1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada kodratnya adalah suatu makhluk sosial yang
kodratnya saling berhubungan dan berinteraksi satu dengan lain.
Hubungan ini yang kemudian mendasari timbulnya perikatan. Istilah
perikatan sendiri merupakan terjemahan dari istilah verbintennis yang
dapat didefinisikan hal yang mengikat yang menurut kenyataannya dapat
berupa perbuatan menimbulkan hak pada satu pihak dan kewajiban pada
pihak lain.1
Perikatan adalah isi dari perjanjian, yang memiliki sifat
terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan beberapa
syarat yang disetujui oleh kedua belah pihak yaitu dengan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang,
hal ini mengandung makna Buku III KUHP Perdata dapat diikuti oleh para
pihak atau dapat juga para pihak menentukan lain/menyimpanginya
dengan beberapa syarat namun hanya yang bersifat pelengkap saja yang
dapat disimpanginya, karena didalam ketentuan umum ada yang bersifat
pelengkap dan pemaksa (yang bersifat pemaksa, misalnya Pasal 1320
KUHP Perdata).2
Dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata diatur dan didefinisikan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan
1 Abasslessy, https://abaslessy.wordpress.com/2012/10/26/hukum-perikatan-dan-perjanjian,
diakses tanggal 9 Desember 2015 2 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, , 2009),
Halaman 39
2
baik karena persetujuan, baik karena undang - undang”.3 Mengacu pada
Undang - Undang diatas termuat jelas bahwa setiap kewajiban perdata
dapat terjadi karena kehendak para pihak yang sengaja melakukan
perikatan maupun karena diatur oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Adapun sumber – sumber perikatan ada 2 (dua) yaitu :
1. Bersumber dari Undang – Undang
Perikatan yang lahir dari undang-undang yaitu perikatan yang lahir
dari suatu keadaan hukum yang tidak dikehendaki atau direncanakan
oleh para pihak atau dari suatu peristiwa hukum. Dari perbuatan
hukum atau peristiwa hukum tersebut oleh undang-undang ditentukan
lahir suatu perikatan.
2. Bersumber dari Perjanjian
Perikatan yang lahir dari perjanjian yaitu perikatan yang lahir atas
kehendak dan direncanakan para pihak untuk saling mengikatkan diri
dalam suatu perikatan.
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan
definisi tentang perjanjian sebagai : “perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”.4
Dapat disimpulkan bahwa perjanjian
menyebabkan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang
lain.
3 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, pasal 1233 4 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, pasal 1313
3
Menurut R. Subekti pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal, yang menimbulkan suatu
hubungan hukum yang dinamakan perikatan antara dua orang yang
membuatnya, dan terbentuknya berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis5.
Kesanggupan yang terkandung dalam pengertian diatas diatur secara lebih
terperinci syarat-syaratnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sebagai suatu kualifikasi atas
dilaksanakannya suatu perjanjian yang kemudian menimbulkan perikatan.
Syarat – syarat tersebut adalah sebagai berikut 6:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal
Syarat – syarat tersebut diatas terbagi atas 2 (dua) unsur pokok :
1) Syarat yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian
( unsur subyektif).
2) Syarat yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur
obyektif).
5 Subekti (3), Hukum Perjanjian, Cetakan Keenam, Jakarta : Intermasa, 1979, Halaman 1.
6 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, pasal 1320
4
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari
pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan
perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok
persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan kausa dari obyek
yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah
sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum7
Suatu pelaksanaan perjanjian peralihan hak/ jual beli harus
memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang
sebagaimana tersebut diatas. Kekurangan dalam hal syarat-syarat tersebut
dapat mengakibatkan peralihan hak dimaksud menjadi batal demi hukum
atau dapat dibatalkan. Suatu peralihan hak dapat dikualifikasikan batal
demi hukum jika syarat-syarat objektif dari perjanjian itu tidak terpenuhi.
Sedangkan peralihan hak dapat dibatalkan jika syarat-syarat subjektif dari
perjanjian itu tidak terpenuhi. Apabila perjanjian jual beli sebagai suatu
peralihan hak dinyatakan batal demi hukum, akta itu dianggap tidak
pernah ada atau kembali pada keadaan semula. Untuk suatu Perjanjian/
peralihan hak yang dapat dibatalkan maka sejak semula akta itu dianggap
ada tetapi kemudian disepakati para pihak atau diputus oleh pengadilan
atas permintaan para pihak sehubungan dengan tidak terpenuhinya syarat-
syarat subjektif dari perjanjian itu sehingga peralihan hak tersebut
dibatalkan.
Peralihan hak sendiri adalah suatu perbuatan hukum yang
bertujuan memindahkan atau mengalihkan hak dari satu pihak ke pihak
7 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2003, Halaman 94.
5
lain. Dengan perbuatan dialihkannya suatu hak menunjukkan adanya suatu
perbuatan hukum yang disengaja dilakukan oleh satu pihak dengan
maksud memindahkan hak miliknya kepada orang lain. Perpindahan hak
milik tersebut disepakati oleh para pihak yang melakukan peralihan hak
tersebut.
Dalam kaitannya dengan suatu peralihan hak atas tanah, perlu
ditelaah kembali bahwa dasar dari suatu peralihan hak atas tanah adalah
kepemilikan atas tanah yang dialihkan melalui suatu perbuatan hukum.
Untuk sebagian orang dilakukan pula pendaftaran hak atas tanah. Tujuan
diadakannya pendaftaran hak atas tanah adalah untuk menjamin kepastian
hukum dan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang hak.
Di lain hal, sebagian orang yang biasanya memiliki tanah adat melakukan
pendaftaran hak atas tanah hanya untuk menentukan siapa yang wajib
membayar pajak atas tanah.
Untuk lebih mendalami pembahasan peralihan hak atas tanah,
maka perlu ditelaah lebih lanjut mulai dari pengertian tanah itu sendiri.
Sebutan tanah dalam bahasa Indonesia digunakan dalam berbagai tujuan
dan makna. Sehingga dalam penggunaannya diperlukan suatu batasan –
batasan agar dapat digunakan dalam konteks yang tepat.
Menurut Boedi Harsono, tanah adalah permukaan bumi, yang
dalam penggunannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada
dibawahnya dan sebagian ruang yang ada diatasnya.8
8 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan, Edisi
Revisi 2007, Halaman 265
6
Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), tanah
adalah9:
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali
2. Keadaan bumi disuatu tempat
3. Permukaan bumi yang diberi batas
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal,
dsb).
Mengenai perbuatan hukum yang mendasari peralihan hak atas
tanah salah satunya diperoleh melalui Jual Beli. Ada dua hal penting yang
perlu diperhatikan dalam jual beli tanah, yaitu mengenai subjek dan objek
jual beli tanah. Mengenai subjek jual beli tanah adalah para pihak yang
melakukan jual beli yaitu penjual dan pembeli. Perlu diperhatikan bahwa
penjual harus mempunyai dasar kepemilikan hak atas tanah baik itu milik
perorangan atau keluarga.
Sedangkan mengenai objek jual beli tanah adalah hak kepemilikan
atas tanah yang akan dijual kepada pembeli. Didalam jual beli tanah,
tujuan membeli hak atas tanah adalah supaya dapat secara sah menguasai
dan mempergunakan tanah tidak hanya secara yuridis namun secara
faktual, sehingga secara hukum yang diperjualbelikan adalah hak atas
tanah serta penguasaannya secara fisik.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menurut Undang – Undang
ada 4 syarat mengenai sahnya suatu perjanjian dalam konteks ini
mengenai syarat sah jual beli hak atas tanah yaitu:
9 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, Halaman 234
7
A. Syarat Sepakat Yang Mengikat Dirinya
Dalam syarat ini berarti kedua pihak sama-sama sepakat untuk saling
mengikatkan diri mengadakan suatu perjanjian jual beli yang akan
dituangkan dalam akta Pejabat khusus yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT).
B. Syarat Cakap
Untuk mengadakan suatu perjanjian perbuatan hukum dalam hal ini
perjanjian jual beli hak atas tanah, maka yang berhak adalah para pihak
yang sudah memenuhi syarat dewasa menurut hukum, sehat pikiran dan
tidak berada dibawah pengampuan, dan bukan orang-orang yang secara
jelas dikualifikasikan tidak cakap hukum sesuai Undang – Undang yang
berlaku.
C. Syarat Hal Tertentu
Landasan dibuatnya suatu perjanjian tentu salah satunya berdasarkan
objek perjanjian. Sehingga adanya objek perjanjian yang riil dan secara
hukum jelas bukti – bukti keberadaan objek sebagaimana dimaksud.
D. Syarat Sebab Yang Halal
Didalam pengadaan suatu perjanjian, isi dan tujuan dalam perjanjian itu
harus jelas dan berdasarkan atas keinginan kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian dengan itikad baik dan tujuan yang tidak
menyalahi Undang- Undang.10
Berangkat dari syarat – syarat tersebut, dalam tahapan proses jual
beli tanah baik dengan bangunan seperti rumah, atau jual beli apartemen
10
https://denyelfaruq.wordpress.com/peralihan-hak-atas-tanah-melalui-jual-beli/
8
ataupun property lainnya sering kita mendengar istilah Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Akta Jual Beli (AJB). Seluruh istilah
diatas adalah proses dan tata cara peralihan hak atas tanah dan bangunan.
Perbedaan masing-masing istilah tersebut adalah terletak pada
proses,bentuk perbuatan hukumnya dan bagaimana konsekuensi terhadap
para pihak baik penjual maupun pembeli.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dibuat untuk melakukan
pengikatan sementara sebelum pembuatan Akta Jual Beli resmi di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Secara umum isi Perjanjian
Pengikatan Jual Beli adalah kesepakatan penjual untuk mengikatkan diri
kepada pembeli atas suatu perbuatan jual beli dengan disertai pemberian
tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan. Umumnya Perjanjian
Pengikatan Jual Beli dibuat di bawah tangan karena suatu sebab tertentu
seperti pembayaran harga belum lunas atau belum dibayarkannya pajak -
pajak. Di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli memuat perjanjian-
perjanjian, seperti besarnya harga, kapan waktu pelunasan dan dibuatnya
Akta Jual Beli.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dapat dibuat apabila harga jual beli
sudah dibayarkan lunas oleh pembeli kepada penjual tetapi belum bisa
dilaksanakan Akta Jual Beli, karena antara lain pajak-pajak jual beli belum
dibayarkan, sertifikat masih dalam pengurusan dan lain-lain. Dalam pasal-
klausul di Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut dicantumkan kapan
Akta Jual Beli akan dilaksanakan dan apa saja persyaratannya.
9
Sedangkan pengertian Akta Jual Beli adalah akta otentik yang
dibuat oleh PPAT untuk peralihan hak atas tanah dan bangunan.
Pembuatan Akta Jual Beli sudah diatur sedemikian rupa melalui beberapa
Peraturan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 tahun 1997
tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Pembuatan Akta Jual Beli dilakukan setelah seluruh pajak-pajak
yang timbul karena jual beli sudah dibayarkan oleh para pihak sesuai
dengan kewajibannya masing-masing. Kemudian langkah selanjutnya
adalah mengajukan pendaftaran peralihan hak ke kantor pertanahan
setempat atau yang lebih dikenal dengan istilah balik nama. Dengan
selesainya balik nama sertifikat maka hak yang melekat pada tanah dan
bangunan sudah berpindah dari penjual kepada pembeli.
Sejak berlakunya Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui beberapa
perbuatan hukum seperti jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik. Menurut Pasal 37 ayat 1
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dan
hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah,
pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan
10
jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.11
Peralihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud diatas hanya dapat
dibuktikan dengan akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) yang akan menjadi dasar pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 95 ayat 1
huruf a Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997.
Perbuatan hukum yang dilakukan dihadapan PPAT akan
menghasilkan suatu akta otentik yang akan dijadikan sebagai alat bukti
bagi para pihak yang melakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak
atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan
sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum dimaksud.
Selain dibuat dihadapan pejabat umum, untuk dapat memperoleh
otentisitasnya maka akta yang bersangkutan harus dibuat dalam bentuk
yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang dan pejabat umum
dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk
membuat akta itu, ditempat dimana akta itu dibuatnya.12
Dalam hal proses jual beli, dasar perolehan hak atas suatu tanah
pada khususnya harus sesuai dengan peraturan perundang – undangan
yang berlaku. Secara spesifik dalam PP Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah diatur bahwa mengenai penerbitan sertifikat tentu
11
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, pasal 37 ayat 1 12
http://myrizal-76.blogspot.co.id/2011/08/peran-ppat-dalam-peralihan-hak-atas.html, diakses
tanggal 10 Januari 2016
11
harus didasarkan pada penyajian data fisik dan data yuridis yang valid dan
lengkap.
Penulis disini akan membahas dan mengkaji mengenai peralihan
hak atas tanah melalui proses Akta Jual Beli yang dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
yang sebelumnya telah dibatalkan.
B. PERMASALAHAN
Rumusan Masalah :
1. Apa akibat hukum atas batalnya akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) yang dilakukan dihadapan Notaris?
2. Bagaimana implikasi dan akibat hukum terhadap Akta Jual Beli yang
dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, berdasarkan Akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang telah dibatalkan?
C. METODE PENELITIAN
Penelitian atas judul: “KEKUATAN HUKUM AKTA
PEMBATALAN ATAS PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
( PPJB ) TANAH YANG DILAKUKAN DIHADAPAN NOTARIS”
menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu pendekatan yang
dilakukan dengan mengadakan penelusuran-penelusuran asas-asas hukum
umum untuk kemudian diinterpretasikan dari segi aturan hukum.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang
dimaksud untuk mempertegas rumusan masalah serta untuk melihat
gambaran mengenai jawaban atas permasalahan yang diajukan.
12
Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah data sekunder.13
Data sekunder tersebut diperoleh
dari studi kepustakaan yaitu dari data- data yang tersedia :
a) Bahan Hukum Primer yaitu bahan–bahan hukum yang mengikat, dan
terdiri dari: Peraturan Perundang-Undangan, seperti UU dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Keputusan Presiden dan
peraturan yang setaraf, Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf,
Peraturan-Peraturan Daerah, Bahan Hukum yang tidak dikodifikasikan,
Yurisprudensi, Traktat, Bahan hukum dari zaman penjajahan yang
hingga kini masih berlaku.
b) Bahan Hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Misalnya rancangan
undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, studi
kepustakaan dilakukan dengan mengacu pada buku-buku, dan peraturan
perundang-undangan dari perpustakaan.
Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif, yaitu data
kepustakaan. Keseluruhan data hasil penelitian akan dikemukakan dan
akhirnya yang akan menjawab pokok permasalahan dari penelitian ini.
13Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum ( Jakarta: Universitas Indonesia, 2005 ), hal.
51.
13
D. TUJUAN DAN SISTEMATIKA PENULISAN
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui implikasi hukum pembuatan akta Pembatalan oleh
Notaris
2. Untuk menganalisa sejauh mana akibat hukum atas peralihan hak yang
berdasar pada proses peralihan hak yang cacat hukum.
E. Sistematika Penulisan
BAB I
Pendahuluan
Dalam Bab ini diuraikan mengenai latar belakang dari masalah yang
menjadi pokok penulisan dalam tesis ini. Pembahasan dibatasi agar tidak
menyimpang dari pokok pembahasannya. Dalam bab ini juga diuraikan
mengenai latar belakang, pokok permasalahan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II
Landasan Teori
Uraian Umum dan analisa Tentang “KEKUATAN HUKUM AKTA
PEMBATALAN ATAS PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
(PPJB) TANAH YANG DILAKUKAN DIHADAPAN NOTARIS
Dalam Bab ini penulis akan membahas tentang tinjauan umum Peralihan
hak atas tanah, Proses peralihan hak dengan jual beli yang benar,
14
ketentuan mengenai syarat – syarat Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan
Akta Jual Beli.
BAB III
Metodologi Penelitian
Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai metodologi baik dalam analisis
data dan metodologi dalam hal interpretasi hasil kajian.
BAB IV
Pembahasan
Penulis akan membahas secara mendalam mengenai landasan teori
dikaitkan dengan analisa singkat terhadap permasalahan. Penulis juga akan
memberikan analisa atas semua pokok permasalahan yang ada.
BAB V
Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan tesis.
Penulis akan memberikan kesimpulan dan saran setelah membahas seluruh
pokok permasalahan yang ada.