BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I. TRAUMA PADA MATA
Trauma mata sering merupakan penyebab kebutaan unilateral pada anak dan dewasa
muda; kelompok usia ini mengalami sebagian besar trauma mata yang parah. Dewasa muda,
terutama pria, merupakan kelompok yang kemungkinan besar mengalami trauma tembus
mata. Kecelakaan di tempat kerja, kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan aki, cedera
akibat olah raga, dan kecelakaan lalu lintas merupakan keadaan-keadaan yang paling sering
menyebabkan trauma pada mata. Saat ini trauma mata akibat tembakan paintball meningkat.
Penggunaan seat belt saat mengendarai mobil telah menurunkan angka kejadian trauma mata
akibat benturan kaca depan mobil saat kecelakaan. Trauma mata yang berat dapat
menyebabkan gangguan multipel pada kelopak mata, bola mata dan jaringan lunak.
Trauma pada mata akan mengakibatkan kerusakan mata serta menyebabkan
timbulnya penyulit yang dapat menyebabkan menurunnya fungsi penglihatan. Trauma pada
mata dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya trauma tumpul, trauma tembus bola
mata, trauma kimia serta trauma radiasi.
Trauma dapat terjadi pada spektrum yang luas dari mata, yaitu bola mata, nervus
optikus, dan adneksa. Kesemuanya dapat menyebabkan kelainan penampilan mata maupun
tajam penglihatan mulai dari yang ringan sampai berat.
Diagnosa yang sering digunakan pada praktik klinis:
1
Klasifikasi
Klasifikasi trauma okuler dilakukan berdasarkan penampakan jejas pada mata pada
pemeriksaan awal. Terdapat empat sistem yang dijadikan sebagai parameter untuk
mengkategorikan trauma, yaitu:
1. Tipe, berdasarkan mekanisme trauma. Tipe trauma ditentukan berdasarkan riwayat
pasien atau saksi di sekitar tempat kejadian. Jika pasien tidak sadar, penentuan tipe
dilakukan berdasarkan pemeriksaan klinis.
2. Derajat, berdasarkan pengukuran tajam penglihatan (visus) yang dilakukan pada
pemeriksaan awal. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan kartu Snellen
atau Rosenbaum di dekat kartu pada pasien yang menggunakan koreksi lensa.
Pemeriksaan dengan menggunakan pinhole juga penting pada penentuan derajat trauma.
3. Ada atau tidaknya relative afferent pupillary defect (RAPD) dengan memeriksa
refleks cahaya konsensual pada mata yang terjejas dengan menggunakan flashlight.
Adanya RAPD menunjukkan adanya aberansi nervus optikus dan/atau fungsi retina.
4. Zona jejas, yaitu lokasi luka pada cedera mata terbuka atau bagian paling posterior yang
terkena jejas pada cedera mata tertutup.
Klasifikasi cedera mata terbuka Klasifikasi cedera mata tertutup
Tipe
A. Ruptur
B. Penetrasi
C. Benda asing intraokular
D. Perforasi
E. Campuran
Tipe
A. Kontusio
B. Laserasi lamelar
C. Benda asing siperfisial
D. Cammpuran
Derajat (tajam penglihatan)
A. ≥ 20/40
B. 20/50 sampai 20/100
C. 19/100 sampai 5/200
D. 4/200 sampai persepsi cahaya
E. Tidak ada persepsi cahaya
Derajat (tajam penglihatan)
A. ≥ 20/40
B. 20/50 sampai 20/100
C. 19/100 sampai 5/200
D. 4/200 sampai persepsi cahaya
E. Tidak ada persepsi cahaya
Pupil
A. Positif, RAPD pada mata yang terjejas
B. Negatif, RAPD pada mata yang
terjejas
Pupil
A. Positif, RAPD pada mata yang terjejas
B. Negatif, RAPD pada mata yang terjejas
Zona Zona
2
I. Kornea dan limbus
II. Limbus sampai 5 mm posterior ke
sklera
III. Lebih dari 5 mm dari limbus sampai
ke posterior
I. Eksternal (terbatas pada konjungtiva
bulbi, sklera, kornea)
II. Segmen anterior (termasuk struktur
pada segmen anterior dan pars plicata)
III. Segmen posterior (seluruh struktur
internal posterior sampai kapsula
lensa posterior)
Klasifikasi trauma pada mata berdasar mekanisme:
Trauma mekanik
o Trauma pada palpebra
o Trauma pada sistem lakrimalis
o Laserasi konjungtiva
o Benda asing di kornea dan konjungtiva
o Laserasi kornea
o Trauma non-penetratif (trauma tumpul)
o Cedera ke dasar orbita (fraktur blowout)
o Trauma tembus (cedera bola mata terbuka)
o Cedera tombakan pada mata
Trauma kimia
o Trauma kimia asam
o Trauma kimia basa
Trauma fisika
o Trauma bakar
o Trauma radiasi
o Keratokonjungtivitis ultraviolet
Trauma tak langsung: angiopati retina traumatik transien (retinopati Purtscher)
Diagnosis
1. Anamnesis
Mekanisme trauma harus ditanyakan dengan detail dan lengkap
o Bentuk dan ukuran benda penyebab trauma.
o Asal dari objek penyebab trauma.
3
o Kemungkinan adanya benda asing pada bola mata dan atau pada orbita.
o Kemungkinan terjadinya trauma pada lokasi pembangunan atau pengolah
metal harus ditanyakan untuk mengarah kepada benda intraokular metal.
o Benda asing organik yang dapat menimbulkan infeksi.
Keadaan saat terjadinya trauma
o Waktu pasti terjadinya trauma.
o Lokasi terjadinya trauma.
o Penggunaan kacamata koreksi atau pelindung.
o Aksesoris mata yang dapat melindungi atau berkontribusi pada trauma
akut.
o Keadaan miopia berat menyebabkan mata lebih rentan terhadap trauna
kompresi anterior-posterior.
Riwayat medis
o Riwayat mata
Operasi mata sebelumnya, dapat membuat jaringan lebih mudah
ruptur.
Penglihatan sebelum terjadinya trauma pada kedua mata.
Penyakit mata yang ada.
Medikasi yang sedang dijalani termasuk obat tetes mata dan alergi.
o Status tetanus
Gejala
o Nyeri
Nyeri dapat tersamar bila pasien memiliki trauma lain.
Nyeri dapat tidak langsung berat pada trauma tajam, baik dengan
atau tanpa benda asing.
o Penglihatan secara umum berkurang jauh
o Diplopia
Dapat terjadi akibat terjepitnya atau disfungsi otot ekstraokular
akibat trauma pada tulang orbita.
Akibat truma saraf kranial pada cedera kepala.
Monokular diplopia akibat dari dislokasi atau subluksasi lensa.
2. Pemeriksaan fisik
4
o Pemeriksaan segmen posterior mungkin sulit dilakukan karena trauma
yang terjadi dapat menghalangi pemeriksaan segmen posterior.
o Pemeriksaan harus dilakukan dengan sistematis dengan tujuan
mengidentifikasi dan melindungi mata.
o Hindari kerusakan lebih lanjut dan minimalisasi kemungkinan ekstrusi
intraokular.
Ketajaman penglihatan dan gerakan bola mata, sangat penting untuk dinilai
o Tentukan ketajaman penglihatan seakurat mungkin pada masing-masing
mata.
o Periksa pergerakan bola mata, bila terganggu harus dievaluasi apakah
terjadi fraktur pada lantai orbita.
Orbita
o Periksa adanya deformitas tulang, benda asing, dan dislokasi bola mata.
o Benda asing pada mata yang tertanam atau bila terjadi perforasi harus
dijaga hingga dilakukan pembedahan.
Palpebra
o Pelpebra dan trauma kelenjar lakrimal dapat menunjukan adanya trauma
yang dalam pada mata.
o Laserasi pada palpebra dapat menyebabkan perforasi bola mata.
o Perbaikan palpebra ditunda hingga trauma bola mata ditentukan
penyebabnya.
Konjungtiva
o Laserasi konjungtiva dapat terjadi pada kerusakan sklera yang serius.
o Perdarahan konjungtiva yang berat dapat mengindikasikan ruptur bola
mata.
Kornea dan sklera
o Laserasi kornea penuh atau yang melibatkan sklera merupakan bagian dari
ruptur bola mata dan harus diperbaiki di kamar operasi.
o Dapat terjadi prolapse iris pada laserasi kornea penuh.
o Tekanan bola mata umumnya rendah, namun pengukuran merupakan
kontraindikasi untuk menghindari penekanan pada bola mata.
Pupil
5
o Periksa bentuk, ukuran, refleks cahaya, dan afferent pupillary defect
(APD).
o Bentuk lancip, tetesan air, atau ireguler bisa terjadi pada ruptur bola mata.
Segmen anterior
o Pada pemeriksaan dengan lampu sliIt, bisa ditemukan defek pada iris,
laserasi kornea, prolaps iris, hifema, dan kerusakan lensa.
o Bilik mata depan dangkal dapat menjadi tanda ruptur bola mata dengan
prognosis yang buruk.
o Pada ruptur posterior dapat ditemukan bilik mata depan dalam pada
ekstrusi vitreous pada segmen posterior.
Temuan lain
o Perdarahan viteous setelah trauma menunjukan adanya robekan retina atau
koroid, avulsi saraf optikus, atau adanya benda asing.
o Robekan retina, edema, ablasio, dan hemoragi dapat terjadi pada ruptur
bola mata.
Pemeriksaan Penunjang
o Foto polos orbita dapat berguna untuk mengevaluasi tulang orbita, sinus paranasal
dan mengidentifikasi benda asing radioopak. Proyeksi waters menampilkan
gambaran yang paling baik dari dasar orbita dan mendeteksi air-fluid level pada
sinus maksila. Proyeksi anteroposterior untuk melihat dinding medial orbita, dan
proyeksi lateral untuk visualisasi atap orbita, sinus maksila dan frontal, zygoma
dan sella tursika.
o CT Scan untuk evaluasi struktur intraokuler dan periorbita, deteksi adanya benda
asing intraokuler metalik dan menentukan terdapatnya atau derajat kerusakan
periokuler, keikutsertaan trauma intrakranial misalnya perdarahan subdural.
o MRI sangat baik untuk menilai jaringan lunak dan membantu dalam melokalisasi
benda asing non metalik seperti kayu, yang pada CT Scan tampak sama dengan
jaringan lunak atau udara, tetapi pemeriksaan ini kontraindikasi pada trauma
akibat benda asing yang terbuat dari metal.
6
o USG orbita pada keadaan media refraksi keruh untuk mendapatkan informasi
tentang status dari struktur intraokuler, lokalisasi dari benda asing intraokuler,
deteksi benda asing non metalik, deteksi perdarahan koroid, ruptur sklera
posterior, ablasio retina, dan perdarahan sub retina.
Tatalaksana Awal Trauma Mata
Jaga pasien tetap tenang
Berikan anestesi topikal
Pemberian sikloplegik
Nilai kembali keluhan pasien (nyeri, visus, TIO, dll)
Pasang pelindung mata, hindarkan dari penekanan bola mata
Kompres dingin
Lakukan penanganan tetanus dan mencegah infeksi tetanus dengan injeksi serum
antitetanus (ATS) dan tetanus toksoid (TT)
Berikan antibiotik sistemik inisial, jangan topikal
Puasakan pasien
Rujuk ke dokter spesialis mata untuk operasi repair segera
Alur diagnosis dan tatalaksana trauma mata
7
8
II. TRAUMA TUMPUL
Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang keras atau benda yang tidak
keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun lambat.
Gejala dan Tanda Trauma Tumpul
Hematoma Kelopak
Hematoma palpebra yang merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di
bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palbebra. Hematoma kelopak
merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Bila perdarahan
terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk kacamata hitam yang sedang
dipakai, maka keadaan ini disebut sebagai hematoma kacamata. Hematoma kacamata adalah
keadaan sangat gawat. Hal tersebut dapat terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang
merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya a. Oftalmika maka darah masuk ke
dalam rongga orbita melalui fisura orbita. Akibat darah tidak dapat menjalar lanjut karena
dibatasi septum orbita kelopak mata maka akan terbentuk gambaran hitam pada kelopak
seperti memakai kacamata.
Pada hematoma kelopak dini dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan
perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk memudahkan absorpsi darah
dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata.
Trauma Tumpul Konjungtiva
Edema Konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik pada setiap
kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan
konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip, maka keadaan ini telah dapat
mengakibatkan edema pada konjungtiva. Kemotik Konjungtiva yang berat dapat
mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap
konjungtiva. Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah
pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva.
Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan disisi sehingga cairan konjungtiva
kemotik keluar melalui insisi tersebut.
9
Hematoma Subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat
pada / atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Jika
pembuluh darah di permukaan mata rusak, konjungtiva akan menjadi merah. Perdarahan
superfisial dapat tampak mengkhawatirkan tetapi sebenarnya tidak berarti banyak.
Perdarahan ini dapat sembuh tanpa diterapi. Area yang merah dapat menjadi agak hijau dan
lalu menjadi kuning dalam beberapa hari. Jejak perdarahan biasanya hilang dalam satu atau
dua minggu.
Pecahnya pembuluh darah ini akibat batuk rejan, trauma tumpul basis kranii
(hematoma kaca mata), atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah.
Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah pada usia lanjut, hipertensi, arteriosklerose,
konjungtiva meradang (konjungtivitis), anemia, dan obat-obat tertentu.
Bila pendarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan bahwa tidak
terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang hematoma
subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih buruk seperti perforasi bola mata.
Pemeriksaan funduskopi perlu pada setiap penderita dengan pendarahan subkonjungtiva
akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai dengan
penurunan ketajaman penglihatan dan hematoma subkonjungtiva, maka sebaiknya dilakukan
eksplorasi bola mata untuk mencari adanya kemungkinan bulbus olkuli.
Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva adalah dengan kompres hangat.
Pendarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.
Trauma Tumpul Kornea
Edema Kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat mengakibatkan edema
kornea bahkan ruptur membran Descemet. Edema kornea akan memberikan keluhan
penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang
dilihat. Kornea akan terlihat keruh, dengan uji plasido positif. Edema kornea yang berat dapat
mengakibatkan masuknya sebukan sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma
kornea. Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan
garam hipertonik 2-8%, glukosa 40%, dan larutan albumin.
Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka akan diberikan asetazolamid.
Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan
10
lensa kontak lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan
edema kornea. Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan M. Descemet
yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan rasa
sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat astigmatisme ireguler.
Erosi Kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan
oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal.
Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi
defek epitel tersebut.
Pada erosi pasian akan merasa sakit sekali karena erosi merusak kornea yang
mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi,
fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang keruh. Pada kornea akan
terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi pewarnaan fluoresein akan berwarna hijau.
Pada erosi kornea perlu diperhatikan adanya infeksi yang timbul kemudian.
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa ketajaman penglihatan dan
menghilangkan rasa sakit yang hebat. Hati-hati bila memakai obat anestetik topikal untuk
menhilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karean dapat menambah kerusakan epitel.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk mencegah
infeksi bakteri diberikan antibiotik seperti antibiotik spektrum luas seperti neosporin,
chloramfenikol, dan sulfasetamik tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme
siliar maka diberikan sikloplegik aksi pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih
tertutup bila dibebatkan selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali
setelah 48 jam.
Erosi Kornea Rekuren
Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal, atau tukak
metaherpetik. Epitel yang menutup kornea akan mudah lepas kembali di waktu bangun pagi.
Terjadinya erosi kornea berulang disebabkan epitel tidak dapat bertahan pada defek epitel
kornea. Sukarnya epitel menutupi kornea diakibatkan oleh terjadinya pelepasan membran
basal epitel kornea, tempat duduknya epitel basal kornea. Biasanya membran basal yang
rusak akan kembali normal setelah 6 minggu.
Pengobatan terutama bertujuan melumaskan permukaan kornea sehingga regenerasi
epitel tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea. Pengobatan biasanya
11
dengan memberikan siklopledik untuk menghilangkan rasa sakit ataupun untuk
mengurangkan gejala radang uvea yang mungkin timbul . Antibiotik diberikan dalam bentuk
tetes dan mata ditutup untuk mempercepat tumbuhnya epitel baru dan tumbuhnya infeksi
sekunder. Biasanya bila tidak terjadi infeksi sekunder korne ayng mengenai seluruh
permukaan, maka kornea akan sembuh dalam tiga ahri. Pada erosi kornea tidak diberikan
antibiotik dengan kombinasi steroid.
Pemakaian lensa kontak lunak pada pasien dengan erosi rekuren sangat bermanfaat,
karena dapat mempertahankan epitel berada pada mata dan tidak dipengaruhi oleh kedipan
kelopak mata.
Trauma Tumpul Uvea
Iridoplegia
Trauma tumpul pada uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sfingter pupil atau
iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan sukar melihat dekat
karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil.
Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil
ini tidak bereaksi terhadap sinar. Iridoplegi juga dapat muncul tanpa gangguan akomodasi.
Keadaan ini dapat menyebuh dengan bertahap.
Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu.Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah terjadinya
kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.
Iridodialisis
Iridodialisis merupakan ruptur iris pada pangkalnya, bagian perifernya terlepas dari
prosesus siliaris. Hal ini merupakan akibat dari kontusio, peregangan iris dari dan pada
insersinya. Pasien dengan iridodialisis yang kecil bisa tidak terdapat keluhan. Sedangkan
pasien dengan iridodialisis yang relatif besar, keluhan yang dirasakan pasien umumnya
merasa pandangan ganda monokular, fotofobia, dan terlihat kilatan cahaya.
Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-
sama dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian, maka sebaiknya dilakukan
pembedahan pada pasien dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas. Namun, jika
iridodialisis tidak memberikan keluhan, maka dilakukan tirah baring dan observasi. Mata
yang sakit dapat ditutup untuk mencegah cedera lebih lanjut.
12
Iritis Traumatik
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan iritis
atau iridosiklitis atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat mata merah, akibat
adanya darah di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil yang mengecil
dengan ketajaman penglihatan yang menurun. Iritis biasanya terjadi dengan cepat dan
unilateral. Berikut ini beberapa gejala dan tanda yang dapat ditemui:
Nyeri pada mata yang terkena. Bertambah ketika melihat cahaya terang (fotofobia)
Mata merah
Pupil yang kecil atau iregular
Pandangan kabur
Sakit kepala
Mata berair
Diagnosis iritis dengan melakukan pemeriksaan slit lamp. Pada pemeriksaan slit lamp
dapat ditemukan sel-sel darah putih (kumpulan sel radang) dan flare (partikel protein) pada
cairan aqueous humor.
Pada iritis dapat diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda
radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik. Iritis traumatik biasanya akan
menghilang dalam 1-2 minggu pengobatan.
Hifema
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul yang
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
Pasien akan mengeluh sakit, disertai dengan epifora, dan blefarospasme. Penglihatan
pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk, hifema kan terlihat terkumpul di bagian
bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan.
Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.
Pengobatan dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang ditinggikan 30
derajat pada kepala, diberi koagulasi, dan mata ditutup. Pada anak yang gelisah dapat
diberikan obat penenang. Asetazolamida diberikan bila terjadi penyulit, yaitu glaukoma.
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak berjalan
demikian, maka sebaiknya penderita dirujuk.
13
Parasentesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan pada pasien
dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh
dan berwarna hita, atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang.
Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat terjadi
pendarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih
hebat karena pendarahan akan lebih sukar hilang.
Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar yang mengakibatkan
suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.
Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan
akan menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.
Trauma Tumpul Pada Lensa
Dislokasi Lensa
Trauma tumpul lensa dapat menyebabkan dislokasi lensa. Dislokasi lensa terjadi pada
putusnya zonula Zinn yang akan mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.
Subluksasi Lensa
Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zonula Zinn sehingga lensa
berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita
kelainan pada zonola Zinn yang rapuh (sindrom marfan).
Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan
memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan pada zonula tidak ada
maka lensa yang elastis akan menjadi cembung dan mata akan menjadi lebih myopi. Lensa
yang menjadi sangat cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup.
Bila sudut bilik mata menjadi sempit, pada mata ini mudah terjadi glaukoma sekunder.
Subluksasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut
bilik mata oleh lensa yang mencembung. Bila terjadi penyulit subluksasi lensa, seperti
glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi
yang sesuai.
Luksasi Lensa Anterior
Bila seluruh zonula Zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa dapat
masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak di dalam bilik mata depan, maka
14
akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul glaukoma
kongestif akut dengan gejala-gejalanya.
Pasien akan mengeluh penglihatan turun mendadak disertai rasa sakit yang hebat,
muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea,
lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan
bola mata sangat tinggi.
Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien dikirim pada dokter mata untk
dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan asetazolamida untuk menurunkan
tekanan bola matanya.
Luksasi Lensa Posterior
Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terkjadi luksasi lensa posterior akibat
putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa terjatuh ke dalam
badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli.
Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya akibat lensa
mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien
akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris
tremulans.
Lensa yang terlalu lama pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat
degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi lensa
telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.
Katarak Trauma
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi atau pun tumpul yang
terlihat sesudah beberapa hari ataupun beberapa tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat
katarak subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katrak seperti
bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin
Vossius.
Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan
menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan terbatas kecil.
Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat
disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang bercampur
makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis fakoanafilaktik.
15
Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan
mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin Soemering atau bila epitel lensa
berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elsching.
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak,
sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah
ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau sekunder.
Pada katarak trauma bila tidak terdapat penyulit, maka dapat ditunggu sampai mata
menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya maka
segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang
usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat
mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis
atau salah letak lensa.
Cincin Vossius
Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang disebut sebagai cincin Vossius yang
merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera
setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah
sesuatu trauma, seperti suatu stempel jari. Cincin hanya menunjukkan tanda bahwa mata
tersebut telah mengalami suatu trauma tumpul.
Trauma Tumpul Retina dan Koroid
Edema Retina dan Koroid
Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan akan
sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina yang lebih abu-abu akibat
sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri
retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali daerah makula, sehingga pada kedaan ini
akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga
mengakibatkan edema makula, namun tidak terdapat cherry red spot.
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula atau edema
Berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga fundus okuli berwarna abu-
abu.
Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi
penglihatan dapat berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh sel pigmen epitel.
16
Ablasi Retina
Trauma dapat merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid pada penderita
ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina ini,
seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia, dan proses degenerasi retina lainnya.
Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti tabir
mengganggu lapang pandangannya. Bila terkena atau tertutup daerah makula maka tajam
penglihatan akan menurun.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang brwarna abu-abu dengan
pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat
pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka
secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata.
Trauma Koroid
Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan akibat
ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar
konsentris di sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea, maka tajam
penglihatan akan sangat menurun. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak
sukar dilihat kan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur
berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid.
Trauma Tumpul Saraf Optik
Avulsi Papil Saraf Optik
Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola
ata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya
tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk
untuk menilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.
Optik Neuropati Traumatik
Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula
pendarahan dan edema sekitar saraf optik.
17
Penglihatan akan berkurang setelah cedera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil
tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan
penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil saraf optik dapat normal beberapa minggu
sebelum menjadi pucat.
Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cedera mata adalah trauma retina,
perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasma optik.
Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut dengan memberi steroid.
Bila penglihatan memburuk setelah steroid aka perlu dipertimbangkan tindakan pembedahan.
Tatalaksana Trauma Tumpul
Saat 24-48 jam pertama kompres es dapat membantu mengurangi pembengkakan dan
nyeri pada hematoma. Jika pada kulit di sekitar mata atau kelopak mata terdapat luka terbuka
maka luka dapat dijahit. Jahitan yang dekat dengan pinggiran kelopak mata sebaiknya
dilakukan oleh dokter mata untuk meyakinkan tidak ada gangguan dalam penutupan kelopak
mata setelah penjahitan. Cedera yang mengenai duktus lakrimal juga harus diperbaiki oleh
dokter mata.
Cedera yang hanya mengenai konjungtiva umunya tidak membutuhkan operasi.
Cedera yang mengenai sclera biasanya membutuhkan jahitan. Obat-obatan biasanya
diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Tatalaksana perdarahan pada bilik mata depan adalah
tirah baring dengan elevasi kepala dan tetes mata untuk dilatasi pupil dan mengurangi
inflamasi dalam mata. Aspirin dan NSAID yang dapat mencetuskan perdarahan harus
dihindari selama beberapa minggu.
Jika terdapat luka penetrasi maka pasien diberi antibiotic intravena terlebih dahulu
kemudian dilanjutkan dengan antibiotic oral untuk mencegah infeksi dalam bola mata
(endoftalmitis). Obat tetes mata yang mendilatasi pupil dapat mencegah perdarahan dari iris.
Tetes mata kortikosteroid biasanya diberikan untuk mengurangi inflamasi.
Komplikasi
Dislokasi dan subluksasi lensa seringkali ditemukan bersama dengan katarak
traumatik. Komplikasi lain diantaranya glaukoma fakolitik, glaukoma fakomorfik, glaukoma
blok pupil, uveitis fakoanalfilakik, lepasnya retina, ruptur koroid, hifema, perdarahan
retrobulber, neuropati optik traumatik, dan ruptur bola mata.
Prognosis
18
Prognosis bergantung pada besarnya cedera. Dapat terjadi hilangnya penglihatan baik
total maupun parsial, bahkan setelah tatalaksana bedah. Setelah cedera yang hebat pada satu
mata maka pada mata yang lain dapat terjadi inflamasi (oftalmia simpatis/ sympathetic
ophthalmia) yang dapat berakibat pada perbutukan visus atau bahkan kebutaan, namun hal ini
jarang terjadi.
Edukasi
Penggunaan pelindung mata saat bekerja untuk mencegah cedera.
III. Katarak Traumatik
Katarak traumatik terjadi akibat sebab sekunder dari trauma mata tumpul ataupun
tajam (penetrating). Katarak traumatik juga dapat disebabkan oleh energi infrared (glass-
blower’s cataract), kejut listrik, dan radiasi ion. Katarak yang disebabkan oleh trauma tumpul
biasanya membentuk kekeruhan dengan gambaran stellate / rosette pada bagian posterior
yang dapat bersifat stabil ataupun progresif, sedangkan trauma tajam menyebabkan robekan
pada kapsul lensa sehingga mengakibatkan perubahan korteks yang dapat bersifat fokal jika
luka tersebut kecil ataupun dapat bersifat progresif secara cepat ke keseluruhan korteks
(selruh korteks menjadu keruh). Subluksasi dan dislokasi lensa, glaukoma sudut tertutup,
ablasi retina, rupture koroid, dan hyphema sering terjadi pada katarak traumatik.
Gambaran kekeruhan lensa berbentuk rosette
Epidemiologi
Di Amerika, angka kejadian trauma mata sebanyak 2,5 juta per tahun. Trauma adalah
penyebab utama kebutaan monookular pada orang usia <45 tahun. Hanya 85% pasien yang
19
menderita cedera mata bagian anterior yang mencapai ketajaman visus sebesar 20/40 atau
lebih baik, dan hanya 40% pasien penderita cedera mata bagian posterior yang mencapai
ketajaman visus sebesar 20/40 atau lebih baik.
Patofisiologi
Trauma tumpul menyebabkan cedera mata bersifat coup dan countercoup. Coup
merupakan cedera dengan dampak langsung, sedangkan countercoup merupakan cedera
dengan dampak berlawanan dari arah datangnya cedera yang disebabkan gelombang tekanan
sejajar dengan garis konkusio.
Saat permukaan depan mata terkena trauma tumpul, maka terjadi pemendekan
anterior-posterior yang berlangsung cepat diikuti dengan ekspansi ekuatorial. Peregangan
ekuatorial ini dapat merobek kapsul lensa, zonula, atau keduanya. Kombinasi dari coup dan
intercoup serta ekspansi ekuatorial berperan dalam pembentukan katarak traumatik yang
diakibatkan trauma tumpul.
Trauma tajam dapat langsung merusak kapsul lensa yang mengakibatkan kekeruhan
pada lokasi luka. Jika luka yang terjadi cukup besar, keseluruhan lensa mengeruh dengan
cepat, jika luka kecil, katarak korteks dapat terlokalisasi tanpa menyebar ke bagian korteks
lain.
Massa lensa yang terdapat di bilik mata depan juga menyebabkan terjadinya
inflamasi. Massa lensa akan bercampur dengan makrofag dan mengakibatkan endoftalmitis
fakoanalitik dan menyebabkan tampilan mata merah. Lensa dengan kapsul anterior saja yang
pecah akan menjerat korteks lensa sehinga mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin
Soemering atau bila epitel lensa berproliferasi cepat akan terlihat mutiara Elsching.
Anamnesis
Pertanyaan yang dapat diajukan pada anamnesis trauma mata adalah:
Mekanisme cedera (tajam atau tumpul)
Riwayat penyakit mata sebelum trauma (riwayat operasi, glaukoma, ablasi retina,
penyakit mata diabetik)
Riwayat penyakit dahulu (diabetes, dan lainnya)
Keluhan penglihatan:
Tajam penglihatan menurun (katarak, subluksasi lensa, dislokasi lensa, neuropati
optik traumatik, perdarahan vitreus, ablasi retina)
20
Diplopia monocular (subluksasi lensa dengan penglihatan afakia atau parsial
afakia)
Diplopia binokular (fraktur orbita)
Nyeri (glaukoma sekunder karena hyphema, papillary block, partikel lensa, iritis)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan oftalmikus lengkap, mungkin didapat:
afferent puplillary defect (APD) (indikatif terhadap neuropati optik traumatik)
Dapat ditemukan fraktur orbita atau traumatic nerve palsy
Peningkatan tekanan intraokular
Pada bagian COA dapat ditemukan hyphema, iritis, sudut mata dangkal, dll
Pada lensa dapat ditemukan subluksasi, dislokasi, katarak, pembengkakan,
integritas kapsular anterior dan posterior.
Pada vitreus dapat ditemukan adanya perdarahan, dan ablasi vitreus posterior
Pada fundus dapat ditemukan ablasi retina, ruptur koroid, perdarahan preretina,
perdarahan intraretina, perdarahan subretina, dan avulse saraf optik.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan untuk mengetahui adanya fraktur orbita atau
benda asing yang masuk dan tertinggal di dalam mata.
Tatalaksana katarak traumatik
Alur tatalaksana katarak traumatik
21
Gambar Katarak traumatik
Tatalaksana non-bedah
Pada katarak traumatik diberikan antibiotik sistemik dan topikal dalam beberapa hari
untuk memperkecil kemungkinan infeksi dan uveitis.
Pasien diberi sulfas atropin 1 % 1 tetes tiga kali sehari untuk menjaga pupil tetap
berdilatasi dan untuk mencegah pembentukan sinekia posterior.
Jika terjadi glaukoma maka kontrol tekanan intraokular dengan medikasi standard.
Berikan kortikosteroid jika partikel lensa yang menjadi penyebab atau jika terdapat
iritis.
Tatalaksana bedah
Indikasi bedah
o Penurunan visus yang berat
o Tidak dapat melihat bagian posterior mata untuk menilai patologi pada bagian
posterior
o Inflamasi atau glaukoma yang diinduksi lensa
o Ruptur kapsular dengan pembengkakan lensa
o Adanya kelainan lain pada mata akibat trauma yang membutuhkan pembedahan
Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka operasi dapat ditunggu
sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis, dan lain
22
sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Apabila terjadi glaukoma selama
periode menunggu, bedah katarak jangan ditunda walupun masih terdapat radang.
Integritas kapsular dan stabilitas zonula harus diperiksa sebelum operasi
Fakoemulsifikasi dapat dilakukan jika kapsul lensa intak dan fungsi zonula zinii
dalam menyokong lensa baik. Ekstraksi intrakapsular dapat dipilih jika terjadi
dislokasi anterior atau terdapat instabilitas zonula zinii. Dislokasi lensa ke bilik mata
depan membutuhkan pembedahan segera untuk mengambil lensa karena dapat
menyebabkan glaukoma blok. Berikut ini 2 tabel dasar pemilihan teknik operasi pada
katarak traumatik:
IV. LASERASI DAN RUPTUR KORNEA
Laserasi dan ruptur kornea dapat terjadi secara full-thickness ataupun partial-
thickness. Kebanyakan laserasi dan semua ruptur bentuknya full-thickness (mengenai 5
23
lapisan kornea) dan biasanya terjadi pada trauma fasial, trauma periorbital, maupun trauma
intraocular.
Pengumpulan data anamnesis yang baik dapat membantu memperkirakan risiko
kedalaman penetrasi luka (adanya Intra Ocular Foreign Body / IOFB) dan risiko cedera pada
struktur intraokular. Pemeriksaan fisik dimulai dengan:
Inspeksi eksternal, mencari adanya benda asing pada wajah, kulit, atau kelopak mata
dan tanda lain yang jelas yang dapat membantu memperkirakan karakteristik agen
penyebab luka jika tidak dapat diperkirakan dari data anamnesis.
Kelopak mata dapat membengkak. Jika pasien tidak dapat membuka mata dan tidak
dapat dibuka pemeriksa,dapat dibantu dengan lid retractor
Semua pasien yang dicurigai terdapat laserasi atau ruptur kornea sebaiknya diperiksa
dengan slit lamp. Hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan ini adalah:
Hampir semua luka pada kornea dapat dilihat dengan mudah, namun dapat juga susah
dideteksi. Semua teknik iluminasi sebaiknya digunakan untuk mengidentifikasi
laserasi kornea yang kecil yang dapat menutup dengan sendirinya, yang
mengindikasikan adanya luka yang lebih dalam atau adanya IOFB. Tes seidel dapat
mengetahui adanya kebocoran akuos pada luka.
Gonioskopi yang hati-hati dapat dilakukan pada luka yang diperkirakan dapat
menutup sendiri.
Inspeksi adanya perubahan kedalaman atau kedangkalan bilik mata depan
Adanya defek transluminasi iris menandakan penetrasi yang tidak terlihat (occult
penetration)
Adanya kelainan transmisi cahaya dapat menandakan cedera yang dalam atau adanya
IOFB.
Tatalaksana ruptur kornea
Tatalaksana non-bedah
Pada luka yang minimal tanpa kerusakan intraokuler dan tidak ada prolaps, pasien
diberi terapi antibiotik sistemik dengan atau topikal dengan observasi. Bila luka
tembus dengan bilik mata normal maka diberikan obat-obatan supresi produksi aquos,
perban tekan, atau lensa kontak. Bila 3 hari tidak berhasil maka dilakukan penjahitan
kornea.
Tatalaksana bedah
24
Tujuan primer repair kornea adalah memperbaiki integritas bola mata. Tujuan
sekunder adalah untuk memperbaiki visus. Bila prognosis visus kurang baik dan
mempunyai resiko simpatis oftalmia, dilakukan enukleasi. Enukleasi primer lebih
baik, bila perlu ditunda tidak lebih dari 14 hari untuk mencegah simpatis oftalmia.
Anestesi umum dipergunakan untuk repair bola mata, sebab anestesi retrobulber atau
atau peribulber akan meningkatkan bola mata.
Berikut berbagai tipe laserasi penanganannya
Laserasi kornea yang kecil dan dapat menutup sendiri, hanya perlu diberikan
antibiotik profilaksis.
Laserasi kornea yang besar dan dapat menutup sendiri, pemakaian bandage contact
lense atau cyanolacrilate tissue glue biasanya efektif. Penutupan secara operasi
dilakukan apabila terdapat risiko infeksi yang tinggi.
Flaps, dapat pada tempatnya atau tidak pada tempatnya
Flaps yang tidak pada tempatnya perlu direposisi dan diamankan dengan jahitan.
Jika waktu pemeriksaan dengan kejadian cukup lama, dan epitel telah tumbuh di
bawah flap, maka flap sebaiknya di diangkat.
Uka kornea yang full-thickness dan tidak dapat menutup sendiri memerlukan
perbaikan dalam ruang operasi dengan 10-0 atau 11-0 jahitan nylon.
Pelaksanaan penutupan luka kornea dengan operasi harus dilakukan sesegera mungkin karena
dengan keterlambatan, risiko infeksi menjadi semakin tinggi. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah:
Pembentukan jaringan parut, dapat diminimalisir dengan penutupan luka yang tepat
sesuai anatomi secara teliti.
Kehilangan jaringan kornea, jarang terjadi.
Kebocoran akuos melalui luka.
Infeksi, harus waspada munculnya keratitis atau endophtalmitis paska perbaikan luka.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan oleh nonophthalmologist adalah:
Amankan mata dengan tutup yang rigid, untuk mencegah segala bentuk tekanan pada
mata
Rujuk pasien ke dokter spesialis mata
25
26
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Identitas
Nama : Tn. S
Usia : 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kampung Mangga, Jakarta Utara
Pekerjaan : Wiraswasta
No. Rekam medik : 329-69-06
Pasien datang ke IGD pada tanggal 8 April 2009.
Keluhan Utama
Mata kanan kabur dan merah sejak 3 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
3 jam SMRS mata kanan pasien terkena tang pada saat bekerja. Tang terpental dari
tangan saat pasien berusaha mengeluarkan baut dari besi tua, dengan kecepatan yang tidak
diketahui pasien, namun menurut pasien tang tersebut cukup keras mengenai mata pasien.
Tang tersebut mengenai mata kanan pasien dalam keadaan terbuka. Pasien tidak mengetahui
bagian mana dari tang yang mengenai mata kanannya. Sesaat setelah itu pandangan pasien
tiba-tiba menjadi kabur dan mata menjadi merah. Keluhan pingsan (-), muntah (-), mual (-),
dan nyeri kepala (-). Pasien mengatakan mata kanannya seperti diselimuti kabut. Riwayat
mata merah, pandangan kabur, dan sakit mata sebelumnya (-). Keluhan nyeri pada mata (+),
silau (+), berair (+), melihat halo (-), banyangan gelap pada penglihatan (-), dan pandangan
dobel (-). Sebelumnya pasien dibawa ke RS Pelabuhan, disana tidak dilakukan tindakan
apapun karena tidak ada dokter mata sehingga pasien dirujuk ke RSCM.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma sebelumnya (-).
Riwayat pemakaian kaca mata sebelumnya (-).
Riwayat sakit mata dan operasi mata sebelumnya (-).
27
Riwayat diabetes mellitus, hipertensi dan alergi disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat yang sakit seperti pasien. Riwayat Diabetes (-), hipertensi (-),
riwayat sakit mata (-)
Riwayat Sosial
Saat ini pasien bekerja sebagai pegawai di bengkel. Pasien berobat dengan
pembiayaan sendiri dan pasien berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Pemeriksaan Fisik
Tanda vital
Kesadaran : kompos mentis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi nadi : 96x/menit
Frekuensi napas : 20x/menit
Suhu : afebris
Status Oftalmologis
OD OS
6/60 AV 6/6
Tidak diperiksa TIO Normal per palpasi
28
Baik Kedudukan bola mata Baik
Baik ke segala arah Pergerakan bola mata Baik ke segala arah
Sama dengan pemeriksa Uji konfrontasi Sama dengan pemeriksa
Tenang, laserasi (-), ptosis (-),
lagoftalmus (-)
Palpebra Tenang, laserasi (-), ptosis (-),
lagoftalmus (-)
Injeksi konjungtiva (+), injeksi siliar
(+)
Konjungtiva bulbi Tenang
Ruptur kornea dengan luka bentuk Y
dengan ukuran 3 x 2,5 x 2 mm
parasentral dengan edema kornea
disekitar luka
Kornea Jernih
Jernih, Dalam Bilik mata depan Jernih, Dalam
Bulat, sentral, RCL (+)↓, RCTL (+)↓Iris
Bulat, sentral, RCL (+), RCTL (+) Pupil
Keruh + Lensa Jernih
Sulit dinilai Badan kaca Jernih
Sulit dinilai Funduskopi Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3,
aa/vv = 2/3, refleks makula (+),
retina baik
Diagnosis
- Rupture kornea OD
- Katarak traumatika OD
Tata Laksana
- Pro repair dengan anestesi umum
- Injeksi ATS/TT
- Injeksi Ceftriaxon 1 x 1 g
- Floxa tiap jam
- Sulfas atropine 1% 3x/hari
Rencana Pemeriksaan
- Uji Seidel
29
- Pemeriksaan slit lamp
- Pro USG OD
Prognosis
- Quo Ad Vitam : bonam
- Quo Ad Functionam : dubia
- Quo Ad Sanactionam : dubia ad bonam
30
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki 32 tahun datang dengan keluhan pandangan mata kanan kabur dan
merah sejak 3 jam SMRS. 3 jam SMRS mata kanan pasien terkena tang yang terpental dari
tangan dengan kecepatan yang tidak diketahui pada saat bekerja. Sesaat setelah itu pandangan
pasien tiba-tiba menjadi kabur dan mata menjadi merah. Pasien mengatakan mata kanannya
seperti diselimuti kabut. Riwayat mata merah, pandangan kabur, dan sakit mata sebelumnya
(-). Keluhan nyeri (+), silau (+), berair (+), melihat halo (-), dan pandangan dobel (-). Pada
pemeriksaan oftalmologis didapat visus mata kanan 6/60 dan mata kiri 6/6. Pada mata kanan
ditemukan injeksi konjungtiva, RCL (+) ↓, RCTL (+) ↓, ruptur kornea dengan luka berbentuk
Y dengan ukuran 3 x 2,5 x 2 mm di bagian parasentral dengan edema kornea di sekitar luka,
bilik mata depan jernih dan dalam, lensa keruh (+), badan kaca dan funduskopi sulit dinilai.
Pada anamnesis di dapatkan mata kanan pasien tiba-tiba menjadi kabur dan merah
setelah mata tersebut terkena tang. Pasien juga merasa pandangan mata kanannya seperti
diselimuti kabut, melihat silau, dan terasa nyeri. Kaburnya penglihatan pasien secara tiba-tiba
diikuti riwayat trauma tepat sebelum penurunan tajam penglihatan, dan tidak adanya riwayat
kelainan mata sebelumnya, mengarahkan kepada pemikiran visus yang turun diakibatkan
oleh trauma pada mata. Benda penyebab trauma pada pasien dapat dikategorikan sebagai
benda tumpul, sehingga trauma mata yang dialami pasien dikategorikan sebagai trauma
tumpul. Keluhan penurunan tajam penglihatan disebabkan adanya gangguan pada aksis
visual. Menurut literatur, trauma tumpul pada mata yang dapat menyebabkan penurunan
tajam penglihatan diantaranya, abrasi kornea, laserasi dan ruptur kornea, edema kornea,
hifema, uveitis traumatik, iridoplegia, iridodialisis, luksasi dan subluksasi lensa, katarak
traumatik, perdarahan vitreus, perdarahan retina dan koroid, edema retina dan koroid, edema
macula, ablasi retina, dan fraktur orbita yang menekan saraf optik.
Dari hasil pemeriksaan oftalmologis, ditemukan adanya ruptur kornea berbentuk Y
dengan ukuran 3 x 2,5 x 2 mm di bagian parasentral dengan edema kornea di sekitar luka dan
kekeruhan pada lensa. Tidak adanya riwayat gangguan mata sebelumnya mengarahkan pada
diagnosis ruptur kornea OD dan katarak traumatik OD. Ruptur kornea ini dapat
mengakibatkan munculnya reaksi radang yang ditandai dengan injeksi silier. Injeksi
konjungtiva menunjukkan adanya reaksi radang akibat trauma tumpul yang mengenai mata
bagian anterior. Kemungkinan lain yang menyebabkan gejala penurunan visus pada pasien
adalah gangguan pada struktur mata di belakang lensa seperti yang telah disebutkan di atas.
31
Pada pasien kelainan-kelainan tersebut tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan funduskopi
akibat kekeruhan lensa, sehingga kemungkinan ini belum dapat disingkirkan. Untuk
memastikan ada/tidaknya gangguan tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu
USG.
Maka dari itu, diagnosis sementara yang dapat ditegakkan pada pasien adalah katarak
traumatik dan rupture kornea OD yang disebabkan oleh trauma tumpul pada mata. Katarak
traumatik dapat terjadi segera setetah maupun lama setelah trauma terjadi. Mekanisme yang
berperan pada terjadinya katarak traumatik pada trauma tumpul adalah dengan kombinasi
dari coup dan intercoup serta ekspansi ekuatorial. Saat permukaan depan mata terkena trauma
tumpul, maka terjadi pemendekan anterior-posterior yang berlangsung cepat diikuti dengan
ekspansi ekuatorial. Peregangan ekuatorial ini dapat merobek kapsul lensa, zonula, atau
keduanya. Peregangan ini juga merusak komponen protein pada lensa sehingga terjadi
kekeruhan lensa.
Selain USG orbita, pemeriksaan yang masih diperlukan adalah uji seidel untuk
melihat ada/tidaknya kebocoran akuos humor. Pemeriksaan foto roentgen dan CT-scan orbita
tidak dianjurkan karena trauma yang terjadi pada pasien adalah trauma tumpul.
Tatalaksana yang dapat dilakukan pada kasus trauma mata umumnya adalah menjaga
pasien tetap tenang, pemberian anestesi topikal untuk mengurangi nyeri, pemberian
sikloplegik, kompres dingin, injeksi serum antitetanus (ATS) dan tetanus toksoid (TT),
kortikoseteroid, dan antibiotik.
Pada kasus, pasien ditatalaksana dengan rencana repair ruptur kornea, injeksi
ATS/TT, injeksi ceftriaxon 1 x 1 g, dan ofloxacin topikal tiap jam. Rencana repair rupture
kornea dimaksud untuk mencegah infeksi dan komplikasi ruptur kornea. Pemberian injeksi
ATS/TT dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi tetanus pada pasien. Pemberian
injeksi ceftriaxon dimaksudkan sebagai profilaksis sistemik untuk mencegah terjadinya
infeksi pada mata. Pemilihan ceftriaxon berdasarkan antibiotik tersebut bersifat broad-
spectrum. Pemberian ofloxacin topikal juga dimaksudkan untuk mencegah infeksi pada mata
dengan sifat antibiotik yang juga broad-spectrum. Sulfas atropine diberikan untuk menjaga
pupil tetap berdilatasi sehingga mencegah pembentukan sinekia posterior dan mengurangi
resiko perdarahan dari iris.
Katarak traumatik pada pasien dapat ditatalaksana dengan pembedahan, dengan
teknik pilihan ekstraksi ekstrakapsular (ECCE) atau fakoemulsifikasi. Fakoemulsifikasi lebih
terpilih karena insisi yang lebih kecil sehingga kemungkinan komplikasi lebih kecil dan masa
rehabilitasi visual lebih pendek. Waktu pelaksanaan operasi katarak tergantung pada hasil
32
USG orbita. Jika ditemukan patologi lain pada bagian posterior mata maka gangguan tersebut
harus dievaluasi terlebih dahulu apakah tatalaksana gangguan tersebut dan tatalaksana
katarak dapat memperbaiki visus pasien. Jika tidak terdapat gangguan pada bagian posterior,
maka operasi dapat dilakukan segera setelah keadaan mata tenang.
Prognosis quo ad vitam pada kasus ini bonam karena tidak mengancam nyawa. Quo
ad functionam adalah dubia karena pada pasien terdapat ruptur kornea yang diduga melewati
lapisan epitel kornea, sehingga kemungkinan akan terbentuk jaringan parut pada tempat luka.
Prognosis katarak traumatik pada pasien cukup baik karena lebih dari 90% kasus katarak
dengan ekstraksi lensa akan secara definitif memperbaiki ketajaman penglihatan, namun
secara keseluruhan prognosis functionam pasien masih dubia karena belum diketahuinya
patologi pada bagian posterior mata pasien. Quo ad sanactionam dubia ad bonam karena
dengan edukasi yang baik pada pasien (untuk menggunakan pelindung mata saat bekerja)
dapat mengurangi risiko terjadinya trauma kembali pada mata.
33
DAFTAR PUSTAKA
Ainbinder DJ, et al. Occular trauma scales [materi elektronik]. Diunduh dari
www.bordeninstitute.army.mil/published_volume/opthalmic/OPHch6.pdf.
American Society of Ocular Trauma. Birmingham Eye Trauma Terminology System
(BETTS). Diunduh dari: http://www.asotonline.org/bett.html. Diakses tanggal 11
Februari 2007.
Asbury T, Sanitato JJ. Trauma. Dalam : Vaughan DG, Asbury T, Eva PR, editor. Oftalmologi
umum. Edisi ke 14. Jakarta: Penerbit Widya Medika; 1996. h.384-5.
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Prosedur Standar
Diagnostik dan Pnegobatan/Tindakan di Bagian IP Mata FKUI/RSCM. Jakarta: FKUI;
2000. Hal 28-31
Berson, FG. Ocular and Orbital Injuries. In: Basic Ophtalmology. 6th ed. American Academy
of Ophtalmology. 1993. p. 82-7
Graham RH. Traumatic cataract. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/
article/1211083-overview pada tanggal 14 April 2009 pukul 16.20 WIB.
Ilyas S. Trauma mata. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI. 2004.h.271-3
Kanski jj. Clinical Ophtalmology. 4th ed. Oxford: Butterworth-Heinemann; 1999. Halaman
657-9.
Kuhn F, Morris R, Witherspoon CD. BETT: the terminology of ocular trauma. In: Kuhn F,
Pieramici DJ, editors. Ocular trauma: principles and practice. [materi elektronik]. New
York: Thieme Medical Publishers; 2002. p. 3-5.
Kuhn F, Pieramici DJ. Ocular trauma: principles and practice. New York: Thieme Medical
Publishers; 2002. p. 102-5.
Mattox KL, Feliciano DV, Moore EE. Trauma. 4th ed. McGraw Hill: Singapore; 2000.
Halaman 401-12.
Raja SC, Pieramici DJ. Classification of ocular trauma. In: Kuhn F, Pieramici DJ, editors.
Ocular trauma: principles and practice. [materi elektronik]. New York: Thieme Medical
Publishers; 2002. p. 6-8
Vaughn D, Asbury T, Riordan P. General Ophthalmology. 15th ed. Appleton and Lange:
Amerika Serikat; 1999. Halaman 347-53.
34
Recommended