BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Monopoli
Monopoli merupakan istilah yang dipertentangkan dengan persaingan. Meskipun
demikian, ternyata belum ada kesepakatan luas mengenai apa sebenarnya yang dimaksud
dengan istilah ini.27 Dalam perkembangannya, istilah monopoli sering dipakai orang untuk
menunjuk tiga titik berat yang berbeda, antara lain :
1. Istilah monopoli dipakai untuk menggambarkan suatu struktur pasar (keadaan korelatif
permintaan dan penawaran). Definisi monopoli menurut Meiners, “a market structure in
which the output of an industry is controlled by a single seller or a group of sellers making
joint decisions regarding production and price.”28
Menurut Meiners, monopoli bisa dilakukan oleh lebih dari satu penjual (a group of sellers)
yang membuat keputusan bersama tentang produksi atau harga.
2. Istilah monopoli sering digunakan untuk menggambarkan suatu posisi. Yang dimaksud
dengan posisi adalah posisi penjual yang memiliki penguasaan dan kontrol eksklusif atas
barang atau jasa tersebut.
3. Istilah monopoli juga digunakan untuk menggambarkan kekuatan (power) yang dipegang
oleh penjual untuk menguasai penawaran, menentukan harga, serta memanipulasi harga.29
Adapun unsur-unsur yang dapat menimbulkan monopoli,30 sebagai berikut :
1. Memiliki sumber daya yang unik
27 Thomas J. Anderson, Our Competitive System and Public Policy, South Western Publishing Company,
Cincinnati, 1958, h. 25. 28 Roger E. Meiners, The Legal Environment of Business, West Publising Company, St. Paul, 1998, h. G-
8 (Glossary). 29 Arie Siswanto, Op. cit., h. 19. 30 Mustafa Kamal Rokan, Op. cit., h. 12.
2. Terdapat skala ekonomis
3. Kekuasaan monopoli yang diperoleh melalui peraturan pemerintah
4. Pengaturan Paten, dan Hak Cipta
5. Hak Usaha Eksklusif
Jadi monopoli adalah tindakan pelaku usaha untuk mendominasi atau menguasai pasar,
karena dengan melakukan monopoli pelaku usaha menjadi tidak ada persaingan sehingga dapat
menaikkan harga sesuai dengan keinginannya tanpa melihat permintaan pasar. Monopoli dapat
dilakukan secara perseorangan maupun secara kelompok.
Pada dasarnya monopoli itu sendiri tidak dilarang, karena ada jenis monopoli tertentu
yang tidak bisa dihindari demi alasan efisiensi. Yang dilarang adalah praktik monopoli.
Berdasarkan Pasal 1 Huruf (b) praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu
atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
Dengan demikian monopoli dan praktik monopoli terdiri dari beberapa unsur,31 yaitu :
a. Pelaku usaha
Pelaku usaha adalah setiap orang perorang atau badan usaha baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
b. Pemusatan kekuatan ekonomi32
31 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat di Indonesia, Cet. I, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, h. 26. 32
Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan
oleh suatu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
c. Persaingan usaha tidak sehat
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara
tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
2. Hukum Persaingan Usaha (Competition Law) Di Indonesia
2.1. Persaingan Usaha
Persaingan atau competition di bidang ekonomi merupakan salah satu bentuk persaingan
yang paling utama di antara sekian banyak persaingan antar manusia, kelompok masyarakat,
atau bahkan bangsa.33 Manfaat persaingan terbagi menjadi dua, yaitu :
a) Perspektif nonekonomi
Dari sisi politik setidaknya terdapat tiga argumen untuk mendukung persaingan dalam
bidang usaha.34
- Dalam kondisi penjual maupun pembeli terstruktur secara atomistik (masing-masing
berdiri sendiri sebagai unit-unit terkecil dan independen) yang ada dalam persaingan,
kekuasaan ekonomi atau yang didukung faktor ekonomi (economic or economic-
supported power) menjadi tersebar dan terdesentralisasikan. Dengan demikian
pembagian sumber daya alam dan pemerataan pendapatan akan terjadi secara
mekanik, terlepas sama sekali dari campur tangan kekuasaan pemerintah maupun
pihak swasta yang memegang kekuasaan.
33 Thomas J. Anderson, Op. cit., h. 4. 34 F.M. Scherer, Industrial Market Structure and Economic Performance, Rand McNally Co, 1980, h. 12.
- Sistem ekonomi pasar yang kompetitif akan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan
ekonomi secara impersonal, bukan melalui personal pengusaha maupun birokrat.
Dalam posisi seperti ini, kekecewaan politis masyarakat yang usahanya terganjal
keputusan pengusaha maupun penguasa tidak akan terjadi. Secara sederhana, dalam
kondisi persaingan, jika seorang warga masyarakat terpuruk dalam bidang usahanya,
ia tidak akan terlalu merasa sakit karena ia jatuh bukan karena kekuasaan person
tertentu, melainkan karena suatu proses yang mekanistik (permintaan-penawaran).
- Pada dasarnya setiap orang punya kesempatan yang sama untuk berusaha dan dengan
demikian hak setiap manusia untuk mengembangkan diri menjadi terjamin.
b) Perspektif ekonomi
Dari sudut pandang ekonomi, dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan,
persaingan juga membawa implikasi positif.35
- Persaingan merupakan sarana untuk melindungi para pelaku ekonomi terhadap
eksploitasi dan penyalahgunaan (tidak terpusat pada tangan tertentu).
- Persaingan mendorong alokasi dan realokasi sumber-sumber daya ekonomi sesuai
dengan keinginan konsumen. Karena ditentukan oleh permintaan (demand), perilaku
para penjual dalam kondisi persaingan akan cenderung mengikuti pergerakan
permintaan para pembeli. Dengan demikian perusahaan akan meninggalkan bidang
usaha yang tidak memiliki tingkat permintaan yang tinggi.
- Persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong penggunaan sumber daya
ekonomi dan metode pemanfaatannya secara efisien. Jika tidak risiko yang akan
dihadapi perusahaan adalah munculnya biaya berlebih (excessive cost) yang pada
gilirannya akan menyingkirkan dia dari pasar.
35 Thomas J. Anderson, Op. cit., h. 17-21.
- Persaingan bisa merangsang peningkatan mutu produk, pelayanan, proses produksi,
dan teknologi. Dalam kondisi persaingan, setiap pesaing akan berusaha mengurangi
biaya produksi serta memperbesar pangsa pasar (market share).
Salah satu persaingan dalam bidang ekonomi adalah persaingan usaha. Persaingan dalam
dunia usaha adalah cara yang efektif untuk mencapai pendayagunaan sumber daya secara
optimal. Karena dengan adanya rivalitas akan cenderung menekan ongkos-ongkos produksi
sehingga harga menjadi lebih rendah serta kualitasnya semakin meningkat.36 Bahkan lebih dari
itu persaingan dapat menjadi landasan fundamental bagi kinerja di atas rata-rata untuk jangka
panjang dan dinamakannya keunggulan bersaing yang lestari (sustainable competitive
advantage) yang dapat diperoleh melalui tiga strategi generik, yakni keunggulan biaya,
diferensiasi, dan fokus biaya.37
Jadi persaingan usaha adalah persaingan yang terjadi dari proses produksi hingga
pemasaran oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang dilakukan secara sehat, dengan
tujuan untuk menarik minat pembeli sehingga kualitas akan diutamakan dan harga akan di
minimalkan.
2.2. Hukum Persaingan Usaha (Competition Law)
Hukum persaingan usaha merupakan instrumen hukum yang menentukan tentang
bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek
persaingan, hukum persaingan juga berkaitan erat dengan pemberantasan monopoli, karena
yang juga menjadi perhatian dari hukum persaingan adalah mengatur persaingan sedemikian
rupa sehingga tidak menjadi sarana untuk mendapatkan monopoli.38 Sedangkan pendapat lain
36 Mustafa Kamal Rokan, Op. cit., h. 8-9. 37 Johny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia),
Cet. I, Penerbit Bayu Media, Malang, 2006, h. 102-103. 38 Arie Siswanto, Op. Cit., h. 37.
mengemukakan bahwa hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang
mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-
hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.39
Dengan memperhatikan pendapat diatas, semuanya bertumpu pada aturan hukum sebagai
petunjuk atau perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang
harus ditaati. Berkaitan dengan hukum persaingan usaha, pendapat diatas bertalian dengan tiga
hal pokok,40 antara lain :
1. Pencegahan atau peniadaan monopoli
2. Menjamin terjadinya persaingan yang sehat, dan
3. Melarang persaingan yang tidak jujur
Hukum persaingan usaha (competition law) berasal dari dua bahasa, yaitu hukum dan
persaingan usaha. Hukum sendiri berarti peraturan, pedoman, atau petunjuk. Jadi hukum
persaingan usaha adalah himpunan aturan-aturan atau petunjuk-petunjuk yang dijadikan
pedoman dalam persaingan usaha dan harus ditaati. Karena bagi pelaku usaha yang tidak
menaatinya akan dikenakan sanksi.
2.3. Hukum Persaingan Usaha di Beberapa Negara
Berikut adalah peraturan mengenai hukum persaingan usaha di beberapa negara:
a. Amerika Serikat
Doktrin utama yang menjadi dasar larangan dalam antitrust law adalah perbuatan yang
menghalangi terjadinya perdagangan bebas (restraint of trade). Doktrin ini terlahir dari tradisi
common law yang merupakan presedent dari putusan hakim Popham dalam menangani Kasus
39 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cet. I, Penerbit Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2008, h. 2. 40 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op. Cit., h. 37.
Darcy v Allein pada tahun 1602.41 Hakim Popham memutuskan bahwa hak monopoli yang
diberikan kepada Darcy adalah perbuatan melanggar hukum. Perbuatan yang dinamakan
forestalling (membeli dan menguasai barang untuk dijual kembali dengan harga yang tinggi),
engrossing (membeli dalam jumlah besar untuk kemudian dijual kembali dengan harga tinggi),
regrating (membeli barang tertentu di pasar dan selanjutnya dijual dengan harga tinggi)
bersama dengan monopoli dikategorikan kejahatan sebab menghalangi perdagangan (restraint
of trade).
Tradisi common law inilah yang melahirkan doktrin restraint of trade yang juga diterima
oleh Sherman Act. Karenanya, hukum persaingan di Amerika Serikat dibentuk dalam rangka
meringankan hak untuk melakukan persaingan (the right to compete) disebut dengan Antitrust
law.42 Kemudian pada tahun 1890 kongres Amerika Serikat mengeluarkan peraturan tentang
persaingan usaha yang disebut Sherman Act. Peraturan ini memberikan wewenang yang luas
bagi peradilan untuk melarang perilaku bisnis tertentu. Selanjutnya pada tahun 1914 dilakukan
penyempurnaan terhadap regulasi persaingan usaha dengan mengeluarkan act to supplement
existing laws against unlawful restriction and monopolies, regulasi ini dikenal dengan Clayton
Act.43
Kemudian di tahun yang sama, Federal Trade Commission Act atau Act to Create a
Federal Trade Commission, To Define Its Power and Duties, and For Other Purpose
diundangkan yang bertujuan untuk Federal Trade Commission sebagai badan pengawas
41 Kasus ini berawal dari pemberian hak monopoli oleh Ratu Inggris kepada Edward Darcy dengan
perusahaannya yang bernama Ralph Bowes & Co untuk membuat atau mengimpor kartu mainan (playing cards).
Namun dipasar juga ditemukan jenis kartu mainan yang diperdagangkan oleh T. Allein. Karenanya, Darcy merasa
terganggu dan melakukan gugatan ke pengadilan. Stephen F. Ross: Principles of Antitrust Law, The Foundation
Press, Inc. Wetbury, New York, 1993, h. 12-13. 42 Sebutan antitrust law disebabkan pada awalnya aturan hukum ditujukan untuk mencegah
pengelompokan kekuatan industri-industri yang membentuk trust (sebangsa dengan kartel untuk memonopoli
komoditi-komoditi strategis dan menyingkirkan para pesaing yang tidak tergabung dalam trust tersebut. Johny
Ibrahim, Op. cit., h. 3. 43 Stephen F. Ross: Principles of Antitrust Law, The Foundation Press, Inc, New York, 1993, h. 395-399.
pelaksanaan dari Sherman Act dan Clayton Act. Dan mengenai diskriminasi harga kemudian
disempurnakan melalui Robinson-Patman Act pada 1939.44
b. Eropa
Hukum persaingan di Eropa didasari oleh hukum negara yang disebut Competition Law.
Sumber utama hukum persaingan Eropa adalah ketentuan yang terdapat dalam perjanjian UE
(Uni-Eropa). Dalam perjanjian tersebut terdapat pengaturan secara khusus tentang persaingan
di bagian ketiga dengan judul Policy of the Community Bab 1 dengan judul Rules on
Competition dimana section 1 terdiri dari 5 pasal yang mengatur tentang Rules Applaying to
Undertaking. Pengaturan yang lebih rinci tentang persaingan dilakukan dengan produk hukum
disebut dengan Regulation, Notices, Directives, dan Decisions.45
c. Jepang
Hukum persaingan usaha di Jepang diundangkan pada tanggal 14 April 1947 oleh Majelis
Nasional (diet) yang disebut dengan Dokusen Kinshiho atau Antimonopoly Law. Perundang-
undangan yang utama disebut Shiteki dokusen no khinsi oyobi kosei torihiki ni kansuru hiritsu,
atau diterjemahkan dalam bahasa Inggris Law concerning the probihition of private monopoly
and preservation of fair trade.46
d. Kanada
Pada tahun 1899 Kanada telah memiliki ketentuan untuk mencegah tindakan-tindakan
menghambat perdagangan yang dilakukan melalui perjanjian. Namun, ketentuan persaingan
usaha yang komprehensif baru dimiliki Kanada pada saat diundangkannya Competition Act
tahun 1986. Penegakan Competition Act 1986 di Kanada adalah Competition Bureau yang di
kepalai oleh Director of Investigation and Research. Dilihat dari pelanggarannya Competition
44 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, h. 36. 45 Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, h. 36. 46 Ibid., h. 30.
Bureau dibagi menjadi dua yaitu pelanggaran pidana (criminal offences) dan pelanggaran
terhadap Competition Act 1986 (reviewable practices).47
e. Perancis
Berdasarkan Ordonansi tahun 1986, Perancis mengeluarkan perundangan di bidang
persaingan usaha yang di pegang oleh suatu otoritas administratif independen yang disebut le
Consil de la Concuirrence. Sebelumnya, Perancis telah mempunyai badan serupa yang
bernama la Commission de la Concurrence. Namun, la commission hanya memiliki
kewenangan konsultatif (advisory body), sedangkan le Consil merupakan organ quasi-judisial
yang bisa membuat keputusan (a quasi-judicial decision-making body).48
f. Indonesia
Sebelum adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai monopoli
yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka pengaturan-pengaturan mengenai
persaingan usaha didasarkan pada beberapa ketentuan, sebagai berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu Pasal 382 bis KUHP :
Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil
perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan
perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang
tertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi
konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain, karena
persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Pasal 1365 yang isinya, “setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan suatu kerugian tersebut karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”
3. Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960)
47 Edward M. Graham and David J. Richardson (ed), Global Competiton Policy, Institute for International
Economics, Washington D.C, 1997, h. 50. 48 Ibid., h. 87-88.
Pasal 13 Ayat (2) yang isinya, “pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan
agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.”
4. Ketetapan MPR
a. Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1973 tentang GBHN bidang Pembangunan Ekonomi.
b. Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1978 tentang GBHN pada bidang Pembangunan
Ekonomi pada Sub Bidang Usaha Swasta dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah.
c. Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1983 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan
Ekonomi Sub Bidang Usaha Swasta Nasional dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah.
d. Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1988 tentang GHBN pada Bidang Pembangunan
Ekonomi Sub Bidang Dunia Usaha Nasional.
e. Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1993 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan
Ekonomi Sub Bidang Usaha Nasional.
f. Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1999 tentang GBHN pada Kondisi Umum.
5. Undang-Undang tentang Perindustrian (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984)
Pasal 7 Ayat (2) yang isinya, “mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta
mencegah persaingan yang tidak jujur.”
6. Undang-Undang Perseroan Terbatas (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995)
Pasal 104 yang isinya, “penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan harus
memperhatikan : (a) kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan
perusahaan; (b) kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.”
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan tidak
dapat dilakukan kalau merugikan pihak tertentu dan harus dicegah supaya tidak
menimbulkan monopoli.
7. Undang-Undang tentang Usaha Kecil (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995), yaitu Pasal
8 yang isinya :
pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek persaingan dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk : (a)
meningkatkan kerja sama sesama Usaha Kecil dalam bentuk koperasi,
asosiasi, dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar
Usaha Kecil; (b) mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat
melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli,
dan monopsoni yang merugikan Usaha Kecil; (c) mencegah terjadinya
penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perseorangan atau
kelompok tertentu yang merugikan Usaha Kecil.
8. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yaitu Pasal 10 yang melarang
adanya ketentuan yang menghambat adanya persaingan sehat dalam pasar modal.
9. Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)
Undang-undang ini dibentuk dengan tujuan khusus (lex specialis) untuk
menanggulangi tindak kejahatan dibidang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, yang saat ini telah digunakan sebagai pengganti dari undang-undang sebelumnya
yang belum spesifik dalam bidang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (lex
generalis).49 Sehingga sejak tanggal 5 Maret 2000, mulai efektif diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 maka Pasal 1365 KUHPer dan Pasal 382 bis KUHP serta
undang-undang sebelumnya tidak diterapkan lagi, kecuali tindak pidana umum dalam
KUHP.
Beberapa negara lain yang telah mempunyai hukum anti monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat adalah, Jerman (Bundeskartellamt), Inggris (Office of Fair Trading), Australia (The
Australian Industries Preservation Act lalu digantikan oleh Commonwealth’s Trade Practices
Act), dan Korea Selatan (The Regulation of Monopolies and Fair Trade Act).
Walaupun pada masing-masing negara mempunyai peraturan-peraturan dan penerapan
yang berbeda tentang hukum persaingan usaha, akan tetapi tujuannya sama yaitu terciptanya
49 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op. cit., h. 99.
persaingan usaha secara sehat dan efisien, mewujudkan iklim usaha yang kondusif, dan
kesejahteraan rakyat.
2.4. Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Anti Monopoli menyebutkan bahwa persaingan usaha
tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha. Berdasarkan definisi tersebut terdapat tiga
indikator untuk menyatakan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, antara lain :
a. Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur. Hal ini dapat dilihat dari cara pelaku
usaha bersaing terhadap pelaku usaha lain.
b. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum. Hal ini dapat dilihat dari
cara pelaku usaha dalam bersaing dengan pelaku usaha lain dengan melanggar ketentuan-
ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau peraturan-peraturan yang disepakati.
c. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan di antara
pelaku usaha. Hal ini dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan antar
pelaku usaha melihat kondisi pasar yang tidak sehat.
Jadi persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan usaha yang dilakukan dengan cara
tidak jujur dan melawan hukum. Hal tersebut mengakibatkan tidak adanya persaingan.
Tindakan-tindakan yang dilarang oleh hukum persaingan usaha dibagi menjadi dua
kategori, yaitu tindakan anti persaingan (anticompetition) dan tindakan persaingan curang
(unfair competition practice, unfair menthods of competition).50
a) Tindakan Antipersaingan
50 Arie Siswanto, Op. cit., h. 31.
Tindakan anti persaingan merupakan satu kategori untuk menunjuk jenis-jenis
tindakan yang bersifat menghalangi atau mencegah persaingan. Di sisi lain, tindakan ini
digunakan oleh pelaku usaha yang ingin memegang posisi tunggal (monopoli) dalam suatu
industri dengan mencegah calon pesaing atau menyingkirkan pesaing secara tidak wajar.
Tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori tindakan anti persaingan, sebagai berikut :
1. Merger
2. Penentuan harga (Price fixing)
3. Pembagian pasar secara horizontal (Horizontal market divisions)
4. Pembatasan perdagangan secara vertikal dengan menggunakan instrumen nonharga
(Non-price vertical restraints)
5. Trying-in arrangements
6. Exclusive dealing
7. Diskriminasi harga (Price discrimination)
8. Bid-rigging
9. Boikot (Boycotts)
10. Interlocking directorates
11. Penyalahgunaan posisi dominan (Abuse of dominant position)
b) Tindakan Persaingan Curang
Tindakan persaingan curang adalah tindakan tidak jujur yang dilakukan dalam kondisi
persaingan. Konsep persaingan curang didasarkan pada pertimbangan etika usaha.
Tindakan-tindakan dalam metode persaingan curang adalah,51 sebagai berikut :
1. Menyebar informasi palsu tentang produk pesaing
2. Meremehkan produk pesaing
3. Menyerang pribadi pesaing
51 Thomas J. Anderson, Op. cit., h. 14-15
4. Mengganggu penjual produk pesaing
5. Merusak produk pesaing
6. Menghambat pengiriman produk pesaing
7. Mengintimidasi konsumen produk pesaing
8. Menyuap pembeli produk pesaing
9. Mengatur boikot terhadap produk pesaing
10. Memata-matai pesaing secara ilegal
11. Mencuri rahasia perusahaan pesaing
12. Mengganggu pesaing melalui pengajuan gugatan palsu
13. Membuat kesepakatan untuk menyingkirkan pesaing dari pasar
14. Membujuk pekerja perusahaan pesaing untuk mogok
15. Menjual produk dengan harga di bawah biaya produksi
16. Memberikan pengurangan harga secara tidak wajar, baik secara langsung maupun
melalui diskon.
3. Penetapan Harga (Price Fixing)
3.1. Pengertian Penetapan Harga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, harga adalah jumlah uang atau alat tukar lain
yang senilai, yang harus dibayarkan untuk produk atau jasa, pada waktu tertentu dan di pasar
tertentu.52 Sedangkan Islam memiliki dua istilah berbeda mengenai harga, yaitu ats-tsaman
adalah patokan harga suatu barang dan ats-si’r adalah harga yang berlaku secara aktual di
pasar. Ulama fiqih membagi Ats-si’r menjadi dua macam,53 yaitu :
52 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 2005. 53 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Penerbit Adipurna, Yogyakarta, 2002,
h. 26.
a. Harga yang berlaku secara alami, yaitu harga yang berlaku tanpa campur tangan
pemerintah.
b. Harga suatu komoditas, yaitu harga yang ditetapkan pemerintah setelah
mempertimbangkan modal dan keuntungan wajar bagi pedagang atau produsen serta
melihat keadaan ekonomi riil dan daya beli masyarakat.
Larangan Islam terhadap penetapan harga telah dicontohkan Rasulullah Saw. pada
sebuah pasar di kota Madinah yang ketika itu harga-harga melambung tinggi. Para sahabat
meminta Rasulullah Saw. untuk menetapkan harga, namun Rasulullah Saw. melarangnya.
Maka Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allahlah yang telah menetapkan harga, menahan
serta melapangkan dan memberi rezeki dan sesungguhnya aku berharap bertemu dengan Allah
dalam keadaan tidak seorang pun daripada kalian menuntut aku karena perbuatan zalim
terhadap jiwa atau tentang harga (barang-barang).”54
Hadits tersebut menunjukkan bahwa penetapan harga adalah sesuatu yang dilarang
secara tegas dan pasti dianggap sebuah kezaliman, serta para ulama menghukumnya sebagai
perbuatan haram. Satu kelompok atau individu tidak diperbolehkan untuk mempengaruhi pasar
dengan cara-cara yang tidak fair.
Pada sebuah hadits disebutkan pula, ketika Rasulullah melihat seorang laki-laki menjual
makanan dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, Rasulullah Saw. mengatakan,
“Orang-orang yang datang membawa barang ke pasar ini laksana orang yang berjihad di jalan
fi sabilillah, sementara orang-orang yang menaikkan harga (melebihi harga pasar seperti orang
yang ingkar kepada Allah).”55
Selain dalam perspektif Islam, beberapa negara juga mendefinisikan yang dimaksud
dengan penetapan harga (price fixing). Merujuk pada permasalahan penetapan harga di
54 HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Ibn Majah dan disahkan oleh Ibn Hibban. 55 Ekonomi Islam, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3I) UII, Yogyakarta, 2008, h.
303.
Amerika Serikat dan Australia, maka dalam Section 1 The Sherman Act 1890 di Amerika
Serikat dan Section 45A The Trade Practices Act 1974, maka price fixing dianggap sebagai
“naked restraint of trade with no purpose except the stiftling of competition.”56 Anggapan
tersebut menggambarkan bahwa perjanjian penetapan harga adalah tindakan yang anti
persaingan.
Dalam hal persekongkolan tender melalui sistem kartel, Komisi Anti Monopoli
memasukkan tindakan tersebut sebagai tindak kriminal yang dituangkan dalam Section 1
Sherman Act. Pelaku pelanggaran dihukum dengan US$ 350,000, atau dua kali keuntungan
yang didapatkan dari perbuatan melanggar hukum. Atau dua kali kegagalan sebagai hasil
aktivitas ilegal dan tiga tahun ditahan serta perusahaan juga didenda sebanyak US$ 10 juta.
Sedangkan yang dituangkan dalam Section 2 adalah monopoli yang terdapat di Sherman Act
lebih menekankan niat untuk menguasai pasar (attempt to monopolize). Untuk mengadili
perbuatan monopoli menurut Sherman Act menggunakan pendekatan per se.57
Price fixing dikatakan sebagai “a combination formed for the purpose of and with the
effect of raising, depressing, fixing, pegging, and stabilizing the price of comodity.”58
Penetapan harga adalah tindakan yang dilarang persaingan usaha, karena bertentangan dengan
prinsip perdagangan dan dengan adanya hal tersebut menjadi tidak adanya persaingan. Dalam
Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa, “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas
suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.”
Latar belakang lahirnya Undang-Undang Anti Monopoli,59 sebagai berikut :
56 Rachmadi Usman, Op. cit., h. 44. 57 Asril Sitompul, Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan terhadap Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999), Penerbit Citra Aditya, Bandung, 1999, h. 27-28. 58 Hermansyah, Op. cit., h. 26. 59 Mustafa Kamal Rokan, Op. cit., h. 19.
1) Landasan Yuridis
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki kemakmuran
masyarakat secara merata, bukan kemakmuran secara individu. Secara yuridis melalui
norma dasar negara tersebut, maka pembangunan ekonomi Indonesia haruslah bertitik
tolak dan berorientasi pada pencapaian tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
2) Landasan Sosio Ekonomi
Lahirnya Undang-Undang Antimonopoli adalah dalam rangka untuk menciptakan
landasan ekonomi yang kuat untuk menciptakan perekonomian yang efisien dan bebas dari
distorsi pasar. Pada masa Orde Baru ekonomi yang kuat dan efisien adalah kata yang
sangat mahal. Sebab pembangunan yang dilakukan tidak berdasarkan pada teori hukum
pembangunan.
3) Landasan Politis dan Internasional
Sejak 1970-an sikap anti monopoli dan persaingan usaha secara sehat telah dibicarakan di
Indonesia. Sebab struktur ekonomi pada masa itu memerlukan pengaturan yang dapat
mengoreksi struktur ekonomi yang bersifat dominasi dan monopolistik oleh orang-orang
tertentu, terutama orang atau golongan yang termasuk dalam pusaran kekuasaan (linkage
power).
Penetapan harga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat
terwujud dengan beberapa bentuk, antara lain :
- Penetapan harga oleh pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga yang harus dibayar oleh konsumen pada pasar
bersangkutan yang sama, kecuali perjanjian tersebut dalam suatu usaha patungan atau
didasarkan pada undang-undang yang berlaku (Pasal 5).
- Penetapan harga oleh pelaku usaha dengan perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang dibayar pembeli lain
untuk barang dan/atau jasa yang sama (Pasal 6).
- Penetapan harga dibawah harga pasar yang dilakukan pelaku usaha dan pesaingnya (Pasal
7).
- Penetapan harga oleh pelaku usaha dengan perjanjian yang mensyaratkan bahwa penerima
barang tidak akan menjual kembali dengan harga lebih rendah dari harga yang telah
diperjanjikan (Pasal 8).
Penetapan harga dapat terjadi melalui dua cara yaitu, tacit collusion atau kolusi yang
disamarkan adalah dengan memberikan tanda tangan kepada pelaku usaha lain dengan bentuk
menaikkan harga atau dengan cara membuat pengumuman dimedia massa sehingga pelaku
usaha lain mengetahui dan harus ikut menaikkan harga. Dan explicit collusion adalah kolusi
yang dilakukan secara terbuka yaitu sekelompok kecil oligopolis mengaku bahwa mereka
memiliki ketergantungan dan bertindak untuk mengkoordinasi perilaku mereka melalui
perjanjian, sehingga seolah-olah terjadi monopoli murni.60
Alat bukti yang digunakan untuk membuktikan bahwa adanya pelanggaran terhadap
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu bukti langsung dan tidak langsung.61 Bukti
langsung yaitu berupa fax, rekaman percapakan, surat elektronik, komunikasi video, dan bukti
nyata lainnya yang terdapat kesepakatan. Sedangkan bukti tidak langsung berupa bukti
komunikasi namun tidak secara langsung menyatakan kesepakatan dan bukti ekonomi. Bukti
ekonomi bertujuan untuk mengesampingkan kemungkinan terjadinya perilaku penetapan harga
yang bersifat independen.
60 Ibid., h. 98. 61 www.kppu.go.id/docs/Pedoman/draf%20pedoman%20pasal%205.010611.pdf, h. 16, diakses tanggal 9
Desember 2018, pukul 22.44 WIB.
3.2. Jenis Penetapan Harga
Penetapan harga (price fixing) bisa terjadi secara vertikal maupun horizontal yang
dianggap sebagai hambatan perdagangan, karena berakibat tidak baik terhadap persaingan
harga. Jika penetapan harga dilakukan, kebebasan untuk menentukan harga secara bebas
menjadi berkurang.62 Perjanjian harga akan menjadikan harga lebih tinggi dibandingkan harga
pasar, tindakan tersebut akan merugikan konsumen.
Penetapan harga secara vertikal adalah penetapan harga yang terjadi apabila suatu
perusahaan berada dalam tahap produksi tertentu, menetapkan harga produk untuk dijual oleh
perusahaan lain yang berada dalam tahap produksi yang lebih rendah. Sedangkan penetapan
harga secara horizontal adalah penetapan harga yang terjadi apabila lebih dari satu perusahaan
berada dalam tahap produksi yang sama sehingga mereka merupakan pesaing, menentukan
harga jual produk mereka pada tingkat yang sama.63 Perjanjian tersebut dapat dilakukan dengan
tertulis maupun lisan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (KUHPer)
mengenai syarat sahnya perjanjian :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Penetapan harga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Pasal 5 yang
isinya : “(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. (2) Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi : a.
62 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op. cit., h. 43. 63 Arie Siswanto, Op. cit., h. 40.
Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. Suatu perjanjian yang
didasarkan undang-undang yang berlaku.”
3.3. Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Huruf (f), KPPU bertugas untuk membuat pedoman
berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Supaya dapat memberikan gambaran
yang lebih jelas mengenai ketentuan dalam undang-undang tersebut. Tujuan Pedoman Pasal 5
tentang penetapan harga yaitu :
1. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang larangan penetapan harga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
2. Memberikan dasar pemahaman yang sama dan arah yang jelas dalam pelaksanaan Pasal 5.
3. Memberikan landasan bagi semua pihak untuk berperilaku tidak melanggar Pasal 5.
4. Memberikan pemahaman tentang pendekatan yang dilakukan oleh KPPU dalam
melakukan penilaian atas perjanjian penetapan harga.
Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 meliputi beberapa unsur yaitu
unsur pelaku usaha, unsur perjanjian, unsur pelaku usaha pesaing, unsur harga pasar, unsur
barang, unsur jasa, unsur konsumen, unsur pasar bersangkutan, dan unsur usaha patungan.
1. Unsur pelaku usaha
Sesuai Pasal 1 Angka 5, pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
2. Unsur perjanjian
Sesuai Pasal 1 Angka 7, perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
3. Unsur pelaku usaha pesaing
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama.
4. Unsur harga pasar
Harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang dan jasa sesuai
kesepakatan antara para pihak dipasar bersangkutan.
5. Unsur barang
Sesuai Pasal 1 Angka 16, barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
6. Unsur jasa
Sesuai Pasal 1 Angka 17, jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku
usaha.
7. Unsur konsumen
Sesuai Pasal 1 Angka 15, konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang
dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
8. Unsur pasar bersangkutan
Sesuai Pasal 1 Angka 10, pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan
jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa
yang sama atau sejenis atau subtitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.
9. Unsur usaha patungan
Perusahaan patungan adalah sebuah perusahaan yang dibentuk melalui perjanjian oleh dua
pihak atau lebih untuk menjalankan aktivitas ekonomi bersama, dimana para pihak
bersepakat untuk membagi keuntungan dan menanggung kerugian yang dibagi secara
proporsional berdasarkan perjanjian tersebut.
Penetapan harga (price fixing) antara perusahaan yang sedang bersaing di pasar
merupakan salah satu dari bentuk kolusi. Kolusi merujuk pada situasi dimana perusahaan-
perusahaan yang ada di pasar melakukan koordinasi atas tindakan-tindakan mereka yang
bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi.64 Koordinasi di dalam kolusi
tersebut digunakan untuk menyepakati beberapa hal, diantaranya:
1. Kesepakatan penetapan harga tertentu yang lebih tinggi dari harga yang diperoleh melalui
mekanisme persaingan;
2. Kesepakatan penetapan kuantitas tertentu yang lebih rendah dari kuantitas dalam situasi
persaingan;
3. Kesepakatan pembagian pasar.
3.4. Kasus Penetapan Harga yang Terjadi di Indonesia
Sebelum KPPU memeriksa dan memutus perkara antara PT Yamaha Indonesia Motor
Manufacturing dan PT Astra Honda Motor, sebelumnya KPPU juga sudah memeriksa dan
memutuskan beberapa kasus penetapan harga,65 antara lain :
a) Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC
Putusan perkara No.05/KPPU-I/2003 KPPU menduga bahwa Dewan Pimpinan Daerah
Organda wilayah Jakarta melakukan penetapan tarif Bus Kota Patas AC sebesar Rp.
64 www.kppu.go.id/docs/Pedoman/draf%20pedoman%20pasal%205.010611.pdf, h. 4-11, diakses tanggal
9 Desember 2018, pukul 22.59 WIB. 65 http://bplawyers.co.id. Posted 24 Februari 2017 (diakses pada 20 November 2018, pukul 11.00).
3.300,00 (tiga ribu tiga ratus rupiah). Tindakan tersebut diawali dengan mengajukan
permohonan kepada Gubernur DKI Jakarta. Setelah melalui proses pembahasan akhirnya
Pemerintah Daerah menyetujui kenaikan tarif dari Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus
rupiah) menjadi Rp. 3.300 (tiga ribu tiga ratus rupiah) per penumpang, melalui surat
Nomor:2640/-1.811.33 pada tanggal 4 September 2001 tentang Penyesuaian tarif
angkutan. Berdasarkan surat Gubernur ini, Organda menerbitkan surat keputusan Nomor:
SKEP-115/DPD/IX/2001 pada tanggal 5 September 2001 tentang Penyesuaian Tarif
Angkutan Umum Bus Kota Patas AC wilayah Jakarta.
b) Tarif dan Kuota Pelayaran Jalur Surabaya-Makasar
Perkara No.03/KPPU-I/2003 berawal dari adanya kesepakatan yang dilatar belakangi
“banting-bantingan” harga antara perusahaan pelayaran yang melayani jalur Surabaya-
Makasar dibuat pada tanggal 23 Desember 2002 ditandatangani oleh 7 (tujuh) perusahaan
pelayaran. Perjanjian itu juga mengatur mekanisme denda jika terjadi kelebihan kuota,
apabila perusahaan tidak membayar denda maka tidak akan mendapatkan pelayanan
fasilitas dari Pelindo IV cabang Makasar.
c) Penetapan Layanan SMS (Short Message Service)
Putusan perkara No.26/KPPU-L/2007 ini bermula dari laporan adanya penetapan harga
SMS off-net. Pelanggaran dilakukan pada periode 2004 sampai dengan 1 April 2008.
KPPU menemukan bukti adanya klausula perjanjian kerja sama (PKS) Interkoneksi yang
menyatakan harga layanan SMS off-net berkisar pada Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh
rupiah) – Rp. 350,00 (tiga ratus lima puluh rupiah). Dampaknya kerugian konsumen
setidak-tidaknya sebesar Rp. 2,8 Triliun. Dalam putusan KPPU, enam operator
telekomunikasi dijatuhi denda berkisar Rp. 4 Miliar sampai dengan Rp. 25 Miliar.
d) Penyediaan Jasa Survei Gula Impor
Berdasarkan Putusan perkara No.08/KPPU-I/2005, dari hasil pemeriksaan KPPU terbukti
telah terjadi kesepakatan kerja tentang pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis
impor gula dengan MOU-01/SP-DRU/IX/2004, No.805.1/DRU-IX/SPMM/ 2004 pada
September 2004.
e) Penjualan Liquefied Petroleum Gas (LPG) wilayah Bandung dan Sumedang
Putusan perkara No.14/KPPU-I/2014 terkait penjualan Liquefied Petroleum Gas
(LPG) di wilayah Bandung dan Sumedang yang dilakukan oleh tujuh belas
perusahaan yang bergerak di bisnis LPG. Mereka terbukti telah membuat
perjanjian secara tertulis dalam bentuk Surat Kesepakatan Harga tanggal 21 Juni
2011, yakni harga yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan untuk produk
Liquefied Petroleum Gas (LPG) tabung ukuran 12 Kg di wilayah Bandung dan
Sumedang pada kurun waktu tahun 2011 sampai dengan 2013.
f) Sepeda Motor Skuter Matic 110 – 125 CC
Pada 2015 KPPU menduga PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra
Honda Motor melakukan penetapan harga pada sepeda motor jenis skuter matik kelas 110
– 125 CC. Kemudian KPPU memeriksa dan memutuskan bahwa dugaan penetapan harga
tersebut benar terjadi dan dengan denda Rp. 25 Miliar kepada PT Yamaha Indonesia Motor
Manufacturing dan Rp. 22,5 Miliar kepada PT Astra Honda Motor.
Tabel I. Beberapa Kasus Penetapan Harga (Price Fixing) yang Terjadi di Indonesia
No. Perkara No.
putusan Pihak Terkait Uraian Singkat
a. Tarif
Angkutan
Umum Bus
Kota Patas
AC
No.05/
KPPU-
I/2003
1. PT Steady Safe, Tbk
2. PT Mayasari Bakti
3. Perum PPD
4. PT Bianglala Metropolitan
5. PT Pahala Kencana
6. PT AJA Putra
Organda wilayah Jakarta
mengajukan permohonan
kepada Gubernur DKI
untuk menaikkan tarif dari
Rp. 2.500 menjadi Rp.
3.000. dan disetujui.
b. Tarif dan
Kuota
Pelayaran
Jalur
Surabaya-
Makasar
No.03/
KPPU-
I/2003
1. PT Meratus
2. PT Temas
3. PT Djakarta Lloyd
4. PT Jayakusuma
5. PT Samudera Indonesia
6. PT Tanto
7. PT Lumintu
Berawal dari adanya
kesepakatan “banting-
bantingan” harga antara
perusahaan pelayaran jalur
Surabaya-Makasar yang
ditandatangani oleh tujuh
perusahaan pelayaran.
c.
Penetapan
Layanan
SMS (Short
Message
Service)
No.26/
KPPU-
L/2007
1. PT Exelkomindo Pratama
2. PT Telekomunikasi Seluler
3. PT Indosat
4. PT Telkom
5. PT Huchison CP
Telecomunication
6. PT Bakrie Telecom
7. PT Mobile 8 Telecom
8. PT Smart Telecom
9. PT Natrindo Telepon Seluler
Bermula dari laporan
adanya penetapan harga
SMS off-net. Dan KPPU
menemukan bukti adanya
klausula perjanjian kerja
sama yang menyatakan
harga layanan SMS off-net
berkisar antara Rp. 250 –
Rp. 350.
d. Penyediaan
Jasa Survei
Gula Impor
No.08/
KPPU-
I/2005
1. PT Superintending Company
of Indonesia (Persero)
2. PT Surveyor Indonesia
(Persero)
Adanya kesepakatan kerja
tentang pelaksanaan
verifikasi teknis impor
gula pada September 2004.
e. Penjualan
Liquefied
Petroleum
Gas (LPG)
wilayah
Bandung
dan
Sumedang
No.14/
KPPU-
I/2014
1. PT Limas Raga Inti
2. PT Surya Buana Rahayu
3. PT Sumber Kerang Indah
4. PT Adigas Jaya Pratama
5. PT Tirta Gangga Tama
6. PT Arias Mas
7. Pusat Koperasi Pegawai
Negeri
17 perusahaan yang terkait
penjualan Liquefied
Petroleum Gas (LPG) di
wilayah Bandung dan
Sumedang. Mereka
membuat perjanjian
tertulis dalam bentuk Surat
8. KOPKAR PGN
9. PT Kurnia Sari Rahayu
10. PT Sinarbakti Abadigas
11. PT Baragas Nasional
12. PT INAHOVTRACO
13. PT Lembang Abadi Indah
14. PT Sawitto Indah Berkah
15. PT Guna Bumi Utama
16. PT Griya Putra Anugrah
17. PT Api Gas Nasional
Kesepakatan Harga
tanggal 21 Juni 2011.
Dari perkara-perkara price fixing sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa setelah adanya Undang-Undang Anti Monopoli penetapan harga masih saja
banyak terjadi, karena perkara-perkara tersebut terjadi pada tahun 2000-an walaupun
sebelumnya price fixing sudah banyak terjadi di Indonesia. Sehingga pada tahun 1999
dibentuklah Undang-Undang Anti Monopoli supaya price fixing yang merupakan bagian dari
persaingan usaha tidak sehat dapat diatasi dan persaingan usaha dapat lebih efisien. Namun,
dalam kenyataannya persaingan usaha tidak sehat masih saja terjadi, seperti perkara antara PT
Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor yang baru terjadi pada
tahun 2014.
Menurut penulis jika disimpulkan dari contoh-contoh diatas kata kunci terjadinya
penetapan harga adalah adanya kesepakatan antara pelaku usaha dan pelaku usaha pesaing
untuk melakukan tujuan yang sama. Proses terjadinya kesepakatan terjadi melalui tiga hal yaitu
penawaran, penerimaan, dan kesepakatan. Dengan adanya kerjasama tersebut maka perilaku
persaingan menjadi hilang. Hal yang terjadi dari lima perkara diatas adalah sama-sama
menaikkan harga jual supaya mendapatkan keuntungan yang lebih besar, sama halnya dengan
PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor.
Adanya kesepakatan yang dilakukan pelaku usaha dan pelaku usaha pesaing tersebut
terjadi melalui perjanjian, namun ada dua jenis perjanjian yaitu tertulis dan tidak tertulis atau
lisan. Dalam penyelidikan perkara penetapan harga, perjanjian tidak tertulis akan mempersulit
proses pembuktian. Karena tujuannya adalah supaya pihak penyidik tidak mengetahui adanya
bukti penetapan harga. Akibat-akibat dari tindakan-tindakan tersebut adalah kerugian dari
pihak konsumen. Karena harga yang seragam tentu akan menghilangkan persaingan dan
konsumen harus membayar barang dan/atau jasa dengan harga yang relatif tinggi.
4. Pendekatan Hukum Persaingan Usaha
Pendekatan hukum persaingan usaha yaitu per se illegal dan rule of reason telah lama
diterapkan. Awal mulanya, pendekatan ini tercantum dalam Sherman Act 1980 yaitu Undang-
Undang Antimonopoli Amerika Serikat. Pada 1899, per se illegal diterapkan pertama kali oleh
Mahkamah Agung Amerika Serikat. Dan pada tahun 1911, rule of reason diterapkan pertama
kali dalam putusan beberapa kasus antitrust.
Tabel II. Sifat Pelarangan Tindakan Anti Monopoli dan Persaingan Curang.66
No. Pendekatan Jenis Perjanjian Pasal
1. Per Se Penetapan harga
Perjanjian tertutup
Persekongkolan
Posisi dominan
Jabatan rangkap
5 ayat (1), 6
15
24
25
26
2. Rule of Reason Oligopoli
Pembagian wilayah
Kartel
Trust
Oligopsoni
Monopoli
Monopsoni
Penguasaan pasar
Predatory pricing
Jabatan rangkap
Penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan
4
9
11
12
13
17
18
19
20
26
28
66 Mustafa Kamal Rokan, Op. cit., h. 80.
4.1. Pendekatan Per Se
Pendekatan per se atau disebut juga per se illegal, per se rules, per se doctrine, dan juga
per se violation.67 Jenis perilaku yang digolongkan sebagai per se illegal adalah perilaku dalam
dunia usaha yang bersifat anti persaingan dan hampir tidak pernah membawa manfaat sosial.
Larangan-larangan yang bersifat per se illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas,
dan mutlak dalam rangka memberi kepastian bagi para pelaku usaha. Larangan ini bersifat
tegas dan mutlak karena disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan
sehingga tidak perlu lagi melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut, karena tindakan
yang dilakukan bertentangan dengan hukum.68
Perdekatan per se illegal harus memenuhi dua syarat, yaitu : pertama, harus ditujukan
lebih kepada “pelaku bisnis” daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum
dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya mengenai akibat dan hal-hal
melingkupinya. Hal ini adil jika perbuatan ilegal tersebut dilakukan sengaja oleh perusahaan.
Kedua, adanya identifikasi secara cepat dan mudah mengenai praktik atau batasan perilaku
yang terlarang (baik di pasar maupun dalam proses pengadilan).69
Pendekatan per se illegal dalam setiap tempat tidaklah sama, hal ini karena perbedaan
dalam menimbang kepatutan, keadilan dan kepastian dalam hukum, serta melihat manfaat bagi
masyarakat. Kelebihan dari pendekatan per se illegal70 adalah sebagai berikut :
67 Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, Definition of the Term and Phrase and Phrase of
American and English Yurisprudence, Ancient and Modern, West Publishing CO, St. Minnesota, 1990, dan
Daniel V Davidson, et all, Comprehensive Business Law, Principles and Cases, Kent Publishing Company, 1987. 68 Mustafa Kamal Rokan, Op. cit., h. 72. 69 A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pascasarjana UI,
Jakarta, 2003, h. 92-93. 70 Mustafa Kamal Rokan, Op. cit., h. 74.
a. Terjadinya kepastian hukum terhadap persoalan hukum antimonopoli. Ketika penetapan
harga (price fixing), boycott, horizontal market division, dan tying arrangement dilakukan
oleh pelaku usaha maka hakim dapat menggunakan pendekatan ini secara langsung.
b. Jika perbuatan yang dilakukan hampir pasti merusak dan merugikan persaingan maka tidak
perlu melakukan pembuktian lagi, karena memakan waktu dan juga biaya.
c. Lebih memudahkan hakim memutuskan perkara persaingan usaha.
Disamping adanya kelebihan-kelebihan tersebut pendekatan per se illegal juga
mempunyai kekurangan, yaitu jika pendekatan per se illegal diterapkan secara berlebihan maka
dapat menjangkau perbuatan yang mungkin tidak merugikan atau bahkan mendorong
persaingan menjadi salah secara hukum. Sebab, pendekatan ini tidak selalu akurat
menghasilkan pandangan apakah suatu tindakan pelaku usaha benar tidak efisien dan
merugikan konsumen.71
4.2. Pendekatan Rule of Law
Rule of reason adalah pendekatan yang diterapkan terhadap tindakan-tindakan yang tidak
bisa secara mudah dilihat ilegalitasnya tanpa menganalisis akibat tindakan itu terhadap kondisi
persaingan. Dalam rule of reason pengadilan disyaratkan untuk mempertimbangkan faktor-
faktor seperti latar belakang dilakukannya tindakan, alasan bisnis di balik tindakan itu, serta
posisi si pelaku tindakan dalam industri tertentu. Setelah mempertimbangkan faktor tersebut
barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat ilegal atau tidak.72
Asril Sitompul mendefinisikan rule of reason adalah suatu pendekatan dengan
menggunakan pertimbangan akan akibat suatu perbuatan, apakah mengakibatkan praktek
monopoli dan akan menimbulkan kerugian dipihak lain. Sedangkan Susanti mendefinisikan
71 Ibid., h. 74. 72 Roger E. Meiners, Op. cit., h. 403.
rule of reason adalah pertimbangan yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang
dituduhkan melanggar hukum persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat
yang menghambat persaingan, atau kerugian nyata terhadap persaingan. Dari dua definisi
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa rule of reason merupakan (a) suatu pertimbangan
hakim untuk menentukan apakah suatu perbuatan tertentu melanggar hukum persaingan atau
tidak, (b) prinsip yang akan digunakan untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau
tidak didasarkan pada akibat yang muncul dari perbuatan yaitu menghambat persaingan atau
melahirkan kerugian pada pelaku usaha lain.73
Pendekatan ini memungkinkan pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap
Undang-Undang karena mempertimbangkan faktor-faktor dari tindakan yang dilakukan pelaku
usaha.
Gambar I. perbedaan atara pendekatan per se illegal dan rule of reason74
Per Se Illegal
TINDAKAN TERBUKTI ILEGAL
Rule of Reason
TINDAKAN TERBUKTI FAKTOR-FAKTOR LAIN
UNREASONABLE REASONABLE
73 Yakub Adi Krisanto, Prinsip Rule of reason Dan Per Se Rule Dalam Hukum Persaingan Indonesia,
http://yakubadikrisanto.wordpress.com/2008/06/03/prinsip-rule-of-reason-dan-per-se-illegal, dipublikasikan
tanggal 3 Juni 2008, diakses tanggal 27 November 2018, pukul 22.11 WIB. 74 Arie Siswanto, Op. cit., h. 66.
ILEGAL LEGAL
4.3. Pendekatan dalam Penetapan Harga (Price Fixing)
Secara umum, hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di berbagai negara
menetapkan perbuatan yang termasuk dalam per se illegal dalam dua hal, yakni75 :
1. Penetapan harga secara horizontal (horizontal price fixing)
Penetapan harga secara horizontal adalah penetapan harga yang dilakukan pelaku usaha
yang memproduksi atau menjual produk atau jasa yang sama baik dalam menaikkan harga,
mengatur, mematok harga dari barang-barang atau jasa. Umumnya, penjual yang
melakukan perjanjian penetapan harga, meskipun pembeli juga dapat menetapkan harga
dari barang dan/atau jasa yang dibeli.
2. Perjanjian yang bersifat eksklusif atau memboikot pihak ketiga (group boycotts or
exclusionary crovisions)
Pemboikotan terjadi jika dua atau lebih pelaku usaha dari suatu bagian tertentu
mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak menyediakan barang
dan/atau jasanya kepada pelaku usaha tertentu.
Pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menggunakan pendekatan per se illegal yang
merupakan pendekatan yang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak
kegiatan para pesaing tersebut, karena pada dasarnya memang menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat.76
75 Hukum Persaingan Usaha Amerika Serikat yang validitasnya dapat bertentangan dengan Pasal 1
Sherman Act, atau Pasal 7 Clayton Act. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya, Elips, Jakarta, 1999,
h. 72-73. 76 Rilda Murniati, Hukum Persaingan Usaha: Kajian Teoritis Menciptakan Persaingan Sehat dalam
Usaha, Penerbit Justice Publisher, Lampung, 2013, h. 78.
Perdekatan per se illegal harus memenuhi dua syarat, yaitu : pertama, harus ditujukan
lebih kepada pelaku bisnis daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan
tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya mengenai akibat dan hal-hal melingkupinya.
Hal ini adil jika perbuatan ilegal tersebut dilakukan sengaja oleh perusahaan. Kedua, adanya
identifikasi secara cepat dan mudah mengenai praktik atau batasan perilaku yang terlarang
(baik di pasar maupun dalam proses pengadilan).77
Larangan per se illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas, dan mutlak. Per se
illegal merupakan sebuah pendekatan yang diterapkan dalam suatu perjanjian atau kegiatan
usaha dilarang karena dampak dari perjanjian tersebut dianggap pasti mengurangi atau
menghilangkan persaingan. Sedangkan rule of reason diterapkan lebih kepada tindakan-
tindakan yang berpotensi memiliki dampak negatif terhadap persaingan.
77 A.M. Tri Anggraini, Op. cit., h. 92-93.