Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Liem Pamela Lukito
NIM: 13.70.0014
Kelompok: E3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. ALAT DAN BAHAN
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, dan peralatan
gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N dan
1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 440%, 50%, dan 60%.
1.2. METODE
1.2.1. Demineralisasi
1
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan
ditimbang
2
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan
10:1
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan diaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24
jam
3
1.2.2. Deproteinasi
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan
perbandingan 6:1
Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama
24 jam dan dihasilkan chitin
4
1.2.3. Deasetilasi
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu
90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%
dengan perbandingan 20:1
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan percobaan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan
Kel PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
E1HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%26,32 28,57 32
E2HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%37,93 27,78 17,23
E3HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH
50%23,53 30,77 28,89
E4HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH
50%35 18,18 15,33
E5HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +
NaOH 60%29,17 25 42,5
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, dapat dilihat bahwa perlakuan asam dan
basa dengan konsentrasi yang berbeda mempengaruhi rendemen kitin dan kitosan yang
dihasilkan. Secara garis besar, semakin tinggi konsentrasi asam dan basa yang
digunakan maka rendemen yang dihasilkan cenderung lebih sedikit. Selain itu jika
dicermati lebih jauh lagi, presentase berat rendemen kitin I cenderung lebih besar
daripada presentase berat rendemen kitin II dan kitosan.
5
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan proses pembuatan kitin dan kitosan dari limbah
crustaceans di mana dihasilkan value-added by product yang diamati karakteristik
rendemennya. Menurut Dutta et al. (2004) limbah udang (termasuk crustaceans)
memiliki kandungan protein dan mineral tinggi, provitamin A berupa astaxanthin yang
berguna untuk memberi warna. Rochima (2005) menyatakan bahwa limbah crustacea
memiliki kandungan kitin yang tinggi, yaitu 20-60%. Dutta et al. (2004) lebih
menjelaskan lagi bahwa di dalam limbah udang terdapat kitin sebanyak 30% dari berat
kering. Kitin dan kitosan merupakan salah satu usaha untuk memanfaatkan limbah
sehingga dihasilkan produk yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, di mana menurut
Uno et al. (2012) kitin adalah polisakarida yang terdiri dari unit N-asetil-D-glukosamin
yang saling berikatan melalui ikatan β (1, 4). Sedangkan kitosan adalah produk turunan
dari hasil deasetilasi kitin yang banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang, seperti
farmasi, kosmetik dan pangan. Wang et al. (2010) menambahkan bahwa sifat dari kitin
adalah berwarna putih dengan tekstur keras sehingga tidak elastis, memiliki kandungan
nitrogen. Biasanya kitin dapat ditemukan dalam kulit udang. Sedangkan menurut
Suhardi dan Sudarmanto (1992) kitosan memiliki sifat tidak toksik dan biodegradable
di mana ia bisa diuraikan dengan mudah sehingga banyak sekali aplikasinya dalam
berbagai bidang industri.
Pada praktikum kali ini digunakan limbah udang yang merupakan salah satu dari
curstacea yang memiliki kandungan kitin yang tinggi. Menurut Prasetyo (2006) di
dalam kulit udang terdapat 25-40% protein, 45-50% kalsium karbonat, dan 15-20%
kitin yang besarnya kandungan komponen tersebut tergantung jenis udang dan habitat
hidup udang tersebut. Pada jenis crustacea kitin berada dalam bentuk berikatan dengan
senyawa lain, seperti protein, garam organik (CaCO3) dan pigmen.
Metode yang dilakukan meliputi demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi kitin
menjadi kitosan. Hal ini sesuai dengan Mizani dan Mahmood (2007) dan Tarafdar serta
Abhrajyoti dan Gargi (2013) bahwa dalam proses pembuatan kitin diakukan ekstraksi
limbah kulit udang melalui 2 tahapan yaitu demineralisasi dengan melibatkan asam,
deproteinasi dengan melibatkan basa. Proses demineralisasi diawali dengan limbah
6
7
udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian dicuci lagi dengan air
panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Pencucian limbah udang dilakukan
untuk memisahkan zat pengotor yang ada sehingga limbah menjadi semakin murni.
Pencucian kedua dilakukan untuk menghilangkan bahan-bahan larut air. Namun
pencucian tidak akan menghilangkan kitin karena kitin memiliki sifat tidak larut air
(Bastaman, 1989). Pengeringan dilakukan pula untuk menurunkan kadar air dari limbah
udang sehingga diperoleh bahan yang kering dan mudah dihancurkan. Lalu dihancurkan
hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan. Menurut Prasetyo (2006) proses
penghancuran yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan bahan
sehingga ekstraksi dapat berjalan optimal sebagai akibat dari kontak permukaan dengan
pelarut ekstraksi yang semakin meningkat. Pengayakan juga merupakan salah satu
usaha untuk memperkecil ukuran partikel sehingga luas permukaan meningkat dan
proses ekstraksi menjadi lebih mudah.
Selanjutnya dicampur dengan HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N dengan perbandingan 10:1.
Variasi konsentrasi asam yang digunakan ditujukan supaya diketahui pengaruh
konsentrasi asam yang berbeda terhadap hasil rendemen kitin. Menurut Trung et al.
(2006) dalam Yateendra et al. (2012) penambahan larutan HCl dimaksudkan supaya
mineral yang terikat pada kitin seperti garam organik dan kalsium karbonat dapat
dihilangkan. Kalsium karbonat akan bereaksi dengan asam klorida membentuk kalsium
klorida, asam karbonat dan juga asam fosfat yang larut dalam air, sehingga rendemen
kitin yang dihasilkan lebih murni. Hasil yang diinginkan dari proses tersebut adalah
hilangnya semua mineral yang ada pada kitin. Oleh karena itu digunakan HCl yang
banyak (10:1). Austin et al. (1981) menambahkan juga bahwa mineral pada kitin, yaitu
kalsium karbonat cenderung lebih mudah dipisahkan dengan menggunakan asam
klorida, di mana asam tersebut selanjutnya dianggap efektif untuk menghilangkan
mineral. Namun efek samping dari pengunaan HCl adalah kitin mengalami
depolimerisasi. Lalu dipanaskan pada suhu 80⁰C dan setelah mencapai suhu tersebut
baru dilakukan pengadukan selama 1 jam. Puspawati et al. (2010) menambahkan pula
bahwa proses pengadukan dapat membuat larutan asam bereaksi dengan garam mineral
yang ada pada kitin. Sedangkan pemanasan dapat memaksimalkan proses pemisahan
atau penghilangan mineral dari kitin. Tanda-tanda ketika mineral sudah terpisah dari
8
kitin adalah terbentuknya gas karbon dioksida yang ditandai dengan gelembung udara,
saat HCl dituangkan ke dalam sampel dan terjadi reaksi antara kalsium karbonat dengan
HCl. Oleh karena itu juga dilakukan pengadukkan bersamaan dengan pemanasan
supaya bahan tidak terlalu meluap-luap (akibat gelembung) saat dipanaskan. Selain itu
pengadukan bersamaan dengan pemanasan bertujuan untuk lebih mencampurkan atau
menghomogenkan larutan dan meningkatkan kontak area HCl dengan mineral.
Setelah itu hasil yang diperoleh dicuci dengan mengunakan kain saring sampai pH
netral dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 90ºC selama 1 malam. Menurut
Bastaman (1989) proses penyaringan bersamaan dengan proses penetralan pH
digunakan untuk menghilangkan mineral pada kitin yang pada dasarnya larut air
sehingga didapatkan kitin murni dan untuk mengcegah degradasi dari kitin selama
proses pengeringan (Austin, 1981). Winarno et al. (1980) menyatakan bahwa
dilakukannya pengeringan di dalam oven bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam
bahan sehingga diperoleh rendemen dalam bentuk kering. Namun di dalam pengeringan
sendiri ada beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti suhu, luas permukaan, aliran
udara dan tekanan udara.
Tahap kedua adalah deproteinasi yang menurut Hagono dan Djaeni (2008) bertujuan
untuk memisahkan protein dari limbah kulit udang halus didasarkan pada fakta bahwa
kandungan protein dalam limbah kulit udang masih berkisar 30% (cukup tinggi).
Deproteinsasi dilakukan setelah demineralisasi karena mineral memberi bentuk yang
keras pada kulit udang dan struktur mineral lebih keras daripada protein, sehingga
apabila mineral sudah dihilangkan terlebih dahulu maka proses deproteinasi akan
berjalan optimal. Selain itu isolasi kitin dengan tahapan proses demineralisasi-
deproteinasi akan menghasilkan rendemen kitin yang cenderung lebih besar daripada
tahapan deproteinasi-demineralisasi. Hasil dari proses demineralisasi dicampur dengan
NaOH 3,5% dengan perbanidngan 6:1. Menurut Rogers (1986) dan Rochima (2005)
digunakannya larutan basa, yaitu NaOH bertujuan untuk menghilangkan protein dalam
kitin sehingga kitin dapat diolah lebih lanjut menjadi kitosan. Ion Na+ dari NaOH akan
bereaksi dengan ujung rantai protein (muatan negatif) dan menghasilkan endapan.
Kemudian diaduk selama 1 jam setelah suhu mencapai 70⁰C. Menurut No (1989)
9
pemanasan dan pengadukan dilakukan untuk menghilangkan protein yang ada dalam
limbah udang. Selanjutnya larutan disaring menggunakan kain saring bersamaan dengan
penetralan pH dengan cara mencuci. Tujuan proses tersebut dengan yang dilakukan
pada proses demineralisasi sama. Selain itu menurut Rogers (1986) penetralan pH akan
berakibat pada sifat penggembungan kitin dengan adanya alkali. Setelah itu dikeringkan
lagi di dalam oven dengan suhu 90ºC selama 1 malam dan dihasilkan kitin.
Selanjutnya proses terakhir adalah pembuatan kitosan dari deasetilasi kitin
menggunakan basa. Menurut Ramadhan et al. (2010) deasetilasi yang dimaksud adalah
proses peerubahan gugus asetil atau asetamida yang ada dalam kitin menjadi amina
pada kitosan. Derajat deasetilasi adalah banyaknya kandungan gugus asetil pada
kitosan, di mana derajat ini menentukan mutu dari kitosan. Knorr (1984) menambahkan
bahwa kitosan yang baik memiliki karakteristik derajat deasetilasi yang tinggi, dimana
presentase kehilangan gugus asetil tinggi sehingga kandungan gugus asetil dalam
kitosan rendah yang mengakibatkan interaksi ion-ion dan ikatan hidrogen bertambah
kuat.
Basa yang digunakan adalah NaOH 40%,50%dan 60% dengan perbandingan 20:1.
Variasi konsentrasi basa yang digunakan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya
terhadap rendemen kitosan yang dihasilkan, di mana menurut Martinou dan Bouriotis
(1995) semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka struktur kitin menjadi
lebih renggang sehingga enzim akan keluar untuk mendeasetilasi polimer kitin menjadi
kitosan. Menurut Bastaman (1989) deasetilasi kitin dapat dilakukan dengan destilasi
balik kitin mengunakan larutan basa NaOH 50% dengan perbandingan antara larutan
basa dan padatan 20:1.
Kemudian kitin dipanaskan hingga 90ºC dan diaduk selama 1 jam. Aplikasi panas
bersamaan dengan adanya NaOH ini mmenurut Hirano (1989) bertujuan untuk
memperoleh kitosan dari hasil deasetilasi kitin. Puspawati et al. (2010) menambahkan
bahwa pemanasan juga bertujuan untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan.
Anshar P (2013) menyatakan juga bahwa temperatur yang tinggi menyebabkan
depolimerisasi rantai molekul kitosan sehingga berat molekulnya menurun. Menurut
10
Islam M. Md et al. (2011) derajat deasetilasi ini sangat penting dalam menentukan
kelarutan, reaktivitas kimiawi, dan biodegradability. Namun seringkali jarang dijumpai
kitosan dengan derajat deasetilasi 100%. Abhrajyoti dan Gargi (2013) menambahkan
bahwa derajat deasetilasi juga menentukan kemampuan aktivitas antimikroba yang
dimiiliki kitosan, yaitu kitosan lebih dapat menghambat bakteri gram negatif
dibandingkan gram positif. Pengadukan sendiri bertujuan untuk meningkatkan kontak
antara kitin dengan NaOH sehingga proses perubahan menjadi kitosan semakin optimal.
Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan kain saring sambil dicuci sampai pH netral.
Penyaringan dilakukan supaya rendemen kitosan dapat dipisahkan dari bahan lainnya.
Selanjutnya dioven pada suhu 90ºC selama 1 malam dan dihasilkan kitosan. Menurut
Ramadhan et al. (2010) rendemen kitosan yang dihasilkan adalah serbuk berwarna putih
kekuningan. Yateendra et al. (2012) menambahkan bahwa setelah kitosan dihasilkan
dari proses deasetilasi, maka kitosan dapat lebih dimurnikan kembali dengan
menghilangkan bahan-bahan tidak larut dengan filtrasi, mengendapkan kembali kitosan
dengan NaOH 1 N dan demetalisasi dari kitosan.
3.1. Hasil Pengamatan
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh rendemen kitin I cenderung mengalami
penurunan presentase berat seiring dengan peningkatan konsentrasi asam HCl yang
digunakan. Hal ini sudah sesuai dengan pernyataan Supitjah (2004) bahwa semakin
tinggi konsentrasi larutan asam yang digunakan maka berat rendemen kitin yang
dihasilkan akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan mineral dalam konsentrasi HCl yang
rendah belum terlalu banyak terlarut sehingga rendemen yang dihasilkan lebih banyak.
Aplikasi penambahan asam konsentrasi tinggi dengan waktu pengadukan dan
pemanasan yang lama berakibat pada ikatan kitin dengan protein dan mineral yang
semakin renggang sehingga berat akan berkurang.
Selain itu penggunaan konsentrasi NaOH dalam proses deproteinasi yang semakin
tinggi menunjukkan penurunan presentase berat rendemen kitin II. Hal ini sesuai dengan
teori Supitjah (2004) bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH yang digunakan
disertai dengan pemanasan yang tinggi maka presentase berat rendemen akan semakin
menurun. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan kemampuan pemisahan kitin
11
dari protein sehingga sebagian protein tidak terikat lagi pada kitin. Selain itu dapat
dilihat bahwa rendemen kitin dari proses demineralisasi cenderung lebih tinggi daripada
rendemen kitin dari proses deproteinasi. Hal ini menurut Puspawati et al. (2010)
diakibatkan karena pada rendemen hasil demineralisasi, masih ada protein yang melekat
di kitin sehingga meningkatkan berat rendemennya.
Selanjutnya penggunaan NaOH dengan konsentrasi 50% pada proses deasetilasi
menghasilkan rendemen kitosan yang lebih rendah daripada penggunaan NaOH
konsentrasi 40%. Namun penggunaan NaOH dengan konsentrasi 60% menghasilkan
rendemen kitosan yang paling tinggi, yaitu sebesar 42,5%. Menurut Hwang et al. (1997)
adanya NaOH dengan konsentrasi yang semakin tinggi akan menurunkan rendemen
kitosan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena adanya depolimerisasi rantai
molekul kitosan sehingga berat molekulnya menurun juga (Anshar P., 2013). Selain itu
Hong et al. (1989) juga sependapat dengan menyatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi NaOH yang digunakan dalam deasetilasi ini maka akan semakin
mendegradasi struktur kitin (gugus asetil lepas) sehingga rendemen kitosan semakin
rendah. Jika ditinjau dari presentase rendemen kitosan terhadap rendemen kitin I dan
rendemen kitin II maka akan diperoleh hasil presentase rendemen kitosan yang
cenderung lebih kecil daripada rendemen kitin I dan kitin II. Hal ini disebabkan karena
adanya mineral, protein dan gugus asetil yang hilang seiring dengan proses yang
dilakukan sehingga beratnya semakin menurun. Mutu dari kitosan yang terbentuk
ditentukan oleh derajat deasetilasinya, di mana derajat deasetilasi ditentukan oleh jenis
dan kualitas bahan dasar yang digunakan serta kondisi proses yang digunakan (Suhardi
dan Sudarmanto, 1992). Ketika derakat deastilasi tinggi maka semakin rendah gugus
asetil di dalam kitosan sehingga interaksi ion dengan ikatan hidrogen dalam kitosan
semakin meningkat (Winarti et al., 2008 dalam Anshar P., 2013)
Selain itu dilakukan peninjauan dari parameter warna kitin dan kitosan yang terbentuk.
Beberapa sampel kitin memiliki warna putih kekuningan, namun ada juga yang
berwarna kecoklatan. Menurut Emma et al. (2010) warna dari kitin yang dihasilkan dari
proses demineralisasi dan deproteinasi ini akan menunjukkan tanda-tanda kehilangan
warna dari merah oranye menjadi warna putih kekuningan. Wang et al. (2010)
12
menambahkan bahwa sifat dari kitin adalah berwarna putih dengan tekstur keras
sehingga tidak elastis, memiliki kandungan nitrogen. Sedangkan warna dari kitosan
yang terbentuk adalah putih kekuningan. Hal ini sudah sesuai dengan teori Sugita
(2009) bahwa kitosan merupakan padatan amorf yang memiliki karakteristik berwarna
putih kekuningan.
Ketidaksesuaian yang terjadi dikarenakan proses pencucian dan penimbangan berat
yang tidak benar, masih tertinggalnya sisa residu di kain saring. Adanya pengeringan
yang tidak merata sempurna juga merupakan salah satu faktor yang penting dalam
pembuatan kitin dan kitosan. Menurut Winarno et al. (1980) faktor-faktor yang
menentukan efektivitas pengeringan adalah suhu, tekanan udara, aliran udara dan luas
kontak bahan dengan udara.
3.2. Aplikasi Kitin dan Kitosan dalam Bidang Industri
Menurut Robert (1992) kitosan adalah produk biopolimer alam yang reaktif sehingga
mampu mengadakan perubahan-perubahan kimia. Kitosan ternyata dapat bermanfaat
sebagai penggumpal ion logam, pengkelat ion logam. Selain itu pada industri tekstil
pasta kitosan digunakan untuk substitusi ”malam” atau wax dalam pembatikan. Industri
fotografi ternyata memanfaatkan penambahan tembaga kitosan untuk meningkatkan
mutu film yang dihasilkan, yaitu peningkatan fotosensitivitasnya. Di dalam bidang
kesehatan dan kedokteran, kitin dan kitosan berperan dalam mempercepat penyembuhan
luka bakar, bahan baku garam glukosamin dan sebagai dietary fiber yang berfungsi
untuk melancarkan BAB. Selanjutnya pada industri Fungisida, kitosan dengan
konsentrasi 0,4% dapat menghilangkan virus tobacco mozaik pada tomat. Pada industri
kosmetik, shampoo dan lotion sudah menggunakan garam kitosan dengan kelebihan
membuat rambut berkilau sebagai akibat dari interaksi antara polimer kitosan dengan
protein rambut.
Kemudian tidak kalah pentingnya adalah pmanfaatannya dalam industri pangan, yaitu
mikrokristalin kitin digunakan sebagai bahan pengembang roti tawar, pengental dan
pengemulsi yang baik daripada mikrokristalin selulosa. Selain itu kitin dapat
meningkatkan cita rasa ketika ada pemanasan yang menghasilkan pyrazine. Kitosan
13
dapat bereaksi dengan asam sehingga dapat menurunkan kadar asam pada buah, sayur
dan ekstrak kopi. Kitosan juga sudah terbukti mampu menjernihkan jus apel lebih baik
daripada penggunaan bentonite dan gelatin. Dalam industri pengolahan limbah, kitosan
dimanfaatkan untuk menggumpalkan limbah dengan protein yang tinggi yang
selanjutnya dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Kemudian dalam pengolahan limbah
cair, kitosan digunakan untuk agen pengkelat yang mampu menyerap logam toksin
seperti mercuri, tembaga, pluranium, uranium dan timah dan dapat mengikat zat warna
tekstil dalam air limbah (Krissetiana, H., 2004).
Cahyaningrum et al. (2007) juga menambahkan bahwa kitosan mampu berperan dalam
menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena adanya enzim lysosim dan gugus
aminopolisakarida dalam kitosan. Kemampuan antimikroba dari kitosan ditentukan oleh
konsentrasi pelarut kitosan. Kitosan mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan
kapang (Liman et al., 2011). Abhrajyoti dan Gargi (2013) menambahkan bahwa sifat
antibakteri dan antifungal dari kitosan dapat diterapkan sebagai biofertilizer dan
biopesticides. Entsar et al. (2012) berpendapat bahwa kitosan bermuatan positif mampu
mengikat permukaan sel bakteri dan mengganggu fungsi dari membran dengan cara
membocorkan kompone intraseluler atau menghambat transfer nutrien ke dalam sel.
Selain itu pertumbuhan mikroba dapat dihambat dengan kitosan karena kitosan mampu
mengkelat nutrien dan logam esensial bagi bakteri. Berdasarkan paparan di atas Entsar
et al. (2012) menyampaikan bahwa kitosan berpotensi sebagai edible coating
didasarkan pada perannya yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang mungkin
tumbuh dalam makanan.
Selain itu kitosan mampu berperan sebagai antioksidan yang dapat digunakan sebagai
bahan tambahan alami yang dapat menggantikan bahan tambahan sintetik di kemudian
hari. Islam M.Md et al. (2011) menambahkan bahwa sifat kitosan yang termasuk bahan
biocompability, biodegradability, non-toxic, dapat membentuk film, pengkelat,
penyerap dan berperan dalam aktivitas antimikroba maka pemanfaatan kitosan semakin
tinggi. Sifat fungsional yang dimiliki kitosan sendiri dipengaruhi oleh viskositas atau
berat molekulnya, di mana kitosan dengan berat molekul lebih tinggi dapat digunakan
untuk pengawet makanan daripada kitosan dengan berat molekul yang lebih rendah.
4. KESIMPULAN
Kulit udang merupakan salah satu limbah curstacea yang memiliki kandungan kitin
yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kitin dan kitosan.
Kitin adalah polisakarida yang terdiri dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling
berikatan melalui ikatan β (1, 4).
Sifat dari kitin adalah berwarna putih dengan tekstur keras sehingga tidak elastis,
memiliki kandungan nitrogen
Kitosan adalah produk turunan dari hasil deasetilasi kitin yang berbentuk padatan
amorf dan berwarna putih kekuningan.
Tahapan pembuatan kitin dan kitosan adalah demineralisasi, deproteinasi dan
deasetilasi kitin menjadi kitosan.
Pada tahap demineralisasi dilakukan penambahan HCl yang berfungsi untuk
menghilangkan mineral dari kulit udang.
Pada tahap deproteinasi dilakukan penambahan NaOH yang berfungsi untuk
melepaskan ikatan protein dengan kitin.
Pada tahap deasetilasi dilakukan penambahan NaOH yang berfungsi untuk
merenggangkan kitin sehingga enzim akan tersekresi dan mereduksi gugus asetil
pada kitin.
Semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH yang ditambahkan akan menghasilkan
presentase berat rendemen yang semakin rendah.
Presentase berat rendemen proses demineralisasi lebih tinggi dari pada proses
deproteinasi.
Kitin dan kitosan bermanfaat dalam berbagai bidang industri, mulai dari tekstil,
fotografi, pangan hingga pengolahan limbah.
14
Semarang, 29 Oktober 2015
Liem, Pamela Lukito13.70.0014
Asisten Dosen:Tjan, Ivana Chandra
5. DAFTAR PUSTAKA
Abhrajyoti T., Gargi B. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and Examination of its Viable Commercial Applications. International Journal on Theoretical and Applied Research in Mechanical Engineering. Volume 2 Issue 3.
Anshar Patria. (2013). Production and Characterization of Chitosan from Shrimp Shells Waste. International Journal of The Bioflux Society. Volume 6, Issue 4.
Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of research. Science, 212(4496), 749–753.
Bastaman, S., (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shell. The Queen’s University of Befast. England.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.
Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.
Emma, S., Soeseno, N., Adiarto, T., 2010. Sintesis Kitosan, Poli (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), Skala Pilot Project dari Limbah Udang sebagai Bahan Baku Alternatif Pembuatan Biopolimer, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia.
Entsar S.A., Osheba. A.S., M.A.Sorour. (2012) Effect of Chitosan and Chitosan-Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics of Fish Fingers. International Journal of Applied Science and Technology. Vol.2 No.7; August 2012.
Hargono; dan M. Djaeni (2008). Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing.Kitosan dan Glukosamin”. LIPI kawasan PUSPITEK, Serpong.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
15
16
Hwang J., S. Hong dan C. Kim. (1997). Effect of molecular weight and NaCl concentration on dilute solution properties of chitosan. J. Food Sci. Nutr., 2:1-5
Islam Monarul, Shah Masum, M. Mahbubur R., Md Ashraful Islam Molla, A.A. Shaikh, S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrim Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences. Vol 11 No: 01.
Knorr, D. (1984). Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85
Krissetiana, H. (2004). Kitin dan Kitosan dari Limbah Udang. Suara Merdeka. (http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/31/ragam4.htm). Diakses tanggal 29 Oktober 2015.
Limam, Zouhour., Salah Selmi., Saloua Sadok., & Amor El Abed. (2011). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from Crustacean by-Products : Biological and Physicochemical Properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by Enzymatic Means.
Mizani, Maryam dan Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceeding of European Congress of Cjemical Engineering. Copenhagen.
No., H.K., (1989). Isolation and Characterization of Chitin from Craw Fish Shell Waste. Vol. 37 No. 3. Agriculture and Food Chemistry.
Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Ramadhan, L.O.A.N.; C. L. Radiman; D.Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; and S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol. 5 (1), 2010, h. 17-21.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
17
Rochima, Emma. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon Jawa Barat.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Sugita, P., (2009), Kitosan : Sumber Biomaterial Masa Depan, IPB Press, Bogor
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian. BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualistas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.
Uno, K., Higashimoto, Y., Chaweepack, T., and Ruangpan,L. (2012). Effect of Chitin Extraction Processes on Residual Antimicrobials in Shrimp Shells. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 12: 89-94 (2012).
Wang, Zhengke; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010, Article ID 369759, 7 pages.
Winarno, F.G.; S. Fardiaz; dan D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta.
Yateendra S.P., Saikishore V., Sudheshnababu S. (2012). International Current Pharmaceutical Journal. 1(9): 258-263.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Kelompok E1
Rendemen kitin I
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 519
×100 %=26,32 %
Rendemen kitin II
18
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 27
×100 %=28,57 %
Rendemen kitin III
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 1,765,5
×100 %=32 %
Kelompok E2
Rendemen kitin I
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 5,514,5
×100 %=37,93 %
Rendemen kitin II
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 2,59
×100 %=27,78 %
Rendemen kitin III
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 1,126,5
×100 %=17,23 %
Kelompok E3
Rendemen kitin I
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 417
×100 %=23,53 %
Rendemen kitin II
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
19
¿ 26,5
×100 %=30,77 %
Rendemen kitin III
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 1,34,5
× 100%=28,89 %
Kelompok E4
Rendemen kitin I
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 3,510
×100 %=35 %
Rendemen kitin II
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 211
×100 %=18,18 %
Rendemen kitin III
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 0,231,5
×100 %=15,33 %
Kelompok E5
Rendemen kitin I
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 3,512
×100 %=29,17 %
Rendemen kitin II
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 28
×100 %=25 %
20
Rendemen kitin III
¿ berat keringberat basah I
× 100 %
¿ 0,852
×100 %=42,5 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
Recommended