ETIOLOGI
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam
perkembangan gangguan stres pasca trauma. Stressor yang menyebabkan stress akut dan PTSD cukup hebat untuk
mempengaruhi setiap orang. Stressor tersebut dapat timbul dari pengalaman
perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan, dan kecelakaan
serius. Meskipun demikian, tidak semua orang mengalami gangguan ini setelah
peristiwa traumatik. Secara Klinis harus mempertimbangkan faktor psikososial
dan biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa yang terjadi sebelum dan
sesudah trauma. Contohnya, seorang anggota suatu kelompok yang bertahan
hidup pada bencana kadang-kadang dapat menangani trauma karena anggota yang
lainnya juga mengalami pengalaman yang sama. Arti subjektif suatu stressor pada
seseorang juga penting. Contohnya, orang yang selamat dari bencana dapat
mengalami rasa bersalah yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat
PTSD.
3
FAKTOR PREDISPOSISI
Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma
Adanya trauma masa kanak : kekerasan fisik atau seksual
Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir
Ciri keperibadian paranoid, dependent, atau antisosial
Mempunyai karakter yang bersifat isolasi sosial: problem menyesuaikan diri
Terpapar oleh kejadian2 dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu sebagai suatu kondisi @ peristiwa yg menimbulkan penderitaan baginya
Seberapa berat dan dekatnya trauma yang dialaminya. Semakin berat
trauma yang dialami dan semakin dekat ia berada saat kejadian
semakin meningkatkan risiko PTSD
Durasi trauma yang dialamiya. Semakin lama/kronik seseorang
mengalami kejadian trauma semakin berisiko berkembang menjadi
PTSD ( misalnya: kekerasan pada anak di rumah)
Banyaknya trauma yang dialami. Trauma yang multipel lebih berisiko
menjadi PTSD
Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan
korban (misalnya: kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya
sendiri) semakin berisiko menjadi PTSD
Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti, perkosaan
Jenis kelamin: anak dan remaja perempuan lebih berisiko
dibandingkan laki-laki
Kondisi sosialekonomi yang rendah (kaum minoritas) berisiko lebih
tinggi akibat dari tingginya angka kekerasan di daerah tempat ia
tinggal.
Usia : PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak
dan usia tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan
mengalami PTSD. Anak-anak memiliki kebutuhan dan kerentanan
khusus jika dibandingkan dengan orang dewasa, teruama karena
masih ketergantungan dengan orang lain, kemampuan fisik dan
intelektual yang sedang berkembang, serta kurangnya pengalaman
hidup dalam memecahkan berbagai persoalan sehingga dapat
mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.
Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti: depresi,
fobia sosial, gangguan kecemasan.
Memiliki penyakit organik yang berat dan kronis seperti, kanker Pasien yang berada di bawah pengaruh anestesi akan tetapi
memperoleh kembali kesadarannya saat dilakukannya operasi
Seseorang yang tidak berpengalaman dan tidak memperoleh pelatihan
dalam menghadapi bencana lebih berisiko dibandingkan mereka yang
mendapatkannya (seperti: polisi, petugas pemadam kebakaran,
petugas paramedik)
Hidup di tempat pengungsian ( misalnya: sedang ada peperangan/
konflik di daerahnya)
Kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan
TIPE KEJADIAN YG MENINGKATKAN PTSD
Mengalami tindak kekerasan interpersonal.
2.Mengalami kecelakaan @ bencana alam yg mengancam nyawa : alamiah atau buatan
3.Trauma berulang dan kronik
JENIS KEJADIAN YG POTENSIAL MENINGKATKAN PTSD(DSM IV)
Kekerasan personal : kekerasan fisik, penyerangan fisik, perompakan
Penculikan
Penyaderaan
Serangan militer
Serangan teroris
Penyeksaan
Ditahan dalam penjara
Bencana alam
Kecelakaan mobil yang berat
Didiagnosis menderita penyakit berat yang mengancam jiwa : kanker
GAMBARAN KLINIS
Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu PTSD,
yaitu:
1. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah, kilas balik yang
biasanya disebabkan oleh hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik
mimpi buruk yang sering muncul mengenai trauma atau peristiwa yang
berhubungan dengan trauma.
2. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang, orang-orang, dan
pengalaman yang mengingatkan penderita pada trauma, kehilangan ketertarikan
pada aktivitas yang disukai, memiliki masalah dengan mengingat peristiwa yang
berbahaya.
3. Gejala hyperaurosal, termasuk masalah tidur, masalah dalam konsentrasi,
iritabilitas, kemarahan,sulit mengingat sesuatu, peningkatan tendensi, reaksi
untuk terjaga dan hypervigilance terhadap ancaman.
Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala
hyperaurosal harus ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh
distress yang signifikan atau kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu
PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan.
Ada lain gejala terkait PTSD:
· Serangan panik : perasaan takut yang intens, yang dapat disertai dengan
sesak napas, pusing, berkeringat, mual, dan berdebar - debar.
· Gejala fisik : nyeri kronis, sakit kepala, sakit perut, diare, sesak atau rasa
terbakar di dada, kram otot, atau nyeri pinggang
· Perasaan ketidakpercayaan: kehilangan kepercayaan orang lain dan berpikir
dunia adalah tempat yang berbahaya
· Permasalahan dalam kehidupan sehari-hari: mengalami masalah dalam
pekerjaan, di sekolah, atau dalam situasi sosial
· Penyalahgunaan zat: menggunakan obat-obatan atau alkohol untuk
mengatasi rasa sakit emosional
· Masalah dalam Hubungan : mengalami masalah dengan keintiman atau
dengan keluarga dan teman-teman
· Depresi: sedih, suasana hati cemas, atau kosong, kehilangan minat dalam
melakukan kegiatan, perasaan bersalah dan malu, atau keputusasaan
tentang masa depan. Gejala lain dari depresi juga dapat terjadi.
· Bunuh diri : pikiran tentang mengambil kehidupan sendiri
1. Pengulangan pengalaman trauma ditunjukan dengan
a. Selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami.
b. Flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali)
c. Nighmares (mimpi buruk tntang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih)
d. Reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
2. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan :
a. Menghindari aktivitas, tempat berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan truma.
b. Kehilangan minat terhadap semua hal.
c. Perasaan terasing dari orang lain.
d. Emosi yang dangkal.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan :
a. Susah tidur
b. Mudah marah/ atau tidak dapat mengendalikan marah
c. Susah berkonsentrasi
d. Kewaspadaan yang berlebihan
e. Respon yang berlebihan atas segala sesuatu. Gangguan stres paska traumatis ternyata dapat mengakibatakan
KARAKTERISTIK PERISTIWA TRAUMATIK YANG DAPAT MEMPENGARUHI REAKSI PSIKOLOGIS
Durasi dan intensitas stressor
Derajat stressor yang berkaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang
Berat ringannya kehilangan yang dialami (material @ personal)
Perilaku korban yang selamat sewaktu menghadapi peristiwa ( menyelamatkan orang lain @ diri sendiri )
2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis PTSD menurut Diagnostic and Statistical Manual for
Mental Disorder IV Text Revision (DSM IV TR) yaitu:18
A.Kejadian traumatik
1. Satu atau banyak pristiwa yang membuat seseorang mengalami,
menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa
ancaman kematian, cidera yang serius atau ancaman terhadap
integritas fisik dirinya sendiri atau orang lain.
2. Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan,
kengerian, tau ketidakberdayaan yang sangat kuat.
B.Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:
1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya
dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi)
2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya
(yang mencemaskan)
3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang
dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi,
haluinasinya)
4. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang
mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa
trauma)
C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan
mematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma
masih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang
berhubungan dengan kejadian trauma 2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapatmembangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yangdialaminya4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa pentingberkurang5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta)7. Perasaan bahwa masa depannya suramD. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebihgejala di bawah ini:1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya2. Sulit berkonsentrasi3. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan)5. Reaksi kaget yang berlebihanE. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulanF. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguanfungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi pentinglainnyaSelain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat diidentifikasi sebagai:(1) akut, bila gejala berlangsung satu sampai tiga bulan (2) kronis, bilagejala berlangsung lebih dari tiga buan (3) Awal gejala / onset yangtertunda bila gejala dimula sedikitnya enam bulan setelah kejadiantraumatik/stresor
TERAPIPengobatan psikoterapi. Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy . Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik
yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal–hal yang membuat stress (stresor), 4) assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b). Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b). Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi (Anonim, 2005b).
Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan (A nonim, 2005b). Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam treatment (terapi dan pengobatan) yang cocok untuk PTSD. Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD dalam waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah mengenali gejala dan permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya (Anonim, 2005b).
Pendekatan terapi pada PTSD adalah dukungan, dorongan untuk mendiskusikanperistiwa tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme koping (contohnya relaksasi).Penggunaan obat hipnotik-sedatif juga dapat membantu. Ketika pasien mengalamiperistiwa traumatik masa lalu dan sekarang memiliki PTSD, penekanan harus padaedukasi mengenai gangguan dan terapinya baik farmakologis maupun psikoterapinya.Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan dapat dilakukan seperti relaksasi,teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih danterbukti bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pascatraumatik.Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol,rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll. Medikasi yangterbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresangolongan SSRI (penghambat selektif ambilan serotonin) seperti Fluoxetin 10-60mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300mg/hr. Antidepresan lain yangjuga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga imipramin 50-300mg/hr
FarmakoterapiFarmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan. Terapi inidiperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang menyebabkan kecemasan,kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain merupakan terapi simptomatikpada PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini pertama dalam penanganan PTSD tetapi17dapat dijadikan sebagai pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil yangoptimal dalam menangani kasus PTSD. 16 Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)SSRIs merupakan obat lini pertama dalam mengatasi gejala cemas, depresi,perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu). Obat inimeningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptakeserotonin diotak. Obat golongan SSRIs yang disetujui oleh FDA dalammengatasi gejala depresi pada anak PTSD yakni, Fluoxetine (Prozac).Obat ini digunakan untuk anak usia lebih dari 8 tahun dengan dosis awal10 mg/ hari selama satu minggu kemudian dapat ditingkatkan sampai 20mg/hari dan diberikan secara peroral.
Recommended