EPILEPSI DAN TERAPI ANTIEPILEPSI
1.EPILEPSI SECARA UMUM
Definisi Epilepsi
epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat
bangkitan epilepstik sebelumnya.
Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak (1).
Etiologi Epilepsi
Kejang disebabkan oleh banyak faktor, faktor tersebut meliputi penyakit serebrovaskuler (stroke
iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan
metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat) (2). Beberapa faktor lainnya adalah gangguan
tidur, stimulasi sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon,
sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan frekuensi terjadinya kejang.
Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin, fenotiazin dosis
tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion), dan kebiasaan minum alkohol dapat
meningkatkan resiko kejang (3).
Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi internasional kejang epilepsi dapat dilihat pada tabel I. Kejang diklasifikasikan
menjadi dua kategori umum yaitu : (a) kejang parsial (kejang parsial dapat disebabkan oleh suatu
lesi pada beberapa bagian korteks, seperti tumor, malformasi perkembangan atau stroke) dan (b)
kejang umum (kejang umum sering disebabkan oleh genetik) (4).
Tabel I. Klasifikasi internasional kejang epilepsi (5-6) :
1. Kejang parsial (awal terjadi kejang secara lokal)
a. Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
(1) Disertai gejala motor
(2) Disertai gejala sensori khusus atau somatosensori
(3) Disertai gejala kejiwaan
b. Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
(1) Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan
kesadaran dengan atau tanpa gerakan otomatis.
(2) Diawali gangguan kesadaran, diikuti gangguan
kesadaran dengan atau tanpa gerakan otomatis.
c. Umum sekunder (pada awalnya kejang parsial dan
berubah menjadi kejang tonik-klonik)
2. Kejang umum
a. Absen
b. Myoklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik
g. Spasme infantil
3. Kejang yang tidak dapat diklasifikasikan
4. Status epileptikus
Patofisiologi
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan
neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan
inhibitori (7). Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma AminoButyric Acid (GABA)
atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak
normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil
kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon
steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu, dopamin
dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas
konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase yang berkaitan dengan transport
ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran neuron (8).
Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal
Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan
Ca2+banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada
membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam
penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan
glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan
memicu aktivitas sel-sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara
memblokade atau menghambat reseptor AMPA dan menghambat reseptor NMDA N-methil D-
aspartat). Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan
Ca2+yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat
(antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan dengan reseptor
glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat
ini adalah menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang
teraktivasi (9). Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang
menyebabkan instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut.
Gajala Klinis (10)
(1) Gajala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis kejang. Jenis kejang pada setiap pasien
dapat bervariasi, namun cenderung sama.
(2) Somatosensori atau motor fokal terjadi pada kejang kompleks parsial.
(3) Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran.
(4) Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang singkat.
(5) Kejang tonik-klonik umum mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi kehilangan
kesadaran.
Penegakan Diagnosis (10)
1. EEG (electroencephalogram) sangat berguna dalam diagnosis berbagai macam jenis
epilepsi.
2. EEG mungkin normal pada beberapa pasien yang secara klinis masih terdiagnosis
epilepsi.
3. MRI (magnetic resonance imaging) sangat bermanfaat (khususnya dalam
menggambarkan lobus temporal), tetapi CTscan tidak membantu, kecuali dalam
evaluasi awal untuk tumor otak atau perdarahan serebral.
Penggolongan obat antiepilepsi
(1) Hidantoin
Fenitoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan
pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf (11). Fenitoin memiliki range
terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah
(12). Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) (13) yang
mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11). dan
menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis
awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam (10).
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga
mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi
korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan tubuh dan nystagmus.Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi
adalahgingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat
mengurangi resiko gingival hyperpla
(2) Barbiturat
Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik (11).
Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang
penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya
menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat
utama (15). Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan
Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap
reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor
GABAA (7) dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga
menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition (16).
Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali
sehari (14). Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital.
Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi.
Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga
dapat menyebabkan kemerahan kulit, danStevens-Johnson syndrome (10).
(3) Deoksibarbiturat
Primidon
Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik (4). Primidon
mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori (11). Efek anti kejang primidon hampir sama
dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit
aktif yaitu fenobarbital danfeniletilmalonamid (PEMA) (4). PEMA dapat meningkatkan aktifitas
fenobarbotal (11). Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari (7). Efek samping yang sering
terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku,
kemerahan dikulit, dan impotensi (11).
(4) Iminostilben
(a) Karbamazepin
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik (4). Karbamazepin
digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik (11).
Karbamazepin menghambat kanal Na+ (7), yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion
Na+ kedalam membran sel berkurang (11) dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh
depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun
10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis
pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2
kali sehari.
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan
(penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak)
dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan usia (10).
(b) Okskarbazepin
Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan prodrug yang
didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10-
monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal (4). Okskarbazepin digunakan untuk
pengobatan kejang parsial (10). Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja
karbamazepin (4). Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali
sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari (11). Efek samping penggunaan
okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak
seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan
dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin (10). Okskarbazepin dapat
menginduksi enzim CYP450 (4).
(5) Suksimid
Etosuksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens (11). Kanal kalsium merupakan target dari
beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan
dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens,
sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens (4).
Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari
untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa
500 mg/hari (11). Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping
penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan
pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan (10).
(6) Asam valproat
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang
mioklonik, dan kejang tonik-klonik (11). Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan
menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi
terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi
kanal kalium (10). Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari (11). Efek samping yang
sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah,anorexia, dan
peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan
keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif
yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah
hepatotoksik.Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar
amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati.
Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait
penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat
meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat
sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang
dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien
mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan
penggunaan obat terkait efek samping tersebut (12).
(7) Benzodiazepin
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang (11). Benzodiazepin merupakan agonis GABAA,
sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor
GABAA (7). Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3
mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg (11), dan dewasa 4-40 mg/hari (7). Efek samping
yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran,
pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual (11).
(8) Obat antiepilepsi lain
(a) Gabapentin
Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun kegunaan
utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati (12). Uji double-blind dengan kontrol
plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa penambahan
gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median
seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo.
Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan bahwa
efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari) (15). Gabapentin dapat
meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui.
Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin
tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu
mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terus-menerus (4). Dosis gabapentin untuk
anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak
usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari (11). Efek samping yang sering
dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang
agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin
mengalami peningkatan berat badan (10).
(b) Lamotrigin
Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang memiliki
efikasi pada parsial dan epilepsi umum (10). Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat
metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na,
menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino
seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari (11). Penggunaan lamotrigin
umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri. Efek
samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit
kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan
kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga
dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin (10).
(c) Levetirasetam
Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifatpyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxo-
pyrrolidine acetamide) (31). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang
absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik (10). Mekanisme levetirasetam dalam mengobati
epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat
menghambat kanal Ca2+ tipe N (11) dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan
eksitatori (atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein
sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari (7). Efek samping yang
umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku seperti
agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan levetirasetam (10).
(d) Topiramat
Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang mioklonik, dan
kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan menghambat kanal sodium (Na+),
meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat
karbonat anhidrase yang lemah (11). Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari (7). Efek samping
utama yang mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit
mengingat, pusing, kelelahan,paresthesias (rasa tidak enak atau abnormal). Topiramat dapat
menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan penurunan berat badan (10).
(e) Tiagabin
Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak ≥16 tahun. Tiagabin
meningkatkan aktivitas GABA (11), antagonis neuron atau menghambat reuptake GABA (7).
Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari (11). Efek samping yang sering terjadi adalah
pusing, asthenia (kekurangan atau kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare dan depresi (17).
Penggunaan tiagabin bersamaan dengan makanan dapat mengurangi efek samping SSP (10).
(f) Felbamat
Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya digunakan bila
terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang mempunyai resiko anemia aplastik
(11). Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA (4).
Dosis felbamat untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali sehari (11).
Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat
adalah anorexia, mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat
badan. Anorexia dan penurunan berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan
konsumsi kalori yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita
yang mempunyai riwayat penyakit.
(g) Zonisamid
Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid (4) yang digunakan sebagai terapi tambahan
kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa (11). Mekanisme aksi zonisamid adalah
dengan menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari (7). Efek
samping yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi.
Di United Stated 26% pasien mengalami gejala batu ginjal (10).
Tabel II. Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifik (10)
Tipe seizure Terapi pilihan pertama
Obat alternatif
Seizure parsial Karbamazepin
Fenitoin
Lamotrigin
Asam valproat
okskarbanzepin
Gabapentin
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Tiagabin
Primidon
Fenobarbital
Felbamat
kejang umum
Absens Asam valproat
Etosuksimid
Lamotrigin
Levetiracetam
Mioklonik Asam valproat
Klonazepam
Lamotrigin,
topiramat,
felbamat,
zonisamid,
levetiracetam
Tonik-klonik Fenitoin
Karbamazepin
Asam valproat
Lamotrigin,
topiramat,
primidon,
fenobarbital,
okskarbanzepin,
Levetiracetam
2. EPILEPSI PADA KEHAMILAN
I. Pendahuluan
Epilepsi merupakan kelainan neurologik, dimana pada ibu hamilmembutuhkan tata laksana yang adekuat dan tanpa beresiko baik terhadap ibu/bayi(Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992). Menurut statistik Amerika Serikat, 0.5% kehamilandijumpai pada wanita epilepsi. Resiko pada wanita epilepsi yang hamil lebih besardari pada wanita normal yang hamil. Untuk menanggulangi banyak resiko, makadokter ahli kandungan dan dokter ahli neurologi bekerjasama agar bayi dan ibumengalami keselamatan jasmani dan rohani. Angka kematian neonatus pada pasienepilepsi yang hamil adalah tiga kali dibandingkan populasi normal (Gilroy, 1992).Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi bervariasi. Kira-kira ¼ kasus frekuensibangkitan akan meningkat terutama pada trimester terakhir. Seperempatnya lagimenurun dan separuhnya tidak mengalami perubahan selama kehamilan (Holmes,1985; Shorvon, 1988).Pengobatan wanita epilepsi yang hamil pada umumnya dilakukan menurutprinsip yang sama seperti pada pasien tidak hamilo. Resiko yang dialami janinkarena bangkitan yang dialami ibu mungkin sama besar dengan yang disebabkanobat anti epilepsi. Malformasi yang disebabkan terapi obat anti epilepsi akan terjadipada 4-8 minggu pertama dalam pertumbuhan janin (Shorvon, 1988).
II. Efek kehamilan terhadap epilepsiEpilepsi pada kehamilan dibagi adlam 2 kelompok:1. Yang sebelumnya sudah menderita epilepsi2. Berkembang menjadi epilepsi selama hamilWanita-wanita yang mendapat bangkitan selama masa reproduksi, dapatterjadi secara insidentil pada kehamilan(Laidlaw, 1988).Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan pada ibu epilepsi yang hamiladalah estrogen dan progesteron. Pada seorang wanita yang hamil kadar estrogendalam darah akan menurun,sehingga merangsang aktifitas enzim asam glutamatdekarboksilase dan karena itu sintesa gamma amino butiric acid (GABA) akanmenurun dalam otak. Dengan menurunnya konsentrasi GABA di otak akanmerangsang bangkitan epilepsi (Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992).Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulusberkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar obat dalam
plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan hiponatremi.Keadaan ini akan menimbulkan gangguan parsial dari “sodium pump” yangmengakibatkan peninggian eksitabilitas neuron dan mempresitasi bangkitan (Plum,1982: Laidlaw, 1988).Pada pasien wanita epilepsi yang hamil sangat sulit untuk menduga terjadinyabangkitan, karena fenomena ini tidak berhubungan dengan tipe bangkitan selama2002 digitized by USU digital library 2menderita epilepsi (Yerby, 1991; Lander, 1992). Terjadinya suatu bangkitan sangatberbahaya baik untuk ibu maupun fetus akibat trauma yang timbul. Supresi detakjantung janin selama proses persalinan akibat bangkitan yang timbul.Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Schmid dan kawan-kawan, ari 122wanita hamil, ditemukan bahwa kehamilan tidak berpengaruh terhadap frekuensibangkitan pada 68 kehamilan (50%), jumlah bagkitan meningkat 37%, danfrekuensi bangkitan menurun pada 13% (Laidlaw, 1988).Studi terdahulu menemukan pasien-pasien dengan epilepsi yang beratkemungkinan akan bertambah buruk, dan kadar obat anti epilepsi yang diminumtidak sesuai, tetapi studi yang baru membuktikan bahwa perburukan tidak terjadi(Holmes, 1985; Liadlaw, 1988)Pada wanita hamil volume plasma meningkat kira-kira sepertiga padatrisemester ketiga, hal ini disebabkan oleh efek dilusi. Penentuan danangkapenurunan dari konsentrasi obat anti epilepsi berbeda ubtuk setiap jenis obat.Penurunan kadar obat dalam adrah untuk fenitoin kira-kira 80% terjadi padatrisemester pertama, juga serupa dengan fenobarbital. Untuk karbamazepin terbesarpenurunannya pada trisemester ketiga (Yerby,1991).
Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat antiepilepsi maka pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu:1. pemeriksaan kadar obat dalam darah2. EEG3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadiumkehamilan.Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitorsetiap bulan.
III. Komplikasi KehamilanWanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik adlam masakehamilan dari pada wanita penduduk rata-rata. Pengaruh epilepsi terhadapkehamilan yaitu:1. Melahirkan bayi prematur, didapat 4-11%2. Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr, ditemukan pada 7 –10%3. Mikrosefali4. Apgar skor yang rendah (Yerby, 1991)Hiilesmaa mengikuti 138 kehamilan wanita epilepsi dibandingkan dengan 150
orang sebagai kontrol, yang sesuai adalah umur, paritas, sosial ekenomi dan jeniskelamin fetus. Beberapa peneliti tak dapat membuktikan bahwa komplikasi padakehamilan tidak lebih besar pada wanita epilepsi (Laidlaw, 1988).2002 digitized by USU digital library 3
IV. Komplikasi persalinanNeonatus wanita epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko karenakesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan. Partus prematur lebih seringterjadi pada wanita epilepsi. Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksiuterus yang melemah, ruptur membran yang terlalu dini. Oleh karena itu makapartus wanita epilepsi hampir selalu harus dipimpin oleh pakar obstetrik.Penggunaan firsep atau vakum sering dilakukan dan juga seksio saesar. (dikutip dariWarta Epilepsi. 1992)Teramo dan kawan-kawan (1985) menemukan, tak seorangpun dari 170bangkitan umum pada 48 kehamilan yang diikuti selama 24 jam menunjukkankomplikasi obstetrik (laidlaw, 1988).
Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:! Frekuensi bangkitan meningkat 33%! Perdarahan post partum meningkat 10%! Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi! Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapatresiko 1)% terjadi perdarahan perinatal pada bayi (Johnston, 1992)
V. Pengobatan / Tata laksanaSeorang wanita epilepsi yang merencanakan untuk hamil selalu khawatirterhadap janin, kehamilan, perkembangan danperawatan bayi. Hal ini membutuhkanpengawasan khusus, baik sebelum dan selama hamil, dan penyuluhan prekonsepsiharuslah merupakan bagian yang penting untuk pencegahan dan persiapan (Laidlaw,1988).
Penyuluhan PrekonsepsiPada umumnya perkembangan malformasi fetal sudah dimulai sebelumwanita menyadari kehamilannya secara mantap. Penutupan langit-langit terjadi padahari ke 47 kehamilan. Wanita epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang resikohamil yang berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsi. Mereka harus tahujuga bahwa serangan epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri.Namun demikian mereka harus mengetahui bahwa resiko dapat diperkecil dengantindakan pencegahan. Dalam masalah tersebut, dokter harus memberikan advis
yang tepat dalam menghadapi dua problematik yang rumit ini. Disatu pihak ia harusmenggunakan obat anti epilepsi untuk mengontrol timbulnya serangan epileptik padaibu yang hamil dan sekaligus iaharus mencegah terkenanya fetus oleh efek obat antiepilepsi digunakan oleh ibu yang hamil. Terapi yang dianjurkan ialah penggunaanmonoterapi dengan dosis serendah mungkin paad tahap pertama kehamilan. Dosisdapat dinaikkan pada trisemester ketiga kehamilan. Pada tahap lanjut dapatdiberikan juga vitamin K (20mg/hari) untuk mencegah perdarahan neonatal(Laidlaw, 1988; Warta Epilepsi,1992)
Efek Terotogenik Obat Anti EpilepsiHipotesa mekanisme terjadinya teratogenisitas obat anti epilepsi adalah:1. Metabolisme obat anti epilepsi terjadi melalui komponen arene oksid atauepoksid, yang sebagian besar merupakan komponen reaktif yang bersifatteratogenik.2002 digitized by USU digital library 42. Kelainan genetik yang disebabkan oleh hidrolase epoksid meningkatkan resikoterhadap toksisitas fetus, atau alternatif lain3. Radikal bebas yang dihasilkan dari metabolisme obat anti epilepsi danbersifatsitotoksik.4. Kelainan genetik yang disebabkan oleh “free radical scavenging activity”meningkatkan resiko terhadap toksisitas fetus (Yerby,1991; Johnston,1992).
Prosentase malformasi akibat obat anti epilepsi adalah:1. Trimetadion, lebih 50%2. Fenitoin, 30%3. Sodium Valproat, 1,2%4. Karbamazepin, 0,5-1 %5. Fenobarbital, 0,6% (Yerby, 1991)Konsentrasi obat anti epilepsi dalamplasma wanita hamil yang akanmelahirkan bayi malformasi selalu lebih tinggi dari pada kadar obat anti epilepsi padawanita epilepsi hamil yang melahirkan tanpa malformasi. Para wanita epilepsi yanghamil dengan menggunakan berbagai jenis obat anti epilepsi lebih mudah melahirkanbayi dengan malformasi dari pada wanita epilepsi wanita epilepsi yang hamilmemakai obat epilepsi tunggal. Sudah barang tentu multipel dan penggunaan dosistinggi berhubungan dengan jenis epilepsi yang tidak mudah terkontrol. (Dikutip dariWarta Epilepsi, 1992).Malformasi fetal yang berhubungan dengan obat-obat anti epilepsi,lagi puladengan adanya kemungkinan neonatus cacad akibat malformasi dan anomalikongenital. Studi Meadow (1968), yang mencakup kasus kehamilan sejumlah 427pada 186 wanita epilepsi yang menggunakan obat anti epilepsi, menemukan anakdengan cacad (bibir dan langit-langit sumbing) yang berjumlah cukup banyak.Meadow dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa malformasi kongenital pada anakyang terkena efek obat anti epilepsi adalah 2 kali lebih sering dibandingkan anakyang tidak terkena efek obat anti epilepsi (Yerby, 1991). Malformasi untuk populasi
rata-rata berkisar antara 2-3%, sedangkan untuk bayi yang dilahirkan oleh ibuepilepsi antara 1,25 – 11% (Yerby,1991). Menurut peneliti lain berkisar 4-6%(Johnston, 1992).
Obat-obat anti epilepsiPenelitian pada binatang telah terbukti bahwa semua obat-obat anti epilepsiadalah bersifat teratogenik dan dihubungkan dengan kadar obat anti epilepsimisalnya fenitoip, berakibat malformasi pada tikus, tergantung pada jenis tikusdandosis yang diberikan. Salah satu bentuk malformasi tersebut adalah palatumyang terbelah dan ini merupakan malformasi yang terbanyak tampak pada epilepsi(Laidlaw, 1988; Hirano, 1989). Umumnya obat anti epilepsi yang digunakan adalahfenitoin,karbamazepin, dan sodium valproat, dihubungkan dengan malformasikonginetal minor seperti wajah dismorfik dan hipoplasia phalang distal. Trimetadiondihubungkan dengan abnormalitas berat, dan fenobarbital adalah obat anti epilepsiyang paling rendah toksisitasnya (laidlaw, 1988; Adams, 1989; Johnston, 1992).
Obat-obat tersebut adalah:1. TrimetadionDapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik disebut sindromtrimetadion fetus. German dan kawan-kawan (1970) melaporkan bahwadalam satu keluarga terdapat 4 bayi yang mengalami malformasi dilahirkandari ibu yang menderita epilepsi dengan menggunakan obat ini; studi lanjutan2002 digitized by USU digital library 5mengkonfirmasi terhadap resiko tinggi pada sindrom ini,yang mana dapatmenyebabkan perkembangan yang lambat, anomali kraniofasial dan kelainanjantung bawaan. Golongan obat ini tidak digunakan pada kehamilan (Laidlaw,1988; Gilroy, 1992; Johnston, 1992)
2. FenitoinObat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsi pada kehamilandanmempunyai efek teratogenik. Terdapat kejadian sedikit yangmenyebabkan malformasi mayor pada manusia. Sampai sekarang sebagianbesar pasien-pasien diobati dengan beberapa obat anti epilepsi,sehingga sulituntuk mengevaluasi efek obat secara individual. Angka malformasi total pada305 anak yang dilahirkan oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4 % (laidlaw,1988; Yerby,1991; Johnston, 1992)Penggunaan fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoinfetus. Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan Smith(1975)untuk menggambarkan pola abnormalitas yang diamati pada neonatus,
dimana ibu epilepsi yang hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasidengan fenobarbital. Sindrom ini terdiri dari abnormalitaskraniofasial,kelainan anggota gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mentalbaik ringan atau sedang (Gilroy, 1992). Studi prospektif dari 35 bayi padaprenatal diberi obat golongan hidantoin, Hansons dan kawan-kawan (1976)menemukan 11% mempunyai gambaran sebagai sindroma ini (laidlaw, 1988’Yerbi, 1991). Dosis fenitoin antara 150-600 mg/hari.3. Sodium ValproatObat ini relatif baru dan sedikit data yang berefek pada uterus. Penggunaanobat ini dapat mengakibatkan kelainan pada janin berupa sindrom valproatfetus. Pernah dilaporkan terhadap 7 bayi yang dilahirkan dari ibu epilepsiyang menggunakan obat ini berupa kelainan pada wajah dengan ciri-ciri:lipatan epikantus inferior, jembatan hidung yang datar, filtrum yang dangkal(Yerby, 1991). Obat ini pada manusia dapat menembus plasenta secarabebas dan memberikan dosis yang lebih tinggi pada neonatus dari ibu.(Laidlaw, 1988).Pada studi prospektif dari 12 bayi, pada anternatal diberikan sodium valproatmenunjukkan semuanya normal. Pada kasus sporadik pernah dilaporkanbahwa obat ini dapat menyebabkan kelainan “neural tube defect”. Padawanita epilepsi yang hamil bila diberikan obat ini dapat menyebabkankelainan tersebut kira-kira 1,2% (Laidlaw, 1988; Gilroy,1992; Johnston,1992). Dosis sodiumm valproat antara 600-3000 mg/hari4. KarbamazepinObat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkanretardasi pertumbuhan kepala janin. Hiilesmaa dan kawan-kawan (1981)didalam penelitiannya terhadap 133 wanita menunjukkan bahwa penggunaanobat ini (tunggal) atau kombinasi dengan fenobarbital dapat menyebabkanretardasi (Laidlaw, 1988). Juga pernah dilaporkan dari 25 anak dari ibu yangmenggunakan obat karbamazepin tunggal ditemukan 20% dengan gangguanperkembangan (Yerby, 1991). Belakangan ini dilaporkan bahwa karbamazepinmengakibatkan meningkatnya kasus spina bifida sebanyak 0,5 – 1,0%(Dikutip dari Warta Epilepsi, 1992). Dosis karbamazepin 400-1800 mg/hari.2002 digitized by USU digital library 65. FenobarbitalTerdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studiawalmengatakan bahwa sebagian besar manita epilepsi mendapat kombinasiantara fenotoin dan fenobarbital. Efek teratogenik obat ini kurang biladibandingkan dengan obat anti epilepsi lain dan pada manusia, Shapiro dankawan-kawan (1976) menemukan fenobarnbital tidak menyebabkanmeningkatnya angka malformasi (Laidlaw, 1988; Yerby,1991).Pemakaian obat ini dapat mengakibatkan sindrom fenobarbital fetus, yangberupa Dismorfim wajah, gangguan pertumbuhan pre dan postnatal,perkembangan lambat (Yerby, 1991).Bagian Obstetri dan Ginekologi Akademi Amerika menganjurkan pemakaianfenobarbital sebagai obat pilihan untuk wanita epilepsi yang hamil(Yerby,1991).
Sullivan (1975), pada penelitiannya terhadap tikus yang hamil diberikan obatini mengakibatkan bibir and palatum sumbing berkisar antara 0.6 – 3.9%(Yerbi, 1991). Dosis Fenobarbital antara 30 – 240 mg/hari (Gilman AG, 1991)
VI. KesimpulanTelah dibicarakan ep pada kehamilan berupa: efek kehamilan terhadapepilepsi,komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan dan pengobatan/tata laksanaepilepsi pada kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA
Adams RD., Victor M. 1989. Principles of Neurology. 5th ed. Singapore : Mc GrawHill Book.Gilroy J. 1992. Basic neurology. 2nd ed. Singapore : Mc Graw Hill BookGilman AG., Rall TW., Nies AS., Taylor P. 1991. The Pharmacological basis oftherapeutics. 8th ed. Vol. 1. Singapore : Pergomen PressHolmes GL., Weber DA. 1985. Effect of pregnancy on development of Seizure.Epilepsia (26)4: 299-302Johnston MV., MacDonal RL., Young AB. 1992. Principles of drug therapy inneurology. Philadelphia : FA Davis, p. 102-104Laidlaw J., Riches A., Oxley J. 1988. A textbook of epilepsi. 3th ed. New York :Churchill Livingstone, p. 203-211; 544-557Lander CM. 1992. Managing the pregnant epileptic patient. Journal of PediatricsObstetrics and Gynecology. 18(4), p. 26-30Plum F.. Fosner JB. 1982. The Diagnosis of stupor and coma. 3th ed. Philadelphia: FA Davis Company, p. 251-253Shorvan SD. 1988. Epilepsi untuk praktek umum. Jakarta : Ciba Geigy Pharm
Browne TR., Holmes GL., 2000, Epilepsy: Definitions andBackground. In: Handbookn,
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, P., 1-18.
1. Fisher RS., Boas WE., Blume W., Elger C., Genton P., Lee P., et al., 2005, Epileptic
seizures and epilepsy: definition proposed by the International League Against
Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE),Epilepsia; 46 (4):
470-2.
2. Annegers JF., 2001, The Epidemiology of Epilepsy. In: Wylie E, ed. The Treatment of
Epilepsy, 3d ed, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 131–138.
3. Goodman and Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, vol. 1, EGC, Jakarta, 506-
531.
4. Commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy, 1981, Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic
Classification of Epileptic Seizures, Epilepsia, 22: 489–501.
5. Commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy, 1982, Proposal for Revised Classification of Epilepsies and Epileptic
Syndromes, Epilepsia, 30: 389–399.
6. Irani, Vidia, M., 2009, Gambaran Efektivitas AntiepilepsiPada Pasien Epilepsi Yang
Menjalani Rawat Inap Di Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 41-70.
7. Nordli, D.R., Pedley, De Vivo, 2006, Buku Ajar Pediatri Rudolph volume 3, EGC,
Jakarta, 1023, 1034, 2135-2138.
8. Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press,
Yogyakarta, 85.
9. Gidal, B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, inPharmacotherapy: A
Phathophisiology Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill, New York, 1023-
1048.
10. Lacy, Charles F., 2009, Drug Information Handbook, American Pharmacists
Association.
11. Dillon and Sander, 2003, Clinical Pharmacy and Therapeutics, Third edition,
Churchill livingstone, New York, 465-468, 472-477.
12. Rainer Surges, Kirill E., Volynski and Matthew C., Walker, 2008, Is Levetiracetam
Different from Other Antiepileptic Drugs? Levetiracetam and its Cellular Mechanism
of Action in Epilepsy Revisited Rainer Surges, Therapeutic Advances in Neurological
Disorders, 1(1) 13-24.
13. Weiner WJ., 1999, The Intial Treatment of Parkinson’s Disease Should Begin With
Levodopa, Mov Disord, 14: 716–724.
14. McNemara, J.O., 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, vol 1, diterjemahkan
oleh alih bahasa sekolah farmasi ITB, EGC, Jakarta, 1517, 522, 524.
15. Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 7-8,
65-66, 144.
16. Mijasaki JM., Martin W., Suchowersky O., et al., 2002, Practice parameter: Initiation
of treatment for Parkinson’s disease: An evidence based review, Neurology, 58; 11–
17.