Gangguan Bipolar dan Obat-Obatan Mood-Stabilizing
1.1. Gangguan Bipolar
1. Gangguan Bipolar 1
Pada pasien yang memiliki satu atau lebih episode manik maupun campuran.
a. Pasien dapat memiliki satu atau lebih episode depresif mayor
b. Episode manik dapat disebabkan obat-obatan maupun diagnosis medis
c. Gejala klinis gangguan bipolar I :
- Biasanya merupakan penyakit seumur hidup dengan sebuah variabel maupun
episode
- Di antara 10-15% remaja dengan episode depresif mayor akan berkembang
menjadi gangguan bipolar
- Prevalensi antara pria dan wanita sama pada berbagai kebudayaan dan
kelompok etnik
- Wanita dengan gangguan bipolar memiliki risiko tinggi mengalami episode
bipolar berikutnya selama masa postpartum
- Gangguan bipolar I berhubungan kuat dengan komponen genetik, riwayat
keluarga juga penting
- Sekitar 10-15% pasien dengan gangguan bipolar I akhirnya melakukan bunuh
diri
- Gangguan bipolar I bersifat rekuren. Lebih dari 90% pasien dengan episode
tunggal akan mengalami episode tambahan
- Dari 50-60% episode manik terjadi sebelum atau sesudah episode depresif
mayor
- Interval antara episode manik cenderung menurun dengan bertambahnya usia
- Prevalensi di komunitas yaitu 0,4-1,6%
2. Gangguan Bipolar II
Merupakan satu atau lebih episode depresif mayor dengan sedikitnya satu episode
hipomanik.
a. Episode hipomanik disebabkan obat-obatan maupun diagnosis medis tidak dihitung
sebagai diagnosi
b. Gejala klinis gangguan bipolar II :
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
- Sekitar 10-15% pasien dengan gangguan bipolar II akhirnya melakukan bunuh
diri
- Risiko bunuh diri lebih tinggi pada gangguan bipolar II dibandingkan gangguan
bipolar I
- Lebih sering pada wanita dibandingkan pria
- Risiko rekurensi meningkat pada periode postpartum
- Dari 60-70% episode manik terjadi sebelum atau sesudah episode depresif
mayor
- Dari 5-15% pasien bipolar II memiliki episode mood multipel pada tahun
tertentu. Gejala ini didefinisikan sebagai rapid cycling
- Komponen genetik kuat
- Prevalensi seumur hidup gangguan bipolar II yaitu 0,5%
- Dengan episode hipomanik ringan, riwayat klinis dapat menunjukkan depresi
unipolar rekuren
3. Cyclothimia
Pada pasien yang mengalami mood swings yang tidak terlalu parah seperti pada
gangguan bipolar.
4. Rapid cycling
Pada pasien yang mengalami frekuensi tinggi dan rendah bergantian (sedikitnya 4 kali
dalam setahun)
a. Sekitar 10% pasien dengan gangguan bipolar mengalami rapid cycling
b. Rapid cycling lebih sering dialami wanita dibandingkan pria
1.2. Manik, Hipomanik, Campuran, Cyclothymic, dan Episode Rapid Cycling
* DEFINISI
1. Episode Manik
d. Episode manik adalah abnormalitas periode dan meningkatnya mood, atau mood
irritable selama sedikitnya 1 minggu (atau berbagai durasi jika cukup berat dan
perlu dibawa ke rumah sakit)
e. Selama periode gangguan mood, sedikitnya terdapat 3 dari gejala yang menetap
(atau 4 jika mood hanya irritable) :
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
- Harga diri yang meningkat atau grandiosity (kebesaran)
- Berkurangnya kebutuhan tidur
- Lebih talkative (suka berbicara) atau menekankan pembicaraan
- Flight of ideas
- Distractibility
- Agitasi fisik (atau meningkatnya pekerjaan, sosial, dan aktivitas sosial)
- Tilikan tentang aktivitas buruk, misal : membeli kesenangan
f. Gangguan mood harus cukup signifikan sehingga mengganggu pekerjaan dan
aktivitas sosial.
g. Pasien bipolar dapat mengalami delusi maupun halusinasi selama periode
gangguan mood, tetapi tidak pada waktu yang lain.
2. Episode Hipomanik
a. Episode hipomanik merupaka abnormalitas periode dan meningkatnya mood
secara persisten dan mood yang irritable selama sedikitnya 4 hari.
b. Selama periode gangguan mood, sedikitnya terdapat 3 dari gejala yang menetap
(atau 4 jika mood hanya irritable) :
- Harga diri yang meningkat atau grandiosity (kebesaran)
- Berkurangnya kebutuhan tidur
- Lebih talkative (suka berbicara) atau menekankan pembicaraan
- Flight of ideas
- Distractibility
- Agitasi fisik (atau meningkatnya pekerjaan, sosial, dan aktivitas sosial)
- Tilikan tentang aktivitas buruk, misal : membeli kesenangan
c. Gangguan mood tidak cukup parah sampai mengganggu pekerjaan dan aktivitas
sosial, serta tidak cukup serius sampai perlu dirawat, dan tidak ada gejala psikotik.
d. Tidak disebabkan obat-obatan maupun kelainan medis.
3. Episode campuran
Kriterianya yaitu terdapat episode manik dan episode mayor depresif dalam periode 1
minggu.
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
4. Gangguan cyclothimic
Sedikitnya dalam 2 tahun terdapat berbagai periode hipomanik dan periode gejala
depresif yang tidak memenuhi kriteria depresif mayor.
5. Episode rapid cycling
Setidaknya terdapat 4 episode gangguan mood dalam periode 12 bulan yang
memenuhi kriteria episode depresif mayor, manik, campuran, maupun hipomanik.
* DIAGNOSIS BANDING GEJALA MANIK
1. Gangguan psikotik
Gangguan manik akut terlihat sulit dibedakan dengan skizofrenia maupun gangguan
psikotik. Kedua gangguan tersebut dapat memberikan gejala agitasi, paranoid,
irritable, atau gejala psikotik. Gangguan tersebut dapat dibedakan dengan :
a. Tidak ada gejala mood yang menonjol pada gangguan psikotik
b. Riwayat keluarga
c. Riwayat sebelumnya (gangguan manik-depresi bersifat episodik, dengan fungsi
yang lebih tinggi antara episode dan tidak adanya psikosis di antara episode
tersebut)
2. Epilepsi lobus temporal yang bermanifestasi episode gangguan mood
a. Banyak obat digunakan untuk mengobati kejang parsial kompleks (seperti
carbamazepine, lamotrigine, valproate) juga digunakan untuk gangguan bipolar
b. Pasien dengan gangguan mood episodik dan memiliki faktor risiko kejang parsial
kompleks harus menjalani pemeriksaan elektroensefalogram (EEG), khusunya
pada gejala yang atipikal. Berikut ini merupakan faktor risiko epilepsi lobus
temporal :
- Riwayat keluarga dengan epilepsi
- Riwayat trauma kepala
- Kejang demam pada masa kanak-kanak
- Adanya tipe lain kejang
- Adanya kanker yang mungkin bermetastasis ke otak
- Infeksi susunan saraf pusat
- Faktor risiko infeksi HIV
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
3. Penyalahgunaan stimulan
Dapat menyebabkan periode manik diikuti depresi berat saat withdrawal.
4. Penyalahgunaan alkohol atau sedativa
Dapat menyebabkan depresi pada fase sedativa dan mania pada delirium withdrawal.
Pada orang yang mencoba untuk mengobati sendiri gangguan moodnya dapat
berakibat penyalahgunaan alkohol maupun substansi lainnya. Hal tersebut dapat
membingungkan penegakan diagnosis.
5. Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD)
ADHD pada remaja dapat memiliki gejala kegelisahan dan distractibility, tetapi tidak
ada komponen mood manik.
6. Gangguan psikotik singkat
Dapat terlihat sebagai episode manik, tetapi waktunya singkat, dapat berhubungan
dengan suatu stressor, biasanya tidak memiliki komponen peningkatan mood, dan
jarang bersifat rekuren.
7. Gangguan manik disebabkan kondisi medis umum
Dapat disebakan oleh :
a. Lesi di lobus frontal, limbik, maupun lobus temporal, yang paling sering adalah
lesi pada sisi kanan
b. Kondisi endokrin maupun metabolik (seperti kekurangan vitamin B12, hipotiroid
dan hipertiroid, hipoparatiroid dan hiperparatiroid)
c. Infeksi virus atau infeksi lainnya (seperti HIV, hepatitis, mononucleosis)
d. Medikasi :
- Levodopa
- Antidepresan
- Kortikosteroid
- Dekongestan dengan phenylephrine
- Simpatomimetik atau bronkodilator
- Theophylline atau albuterol
- Interferon
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
8. Onset pertama mania setelah umur 40 tahun
Kemungkinan berhubungan dengan faktor medis umum seperti stroke maupun lesi di
sususan saraf pusat lainnya.
* GAMBARAN TERAPI
1. Gambaran umum manik akut
Terapi farmakologi pada manik akut terdapat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Antipsikotik Atipikal untuk Manik Akut
Medikasi Dosis awal(mg/hari)
Dosis target(mg/hari)
Dosis Akhir(mg/hari)
Ketersediaan IM
Aripiprazole (Abilify)
15 15-30 30 -
Olanzapine (Zyprexa)
15 10-30 25 Dosis ekuivalen
Quetiapine (Seroquel)
150 300-800 700 -
Risperidone (Risperdal)
2,5 2,5-6 7 -
Ziprasidone (Geodon)
80 80-180 160 IM ekuivalen setengah dosis oral
Tabel 2. Medikasi Lain untuk Manik Akut
Agen Rapid Loading Guideline
Titrasi Inisiasi Nonrapid
Dosis target(mg/hari)
Level Terapeutik
Carrbamazepine 400-8000 mg/hari dibagi 3 atau 4 dosis
400-1200 4-12 µg/ml
Divalproex (Depakote)
20-30 mg/kg dibagi 2 atau 3 dosis
15-20 mg/hari dibagi 2 atau 3 dosis
1000-2000 50-125 µg/ml
Lithium 300 mg tid 300-1800 0,7-1,2 mEq/LOxcarbazepine 150 mg qd,
kemudian ditingkatkan 150 mg qod
1200-1600 10-35 µg/ml
a. Pendekatan terbaik manik akut adalah sebagai behavioral emergencyChristian Melka (2011-061-011)
Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013) Winda Wijaya (2011-061-016)
b. American Psychiatric Association (APA) dan guideline konsensus ahli
merekomendasikan terapi farmakologi lini pertama dengan mood stabilizer seperti
Lithium atau Divalporex saja maupun dengan antipsikotik.
c. Divalporex dan Lithium dirujuk sebagai mood stabilizer lini pertama untuk manik
akut. Carbamazepine merupakan alternatif lini kedua.
d. Untuk manik dengan gambaran psikotik, rekomendasi terapinya adalah mood
stabilizer ditambah antipsikotik atau antipsikotik saja.
e. Disarankan menggunakan terapi antipsikotik sebagai terapi lini pertama untuk
manik (terapi tunggal atau kombinasi) termasuk olanzapine, risperidone, dan
quetiapine. Pilihan lini kedua termasuk aripiprazole dan ziprasidone.
f. Divalproex dapat diberikan secara oral (20 mg/kg dibagi dalam 2 atau 3 dosis).
g. Tambahan penggunaan sedativa benzodiazepine seperti clonazepam 1-2 mg prn
dapat membantu mengontrol agitasi akut
h. Oxcarbazepine dapat diterima sebagai alternatif terapi lini kedua mood stabilizer.
i. Untuk episode campuran, valproat mungkin lebih baik daripada lithium.
j. Jika mungkin pemberian antidepresan harus dikurangi dan dihentikan.
k. Untuk episode breakthrough selain terapi maintenance, terapi inisiasi juga harus
difokuskan pada dosis optimal terapi.
l. Terapi Elektrokonvulsif (ECT) digunakan pada situasi yang jarang untuk
mengontrol episode manik yang berat dimana terapi lain resisten atau mengontrol
pasien yang bunuh diri, hamil, maupun memiliki kondisi media kompleks.
2. Gambaran umum depresi bipolar
a. Depresi bipolar secara umum respon terhadap trisiklik, Selective Serotonine
Reuptake Inhibitor (SSRI), Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOI), bupropion, dan
antidepresan lain yang efektif sebagai terapi unipolar.
b. Fokus mengenai kemungkinan yang menyebabkan cycling atau perubahan menjadi
mania atau episode campuran seringkali membatasi penggunaan antidepresan
konvensional sebagai terapi depresi bipolar.
c. Dikarenakan fokus pada cycling, monoterapi antidepresan tidak direkomendasikan
sebagai terapi depresi bipolar I. Alternatif untuk pasien dengan penyakit yang berat
adalah inisiasi stimultan sebuah antidepresan dan lithium atau valproat dengan
monitor klinis yang ketat.
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
d. APA dan guideline konsensus ahli merekomendasikan lithium atau lamotrigine
sebagai terapi lini pertama. Alternatif lain yaitu lithium ditambag lamotrigine atau
lithium dan divalproex ditambah antidepresan.
e. Untuk episode akut depresif yang tidak respon dengan dosis optimal dari terapi lini
pertama, disarankan menambah alternatif terapi lini pertama (lithium atau
lamotrigine) atau antidepresan yang lebih baru (SSRI, bupropion, venlafaxine) atau
MAOI.
f. Kombinasi terapi dengan antipsikotik atipikal direkomendasikan untuk episode
depresif dengan gejala psikotik.
g. ECT digunakan untuk episode yang berat maupun refrakter, tindakan bunuh diri
yang mengancam nyawa, atau ketika muncul psikosi, dan untuk depresi berat
ketika hamil.
h. Guideline konsensus mendukung penggunaan psikoterapi tambahan (interpersonal,
cognitive behavior, atau family-focused) dalam kombinasi dengan medikasi lini
pertama untuk depresi bipolar nonpsikotik.
i. Strategi terapi novel diteliti untuk terapi depresi bipolar termasuk antipsikotik
atipikal (olanzapine dan quetiapine) maupun kombinasi dengan antidepresan.
3. Gambaran umum untuk terapi maintenance gangguan bipolar
a. Jika diikuti episode akut, pasien bipolar memiliki risiko tinggi mengalami relapse
dalam 6 bulan.
b. Terapi maintenance jangka panjang untuk mencegah episode rekurensi mood.
c. Guideline APA menyebutkan bukti empiris terbaik mendukung penggunaan
lithium atau valproate untuk terapi maintenance, dengan alternatif lain yaitu
lamotrigine, carbamazepine, dan oxcarbazepine.
d. Agen lini pertama untuk mengurangi rekurensi episode depresif yaitu lithium dan
lamotrigine.
e. Agen lini pertama untuk mengurangi rekurensi episode manik yaitu lithium,
divalproex, olanzapine, dan clozapine. Pilihan lini kedua yaitu aripipazole,
ziprasidone, quetiapine, carbamazepine, dan risperidone.
f. Pengobatan yang mengatasi episode akut seringkali dilanjutkan dengan fase
maintenance.
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
g. Perlunya antidepresan secara terus-menerus atau medikasi antipsikotik harus
dievaluasi pada fase maintenance jika memperberat risiko terapi seperti derajat
keparahan dan frekuensi gejala.
h. Psikoterapi atau intervensi psikososial (misalnya kelompok pendukung/support
group) fokus terhadap penanganan penyakit dan kesulitan interpersonal sering
bermanfaat pada fase maintenance.
1.3. Lithium
1. Indikasi
a. Lithium digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk manik akut,
mengurangi rekurensi depresi dan manik, dan untuk depresi bipolar akut.
b. Penggunaan lithium memiliki tingkat efektifitas 60-80% pada pasien dengan
gangguan bipolar klasik, namun kurang efektif pada pasien dengan gangguan
bipolar campuran atau ‘rapid cycling’.
c. Lithium dapat mengobati manik akut, namun pemberian dosis tinggi dapat
mengakibatkan keracunan sehingga perlu diberikan obat-obatan neuoleptik,
benzodiazepam atau keduanya.
Berdasarkan APA guidlines, monoterapi dengan lithium merupakan pengobatan lini
pertama untuk depresi bipolar akut dan pengobatan untuk gangguan bipolar.
2. Farmakologi
a. Lithium terikat oleh protein secara minimal.
b. Lithium diekskresikan oleh ginjal dan memiliki waktu paruh 24 jam.
1) Pemeriksaan fungsi ginjal perlu dilakukan sebelum memulai terapi dengan
lithium.
2) Ekskresi lithium dipengaruhi oleh osmosis dan bergantung pada fungsi
ginjal. Keracunan lithium dapat terjadi pada berkurangnya asupan garam,
diare, muntah, dehidrasi, dan pada penggunaan diuretik.
3. Interaksi obat
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
Obat yang mempengaruhi kadar lithium dalam tubuh
Obat yang meningkatkan kadar lithium dalam tubuh :
ACE inhibitors
Enalapril
Erythromycin
Indomethacin dan NSAIDs
Metronidazole
Potassium-sparing diuretics
Sporonolactone
Thiazide diuretucs
Tetracycline
Triamterene
Obat yang mengurangi kadar lithium dalam tubuh :
Acetazolamide
Aminophylline
Osmotics diuretics
Theophylline
Peningkatan keracunan pengobatan bila diberikan bersamaan dengan
lithium:
Calcium channel blockers
Clozapine
Digoxin
Electroconvulsive therapy
Haloperidol
α-Methyldopa
Serotoninergic antidepressants
Succinylcholine
4. Penggunaan klinis
a. Formulasi
1) Lithium tersedia dalam berbagai sediaan (lithium karbonant dalam kapsul
dan tablet, lithium sitrat, dan bentuk slow-release).
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
2) Bentuk sustained-release (Lithobid dan Eskalith CR) dapat meningkatkan
kepatuhan (dengan pemberian dosis sekali atau dua kali sehari) dan
meminimalkan fluktuasi dalam plasma.
b. Pengawasan laboratorium
1) Penilaian dasar.
a) Riwayat medis, pemeriksaan fungsi ginjal (Ureum dan
kreatinin) dan pemeriksaan fungsi tiroid (TFT).
b) Bila pasien wanita pada masa subur harus dilakukan tes
kehamilan.
c) Pasien berusia >40 tahun atau memiliki riwayat penyakit
jantung, harus dilakukan pemeriksaan EKG/ elektrokardiografi.
2) Enam bulan pertama dalam terapi, pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan
tiap 2-3 bulan, TFT 1 atau 2 kali.
3) Setelah 6 bulan terapi, pemeriksaan fungsi ginjal dan TFT tiap 6-12 bulan.
c. Dosis
1) Dimulai dari pembagian dosis (contohnya 300mg lithium karbonat).
Kadar lithium stabil dalam 4-5 hari.
2) Kadar lithium harus didapatkan pada pagi hari (sekitar 12 jam setelah
dosis malam) sebelum dosis pagi.
3) Target perkiraan dosis adalah 15mg/kg, dengan target kadar tipikal 0,7-1,2
mEq/L.
4) Dosis oral disesuaikan dengan kadar pertama.
a) Proses ini dapat diulang sampai kadar terapeutik tercapai.
b) Setelah kadar terapeutik tercapai, dapat diperiksa 1 bulan
kemudian, lalu diperiksa tiap 3-6 bulan.Setelah stabil,kadar
obat dalam plasma tetap,kecuali ada interaksi obat atau
perubahan fungsi ginjal atau garam.
5) Pada pasien manik dengan respon tidak maksimal, kadar lithium perlu
dinaikan hingga 1,2-1,4 mEq/L. Respon lithium pada manik akut dapat
dilihat minimal setelah 7 hari bahkan dapat mencapai 2-3 minggu.
6) Pasien lansia perlu dimonitor terutama berhubungan penyakit komorbid,
kadar neurotoksik dan penggunaan medikasi lain. Namun, respon dan
kadar terapeutik mirip dengan pasien remaja.
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
5. Efek samping
1) Tremor halus (biasanya berhubungan dengan dosis lithium) cukup sering
terjadi, sekitar 4-65%.
a) Dapat berhubungan dengan β-blocker (contohnya propanolol
10-20 mg 4 kali sehari).
b) Tremor yang lebih parah menunjukkan gejala keracunan.
2) Diabetes insipidus nefrogenik yang menyebabkan poliuri dan polidipsi.
a) Akibat ginjal yang tidak merespon terhadap hormon antidiuretk
(ADH).
b) Timbul pada 10% pasien yang menjalani terapi lithium jangka
panjang.
c) Kemungkinan dapat diatasi dengan amiloride (10-20 mg/hari)
atau dapat juga menggunakan thiazide diuretics.
3) Hipotiroid dapat terjadi pada 3-14% pasien.
a) Lebih sering terjadi pada wanita dan yang berusia >50 tahun.
b) Pengawasan batas bawah dan TFT rutin penting untuk
penanganan klinis.
4) Penambahan berat badan dapat terjadi akibat meningkatnya rasa haus dan
konsumsi makanan berkalori.
5) Gejala gastrointestinal cukup sering terjadi. Pada kadar toksik, dapat
mangakibatkan mual, muntah dan diare. Efek samping gastrointestinal
dapat dikurangi dengan mengkonsumsi lithium bersamaan dengan
makanan atau dengan menggunakan sediaan slow-release.
6) Pengaruh pada jantung termasuk sinus bradikardi, disfungsi nodus sinus,
perubahan T-wave tidak menetap, dan pada kasus langka dapat terjadi
blok atrioventrikular.
a) Penyakit jantung tidak menghalangi penggunaan lithium
sebagai indikasi klinis.
b) EKG dan pengawasan dosis perlu dilakukan pada pasien yang
berusia >50 tahun atau memiliki riwayat penyakit jantung.
7) Leukositosis tanpa geser ke kiri.
8) Teratogenik.
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
a) Lithium digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk
ganguan bipolar pada masa kehamilan.
b) Sama seperti setiap pengobatan, keuntungan dan kerugian
dalam penggunaan lithium perlu dipertimbangkan secara hati-
hati pada saat kehamilan dan masa menyusui.
c) Data terbaru menunjukkan, penggunaan lithium dalam
kehamilan tidak lebih seberbahaya yang diperkirakan pada
tahun 1970-an.
d) Resiko kelainan Ebstein’s (merupakan kelainan malformasi
jantung yang dapat diobati dengan operasi) pada penggunaan
lithium saat trimester pertama kehamilan diperkirakan
mencapai 0,05-0,1%. Resiko ini 10-20 kali lebih besar
dibandingkan populasi umum.
e) Divalproex meningkatkan prevalensi hingga 5% untuk
kecacatan neural tube atau kelainan neurologis lain.
1.4. Asam Valproat
1. Indikasi
a. Telah disetujui FDA (Food and Drug Administration) sebagi pengobatan
untuk manik akut yang berhubungan dengan gangguan bipolar. Dapat
diberikan secara oral.
b. Pengobatan lini pertama untuk manik akut dan untuk mengurangi rekurensi
dari mania.
c. Penggunaan asam valproat dapat lebih efektif dibandingkan ltium untuk manik
campuran dan gangguan bipolar rapid cycling. Lebih unggul dari lithium bila
digunakan pada pasien yang tidak responsif terhadap lithium, mania subtipe
irritable, dan jumlah episode yang sering.
2. Farmakologi
a. Sangat terikat dengan protein.
1) Efek toksik dapat timbul bila obat menggantikan binding sites karena
obat yang tidak terikat melewati sawar darah otak (blood brain barier).
2) Aspirin (juga sangat terikat dengan protein) dapat meningkatkan kadar
valproat total dan valproat bebas.
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
b. Semua preparat oral dapat diserap dengan cepat. Puncak konsentrasi serum
bervariasi tergantung preparatnya dan timbul antara 2 dan 8 jam.
c. Waktu paruh obat sekitar 12-16 jam.
d. Asam valproat terutama dimetabolisme di hati dengan glucuronidation dan
jalur mitokondria.
3. Interaksi obat
a. Inhibisi oksidasi obat (tidak menginduksi enzim mikrosomal hepatik) dan
meningkatkan konsentrasi dalam serum pada obat :
1) Fenobarbital
2) Fenitoin
3) Antidepresan trisiklik
b. Metabolisme valproat disebabkan oleh :
1) Karbamazepin
2) Fenobarbital
3) Fenitoin
4) Primidone
c. Pengawasan kadar obat yang terikat dengan protein. Pasien dapat
menunjukkan gejala keracunan bahkan pada kadar terapeutik.
d. Ikatan protein dapat ditingkatkan dengan diet rendah lemak dan menurun pada
diet tinggi lemak.
e. Pemakaian bersamaan dengan obat lain yang diekskresi oleh konjungasi
glucuronide (seperti lamotrigine) mengingkatkan kadat valproat. Penggunaan
lamotrigine dimulai dari dosis rendah (biasanya 25 mg sekali sehari) dan
ditingkatkan dengan hati-hati.
4. Penggunaan klinis
a. Formulasi.
1) Di US tersedia 5 macam preparat oral (termasuk capsul serbuk),
preparat sodium valproat intravena, dan bentuk supositori untuk
penggunaan per rektal.
2) Divalproex berbentuk extended-release (ER) digunakan hanya sekal
sehari dan dapat mengurangi efek samping obat.
b. Pengawasan laboratorium. Evaluasi medis sebelum pengobatan meliputi :
1) Pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit.
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
2) Tes fungsi hati. Keracunan pada hati dapat terjadi pada anak-anak
berumur <10 tahun yang menggunakan beberapa jenis obat anti-
epileptik.
c. Dosis.
1) Biasanya dosis dimulai dari 15-20mg/kg dan dibagi menjadi 2-3 dosis
sehari.
2) Pada kebanyakan pasien rawat jalan, dosis dimulai dari 250mg 3 kali
sehari.
3) Pemberian dosis oral pada pasien rawat inap dapat menggunakan dosis
20-30mg/kg dibagi menjadi 2 atau 3 dosis.
4) Pemantauan kadar plasma setelah 2-4 hari dan meningkatkan dosis oral
untuk mencapai target kadar plasma 45-125μg/mL. Kadar serum yang
tinggi (>100 μg/mL) berhubungan dengan efek berkebalikan tanpa
respon klinis yang lebih baik.
5) Batas kadar terapeutik lebih luas, sehingga tidak memerlukan
pengawasan yang ketat seperti pada penggunaan lithium. Pengukuran
kadar plasma tiap 3-6 bulan cukup adekuat kecuali bila ada perubahan
dalam efek atau status kllinis.
d. Kontraindikasi dalam menggunakan asam valproat.
1) Disfungsi hepar.
2) Blood dyscrasia.
5. Efek samping
a. Umumnya dapat ditoleransi dengan baik.
b. Mual, muntah, dan iritasi gastrointestinal biasanya dipengaruhi jumlah dosis
yang diberikan dan dapat dikurangi atau diminimalkan dengan menggunakan
bentuk enteric-coated (divalproex sodium/Depakote).
c. Tremor dan sedasi adalah efek samping neurologis yang paling sering (dapat
berkurang seiring dengan waktu).
d. Reaksi hepatik.
1) Tidak membahayakan dan tidak menetap, peningkatan tes fungsi hati
terjadi pada 40% pasien.
a) Pengobatan harus dihentikan bila tes fungsi hati meningkat 2x
dari nilai normal.
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
b) Tes fungsi hati perlu dipantau secra rutin (setiap 2-3 minggu
untuk 2-3 bulan pertama, dan kemudian dilakukan tiap 6
bulan).
2) Bentuk yang lebih membahayakan dari reaksi hepatik jarang terjadi.
Pasien akan mengalami simptom seperti pembesaran abdomen,
jaundice, mual, muntah, atau edema.
3) Kadar serum amonia dapat meningkat, tetapi pemantauan spesifik
tidak diperlukan bila tidak ditemukan gejala klinis pada
hiperamonemia (perubahan status mental, perlambatan fungsi kognitif,
kebingungan, stupor, kelelahan, lesu, somnolen, koma).
e. Peningkatan napsu makan dan berat badan (kemungkinan tergantung dengan
dosis).
f. Alopesia (kemungkinan hanya sementara, pemberian suplemen zink dan
selenium dapat membantu).
g. Sindrom polikistik ovari dapat timbul pada 10% wanita dengan gangguan
bipolar yang menggunakan valproat.
h. Trombositopenia.
1) Tergantung dosis.
2) Jumlah trombosit diatas 150.000/mm3 jarang berhubungan dengan
pendarahan.
3) Pasien perlu diingatkan untuk memberitahukan bila mudah terjadi
lebam.
i. Pankreatitis (jarang terjadi).
j. Teratogenik.
1) Pada penggunaan asam valproat saat masa kehamilan, dilaporkan 1-5%
mengalami kecacatan neural tube.
2) Pemberian multivitamin dan asam folat dapat mengurangi efek
teratogenik.
k. Leukopenia ringan dan asimptomatik, biasanya reversibel dengan
pengurangan dosis valproat atau berhenti menggunakan valproat.
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
1.5. Carbamazepine
1. Indikasi
a. Walaupun Carbamazepin sudah disetujui penggunaanya oleh “ FDA “ hanya
sebagai salah satu obat pilihan terapi untuk kejang dan neuralgia trigeminal,
tetapi beberapa substansial dan penelitian dengna metode clinical trial
membuktikan bahwa carbamazepin mempunyai efek terapi pada mania akut.
b. Ada juga beberapa penilitian dan bukti yang mendukung penggunaan
Carbamazepine sebagai prphylaxis pada episode gangguan bipolar
c. Beberapa penelitian dengan studi kontrol menyimpulan adanya efek
antidepresi akut
d. Carbamazepin bisa digunakan untun menstabilisasi episode sikap aggresiv
e. Caratrol, “ sustained releasi “ formulasi carbamazepi, belum ada penelitian
yang adekuat untuk memastikan penggunaanya sebagai terapi pada gangguan
bipolar
f. Walaupun carbamazepin secara luas diketahui mempunyai beberapa masalah
karena efek sampingnya terutama ketika berinteraksi dengan penggunaan
obat lain. Guideline APA tetap memasukan Carbamazepin sebaga terapi
alternativ pada gangguan bipolar
2. Farmakologi
a. Kemampuan mengikat protein pada Carbamazepin 75%
1) Hanya yang tidak terikat bisa melewati Blood brain Barrier
2) Secara medis pasien yang sakit disertai dengan albumin rendah akan
lebih beresiko
3) Level Plasma harus diperhatikan untuk mengetahui berapa yang terikat
dan tidak terikat
b. Metabolisme Extensiv
1) Umumnya melewati sistem P450 untuk mengaktivasi metabolisme
carbamazepin-10,-11-epoxide melalui CYP450 3A3/4 (sebagian kecil
melewati P450 2C8 dan hidrolaksi aromatic oleh P450 1A2)
2) Autoinduksi (diperkirakan 2 sampai 4 minggu ketika terapi dimulai
melalui jalur P450 3A3/4) mengurangi masa aktif setengah dari 24 jam
sampai 8 jam
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
3. Interkasi obat (carbamazepine menginduksi enzim di sistem P450 terutama
3A3 dan 3A4)
a. Carbamazepin dikenal secara umum sebagai induksi pada enzim metabolik
(sistem P450) mengurani konsetrasi serumnya sendiri pada terapi dan
pengobatan lain
b. Metabolisme Carbamazepin dapat diinhibisi dengan enzim P450 yang lain,
menghasilkan peningkatan serum carmazepin dan kemungkinan toxixitas.
Diperhatikan juga efek dengan sistem lain terutama CYP 3A3/4A
c. Metabolisme aktif (pada -10,-11episode) bisa diinhibisi dengan obat
golongan asam valporic, menghasilkan peningkatan konsentrasi serum
metabolisme ( tanpa peningkatan yang berarti pada carbamazepine)
menghasilkan intoksikasi. Asam valporik dapat menginduksi peningkatan
carbamazepin bebas.
4. Penggunaan Klinis
a. Formulasi dan dosis
1) Carbamazepin tersedia dalam bentuk sirupm tabletm dan “ sustained
release formulations”
2) Dapat juga tersedia dalam formulasi generik, ada beberapa perbedaan
yang ditemukan dalam penelitian antara bioavailbilitas penggunaan obat
dengan formulasi generik
3) Carbamazepin umumnya dimulai dengan dosis 400 sampai 800mg/hari
dan ditingkatkan 200mg per 2 sampai 4 hari tergantung pada efektifitas
klinis. Dosis yang umum digunakan adalah 800-1600mg/hari dibagi
dalam 3 atau 4 dosis.
4) “ Typical blood levels are 4-12 ug/mL
a. Pada terapi pertama kadar harus berkurang sekitar 4 hari setelah
pemberian pertama
b. Efektifitas penggunaap pada terapi kejang atau gangguan miid tidak
teralu berelasi dengan kadar pada perederan darah.
5) Strategi loading dosis dan titrasi yang berulang pada dosis carbamazepin
sangat dibatasi karena adanya peningkatan efek samping seperti
neurotoxisitas dan gangguan gastrointestinal
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
6) Tidak adanya respon obat pada pemberian klinis terhadap pasien mania
dalam rentang waktu 7-10 jam mengindikasikan pemberian terapi lain.
7) Lab : CBC, Fungsi Hepar (LFTs), Periodic LFTs, CBC dan konsentrasi
obat dalam darah
5. Efek samping
a. Kontraindikasi relatif penggunaan carbamazepine
1) Aritmia jantung
2) Gangguann renal atau hepar yang relatif
3) Blood dyscrasia
b. Efek samping yang umum terjadi , bedasarkan dosis yang diberikan dan
dapat diminimalisir dengan titrasi yang tepat.
1) Sedasi
2) Nausea
3) Tremor
4) Ataxia
5) Penglihatan ganda
c. Efek antidiuretik yang terjadi secara langsung pada tubulus renal bisa
menyebabkan hiponatremia, keracunan cairan atau kejang
d. Leukopenia, terjadi pada 10% pemakaian carbamazepin dan 3% menetap.
Umumnya jinak
e. Anemia aplastik ( 1 : 10.000-100.000 )
1) Gejala yang dilaporkan umumnya berupa demam, kulit kemerahan,
perdarahan spontan, sariawan.
2) Dilakukan penghentian pemberian carbamazepin apabila sel darah putih
kurang dari 3000/mm3 atau neutrofil absolut kurang dari 1000/mm3 .
3) Tidak diperlukan perhitungan darah rutin
4) Kondisi yang ekstrim umumnya disebabkan karena penggunaan
carbamazepine yang dikombinasikan dengan obat lain yang meneka
produksi sel darah putih, seperti clozapine
f. Hepatitis ( jarang terjadi )
1) Sekitar 5% pasien akan menunjukan peningkatan alanine
aminotransferase (ALT) dan aspartate amino transferase (AST) yang
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
tidak terlalu signifikan. Tidak diperlukan penghentian pengobatan
terkecuali elevasi sudah 2 atau 3 kali dari normal
2) Hepatotoxic umumnya terjadi 1 dari 10.000 orang
3) Tidak perlukan pengawasan rutin. Pasien hanya perlu melapor apabila
ada gejala seperti anorexia, nausea, vomiting dan nyeri pada daerah
abdomen
4) Apabila ada penyakit liver sebelumnya maka dapat dijadikan
kontraindikasi relatif
g. Rash terjadi pada 10-15% pasien umumnya pasien dengan sindroma Stevens-
Johnson. Penghentian pemberian carbamazepin harus dilakukan apabila rash
yang terjadi lebih dari sekedar “simple macular rash”
h. Konduksi jantung bisa didapatkan semakin lambat. Pemeriksaan ECG bisa
dilakukan untuk menemukan preexisting atrioventricular delay, yang mana
merupakan kontraindikasi pemberian carbamazepine
i. Teratogenesitas
1) 3% resiko pada spina bifida. Bisa dikurangi dengan pemberian suplemen
folat
2) Umumnya bersangkutan dengan berat lahir rendan, dan abnormalitas
craniofacial
3) Beberapa pasien (jarang) dengan gangguan yang berat, perbandingan
manfaat pemberian carbamazepin dengan resiko perlu diperhitungkan
4) Carbamazepine bisa tercampur pada produksi asi sehingga pemberian air
susu ibu tidak diberbolehkan
j. Trombositopenia, apabila tidak sampai dibawah 100.000/mm3 penghentian
pengobatan tidak diperlukan
k. Penambahan berat badan jarang terjadi dibandingkan dengan pemberian
lithium atau asam valproat
l. Thyroid
1) Dapat menurunkan serum thyroxine (T4), triiodothyronine jarang terjadi
2) Hipotiroid jarang ditemukan
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
1.6. Oxcarbazepine
1. Indikasi
a. Oxcarbazepine (keto-derivat dari carbamazepine), mempunyai efektifitas
pada terapi pasien mania akut dengan efek samping yang lebih minimal
dibandingkan carbamazepine walaupun masih sedikit pennilitian yang
dilakukan untuk obat ini
b. Sama seperti carbamazepine, oxcarbazepine hanya diindikasikan untuk terapi
kejang sesuai FDA.
2. Farmakologi
a. Oxcarbazepine 60% berikatan dengan protein
b. Metabolismenya termasuk kompleks hampir mirip dengan carbamazepine
1) Tidak seperti carbamazepine, oxcarbazepine tidak menginisiasi sendiri
metabolismenya
2) Menyebabkan berkurangnya heteroinduksi dibandingkan carbamazepine
3. Interaksi obat
a. Lebih sedikit mudah untuk memberikan obat lain dibandingkan dengan
carbamazepin karena kondisi heteroinduksi
b. Inducer yang umum adalah P450 3A3/4 dan mungkin mengurangi
konsentrasi serum dari pengobatan lain.
c. Metabolisme tidak diinhibisi oleh asam valproat oleh karena itu
coadministrasi tidak menyebabkan pembentukan racun
4. Penggunaan klinis, formulasi dan dosis
a. Tersedia dalam bentuk tablet dan suspensi.
b. Dosis umumnya dimulai dengan 150mg/hari dan meningkat setiap hari
sebesar 150mg/hari. Dosis umum yang biasa digunakan adalah 1200mg/hari
– 1600mg/hari, diberikan 2-3 kali per hari.
c. Pada pasien yang sudah pernah atau sebelumnya diterapi dengan
carbamazepin, dosis yang equivalen diberikan umumnya 1,2 -1,5 kali dosis
pemberian carbamazepin.
d. Konsentrasi serum pada pasien epilepsi bervariasi antara 10 sampai
35ug/mL. Untuk gangguan bipolar diperlukan titrasi dosis sesuai dengan
respon klinis
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
5. Efek samping.
a. Umumnya lebih ditoleransi dibandingkan carbamazepine
b. Efek samping umumnya berkaitan dengan Sistem saraf pusat.
1) Menggigil
2) Sedasi
3) Mudah lelah
c. Rash kemerahan
d. Tidak seperti carbamazepin, oxcarbazepine tidak berkaitan dengan blood
dyscrasias
e. Peningkatan tidak signifikan pada AST maupun ALT
f. Hiponatremia
1) Jarang terjadi dibandingkan carbamazepine
2) Tidak signifikan
g. Dapat mengurangi fungsi dari penggunaan kontrasepsi hormonal pada pasien
KB
h. Teratogenik
1) Belum ada penelitian yang menemukan langsung hubungan dengan
keganasan pada manusia
2) Terdapat pada ASI
1.7. Lamotrigine
1. Indikasi
a. Terapi lini pertama pada gangguan bipolar akut dengan depresi dan
pengobatan serta prevensi rekurensi depresi
b. Beberapa penelitian membuktikan manfaat dalam mencegah episode mood
pada pasien dengan gangguan bipolar yang berulang
2. Farmakologi
a. Abosorbsi umumnya oral dengan konsentrasi puncak 2 sampai 3 jam setelah
pemberian, waktu paruh 27 jam
b. Hanya mengikat 55% protein.
c. Berkompetisi dengan zat yang dimetabolisme oleh “ hepatic glucuronidation”
d. Pada pasien dengan gagal ginjal waktu paruh menjadi 2 kali lipat
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
3. Interaksi dengan obat lain
a. Berdasarkan metabolisme yang kompetitif di hati, maka Lamotrigine
umumnya diberikan dengan enzym inducers untuk mengurangi konsentrasinya
sebesar 40-50%
1) Carbamazepine
2) Phenytoin
3) Fenobarbital
b. Pemberian enzim inhibitor seperti asam valproat, meningkatkan waktu paruh 2
sampai 3 kali lipat.
c. Penggunaan kontrasepsi oral bisa mengurangi manfaat terapi lamotrigine
4. Dosis
a. Untuk terapi tunggal dosis yang diberikan umumnya dimulai dengan 25mg
selama 2 minggu, lalu ditingkatkan menjadi 50mg/hari selama 2 minggu
berikutnya. Target pemberian antara 50-200mg/ hari. Pemberian 2kali/hari
b. Penambahan lamotrigine pada pemberian valproat, bisa diberikan menjadi
setengah dari dosis terapi tunggal dengan target terapi 50mg/hari
c. Pada pemberian dengan enzim inducer (carbamazepine) dosis ditingkatkan
menjadi 2 kali lipat. Dimulai dengan 50mg/hari selama 2 minggu dan
ditingkatkan sampai 100mg/hari selama 2 minggu
5. Efek samping
a. Efek sampingyang terjadi biasanya dengan gejala klinis seperti pusing, nausea,
emesis, diplopia, ataxia.
b. Rash : Lamotrigine memberikan lesi rash yang lebih parah dibandingkan
carbamazepin dan oxcarbazepine, umumnya dengan sindrom Stevens-Johnson
dan toxic necrolisis epidermal.
1) Terjadi pada 10% pasien, kondisi emergensi dan berat terjadi pada 1%
pasien
2) Titrasi secara perlahan mengurangi resiko
3) Resiko rash meningkat pada terapi awal, pasien dengan kemerahan harus
menahan dosis yang sebelumnya dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
4) Diberikan penjelasan kepada pasien mengenai efek sampingnya dan
memberi pengarahan untuk melaporkan rash yang terjadi
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)
5) Apabila mengenai mukosa dan menyebar lebih luas pemberian obat segera
dihentikan
1.8. Antipsikotik Atipikal
1. Banyak jenis antipsikosis yang mempunyai indikasi untuk terapi mania akut
terutama ketika dikombinasikan dengan mood stabilizer.
2. Olanzpine mempunya indikasi untuk terapi perawatan
3. Kombinasi olanzapine-fluoxetine diindikasikan untuk terapi gangguan bipolar
akut dengan disertai depresi
1.9. Benzodiazepine
Benzodiazepine umumnya dipakai sebagai pengobatan tambahan pada mania akut,
terutama ketika obat golongan sedasi tambahan diperlukan saat titrasi obat utama.
Dosis lorazepam 1-2 mg atau clonazepam 0,5 sampai 1mg
1.10. Terapi Dimensi Nonmedis
1. Pasien harus dibantu dengan memahami kondisi medis yang mendasari
penyakitnya, menghilangkan stigma, dan kutukan terhadap diri sendiri.
2. Kumpulan pasien manik-depresi yang berfungsi sebagai sumber informasi dan
kelompok pendukung.
3. Mood hygiene
a. Mempertahankan kestabilan pola tidur
b. Menghindari bekerja maupun rekreasi berlebihan
c. Mengidentifikasi tanda bahaya pada episode dengan caregiver dan penyedia
terapi
1.11. Terapi Electroconvulsive (ECT)
1. ECT dapat dilakukan kapan pun pada penderita gangguan bipolar.
2. ECT efektif pada pasien yang memiliki gejala resisten dengan terapi lain, pasien
dengan usaha bunuh diri akut, hamil, psikotik, dan pasien dengan masalah medis
yang kompleks.
3. Lithium harus dihentikan selama ECT karena berpotensi neurotoksik, interaksi
dengan succinylcholine, dan menyebabkan aritmia cardia.
Christian Melka (2011-061-011)Lidia Kellyani Dewi (2011-061-013)
Winda Wijaya (2011-061-016)