perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Konsep Kinerja
a. Pengertian Kinerja
Secara istilah kinerja adalah gambaran atas pencapaian suatu
instansi atau organisasi dalam mencapai tujuan yang dipaparkan
melalui visi dan misi serta strategi yang diindikasikan melalui
keberhasilan atau kegagalan kegiatan-kegiatan yang direncanakan
(Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor
239/IX/6/8/2003 :hal. 18)
Akuntabilitas Kinerja merupakan perwujudan kewajiban suatu
isntansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan
atau kegagalan pelaksanaan tujuan atau sasaran yang ditetapkan
melalui suatu alat secara periodik (Inpres No. 7 Tahun 1999).
Kinerja pemerintahan daerah dikatakan baik apabila terpenuhi
target yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Dalam studi
analisis kinerja keuangan, pengelolaan keuangan daerah yang baik
apabila pemanfaatan anggaran disalurkan secara efektif dan efisien
untuk mendukung kemandirian suatu daerah. Kinerja yang baik dilihat
dari beberapa faktor diantaranya surplus atau defisitnya suatu daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
b. Pengelompokan Indikator Kinerja
Pengukuran kinerja digunakan sebagai alat untuk menetapkan
keberhasilan dan kegagalan suatu tindakan sesuai dengan tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan visi dan misi instansi
pemerintah. Pengukuran yang dimaksud merupakan pengukuran
penilaian secara sistemasik berupa indikator-indikator masukan, luaran,
hasil, manfaat, dan dampak. Penilaian tidak terlepas dari proses mulai
dari masukan hingga menghasilkan luaran yang dapat diambil sebuah
kebijakan. Pengelompokan indikator kinerja adalah (Inpres No.7 Tahun
1999):
1. Indikator masukan / input segala sesuatu yang digunakan dalam
melaksanakan (proses) kegiatan untuk menghasilkan keluaran.
2. Indikator proses / process adalah berbagai aktivitas yang
menunjukkan upaya yang dilakukan dalam rangka mengelola
masukan menjadi keluaran. Indikator proses tidak dipergunakan
dalam sistem AKIP dan hanya dipergunakan pada saat evaluasi
kinerja.
3. Indikator keluaran / output adalah sesuatu yang diharapkan langsung
dapat diperoleh / dicapai dari suatu kegiatan.
4. Indikator hasil / outcome adalah hasil nyata yang diperoleh dari
keluaran. Merupakan berfungsinya keluaran.
5. Indikator manfaat / benefit adalah manfaat keluaran bagi pemangku
kepentingan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
6. Indikator dampak / impact adalah pengaruh (negatif/positif) yang
ditimbulkan oleh manfaat.
2. Keuangan Daerah
a. Konsep Pengelolaan keuangan daerah
Berdasar Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, yang merupakan
penjabaran dari UU Nomor 17 Tahun 2003, tugas pengelola keuangan
daerah diantaranya adalah menyusun dan melaksanakan kebijakan
pengelolaan APBD, menyusun rancangan dan perubahan APBD,
melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan
melalui perturan daerah, melaksanakan fungsi bendahara umum
daerah, dan menyusun laporan keuangan yang merupakan
pertanggungjawaban pelaksanaan APDB.
Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai
dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam
kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (Pasal 1 ayat 5 PP
No. 58 Tahun 2005)
Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa Keuangan Daerah
memiliki unsur penting yakni semua hak yang dimaksudkan sebagai
hak untuk memungut pajak daerah, retribusi dan/atau penerimaan dan
sumber-sumber lain yang sah sesuai ketentuan yang berlaku
merupakan penerimaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah.
Sedangkan kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
atau sehubungan adanya tagihan daerah dalam rangka pembiayaan
rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum dan tugas
pembangunan oleh daerah yang bersangkutan.
Menurut UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 butir 7, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan
Negara yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Keuangan Negara merupakan segala hak dan kewajiban Negara yang
dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu yang berupa barang
maupun uang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan
hak dan kewajiban Negara tersebut. Keuangan Negara meliputi (UU
No. 17 Tahun 2003, Pasal 2):
1) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
2) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3) Penerimaan Negara;
4) Pengeluaran Negara;
5) Penerimaan Daerah;
6) Pengeluaran Daerah;
7) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-
hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
8) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
Secara peraturan, keuangan daerah dikelola secara tertib, taat
pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis,
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas
keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat.Secara rinci
penjelasan dari masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tertib yang dimaksud adalah keuangan dikelola secara tepat guna
dan tepat waktu yang didukung dengan bukti administrasi yang
dapat dipertanggungjawabkan.
2) Taat berarti pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada
sumber-sumber peraturan tersebut.
3) Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang
telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran
dengan hasil.
4) Efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan
masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk
mencapai keluaran tertentu.
5) Ekonomis merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan
kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah.
6) Transparan merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan
masyarakat Untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi
seluas-Iuasnya tentang keuangan daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
7) Bertanggungjawab merupakan perwujudan kewajiban seseorang
untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian
sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan
kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
8) Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan
pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban
berdasarkan pertimbangan yang obyektif.
9) Kepatutan adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan
wajar dan proporsional.
10) Manfaat untuk masyarakat adalah bahwa keuangan daerah
diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
b. Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam melakukan kegiatan di era otonomi daerah, pemerintah
daerah harus secara mandiri dapat melakukan pengelolaan keuangan
guna melakukan kegiatan operasional serta pembagunan daerah. Ada
beberapa dasar hukum sebagai pedoman dalam melakukan pengelolaan
keuangan daerah, yaitu:
1) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
2) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
3) UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
4) UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
5) UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
6) UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
7) PP No. 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
8) PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah
9) Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ialah suatu
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2003, Pasal 1, butir 8).
Seluruh Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi harus dicatat dan dikelola dalam
APBD.Sedang penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan
pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak dicatat dalam
APBD.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu
tahun anggaran.APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan
Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua
penerimaan daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan
dalam APBD.Seluruh pengeluaran daerah danbeban daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang
ditetapkan dalam APBD. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
daerah.APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian,
pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu
mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang
bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan
keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu
tersebut.APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem
anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output
dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah
pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang
terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber
pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran
yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang
dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.Jadi,
realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang telah
ditetapkan.Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya
kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Setiap
pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas
beban APBD apabila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran
untuk membiayai pengeluaran tersebut.
a. Fungsi APBD
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Fungsi APBD adalah sebagai
berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
1) Fungsi Otorisasi: Anggaran daerah merupakan dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
2) Fungsi Perencanaan: Anggaran daerah merupakan pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang
bersangkutan.
3) Fungsi Pengawasan: Anggaran daerah menjadi pedoman untuk
menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4) Fungsi Alokasi: Anggaran daerah diarahkan untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan
efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5) Fungsi Distribusi: Anggaran daerah harus mengandung arti/
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
6) Fungsi Stabilisasi: Anggaran daerah harus mengandung arti/ harus
menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan
fundamental perekonomian.
b. Prinsip-prinsip Anggaran daerah
Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan
Anggaran Daerah yang berlaku juga dalam pengelolaan Anggaran
Negara / Daerah sebagaimana bunyi penjelasan dalam Undang Undang
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
1) Kesatuan: Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan
Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
2) Universalitas: Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi
keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran.
3) Tahunan: Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk
suatu tahun tertentu
4) Spesialitas: Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang
disediakan terinci secara jelas peruntukannya.
5) Akrual: Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran
dibebani untuk pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau
menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang seharusnya
diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima
pada kas
6) Kas: Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran
dibebani pada saat terjadi pengeluaran/penerimaan uang dari/ ke
Kas Daerah. Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun
2003, dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun.
Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan
pengukuran berbasis kas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
c. Struktur APBD
Struktur APBD (PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah Bab III Pasal 20) merupakansatu kesatuan yang
terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan Pembiayaan.
Selisih lebih Pendapatan Daerah terhadap Belanja Daerah
disebut surplus anggaran, tapi apabila terjadi selisih kurang maka
hal itu disebut defisit anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan
jumlah surplus atau jumlah defisit anggaran.
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan Daerah meliputi semua penerimaan uang
melalui Rekening Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas
dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun
anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah.
Pendapatan daerah terdiri atas:
a) Pendapatan Asli Daerah (PAD), terdiri dari (PP No. 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Bab III
Pasal 22):
(1) Pajak daerah;
(2) Retribusi daerah;
(3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;
(4) Lain-lain PAD yang sah, terdiri dari;
(a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
(b) Hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan
daerah yang tidak dipisahkan;
(c) Jasa giro;
(d) Pendapatan bunga;
(e) Tuntutan ganti rugi;
(f) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing;
(g) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang
dan/atau jasa oleh daerah.
b) Dana Perimbangan (PP No. 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah Bab III Pasal 23), terdiri
dari:
(1) Dana Bagi Hasil
(2) Dana Alokasi Umum (DAU), dan
(3) Dana Alokasi Khusus (DAK)
c) Lain-lain pendapatan daerah yang sah, meliputi hibah, dana
darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Hibah yang merupakan bagian dari Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah merupakan bantuan berupa
uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah,
masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri
yang tidak mengikat (PP No. 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah Bab III Pasal 24)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Dalam analisis keuangan daerah, nominal pendapatan
dijadikan sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan
pengelolaan keuangan daerah. Pendapatan Daerah merupakan
variabel dalam menghitung Kemandirian Daerah, Derajat
Desentralisasi Fiskal, Efektivitas PAD, serta Rasio
Pertumbuhan PAD dan TPD.Dengan variabel pada pos
pendapatan di antaranya Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan pendapatan diluar PAD yaitu Transfer Dana Pemerintah
dan Pendapatan Lain yang Sah akan diketahui besarnya Rasio
Kemandirian Daerah. Rasio Kemandirian daerah merupakan
tolak ukur suatu daerah dalam kemampuannya membiayai
sendiri operasioanl dan pembangunan daerah. Begitu pula
Derajat Desentralisasi Fiskal yang membandingkan antara PAD
dengan Total Pendapatan Daerah (TPD). Realisasi PAD juga
dapat diukur besarnya efektifitas jika dibandingkan dengan
target PAD yang diharapkan dan telah dirancang sesuai dengan
potensi daerah yang dimiliki. Apabila pengelolaan PAD
dikatakan tidak efektif artinya pemerintah daerah belum secara
optimal memanfaatkan potensi yang ada di
daerah.Pertumbuhan PAD dan pertumbuhan TPD diukur dari
tahun pertahun.Rasio Pertumbuhan menunjukkan apakah ada
kemajuan atau justru kemunduran pemerintah daerah dalam
menghasilkan pendapatan daerah.
2. Belanja Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Komponen berikutnya dari APBD adalah Belanja
Daerah. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari
Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana
lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun
anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali
oleh Daerah. (PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah Bab III Pasal 26)
Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau
kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan
pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-
undangan.
Urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang
berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar kepada masyarakat
yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintah yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan, dan potensi
keunggulan daerah. Belanja penyelenggaraan urusan wajib
tersebut diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi
kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan
pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat
diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan urusan wajib
pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Belanja Daerah diklasifikasikan menurut organisasi,
fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi
belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
organisasi pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut
fungsi terdiri dari (PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah Bab III Pasal 27):
a) Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan
disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah. Sedangkan klasifikasi belanja menurut
jenis belanja terdiri dari: (1) Belanja Pegawai; (2) Belanja
Barang dan Jasa; (3) Belanja Modal; (4) bunga; (5) subsidi;
(6) hibah; (7) bantuan sosial; (8) belanja bagi hasil dan
bantuan keuangan; dan (9) belanja tidak terduga.
b) Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara.
Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan
diklasifikasikan menurut kewenangan pemerintahan provinsi
dan kabupaten/kota.Sedangkan klasifikasi belanja menurut
fungsi pengelolaan negara digunakan untuk tujuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara
terdiri dari: (1) Pelayanan Umum; (2) Ketertiban dan
Keamanan; (3) Ekonomi; (4) lingkungan hidup; (5)
perumahan dan fasilitas umum; (6) kesehatan; (7) pariwisata
dan budaya; (8) agama; (9) pendidikan; serta (10)
perlindungan sosial.
Pendapatan Daerah dengan Belanja Baerah memiliki
hubungan yang tidak terpisahkan.Besarnya Pendapatan
Daerah merupakan gambaran belanja yang seharusnya
dikeluarkan oleh pemerintah. Apabila pos Belanja Daerah
lebih besar dari pos Pendapatan Daerah maka akan terjadi
devisit keuangan sehingga perlu dilakukan pembenahan
pengelolaan keuangan ditahun berikutnya untuk mengatasi
devisit yang terjadi di tahun sebelumnya. Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dibandingkan dengan Belanja langsung
menunjukkan Indeks Kemampuan Rutin
Pemerintah.Analisis tersebut mengartikan seberapa
besarkemampuan daerah sendiri yang diwujudkan dalam
PAD membiayai kegiatan operasional daerah.Variabel-
variabel yang terdapat pada pos belanja digunakan sebagai
gambaran mengenai Rasio Aktivitas/Keserasian, Efisiensi
Belanja, serta Rasio Pertumbuhan.Rasio
Aktivitas/Keserasian merupakan gambaran mengenai
pengelolaan belanja yang dikeluarkan pemerintah untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Belanja tidak langsung dan Belanja langsung terhadap total
belanja pemerintah. Apabila realisasi Belanja tidak langsung
lebih besar dari pada Belanja langsung, maka perlu adanya
evaluasi yang mengakibatkan besarnya Belanja tidak
langsung di pemerintahan tersebut. Belanja tidak langsung
yang besar menunjukkan tidak efisien dalam penggunaan
anggaran. Tidak demikian dengan Belanja langsung.
Semakin besar porsi belanja yang digunakan untuk Belanja
langsung maka semakin baik pemanfaatan serta pengelolaan
anggaran belanja. Efisiensi Belanja merupakan gambaran
mengenai Total Belanja yang dikeluarkan suatu daerah
dengan Total Penerimaan daerah tersebut. Apabila
Penerimaan lebih besar maka akan terjadi surplus, namun
sebaliknya jika belanja lebih besar dari pada pendapatan
maka akan terjadi defisit keuangan daerah. Belanja Tidak
Langsung dan Belanja Langsung secara tahun ke tahun juga
dapat dilihat pertumbuhannya.
3. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang
perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan daerah tersebut terdiri dari penerimaan
pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan (PP No. 58 Tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Bab III, Pasal
28).
a. Penerimaan pembiayaan mencakup:
1) SiLPA tahun anggaran sebelumnya;
2) pencairan dana cadangan;
3) hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
4) penerimaan pinjaman; dan
5) penerimaan kembali pemberian pinjaman.
b. Pengeluaran pembiayaan mencakup:
1) pembentukan dana cadangan;
2) penyertaan modal pemerintah daerah;
3) pembayaran pokok utang; dan
4) pemberian pinjaman.
Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan
pembiayaan terhadap pengeluaran pembiayaan.Jumlah
pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran.
4. Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian Keuangan Daerah merupakan gambaran
seberapa mampu suatu pemerintah daerah membiayai kegiatan
daerahnya sendiri dalam kebijakan Otonomi Daerah. Sesuai
dengan kebijakan yang telah dilaksanakan dalam UU No. 32
Tahun 2005 mengenai tingkat kemandirian pemerintah daerah,
diharapkan setiap daerah mampu melaksanakan kegiatan
daerahnya sendiri tanpa banyak bergantung terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
pemerintah pusat. Kemandirian juga menggambarkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Dalam
analisis, semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi
daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang tinggi. Untuk mengetahui Kemandirian Keuangan Daerah
dapat dilakukan dengan berbagai analisis antara lain Rasio
Kemandirian Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal,
Indeks Kemampuan Rutin, dan Rasio Pertumbuhan.
B. Penelitian Terdahulu
Studi mengenai analisis pendapatan dan belanja daerah sebelumnya
pernah dilakukan oleh beberapa orang diantaranya oleh Nanik Wahyuni pada
tahun 2011, Soelistidjono Boedi pada tahun 2012, Retno Dwiyanti dan
Rusherlisyanti pada tahun 2013, I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto pada
tahun 2010, Afriyanto dan Weni Astuti pada tahun 2013.
1. Rasio Kemandirian Keuangan daerah (KKD)
Analisis mengenai Rasio Kemandirian telah dilakukan oleh Nanik
Wahyuni, Soelistijono Boedi, I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto,
serta Afriyanto dan Weni Astuti.
a. Nanik Wahyuni (2011)
Penelitian mengenai Rasio Kemandirian telah dilakukanoleh
Nanik Wahyuni menggunakan rasio perbandingan antara PAD
dengan bantuan pusat dan provinsi. Hasil analisis menunjukkan
bahwa rasio kemandirian keuangan diatas bahwa kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di Kota Malang
pada tahun anggaran 2004 sampai dengan 2006 masih cukup rendah
rata-rata 13,07% kurang dari 50%.
b. Soelistijono Boedi (2012)
Penelitian mengenai Rasio Kemandirian telah dilakukan oleh
Soelsitijono Boedi pada tahun 2012 menggunakan rasio
perbandingan antara PAD dengan bantuan pusat dan provinsi.
Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa kemandirian kabupaten
banjar dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, modal, dan
pelayanan masyarakat dari tahun ke tahun cenderung mengalami
penurunan atau rendah sekali.
c. Bisma dan Heri (2010)
Penelitian mengenai Rasio Kemandirian telah dilakukan oleh I
Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto menggunakan rasio
perbandingan antara PAD dengan dana perimbangan. Hasil analisis
menunjukkan rata-rata tingkat kemandirian keuangan daerah
Provinsi NTB selama periode tahun anggaran 2003-2007 adalah
54,58 % sehingga diklasifikasikan menurut kriteria penilaian
kemandirian keuangan daerah adalah Provinsi dengan tingkat
Kemandirian Keuangan Daerah sangat kurang.
d. Afriyanto dan Weni (2013)
Penelitian mengenai Rasio Kemandirian telah dilakukan oleh
Afriyanto dan Weni Astuti menggunakan rasio perbandingan antara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
PAD dengan bantuan pusat dan provinsi. Hasil analisis menunjukkan
selama periode 2009-2012 dapat diketahui bahwa kemandirian
keuangan daerah Kabupaten Rokan Hulu masih sangat rendah
bahkan mengalami naik turun dari tahun ketahun. Rasio
Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Rokan Hulu yang paling
tinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 4,15%, sedangkan
yang paling rendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 2,66%. Hal
ini menunjukkan bahwa kemandirian daerah dalam mencukupi
kebutuhan pembiayaan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan masyarakat masih sangat rendah.
Dalam studi tersebut akan dilakukan analisis dengan
menggunakan rasio perbandingan antara PAD dengan Transfer Dana
Pemerintah (Daper) dan pendapatan lain yang sah.
2. Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF)
Penelitian mengenai Desentralisasi Fiskal sebelumnya pernah
dilakukan oleh Retno Dwitanti dan Rusherlistyanti, Soelistijono Boedi,
serta I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto.
a. Retno Dwitanti dan Rusherlistyanti (2013)
Penelitian mengenai Derajat Desentralisasi Fiskal telah
dilakukan oleh Retno Dwitanti dan Rusherlistyanti menggunakan
rasio perbandingan PAD dengan TPD. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan
rata-rata rasio kemandirian dari tahun 2008-2010 adalah sebesar
73,84 yang dinyatakan sedang dan Provinsi Papua Barat berada pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
peringkat terakhir dengan rata-rata rasio kemandirian adalah sebesar
3,8 yang dinyatakan sebagai rendah sekali.
b. Soelistijono Boedi (2012)
Penelitian mengenai Derajat Desentralisasi Fiskal telah
dilakukanoleh Soelistijono Boedi menggunakan rasio perbandingan
PAD dengan TPD. Analisis menunjukkan hasil bahwa Rasio derajat
desentralisasi fiskal kabupaten banjar masih cukuptinggu. Hal
tersebut berarti pelaksanaan kegiatan otonomi masih banyak dibiayai
dari transfer pemerintah pusat.
c. Bisma dan Hery (2010)
Penelitian mengenai Derajat Desentralisasi Fiskal telah
dilakukan oleh I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto menggunakan
rasio perbandingan PAD dengan TPD .Berdasarkan hasil analisis
terhadap rata-rata tingkat desentralisasi fiskal Provinsi NTB periode
tahun anggaran 2003-2007 adalah 32,61 % sehingga diklasifikasikan
menurut kriteria penilaian tingkat desentralisasi fiskal adalah
Provinsi dengan tingkat Desentralisasi Fiskal cukup.
3. Rasio Efektivitas PAD
a. Nanik Wahyuni (2011)
Penelitian mengenai rasio efektivitas PAD telah dilakukan
oleh Nanik Wahyuni dengan menggunakan rasio antara total
penerimaan PAD dengan target PAD berdasarkan potensi riil. Hasil
analisis menujukkan pengelolaan keuangan daerah Kota Malang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
cukup baik karena realisasi PAD diatas 100% yaitu rata-rata dari
tahun 2004-2006 adalah sebesar 100,88%.
b. Soelistijono Boedi (2012)
Soleistijono menggunakan rasioa Total Penerimaan PAD
dengan target PAD yang ditetapkan secara riil untuk menghitung
rasio efektivitas PAD. Hasil dari analisis tersebut adalah kemampuan
pemerintah Kabupaten Bajnar dalam merealisasikan PAD yang
direncanakan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil
adalah efektif.
c. Retno dan Rusherlisyanti (2013)
Analisis rasio efektivitas PAD yang dilakukan oleh Retno
dan Rusherlisyanti menggunakan perbandingan antara Total
Penerimaan PAD dengan target PAD yang ditetapkan berdasarkan
potensi riil. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 2008-
2010 rata0rata rasio efektivitas Provinsi Papua Barat adalah sangat
efektif yaitu sebesar 178,52%.
d. Bisma dan Heri (201)
Penelitian mengenai analisis efektivitas PAD yang dilakukan
oleh Bisma dan Hari menggunakan rasio Total Penerimaan PAD
dengan target PAD yang ditetapkan berdasarkan potensi riil. Hasil
dari penelitian tersebut adalah selama periode 2003-2007 tingkat
efektivitas Provinsi NTB adalah efektif yaitu sebesar 102,14%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
e. Afriyanto dan Weni (2013)
Analisis Rasio efektivitas PAD yang dilakukan oleh
Afriyanto dan Weni menggunakan perbandingan antara Total
penerimaan PAD dengan target PAD yang ditetapkan berdasarkan
potensi riil. Hasil dari analisi menyatakan bahwa Kabupaten
Rokanhulu belum efektif pada tahun dan 2008 karena tingkat
efektivitasnya hanya sebesat 42,95% dan 82,17%. Pada tahun 2009
dan 2010 dapat efektif yaitu tingkat efektifitasnya sebesar 128,07
pada tahun 2009 dan 103,93% pada 2010. Sedangkan pada tahun
2011 kembali tidak efektif. Tingkat efektivitas pada tahun 2011
tersebut hanya sebesar 98,79%.
4. RasioAktivitas/Keserasian
a. Nanik Wahyuni (2011)
Penelitian mengenai Rasio Aktivitas/Keserasian telah
dilakukan oleh Nanik Wahyuni menggunakan alat analisis
perbandingan antara total belanja langsung dengan APBD dan total
belanja tidak langsung dengan APBD. Dari perhitungan rasio
aktifitas terlihat bahwa sebagian besar dana dialokasikan untuk
belanja tidak langsung sehingga rasio pembangunan tehadap APBD
masih sangat rendah.
b. Soelistijono Boedi (2012)
Penelitian mengenai Rasio Aktivitas/Keserasian telah
dilakukan oleh Soelistijono Boedi menggunakan alat analisis
perbandingan antara total belanja langsung dengan APBD dan total
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
belanja tidak langsung dengan APBD. Hasil analisis menunjukkan
bahwa rasio aktivitas pemerintah Kabupaten Banjar kurang baik
dikarenakan belanja modal selama 5 tahun masih lebih kecil
dibandingkan belanja operasional.
c. Retno dan Rusherlisyanti (2013)
Penelitian mengenai Rasio Aktivitas/Keserasian telah
dilakukan oleh Retno Dwiyanti dan Rusherlisyanti menggunakan alat
analisis perbandingan antara total belanja langsung dengan APBD
dan total belanja tidak langsung dengan APBD. Dari beberapa
provinsi yang rata-rata belanja langsungnya lebih besar dari belanja
tidak langsung, terlihat Sulawesi Barat lebih menonjol rata-rata
belanja langsungnya dibandingkan belanja tidak langsung yaitu
sebesar 82,48% sedangkan rata-rata belanja tidak langsungnya
sebesar 20,14%. Provinsi yang rata-rata biaya rutinnya lebih besar
dari belanja langsung adalah Provinsi Sumatra Utara, Lampung,
Jawa Barat, Jawa Tenggah, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, dan Papua.
d. Afrianti dan Weni (2013)
Penelitian mengenai Rasio Aktivitas/Keserasian telah
dilakukan oleh Afrianti dan Weni Astuti menggunakan alat analisis
perbandingan antara total belanja langsung dengan APBD dan total
belanja tidak langsung dengan APBD. Rasio Aktivitas`Kabupaten
Rokan Hulu dilihat dari Rasio keserasian pada Belanja tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
langsung yang paling tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar
81,77% dan yang paling rendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebasar
61,99%. Sedangkan Rasio Keserasian pada Belanja langsung yang
paling tinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 37,96% dan yang
paling rendah terjadi pada tahun 2011 yaitu sebasar 18,11%. Hal ini
menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir Rasio Keserasian
Kabupaten Rokan Hulu diprioritaskan untuk Belanja tidak langsung.
Dalam studi tersebut akan digunakan rasio perbandingan
Belanja tidak langsung dan Belanja langsung dengan Total realisasi
belanja APBD.
5. Rasio Efisiensi Belanja
Studi mengenai Rasio Efisiensi telah dilakukan oleh Retno
Dwiyanti dan Rusherlisyanti pada tahun 2013.Studi tersebut
menggunakan analisis perbandingan antara Realisasi Pengeluaran
dengan Realisasi Penerimaan. Hasil dari studi tersebut adalah Provinsi
Bali pada tahun 2008-2010 adalah sebesar 90,59% yang dinyatakan
kurang efisien. Sedangkan Provinsi DI Jogjakarta pada kurun waktu
tersebut dinyatakan tidak efisien dengan tingkat efisiensi sebesar
105,75%.
6. Rasio Indeks Kemampuan Rutin (IKR)
Penelitian mengenai Rasio Indeks Kemampuan Rutin dilakukan
oleh David Evendi dan Sri Wuryadi (2011). Penelitian tersebut
menggunakan perhitungan rasio PAD dengan total pengeluaran rutin.
Hasil analisis menunjukkan bahwa Rasio Indeks Kemampuan Rutin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
selama enam tahun pada pemerintah Kabupaten Nganjuk masuk
dalamskala yang sangat kurang, karena berada dalam skala interval
antara 0,00-20,00 yaitu sebesar 13,58%.
Dalam studi ini akan dilakukan analisis rasio antara Pendapatan
asli daerah (PAD) dengan Belanja tidak langsung dan Belanja langsung
7. Rasio Pertumbuhan
a. Nanik Wahyuni (2011)
Penelitian mengenai Rasio Pertumbuhan telah dilakukan oleh
Nanik Wahyuni menggunakan alat analisis pertumbuhan PAD. Dari
perhitungan dapat diketahui bahwa pertumbuhan APBD kotaMalang
pada tahun anggaran 2004 sampai dengan 2006 menunjukan
pertumbuhan positif.
b. Soelistijono Boedi (2013)
Penelitian mengenai Rasio Pertumbuhan telah dilakukan oleh
Soelistijono Boedi menggunakan alat analisis pertumbuhan PAD.
Analisis menghasilkan Rasio pertumbuhan PAD Kabupaten Banjar
dalam tahun 2005-2010 mengalami penuruanan sebesar 180,08%.
c. Retno dan Rusherlisyanti (2013)
Penelitian mengenai Rasio Pertumbuhan telah dilakukan oleh
Retno Dwianti dan Rusherlisyanti menggunakan alat analisis rasio
perumbuhan PAD, rasio pertumbuhan TPD, rasio pertumbuhan
belanja tidak langsung, dan rasio pertumbuhan belanja langsung dari
tahun ke tahun. Hasil analisis menunjukkan pada tahun 2009
pertumbuhan PAD secara merata provinsi se-Indonesia mengalami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
penurunan yang sangat jauh dari tahun sebelumnya. Ada dua
provinsi yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun selama
kurun waktu tiga tahun yaitu Provinsi Riau dan Sulawesi Selatan,
sedangkan provinsi lainnya berfluktuasi dari tahun ke tahun selama
tiga tahun. Ada dua provinsi yang mengalami kenaikan setiap
tahunnya selama tiga tahun yaitu Provinsi DI Jogjakarta sebesar -
3,68%, 2,18% dan 6,85% dan Gorontalo sebesar 2,87%, 4,59% dan
5,74% naiknya secara perlahan. Sebaliknya provinsi yang mengalami
penurun dari tahun 2008-2010 yaitu Provinsi Sumatra Barat, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua
Barat. Provinsi lainnya berfluktuasi dari tahun ke tahun selama tiga
tahun dari tahun2008-2009 dalam memepertahankan dan
meningkatkan keberhasilan pendapatan daerah.
Pertumbuhan belanja tidak langsung dari tahun 2008-2010,
ada provinsi yang mengalami penurunan dari tahun 2008-2010 yaitu
Provinsi Sumatra Utara, Riau, Jambi, Bangka Belitung, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku dan
Papua. Sebaliknya provinsi yang mengalami kenaikan dari tahun
2008-2010 adalah Provinsi Bengkulu dan DKI Jakarta.Provinsi
lainnya berfluktuasi dari tahun ke tahun, selama tiga tahun periode
2008-2009.Dilihat pertumbuhan belanja langsung dari tahun 2008-
2010, sehingga dapat melihat tingkat kemampuan setiap provinsi
dalam memperathankan dan meningkatkan belanja langsung.
Provinsi yang mengalami penurunan dalam waktu tiga tahun dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
tahun 2008-2010 yaitu Sumatra Utara, Lampung, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua, sebaliknya provinsi yang
mengalami peningkatan dari tahun 2008-2010 adalah Provinsi Aceh,
Jambi, Jawa Tengah, DI. Jogjakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Provinsi
lainnya berfluktuasi dari tahun ke tahun, selama periode 2008-2009.
d. Afrianto dan Weni (2013)
Penelitian mengenai Rasio Pertumbuhan telah dilakukan oleh
Afrianto dan Weni Astuti menggunakan alat analisis rasio
perumbuhan PAD, rasio pertumbuhan TPD, rasio pertumbuhan
belanja tidak langsung, dan rasio pertumbuhan belanja langsung dari
tahun ke tahun. Rasio Pertumbuhan Asli Daerah pada tahun 2007-
2008sebesar 1,07% mengalami kenaikan pada tahun 2008-2009
menjadi 32,54%, pada tahun 2009-2010 mengalami penurunan
menjadi -7,96% dan pada tahun 2010-2011 mengalami kenaikan
menjadi 22,90%.
Rasio Pertumbuhan Total Pendapatan 2007-2008 mengalami
penurunan di tahun 2008-2009 yaitu dari 24,82% menjadi –13,65%,
mengalami kenaikan pada tahun 2009-2010 menjadi 13,56% dan
mengalami kenaikan ditahun 2010-2011 menjadi 25,83%. Rasio
pertumbuhan belanja tidak langsung pada tahun 2007-2008 yaitu
sebesar 2,78% mengalami penurunan di tahun 2008-2009 menjadi
0,36%, pada tahun 2009-2010 mengalami kenaikan menjadi 23,33%
dan mengalami penurunan di tahun 2010-2011 menjadi 16,03%. Dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Rasio pertumbuhan belanja langsung pada tahun 2007-2008 yaitu
sebesar -14,49% mengalami penurunan pada tahun 2008-2009
menjadi -11,18%, pada 2009-2010 mengalami kenaikan menjadi
15,66% dan di tahun 2010-2011 mengalami penurunan menjadi -
39,23%
C. Kerangka Pemikiran Studi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar
pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran.APBD merupakan
rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah
dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu.
Penggunaan APBD harus dikelola secara tertib dan efisien guna mencapai
tujuan penganggaran yang nantinya akan menunjukkan kualitas pengelolaan
keuangan dan tingkat pemerintah daerah itu sendiri.
APBD digunakan sebagai alat pembangunan suatu daerah di era otonomi
daerah sehingga realisasi penggunaan APBD harus diketahui secara
transparan. Laporan realisasi APBD dan rincian PDRB Kabupaten Cilacap,
Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten
Karanganyar tahun 2009-2012 yang selanjutnya dianalisis dengan berbagai
alat yang sesuai, nantinya menunjukkan kinerja pengelolaan keuangan suatu
daerah dan tingkat kemandirian pemerintah daerah tersebut.
Analisis Rasio kemandirian, Derajat Desentralisasi Fiskal, Rasio
Efektivitas PAD, Rasio Aktivitas/Keserasian, Rasio Efisiensi, Indeks
Kemampuan Rutin,dan Rasio pertumbuhan dapat menjadi proyeksi Untuk
mengetahui kinerja pengelolaan keuangan daerah dan tingkat kemandirian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pati, Kabupaten
Semarang, dan Kabupaten Karanganyar pada tahun tersebut.
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Hasil analisis yang ditunjukkan oleh penelitian akan dapat ditarik
simpulan sehingga dapat diambil suatu kebijakan guna mencapai keberhasilan
keuangan daerah dan meningkatkan kemandirian pemerintah Kabupaten
Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, dan
Kabupaten Karanganyar. Kebijakan dapat diupayakan dari sisi perolehan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya maupun pengurangan belanja.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Cilacap, Kabupaten
Banyumas, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten
KaranganyarTahun 2009-2012
Pendapatan Belanja
Kinerja Pengelolaan APBD Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas,
Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Karanganyar Tahun
2009-2012
5. Rasio Efisiensi
6. Indeks Kemampuan
Rutin
7. Rasio Pertumbuhan
4. Aktivitas/
Keserasian
1. KKD
2. DDF
3. Efektivitas
PAD