26
KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN MEMPERTAHANKAN IDENTITAS KOTA 1 Oleh : Dr.Ir. Edi Purwanto, MT 2 A. Pengantar Materi kuliah umum dengan tema “Membangun dan Mempertahankan Identitas Kota” disampaikan didepan mahasiswa strata 1 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota serta mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM. Tujuan kuliah umum adalah membekali mahasiswa dengan pemikiran-pemikiran baru bahwa dalam perencanaan dan perancangan kota kekayaan khasanah lokal (kearifan lokal) mendapatkan porsi yang lebih banyak agar identitas lokal sebuah kota dapat terbangun. Pembicara kuliah umum adalah seorang pengajar dan arsitek yang berkecimpung dalam bidang arsitektur perkotaan, oleh karena itu materi kuliah umum akan berfokus pada porsi objek “perancangan kota/urban design”. Fokus kedua, makalah ini akan lebih menitik beratkan pada upaya membangun dan mempertahankan identitas kota dari sisi pemanfaatan potensi kearifan lokalnya, dengan menitik beratkan peran sentral masyarakat lokal, artinya rekayasa ruang yang dibangun lebih banyak bersifat bottom up. B. Sejarah Perkembangan Kota : Kota Terencana vs Kota Organik Sejak jaman modern atau saat revolusi industri terjadi, kebanyakan kota di dunia Barat dirancang dalam tradisi yang menyusun kota secara teknis. Artinya budaya- budaya di dunia Barat khususnya sejak waktu tersebut dirancang dengan standar yang mengutamakan faktor geometri sebagai hasil pengetahuan yang bersifat teknis dan teoritis. Kota-kota yang dibangun dengan cara demikian disebut sebagai kota terencana (planned city). Kota itu secara keseluruhan atau beberapa kawasan besar dari kota tersebut dibangun dengan perencanaan tertentu yang lengkap secara geometris. Struktur kota demikian sangat dipengaruhi oleh suatu tujuan dan rencana tertentu sehingga proses yang terjadi pada pembangunan kota ini tidak penting karena sebelumnya semua telah diatur dan diarahkan perencanaannya (Kostof, 1991). Sebaliknya sebelum jaman modern, kebanyakan kota-kota di luar dunia Barat dibetuk oleh tradisi disusun secara organis, artinya hampir semua budaya di luar dunia Barat memakai standar-standar perencanaan kota yang mengutamakan faktor organik 1 Disampaikan didepan mahasiswa strata 1 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota serta mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM, tanggal 27 Februari 2009 2 Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro 1

KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

KULIAH UMUMMEMBANGUN DAN MEMPERTAHANKAN IDENTITAS KOTA1

Oleh : Dr.Ir. Edi Purwanto, MT2

A. PengantarMateri kuliah umum dengan tema “Membangun dan Mempertahankan Identitas

Kota” disampaikan didepan mahasiswa strata 1 Program Studi Perencanaan Wilayah

dan Kota serta mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM. Tujuan kuliah

umum adalah membekali mahasiswa dengan pemikiran-pemikiran baru bahwa dalam

perencanaan dan perancangan kota kekayaan khasanah lokal (kearifan lokal)

mendapatkan porsi yang lebih banyak agar identitas lokal sebuah kota dapat terbangun.

Pembicara kuliah umum adalah seorang pengajar dan arsitek yang

berkecimpung dalam bidang arsitektur perkotaan, oleh karena itu materi kuliah umum

akan berfokus pada porsi objek “perancangan kota/urban design”. Fokus kedua,

makalah ini akan lebih menitik beratkan pada upaya membangun dan mempertahankan

identitas kota dari sisi pemanfaatan potensi kearifan lokalnya, dengan menitik beratkan

peran sentral masyarakat lokal, artinya rekayasa ruang yang dibangun lebih banyak

bersifat bottom up.

B. Sejarah Perkembangan Kota : Kota Terencana vs Kota OrganikSejak jaman modern atau saat revolusi industri terjadi, kebanyakan kota di dunia

Barat dirancang dalam tradisi yang menyusun kota secara teknis. Artinya budaya-

budaya di dunia Barat khususnya sejak waktu tersebut dirancang dengan standar yang

mengutamakan faktor geometri sebagai hasil pengetahuan yang bersifat teknis dan

teoritis. Kota-kota yang dibangun dengan cara demikian disebut sebagai kota terencana

(planned city). Kota itu secara keseluruhan atau beberapa kawasan besar dari kota

tersebut dibangun dengan perencanaan tertentu yang lengkap secara geometris.

Struktur kota demikian sangat dipengaruhi oleh suatu tujuan dan rencana tertentu

sehingga proses yang terjadi pada pembangunan kota ini tidak penting karena

sebelumnya semua telah diatur dan diarahkan perencanaannya (Kostof, 1991).

Sebaliknya sebelum jaman modern, kebanyakan kota-kota di luar dunia Barat

dibetuk oleh tradisi disusun secara organis, artinya hampir semua budaya di luar dunia

Barat memakai standar-standar perencanaan kota yang mengutamakan faktor organik

1 Disampaikan didepan mahasiswa strata 1 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota serta mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM, tanggal 27 Februari 20092 Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

1

Page 2: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

sebagai hasil pandang mereka yang bersifat tradisional. Kota-kota yang dibangun

dengan cara demikian disebut kota tumbuh (growth city) dan kota itu sendiri atau

kebanyakan kawasan dari kota tersebut dibangun dalam suatu proses tanpa

memperhatikan perancangan secara keseluruhan. Struktur kota ini sangat dipengaruhi

oleh proses pembangunan sehingga yang menjadi tujuan dari rencana tersebut

terhadap pembangunan kota dianggap tidak penting. Oleh sebab itu, pembangunan

kota tidak akan diatur sebelum adanya pembangunan karena kota dianggap akan

berkembang secara organis, ilmiah sesuai kebutuhan masyarakatnya.

Bagaimana dengan sejarah kota-kota di Indonesia? Terdapat beberapa tipologi

kota yang terekam dalam sejarah kota-kota di Indonesia dan dibagi dalam 3 kelompok

(Alfian, 2007):

1. Kota Tradisional, yaitu kota yang dibentuk dan dibangun oleh penguasa pada

saat mendirikan pusat-pusat kerajaan seperti kota Jogjakarta dan Surakarta.

2. Kota dagang pra-kolonial dan awal kolonial, seperti misalnya kota Banten,

Cirebon, Surabaya, dan beberapa kota di sepanjang pantai Utara Jawa. Tipe ini

secara prinsip dapat dikategorikan sebagai kota-kota dengan konsep kota

tradisional yang telah mengalami modifikasi, meskipun dominasi tradisionalnya

masih sangat kuat.

3. Kota kolonial modern, yang secara prinsip mengacu pada konsep kota modern

dan produk industri dari negara-negara maju.

Sebagian besar kota-kota di Indonesia pada dasarnya berasal dari

perkembangan kota-kota tradisional dan kota-kota kolonial. Konsep kota tradisional di

Indonesia merupakan kosep kota yang berasal dari peradaban agraris yang bersifat

tertutup seperti terlihat pada konsep kota tradisional Jawa. Struktur pemerintahan yang

berkembang pada saat itu adalah struktur pemerintahan patrimonial (Wheatly, 1983).

Legitimasi kebudayaan kota terpusat pada legitimasi keagamaan raja. Tradisi hinduisme

dan Budhisme yang datang dari India mempunyai pengaruh yang kuat terhada ritual

dan simbol-simbol kota. Demikian pula dengan pengaruh tradisi buaya Islam dalam

penyusunan tata ruang kota, arsitektur. Simbo-simbol kota banyak ditampakkan dalam

bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono,

1995).

Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban yang terbuka.

Kehidupan kota berlangsung berdasarkan aliansi antara kelompok-kelompok sosio-

kultural dengan kelompok-kelompok sosio-religius yang sampai batas tertentu memiliki

hak-hak otonomi. Kota dagang di Indonesia tidak dibangun berdasarkan kebersamaan

sebuah sistem nilai melainkan merupakan semacam konfederasi dari kelompok-

2

Page 3: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

kelompok sosio-kultural (McGee, 1967). Terjadi pemberlakuan sistem nilai lokal pada

tingkat yang sangat umum, sedangkan setiap kelompok mempertahankan sistem nilai

sendiri daam kelompok mereka masing-masing. Kehidupan sosial perkotaan hanya

berkembang di dalam kampung, bukan di tingkat kota. Sebaliknya, menurut prinsip kota

modern, kota harus bersifat terbuka bagi semua orang dan merupakan komunitas yang

dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama antara kelompok-kelompok yang setara

dengan tujuan membangun kehidupan bersama. Kota modern adalah tempat tawar-

menawar, jual beli, memberi dan mendapatkan apa yang diinginkan. Setiap kelompok

harus mampu menekan sebagian kepentingan kelompok mereka sendiri, demi

terbentuknya komunitas urban yang heterogen secara etnis dan religi (Nas, 1984).

Dalam perkembangannya di Indonesia, warisan tipe kota tradisional dan kota

dagang pra-kolonial/masa kolonial relatif masih bisa dikenali struktur intinya meskipun

sudah mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Kota dengan tipe demikian masih

bisa diamati seperti misalnya kota Jogjakarta dan Surakarta, serta kota-kota

disepanjang pantai utara Jawa memanjang dari sisi Barat sampai ke Timur.

C. Kehancuran Kota Tanpa Identitas : Berkaca dari Pengalaman Dalam upaya penataan ruang dan pengelolaan wilayah Indonesia sudah banyak

disusun Rencana Tata Ruang Wilayah mulai dari tingkat Nasional, Propinsi hingga kota

Kabupaten bahkan kota Kecamatan. Akan tetapi pada kenyataannya hampir sebagian

besar rencana-rencana yang dibuat dengan susah payah itu tetap tinggal sebagai

rencana saja, karena tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Terdapat

beberapa masalah yang dihadapi dalam implementasi rencana tersebut, akan tetapi

yang sangat menonjol adalah lemahnya penegakkan hukum (law enforcement) dan

kurangnya pelibatan masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa antara rencana yang

disusun dengan realitas kehidupan di dunia nyata terdapat kesenjangan yang lebar.

Terlebih lagi, aspirasi masyarakat sering tidak tertampung atau terwadahi dengan baik.

Bagaimanapun juga rekayasa ruang perkotaan yang diinginkan berdimensi

manusia yang semestinya bertolak dari perspektif ”rekayasa ruang dalam konteks

kehidupan manusia” agar efeknya mampu mendorong munculnya rancangan sosial

yang manusiawi dan bermartabat. Pendekatan perencanaan dan perancangan ruang

perkotaan di Indonesia selama ini seringkali menggunakan pola top-down dan kurang

melibatkan unsur-unsur masyarakat pelaku ruang perkotaan (bottom-up), bahkan

kadang dilakukan dengan cara mencomot begitu saja teori-teori yang berasal dari

khasanah budaya/pustaka barat kemudian langsung diterapkan. Akibatnya adopsi teori-

teori tersebut kadangkala tidak tepat dengan situasi lokal karena teori yang digunakan

3

Page 4: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

muncul dari situasi sosio spasial yang sangat berlainan dengan permasalahan lokal

yang akan ditangani. Perencanaan dan perancangan ruang perkotaan tidak dapat

semata-mata didasarkan kepada pendekatan yang objektif-positivistis tanpa

mempertimbangkan kenyataan subjektif-fenomenologis yang dirasakan oleh pelaku

ruang sebagai penggunanya. Realitas objektif ruang perkotaan sebenarnya hanyalah

sebagian kecil dari seluruh realitasnya, yang amat kaya dengan tanggapan-tanggapan

subjektif manusia penghuninya di dalam rangkaian proses dialektika manusia – ruang,

yang berlangsung terus menerus jangka panjang. Dengan demikian, pendekatan

pembangunan ruang perkotaan yang semakin tajam dan bermakna perlu dilakukan

dengan pendekatan subjektif-fenomenologis agar menukik dan membumi sampai ke

dasar dan akar permasalahan melalui suatu proses dialogis yang terus menerus dan

dilandasi oleh sikap hati-hati yang arif, kritis dan cerdas.

Selama ini paradigma perencanaan yang terlalu teknokratik dan deterministik ini

sebenarnya telah dikritik habis-habisan oleh Jane Jacobs, melalui beberapa bukunya,

terutama buku yang terbit lebih dari tiga dasawarsa lalu yakni The Death and Life of

American Cities (1962). Dalam buku ini Jacobs menunjukkan betapa proses-proses

perencanaan dan perancangan kota yang terlalu didasarkan atas pertimbangan-

pertimbangan teknis matematis cenderung menghasilkan suatu lingkungan kehidupan

yang kurang manusiawi kering, dan tidak beridentitas. Ia menawarkan pendekatan

perencanaan dan perancangan kota yang lebih “humanistis” yang memberikan

perhatian lebih pada aspek modal sosial yang sudah tersedia. Selanjutnya menurut

Jacobs (1962), sebuah kota harus “memiliki sesuatu untuk ditawarkan kepada semua

orang, karena kota diciptakan oleh semua orang. Tanpa memiliki sesuatu untuk

ditawarkan kepada semua orang, sebuah kota tidak ubahnya sebuah labirin yang akan

membuat siapa saja tersesat dan merasa teralienasi.

Disisi lain, kehancuran kehidupan kota-kota di Amerika saat itu salah satunya

disebabkan sistem perencanaan kota yang berbasis pada efisiensi. Jalan-jalan dibuat

dengan pola grid, bangunan didirikan dengan bentuk yang seragam, serba kotak,

mengakibatkan masyarakat serasa hidup terasing. Ketika terjadi revolusi industri di

Amerika pada tahun 1760 – 1863 berakibat naiknya tingkat urbanisasi sehingga

menambah jumlah penduduk kota yang juga berarti menambah masalah di dalam kota

itu sendiri seperti komunikasi. Masalah komunikasi menyebabkan mobilitas tinggi

sehingga perlu adanya fasilitas untuk menunjang kegiatan tersebut seperti stasiun,

kantor, hotel, pasar, pusat perbelanjaan, dan sebagainya yang merubah struktur kota.

Perubahan yang cepat dengan tidak adanya penyeimbangan fasilitas kota menimbulkan

daerah kumuh (slum area) yang sampai sekarang masih jadi masalah utama di

4

Page 5: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

berbagai kota di dunia. Maka mulainya timbul gedung-gedung bertingkat yang

menjamur karena adanya penemuan lift pada tahun 1853 dan fasilitas utilitas lainnya

seperti pompa dan sistem kontruksi baja dan beton .

Gambar 1Seorang warga dengan latar belakang bagian kota St. Louis

Sebelum merdeka pada tahun 1781, arsitektur Amerika merupakan arsitektur

kolonial Eropa yang telah disesuaikan dengan iklim dan tenaga kerja serta hasil bahan

bangunan setempat. Namun setelah terjadinya kebakaran hebat yang

membumihanguskan kota Chicago, maka mulainya muncul ciri khas arsitektur Amerika

yang sebenarnya yaitu lepas dari tradisi Eropa. Kota Chicago yang terletak diantara titik

pertemuan Sungai Chicago yang mengalir ke danau Michigan dinilai sangat strategis

dan berkembang menjadi sebuah pemukiman yang berkembang pesat menjadi sebuah

kota. Setelah terjadi kebakaran yang menghancurkan kota itu, maka para arsitek yang

tergabung di dalam “The Chicago School“ mulai memikirkan strategi membangun kota

yang efisien, cepat, dan ekonomis dengan membangun kota sistem grid (papan catur).

Gaya yang dianut adalah “Form Follow Function“ dimana bentuk bangunan mengikuti

fungsinya, dan bangunan yang terjadi seolah-olah seragam tanpa sentuhan pribadi

arsiteknya. Hasil dari Arsitektur Modern adalah bentuk-bentuk yang fungsional .

5

Page 6: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Kemudian munculnya standarisasi dari Eropa padahal untuk Asia ukurannya berbeda

sehingga manusia dianggap sebagai bagian dari mekanisasi bangunan (tanpa ekspresi)

lama-lama orang mulai bosan dan jenuh terhadap tampilan bangunan Arsitektur

Modern. Puncak kegagalan Arsitektur Modern adalah ketika bangunan Pruitt-Igoe, St.

Louis yang demikian terkenal yang dibangun oleh Yamasaki yang disebut sebagai karya

cemerlang pada cakrawala kota dan harapan baru bagi kaum miskin akhirnya

diruntuhkan dengan cara didinamit 15 tahun kemudian hingga rata dengan tanah oleh

para sponsornya sebagai pengakuan atas kegagalannya yang membawa malapetaka.

Alih-alih 43 gedung apartemen ini menjadi model perumahan yang nyaman dengan

uang sewa murah, justru proyek ini menjadi sarang penjahat dan perusuh. Apartemen

yang awalnya direncanakan sebagai tempat berlindung yang nyaman dan aman bagi

kaum miskin menjadi pangkalan yang penuh teror diatas tanah tak bertuan, dan

halaman rumput yang direncanakan sebagai tempat bermain yang menyenangkan bagi

anak-anak ternyata berserakkan sampah, kaleng bir dan kotoran manusia. Pruitt-Igoe

harus dibongkar karena perencanaannya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat

penggunanya. Desain arsitekturnya telah membuat apartemen ini menjadi seperti

penjara. Lift hanya berhenti pada setiap 3 lantai, sehingga terciptalah perangkap pada

lantai-lantai diantaranya, sehingga perampok, pemerkosa dapat memanfaatkan ujung

tangga dan ruangan tangga yang gelap untuk melakukan perbuatan kriminalnya.

Di Indonesia, juga sedang terjadi proses menuju matinya beberapa kota-kota

terutama di sepanjang pantai Utara Jawa karena kegagalan regenerasi kota (Kompas

29 Agustus 2008 halaman 47). Padahal kota-kota disepanjang pantai Utara Jawa

sebenarnya tumbuh dari kekhasan lokal masing-masing. Kekhasan yang

terimplementasikan hingga ke level kampung dan mempengaruhi toponiminya, misalnya

Cirebon untuk menunjukkan banyaknya rebon (udang kecil) di sungai-sungai. Kekhasan

citra kota sepertinya sangat diperhitungkan oleh Belanda saat itu. Ketika Belanda mulai

mendirikan kota praja tahun 1905, lambang-lambang yang diambil adalah ciri khas kota

tersebut, misalnya Surabaya dilambangkan dengan pertarungan ikan Soera dan Boeaja.

Tidak hanya pencitraan, kekhasan antar daerah telah mendorong spesifikasi antar kota.

Pada masa lalu kota-kota di pantai Utara Jawa memiliki ciri khas masing-masing sesuai

kondisi alam dan komoditas unggulan di daerah sekitarnya. Namun pencitraan maupun

spesifikasi antar kota sekarang sudah mulai redup bahkan menuju kepada proses

kematian. Ke depan fenomena ini akan membawa kota-kota pada situasi dimana

kegiatan ekonomi dan tata ruang tidak lagi berada pada kendali dan kepemilikan warga

lokal.

6

Page 7: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Contoh-contoh tersebut diatas memberikan penegasan bahwa sebuah kota yang

dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya mengesampingkan peran warga lokal

sebagai aktor utamanya maka lambat laun kota tersebut akan kehilangan citra dan

identitasnya bahkan lebih jauh lagi mengakibatkan kematian dan kehancuran.

D. Identitas Kota Berbasis Kearifan Lokal : Kajian TeoriKevin Lynch dalam bukunya The Image of The City (1960) mendefinisikan

identitas kota sebagai berikut :

“........identitas kota bukan dalam arti keserupaan suatu objek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan objek lain serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri” (Lynch, 1960)

“.......identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri” (Lynch, 1960).

Menurut Lynch (1960), untuk dapat memahami indentitas sebuah kota terlebih

dahulu memahami citranya. Citra kota yang mudah dibayangkan (mempunyai

imagibilitas) dan mudah mendatangkan kesan (mempunyai legibilitas) akan dapat

dengan mudah dikenali identitasnya. Citra kota merupakan gambaran mental bagi

pengamatnya, dan hal tersebut dipengaruhi oleh komponen-komponen :

1. Identitas mempunyai potensi dibacakan, artinya pengamatan dapat

memahami gambaran perkotaan (melalui identifikasi objek-objek, perbedan

antara objek, perihal yang dapat diketahui)

2. Struktur mempunyai potensi disusun, artinya pengamat dapat melihat

pola perkotaan (hubungan objek-objek, hubungan subjek-objek, pola yang

dapat dilihat)

3. Makna mempunyai potensi dibayangkan, artinya pengamat dapat

mengalami ruang perkotaan tentang arti objek-objek, rasa yang dapat

dialami.

Dalam konteks kekinian, teori Kevin Lynch yang digunakan dalam memahami

citra dan identitas kota memerlukan modifikasi dalam tataran operasionalnya terutama

penyesuaian dengan kondisi masing-masing kota terutama kota-kota di Indonesia.

7

Page 8: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Memahami citra dan identitas kota tidak hanya mendasarkan pada keberadaan elemen-

elemen fisik yang dikenali maupun kejelasan struktur kotanya namun yang lebih penting

bagaimana keberjalinan manusia dengan artefak fisik dapat terbangun. Dengan kata

lain keberjalinan tersebut merupakan bagian dari pengungkapan makna yang

terkandung dibalik citra dan ientitas sebuah kota.

Berbicara identitas kota, tidak terlepas dari bentukan bentukan fisik tiga dimensi

bangunan-bangunan arsitekturnya dan kehidupan manusia yang menghuni di

dalamnya. Apalagi jika dikaitkan dengan kearifan lokal, tidak hanya keunikan dan

kekhasan artefak fisiknya saja, namun juga keunikan dan kekhasan kehidupan sosial,

budaya, ekonomi, politik, dan spiritual penghuninya. Istilah kearifan lokal kurang lebih

sama dengan genius loci dicetuskan oleh Christian Norberg Schulz dalam bukunya

yang berjudul: Genius Loci, Towards a Fenomenology of Architecture. Menurut Schulz

(1984), kota akan lebih tepat bila dipandang sebagai suatu loka (loci, place, tempat).

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kota tersebut menyediakan ruang (space) untuk

kegiatan, untuk orientasi, disamping mempunyai karakter sebagai jiwa tempat, untuk

identifikasi. Selanjutnya menurut Schulz, karakter yang spesifik dapat membentuk suatu

identitas, yang merupakan suatu pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah

perkotaan, yang secara umum disebut a sense of place. Pemahaman tentang nilai dari

tempat ini merupakan pemahaman tentang keunikan dan kekhasan dari suatu tempat

secara khusus, bila dibandingkan dengan tempat lain.

Sementara itu, Rosi (1979) dalam bukunya: The Architecure of The City

mengatakan bahwa keunikan atau karaktersitik tempat (locus solus) merupakan

pembeda secara signifikan dengan tempat lainnya. Konsep locus solus dicetuskan oleh

Rosi seorang arsitek dari Italia, pelopor gerakan la Tendenza, sebagai bentuk protes

terhadap mewabahnya pengaruh gerakan arsitektur modern yang melanda seluruh

dunia. Dengan sangat kritis dikecamnya kaidah-kaidah perancangan kota modern yang

berlandaskan fungsionalisme sempit dan formalisme hampa. Semua itu mengakibatkan

terciptanya kota-kota bertampang seragam, tunggal rupa, tanpa identitas yang jelas.

Kecamannnya bukan semata-mata ditujukan pada sterilisasi bentuk atau modern yang

serba dogmatis, tetapi lebih kepada kealpaan dan ketidak acuhan para pengelola kota

serta penghancuran karya arsitektur dan kawasan kota tertentu yang memiliki keunikan

dan karakter spesifik. Padahal arsitektur atau lingkungan semacam itu mengemban misi

sebagai sumber kenangan (collective memory) masa lampau, yang merupakan koleksi

mosaik sejarah kehidupan manusianya. Menurut Budiharjo (1991) pada hakekatnya,

kota tidaklah mewujud sekadar sebagai wadah aktifitas manusia masa kini saja,

melainkan juga sebagai sumber kenangan masa lampau dan arena berfantasi ke masa

8

Page 9: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

depan. Dengan demikian dengan banyaknya bangunan kuno yang dihancurkan, ikut

lenyap pulalah kenangan (memory) yang bisa merupakan bahan acuan untuk inspirasi

bagi perancangan karya baru yang berkualitas. Menurut Rosi, tanda-tanda, simbol,

peringatan, tengeran dan semacamnya, yang serba otentik, betapapun kecilnya akan

sangat berarti sebagai cerminan sejarah kota dalam bentuk yang teraga dan kasat

mata.

Menurut Siregar (2000), tiap kota yang ada sekarang, sebagai lingkungan

binaan, telah melalui perkembangan sejarahnya masing-masing, yang membuatnya

menjadi suatu tempat (place) dan ruang (space). Perkembangan itulah yang

menentukan karakter atau identitasnya, yang merefleksikan berjalinnya kehidupan, yaitu

budaya dan tradisi, dengan lingkungan fisik-spasial. Walaupun budaya-budaya di

Indonesia mungkin tidak terlampau tua, akarnya – terutama budaya jawa – merujuk jauh

ke belakang. Budaya-budaya Indonesia, dan perwujudannya pada lingkungan fisik,

telah melalui proses perkembangan, mengalami perubahan dan penyesuaian karena

kontak dengan – bahkan “invasi” dari – budaya dan kekuatan besar lain. Untuk konteks

Indonesia, identitas itu agaknya bukan dalam pengertian sesuatu yang mono-

characteristic seperti banyak dikemukakan bahkan diidamkan, yang bagaimana pun

menyarankan suatu keadaan ideal yang tunggal, yang merefleksikan inkarnasi impian

utopia. Identitas kota Indonesia yang kita yakini didasarkan pada realitas urban yang

kontemporer, yang selalu mempertahankan kekhususan konteks waktu dan tempatnya,

dan dengan demikian unik untuk setiap kota di Indonesia, dan di mana pun. Oleh

karena itu tiap kota seyogyanya dipahami secara spesifik, bukan dengan generalisasi.

Di sinilah kiranya arsitektur dapat mengambil peran pentingnya. Menurut Kostof (1991)

mengemukakan pengertian yang sederhana:”cities are places made up of buildings and

people”. Berdasarkan pengertian tersebut, tatanan fisik spasial lingkungan binaan

(terutama kota) menjadi titik tolak masuknya pendekatan arsitektur ke dalam masalah

perkotaan (urban) yang kompleks. Dari arah pendekatan itu dapat diperoleh gambaran

yang lebih komprehensif, karena membicarakan lingkungan perkotaan berarti

seyogyanya sekaligus membicarakan kegiatan yang dilakukan di tempat itu.

Kaitan konsep tentang kearifan lokal kaitannya dengan arsitektur dan kota pada

esensinya adalah segala upaya bagaimana merancang arsitektur dan kota yang

berbasis kepada tema identitas dan jatidiri dengan cara menuntut penggalian dan

penemuan kembali secara intensif dan ekstensif tentang kekhasan, kekhususan

keunikan dan karakter yang spesifik yang menjiwai suatu kota (termasuk produk

arsitekturnya) tertentu yang membedakannya secara bermakna dengan kota lain.

Kearifan lokal dalam tata cara hidup, perilaku, kebiasaan dan adat istiadat yang telah

9

Page 10: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

menciptakan jatidiri masyarakat setempat harus menjadi landasan utama dalam

perencanaan dan perancangan, tidak boleh dikendalikan dengan instruksi dan doktrin

secara paksa dan pukul rata (serba sama), karena dengan demikian jiwa dan semangat

suatu tempat akan sirna.

Dalam arsitektur, sebuah bentuk (form) ketika dihuni oleh manusianya dan

memberikan segala hal yang dibutuhkannya, maka bentuk tersebut dianggap memiliki

jiwa dan semangat (spirit). Tetapi yang perlu dilestarikan dan dikembangkan sebetulnya

justru bukan bentuk itu semata, tetapi jiwa dan semangat suatu tempat jauh lebih

penting. Bentuk fisik bisa berubah bahkan mati, tetapi jiwa dan semangat harus

diupayakan tetap hidup. Jiwa dan semangat itulah yang harus ditangkap untuk

kemudian diejawantahkan kembali secara dinamis-kreatif-inovatif, dengan idiom atau

ungkapan baru yang mewakili kekinian.

E. Faktor Apa Saja yang Diperlukan dalam Membangun Identitas Kota?Berdasarkan uraian pada bagian B (Kehancuran Kota Tanpa Identitas),

disebutkan bahwa kota-kota yang dirancang dengan pendekatan proses perencanaan

dan perancangan kota yang terlalu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan teknis

matematis cenderung menghasilkan suatu lingkungan kehidupan yang kurang

manusiawi kering, dan tidak beridentitas. Jacobs (1962) mengamati beberapa kota yang

dibangun setelah revolusi industri di Amerika, dan ternyata kemudian kota-kota tersebut

akhirnya dihancurkan karena kegagalannya dalam memenuhi kebutuhan kehidupan

warga kotanya. Disisi lain kota-kota yang awalnya direncanakan secara organik

(tradisional), terutama di beberapa kota di Asia dan Afrika masih eksis hingga sekarang

dan justru menjadi ikon masing-masing negara seperti misalnya kota-kota di negara

Jepang, China, Indonesia (Jogjakarta dan Surakarta), Maroko, Mesir, dan sebagainya.

Muncul pertanyaan lain mengapa kota-kota di Eropa yang dibangun dengan pendekatan

kota modern (setelah masa renaissance) justru berhasil membangun identitasnya,

seperti kota Paris, Roma, London. Menurut Rapoport (dalam Zahd, 1999) kesamaan

kota-kota yang dibangun dengan pendekatan kota modern antara di Amerika dan di

Eropa adalah pada “struktur dan bentuk” kotanya. Namun perbedaannya adalah kota-

kota di Amerika tidak memperhatikan sifat-sifat tatanan, hirarki (tempat-tempat mana

yang lebih penting) di dalam morfologi/struktur kotanya. Sehingga kota-kota di Amerika

berkesan tidak terselesaikan dan mengarah ke ketidakterbatasan (non-ending) dan

ketidakadaan (placelessness) dan lebih menempatkan efisiensi, mobilitas dan

fleksibilitas sebagai hal yang utama.

10

Page 11: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Dalam kondisi masa sekarang, bagaimanakah membangun dan

mengembangkan sebuah kota sekaligus membangun identitasnya terutama untuk

kasus kota-kota di Indonesia. Hal terpenting yang patut diperhatikan adalah bagaimana

memanfaatkan potensi dan kekayaan arsitektur, iklim dan budaya lokal yang digunakan

sebagai basis dalam merencanakan dan merancang sebuah kota yang beridentitas.

1) Mempunyai Struktur Kota yang Jelas Kota yang mudah dipahami dan mempunyai kesan adalah kota yang mempunyai

struktur yang jelas, sehingga warga kota atau pengamat dapat dengan mudah

menjelajah, berorientasi terhadap lingkungan sekitar. Selain itu dengan pembagian

fungsi-fungsi perkotaan yang jelas menjadikan warga kota atau pengamat merasa

nyaman tinggal dan dengan mudah dan cepat melakukan mobilitas dalam kota tersebut.

Sebaliknya kota yang tidak jelas strukturnya, kerapkali mengundang

permasalahan bagi warga atau pengamatnya, seperti misalnya kemacetan lalu lintas

akibat beberapa fungsi kota (misal perdagangan) ditempatkan dalam posisi yang tidak

tepat sehingga membangkitkan pergerakan lalu lintas yang luar biasa atau tidak

tersedianya jalur pejalan kaki menyebabkan orang menjadi tidak nyaman dan takut

melintas.

Pada kota-kota tradisional (terutama di sepanjang pantai Utara Jawa) struktur

kotanya dapat dipahami dengan adanya pusat (inti) berupa pusat pemerintahan yang di

depannya terdapat alun-alun, sisi Barat terdapat masjid. Sayangnya pusat kota

tradisional yang berorientasi pada alun-alun lambat laun mati karena tidak terintegrasi

dengan fungsi-fungsi baru yang menjadi kebutuhan masyarakatnya.

Demikian pula dengan perencanaan dan perancangan kota-kota modern (ada

yang menyebut kota mandiri, kota satelit), ada kecenderungan developer hanya

memikirkan kepentingannya sendiri, tidak mengintegrasikan dengan wilayah sekitarnya,

sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas yang sangat luar biasa terutama saat

masyarakat beraktifitas ke kantor atau kesekolah, demikian juga sebaliknya.

Perencanaan struktur kota yang terintegrasi menjadi sebuah kebutuhan mutlak,

tidak hanya mengintegrasi fungsi-fungsi lama dengan yang baru, namun juga fungsi

baru dengan wilayah di sekitarnya. Tujuannya adalah agar masyarakat merasa nyaman

tinggal di kota tersebut dan menarik untuk dikunjungi. (Kusumawijaya, 2006).

2) Mempunyai Keunikan dan Kekhasan Artefak Fisik

11

Page 12: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Kota yang baik adalah kota yang mampu memberikan pengalaman ruang yang

kaya bagi warga maupun pengamatnya. Pengalaman tersebut memberikan stimulasi

pada seluruh panca indera manusia. Perjalanan di pulau Bali misalnya akan membawa

kita pada pengalaman melihat, mencium bau, mendengar dan merasakan tekstur

sebuah ruang arsitektur atau yang disebut sosiolog Ken-Ichi Sasaki sebagai ’tactility

experience’. Ini bisa terjadi karena faktor skala ruang yang baik, intim, emosional dan

antropometris.

Beberapa kota mengalami kehancuran pada sistem visualnya, kualitas visualnya

menjadi menurun, penyebabnya adalah hutan rimba papan reklame yang dipasang

dengan melupakan kaidah proporsi, skala, estetika. Dengan dalih mengejar PAD

(pendapatan asli daerah) pemerintah setempat memberikan peluang sebesar-besarnya

kepada sektor swasta untuk beriklan melalui papan reklame/baliho berukuran raksasa.

Bahkan beberapa papan reklame menutupi wajah (fasade) bangunan-bangunan kuno

dengan arsitektur yang unik dan menarik, padahal wajah bangunan yang menarik dapat

menjadi sebuah potensi kekhasan lokal.

Gambar 2Bangunan Pecinan di Jalan Malioboro tertutup oleh papan reklame

Bagi kota-kota yang termasuk tipe kota tradisional dan kota dagang relatif masih

dijumpai artefak arsitektur yang khas atau kelompok masyarakat etnis tertentu yang

tinggal secara berkelompok. Kota Jogjakarta misalnya masih dikenali melalui artefak

fisik berupa keraton dan jalan penghubungnya yang membentuk aksis (as), diantaranya

jalan Malioboro dan hingga sekarang jalan tersebut berkembang menjadi kawasan

12

Page 13: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

perdagangan yang unik dan banyak dikunjungi wisatawan. Di beberapa kota dagang

terutama yang berada di kawasan pantai utara Jawa masih banyak dijumpai kampung-

kampung masyarakat etnis tertentu seperti misalnya kampung Arab, Cina, Kauman.

Keberadaan kampung-kampung tersebut unik dan khas karena memberikan warna

tersendiri bagi kehidupan perkotaan. Selain itu dapat dikenali pula keberadaan alun-alun

sebagai penanda letak kantor Bupati, di sekelilingnya terdapat masjid Agung (biasanya

terdapat kampung Kauman di belakang masjid), penjara, pasar. Potensi artefak fisik

yang unik dan khas dapat menjadi salah satu modal membangun identitas kota dengan

cara merevitalisasinya agar menjadi sebuah pembeda dengan kota-kota lainnya.

Meskipun dalam perkembangannya kota-kota tersebut akan mengalami pertumbuhan,

hal penting yang diperlukan adalah bagaimana kekhasan dan keunikan artefak fisik

tersebut dapat berdampingan selaras dengan bangunan/artefak fisik yang bersifat

modern dan baru.

3) Mengutamakan Sistem Transportasi Massal Inefisiensi banyak terjadi dalam perkembangan kota-kota besar di Indonesia

karena belum tersedianya transportasi masal yang representatif dan memadai. Bagi

kota-kota besar di Indonesia, penyediaan public transport seperti busway, monorail, dan

berbagai jenis moda transportasi masal jelas suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Kemacetan di banyak kota-kota besar akibat meningkatnya volume kendaraan karena

bertambahnya pengguna mobil pribadi adalah sesuatu yang mesti segera diakhiri.

Dengan demikian konsumsi energi khususnya minyak BBM diharapkan juga bisa sangat

terkurangi.

Kota Curitiba dengan tingkat kepemilikan mobil tertinggi di Brazil serta jumlah

penumpang angkutan sampai dengan 2.2 juta orang per hari, menerapkan busway

berdaya angkut sampai dengan 270 penumpang, dengan 340 rute dan 1902 bus, telah

berhasil mengurangi ketergantungan warga kota pada mobil pribadi. Selain itu Curitiba

juga menjadi salah satu kota dengan tingkat polusi terendah di dunia (karena konsumsi

energi yang rendah). Untuk menghambat penggunaan kendaraan pribadi, tingkat

pelayanan transportasi massal harus jauh lebih tinggi daripada tingkat pelayanan mobil

dan motor pribadi (Tohjiwa, 2008). Beberapa kota di Eropa dan Amerika menyediakan

fasilitas transportasi berupa kereta trem dengan menggunakan tenaga listrik dimana

jalurnya berdampingan dengan jalan raya. Gambaran yang terjadi di kota Curitiba Brasil

dan beberapa kota di Eropa dan Amerika tidak hanya memberikan kenyamanan bagi

warganya, namun juga menciptakan sebuah indentitas kota setidak-tidaknya dari aspek

transportasi massalnya. Dengan sistem transportasi massal yang aman dan nyaman,

13

Page 14: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

akan membantu membangun sebuah pemahaman dalam kognisi siapapun yang pernah

mengalami dan melihat kota tersebut bahwa ada kekhasan setempat.

Gambar 3Jalur Kereta Api di jalan Slamet Riyadi Solo

Di kota Solo terdapat potensi transportasi jalur KA di sepanjang jalan Slamet

Riyadi, apabila dimanfaatkan sebagai transportasi kota/antar wilayah bagian kota

niscaya akan menjadi identitas kota Solo. Pada intinya pengutamaan sistem

transportasi massal lebih banyak memberikan pelayanan masyarakat dalam hal

beraksesibilitas.

Tranportasi massal yang nyaman dapat digunakan sebagai sarana city tour bagi

wisatawan.

4) Mengutamakan Ruang Pejalan Kaki dan Ruang PublikJalur sirkulasi di hampir seluruh kota di Indonesia memberi porsi yang lebih

besar bagi kendaraan bermotor. Sementara trotoar tak lebih 1,2 m saja lebarnya, dan

harus berbagi dengan pot bunga, tong sampah, pedagang kaki lima, dan lain-lain. Jika

jalur perkantoran dan bisnis di pusat kota bisa dihubungkan dengan pedestrian yang

nyaman, paling tidak untuk makan siang pegawai kantor di sekitar pusat bisnis tersebut

tidak harus menggunakan mobilnya.

Di Curitiba, Brazil, area pusat kota ditata dengan porsi bagi pejalan kaki yang

cukup lebar dengan aktivitas yang hidup hampir 24 jam, menghasilkan pendapatan di

sektor wisata kota sampai dengan 280 juta dollar AS, menyumbang 4 % pendapatan

kota, selain tentu saja mengurangi ketergantungan pada kendaraan.

14

Page 15: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Gambar 4Jalur Pejalan Kaki

Ruang publik memiliki peran dan fungsi penting bagi kegiatan masyakarat di

perkotaan. Oleh karena itu penanganan ruang kota seharusnya mendapat perhatian

tersendiri dan terus menerus serta selalu ditingkatkan kualitasnya agar dapat

mengakomodasi keinginan masyarakat penghuni kota, baik secara fisik maupun

aspresiasi-aspresiasinya. Dengan demikian kota dapat semakin hidup (lifelxy city) dan

berkembang. Sehingga diperlukan partisipasi dari berbagai pihak diperlukan dalam hal

ini, sehingga peningkatan kualitas ruang publik tidak bergantung pada pemerintah kota

saja, tetapi seluruh unsur masyarakat, dan lembaga-lembaga lain seperti

lembaga/organisasi profesi, asosiasi-asosiasi pengusaha dan industri, pers, pakar-

pakar, LSM, dan pemerhati kota.

Keberadaan ruang publik harus mampu membangkitkan vitalitas bagi kota

artinya bahwa ruang publik seharusnya lebih diramaikan dengan adanya cafe,

pedagang kaki lima, dan kegiatan lain yang menggunakan ruang publik misalnya

festival-festival yang akan menghidupkan suatu kawasan (Lynch.K, 1972).

15

Page 16: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Gambar 5Ruang Publik Perkotaan berbentuk Cafe

Karenanya ruang publik adalah elemen terpenting dalam peradaban kota. Ia

menjadi wadah lahirnya kerekatan sosial yang bisa membawa kota menuju masyarakat

madani atau civil society. Dalam sejarahnya, seperti diwacanakan Habermas, ruang

publik atau offentlichkeit ini menjadi wadah dari institusi kelas menengah yang punya

pengaruh kuat dalam proses revolusi sosial. Kekuatan kelas menengah kelas borjuasi di

Eropa misalnya tumbuh berkembang di kafe-kafe yang menjadi ruang untuk

mendiskusikan isu bisnis sekaligus isu-isu kemasyarakatan. Dalam sejarahnya, di Eropa

Timur, kafe menjadi ajang untuk berdiskusi politik dan isu-isu besar dunia, Bahkan

Trosky pun tengah mengirup kopi di kafe saat terjadinya revolusi Oktober di Rusia.

Khususnya di Paris, budaya diskusi di kafe-kafe ini membidani lahirnya karya-karya seni

dan sastra modern. Ruang Publik sendiri sejatinya adalah ruang demokratis tempat

bertemunya semua khalayak. Ia milik semua orang. Ia menjadi tempat manusia

bertoleransi terhadap perbedaan. Ia menjadi di tempat manusia berlatih menghadapi

kejutan-kejutan sosial. Pada puncaknya, toleransi pluralisme pada ruang publik ini akan

mendorong lahirnya konsepsi public domain, yaitu wacana tempat kita mendiskusikan

ruang publik atau bertukar pikiran antar grup sosial yang berbeda. Media publik seperti

halnya koran, televisi dan ruang maya di internet, kemudian menjadi sarana dalam

bernegosiasi di ruang publik tadi. Syaratnya, public domain ini haruslah independen.

5) Mempunyai Kandungan Collective Memory

Kota yang mudah mendatangkan kesan kuat bagi orang yang mengingatnya

adalah kota yang mampu menyimpan kenangan, sehingga ketika didatangi pada saat

berikutnya maka kota tersebut mampu memberikan kenangan masa lalunya. Kota yang

16

Page 17: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

mempunyai kandungan kenangan pada umumnya merupakan kota yang lahir berkait

dengan faktor sejarah pembentukannya yang unik dan menarik. Keberadaan kota-kota

tradisional maupun kota dagang pra kolonial/kolonial pada dasarnya merupakan kota

peninggalan sejarah. Sementara itu Rosi (1982) mengatakan bahwa kota yang lahir

karena proses sejarah adalah juga gudang sejarah (a repository of history). Karena itu

sulit membayangkan untuk mempelajari fenomena kota tanpa melalui sejarah. Ada dua

pendekatan untuk memahami kota sebagai sejarah, yaitu [i] sebagai material artifact,

berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak, kota menjadi teks sejarah

(historical text); dan [ii] sebagai collective imagination, kota dilihat sebagai sintesis dari

rangkaian nilai-nilai.

Gambar 6Ruang publik dikeilingi bangunan kuno di Malioboro

diyakini mengandung memori kolektif

Salah satu contoh kota yang mempunyai kandungan kenangan kolektif adalah

kota Jogjakarta terutama di pusat kotanya (sekitar kawasan Malioboro). Sebagai ruang

perkotaan yang terbentuk karena faktor sejarah, maka ruang perkotaan ini banyak

menyimpan memori masa lalu yang berkaitan dengan aspek budaya, sosial, spiritual,

ekonomi, dan politik. Karena menyimpan memori masa lalu yang sangat kuat dan

berkesan bagi pelaku ruangnya, maka muncul keinginan untuk selalu mengulang hadir

kembali dalam pentas kehidupan ruang perkotaan ini. Hal tersebut seperti dikatakan

oleh Bono (1976) bahwa memori selalu meninggalkan jejak (memori traces), yang

berfungsi sebagai tanda (sign) atau petunjuk memori. Hal senada juga dikatakan oleh

Boyer (1994) bahwa sebuah kota tua banyak menyimpan memori masa lalu. Sehingga

17

Page 18: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

relasi antara arsitektur, bentuk kota, aktifitas dan sejarahnya harus menjadi

pertimbangan utama dalam merancang pengembangan kota ini. Ekspresi kolektif dari

arsitektur kota adalah rangkaian memori dari berbagai bentuk arsitektur dan rencana-

rencana kota masa lalu. Oleh karena itu untuk dapat mengapresiasi makna kota,

seorang pengamat seyogyanya tidak hanya melihat kota dari sudut formal-fungsional

belaka tetapi disertai juga dengan pemahaman bentuk berserta penafsiran makna yang

dikandungnya. Ingatan kolektif bukanlah sekadar kenangan atau pengalaman yang

berkesan dari orang banyak terhadap suatu ruang perkotaan, melainkan lebih ke arah

terbangunnya ikatan emosional dan spiritual dari orang banyak terhadap ruang

perkotaan. Akibat faktor sejarah, maka ikatan emosional ini kemudian menjadi

melembaga dan menjadi sosok intitusi. Intitusi ini kemudian diikuti dengan munculnya

intitusi-institusi ikutan, yang pada akhirnya membentuk gambaran makna citra dalam

anyaman kolektif yang memiliki kekuatan luar biasa. (Sudaryono, 2002).

6) Lebih Banyak Membangun Fungsi LatenKota yang dengan mudah dikenali identitasnya, dimulai dengan bagaimana kota

tersebut menyediakan dan mengolola ruang jalan yang nyaman bagi warganya,

kemudahan beraksesibilitas antara tujuan satu dengan tujuan lainnya, dan bagaimana

jalan tersebut juga digunakan sebagai media berinteraksi. Jane Jacobs di buku The

Death and Life of Great American Cities (1962) mengingatkan kita. Apabila kita berfikir

tentang sebuah kota, maka yang akan terbersit pertama kali di benak kita adalah jalan-

jalannya. Apabila jalan-jalan di kota tersebut menarik, atraktif, dan semarak, maka

menariklah kota tersebut. Tetapi apabila jalanan itu sepi, mati, dan bahkan menakutkan,

maka kota tersebut akan menjadi membosankan dan tidak menarik untuk dikunjungi.

Kehidupan dan fungsi jalan menjadi salah satu penentu bagi kemenarikan suatu kota.

Pola pikir sebagian besar perencana dan pengelola kota biasanya melihat

keberadaan ruas jalan sebagai ’engineering space’ semata untuk mengakomodasi

angka-angka aliran kendaraan bermotor. Ruas-ruas jalan seperti ini juga umumnya

hanya direncana berdasarkan standar teknis dan jarang didesain secara baik untuk

menjadi sebuah ruang sosial yang mampu mengundang warga untuk turun berinteraksi

sosial secara suka rela. Mulai punahnya potensi ruas jalan sebagai ruang interaksi

demokratis masyarakat urban akhirnya menyebabkan kota pun menjadi rigid dan

hambar. Seperti halnya robot, kota pun berfungsi secara teknis namun tidak berjiwa.

Menurut sosiolog Jane Jacobs, kota-kota yang ’livable’ dimana nilai-nilai urbanitasnya

berkembang dengan baik, ruang interaksi sosial masyarakat urban yang utama justru

sering kali mengambil tempat di koridor jalan kota.

18

Page 19: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Jalan sebaiknya diberi kebebasan untuk memproduksi fungsi latennya. Jalan

tidak saja memiliki fungsi sebagai jalur lalulintas saja, namun muncul sebagai tempat

sosial masyarakat yang melakukan kegiatan di dalamnya, dan sebuah jalan dapat

dikatakan menjadi sebuah ruang bilamana jalan tersebut memiliki ciri khas budaya

setempat, dan terbentuk atas keberadaan bangunan yang melingkupinya serta

landscape yang ada. Ruang ini oleh pelaku ruang diberi kegiatan di dalamnya, dihuni

oleh keberagaman pelaku didalamnya, mulai dari pekerja kantor pemerintahan,

pedagang kakilima, dan lain sebagainya. Selain itu ada pengguna lain pada ruang ini

seperti pelaku komunitas kendaraan, pelaku ekonomi berupa kegiatan-kegiatan

periklanan serta tukang parkir jalan. Keberadaan pengguna ruang ini diduga merupakan

suatu bagian yang saling terkait, antar pengguna ruang tidak terjadi konflik, berupa

penentuan batas wilayah, perebutan hak berada dalam satu ruang, indikasinya adalah

mereka saling melengkapi keberadaannya seperti ada sebuah norma dan pranata yang

telah disepakati antar pengguna ruang.

Gambar 7Fungsi Laten Ruang Jalan, digunakan untuk nongkrong klub vespa antik

Kegiatan yang timbul pada sebuah jalan tersebut oleh Rapoport dikatakan

mempunyai fungsi laten yang merupakan ”fungsi sampingan” yang terjadi kemudian

karena adanya kegiatan-kegiatan ”varia” yang muncul meskipun biasanya tidak

dipertimbangkan sebelumnya dalam perencanaan. Disamping fungsi jalan yang memiliki

fungsi manifest yaitu fungsi dasar atau fungsi tetap dari suatu lingkungan binaan yang

ditentukan / direncanakan sejak awal dan kegiatan manifest adalah kegiatan spesifik

dari fungsi tersebut (Rapoport, 1977).

19

Page 20: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Dalam buku klasik 'Great Streets', Allan B Jacobs secara gamblang menyatakan

jalan yang masuk dalam klasifikasi 'great streets', biasanya selalu memiliki kualitas

spasial istimewa dan sukses merangsang warga kota, untuk turun berinteraksi sosial

dan beraktivitas urban yang sehat. Di ruas-ruas ruang publik tersebut, warga kota tidak

ragu-ragu untuk melangkahkan kakinya membeli susu dan koran pagi, berjalan

mengamati pajangan dikaca-kaca toko, bergurau santai di kafe-kafe pinggir jalan

ataupun duduk makan siang sambil mengamati lalu lalang pejalan kaki di trotoar jalan.

Mulai dari keriuhan koridor jalan Las Ramblas di Barcelona, eksotisme Malioboro

di Jogjakarta sampai kemeriahan Market Street di San Francisco. Kesemuanya menjadi

cerminan wajah kota yang lebih manusiawi dan ’livable’. Bahkan tidak jarang, ruang

linear jalan pun sering kali menjadi salah satu landmark kebanggaan warga kota, seperti

halnya The Champs Elysees di Paris, ataupun Orchard Road di Singapura.

7) Memberi Ruang Pemasaran Produk LokalBeberapa kota menjadi terkenal identitasnya karena memberikan ruang

pemasaran produk lokalnya. Sebut saja misalnya PKL di sepanjang jalan Malioboro,

dengan menempati arcade.

Para pedagang kaki lima yang mula-mula muncul kebanyakan menjual

barang-barang cinderamata, seperti batik, aneka yang disajikan cara penyajian lesehan,

emping, bakpia, dan sebagainya. Pada awalnya para pedagang kaki lima tersebut

berjualan di emperan toko dan pasar. Kemudian jumlahnya semakin banyak, sekitar

tahun 1970 an pemerintah mulai melakukan beberapa pengaturan bersamaan dengan

penataan ruang Jalan Malioboro, antara lain dengan pemberian ruang berdagang di

bawah arcade (mula-mula hanya pada sisi luar/menghadap toko), membatasi jenis

dagangan, membatasi luas area dagang maksimal 1,5 x 1,5 meter persegi, serta tinggi

tempat dasaran tidak melebih 1,25 meter agar pandangan toko dari arah jalan tidak

tertutup. Para pedagang sendiri berinisiatif membentuk suatu organisasi untuk

memudahkan koordinasi pembagian kapling berdagang. Organisasi tersebut akhirnya

menjadi sebuah koperasi bernama Koperasi Tri Dharma.

Organisasi pedagang lain yang menempati arcade adalah Persatuan Pedagang

Malioboro Ahmad Yani (Pemalni). Pada saat itu pedagang yang tidak tergabung dengan

Tri Dharma mencoba berjualan di depan toko menghadap kearah Timur. Jumlah

pedagang masih saja terus bertambah, dan akhirnya memadati sisi dalam arcade

(membelakangi toko). Mereka sebagian besar terdiri dari anak-anak muda putus

sekolah, seniman jalanan atau anak lulusan sekolah seni yang kebanyakan berjualan

barang kerajinan buatan sendiri seperti lukisan, aksesoris, gantungan kunci dan

20

Page 21: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

sebagainya, dengan alat berdagang seadanya berupa sekadar kotak kardus atau

secarik kain/tikar yang digelar. Ketika jumlah mereka terus membengkak dan terus

digusur, mereka kemudian bersatu, membentuk organisasi, berdemonstrasi dan

berunding dengan pemerintah daerah. Akhirnya diperbolehkan berdagang dengan

berbagai batasan, antara lain luas area dagang maksimal 0,6 x 0,8 meter persegi dan

tidak boleh menutupi etalase toko (lesehan atau dengan bangku pendek saja).

Organisasi mereka bukan berbentuk koperasi, hanya perkumpulan informal tanpa

kantor resmi dengan nama Pedagang Pelukis Pengrajin Jalan Malioboro dan Jalan

Ahmad Yani (Pemalni).

Gambar 8Pedagang Kaki Lima di dalam Arcade

Keberadaan PKL tersebut menjadi ikon kawasan Malioboro, bahkan muncul

jargon “kalau ke Jogja belum ke Malioboro belum dianggap ke Jogja”. Eksistensi PKL

tersebut memberikan sebuah penegasan bahwa identitas sebuah kota dapat dibangun

dengan ikon PKL yang menjajakan produk lokal (Purwanto, 2007)

F. Bagaimana Mempertahankan Identitas Kota?

21

Page 22: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Mempertahankan identitas kota jauh lebih sulit ketimbang membangunnya.

Beberapa contoh kasus membuktikannya, misalnya keberadaan pusat kuliner Kesawan

dan Kya-Kya Kembang Jepun di kota Medan dan Surabaya. Awalnya kedua tempat

tersebut diharapkan menjadi ikon kota Medan dan Surabaya. Namun lambat laun kedua

ikon tersebut mati suri, bahkan pusat kuliner Kesawan sudah mati sama sekali.

Kasus kedua, keberadaan beberapa kota-kota di sepanjang pantai Utara Jawa,

saat ini sedang mengalami proses kehilangan idenditasnya karena tidak terintegrasinya

dengan fungsi-fungsi baru. Pusat kota menjadi tidak punya vitalitas, karena daya tarik

lebih mengarah ke pusat-pusat perbelanjaan.

Untuk membangkitkan vitalias sebuah ikon, memerukan apa yang disebut

dengan “daya hidup”. Menurut Tschumi (1998) daya hidup kota berupa magnet urban

generator hanya diwujudkan dalam sebuah kota yang mempunyai fungsi membaur,

dinamis atau fleksibel yang tidak formal dan kaku. Menurut Tschumi faktor terpenting

urban generator adalah adanya events dan berkumpulnya banyak orang. Hubungan

aksi-reaksi antara events dan berkumpulnya banyak orang merupakan siklus berputar

yang memberikan daya hidup sebuah kota.

Untuk mempertahankan identitas kota berbasis kearifan lokal, diperlukan sebuah

terobosan yang berani terutama dari pihak penentu kebijakan yaitu lebih banyak

melibatkan peran masyarakatnya dalam membangun kota. Apabila pihak penentu

kebijakan sudah memberikan komitmen, langkah berikutnya adalah melakukan

identifikasi/penelitian untuk memetakan potensi dan kekayaan khasanah lokal yang ada.

Hasil penelitian diharapkan dapat mengidentifikasi dan mengkaji keunikan-

keunikan dan kekhasan setempat. Keunikan-keunikan dan kekhasan tersebut tersebut

seharusnya berkaitan dengan : [i] kekayaan ruang bersifat intangible, yaitu berupa

sistem nilai, perilaku budaya, adat istiadat masyarakat lokalnya; [ii] kekayaan kota

bersifat tangible, yaitu berupa seting ruang beserta aktifitas unik yang tercipta sebagai

relasi timbal-balik antara masyarakat dengan kotanya. Dalam hal keunikan-keunikan

tersebut di atas, bahwa setiap kerja perencanaan ruang harus dimulai dari menggali

pemahaman di lapangan untuk menemukan unit-unit keunikannya, kemudian setiap

kerja perencanaan harus memperhatikan keunikan-keunikan tersebut. Dengan

demikian, setiap kerja perencanaan ruang diharapkan tidak sewenang-wenang dengan

membuat desain atau bentuk yang sama sekali baru yang justru akan membuat

masyarakat sebagai pengguna ruang perkotaan tersebut merasa asing dengan

ruangnya. Bentukan-bentukan ruang baru yang ditawarkan oleh setiap kerja

perencanaan tidak boleh melemahkan bahkan menghilangkan eksistensi dan

keberlanjutan dari unit-unit keunikan ruang yang telah ada. Peran perencana dan

22

Page 23: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

pengelola pembangunan kota tidak sekadar merumuskan rencana masa depan kota

secara fisik dan keruangan yang serba deterministik, rasional dan fungsional, melainkan

mengarah pada aspek pelibatan pelaku ruangnya.

Selanjutnya hasil dari penelitian hendaknya menjadi pijakan yang disepakati

bersama dalam memberikan kontibusi terhadap pemecahan isu-isu perkotaan (urban

issues). Selama ini kelemahan yang terjadi dalam pendekatan perencanaan dan

perancangan kota yang didasarkan atas paham positivistik-deterministik adalah tidak

melihat hal-hal yang bersifat subjektif fenomenologis sebagai suatu “kekuatan” sehingga

hasilnya menjadi “kering” dan tidak bermakna. Akibatnya perencanaan dan

perancangan kota secara positivistik-deterministik akan menghasilkan carut-marut

wajah dan kehidupan perkotaan, sehingga dikhawatirkan generasi berikutnya akan

kehilangan ingatan kolektif dalam citra kognitifnya terhadap potensi dan identitas lokal

sebuah kota.

G. Kesimpulan dan PenutupMembangun dan mempertahankan identitas kota pada dasarnya bukanlah

perkara mudah, apalagi dengan makin besarnya kekuatan pasar yang menyebabkan

dengan mudah “mempengaruhi” kebijakan pembangunan sebuah kota yang sudah

disusun terutama dalam bentuk produk tata ruang wilayah. Disisi lain membangun

identitas kota sangat diperlukan, karena identitas kota tidak hanya berbicara jatidiri

sebuah kota namun lebih luas lagi yaitu bagaimana masyarakat yang menempati

menjadi lebih nyaman dalam bersosialisasi, berinteraksi, sedangkan masyarakat yang

mengamati menjadi lebih tertarik untuk mengunjungi dengan berbagai potensi kekayaan

khasanah lokalnya.

Disaat terjadinya krisis identitas kota, diperlukan upaya membangun identitas

kota dengan pelibatan masyarakat lokal untuk ikut serta membangun kotanya. Peran

perencana dan pengelola pembangunan kota tidak sekadar merumuskan rencana masa

depan kota secara fisik dan keruangan yang serba deterministik, rasional dan

fungsional, melainkan mengarah pada aspek pelibatan pelaku ruangnya.

Disadari bahwa pembangunan kota beridentitas yang berbasis pada kekayaan

lokal akan lebih banyak melibatkan peran masyarakatnya, dan hal tersebut akan berkait

dengan sosial budaya masyarakatnya. Konsekuensinya dibutuhkan sebuah

perencanaan yang memerlukan kesabaran dan waktu lebih lama. Hal-hal yang berkait

dengan budaya, tidak akan segera tampak bagi orang dari luar masyarakat yang

bersangkutan. Karena hal-hal yang bersifat budaya itu lebih banyak berpusat pada alam

pikiran, maka pemecahan masalah yang terjadi pada suatu masyarakat perlu

pemahaman dengan pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif akan dapat

23

Page 24: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

mengungkap makna-makna budaya sehingga pemecahan masalah atau upaya

pembangunan yang mendasarkan pada pemahaman makna-makna budaya masyarakat

yang bersangkutan akan jauh lebih mempunyai arti yang positif bagi kehidupan mereka

daripada kalau mereka sekadar harus menerima barang jadi yang dibuat oleh pihak

perencana atau pemberi program. Seorang perencana harus membebaskan diri dari

pikirannya bahwa perencanaan fisik akan menghasilkan kefahaman tentang masyarakat

(sense of community). Penjelasan tersebut memberikan tekanan bahwa dalam

perencanaan dan pembangunan tidak berangkat dari tatanan fisik semata namun lebih

menitik beratkan pada keberadaan masyarakat.

H. DAFTAR BACAAN

Alfian, Magdalia, 2007, Kota dan Permasalahnnya, Makalah pada Diskusi Sejarah BPSNT, Yogyakarta, 11-12 April 2007.

Budihardjo, E., 1991, Arsitektur dan Kota di Indonesia, Cetakan ke-3, Alumni, Bandung.

Habermas, Juergen (1999), The Structural Transformation of The Public Sphere, Polity Press

Jacobs, J., 1969, The Death and Life Great American City, New York: Random House.

Jacobs, A.B., 1993, Great Streets, MIT Press, Cambridge.

Kostof, S., 1991, The City Shaped: Urban Patterns and Meanings Through History, Thames and Hudson, London.

Kusumawijaya, M., 2006, Kota Rumah Kita, Borneo Publication, Jakarta.

Lynch, Kevin, 1960, The Image of The City, MIT Press, Cambridge.

Lynch, Kevin, 1972, Good City Form, MIT Press, Cambridge.

McGee, T.G., 1967, The Southeast Asian City, G.Bell and Son.

Nas, PJM., 1984, Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota (Terj.), Bhratara Karya Aksara.

Purwanto, Edi, 2007, Rukun Kota: Kota Berbasis Budaya Guyub, Disertasi Doktor Teknik Arsitektur UGM (tidak dipublikasikan).

Rapoport, A., 1977, Human Aspect of Urban Form, Oxford: Pergamon Press.

Rossi, A., 1982, The Architecture of The City, The MIT Press, Cambridge.

Schulz, C.N., 1984, Genius Loci, Towards a Fenomenology of Architecture, Rizzoli, New York.

Siregar, S.A., 2000, Kota Sebagai Objek dan Konteks Arsitektur, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

24

Page 25: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Sudaryono, dkk, 2002, Laporan Kemajuan Penelitian : Karakter Ruang Lokal sebagai Sistem Mainstream Perencanaan Pembangunan Lokal, dalam : Riset Unggulan Terpadu Bidang Kemasyarakatan dan kemanusiaan (RUKK III), (tidak dipublikasikan).

Tohjiwa, Agus D, 2008, Kota Kompak Berkelanjutan sebagai Konsep Pembangunan Kota di Indonesia, Makalah Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan dalam Mewujudkan Kota Tropis, 6 Agustus 2008.

Wheatly, Paul, 1983, Nagara and Commandery: Origin of the Southeast Asian Urban Traditions, The University of Chicago.

Wiryomartono, A.B.P., 1995, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia: Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindhu-Budha, Islam Hingga Sekarang, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Zahd, M., 1999, Perancangan Kota Secara Terpadu, Penerbit Kanisius.

CURRICULUM VITAE

Nama Lengkap : Dr.Ir. EDI PURWANTO, MT

NIP : 131885300

Pekerjaan : Staf Pengajar Jurusan Arsitektur FT UNDIP

Tempat/Tgl. Lahir : Cilacap / 31 Desember 1963

Status : Menikah dengan 2 anak

Alamat : Jln. Bangunharjo I/15 Semarang 50264

Email : [email protected]

Riwayat Pendidikan : Lulus S1 Arsitektur FT UNDIP tahun 1989

Lulus S2 Arsitektur UGM tahun 1996 (cumlaude)

Lulus S3 Arsitektur UGM tahun 2007 (cumlaude)

Riwayat Pekerjaan : Tahun 2000-2002 Sekretaris Jurusan Arsitektur

Tahun 2008- Sekretaris Magister Arsitektur

Mata Kuliah yang Diampu : S1

Perancangan Arsitektur Semester 3, 4, dan 5

Perancangan Kota Semester 4, 6

Metodologi Penelitian

S2

Metodologi Penelitian

S3

25

Page 26: KULIAH UMUM MEMBANGUN DAN … · bangunan-bangunan masjid dan upacara-upacara tradisi keagamaan (Wiryomartono, 1995). Pada konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban

Metodologi Penelitian

Semarang, 27 Februari 2009

26