak bala. Perahu yang membawa sesajen dan kepala kerbau berada di posisi paling depan dan diikuti perahu-perahu lainnya yang ditumpangi para nelayan dan keluarganya serta masyarakat setempat. Perahu melaju ke tengah laut mereka bersorak- ria sambil memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu pujian terhadap Tuhan pencipta alam semesta, mereka menikmati upacara tersebut. Sebelum kepala kerbau dihanyutkan di tengah laut, mereka berdo’a bersama untuk keselamatan. Pesta laut diadakan setahun sekali.

www.eastjava.com/.../larung_sesaji_01.jpghttp://www.westjava-indonesia.com/agenda/mei.htmnanpunya.wordpress.com/2009/02/25/upacara-adat-bertani/