BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Jembatan
II.1.1 Perkembangan Jembatan
Jembatan dikatakan sebagai peralatan yang tertua di dalam peradaban
manusia. Pada zaman dahulu, jembatan dibuat untuk menyeberangi sungai kecil
dengan menggunakan balok kayu atau batang pohon yang besar dan kuat. Menurut
Degrand, jembatan pertama sekali tercatat pernah dibangun di sungai Nil oleh raja
Manes dari Mesir pada tahun 2650 SM. Suatu deskripsi jembatan kayu yang
dibangun Ratu Semiwaris dari Babilonis yang melintasi sungai Efhrat pada tahun
783 SM juga pernah disusun oleh Diodrons Siculus.
Jembatan ini berlantai kayu, dan bertumpu pada pier dari batu. Lantai kayu
ini dapat dipindahkan atau digeser pada malam hari untuk mencegah pencuri
memasuki kota. Jembatan terapung, yang terbuat dari rangkaian perahu untuk
menyeberangkan tentara pada masa-masa perang pernah dibangun oleh raja
Alexander dari Cyprus pad tahun 556 SM. Jembatan kayu digunakan telah lama,
disebabkan materialnya banyak, dan pelaksanaannya mudah.
Perkembangan Jembatan semakin maju, antara lain dikarenakan penemuan-
penemuan material yang baru antara lain kayu atau batu digabungkan dengan besi.
Jembatan pelengkung beton yang pertama dibangun pada tahun 1776 melintas sungai
Severn di Inggris. Belakangan pada tahun 1824 jembatan gelagar baja dibangun pada
jalan kereta api Dublin Drogheda.
Universitas Sumatera Utara
Jembatan beton hanya digunakan untuk bentuk pelengkung, karena tidak kuat
menahan tegangan tarik. Dengan penemuan baja pada tahun 1825, masa
pembangunan jembatan modern dimulai. Pada tahun 1964, dibangunlah suatu
jembatan yang terpanjang di dunia pada saat itu, yaitu Jembatan Verazano di New
York - USA dengan bentang total adalah 2038 meter, dengan bentang utama adalah
1298 meter. Di banyak negara, jembatan umumnya dibuat dari beton bertulang,
walaupun mulai digantikan oleh beton pratekan.
II.1.2 Pengertiaan Jembatan
Berdasarkan UU 38 Tahun 2004 bahwa jalan dan juga termasuk jembatan
sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting
terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan
yang dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai
keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah.
Konstruksi jembatan adalah suatu konstruksi bangunan pelengkap sarana
trasportasi jalan yang menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang
dapat dilintasi oleh sesuatu benda bergerak misalnya suatu lintas yang terputus akibat
suatu rintangan atau sebab lainnya, dengan cara melompati rintangan tersebut tanpa
menimbun / menutup rintangan itu dan apabila jembatan terputus maka lalu lintas
akan terhenti. Lintas tersebut bisa merupakan jalan kendaraan, jalan kereta api atau
jalan pejalan kaki, sedangkan rintangan tersebut dapat berupa jalan kenderaan, jalan
kereta api, sungai, lintasan air, lembah atau jurang.
Jembatan juga merupakan suatu bangunan pelengkap prasarana lalu lintas
darat dengan konstruksi terdiri dari pondasi, struktur bangunan bawah dan struktur
Universitas Sumatera Utara
bangunan atas, yang menghubungkan dua ujung jalan yang terputus akibat bentuk
rintangan melalui konstruksi struktur bangunan atas.
Jembatan adalah jenis bangunan yang apabila akan dilakukan perubahan
konstruksi, tidak dapat dimodifikasi secara mudah, biaya yang diperlukan relatif
mahal dan berpengaruh pada kelancaran lalu lintas pada saat pelaksanaan pekerjaan.
Jembatan dibangun dengan umur rencana 100 tahun untuk jembatan besar, minimum
jembatan dapat digunakan 50 tahun. Ini berarti, disamping kekuatan dan kemampuan
untuk melayani beban lalu lintas, perlu diperhatikan juga bagaimana pemeliharaan
jembatan yang baik.
Karena perkembangan lalu lintas yang ada relatip besar, jembatan yang
dibangun, biasanya dalam beberapa tahun tidak mampu lagi menampung volume lalu
lintas, sehingga biasanya perlu diadakan pelebaran. Untuk memudahkan pelebaran
perlu disiapkan desain dari seluruh jembatan sehingga dimungkinkan dilakukan
pelebaran dikemudian hari, sehingga pelebaran dapat dilaksanakan dengan biaya
yang murah dan konstruksi menjadi mudah.
Pada saat pelaksanaan konstruksi jembatan harus dilakukan pengawasan dan
pengujian yang tepat untuk memastikan bahwa seluruh pekerjaan dapat diselesaikan,
sesuai dengan tahapan pekerjaan yang benar dan memenuhi persyaratan teknis yang
berlaku, sehingga dicapai pelaksanaan yang efektif dan efisien, biaya dan mutu serta
waktu yang telah ditentukan.
Universitas Sumatera Utara
II.1.3 Klasifikasi Jembatan
Ditinjau dari berbagai aspek, maka jembatan diklasifikasikan atas :
1. Ditinjau dari material yang digunakan, jembatan bisa dibedakan, yakni :
a. Jembatan Kayu
b. Jembatan Gelagar Baja
c. Jembatan Beton Bertulang
d. Jembatan Komposit
e. Jembatan Beton Prategang
Jembatan Khusus, misalnya jembatan dimana mutu bahannya berbeda untuk
konstruksi utama dan sekunder / jembatan gelagar baja pratekan.
2. Ditinjau dari bentuk struktur konstruksi, jembatan bisa dibedakan ,yakni :
a. Jembatan batang kayu (Log bridge)
b. Jembatan gelagar biasa (Beam bridge)
c. Jembatan portal (Rigid frame bridge)
d. Jembatan penyangga (Cantilever bridge)
e. Jembatan lengkung atau portal (Compression arch bridge)
Gambar II.1 Berbagai Tipe Jembatan Pelengkung (Sumber: Chen & Duan, 2000)
Universitas Sumatera Utara
f. Jembatan gantung (Suspension bridge)
Gambar II.2 Jembatan Gantung (Sumber: Chen & Duan, 2000)
g. Jembatan kerangka (Truss bridge)
h. Jembatan kabel penahan (Cable-stayed bridge)
Gambar II.3 Jenis Jembatan Kabel Tarik
(a) jembatan bentang dua dengan angker tanah dan
(b) jembatan bentang tiga dengan pendukung antara di sisi bentang (Sumber: Chen & Duan, 2000)
i. Jembatan gelagar I segmental beton atau beton pra tekan
Jembatan gelagar sederhana merupakan suatu jembatan, yang konstruksi
utama (bagian atas) terdiri dari beberapa buah gelagar, yang dikonstruksikan dan
diletakkan di atas dua buah tumpuan atau perletakkan dengan anggapan satu sendi
dan satu rol. Pada bagian bawah gelagar dibuat beberapa buah profil melintang dan
menyilang yang berfungsi sebagai penyatu gelagar. Pada bagian atas diletakkan
papan lantai jembatan dan kemudian dilapisi dengan aspal.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.4 Jembatan Gelagar I segmental panjang 20 m
j. Jembatan baja berdinding penuh (Plat girder bridge)
3. Ditinjau dari statika konstruksi, jembatan bisa dibedakan antara lain :
Berdasarkan analisa struktur (statika konstruksi) maka jembatan dapat di bagi
atas dua bagian yaitu :
a. Jembatan statis tertentu
b. Jembatan statis tak tertentu
4. Ditinjau dari fungsi atau kegunaannya, jembatan bisa dibedakan antara lain :
a. Jembatan untuk lalu lintas kereta api (railway bridge)
b. Jembatan untuk lalu lintas biasa atau umum (highway bridge)
c. Jembatan untuk pejalan kaki (foot path)
d. Jembatan berfungsi ganda, misalnya untuk lalu lintas kereta api dan
mobil, untuk lalu lintas umum dan air minum, dan sebagainya.
e. Jembatan khusus, misalnya untuk pipa-pipa air minum, pengairan, pipa
gas, jembatan militer dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
5. Ditinjau menurut sifat-sifatnya, jembatan bisa dibedakan antara lain :
a. Jembatan sementara atau darurat
b. Jembatan tetap atau permanen
c. Jembatan bergerak, yaitu jembatan yang dapat digerakkan misalnya agar
penyeberangan kapal-kapal di sungai tidak terganggu.
6. Ditinjau menurut letak atau posisinya, jembatan bisa dibedakan antara lain :
a. Jembatan di atas saluran sungai, saluran irigasi atau drainase
b. Jembatan di atas perairan (Aquaduct)
c. Jembatan di atas lembah
d. Jembatan di atas jalan yang sudah ada (Viaduct)
7. Ditinjau menurut letak lantainya, jembatan bisa dibedakan antara lain :
a. Jembatan dengan lantai kenderaan di bawah
b. Jembatan dengan lantai kenderaan di atas
c. Jembatan dengan lantai kenderaan di tengah
d. Jembatan lantai kenderaan di atas dan bawah (Double deck bridge)
Gambar II.5 Jembatan Box Girder Beton Menerus Kelas-A, Jawa Barat, 1979.
Bentang utama 132 meter dua sisi simetris 45 meter (total 222 meter)
Universitas Sumatera Utara
II.1.4 Dasar Pemilihan Tipe Jembatan
Banyak beberapa faktor yang menentukan tipe dari jembatan yang akan
dibangun agar bangunan yang akan dibangun efisien dan ekononis. Adapun faktor
tersebut antara lain :
II.1.4.a Keadaan Struktur Tanah Pondasi
Untuk tanah pondasi lunak adalah kurang cocok bila dibuat suatu jembatan
pelengkung, mengingat gaya horizontal yang besar dan memerlukan pondasi tiang
pancang miring, yang sulit dilaksanakan. Untuk tanah keras atau batu cadas yang
menghubungkan jurang yang dalam, sangat cocok bila dibangun jembatan
pelengkung. Selain itu juga sangat cocok di bangun di pegunungan yang memiliki
tanah pendasar atau pondasi yang curam. Dengan adanya gaya horizontal pada
pondasi, maka gaya geser vertikal pada tanah pondasi bisa diimbangi oleh gaya
horizontal, sehingga bahaya longsoran dapat dikurangi.
II.1.4.b Faktor Peralatan dan Tenaga Teknis
Perencanaan jembatan gelagar sederhana, tidak memerlukan keahlian khusus
dalam bidang tertentu. Peralatan berat harus dipikirkan dalam perencanaan sebuah
jembatan beton yang dicor di tempat lain. Jembatan beton pratekan (pre-cast) dengan
bentang 20 meter, yang akan dibangun di daerah pedalaman atau pegunungan
tentunya kurang relevan karena akan sulit dalam pengangkutan dan pelaksanaannya
yang akan melalui jalan berliku.
II.1.4.c Faktor Bahan dan Lokasi
Ada kalanya di sungai tertentu, bila akan dibangun jembatan, dijumpai
banyak sekali batu kerikil yang baik untuk beton dan juga pasir dan batu koral yang
Universitas Sumatera Utara
bermutu tinggi. Di sana mungkin akan sangat ekonomis bila jembatan di buat dari
beton bertulang, pondasi dari pasangan batu koral dan sebagainya.
Di daerah pantai laut, dimana udara sekeliling mengandung garam, maka
perlu dipertimbangkan pemakaian konstruksi baja apakah masih sesuai mengingat
faktor perkaratan.
II.1.4.d Faktor Lingkungan
Sebaiknya bentuk jembatan harmonis dengan sekitarnya, agar indah dipandang.
Ketentraman bathin menentukan dalam ruang gerak kehidupan manusia. Bentuk dan
warna alam sekitar mempengaruhi ketentraman jiwa.
Selain faktor di atas, maka perlu dipertimbangkan prinsip pemilihan konstruksi
jembatan, sebagai berikut :
1. Konstruksi Sederhana (bisa dikerjakan masyarakat)
2. Harga Murah (manfaatkan material lokal)
3. Kuat & Tahan Lama (mampu menerima beban lalin)
4. Perawatan Mudah & Murah (bisa dilakukan masyarakat)
5. Stabil & Mampu Menahan Gerusan Air
6. Bentang yang direncanakan adalah yang terpendek
7. Perencanaan abutment yang dihindari terlalu tinggi.
Tipe jembatan umumnya ditentukan oleh faktor seperti beban yang direncanakan,
kondisi geografi sekitar, jalur lintasan dan lebarnya, panjang dan bentang jembatan,
estetika, persyaratan ruang di bawah jembatan, transportasi material konstruksi,
prosedur pendirian, biaya dan masa pembangunan. Tabel II.1 berikut menunjukkan
aplikasi panjang bentang beberapa tipe jembatan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.1 Tipe Jembatan dan Aplikasi Panjang Jembatan
No Tipe Jembatan Panjang Bentang ( m ) Contoh Jembatan dan Panjangnya
1 Gelagar Beton Prestress 10 - 300 Stolmasundet, Norwegia, 301 m 2 Gelagar Baja I / Kotak 15 - 376 Jembatan Stalassa, Itali, 376 m 3 Rangka Baja 40 - 550 Quebec, Canada, 549 m 4 Baja Lengkung 50 - 550 Shanghai Lupu, China, 550 m 5 Beton Lengkung 40 - 425 Wan Xian, China, 425 m (pipa baja berisi beton) 6 Kabel Tarik 110 - 1100 Sutong, China, 1088 m 7 Gantung 150 - 2000 Akaski-Kaikyo, Jepang, 1991 m
II.1.5 Bagian Struktur Jembatan Elemen struktur jembatan sebenarnya dapat dibedakan menjadi bagian atas
(super-structure) dan bagian bawah (sub-structure). Bangunan bawah jembatan
menyalurkan beban dari bangunan atas jembatan ke tapak atau pondasi.
Gambar II.6 Tipikal Struktur Jembatan
(Sumber: Chen & Duan, 2000)
Struktur jembatan bagian atas dipakai untuk melintasi aliran air, jalur rel,
ataupun jalur jalan yang lain. Struktur jembatan tidak harus memotong aliran air atau
alur lainnya secara tegak lurus, tetapi juga boleh secara serong (skew), baik ke kanan,
maupun ke kiri. Alinemen jalan yang lebih baik akan menghasilkan biaya operasi
kendaraan dan waktu perjalanan yang lebih kecil, yang dapat mengimbangi
tambahan biaya struktur jembatan serong (skew).
Universitas Sumatera Utara
II.1.5.a Struktur Bangunan Atas Jembatan (Upper/Super-Structure)
Adalah bagian dari struktur jembatan yang secara langsung menahan beban
yang ditimbulkan oleh lalu lintas orang, kenderaan dan lain-lain, untuk selanjutnya
disalurkan kepada bangunan bawah jembatan; bagian-bagian pada struktur bangunan
atas jembatan terdiri atas struktur utama, sistem lantai, sistem perletakan, sambungan
siar muai dan perlengkapan lainnya seperti bangunan pengaman jembatan dan oprit
jembatan; struktur utama bangunan atas jembatan dapat berbentuk pelat, gelagar,
sistem rangka, gantung, jembatan kabel (cable stayed) atau pelengkung.
Oprit-jembatan merupakan timbunan tanah di belakang abutment, timbunan
tanah ini dibuat sepadat mungkin, untuk menghindari terjadinya penurunan
(settlement) yang tidak disukai bagi pengendara. Apabila terjadi penurunan atau
kerusakkan pada hubungan ekspansi yang merupakan bidang pertemuan antara
bangunan atas dengan abutment, maka pemadatan harus dibuat maksimum dan di
atasnya dipasang plat injak di belakang abutment.
II.1.5.b Struktur Bangunan Bawah Jembatan (Sub-Structure)
Adalah bagian dari struktur jembatan yang umumnya terletak di sebelah
bawah bangunan atas dengan fungsi untuk menerima dan memikul beban dari
bangunan atas agar dapat disalurkan kepada pondasi. Bangunan bawah dibagi
menjadi 2 (dua) bagian yaitu kepala jembatan (abutment) atau pilar (pier) dan
pondasi untuk kepala jembatan atau pilar. Struktur bangunan bawah perlu didesain
khusus sesuai dengan jenis kekuatan tanah dasar dan elevasi jembatan.
Universitas Sumatera Utara
II.2 Gelagar Beton Prategang
II.2.1 Pengertian Beton Prategang
Beton adalah meterial yang kuat terhadap kondisi tekan, akan tetapi material
yang lemah terhadap kondisi tarik. Kuat tarik beton bervariasi mulai dari 8 sampai 14
persen dari kuat tekannya. Rendahnya kapasitas tarik beton menimbulkan terjadinya
retak lentur pada taraf pembebanan yang masih rendah. Untuk mengurangi atau
mencegah berkembangnya retak tersebut, gaya konsentris atau eksentris diberikan
dalam arah longitudinal elemen struktural. Gaya ini mencegah berkembangnya retak
dengan cara mengeliminasi atau sangat mengurangi tegangan tarik di bagian
tumpuan dan daerah kritis pada kondisi beban kerja sehingga dapat meningkatkan
kapasitas lentur, geser, dan torsional penampang tersebut. Penampang dapat
berperilaku elastis, dan hampir semua kapasitas beton dalam memikul tekan dapat
secara efektif dimanfaatkan di seluruh tinggi penampang beton pada saat semua
beban bekerja di struktur tersebut
Gaya longitudinal yang diterapkan tersebut di atas disebut gaya prategang,
yaitu gaya tekan yang memberikan prategang pada penampang di sepanjang bentang
suatu elemen struktural sebelum bekerjanya beban mati dan beban hidup transversal
atau beban hidup horizontal transien. Gaya prategang ini berupa tendon yang
diberikan tegangan awal sebelum memikul beban kerjanya, yang berfungsi
mengurangi atau menghilangkan tegangan tarik pada saat beton mengalami beban
kerja, mengantikan tulangan tarik pada struktur beton bertulang biasa.
Universitas Sumatera Utara
Pada beton bertulang biasa, gaya tarik yang berasal dari momen lentur
ditahan oleh lekatan yang terjadi antara tulangan dan beton. Akan tetapi, tulangan di
dalam komponen struktur beton bertulang tidak memberikan gaya dari dirinya pada
komponen struktur tersebut, suatu hal yang berlawanan dengan aksi baja (tendon)
prategang yang menghasilkan gaya dari dirinya sehingga memungkinkan pemulihan
retak dan defleksi akibat momen lentur tersebut. Pemberian gaya prategang berupa
tendon, guna mengurangi atau menghilangkan tegangan tarik, ini yang dikenal sebagi
beton prategang.
Beton prategang adalah material yang sangat banyak digunakan dalam
kontruksi. Beton prategang pada dasarnya adalah beton di mana tegangan-tegangan
internal dengan besar serta distribusi yang sesuai diberikan sedemikian rupa sehingga
tegangan-tegangan yang diakibatkan oleh beban-beban luar dilawan sampai suatu
tingkat yang diinginkan. Prategang meliputi tambahan gaya tekan pada struktur
untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan gaya tarik internal dan dalam hal ini
retak pada beton dapat dihilangkan. Pada beton bertulang, prategang pada umumnya
diberikan dengan menarik baja tulangan. Gaya tekan disebabkan oleh reaksi baja
tulangan yang ditarik, mengakibatkan berkurangnya retak, elemen beton prategang
akan jauh lebih kokoh dari elemen beton bertulang biasa. Prategangan juga
menyebabkan gaya dalam yang berlawanan dengan gaya luar dan mengurangi atau
bahkan menghilangkan lendutan secara signifikan pada struktur.
Beton yang digunkan dalam beton prategang adalah mempunyai kuat tekan
yang cukup tinggi dengan nilai f’c min K-300, modulus elastis yang tinggi dan
mengalami rangkak ultimit yang lebih kecil, yang menghasilkan kehilangan
prategang yang lebih kecil pada baja. Kuat tekan yang tinggi ini diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
menahan tegangan tekan pada serat tertekan, pengangkuran tendon, mencegah
terjadinya keretakan. Tipikal diagram tegangan-regangan beton dapat dilihat pada
gambar II.7. Pemakaian beton berkekuatan tinggi dapat memperkecil dimensi
penampang melintang unsur-unsur struktural beton prategang. Dengan berkurangnya
berat mati material, maka secara teknis maupun ekonomis bentang yang lebih
panjang dapat dilakukan.
Tegangan (Mpa)
Regangan
Gambar II.7 Diagram Tegangan Regangan Pada Beton
Perubahan bentuk pada beton adalah langsung dan tergantung pada waktu.
Pada beban tetap, perubahan bentuk bertambah dengan waktu dan jauh lebih besar
dibandingkan harga langsungnya. Susut tidak disebabkan oleh tegangan, tetapi
merupakan akibat dari hilangnya air dalam proses pengeringan beton, sementara
rangkak oleh bekerjanya tegangan. Susut dan rangkak menyebabkan perubahan
bentuk aksial, kelengkungan pada penampang, kehilangan tegangan lokal antara
beton dan baja, redistribusi aksi internal pada struktur statis tertentu.
Universitas Sumatera Utara
II.2.2 Penggunaan Baja Prategang
Untuk penggunaan pada beban layan yang tinggi, penggunaan baja tulangan
(tendon) dan beton mutu tinggi akan lebih efisien. Hanya baja dengan tegangan
elastis tinggi yang cocok digunakan pada beton prategang. Penggunaan baja tulangan
mutu tinggi bukan saja merupakan suatu keuntungan, tetapi merupakan suatu
keharusan. Prategangan akan menghasilkan elemen yang lebih ringan, bentang yang
lebih besar dan lebih ekonomis jika ditinjau dari segi pemasangan dibandingkan
dengan beton bertulang biasa.
Prategang pada dasarnya merupakan suatu beban yang menimbulkan
tegangan dalam awal sebelum pembebanan luar dengan besar dan distribusi tertentu
bekerja sehingga tegangan yang dihasilkan dari beban luar dilawan sampai tingkat
yang diinginkan. Gaya pratekan dihasilkan dengan menarik kabel tendon yang
ditempatkan pada beton dengan alat penarik. Setelah penarikan tendon mencapai
gaya/tekanan yang direncanakan, tendon ditahan dengan angkur, agar gaya tarik
yang tadi dikerjakan tidak hilang. Penarikan kabel tendon dapat dilakukan baik
sebelum beton dicor (pre-tension) atau setelah beton mengeras (post-tension).
Baja (tendon) yang dipakai untuk beton prategang dalam prakteknya ada tiga
macam, yaitu :
1. Kawat tunggal (wires), biasanya digunkan untuk baja prategang pada beton
prategang dengan system pratarik (pre-tension).
2. Kawat untaian (strand), biasanya digunkan untuk baja prategang pada beton
pratengang dengan system pascatarik (post-tension).
3. Kawat batangan (bar), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton
prategang dengan system pratarik (pre-tension)
Universitas Sumatera Utara
Kawat tunggal (wires) (b) Untaian Kawat (strand)
(c) Kawat batangan (bars)
Gambar II.8 Jenis-jenis Baja yang Dipakai Untuk Beton Prategang : (a)
Kawat tunggal (wires). (b) Untaian Kawat (strand). (c) Kawat batangan (bars) (Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)
Kawat tunggal yang dipakai untuk beton prategang adalah yang sesuai
dengan dpesifikasi sepeti ASTM A 421; stress-relieved strands mengikuti standar
ASTM A 416. Strands terbuat dari tujuh kawat dengan memuntir enam diantaranya
pada pich sebesar 12 sampai 16 kali diameter di sekeliling kawat lurus yang sedikit
kebih besar. Ukuran dari kawat tunggal bervariasi dengan diameter antara 3 – 8 m,
dengan tengangan tarik (fp) antara 1500 – 1700 Mpa dengan modulus elastisitas Ep =
200 x 103 Mpa. Tipikal diagram tegangan-regangan dari ketiga jenis tendon tersebut
dapat dilihat pada gambar II.9, gambar II.10, dan gambar II.11.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.9 Diagram Tegangan-Regangan Pada Kawat Tunggal (Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)
Gambar II.10 Diagram Tegangan-Tegangan Pada Untaian Kawat (Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)
Gambar II.11 Diagram Tegangan-Regangan Pada Baja Batangan (Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)
Universitas Sumatera Utara
Untuk memaksimumkan luas baja strands 7 kawat untuk suatu diameter nominal,
kawat standar dapat dibentuk menjadi strands yang dipadatkan seperti pada gambar II.12.
Standar ASTM yang disyaratkan masing-masing tercantum pada table II.2.
Gambar II.12 Strands Prategang 7 Kawat Standard dan Dipadatkan.
(a) Penampang strand standar. (b) Penampang strand yang dipadatkan (Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)
Table II.2 Strand Standar Tujuh Kawat Untuk Beton Prategang Diameter
nominal
strand (in)
Kuat patah
strand (min. lb)
Luas baja
nominal strand
(in.2)
Berat nominal
strand (lb/100
ft)*
Beban minimum
pada ekstensi 1%
(lb)
MUTU 250
1/4 (0,250) 9.000 0,036 122 7.650
5/16 (0,313) 14.500 0,058 197 12.300
3/8 (0,375) 20.000 0,080 272 17.000
7/16 (0,438) 27.000 0,108 367 23.000
1/2 (0,500) 36.000 0,144 490 30.600
3/5 (0,600) 54.000 0,216 737 45.900
MUTU 270
3/8 (0,375) 23.000 0,085 290 19.550
7/16 (0,438) 31.000 0,115 390 26.350
1/2 (0,500) 41.300 0,153 520 35.100
3/5 (0,600) 58.600 0,217 740 49.800
* 100.000 psi = 689,5 Mpa 0,1 in = 2,54 mm, 1 in2 = 645 berat: kalikan dengan 1,49 untuk mendapatkan berat dalam kg per 1000 m. 1000 lb = 4448 N (Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)
Universitas Sumatera Utara
II.2.3 Prinsip Dasar Prategang
Pemberian gaya prategang, bersama besarnya, ditentukan terutama
berdasarkan jenis sistem yang dilaksanakan dan panjang bentang serta kelangsingan
yang dikehendaki. Gaya pratengang yang diberikan secara longitudinal di sepanjang
atau sejajar dengan sumbu komponen struktur, maka prinsip-prinsip prategang
dikenal sebagai pemberian prategang linier.
Gambar II.13 Pinsip-prinsip Prategang Linier dan Melingkar. (a) Pemberian
prategang linier pada sederetan blok untuk membentuk balok. (b) Tegangan tekan di
penmpang tengah bentang C dan penampang Atau B. (c) Pemberian prategang
melingkar pada gentong kayu dengan pemberian tarik pada pita logam. (d) Prategang
melingkar pada satu papan kayu. (e) Gaya tarik F pada detengah pita logam akibat
tekanan internal, yang harus diimbangi oleh prategang melingkar (Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.13 menjelaskan bahwa aksi pemberian prategang pada kedua
sestem structural dan respon tegangan yang dihasilkan. Pada bagian (a), blok-blok
beton bekerja bersama sebagai sebuah balok pembarian gaya prategang tekan P. Pada
blok-blok tersebut kemungkinan tergelincir pda arah vertical yang mensimulasikan
kegagalan gelincir geser, pada kenyataan tidak demikian karena adanya gaya
longitudinal P. Dengan cara yang sama, papan-papan kayu di dalam bagian (c)
kelihatan dapat terpisah satu sama lain sebagai akibat adanya tekanan yang radial
internal yang bekerja padanya. Akan tetapi, karena adanya prategang tekan yang
diberikan oleh pita logam sebagai prategang melingkar, papan-papan tersebut tetap
menyatu.
II.2.4 Konsep-Konsep Dasar Beton Prategang
Ada tiga konsep yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis
sifat-sifat dasar dari beton prategang. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut :
Konsep pertama, Sistem Prategang Untuk Mengubah Beton Menjadi Bahan
Yang Elastis. Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis. Ini
merupakan sebuah pemikiran dari Eugene Freyssnet yang memvisualisasikan beton
prategang yang pada dasarnya adalah beton dari bahan yang getas menjadi bhan yang
elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada bahan
tersebut. Beban yang tidak mampu menahan tarikan dana kuat memikul tekanan
(umumnya dengan baja mutu tinggi yang ditarik) sedemikiaan sehingga beton yang
getas dapat memikul tegangan tarik. Dari konsep inilah lahir kriteria “tidak ada
tegangan tarik” pada beton. Unumnya telah diketahui bahwa jika tidak ada tegangan
Universitas Sumatera Utara
F/A
My/I
Mc/I
(F/A + Mc/I)
(F/A My/I)
(F/A - Mc/I)
Akibat Gaya Prategang Akibat Momen Eksternal M Akibat F dan M
c.g.cTendon Konsentris
(Gaya F)
Gaya diberi Prategang dan Dibebani
tarik pada beton, berarti tidak akan terjadi retak, dan beton tidak merupakan bahan
yang getas lagi melainkan bahan yang elastis.
Dalam bentuk yang sederhana, ditinjau sebuah balok persegi panjang yang
diberi gaya prategang oleh sebuah tendon melalui sumbu yang melalui titik berat dan
dibebani oleh gaya eksternal, lihat gambar II.14.
Gambar II.14 Distribusi Tegangan Sepanjang Penampang Beton Prategang
Konsentris (Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)
Gaya partegang F pda tendon menghasilkan gaya tekan F yang sama pada beton
yang juga bekerja pada titik berat tendon. Akibatnya gaya prategang tekan secara
merata sebesar
)1.2......(....................................................................................................AFf =
akan timbul pada penampang seluas A. jika M adalah momen eksternal pada
penampang akibat beban dan berat sendiri balok, maka tegangan pada setiap titik
sepanjang penampang akibat M adalah
Universitas Sumatera Utara
Bagian Balok Prategang
P
CT
P
CT
Bagian Balok Bertulang
)2.2...(....................................................................................................I
Myf =
dimana y adalah jarak dari sumbu yang melalui titik berat dan I adalah momen
inersia penampang. Jadi distribusi tegangan yang dihasilkan adalah
)3.2......(..........................................................................................I
MyAFf ±=
Kosep kedua, Sistem Prategang Untuk Kombinasi Baja Mutu Tinggi Dengan
Beton. Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi
(gabungan) dari baja dan beton, seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan
tarikan dan beton menahan teknan. Dengan demikian kedua bahan membentuk kopel
penahan untuk melawan momen eksternal, gambar II.15. Hal ini merupakan konsep
yang mudah. Dengan beton bertulang, dimana baja menahan gaya tarik dan beton
menahan gaya tekan, dan kedua gaya membentuk momen kopel dengan memen
diantaranya.
Gambar II.15 Momen Penahan Internal Pada Beton Prategang dan Beton Bertulang (Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)
Universitas Sumatera Utara
Pada beton bertulangmengalami retak dan lendutan yang besar
Pada beton prategangmengalami retak dan lendutan yang kecil
Pada beton prategang, baja mutu tinggi dipakai dengan cara menariknya
sebelum kekuatannya dimanfaatkan sepenuhnya. Jika beton mutu tinggi ditanamkan
pada beton, seperti pada beton betulang biasa, beton sekitarnya akan mengalami
retak sebelum seluruh kekuatan baja digunkan, Gambar II.16.
Gambar II.16 Balok Beton Menggunakan Baja Mutu Tinggi (Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)
Konsep ketiga, Sistem Prategang untuk Mencapai Keseimbangan Beban.
Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai suatu usaha untuk membuat
seimbang gaya-gaya pada sebuah batang.
Pada keseluruhan desain struktur beton prategang, pengaruh dari prategang
dipandang sebagai keseimbangan berat sendiri sehingga batang yang mengalami
lenturan seperti pelat (slab), balok, dan gelagar (girder) tidak akan mengalami
tegangan lentur pada kondisi pembebanan yang terjadi. Ini memungkinkan
transformasi dari batan lentur menjadi batang yang mengalami tegangan langsung
dan sangat menyederhanakan persoalan baik didalam desain maupun analisis dan
struktur yang rumit.
Penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil sebagai benda bebas
dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya yang bekerja pada beton sepanjang
Universitas Sumatera Utara
Tendon Parabola
Beban Merata
Wb
h
L
bentang. Sebagai contoh, sebuah balok prategang diatas dua tumpuan (simple beam)
dengan tendon berbentuk parabola seperti Gambar II.17.
Gambar II.17 Balok Prategang Dengan Tendon Parabola (Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)
Jika, F = Gaya Pratengang
L = Panjang Bentang
H = Tinggi Parabola
Beban yang terdistribusi secara merata kea rah atas dinyatakan dalam
)4.2.(....................................................................................................82L
FhWb =
Jadi, untuk W yang terdistribusi secara merata ke arah bawah yang diberikan,
beban tegak lurus pada balok diimbangi, dan balok hanya dibebani oleh gaya aksial
F, yang menghasilkan tegangan merata pada beton (persamaan 2.1).
Universitas Sumatera Utara
II.2.5 Sistem Pratengang dan Pengangkeran
Sehubungan dengan perbedaan system untuk penarikan dan pengangkeran
tendon, maka situasinya sedikit membingungkan dalam perancangan dan penerapan
beton prategang. Seorang sarjana teknik wsipil harus mempunyai pengetahuan umum
mengenai metode-metode yang ada dan mengingatnya pada saat menentukan
dimensi komponen struktur, sehingga tendon-tendon dari beberapa sistem dapat
ditempatkan dengan baik.
Gambar II.18 Pengangkeran Sistem Pratarik (Pre-tensioning) (Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)
Berbagai metode dengan nama pratekanan (pre-compression) diberikan pada beton
dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pembangkit gaya tekan antara elemen structural dan tumpuan-tumpuannya
dengan pemakaian dongkrak (flat jack).
2. Pengembangan Tekanan Keliling (hoop compression) dalam struktur
berbentuk silinder dengan mengulung kawat secara melingkar.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemakaian baja yang ditarik secara longitudinal yang ditanam dalam beton
atau ditempatkan dalam selongsong.
4. Pemakaian prinsip distorsi suatu struktur statis tak tentu baik dengan
perpindahan maupun dengan rotasi satu bagian relatif terhadap bagian
lainnya.
5. Pemakaian pemotong baja structural yang dilendutkan dan ditanam dalam
beton sampai beton tersebut mengeras.
6. Pengembangan tarikan terbatas pada baja dan tekanan pada beton dengan
memakai semen yang mengembang
Gambar II.19 Pengangkeran Sistem Pascatarik (Post-tensioning) dengan
Mengunakan jack 1000 ton (Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)
Metode yang biasa dipakai untuk memberikan parategang pada semen beton
strukural adalah dengan menarik baja ke arah longitudinal dengan alat penarik yang
berbeda-beda. Prategang dengan menggunakan gaya-gaya langsung diantara
Universitas Sumatera Utara
tumpuan-tumpuan umumnya dipakai pelengkung dan perkerasan, dan dongkrak datar
selalu dipakai untuk memberikan gaya-gaya yang diinginkan.
Pengankeran ada 2 macam yaitu : angker mati dan angker hidup. Angker mati
adalah angker yang tidak bias dilakukan lagi penarikan setelah penegangan tendon
dilakukan. Angker mati sering digunakan dalam prategang dengan sistem pratarik.
Sedangkan angker hidup dapat dilakukan penarikan kembali jika hal itu diperlukan.
Pegangkeran ini sering dijumpai dalam prategang dengan sistem pasca tarik.
(a)Angker hidup (b) Angker mati.
Gambar II.20 Jenis Pengankeran (a) Angker hidup. (b) Angker mati. (Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)
Gambar II.21 Penempatan Angker Pada Beton Prategang (Post-tensioning)
Universitas Sumatera Utara
II.2.5.a Sistem Pratarik (Pre-tensioning)
Didalam sistem pratarik (Pre-tensioning), tendon lebih dahulu ditarik antara
blok-blok angker yang kaku (rigid) yang dicetak diatas tanah atau didalam suatu
kolom atau perangkat cetakan pratarik seperti terlihat pada gambar II.22, dan
selanjutnya dicor dan dipadatkan sesuai dengan bentuk serta ukuran yang diinginkan.
Metode ini digunakan untuk beton-beton pracetak dan biasanya digunakan
untuk konstruksi-konstruksi kecil. Beton-beton pracetak biasanya digunakan pada
konstruksi-konstruksi bangunan, kolom-kolom gedung, tiang pondasi atau balok
dengan bentang yang panjang.
Adapun tahap urutan pengerjaan beton pre-tension adalah sebagai berikut :
Kabel tendon dipersiapkan terlebih dahulu pada sebuah angkur yang mati (fixed
anchorage) dan sebuah angkur yang hidup (live anchorage). Kemudian live
anchorage ditarik dengan dongkrak (jack) sehingga kabel tendon bertambah panjang.
Jack biasanya dilengkapi dengan manometer untuk mengetahui besarnya gaya yang
ditimbulkan oleh jack. Setelah mencapai gaya yang diinginkan, beton dicor. Setelah
beton mencapai umur yang cukup, kabel perlahan-lahan dilepaskan dari kedua
angkur dan dipotong. Kabel tendon akan berusaha kembali ke bentuknya semula
setelah pertambahan panjang yang diakibatkan oleh penarikan pada awal
pelaksanaan. Hal inilah yang menyebabkan adanya gaya tekan internal pada beton.
Oleh karena sistem pratarik besandar pada rekatan yang timbul antara baja dan
tendon sekelilingnya, hal itu penting bahwa setiap tendon harus merekat sepanjang
deluruh panjang badan. Setelah beton mengeras, tendon dilepaskan dari alas
prapenarikan dan gaya prategang ditranfer ke beton.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.22 Proses Pengerjaan Beton Pratarik (Pre-tensioning) (Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)
II.2.5.b Sistem Pascatarik (Post-tensioning)
Kebanyakan pelaksanaan pretensioning dilapangan dilaksanakan dengan
metode post-tensioning. Pascatarik dipakai untuk memperkuat bendungan beton,
prategang melingkar dari tangki-tangki beton yang besar, serta perisai-perisai
biologis dari reactor nuklir. Pascatarik (Post-tensioning) juga banyak digunakan
konstruksi beton prategang segmental pada jembatan dengan bentang yang panjang.
Adapun metode dalam pelaksanaan pengerjaan beton pasca tarik (Post-
tensioning) adalah sebagai berikut :
Selongsong kabel tendon dimasukkan dengan posisi yang benar pada cetakan beton
beserta atau tanpa tendon dengan salah satu ujungnya diberi angkur hidup dan ujung
lainnya angkur mati atau kedua ujungnya dipasang angkur hidup. Beton dicor dan
dibiarkan mengeras hingga mencapai umur yang mencukupi. Selanjutnya, dongkrak
Universitas Sumatera Utara
(a) Beton dicor
(b) Tendon ditarik dan gaya tekanditransfer
(c) Tendon diangkur dan digrouting
hidrolik dipasang pada angkur hidup dan kabel tendon ditarik hingga mencapai
tegangan atau gaya yang direncanakan seperti terlihat pada gambar II.23. Untuk
mencegah kabel tendon kehilangan tegangan akibat slip pada ujung angkur terdapat
baji. Gaya tarik akan berpindah pada beton sebagai gaya tekan internal akibat reaksi
angkur.
Gambar II.23 Proses Pengerjaan Beton Pascatarik (Post-tensioning) (Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)
II.2.5.c Prategang Termo-Listrik
Metode prategang dengan tendon yang dipanaskan, yang dicapai dengan
melewatkan aliran listrik pada kawat yang bermutu tinggi, umumnya disebut sebagai
“Prategang Termo-Listrik”. Prosesnya terdiri atas pemanasan batang dengan arus
listrik sampai temperature 300 – 400 ºC selama 3 – 5 menit. Batang tersebut
mengalami perpanjangan kira-kira 0,3 – 0,5 persen. Setelah pendinginan batang
tersebut berusaha memperpendek diri ada ini dicegah oleh jepitan angkur pada kedua
ujungnya seperti yang ditunjukan dengan gambar II.24. Waktu pendinginan
diperhitungkan 12 – 15 menit.
Universitas Sumatera Utara
Blok Ujung
Batang Didinginkan
Batang Dipanaskan
Cetakan
Batang setelahPengangkuran
L
L = (Ly -
Lt > Ly
Ly
L)
Gambar II.24 Proses Prategang Termo-Listrik (Sumber: Beton Pratekan, N. Krishna Raju)
II.2.5.d Prategang Secara Kimia
Reaksi kimia dalam semen ekspansif dapat menegangkan baja yang ditanam
yang kemudian menekan beton. Hal ini sering disebut dengan penegangan sendiri
(self-sressing) atau disebut juga prategang kimiawi.
Bila semen ini digunakan untuk membuat beton dengan baja yang tertanam,
maka baja akan mengalami pertambahan panjang sejalan dengan pemgembangan
beton tersebut. Oleh karena pengembangan beton dikekang oleh kawat baja bermutu
tinggi, maka timbul tegangan tekan pada beton dan kawat baja mengalami tegangan
tarik. Karena pemuaian terjadi pada tiga arah, sehingga akan lebih sulit untuk
menggunkan system prategang secara kimia pada struktur-struktur yang dicor
setempat seperti gedung. Aka tetapi, untuk pipa-pipa tekanan dan perkerasan jalan
(pavement), dimana prategang sekurang-kurangnya pada dua arah, sistem prategang
kimiawi lebih ekonomis. Hal ini juga berlaku untuk pelat, dinding, dan cangkang.
Universitas Sumatera Utara
II.2.6 Analisa Prategang
Tegangan yang disebabkan oleh prategang umumnya merupakan tegangan
kombinasi yang disebabkan oleh beban langsung dan lenturan yang dihasilkan oleh
beban yang ditempatkan secara eksentris.
Analisa tegangan-tegangan yang timbul pada suatu elemen struktur beton
prategang didasarkan atas asumsi-asumsi berikut :
1. Beton prategang adalah suatu mineral yang elastic serta homogen
2. Didalam batas-batas tegangan kerja, baik beton maupun baja berperilaku
elastis, tidak dapat menahan rangkak yang kecil yang terjadi pada kedua
material tersebut pada pembebanan terus-menerus.
3. Suatu potongan datar sebelum melentur dianggap tetap datar meskipun sudah
mengalami lenturan, yang menyatakan suatu distribusi regangan linier pada
keseluruhan tinggi batang.
Selama tegangan tarik tidak melampaui batas modulus keruntuhan beton
(yang sesuai dengan tahap retakan yang terlihat pada beton), setiap perubahan dalam
pembebanan batang menghasilkan perubahan tegangan pada beton saja, satu-satunya
fungsi dari tendon prategang adalah untuk memberikan dan memelihara prategang
pada beton.
Tegangan yang disebabkan oleh prategang umumnya merupakan tegangan
kombinasi yang disebabkan oleh aksi beban langsung dan lenturan yang dihasilkan
oleh beban yang ditempatkan secara eksentris maupun kosentris.
Universitas Sumatera Utara
c.g.cTendon Konsentris
(Gaya F)F F
Tegangan = F/A
II.2.6.a Tedon Konsentris
Balok beton prategang dengan satu tedon konsentris yang ditunjukan dalam
gambar II.25.
Gambar II.25 Prategang Konsentris (Sumber: Beton Pratekan, N. Krishna Raju)
Gambar di atas menunjukkan sebuah beton prategangan tanpa eksentrisitas,
tendon berada pada garis berat beton (cental grafity of concrete,c.g.c). Prategang
seragam pada beton = F/A yang berupa tekan pada seluruh tinggi balok. Pada
umumnya beban-beban yang dipakai dan beban mati balok menimbulkan tegangan
tarik terhadap bidang bagian bawah dan ini diimbangi lebih efektif dengan memakai
tendon.
Gambar II.26 Distribusi Tegangan Tendon Konsentris
Universitas Sumatera Utara
II.2.6.b Tendon Eksentris
Sebuah balok yang mengalami suatu gaya prategang eksentris sebesar P yang
ditempatkan dengan eksentrisitas e. Tendon ditempatkan secara eksentris terhadap
titik berat penampang beton. Eksentrisitas tendon akan menambah kemampuan untuk
memikul beban eksternal.
F/A = M/W + F.e/W
F/A = M/W – F.e/W Resultan Tegangan
Gambar II.27 Distribusi Tegangan Tendon Eksentris
Eksentisitas akan menambah kemampuan untuk menerima/memikul tegangan tarik
yang lebih besar lagi (serat bawah).
Prategangan juga menyebabkan perimbangan gaya-gaya dalam komponen
beton prategang. Konsep ini terutama terjadi pada beton prategang post-tension.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.28 Gaya-gaya Penyeimbang Beban Pada Tendon Parabola
Tegangan yang ditimbulkan pada serat-serat bagian atas dan bagian bawah balok
diperoleh dengan hubungan :
)5.2......(......................................................................1 2
+=
+=
iey
AP
ZPe
APf b
bbawah
)6.2.........(......................................................................1 2
+=
−=
iey
AP
ZPe
APf t
tatas
Dimana :
P = Gaya Prategang (positif apabila menghasilkan tekanan
langsung)
E = Eksentrsitas gaya prategang
A = Luas potongan melintang batang beton
Zt dan Zb = Momen penampang serat paling atas dan paling bawah
f atas dan f bawah = Prategang pada beton yang ditimbulkan pada serat paling
atas dan paling bawah (positif apabila tekan dan negatif
apabila tarik)
yt dan yb = Jarak antara serat paling atas dan serat paling bawah
terhadap titik berat panampang
i = Jari-jari girasi
Universitas Sumatera Utara
L
P Pe
e + + + =
P/A Pe/Zt Mg/Zt ( P/A - Pe/Zt + Mg/Zt + Mq )Mq/Zt
P/A Pe/Zb Mg/Zt Mq/Zt ( P/A - Pe/Zt + Mg/Zt + Mq )
+
+
+ +
+
-
- -
Penampangmelintang
Prategang Teganganakibat beban mati
Teganganresultan
Teganganakibat beban
Beban mati dan bebanhidup (g + q)
II.2.6.c Tegangan Resultan pada Suatu Penampang
Balok beton yang diperlihatkan pada gamabar II.29 memikul beban hidup
dan mati yang terbagi rata dengan q dan g. Balok diprategangkan dengan suatu
tendon lurus yang membawa suatu gaya prategang P dengan eksentrisitas e.
Tegangan resultan pada suatu penampang beton diperoleh dengan superposisi
pengaruh prategang dan tegangan-tegangan lentur yang ditimbulkan oleh beban-
beban tersebut. Jika Mq dan Mg merupakan momen akibat beban hidup dan beban
mati pada penampang di tegah bentang.
)7.2.(..........................................................................................8
,8
22
=
gLMgqLMq
Gambar II.29 Distribusi Tegangan Balok Prategang dengan Tendon Eksentris
Beban mati dan Beban Hidup (Sumber: Beton Pratekan, N. Krishna Raju)
Universitas Sumatera Utara
Tegangan-tegangan resultan pada serat-serat beton paling atas dan paling bawah
penampang tertentu diperoleh :
)8.2.......(......................................................................
++
−=
tttatas Z
MqZMg
ZPe
APf
)9.2.....(......................................................................
−−
−=
bbbbawah Z
MqZMg
ZPe
APf
II.2.7 Kehilangan Prategang
Gaya prategang akan mengalami pengurangan/reduksi saat transfer (jangka
pendek) atau saat service (jangka panjang). Kehilangan prategangan saat transfer
terjadi sesaat setelah penarikan tendon, sedangkan kehilangan saat service terjadi
perlahan-lahan pada saat umur pelayanan dan karena pengaruh waktu.
Kehilangan pada saat transfer berupa :
• Dudukan angkur pada saat penyaluran gaya (slip)
• Friksi akibat kelengkungan tendon pada post-tensioning
• Perpendekan elastis beton
Kehilangan pada saat service berupa :
• Rangkak beton
• Susut beton
• Relaksasi kabel tendon
Kehilangan akibat friksi tendon pada post-tensioning dihitung berdasarkan rumus :
( )µα+= XKlXS ePP …………………………………………..………(2.10)
Universitas Sumatera Utara
Bila (KlX+μα) tidak lebih besar dari 0,3 maka kehilangan akibat friksi dihitung
sebagai berikut :
( )µα++= XXS KlPP 1 ………………………………………….(2.11)
Koefisien friksi akibat wobble K dan kelengkungan μ ditentukan secara
eksperimental dan harus dibuktikan pada saat penarikan tendon dilakukan. Nilai
koefisien friksi akibat wobble K dan kelengkungan μ dapat dilihat pada table II.3 di
bawah ini.
Table II.3 Koefisien Friksi Tendon Pasca-tarik
(Sumber: Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung SNI – 3 – 2847 – 2002)
Universitas Sumatera Utara
II.2.8 Pembebanan Jembatan
II.2.8.a Beban dan Aksi yang Bekerja
Pembebanan untuk merencanakan jembatan jalan raya merupakan dasar
dalam menentukan beban-beban dan gaya-gaya untuk perhitungan tegangan-
tegangan yang terjadi pada setiap bagian jembatan jalan raya. Penggunaan
pembebanan ini dimaksudkan agar dapat mencapai perencanaan yang aman dan
ekonomis sesuai dengan kondisi setempat, tingkat keperluan, kemampuan
pelaksanaan dan syarat teknis lainnya, sehingga proses pelaksanaan dalam
perencanaan jembatan menjadi efektif.
II.2.8.b Pembebanan Jembatan di Lapangan Berdasarkan PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987
Pembebanan yang digunakan dalam perencanaan jembatan Sei Belumai (di
lapangan) berdasarkan data yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya (PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987)
II.2.8.b.1 Beban Primer
Yang termasuk beban primer adalah :
• Beban Mati
• Beban Hidup
• Beban Kejut
• Gaya Akibat Tekanan Tanah
Universitas Sumatera Utara
1. Beban Mati
Dalam menentukan besarnya beban mati tersebut, harus digunakan nilai berat
isi untuk bahan-bahan bangunan tersebut dibawah ini :
Tabel II.4 Berat Isi untuk Beban Mati (t/m³) (PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987)
No. Bahan Berat Bahan
per Satuan Isi (t/m3)
1 Baja tuang 7,85 2 Besi tuang 7,25 3 Aluminium paduan 2,80 4 Beton bertulang/pratekan 2,50 – 2,60 5 Beton biasa, tumbuk, siklop 2,20 6 Pasangan batu/bata 2,00 7 Kayu 1,00 8 Tanah, pasir, kerikil (semua dalam keadaan padat) 2,00 9 Perkerasan jalan beraspal 2,0 – 2,50
10 Air 1,00 Untuk bahan-bahan yang belum disebut di atas, harus diperhitungkan berat isi yang sesungguhnya.
(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
2. Beban Hidup
2.1 Macam Beban Hidup
Beban hidup pada jembatan yang ditnjau dinyatakan dalam dua macam, yaitu
beban “T” yang merupakan beban terpusat untuk lantai kendaraan dan beban “D”
yang merupakan beban jalur untuk gelagar.
2.2 Lantai kendaraan dan jalur lalu lintas
Jalur lalu lintas mempunyai lebar minimum 2,75 meter dan lebar maksimum
3,75 meter. Lebar jalur minimum ini harus digunakan untuk menentukan beban “D”
perlajur.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah jalur lalu lintas untuk lantai kendaraan dengan lebar 5,50 meter atau
lebih ditentukan menurut table I.
Utnuk selanjutnya jumlah jalur jembatan ini digunakan dalam menentukan beban
“D” pada perhitungan beban “D” pda perhitungan reaksi perletakan.
Tabel II.5 Jumlah Jalur Lalu lintas
Lebar Lantai Kendaraan Jumlah Jalur Lalu Lintas
5,50 m sampai dengan 8,25 m
Lebih dari 8,25 m sampai dengan 11,25
Lebih dari 11,25 m sampai dengan 15,00 m
Lebih dari 15,00 m sampai dengan 18,75 m
Lebih dari 18,75 m sampai dengan 32,50 m
2
3
4
5
6
Catatan : Daftar tersebut di atas hanya diguanakn dalam menentukan jumlah jalur pada jemabatan
(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
a. Beban “T”
Untuk perhitungan kekuatan lantai kendaraan atau system lantai kendaraan
jembatan, harus digunakan beban “T” seperti dijelaskan berikut ini :
Beban “T” adalah beban yang merupakan beban yang merupakan kendaraan
truk yang mempunyai beban roda ganda (dual wheel load) sebesar 10 ton dengan
ukuran-ukuran serta kedudukan seperti tertera pada gambar II.30.
Universitas Sumatera Utara
Dimana :
a1 = a2 = 30,00 cm
b1 = 12,50 cm
b2 = 50,00 cm
Ms = Muatan rencana sumbu = 20 ton.
Gambar II.30 Pembebanan Truk ”T” PPPJJR (Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
b. Beban “D”
• Untuk perhitungan kekuatyan gelagar-gelagar harus digunakan beban “D”.
Beban “D” atau beban lajur adalah susunan beban pada setiap jalur lalu lintas
yang terdiri dari beban terbagi rata sebesar “q” ton per meter panjang per
jalur, dan beban garis “p” ton per jalur lalu lintas tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Beban “D” adalah seperti tertera pada gambar II.31
Gambar II.31 Beban Lajur “D” PPPJJR
(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
Besar “q” ditentukan sebagai berikut :
q = 2,2 t/m’ …….untuk L < 30 m ………………………………….…..(2.12)
q = 2,2 t/m’ – x (L – 30) t/m’ ….... untuk 30 m < L < 60 m …...…..(2.13)
q = 1,1 (1 + ) t/m’ …….untuk L > 60 m ……………………….…….(2.14)
L = Panjang dalam meter, ditentukan oleh tipe kontruksi jembatan
t/m’ = ton per meter panjang, per lajur
• Ketentuan penggunaan beban “D” dalam arah melintang jembatan adalah
sebagai berikut :
Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan sama atau lebih kecil dari
5,50 meter, beban “D” sepenuhnya (100%) harus dibebankan pada seluruh
lebar jembatan.
Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan lebih besar dari 5,50 meter,
beban “D” sepenuhnya (100%) dibebankan pada lebar jalur 5,50 meter
Universitas Sumatera Utara
sedangakan selebihnya dibebani hanya separuh “D” (50%), lihat gambar
II.32.
Gambar II.32 Ketentuan Penggunaan Beban “D” PPPJJR
(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
• Dalam menentukan beban hidup (beban terbagi rata dan beban garis) perlu
diperhatikan ketentuan bahwa :
Panjang bentang (L) untuk muatan terbagi rata, sesuai ketentuan dalam
perumusan koefisisn kejut
Beban hidup per meter lebar jembatan menjadi sebagai berikut :
Beban terbagi rata = ………………….…….(2.15)
Beban garis = …………………….…….(2.16)
Angka pembagi 2,75 meter di atas selalu tetap dan tidak tergantung pada
jalur lalu lintas.
• Beban “D” tersebut harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga
menghasilkan pengaruh terbesar pada gelagar.
Universitas Sumatera Utara
c. Beban pada Trotoir, Kerb dan Sandaran
• Kontruksi trotoir harus diperhitungkan terhadap beban hidup sebesar 500
kg/m2. Dalam perhitungan kekuatan gelagar karena pengaruh beban hidup
pada trotoir, diperhitungkan beban sebesar 60% beban hidup trotoir.
• Kerb yang terdapat pada tepi-tepi lantai kendaraan harus diperhitungkan
untuk dapat menahan satu beban horizontal kea rah melintang jembatan
sebesar 500 kg/m’ yang bekerja pada puncak kerb yang bersangkutan atau
pada tinggi 25 cm di atas permukaan lantai kendaraan apabila kerb yang
bersangkutan lebih tinggi dari 25 cm.
• Tiang-tiang sandaran pada setiap tepi trotoir harus diperhitungkan untuk
dapat menahan beban horizontal sebesar 100 kg/m’, yang bekerja pada tinggi
90 cm di atas lantai trotoir.
3. Beban Kejut
Untuk memperhitungkan pengaruh-pengaruh getaran-getaran dan pengaruh-
pengaruh dinamis lainnya, tegangan-tegangan akibat beban garis “p” harus dikalikan
dengan koefisien kejut yang akan memberikan hasil maksimum, sedangkan beban
merata “q” dan beban “T” tidak dikalikan dengan koefisien kejut.
Koefisien Kejut ditentukan dengan rumus ;
K = 1 + 20 / (50 + L) …………………….……………………...(2.17)
Dimana ;
K = Koefisien kejut
L = Panjang bentang dalam meter, ditentukan oleh tipe konstruksi jembatan
(keadaan statis) dan kedudukna muatan “p”.
Universitas Sumatera Utara
Koefisien kejut tidak diperhitungkan terhadap bangunan bawah, apabila
bangunan bawah dan bangunan atas merupakan satu kesatuan.
Bila bangunan bawah dan bangunan atas merupakan satu kesatuan maka koefisien
kejut diperhitungkan terhadap bangunan bawah.
4. Gaya Akibat Tekanan Tanah
Bagian bangunan jembatan yang menahan tanah harus direncanakan dapat
menahan tekanan tanah sesuai rumus-rumus yang ada.
II.2.8.b.2 Beban Sekunder
Yang termasuk beban sekunder adalah :
• Beban Angin
• Gaya Akibat Perbedaan Suhu
• Gaya Akibat Rangkak dan Susut
• Gaya Rem dan Traksi
• Gaya-gaya akibat Gempa Bumi
• Gaya Gesekan pada Tumpuan-tumpuan bergerak
Pada umumnya beban ini mengakibatkan tegangan-tegangan relatif lebih kecil dari
tegangan-tegangan akibat beban primer kecuali gaya akiabat gempa bumi dan gaya
gesekan yang kadang-kadang menentukan dan biasanya tergantung dari bentang,
bahan, sistem kontruksi, tipe jembatan serta keadaan tempat.
Universitas Sumatera Utara
1. Beban Angin
Pengaruh beban angin sebesar 150 kg/m2 pada jembatan ditinjauberdasarkan
bekerjanya beban angin horizontal terbagi rata pada bidang vertical jembatan, dalam
arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Jumlah luas bidang vertikal bangunan
atas jembatan yang dianggap terkena oleh angin ditetapkan sebesar suatu prosentase
tertentu terhadap luas bagian-bagian sisi jembatan dan luas bidang vertikal beban
hidup.
Bidang vertikal beban hidup ditetapkan sebagi suatu permukaan bidang
vertikal yang mempunyai tinggi menerus sebesar 2 (dua) meter di atas lantai
kendaraan.
Dalam menghitung jumlah luas bagian-bagian sisi jembatan yang terkena
angin dapat digunakan ketentuan sebagai berikut :
a. Keadaan tanpa beban hidup
• untuk jembatan gelagar penuh diambil sebesar 100% luas bidang sisi
jembatan yang langsung terkena angin, ditambah 50% luas bidang sisi
lainnya.
• Untuk jembatan rangka diambil sebesar 30% luas bidang sisi jembatan yang
langsung terkena angin, ditambah 15% luas bidang sisi-sisi lainnya.
b. Keadaan dengan beban hidup
• Untuk jembatan diambil sebesar 50% terhadap luas bidang menurut (1.a).
• Untuk beban hidup diambil sebesar 100% bidang sisi yang langsung terkena
angin.
Universitas Sumatera Utara
c. Jembatan menerus di atas lebih dari dua perletakan
Untuk perletakan tetap perlu diperhitungkan beban angin dalam arah
longitudinal jembatan yang terjadi bersamaan dengan beban angin masing-masing
sebesar 40% terhadap luas bidang menurut keadaan (1.a dan 1.b).
Pada jembatan yang memerlukan perhitungan pengaruh angin yang teliti,
harus diadakan penelitian khusus.
2. Gaya Akibat Perbedaan Suhu
Peninjauan diadakan terhadap timbulnya tegangan-tegangan structural karena
adanya perubahan bentuk akibat perbedaan suhu antaa bagian-bagian jembatan baik
yang menggunakan bahan yang sama maupun dengan bahan yang berbeda.
Perbedaan suhu ditetapkan sesuai dengan data perkembangan suhu setempat.
Pada umumnya pengaruh perbedaan suhu tersebut dapat dihitung dengan
mengambil perbedaan suhu untuk :
Bangunan baja : Perbedaan suhu maksimum-minimum = 30o C
Perbedaan suhu antaa bagian-bagian jembatan = 15o C
Bnguan beton : Perbedaan suhu maksimum-minimum = 15o C
Perbedaan suhu antaa bagian-bagian jembatan < 10o C,
tergantung dimensi penampang
Untuk perhitungan tegangan-tegangan dan pergerakan pada jembatan/bagian-
bagian jembatan/perletakan akibat perbedaan suhu dapat diambil nilai Modulus
Elastisitas Young (E) dan koefisien muai panjang (Є) sesuai table II.6
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.6 Modulus Elastisitas Young (E) dan Koefisien Muai Panjang (Є)
Jenis Bahan E (kg/cm2) Є per derajat Celcius Baja Beton
2,1 x 106
2 sampai 4 x 105* 12 x 10-6
10 x 10-6
Kayu : - Sejajar serat - Tegak lurus serat
1,0 x 105* 1,0 x 104*
5 x 10-6
50 x 10-6* *) Tergantung pada mutu bahan
(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
3. Gaya Rangkak dan Susut
Pengaruh rangkak dan susut bahan beton terhadap kontruksi, harus ditinjau.
Besarnya pengaruh tersebut apabila tidak ada ketentuan lain, dapat dianggap senilai
dengan gaya yang timbul akibat turunnya sehu sebesar 15o C.
4. Gaya Rem
Pengaruh-pengaruh dalam arah memanjang jembatan akibat gaya rem, harus
ditinjau. Pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan pengaruh gaya rem sebesar 5%
dari beban “D” tanpa koefisien kejut yang memenuhi semua jalu lalu lintas yang ada,
dan dalam satu jurusan.
Gaya dem tersebut dianggap bekerja horizontal dalam arah sumbu jemabatan
dengan titik tangkap setinggi 1,80 meter di atas permukaan lantai kendaraan.
5. Gaya Akibat Gempa Bumi
Jembatan-jembatan yang akan dibangun pada daerah-daerah di mana
diperkirakan terjadi pengaruh-pengaruh gempa bumi, harus direncanakan dengan
menghitung pengaruh-pengaruh gempa bumi tersebut sesuai denga “Buku Petunjuk
Perencanaan Tahan Gempa untuk Jembatan Jalan Raya 1986”.
Universitas Sumatera Utara
6. Gaya Akibat Gesekan
Jembatan harus pula ditinjau terhadap gaya yang timbul akibat gesekan pada
tumpuan bergerak, karena adanya pemuaian dan penyusutan dari jembatan akibat
perbedaan suhu atau akibat-akibat lain.
II.2.8.b.3 Beban Khusus
Yang termasuk beban Khusus adalah :
• Gaya Sentrifugal
• Gaya Tumbuk pada Jembatan Layang
• Gaya dan Beban Selama Pelaksanaan
• Gaya Aliran Air dan Tumbukan Benda-benda Hanyutan
• Gaya Angkat
Beban-beban dan gaya-gaya selain tersenut di atas perlu diperhatikan, apabila hal
tersebut menyangkut kekhususan jembatan, antara lain sistem kontruksi dan tipe
jembatan serta keadaan setempat, misalnya gaya pratekan, gaya angkat (buoyancy),
dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
II.2.8.c Pembebanan Jembatan Berdasarkan RSNI T – 02 – 2005 Standar Pembebanan Untuk Jembatan
II.2.8.c.1 Beban Primer
Beban primer adalah beban yang selalu bekerja pada perencanaan bagian-
bagian utama konstruksi jembatan, yang merupakan beban utama dalam perhitungan
tegangan pada setiap perencanaan jembatan jalan raya. beban Beban primer terbagi
atas beberapa beban yaitu beban mati dan beban hidup.
1 Beban Mati
a. Beban Mati Sendiri
Beban sendiri jembatan adalah semua beban tetap yang berasal dari berat
sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur
tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya yang terdiri dari
berat masing-masing bagian struktural dan elemen-elemen non-struktural. Masing-
masing berat elemen ini harus dianggap sebagai aksi yang terintegrasi pada waktu
menerapkan faktor beban biasa dan faktor beban yang terkurangi.
Beban mati terdiri dari beban mati primer dan beban mati sekunder. Beban
mati primer terdiri atas berat sendiri dari pelat dan sistem lainnya yang dipikul
langsung oleh masing-masing gelagar jembatan. Sedangkan beban mati sekunder
terdiri atas berat kerb, trotoar, tiang sandaran dan lain-lain yang dipasang setelah
pelat dicor, beban tersebut dianggap terbagi rata diseluruh gelagar. Dalam menetukan
besarnya beban mati dan merupakan satu kesatuan dengannya, harus digunakan nilai
berat isi untuk bahan-bahan seperti pada tabel II.9.
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.7 Ringkasan Aksi-aksi Rencana
No
Aksi Lama
Waktu
(3)
Faktor beban pada keadaan batas
Nama Simbol
(1)
Daya Layan
K Normal Terkurangi
1 Berat Sendiri PMS Tetap 1,0 * (3) * (3)
2 Beban Mati Tambahan PMA Tetap 1,0/1,3 2,0/1,4 0,7/0,8
3 Penyusutan & Rangkak PSR Tetap 1,0 1,0 N/A
4 Prategang PPR Tetap 1,0 1,0 N/A
5 Tekanan Tanah PTA Tetap 1,0 * (3) * (3)
6 Beban Pelaksanaan Tetap PPL Tetap 1,0 1,25 0,8
7 Beban Lajur “D” TTD Tran 1,0 1,8 N/A
8 Beban Truk “T” TTT Tran 1,0 1,8 N/A
9 Gaya Rem TTB Tran 1,0 1,8 N/A
10 Gaya Sentrifugal TTR Tran 1,0 1,8 N/A
11 Beban trotoar TTP Tran 1,0 1,8 N/A
12 Beban-beban Tumbukan TTC Tran * (3) * (3) N/A
13 Penurunan PES Tetap 1,0 N/A N/A
14 Temperatur TET Tran 1,0 1,2 0,8
15 Aliran/Benda hanyutan TEF Tran 1,0 * (3) N/A
16 Hidro/Daya apung TEU Tran 1,0 1,0 1,0
17 Angin TEW Tran 1,0 1,2 N/A
18 Gempa TEQ Tran N/A 1,0 N/A
19 Gesekan TBF Tran 1,0 1,3 0,8
20 Getaran TVI Tran 1,0 N/A N/A
21 Pelaksanaan TCL Tran * (3) * (3) * (3)
Catatan (1) Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol untuk beban rencana menggunakan
tanda bintang, untuk: PMS = berat sendiri nominal, P*MS = berat sendiri rencana.
Catatan (2) Tran = transien.
Catatan (3) Untuk penjelasan lihat Pasal pada peraturan RSNI T-02-2005 yang sesuai.
Catatan (4) “N/A” menandakan tidak dapat dipakai. Dalam hal di mana pengaruh beban transien adalah
meningkatkan keamanan, faktor beban yang cocok adalah nol.
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.8 Faktor Beban untuk Berat Sendiri
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
Biasa Terkurangi
TETAP
Baja, aluminium 1,0 1,1 0,9 Beton pra cetak 1,0 1,2 0,85 Beton dicor di tempat 1,0 1,3 0,75 Kayu 1,0 1,4 0,7
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005) Besarnya kerapatan masa dan berat isi untuk berbagai macam bahan diberikan
dalam tabel II.6.
Tabel II.9 Berat Isi untuk Beban Mati (kN/m³)
No. Bahan Berat Bahan
per Satuan Isi (kN/m3)
Kerapatan Masa (kg/m3)
1 Campuran aluminium 26.7 2720 2 Lapisan permukaan beraspal 22.0 2240 3 Besi tuang 71.0 7200 4 Timbunan tanah dipadatkan 17.2 1760 5 Kerikil dipadatkan 18.8-22.7 1920-2320 6 Aspal beton 22.0 2240 7 Beton ringan 12.25-19.6 1250-2000 8 Beton 22.0-25.0 2240-2560 9 Beton prategang 25.0-26.0 2560-2640 10 Beton bertulang 23.5-25.5 2400-2600 11 Timbal 111 11 400 12 Lempung lepas 12.5 1280 13 Batu pasangan 23.5 2400 14 Neoprin 11.3 1150 15 Pasir kering 15.7-17.2 1600-1760 16 Pasir basah 18.0-18.8 1840-1920 17 Lumpur lunak 17.2 1760 18 Baja 77.0 7850 19 Kayu (ringan) 7.8 800 20 Kayu (keras) 11.0 1120 21 Air murni 9.8 1000 22 Air garam 10.0 1025 23 Besi tempa 75.5 7680
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
b. Berat Mati Tambahan atau Utilitas
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk elemen non
struktural dan menjadi satu beban pada jembatan dan besarnya dapat berubah selama
umur jembatan. Dalam hal tertentu harga KMA yang telah berkurang boleh digunakan
dengan persetujuan instansi berwenang. Hal ini bisa dilakukan bila instansi tersebut
mengawasi beban mati tambahan sehingga tidak dilampaui selama umur jembatan.
Kecuali ditentukan oleh instansi berwenang, semua jembatan harus direncanakan
untuk bisa memikul beban tambahan yang berupa aspal beton setebal 50 mm untuk
pelapisan kembali dikemudian hari. Lapisan ini harus ditambahkan pada lapisan
permukaan yang tercantum dalam gambar. Pelapisan kembali merupakan beban
nominal yang dikaitkan dengan faktor beban untuk mendapatkan beban rencana.
Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada jembatan
harus dihitung setepat mungkin. Berat dari pipa untuk saluran air bersih, saluran air
kotor dan lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh sehingga kondisi
yang paling membahayakan dapat diperhitungkan.
Tabel II.10 Faktor Beban untuk Beban Mati Tambahan
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
Biasa Terkurangi
TETAP Keadaan Umum 1,0 (1) 2,0 0,7
Keadaan Khusus 1,0 1,4 0,8
Catatan (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
2 Beban Hidup
Beban hidup adalah semua baban yang berasal dari berat kendaraan-kendaraan
yang bergerak/lalu lintas dan/atau pejalan kaki yang mana dianggap bekerja pada
struktur jembatan. Beban hidup pada jembatan merupakan beban bergerak yang
bekerja pada jembatan.
a. Beban Lalu Lintas
Lajur lalu lintas rencana harus mempunyai lebar 2,75 m. Jumlah maksimum
lajur yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam table II.11.
Lajur lalu lintas rencana harus disusun sejajar dengan sumbu memanjang jembatan.
Tabel II.11 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana
Tipe Jembatan (1)
Lebar Jalur Kendaraan (m) (2)
Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana (nl)
Satu lajur 4,0 - 5,0 1
Dua arah, tanpa median
5,5 - 8,25 11,3 - 15,0
2 (3) 4
Banyak arah
8,25 - 11,25 11,3 - 15,0 15,1 - 18,75 18,8 - 22,5
3 4 5 6
Catatan (1) Untuk jembatan lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan oleh instansi berwenang.
Catatan (2) Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb dengan median untuk banyak arah.
Catatan (3) Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur kendaraan adalah 6.0 m. Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah memungkinkan untuk menyiap.
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur "D" dan
beban truk "T". Beban lajur "D" bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan
menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iringan
kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur "D" yang bekerja tergantung
pada lebar jalur kendaraan itu sendiri.
Beban truk "T" adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada
beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak
pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya
satu truk "T" diterapkan per lajur lalu lintas rencana.
Secara umum, beban "D" akan menjadi beban penentu, sedangkan beban "T"
digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan.
a.1 Beban lajur “D”
Intensitas dari Beban lajur "D" terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang
digabung dengan beban garis (BGT) seperti terlihat dalam gambar II.33.
Gambar II.33 Beban Lajur “D” RSNI T-02-2005 (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.12 Faktor Beban Akibat Beban Lajur “D”
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TRANSIEN 1,0 1,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
• Beban Terbagi Rata (BTR)
mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang
total yang dibebani L seperti berikut:
L ≤ 30 m : q = 9,0 kPa…………………………………………………...(2.18)
L > 30 m : q = 9,0 kPa…………………………………….(2.19)
dengan pengertian q adalah intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah
memanjang jembatan, sedangkan L adalah panjang total jembatan yang dibebani
(meter). Hubungan ini bisa dilihat dalam gambar II.34.
Gambar II.34 BTR Berbanding dengan Panjang yang Dibebani
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Panjang yang dibebani (L) adalah panjang total beban yang bekerja pada jembatan.
Beban mungkin harus dipecah guna mendapat pengaruh maksimum pada jembatan.
Dalam hal ini L adalah jumlah dari masing-masing panjang beban yang dipecah
seperti terlihat dalam gambar II.35.
Universitas Sumatera Utara
• Beban Garis (BGT)
Dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap lalu lintas
jembatan. Besar intensitas p = 49 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif
maksimum jembatan menerus, BGT kedua identik harus ditempatkan pada posisi
dalam dengan arah melintang jembatan pada bentang lainnya. Ini bisa dilihat dalam
gambar II.35.
Gambar II.35 Susunan Pembebanan “D” (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Beban "D" harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen BTR dan BGT dari beban
"D" pada arah melintang harus sama. Penempatan beban dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut :
• Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka
beban "D" ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 %.
• Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban "D" ditempatkan pada
jumlah lajur lalu lintas rencana (nl) yang berdekatan, dengan intensitas 100
%. Hasilnya berupa beban garis ekuivalen nl x 2,75 q kN/m dan beban
terpusat ekuivalen sebesar nl x 2,75 p kN, kedua-duanya bekerja berupa strip
pada jalur selebar nl x 2,75 m.
• Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana
saja pada jalur jembatan. Beban "D" tambahan harus ditempatkan pada
seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50 %. Susunan
pembebanan ini bisa dilihat dalam gambar II.36.
Gambar II.36 Penyebaran Pembebanan Pada Arah Melintang (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
a.2 Pembebanan Truk "T"
Pembebanan truk "T" terdiri dari kendaraan semi-trailer yang mempunyai
susunan dan berat as seperti terlihat dalam gambar II.37. Berat dari masing-masing
as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang kontak
antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah
antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah
memanjang jembatan.
Gambar II.37 Pembebanan Truk “T” (500 kN) RSNI T-02-2005
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.13 Faktor Beban Akibat Pembebanan Truk “T”
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TRANSIEN 1,0 1,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005) Terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, hanya ada satu truk
yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu lintas rencana. Kendaraan truk "T"
ditempatkan ditengah lajur lalu lintas rencana seperti dalam gambar II.37. Jumlah
lajur lalu lintas rencana lebih kecil bisa digunakan dalam perencanaan apabila
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan pengaruh lebih besar. Jumlah lajur lalu lintas rencana harus digunakan
dalam nilai bulat dan ditempatkan dimana saja pada lajur jembatan.
Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh
momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan dengan menyebar
beban truk tunggal “T” pada balok memanjang sesuai dengan faktor yang diberikan
dalam tabel II.14.
Tabel II.14 Faktor Distribusi Untuk Pembebanan Truk “T”
Jenis Bangunan Atas
Jembatan Jalur Tunggal
Jembatan Jalur Majemuk
Pelat lantai beton di atas: . Balok baja I atau balok beton pra tekan
-. Balok beton bertulang T -. Balok kayu
S/4,2
(bila S > 3,0 m-lihat Cat. 1) S/4,0
(bila S > 1,8 m-lihat Cat. 1) S/4,8
(bila S > 3,7 m-lihat Cat. 1)
S/3,4
(bila S > 4,3 m-lihat Cat.1) S/3,6
(bila S > 3,0 m-lihat Cat. 1) S/4,2
(bila S > 4,9 m-lihat Cat.1) Lantai papan kayu S/2,4 S/2,2 Lantai baja gelombang tebal 50 mm atau lebih S/3,3 S/2,7
Kisi-kisi baja : Kurang dari tebal 100 mm Tebal 100 mm atau lebih
S/2,6 S/3,6
(bila S > 3,6 m-lihat Cat. 1)
S/2,4 S/3,0
(bila S > 3,2 m-lihat Cat. 1) Catatan 1 Dalam hal ini, beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi beban roda dengan anggapan lantai antara gelagar sebagai balok sederhana. Catatan 2 Geser balok dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S yang disebarkan oleh S/faktor ≥ 0,5. Catatan 3 S adalah jarak rata-rata antara balok memanjang (m).
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005) Bentang efektif (S) diambil sebagai berikut:
• Untuk plat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding, S = bentang bersih.
• Untuk plat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau tidak
dicor menjadi kesatuan, S = bentang bersih + setengah lebar duduk tumpuan
Universitas Sumatera Utara
3. Tekanan Tanah
Pengaruh diperhitungkan dalam perencanaan, dengan menggunakan beban
mati dari jembatan. Apabila rangkak dan penyusutan bisa mengurangi pengaruh
muatan lainnya, maka harga dari rangkak dan penyusutan tersebut harus diambil
minimum.
Tabel II.15 Faktor Beban Akibat Tekanan Tanah
JANGKA WAKTU DESKRIPSI
FAKTOR BEBAN
Biasa Terkurangi
TETAP
Tekanan tanah vertikal 1,0 1,25 (1) 0,80
Tekanan tanah lateral - aktif - pasif - keadaan diam
1,0 1,0 1,0
1,25 0,80 1,40 0,70
lihat penjelasan (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005) Koefisien tekanan tanah nominal harus dihitung dari sifat-sifat tanah. Sifat-
sifat tanah (kepadatan, kadar kelembaban, kohesi sudut geser dalam dan lain
sebagainya) bisa diperoleh dari hasil pengukuran dan pengujian tanah.
Tekanan tanah lateral mempunyai hubungan yang tidak linier dengan sifat-
sifat bahan tanah. Tekanan tanah lateral daya layan dihitung berdasarkan harga
nominal ws, c dan φ. Sedangkan tekanan tanah lateral ultimit dihitung dengan
menggunakan harga nominal dari ws dan harga rencana dari c dan φ. Harga rencana
dari c dan φ diperoleh dari harga nominal dengan menggunakan Faktor Pengurangan
Kekuatan KR, seperti dalam table II.16. Tekanan tanah lateral yang diperoleh masih
berupa harga nominal dan selanjutnya harus dikalikan dengan Faktor Beban yang
cukup.
Universitas Sumatera Utara
Tekanan tanah lateral dalam keadaan diam umumnya tidak diperhitungkan
pada keadaan batas ultimit, maka faktor beban yang digunakan menghitung harga
rencana dari tekanan tanah dalam keadaan diam harus seperti tekanan tanah dalam
keadaan aktif. Faktor beban daya layan tekanan tanah dalam keadaan diam adalah
1.0, tetapi dalam pemilihan harga nominal yang memadai untuk tekanan harus hati-
hati.
Tabel II.16 Sifat Tanah untuk Tekanan Tanah
Sifat Bahan untuk Menghitung Tekanan Tanah
Keadaan Batas Ultimit
Biasa Terkurangi
Aktif: (1)
ws* φ* c*
= = =
ws
tan-1 ( tan φ )
(3)
ws
tan-1 [(tan φ) / ]
c /
Pasif: (1)
ws* φ* c*
= = =
ws
tan-1 [(tan φ) / ]
c /
ws
tan-1 ( tan φ )
(3) Vertikal: ws* = ws ws
Catatan (1) Harga rencana untuk geseran dinding, δ*, dihitung dengan cara sama seperti φ*
Catatan (2) dan adalah faktor reduksi kekuatan bahan Catatan (3) Nilai φ* dan c* minimum berlaku umum untuk tekanan tanah aktif dan pasif
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tanah dibelakang dinding penahan biasanya mendapatkan beban tambahan yang
bekerja apabila beban lalu lintas bekerja pada bagian daerah keruntuhan aktif teoritis.
Besarnya beban tambahan ini adalah setara dengan tanah setebal 0,6 m yang bekerja
secara merata pada bagian tanah yang dilewati oleh beban lalu lintas tersebut. Beban
tambahan ini hanya diterapkan untuk menghitung tekanan tanah dalam arah lateral
saja, dan faktor beban yang digunakan harus sama seperti yang telah ditentukan
dalam menghitung tekanan tanah arah lateral. Faktor pengaruh pengurangan dari
beban tambahan ini harus nol.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.38 Tambahan Beban Hidup (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
4. Faktor Beban Dinamis
Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan
yang bergerak dengan jembatan. Besarnya FBD tergantung frekuensi dasar dari
suspensi kendaraan, biasanya antara 2 sampai 5 Hz untuk kendaraan berat, dan
frekuensi dari getaran lentur jembatan. Untuk perencanaan, FBD dinyatakan sebagai
beban statis ekuivalen. Besarnya BGT dari pembebanan lajur "D" dan beban roda
dari Pembebanan Truk "T" harus cukup untuk memberikan terjadinya interaksi
antara kendaraan yang bergerak dengan jembatan. Besarnya nilai tambah dinyatakan
dalam fraksi dari beban statis. FBD ini diterapkan pada keadaan batas daya layan dan
batas ultimit.
Universitas Sumatera Utara
• Untuk pembebanan "D"
Faktor beban dinamis merupakan fungsi panjang bentang ekuivalen seperti
dalam gambar II.39. Untuk bentang tunggal panjang bentang ekuivalen diambil sama
dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang menerus panjang bentang
ekuivalen LE diberikan dengan rumus:
………………………………………………..……(2.20)
dengan pengertian :
Lav adalah panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang
disambungkan secara menerus
Lmax adalah panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang
disambung secara menerus.
Gambar II.39 Faktor Beban Dinamis BGT serta Pembebanan Lajur “D”
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
• Untuk pembebanan truk "T"
Faktor beban dinamis diambil 30%. Harga faktor beban dinamis yang
dihitung digunakan pada seluruh bagian bangunan yang berada di atas permukaan
tanah. Untuk bagian bangunan bawah dan fondasi yang berada di bawah garis
permukaan, harga faktor beban dinamis harus diambil sebagai peralihan linier dari
harga pada garis permukaan tanah sampai nol pada kedalaman 2 m.
Untuk bangunan yang terkubur, seperti halnya gorong-gorong dan struktur
baja-tanah, harga faktor beban dinamis jangan diambil kurang dari 40 % untuk
kedalaman nol dan jangan kurang dari 10 % untuk kedalaman 2 m. Untuk kedalaman
antara bisa di interpolasi linier. Harga FBD yang digunakan untuk kedalaman yang
dipilih harus diterapkan untuk bangunan seutuhnya.
5. Pembebanan untuk Pejalan Kaki
Semua elemen dari trotoar atau jembatan penyeberangan yang langsung
memikul pejalan kaki harus direncanakan untuk beban nominal 5 kPa. Jembatan
pejalan kaki dan trotoar pada jembatan jalan raya harus direncanakan untuk memikul
beban per m2 dari luas yang dibebani seperti pada gambar II.40.
Luas yang dibebani adalah luas yang terkait dengan elemen bangunan yang
ditinjau. Untuk jembatan, pembebanan lalu lintas dan pejalan kaki jangan diambil
secara bersamaan pada keadaan batas ultimit (lihat table II.17). Bila trotoar
memungkinkan digunakan kendaraan ringan atau ternak, maka trotoar harus
direncanakan untuk bisa memikul beban hidup terpusat sebesar 20 kN.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.40 Pembebanan untuk Pejalan Kaki (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.17 Faktor Beban Akibat Pembebanan untuk Pejalan Kaki
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TRANSIEN 1,0 1,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
II.2.8.c.2 Beban Sekunder
Beban sekunder adalah muatan sederhana pada jembatan yang dipergunakan
untuk perhitungan tegangan jembatan. Umumnya beban ini mengakibatkan tegangan
yang relatif lebih kecil dari tegangan primer, yang biasanya tergantung pada bentang,
sistem jembatan, bahan yang ada pada rencana jembatan.
Universitas Sumatera Utara
1. Gaya Rem
Bekerjanya gaya di arah memanjang jembatan, akibat gaya rem dan traksi,
harus ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh diperhitungkan senilai
dengan gaya rem sebesar 5 % dari beban lajur D dan dianggap pada semua jalur lalu
lintas, tanpa dikalikan faktor beban dinamis dalam satu jurusan. Gaya rem dianggap
bekerja horisontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,8 m di
atas permukaan lantai kendaraan. Beban lajur D jangan direduksi bila panjang
bentang melebihi 30 m, gunakan rumus (2.18) q = 9 kPa.
Dalam memperkirakan pengaruh gaya memanjang terhadap perletakan dan
bangunan bawah, maka gesekan atau karakteristik perpindahan geser perletakan
ekspansi dan kekakuan bangunan bawah harus diperhitungkan. Gaya rem tidak boleh
digunakan tanpa memperhitungkan pengaruh beban lalu lintas vertikal. Jika beban
lalu lintas vertikal mengurangi pengaruh gaya rem (seperti hitungan stabilitas guling
dari pangkal jembatan), maka Faktor Beban Ultimit terkurangi sebesar 40 % boleh
digunakan untuk pengaruh beban lalu lintas vertikal.
Tabel II.18 Faktor Beban Akibat Gaya Rem
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TRANSIEN 1,0 1,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.41 Gaya Rem per Lajur 2,75 m (KBU) (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
2. Aksi Lingkungan
Aksi lingkungan memasukkan pengaruh temperatur, angin, banjir, gempa dan
penyebab alamiah lainnya. Besarnya beban rencana yang diberikan, dihitung
berdasarkan analisa statistik dari kejadian umum yang tercatat tanpa
memperhitungkan hal khusus yang mungkin akan memperbesar pengaruh setempat.
Perencana mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi kejadian khusus
setempat dan harus memperhitungkannya dalam perencanaan.
a. Beban Akibat Penurunan
Jembatan direncanakan untuk menahan penurunan yang diperkirakan terjadi,
atau selisih penurunan, sebagai aksi daya layan. Pengaruh penurunan mungkin bisa
dikurangi dengan adanya rangkak dan interaksi pada struktur tanah.
Penurunan dapat diperkirakan dari pengujian yang dilakukan terhadap bahan
fondasi yang digunakan. Apabila perencana memutuskan untuk tidak melakukan
pengujian akan tetapi besarnya penurunan diambil sebagai suatu anggapan, maka
nilai anggapan tersebut merupakan batas atas dari penurunan yang bakal terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Apabila nilai penurunan besar, perencanaan bangunan bawah dan bangunan atas
harus memuat ketentuan khusus untuk mengatasi penurunan.
Tabel II.19 Faktor Beban Akibat Penurunan
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TRANSIEN 1,0 Tak bisa dipakai
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
b. Pengaruh Temperatur atau Suhu
Pengaruh temperatur dibagi menjadi:
• Variasi temperatur jembatan rata-rata digunakan dalam menghitung
pergerakan temperatur dan sambungan pelat lantai, dan untuk menghitung
beban akibat terjadinya pengekangan dari pergerakan tersebut. Variasi
temperatur rata-rata berbagai tipe bangunan jembatan diberikan dalam tabel
II.22. Besarnya harga koefisien perpanjangan dan modulus elastisitas yang
digunakan untuk menghitung besarnya pergerakan dan gaya yang terjadi
diberi dalam tabel II.23. Perencana harus menentukan besarnya temperatur
jembatan rata-rata yang diperlukan untuk memasang sambungan siar muai,
perletakan dan lainnya, serta harus memastikan bahwa temperatur tercantum
pada gambar rencana.
• Variasi temperatur di dalam bangunan atas jembatan atau perbedaan
temperatur disebabkan oleh pemanasan langsung dari sinar matahari diwaktu
siang pada bagian atas permukaan lantai dan pelepasan kembali radiasi dari
seluruh permukaan jembatan diwaktu malam. Gradien temperatur nominal
arah vertikal untuk berbagai tipe bangunan atas diberikan dalam tabel II.20.
Universitas Sumatera Utara
Pada tipe jembatan yang lebar mungkin diperlukan untuk meninjau gradien
perbedaan temperatur dalam arah melintang.
Tabel II.20 Gradien Perbedaan Temperatur
Jenis Jembatan Tipe Potongan Melintang Gradien Temperatur Efektif
1.
Balok Beton dan Pelat, atau Pelat saja
2.
Gelagar Beton Tipe Box
3.
Lantai Beton pada Rangka Baja,
palung, box atau gelagar ‘I’
Kunci : Gradien Perbedaan Temperatur Positif
Gradien Perbedaan Temperatur Negatif Catatan : Gradien lantai berongga berlaku untuk ketebalan lantai (termasuk fillet) dengan d < 300 mm. Oleh karena itu, suatu atau sebagian pelat lantai di atas rongga tipe box dengan ketebalan > 300 mm harus menurut gradien temperatur efektif arah vertikal seperti terlihat dalam gambar.
No Lokasi Jembatan Tp 1 2
Lebih kecil dari 500 m di atas permukaan laut Lebih besar dari 500 m di atas permukaan laut
12oC 17oC
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.21 Faktor Beban Akibat Pengaruh Temperatur atau Suhu
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
Biasa Terkurangi
TRANSIEN 1,0 1,2 0,8 (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.22 Temperatur Jembatan Rata-rata Nominal
Tipe Bangunan Atas Temperatur Jembatan Rata-rata Minimum (1)
Temperatur Jembatan Rata-rata Maksimum
Lantai beton di atas gelagar
atau boks beton 15oC 40oC
Lantai beton di atas gelagar,
boks atau rangka baja 15oC 40oC
Lantai pelat baja di atas
gelagar, boks atau rangka baja 15oC 45oC
Catatan (1) Temperatur jembatan rata-rata minimum bisa dikurangi 5°C untuk lokasi yang terletak pada ketinggian lebih besar dari 500 m diatas permukaan laut.
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.23 Sifat Bahan Rata-rata Akibat Pengaruh Temperatur
Bahan Koefisien Perpanjangan Akibat Suhu
Modulus Elastisitas MPa
Baja 12 x 10-6 per oC 200.000 Beton: Kuat tekan < 30 MPa Kuat tekan > 30 MPa
10 x 10-6 per oC 11 x 10-6 per oC
25.000 34.000
Aluminium 24 x 10-6 per oC 70.000 (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
3. Beban Angin
Pengaruh beban angin rencana Hw, dihitung dengan :
Hw = 0,0006 Cw (Vw)2 As [kN] ...............................................................(2.21)
Dimana ;
VW adalah kecepatan angin tencana (m/dtk)
Cw adalah koefisien seret yang ditentukan dari tabel II.24
As adalah luas bagian samping dari bangunan untuk rambu lalu lintas atau
penerangan
Tabel II.24 Faktor Beban Akibat Beban Angin
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TRANSIEN 1,0 1,2
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.25 Koefisien Seret Untuk Rambu Jalan
Uraian Koefisien seret Cw Panel tanda lalu lintas : • Perbandingan lebar/tinggi =
1,0 2,0 5,0 10,0 15,0
1,18 1,19 1,20 1,23 1,30
Pencahayaan : Bentuk bulat Bentuk segi empat, sisi datar
0,5 1,2
Tanda lalu lintas 1,2 Catatan (1) untuk harga antara gunakan interpolasi linier
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
4. Pengaruh Penyusutan dan Rangkak
Pengaruh diperhitungkan dalam perencanaan, dengan menggunakan beban mati
dari jembatan. Apabila rangkak dan penyusutan bisa mengurangi pengaruh muatan
lainnya, maka harga dari rangkak dan penyusutan tersebut harus diambil minimum.
Tabel II.26 Faktor Beban Akibat Penyusutan dan Rangkak
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TETAP 1,0 1,0
Catatan (1) Walaupun rangkak dan penyusutan bertambah lambat menurut waktu akan tetapi pada akhirnya akan mencapai harga yang konstan
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
5. Pengaruh Gempa
Permukaan air rendah dan tinggi harus ditentukan selama umur bangunan guna
menghitung tekanan hidrostatis dan gaya apung. Dalam menghitung pengaruh
tekanan hidrostatis, gradien hidrolis yang melintang bangunan harus diperhitungkan.
Pengaruh gempa rencana hanya ditinjau pada keadaan batas ultimit.
Tabel II.27 Faktor Beban Akibat Pengaruh Gempa
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TRANSIEN Tidak dapat digunakan 1,0
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
a. Beban Horizontal Statis Ekuivalen
Metoda untuk menghitung beban statis ekuivalen untuk jembatan, dimana
analisa statis ekuivalen adalah sesuai. Untuk jembatan besar, rumit dan penting
mungkin diperlukan analisa dinamis. Beban rencana gempa minimum diperoleh dari
rumus berikut:
…………………………………………………….(2.22)
……………………………………………………….….(2.23)
Dimana :
dengan pengertian :
adalah Gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau (kN)
Kh adalah Koefisien beban gempa horisontal
C adalah Koefisien geser dasar waktu dan kondisi setempat yang sesuai
I adalah Faktor kepentingan
S adalah Faktor tipe bangunan
WT adalah Berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan
gempa, diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan (kN)
b. Koefisien Geser Dasar (C)
Koefisien geser dasar diperoleh dari gambar II.42 dan sesuai daerah gempa,
fleksibilitas tanah di bawah permukaan dicantumkan berupa garis dan waktu getar
bangunan. gambar II.42 untuk menentukan pembagian daerah.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.42 Koefisien Geser Dasar (C) Plastis untuk Analisis Statis (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Gam
bar
II.4
3 W
ilaya
h G
empa
Indo
nesi
a un
tuk
Perio
de U
lang
500
Tah
un
(Sum
ber :
Sta
ndar
Pem
beba
nan
Unt
uk J
emba
tan
RSN
I-T-
02-2
005)
Universitas Sumatera Utara
Kondisi tanah di bawah permukaan didefinisikan sebagai teguh, sedang dan
lunak sesuai kriteria yang tercantum pada tabel II.27. Untuk jelasnya, perubahan titik
pada garis dalam gambar II.42 diberikan dalam tabel II.27. Waktu dasar getaran
jembatan yang digunakan menghitung geser dasar harus dihitung dari analisa seluruh
elemen bangunan yang memberi kekakuan dan fleksibilitas dari sistem fondasi.
Untuk bangunan dengan satu derajat kebebasan, rumus berikut bisa digunakan:
……………………………………………………………..…(2.24)
dengan pengertian :
T ialah waktu getar dalam detik untuk free body dengan satu derajat kebebasan
g adalah percepatan gravitasi (m/dtk2)
WTP adalah berat total nominal bangunan atas termasuk beban mati tambahan
ditambah setengah berat dari pilar (bila perlu dipertimbangkan) (kN)
Kp adalah kekakuan gabungan sebagai gaya horisontal yang diperlukan untuk
menimbulkan satu satuan lendutan pada bagian atas pilar (kN/m)
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.28 Kondisi Tanah untuk Koefisien Geser Dasar
Jenis Tanah Tanah Teguh Tanah Sedang Tanah
Lunak Untuk seluruh jenis tanah ≤ 3 m > 3 m sampai 25 m > 25 m Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser undrained rata-rata tidak melebihi 50 kPa:
≤ 6 m > 6 m sampai 25 m > 25 m
Pada tempat dimana hamparan tanah salah satunya mempunyai sifat kohesif dengan kekuatan geser undrained ratarata lebih besar dari 100 kPa, atau tanah berbutir yang sangat padat:
≤ 9 m > 9 m sampai 25 m > 25 m
Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser undrained rata-rata tidak melebihi 200 kPa:
≤ 12 m > 12 m sampai 30 m > 30 m
Untuk tanah berbutir dengan ikatan matrik padat: ≤ 20 m > 20 m sampai 40 m > 40 m
Catatan (1) Ketentuan ini harus digunakan dengan mengabaikan apakah tiang pancang diperpanjang sampai lapisan tanah keras yang lebih dalam
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.29 Titik Belok Untuk Garis Dalam Gambar II.42
Daerah No. "T" "C" "T" "C" "T" "C"
1 0,40 0,20 0,40 0,23 0,60 0,23 0,80 0,13 1,20 0,13 1,50 0,13
2 0,40 0,17 0,40 0,21 0,60 0,21 0,70 0,11 1,10 0,11 1,70 0,11
3 0,40 0,14 0,40 0,18 0,55 0,18 0,60 0,10 0,90 0,10 1,30 0,10
4 - 0,10 0,40 0,15 0,60 0,15 0,75 0,10 0,95 0,10
5 - 0,10 0,40 0,12 0,60 0,12 0,80 0,10 1,50 0,10
6 - 0,06 - 0,06 0,60 0,07 0,80 0,06
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.30 Faktor Kepentingan
1 Jembatan memuat lebih dari 2000 kendaraan/hari, jembatan pada jalan raya utama atau arteri dan jembatan dimana tidak ada rute alternatif. 1,2
2 Seluruh jembatan permanen lain, dimana ada rute alternatif, tidak termasuk jembatan direncanakan pembebanan lalu lintas dikurangi. 1,0
3 Jembatan sementara (misal: Bailey) dan jembatan yang direncanakan untuk pembebanan lalu lintas yang dikurangi sesuai dengan pasal 6.5. 0,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.31 Faktor Tipe Bangunan
Tipe Jembatan(1)
Jembatan dengan Daerah Sendi Beton Bertulang atau Baja
Jembatan dengan Daerah Sendi Beton Prategang
Prategang Parsial(2) Prategang Penuh(2) Tipe A (3) 1,0 F 1,15 F 1,3 F Tipe B (3) 1,0 F 1,15 F 1,3 F Tipe C 3,0 3,0 3,0
Catatan (1) Jembatan mungkin mempunyai tipe bangunan yang berbeda pada arah melintang dan memanjang, dan tipe bangunan yang sesuai harus digunakan untuk masing arah. Catatan (2) Yang dimaksud dalam tabel ini, beton prategang parsial mempunyai prapenegangan yang cukup untuk kira-kira mengimbangi pengaruh dari beban tetap rencana dan selebihnya diimbangi oleh tulangan biasa. Beton prategang penuh mempunyai prapenegangan yang cukup untuk mengimbangi pengaruh beban total rencana. Catatan (3) F = Faktor perangkaan = 1,25 – 0,025 n ; F ≥ 1,00 n = jumlah sendi plastis yang menahan deformasi arah lateral pada masing bagian monolit dari jembatan yang berdiri sendiri (misalnya : bagian yang dipisahkan oleh sambungan siar muai yang memberikan keleluasan untuk bergerak dalam arah lateral secara sendirisendiri) Catatan (4) Tipe A : jembatan daktail (bangunan atas bersatu dengan bangunan bawah)
Tipe B : jembatan daktail (bangunan atas terpisah dengan bangunan bawah) Tipe C : jembatan tidak daktail (tanpa sendi plastis)
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Perhatikan bahwa jembatan biasanya mempunyai waktu getar yang berbeda
pada arah memanjang dan melintang sehingga beban rencana statis ekuivalen yang
berbeda harus dihitung untuk masing-masing arah.
Universitas Sumatera Utara
c. Ketentuan Khusus Untuk Pilar Tinggi
Untuk pilar tinggi berat pilar dapat menjadi cukup besar untuk mengubah
respons bangunan akibat gerakan gempa, maka beban statis ekuivalen arah
horisontal pada pilar harus disebarkan sesuai dengan gambar II.44.
Gambar II.44 Beban Gempa pada Pilar Tinggi (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
d. Beban Vertikal Statis Ekuivalen
Untuk perencanaan perletakan dan sambungan, gaya gempa vertikal dihitung
dengan menggunakan percepatan vertikal (ke atas atau ke bawah) sebesar 0.1 g, yang
harus bekerja secara bersamaan dengan gaya horisontal. Gaya ini jangan dikurangi
oleh berat sendiri jembatan dan bangunan pelengkapnya. Gaya gempa vertikal
bekerja pada bangunan berdasarkan pembagian massa, dan pembagian gaya gempa
antara bangunan atas dan bangunan bawah harus sebanding dengan kekakuan relatif
dari perletakan atau sambungannya.
e. Tekanan Tanah Lateral Akibat Gempa
Gaya gempa arah lateral akibat tekanan tanah (tekanan tanah dinamis)
dihitung dengan menggunakan faktor harga dari sifat bahan, koefisien geser dasar C
diberikan dalam tabel II.31 dan faktor kepentingan I diberikan dalam tabel II.29.
Universitas Sumatera Utara
Faktor tipe struktur S untuk perhitungan kh harus diambil sama dengan 1,0. Pengaruh
dari percepatan tanah arah vertikal bisa diabaikan.
Tabel II.32 Koefisien Geser Dasar untuk Tekanan Tanah Lateral
Daerah Gempa (1) Koefisien Geser Dasar C
Tanah Teguh (2)
Tanah Sedang (2)
Tanah Lunak (2)
1 0,20 0,23 0,23 2 0,17 0,21 0,21 3 0,14 0,18 0,18 4 0,10 0,15 0,15 5 0,07 0,12 0,12 6 0,06 0,06 0,07
Catatan (1) Daerah gempa bisa dilihat dalam Gambar 14. Catatan (2) Definisi dari teguh, sedang dan lunak dari tanah di bawah permukaan diberikan
dalam Tabel 30. (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
f. Bagian Tertanam dari Jembatan
Bila bagian jembatan, seperti kepala jembatan (abutments) tertanam, faktor
tipe bangunan, (S) yang akan digunakan dalam menghitung beban statis ekuivalen
akibat massa bagian tertanam, harus ditentukan sebagai berikut:
• Bila bagian tertanam dari struktur dapat menahan simpangan horisontal yang
besar (konsisten dengan gerakan gempa) sebelum runtuh, dan sisa struktur
dapat mengikuti simpangan tersebut, maka S untuk bagian tertanam harus
diambil sebesar 1,0.
• Bila bagian tertanam dari struktur tidak dapat menahan simpangan horisontal
besar, atau bila sisa struktur tidak dapat mengikuti simpangan tersebut, maka
S untuk bagian tertanam harus diambil sebesar 3,0. Koefisien geser dasar, C,
untuk bagian tertanam struktur, harus sesuai dengan tabel II.31.
Universitas Sumatera Utara
g. Tekanan Air Lateral Akibat Gempa
Gaya gempa arah lateral akibat tekanan air ditentukan dalam tabel II.32.
Gaya ini dianggap bekerja pada bangunan pada kedalaman sama dengan setengah
dari kedalaman air ratarata. Ketinggian permukaan air yang digunakan untuk
menentukan kedalaman air rata-rata harus sesuai dengan:
• untuk arus yang mengalir, ketinggian yang diambil dalam perencanaan adalah
yang terlampaui untuk rata-rata enam bulan untuk setiap tahun;
• untuk arus pasang, diambil ketinggian permukaan air rata-rata.
Tabel II.33 Gaya air lateral akibat gempa
Tipe Bangunan Gaya Air Horisontal Tipe dinding yang menahan air pada
satu sisi 0,58*Kh*I*wo*b*h2
Kolom :
b / h ≤ 2,0 0,75*Kh*I*wo*h*b2 [1-b/(4h)] 2 < b / h ≤ 3,1 1,17*Kh*I*wo*b*h2
3,1 < b / h 0,38*Kh*I*wo*h*b2 (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
dengan pengertian :
Kh adalah koefisien pembebanan gempa horisontal, seperti didefinisikan dalam
persamaan (2.23)
I adalah faktor kepentingan dari tabel II.29
wo adalah berat isi air, bisa diambil 9,8 kN/m3
b adalah lebar dinding diambil tegak lurus dari arah gaya (m)
h adalah kedalaman air (m)
Universitas Sumatera Utara
6. Aksi Lainnya
Gesekan pada perletakan termasuk pengaruh kekakuan geser dari perletakan
elastomer. Gaya akibat gesekan pada perletakan dihitung dengan menggunakan
hanya beban tetap, dan harga rata-rata dari koefisien gesekan (atau kekakuan geser
apabila menggunakan perletakan elastomer).
Tabel II.34 Faktor Beban Akibat Gesekan pada Perletakan
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
Biasa Terkurangi TRANSIEN 1,0 1,3 0,8 Catatan (1) Gaya akibat gesekan pada perletakan terjadi selama adanya pergerakan. pada bangunan atas tetapi gaya sisa mungkin terjadi setelah pergerakan berhenti. Dalam hal ini gesekan perletakan harus memperhitungkan pengaruh tetap yang besar.
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
II.2.8.c.3 Beban Khusus
Beban yang merupakan beban-beban dan gaya-gaya khusus untuk
perhitungan tegangan pada perencanaan jembatan. Beban yang juga perlu
diperhatikan dimana hal tersebut menyangkut kekhususan jembatan, antara lain
sistem kontruksi dan tipe jembatan serta keadaan setempat, misalnya :
1. Gaya Sentrifugal
Jembatan yang berada pada tikungan harus memperhitungkan bekerjanya
suatu gaya horisontal radial yang dianggap bekerja pada tinggi 1,8 m di atas lantai
kendaraan. Gaya horisontal tersebut harus sebanding dengan beban lajur D yang
dianggap ada pada semua jalur lalu lintas, tanpa dikalikan dengan faktor beban
dinamis. Beban lajur D disini tidak boleh direduksi bila panjang bentang melebihi 30
m. Untuk kondisi ini rumus (2.28), dimana q = 9 kPa berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Gaya sentrifugal harus bekerja secara bersamaan dengan pembebanan "D"
atau "T" dengan pola yang sama sepanjang jembatan. Gaya sentrifugal ditentukan
dengan rumus berikut:
TTR = 0,7 TT.......................................................................................(2.25)
dengan pengertian :
TTR adalah gaya sentrifugal yang bekerja pada bagian jembatan
TT adalah Pembebanan lalu lintas total yang bekerja pada bagian yang
sama (TTR dan TT mempunyai satuan yang sama)
V adalah kecepatan lalu lintas rencana (km/jam)
r adalah jari-jari lengkungan (m)
Tabel II.35 Faktor Beban Akibat Gaya Sentrifugal
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TRANSIEN 1,0 1,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
2. Pengaruh Tetap Pelaksanaan
Pengaruh tetap pelaksanaan adalah beban yang muncul karena disebabkan oleh
metoda dan urutan pelaksanaan jembatan. Beban ini biasanya mempunyai kaitan
dengan aksi lainnya, seperti berat sendiri. Dalam hal ini, pengaruh faktor ini tetap
harus dikombinasikan dengan aksi tersebut dengan faktor beban yang sesuai
Universitas Sumatera Utara
Bila pengaruh tetap yang terjadi tidak begitu terkait dengan aksi rencana lainnya,
maka pengaruh tersebut harus dimaksudkan dalam batas daya layan dan batas ultimit
dengan menggunakan faktor beban yang tercantum dalam tabel II.35.
Tabel II.36 Faktor Beban Akibat Pengaruh Pelaksanaan
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
Biasa Terkurangi
TETAP 1,0 1,25 0,8 (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
3. Aliran Air, Benda Hanyutan dan Tumbukan Kayu
Tabel II.37 Faktor Beban Akibat Aliran Air, Benda Hanyutan dan Tumbukan
dengan Batang Kayu
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TRANSIEN 1,0 Lihat Tabel 33
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005) Gaya seret nominal ultimit dan daya layan pada pilar akibat aliran air tergantung
kepada kecepatan sebagai berikut:
TEF = 0,5 * CD*(Vs)2 *Ad (kN) ……………………………………….…..(2.26)
dengan pengertian :
Vs adalah kecepatan air rata-rata (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau.
Kecepatan batas harus dikaitkan dgn periode ulang dalam tabel II.34.
CD adalah koefisien seret - lihat tabel II.38.
Ad adalah luas proyeksi pilar tegak lurus arah aliran (m2) dengan tinggi sama
dengan kedalaman aliran - lihat gambar II.45.
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.38 Periode Ulang Banjir Untuk Kecepatan Air
Keadaan Batas Periode Ulang Banjir Faktor Beban
Daya layan untuk semua jembatan 20 tahun 1.0
Ultimit : Jembatan besar dan penting (1) Jembatan permanen Gorong-gorong (2) Jembatan sementara
100 tahun 50 tahun 50 tahun 20 tahun
2.0 1.5 1.0 1.5
Catatan (1) Jembatan besar dan penting harus ditentukan oleh Instansi yang berwenang Catatan (2) Gorong-gorong tidak mencakup bangunan drainase
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.39 Koefisien Seret dan Angkat untuk Bermacam-macam Bentuk Pilar
No. Bentuk Pilar Koefisien Seret
CD
Koefisien Angkat
CL
1
0,8
1,4
0,7
Θ
0o
5o
10o
20o
≥ 30o
CL
0
0.5
0.9
0.9
1.0
2
0,7 Tidak bisa dipakai
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.40 Koefisien Koreksi untuk Bentuk Penampang Pilar (Piers)
No. Bentuk Ujung Pilar K1 1 Persegi 1,1 2 Bulat 1,0 3 Lingkaran Silinder 1,0 4 Kumpulan Silinder 1,0 5 Tajam 0,9
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.41 Koefisien Koreksi untuk Arah Datang Aliran Air
No Θ L/a = 4 L/a = 8 L/a =12 1 0o 1,0 1,0 1,0 2 15o 1,5 2,0 2,5 3 30o 2,0 2,75 3,5 4 45o 2,3 3,3 4,3 5 90o 2,5 3,9 5,0
Θ = sudut kemiringan aliran L = panjang pilar searah arus (m)
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Gambar II.45 Luas Proyeksi Pilar untuk Gaya Aliran
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Bila pilar tipe dinding membuat sudut dengan arah aliran, gaya angkat melintang
semakin meningkat. Harga nominal gaya dalam arah tegak lurus gaya seret, adalah:
TEF = 0,5 * CD*(Vs)2 *AL (kN) ………………………………………..….(2.27)
Universitas Sumatera Utara
dengan pengertian :
Vs adalah kecepatan air rata-rata (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau.
Kecepatan batas harus dikaitkan dgn periode ulang dalam abel II.37.
CD adalah koefisien seret - lihat tabel II.38.
AL adalah luas proyeksi pilar sejajar arah aliran (m2), dengan tinggi sama
dengan kedalaman aliran - lihat gambar II.45.
Bila bangunan atas jembatan terendam, koefisien seret (CD) yang bekerja
disekeliling bangunan, yang diproyeksikan tegak lurus arah aliran diambil sebesar
CD = 2,2 ……………………………………………………………..……..(2.28)
kecuali apabila data yang lebih tepat tersedia, untuk jembatan yang terendam,
gaya angkat akan meningkat dengan cara yang sama seperti pada pilar tipe dinding.
Perhitungan untuk gaya angkat tersebut adalah sama, kecuali bila besarnya AL
diambil sebagai luas dari daerah lantai jembatan.
Gaya akibat benda hanyutan dihitung menggunakan persamaan (2.26) dengan :
CD = 1,04……………………………………………………………..……..(2.29)
AD adalah luas proyeksi benda hanyutan tegak lurus arah aliran (m2)
Jika tidak ada data yang tepat, luas proyeksi benda hanyutan dihitung seperti :
a. Untuk jembatan yang permukaan air terletak di bawah bangunan atas
Lluas benda hanyutan yang bekerja pada pilar dihitung dengan menganggap
bahwa kedalaman minimum dari benda hanyutan adalah 1,2 m dibawah muka air
banjir. Panjang hamparan dari benda hanyutan diambil setengahnya dari jumlah
bentang yang berdekatan atau 20 m, diambil yang terkecil dari kedua harga ini.
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk jembatan dimana bangunan atas terendam
Kedalaman benda hanyutan diambil sama dengan kedalaman bangunan atas
termasuk sandaran atau penghalang lalu lintas ditambah minimal 1,2 m. Kedalaman
maksimum benda hanyutan boleh diambil 3 m kecuali bila menurut pengalaman
menunjukkan bahwa hamparan dari benda hanyutan dapat terakumulasi. Panjang
hamparan benda hanyutan yang bekerja pada pilar diambil setengah dari jumlah
bentang yang berdekatan.
Gaya akibat tumbukan dengan batang kayu dihitung dengan anggapan massa
minimum sebesar 2 Ton hanyut pada kecepatan aliran rencana harus bisa ditahan
dengan gaya maksimum berdasarkan lendutan elastis ekuivalen pilar dengan rumus
TEF = (kN) …………………………………………..……(2.30)
dengan pengertian :
M adalah massa batang kayu = 2 ton
Va adalah kecepatan air permukaan (m/dtk) pada keadaan batas yang ditinjau,
Va bisa diambil 1,4 x kecepatan rata-rata Vs*
d adalah lendutan elastis ekuivalen - lihat tabel II.41
Tabel II.42 Lendutan Ekuivalen untuk Tumbukan Batang Kayu
Tipe Pilar d (m) Pilar beton masif Tiang beton perancah Tiang kayu perancah
0.075 0.150 0.300
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Gaya akibat tumbukan kayu dan benda hanyutan lainnya jangan diambil secara
bersamaan. Tumbukan batang kayu ditinjau secara bersamaan dengan gaya angkat
dan seret. Untuk kombinasi, tumbukan batang kayu ditinjau sebagai aksi transien.
4. Beban Tumbukan pada Penyangga Jembatan
Pilar pendukung jembatan yang melintasi jalan raya, jalan kereta api dan
navigasi sungai harus direncanakan mampu menahan beban tumbukan. Kalau tidak,
pilar harus direncanakan untuk diberi pelindung. Apabila pilar yang mendukung
jembatan layang terletak dibelakang penghalang, maka pilar tersebut harus
direncanakan untuk bisa menahan beban statis ekuivalen sebesar 100 kN yang
bekerja membentuk sudut 10° dengan sumbu jalan yang terletak dibawah jembatan.
Beban ini bekerja 1.8 m diatas permukaan jalan. Beban rencana dan beban mati
rencana pada bangunan harus ditinjau sebagai batas daya layan.
Tabel II.43 Faktor Beban Akibat Beban Tumbukan Pada Penyangga Jembatan
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
TRANSIEN 1,0 (1) 1,0 (1)
Catatan (1) Tumbukan harus dikaitkan pada faktor beban ultimit atau daya layan. (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005) 5. Beban Tumbukan dengan Kapal
Risiko terjadinya tumbukan kapal dengan jembatan harus diperhitungkan
dengan meninjau keadaan masing-masing lokasi untuk parameter berikut:
• Jumlah lalu lintas air.
• Tipe, berat dan ukuran kapal yang menggunakan jalan air.
• Kecepatan kapal yang menggunakan jalan air.
Universitas Sumatera Utara
• Kecepatan arus dan geometrik jalan air disekitar jembatan termasuk
pengaruh gelombang.
• Lebar dan tinggi navigasi dibawah jembatan, teristimewa yang terkait
dengan lebar jalan air yang bisa dilalui.
• Pengaruh tumbukan kapal terhadap jembatan.
Sistem fender yang terpisah harus dipasang dalam hal-hal tertentu, dengan
resiko terjadinya tumbukan sangat besar; dan kemungkinan gaya tumbukan yang
terjadi terlalu besar untuk dipikul sendiri oleh jembatan. Sistem fender harus
direncanakan dengan menggunakan metoda yang berdasarkan kepada penyerapan
energi tumbukan akibat terjadinya deformasi pada fender.
Fender harus mempunyai pengaku dalam arah horisontal untuk meneruskan
gaya tumbukan keseluruh elemen penahan tumbukan. Bidang pengaku horisontal ini
harus ditempatkan sedekat mungkin dengan permukaan dimana tumbukan akan
terjadi. Jarak antara fender dengan pilar jembatan harus cukup sehingga tidak akan
terjadi kontak apabila beban tumbukan bekerja;
Pilar tanpa fender harus direncanakan untuk bisa menahan tumbukan tanpa
menimbulkan kerusakan yang permanen (pada batas daya layan). Ujung kepala
fender, dimana energi kinetik paling besar yang terjadi akibat tumbukan diserap,
harus diperhitungkan dalam keadaan batas ultimit.
6. Tekanan Hidrostatis dan Gaya Apung
Permukaan air rendah dan tinggi ditentukan selama umur bangunan untuk
menghitung tekanan hidrostatis dan gaya apung. Dalam menghitung tekanan
hidrostatis, gradien hidrolis yang melintang bangunan harus diperhitungkan.
Bangunan penahan-tanah direncanakan mampu menahan pengaruh total dari air
Universitas Sumatera Utara
tanah kecuali timbunan bisa mengalirkan air. Sistem drainase merupakan irisan dari
timbunan yang mudah mengalirkan air dibelakang dinding, dengan bagian belakang
dari irisan naik dari dasar dinding pada sudut maksimum 60° dari arah horisontal;
Pengaruh daya apung ditinjau terhadap bangunan atas yang mempunyai rongga
atau lubang dimana mungkin udara terjebak, kecuali bila ventilasi udara dipasang.
Daya apung harus ditinjau dengan gaya akibat aliran. Dalam memperkirakan
pengaruh daya apung, harus ditinjau beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Pengaruh daya apung bangunan bawah (tiang) dan beban mati bangunan atas;
b. Syarat sistem ikatan dari bangunan atas;
c. Syarat drainase dengan adanya rongga pada bagian dalam, agar air bisa keluar
pada waktu surut.
Tabel II.44 Faktor Beban Akibat Tekanan Hidrostatis Dan Gaya Apung
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN
Biasa Terkurangi TRANSIEN 1,0 1,0 (1,1) 1,0 (0,9) Catatan (1) Angka yang ditunjukan dalam tanda kurung digunakan untuk bangunan penahan air atau bangunan lainnya dimana gaya apung dan hidrostatis sangat dominan
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Permukaan air rendah dan tinggi harus ditentukan selama umur bangunan guna
menghitung tekanan hidrostatis dan gaya apung. Dalam menghitung pengaruh
tekanan hidrostatis, gradien hidrolis yang melintang bangunan harus diperhitungkan.
Bangunan penahan-tanah harus direncanakan mampu menahan pengaruh total dari
Universitas Sumatera Utara
7. Pengaruh Prategang
Prategang akan menyebabkan pengaruh sekunder pafa komponen-komponen
yang terkekang pada bangunan statis tidak tentu. Pengaruh sekunder tersebut harus
diperhitungkan baik pada batas daya layan ataupun batas ultimit.
Prateganga harus diperhitungkan sebelum (selama pelaksanaan) dan sesudah
kehilangan tegangan dalam kombinasinya dengan beban-beban lainnya.
Tabel II.45 Faktor Beban Akibat Pengaruh Prategang
JANGKA WAKTU
FAKTOR BEBAN KS
PR KUPR
TRANSIEN 1,0 1,0 (1,15 pada prapenegang) (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Pengaruh utama dari prategang adalah sebagai berikut :
a. Pada keadaan batas daya layan, gaya prategang dapat dianggap bekerja
sebagai suatu sistem beban unsur. Nilai rencana dari beban prategang
tersebut harus dihitung dengan menggunakan faktor beban prategang daya
layan sebesar 1,0
b. Pada keadaan batas ultimit, pengaruh utama dari prategang tidak dianggap
sebagai beban yang bekerja, melainkan harus tercangkup dalam
perhitungan kekuatan unsur.
Universitas Sumatera Utara
II.2.8.c.4 Kombinasi Beban
Kombinasi beban umumnya didasarkan kepada beberapa kemungkinan tipe
yang berbeda dari aksi yang bekerja secara bersamaan. Aksi rencana ditentukan dari
aksi nominal yaitu mengalikan aksi nominal dengan faktor beban yang memadai.
Aksi rencana digolongkan kedalam aksi tetap dan transien, seperti terlihat dalam
Tabel II.46. Seluruh pengaruh aksi rencana harus mengambil faktor beban yang
sama, apakah itu biasa atau terkurangi.
Tabel II.46 Tipe Aksi Rencana
Aksi Tetap Aksi Transien Nama Simbol Nama Simbol
Berat sendiri Beban mati tambahan Penyusutan/rangkak Prategang Tekanan tanah Penurunan Pengaruh pelaksanaan tetap
PMS PMA PSR PPR PTA PES PPL
Beban lajur "D" Beban truk "T" Gaya rem Gaya sentrifugal Beban pejalan kaki Beban tumbukan Beban angin Gempa Getaran Gesekan pada perletakan Pengaruh temperatur Hidro atau daya apung Beban pelaksanaan Arus, hanyutan dan tumbukan
TTD TTT TTB TTR TTP TTC TEW TEQ TVI TBF TET TEU TCL TEF
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
1. Pengaruh Umur Rencana dan Waktu
Beberapa aksi tetap, seperti beban mati tambahan PMA, penyusutan dan
rangkak PSR, pengaruh prategang PPR dan pengaruh penurunan PES bisa berubah
secara perlahan berdasarkan kepada waktu. Kombinasi beban yang diambil termasuk
harga maksimum dan minimum dari semua aksi untuk menentukan pengaruh total
dari yang paling berbahaya.
Faktor beban untuk keadaan batas ultimit didasarkan kepada umur rencana
jembatan selama 50 tahun. Untuk jembatan dengan umur rencana yang berbeda,
Universitas Sumatera Utara
faktor beban ultimit harus diubah dengan menggunakan faktor pengali seperti yang
diberikan dalam Tabel II.47.
Tabel II.47 Pengaruh Umur Rencana pada Faktor Beban Ultimit
No Klasifikasi Jembatan Umur
Rencana Kalikan KU dengan
Aksi Tetap Aksi Transien
1 2 3
Jembatan sementara Jembatan biasa Jembatan khusus
20 tahun 50 tahun 100 tahun
1,0 1,0 1,0
0,87 1,00 1,10
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
2. Kombinasi Pada Keadaan Batas Daya Layan
Kombinasi pada keadaan batas daya layan primer terdiri dari jumlah
pengaruh aksi tetap dengan satu aksi transien. Pada keadaan batas daya layan, lebih
dari satu aksi transien bisa terjadi secara bersamaan. Beberapa aksi kemungkinan
dapat terjadi pada tingkat daya layan pada waktu yang sama dengan aksi lainnya
yang terjadi pada tingkat ultimit. Kemungkinan terjadinya kombinasi seperti ini
harus diperhitungkan, tetapi hanya satu aksi pada tingkat daya layan yang
dimasukkan pada kombinasi pembebanan. Keadaan batas kelayanan adalah serupa
dengan kriteria rencana untuk perencanaan tegangan kerja. Getaran umumnya hanya
penting bila pejalan kaki menggunakan jembatan.
Tabel II.48 Kombinasi Beban Untuk Keadaan Batas Daya Layan
Kombinasi primer Aksi tetap + satu aksi transien (cat.1), (cat.2)
Kombinasi sekunder Kombinasi primer + 0,7 x (satu aksi transien lainnya)
Kombinasi tersier Kombinasi primer + 0,5 x (dua atau lebih aksi transien)
Catatan (1) Beban lajur ‘D’ yaitu TTD atau beban truk ‘T’ yaitu TTT diperlukan untuk membangkitkan gaya rem TTB dan gaya sentrifugal TTR pada jembatan. Tidak ada faktor pengurangan yang harus digunakan apabila TTB atau TTR terjadi dalam kombinasi dengan TTD atau TTT sebagai kombinasi primer
Catatan (2) Gesekan pada perletakan TBF bisa terjadi bersamaan dengan pengaruh temperatur TET dan harus dianggap sebagai satu aksi kombinasi beban.
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
3. Kombinasi Pada Keadaan Batas Ultimate
Kombinasi pada keadaan batas ultimit terdiri dari jumlah pengaruh aksi tetap
dengan satu pengaruh transien. Pada keadaan batas ultimit, tidak diadakan aksi
transien lain untuk kombinasi dengan aksi gempa. Keadaan batas ultimate umumnya
mencakup keruntuhan fatal yang membahayakan jiwa manusia. Kemungkinan akan
keruntuhan, harus dijaga serendah mungkin dan batas 5% sepanjang umur jembatan
umumnya diambil. Faktor beban yang sudah dikurangi diterapkan dalam hal ini
untuk mengurangi kemungkinan dari peristiwa ini, seperti diberikan Tabel II.49.
Tabel II.49 Ringkasasn Kombinasi Beban untuk Batas Daya Layan dan Ultimit
Aksi Kombinasi Kelayanan Kombinasi Ultimit 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Aksi Permanen : -Berat Sendiri dan Mati Tambahn -Susut Rangak dan Pratekan -Akibat Beban Tetap Pelaksanaan - Penurunan dan Tekanan Tanah
v v v v v v v v v v v v
Aksi Transien : -Beban Lajur ‘D’ atau Beban Truk ‘T’ v o o o o v o o o o -Gaya Rem atau Gaya Sentrifugal v o o o o v o o o -Beban Pejalan Kaki v v -Gesekan Perletakan o o v o o o o o o o o -Pengaruh Suhu o o v o o o o o o o o -Aliran, Hanyutan, Batang Kayu dan Hidrostatik atau Gaya Apung o o v o o o v o o -Beban Angin o o v o o o v o
Aksi Khusus : -Gempa v -Pengaruh Getaran v v -Beban Pelaksanaan v v
‘v‘ berarti beban yang selalu aktif. ‘O‘ berarti beban yang boleh di kombinasi dengan beban aktif, tunggal atau seperti ditunjukkan.
(1) = aksi permanen ‘v’ KBL + beban aktif ‘v’KBL + 1 beban ‘o’KBL (2) = aksi permanen ‘v’ KBL + beban aktif‘v’KBL + 1 beban‘o’KBL+ 0,7 beban ‘o’ KBL (3) = aksi permanen ‘v’ KBL + beban Aktif‘v’KBL+1 beban‘o’KBL + 0,5 (beban‘o’ + beban ‘o’KBL)
Aksi permanen ‘v’ KBU + beban aktif ‘v’ KBU + 1 beban ‘o’ KBL
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Hal yang harus diperhatikan dalam menentukan kombinasi beban umum
untuk keadaan batas kelayanan dan ultimit adalah sebagai berikut :
a. Perencana harus mengenali dan memperhitungkan kombinasi beban yang tidak
tercantum dalam tabel jembatan tertentu yang mungkin menjadi kritis.
b. Dalam keadaan batas daya layan pada tabel, aksi dengan tanda ‘V’ untuk
kombinasi tertentu dimasukkan dengan faktor beban daya layan penuh. Butir
dengan tanda ‘O’ dimasukkan faktor beban layan yang diturunkan harganya.
c. Dalam keadaan batas ultimit pada bagian tabel, aksi dengan tanda ‘V’ untuk
kombinasi tertentu dimasukkan dengan faktor beban ultimit penuh. Butir
dengan tanda ‘O’ dimasukkan dengan harga yang sudah diturunkan yang
besarnya sama dengan beban daya layan.
d. Tingkat keadaan batas dari gaya sentrifugal dan gaya rem tidak terjadi secara
bersamaan. Perlu perhitungan untuk faktor beban ultimit terkurangi bagi beban
lalu lintas vertikal dalam kombinasi dengan gaya rem.
e. Pengaruh perbedaan temperatur pada seluruh jembatan. Gesekan pada
perletakan sangat erat kaitannya dengan pengaruh temperatur akan tetapi arah
aksi dari gesekan perletakan akan berubah, tergantung kepada arah pergerakan
dari perletakan atau dengan kata lain, apakah temperatur itu naik atau turun.
Pengaruh temperatur tidak mungkin kritis pada keadaan batas ultimit kecuali
bersamaan dengan aksi lainnya. Dengan demikian temperatur hanya ditinjau
sebagai kontribusi pada tingkat keadaan batas daya layan.
f. Gesekan pada perletakan harus ditinjau apabila sewaktu aksi lainnya
memberikan pegaruh yang cenderung menyebabkan gerakan arah horisontal
pada perletakan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
g. Semua pengaruh dari air dapat dimasukkan bersama.
h. Pengaruh gempa hanya ditinjau pada keadaan batas ultimit.
i. Beban tumbukan merupakan beban daya layan atau beban ultimit.
j. Pengaruh getaran hanya digunakan dalam keadaan batas daya layan.
II.2.8.c.5 Tegangan Keria Rencana
Dalam perencanaan tegangan kerja, beban nominal bekerja pada jembatan
dan satu factor keamanan digunakan untuk menghitunga besarnya penurunan
kekuatan atau perlawanan dari komponen bangunan. Untuk perencanaan yang baik,
hubungan itu harus memenuhi syarat yang berlaku.
1. Tegangan yang Berlebihan yang Diperbolehkan
Beberapa kombinasi beban mempunyai probabilitas kejadian yang rendah
dan jangka waktu yang pendek. Untuk kombinasi yang demikian maka tegangan
yang diperbolehkan berdasarkan prinsip tegangan kerja. Tegangan berlebihan yang
diberikan dalam Tabe.II.50.
Tabel II. 50 Kombinasi Beban untuk Perencanaan Tegangan Kerja
Aksi Kombinasi No.
1 2 3 4 5 6 7 Aksi tetap X X X X X X X Beban lalu lintas X X X X - - - Pengaruh temperatur - X - X - - - Arus/hanyutan/hidro/daya apung X X X X X - - Beban angin - - X X - - - Pengaruh gempa - - - - X - - Beban tumbukan - - - - - - X Beban pelaksanaan - - - - - X -
Tegangan berlebihan yang diperbolehkan Nil 25%
25%
40% 50% 30% 50
% (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
II.2.8.d Perbedaan Antara Pembebanan PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987 dengan Pembebanan RSNI T – 02 – 2005
Dari uraian penjabaran pembebanan PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987 Pedoman
Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya dan RSNI T – 02 – 2005 Standar
Pembebanan Untuk Jembatan di atas, dapat dilihat beberapa perbedaan yang
mendasar, yaitu pada besar beban desain serta faktor beban yang digunakan.
Perbedaan ini dapat dilihat di bawah ini :
Tabel II.51 Pembebanan PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987 dan RSNI T – 02 – 2005
Beban
PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987 RSNI T – 02 – 2005
Besar beban Faktor
beban
Besar beban Faktor
beban
Beban Truk “T” 10 ton 1,6 11,25 ton 1,8
Beban Mati (berat sendiri) * 1,2 * 1,2
Beban Mati Tambahan * 1,2 * 2,0
Beban Hidup
• Beban Lajur “D”
Beban q
Beban p
• Beban Angin
• Beban Rem & Traksi
q = 2,2 t/m – x (L – 30)
12 ton
150 kg/m2
**
1,6
q = 9,0 kPa
49,0 kN/m
PEW = [ 1/2*h / x * TEW ] kN
**
1,8
1,8
1,2
1,8
* Besaran beban mati akibat berat sendiri dipengaruhi oleh dimensi gelagar dan berat
jenis beton prategang
**Besaran beban rem dan traksi dipengaruhi oleh beban lajur “D” yang digunakan
Universitas Sumatera Utara
II.2.9 Beban yang Dipikul Gelagar Memanjang
Dalam perencanaan jembatan, yaitu bagian atas sangat diperhitungkan beban-
beban yang bekerja karena ini sangat mempengaruhi dalam perencanaan jembatan
khususnya perencanaan gelagar jembatan. Sepert halnya gelagar memanjang harus
dapat memikul beban-beban yang didukungnya serta gaya-gaya luar lainnya.
Besarnya beban-beban yang bekerja pada gelagar memanjang tergantung dari
beberapa hal sebagai berikut :
1. Jenis konstruksi bangunan atas
2. Beban-beban yang bekerja pada konstruksi tersebut
3. Lokasi atau tempat dimana dilaksanakannya konstruksi tersebut.
Adapun beban-beban dan gaya luar yang ada dalam konstruksi antara lain :
1. Beban mati, yaitu berat sendiri gelagar dan berat sendiri di luar berat
gelagar (pelat lantai, aspal, difragma, sandaran, dll)
2. Beban hidup, yaitu beban bergerak (kendaraan) yang melintasi jembatan
Gelagar memanjang di lapangan yang dipakai untuk memikul beban-beban di
atas adalah beton prategang I segmental. Gelagar memanjang diperhitungkan dapat
memikul beban total yang bekerja.
Universitas Sumatera Utara
II.2.10 Beban Kerja Recana
Beban kerja rencana untuk berbagai keadaan batas diperoleh dari beban
primer dan beban sekunder yang bekerja pada jembatan, seperti beban mati yaitu
berat sendiri pelat, aspal, trotoar, sandaran, difragma, gelagar dan sistem lainnya
yang dipikul langsung oleh masing-masing gelagar jembatan. Beban mati digunakan
dalam perhitungan kekuatan gelagar (gelagar tengah dan gelagar pinggir).
Beban hidup adalah beban yang diperhitungkan terhadap beban hidup ”T”
dalam menghitung kekuatan lantai dan beban hidup ”D” juaga beban garis ”P”
dalam menghitung momen dan gaya lintang terhadap gelagar memanjang.
Beban sekunder, yaitu beban angin yang merupakan beban sementara yang
selalu diperhitungkan dalam perhitungan tegangan dalam setiap perencanaan
jembatan. Pada umumnya beban iani mengakibatkan tegangan-tegangan relatif lebih
kecil dari tegangan-tegangan akibat beban primer.
Dalam statistik yang diperlukan untuk menentukan beban untuk berbagai
tipe, pemilihan tidak dapat langsung tersedia karena statistik pembebanan selalu sulit
dikumpulkan karena memerlukan pengamatan serta pencatatan data selama jangka
waktu yang panjang.
Nilai-nilai untuk beban memperhitungkan variasi-variasi yang mungkin
terjadi dengan memperhatikan hal-hal berikut :
1. Peningkatan beban luar biasa yang memungkinkan di luar pertimbangan
dalam perhitungan pembebanan
2. Perkiraan pengaruh pembebanan yang tidak cermat dan reditribusi tegangan
yang tak terduga di dalam strktur
Universitas Sumatera Utara
3. Variasi dalam ketepatan dimensional yang dicapai dalam pelaksanaan
konstruksi
Oleh karena itu, faktor keamanan parsial γf dipakai untuk setiap kadaan batas
guna memperhitungkan kekurangan-kekurangan ini dan juaga keadaan kritis suatu
keadaan batas yang akan dicapai. Untuk SNI 2002 nilai faktor aman tersebut 1,2 WD
+ 1,6 WL. Nilai-nilai faktor keamanan parsial yang dianjurkan dalam peraturan-
peraturan Inggris, Amerika, dan India dikumpulkan dalam tabel II.46.
Tabel II.52 Faktor Keamanan Parsial Untuk Beban-beban γ
Tahap batas
Nama peraturan
Beban Mati, Gk Beban Terpasang, Qk
Beban Angin, Wk
Dengan beban
terpasang
Dengan beban angin
Dengan beban
terpasang dan
angin
Dengan beban mati
Dengan beban mati dan
angin
Denan beban mati
Dengan beban
mati dan terpasang
Ultimit
BSCP 110: 1972 Konsep IS: 1343
ACI: 318-1977
BSCP 110-1972
1,4
1,5
1,4
1,0
0,9
0,9
0,9
1,0
1,2
1,25
1,05
0,8
1,6
1,5
1,7
1,0
1,2
1,25
1,275
0,8
1,4
1,5
1,3
1,0
1,2
1,25
1,275
0,8
Penggunaan Konsep IS: 1343
1,0 1,0 1,0 1,0 0,8 1,0 0,8
(Sumber : Beton Pratekan. N Krishna Raju)
II.2.11 Tegangan yang Diperkenankan pada Beton
Tegangan-tegangan tarik dan tekan yang diperkenankan pada beton pada
tahap beban transfer dan beban layan dinyatakan dalam kekuatan tekan beton yang
sesuai pada masing-masing tahap. Ketentuan-ketentuan yang dibuat dalam peraturan-
peraturan standar Inggris, Amerika dan India. Dengan memperhatikan tegangan-
Universitas Sumatera Utara
tegangan izin maksimum dirangkum dalam tabel 2.3. Didalam peraturan I.S suatu
keofisien reduksi yang lebih besar dipakai apabila kekuatan kubusnya merupakan
minimum yang diperkenankan sebesar 35 N/mm2. Koefisien tersebut berkurang
secara linier sampai nilai sebesar 0,43 untuk beton dengan kekuatan kubus 55 N/mm2
untuk pekerjaan pascatarik.
Tabel II.53 Tegangan Maksimum yang Diperkenankan di dalam Beton
1 2 Konsep IS :
1343 3
ACI : 318-71 4
CP 110 : 72 5
Pada pemindahan
Tegangan tekan
Berubah secara linier dari 0,5 sampai 0,45 fci tergantung pada kekuatan beton
0,6 kali kekuatan silinder pada pemindahan
0,5 fci untuk lenturan 0,4 fci untuk beban aksial
Tegangan tarik
pada saat pemindahan
Struktur klas 1. 1 N/mm2 Struktur klas 2 dan 3 Pre-tensioning : 0,45 (fcu)1/2 N/mm2
Post-tensioning : 0,36 (fcu)1/2 N/mm2
Pada beban rencana
Tegangan tekan
Berubah secara linier dari 0,4 sampai 0,36 fcu tergantung pada kekuatan beton
0,45 kali kekuatan tekan silinder yang ditentukan
0,33 fcu dalam lenturan yang boleh dinakan sampai 0,4 fcu dalam wilayah momen tumpuan dalam struktur statis tak tertentu 0,25 fcu dalam tekanan langsung 0,5 fcu dalam beton prategang pada konstruksi komposit
Tegangan tarik
Struktur tipe 1 – tidak ada Struktur tipe 2 – tegangan tarik 3 N/mm2 Sruktur tipe 3 – tegangn tarik hipotesis sampai dengan 0,25 fcu diperkenankan tergantung pada mutu beton dan lebar retak
Penampang tak retak :
Penampang berpindah dan retak :
Struktur klas 1 – tidak ada Struktur klas 2 – Pre-tensioning : 0,45 (fcu)1/2 N/mm2
Post-tensioning : 0,36 (fcu)1/2 N/mm2 Tegangan-tegangan ini dapat dinaikan sampai dengan 1,7 N/mm2 dalam kasus-kasus tertentu. Struktur klas 3 – Tegangan tarik hipotesis sampai dengan 0,25 fcu diperkenankan tergantung pada mutu beton dan lebar retak
(Sumber : Beton pratekan. N Krishna Raju)
Universitas Sumatera Utara
Sebagai perbandingan, peraturan-peraturan Inggris dan Ameriak menentukan
koefisien reduksi yang seragam untuk kekuatan tekan pada tahap transfer dan beban
kerja rencana. Tegangan tarik yang diperkenankan pada tahap transfer dan beban
kerja berkaitan dengan kekuatan tekan beton dalam peraturan Inggris dan Amerika.
II.2.12 Desain Penampang Beton Prategang Terhadap Lentur
Pada waktu pendesainan penampang beton prategang pada dasarnya
dilakukan dengan cara coba-coba (trial & error). Ada kerangkan struktur yang harus
dipilih sebagai permulaan dan mungkin dimodifikasi pada waktu proses desain
berlangsung. Ada berat sendiri komponen strktur yang mempengaruhi desain, tetapi
harus diasumsikan sebelum melakukan perhitungan momen. Ada bentuk perkiraan
penampang beton yang ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis dan
teoritis yang harus diasumsikan untuk percobaan. Karena adanya variabel-variabel
ini, disimpulkan bahwa prosedur yang terbaik adalah suatu cara coba-coba yang
berpedoman pada hubungan-hubungan yang diketahui sehingga memungkinkan
diperolehnya hasil akhir yang lebih cepat.
II.2.12.a Modulus Penampang Minimum
Untuk mendesain dan memilih penampang, penentuan mudulus penampang
minimum yang dibutuhkan, Sb dan St harus dilakukan terlebih dahulu. Jika :
fci = Tegangan tekan izin maksimum di beton segera sesudah transfer dan
sebelum terjadi kehilang.
= 0,60 fci’
Universitas Sumatera Utara
fti = Tegangan tarik izin maksimum di beton segera setelah transfer dan
sebelum terjadi kehilangan
= 3 (nilai ini dapat diperbesar menjadi 6 ditumpuan komponen
struktur yang titumpu sederhana)
fc = Tegangan tekan izin maksimum di beton sesudah kehilangan pada taraf
beban kerja
= 0,45 fc’ atau 0,60 fc’ apabila diperkenankan oleh standar
ft = Tegangan tarik izin maksimum di beton sesudah semua kehilangan pada
taraf beban kerja
= 6 (pada sistem satu arah nilai ini dapat diperbesar menjadi 12
jika persyaratan defleksi jangka panjang dipenuhi)
Maka tegangan serat serat ekstrim aktual di beton tidak dapat melebihi nilai-nilai
yang dicantumkan di atas.
Perhitungan tegangan dalam setiap tahapan pembebanan dilakukan dengan
menggunakan persamaan-persamaan sebagai berikut :
Pada saat transfer
Serat atas ..........................................(2.31)
Serat bawah ..............................................(2.32)
dimana Pi adalah gaya prategang awal. Meskipun nilai yang lebih akurat yang
deharusnya digunakan adalah komponen horizontal dari Pi, namun untuk semua
tujuan praktis hal tersebut tidak diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
Tegangan Efektif sesudah Kehilangan
Serat atas ...........................................(2.33)
Serat bawah ...............................................(2.34)
Tegangan Akhir pada Kondisi Beban Kerja
Serat atas ...............................................(2.35)
Serat bawah ...............................................(2.36)
dimana :
MT = momen total (MD + MSD + ML)
MD = momen akibat berat sendiri
MSD = momen akibat beban mati tambahan, seperti lantai
ML = momen akibat beban hidup, termasuk beban kejut dan gempa
Pi = prategang awal
Pe = prategang efektif sesudah kehilangan
t menunjukkan serat atas dan b menunjukkan serat bawah
e = eksentrisitas tendon dari pusat berat penampang beton, cgc
ct & cb = jarak dari pusat berat penampang (garis cgc) ke serat atas dan
serat bawah
r2 = kuadrat dari jari-jari girasi
St & Sb = modulus penampang atas & modulus penampang bawah beton
Universitas Sumatera Utara
II.2.12.b Balok dengan Eksentrisitas Tendon Bervariasi
Balok diberi prategang dengan tendon harped dan draped. Eksentrisitas
maksimum biasanya terjadi di penampang tengah bentang yang menentukan untuk
kasus balok bertumpuan sederhana. Dengan mengasumsikan bahwa gaya prategang
efektif adalah
Pe = γPi ..............................................................................................(2.37)
dimana γ adalah rasiso prategang residual, maka kehilangan prategang adalah
Pi – Pe = (1 – γ) Pi ....................................................................................(2.38)
Jika tegangan di serat beton aktual sama dengan tegangan izin maksimum,
maka perubahan tegangan ini sesudah kehilangan, dari persamaan 2.31 dan 2.32
dapat dinyatakan dengan
∆ft = (1 - γ) ............................................................................(2.39)
∆fb = (1 - γ) .......................................................................(2.40)
Pada saat momen akibat beban mati tambahan MSD dan momen akibat beban hidup
MSD telah bekerja, tegangannetto diserat atas adalah
ftn = fti - ∆ft - fc...........................................................................................(2.41)
atau
ftn = γ fti – (1 – γ) - fc ...........................................................................(2.42)
Tegangan netto di serat bawah adalah
fbn = ft – fci -∆ fb .........................................................................................(2.43)
atau
fbn = ft - γ fci – (1 – γ) ..........................................................................(2.44)
Universitas Sumatera Utara
Dari persamaan 2.41/42 dan 2.43/44 penampang yang telah dipilih harus mempunyai
modulus penampang
St ≥ ...........................................................................(2.45)
dan
Sb ≥ ...........................................................................(2.46)
Eksentrisitas tendon prategang yang dibutuhkan di penampang kritis, seperti
penmapang tengah bentang, adalah
ec = ..............................................................................(2.47)
dan di tumpuan adalah
ec = ........................................................................................(2.48)
dimana adalah tegangan beton pada saat transfer pada level pusat berat (cgc)
penampang beton dan
Pi = Ac ................................................................................................(2.49)
jadi,
= fti - (fti - fci) ....................................................................................(2.50)
II.2.12.c Selubung untuk Meletakkan Tendon
Tegangan tendon di serat beton ekstrim pada kondisi beban kerja tidak dapat
melebihi nilai izin maksimumnya, berdasarkan standar-standar seperti ACI, PCI,
AASHTO, atau CEB – FIB. Dengan demikian, zona yang membatasi di penampang
beton perlu ditetapkan, yaitu selubung (envelove) yang didalamnya gaya prategang
Universitas Sumatera Utara
dapat bekrja tanpa menyebabkan terjadinya tarik di serat beton ekstrim. Dari
persamaan....didapatkan
ft = 0 = ..............................................................................(2.51)
Untuk bagian gaya prategang saja, sehingga e = . Dengan demikian, titik kern
bawah adalah
kb = ......................................................................................................(2.52)
Dengan cara yang sama, dari persamaan 2.40 jiak fb = 0, didapat –e = ,
yang mana tanda negatif menunjukkan pengukuran ke arah bawah dari sumbu netral,
karena eksentrisitas positif adalah ke arah bawah. Dengan demikian titk kern atas
adalah
kt = .......................................................................................................(2.53)
Dari penentuan titk-titk atas dan bawah, jelaslah bahwa :
a. Jika gaya prategang bekrja di bawah titik kern bawah, tegangan tarik
terjadi di serat ekstrim atas dari penampang beton.
b. Jika gaya prategang bekerja di atas titik kern atas, tegangan tarik terjadi di
serat ekstrim bawah penampang beton.
II.2.12.d Selubung Eksentrisitas yang Membatasi
Eksentrisitas tendon yang didesain di sepanjang bentang diharapkan
sedemikian hingga tarik yang terjadi di serat ekstrim balok hanya terbatas atau tidak
ada sama sekali di penampang yang menentukan dalam desain. Jika tarik tidak
Universitas Sumatera Utara
(a)
(b)
(c)
kt
kb
MT
MD
amax
amin
dikehendaki sama sekali di sepanjang bentang balok dengan tendon berbentuk
draped, maka eksentrisitasnya harus ditentukan di penampang-penampang berikut di
sepanjang bentang.
Jika MD adalah momen akibat beban mati dan MT adalah momen total akibat
semua beban transversal, maka lengan dari kopel antara garis tekan pusat (garis C)
dan pusat dari garis tendon pratengang (garis cgs) akibat MD dan MT masing-masing
adalah amin dan amaks, seperti terlihat pada gambar II.46.
Selubung cgs bawah, lengan minimum dari kopel tendon adalah
amin = .................................................................................................(2.54)
Gambar II.46 Penentuan Selubung cgs (a) Lokasi satu tendon di balok. (b) Bidang
momen. (c) Batas-batas selubung cgs (Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)
Universitas Sumatera Utara
Persamaan ini mendefinidikan jarak maksimum di bawah kern bawah dimana
garis cgs ditentukan sedemikian hingga garis C tidak terletak di bawah garis kern
bawah, sehingga mencegah terjadinya tegangan tarik di serat ekstrim atas. Dengan
demikian eksentrisitas bawah yang membatasi adalah
eb = (amin + kb) ..........................................................................................(2.55)
Selubung cgs atas, lengan maksimum dari kopel tendon adalah
amaks = ................................................................................................(2.56)
Persamaan ini mendefinidikan jarak minimum di bawah kern atas dimana
garis cgs ditentukan sedemikian hingga garis C tidak terletak di atas garis kern atas,
sehingga mencegah terjadinya tegangan tarik di serat ekstrim bawah. Dengan
demikian eksentrisitas atas yang membatasi adalah
et = (amaks - kt) ...........................................................................................(2.57)
Di dalam standar diperkenankan terjadi tegangan terbatas pada saat transfer
dan pada kondisi beban kerja. Dalam hal in, garis cgs diperkenankan terletak sedikit
di luar dua batas selubung cgs yang didefenisikan dalam persamaan (2.54) dan
(2.56).
Apabila eksentrisitas tambahan eb’ dan et’ ditambahkan pada selubung garis
cgs yang menghasilkan tegangan tarik terbatas di serat beton atas dan bawah, maka
tegangan tambahan di atas f(t) dan f(b) adalah
f(t) = ................................................................................................(2.58)
dan
f(b) = ...............................................................................................(2.59)
Universitas Sumatera Utara
(a) amin
amax
e't
e'b
Batas atas, tarik nol
Batas bawah, tarik tidak boleh terjadi
Batas atas, tarik tidak boleh terjadi
Batas bawah, tarik nol
dimana t dan b masing-masing menunjukkan serat atas dan bawah. Dari persamaan
(2.51) eksentrisitas tambhan yang akan ditambahkan pada persamaan (2.55) dan
(2.57) adalah
eb’ = ............................................................................................(2.60)
dan
et’ = ............................................................................................(2.61)
Gambar II.47 Selubung yang Memungkinkan Terjadinya Tarik di Serat Beton
Ekstrim (Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)
Selubung yang memungkinkan terjadinya tarik terbatas ditunjukkan dalam
gambar II.47. Perlu dicatat bahwa selubung atas terletak di luar penampang, tetapi
tegangannya ada di dalam batas-batas izin, yang menunjukkan penampang yang
tidak ekonomis. Perubahan eksentrisitas atau gaya prategang dapat memperbaiki
desain.
Universitas Sumatera Utara