214
PENDAHULUAN Salah satu gatra sosial dari ketahanan nasional adalah ideologi. Dengan sendirinya, yang dimaksud adalah ideologi dalam gerak dinamiknya dalam seluruhan sistem ketahanan nasional. Program magister ini adalah Program Studi yang bersifat kajian strategik dari ketahanan nasional Indonesia. Berhubung dengan itu, UGM menetapkan lingkup dari gatra ideologi adalah politik ideologi atau the politics of ideology. Artinya, serba kebijaksanaan kenegaraan yang ditetapkan oleh para penyelenggara negara, bersesuaian dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat yang berdaulat. Dari itu UGM menetapkan sebutan matakuliah kita politik ideologi. Berkenaan dengan itu, sistematik tatap muka bersifat dialogik, tersusun sebagai berikut. Pertama, yang akan dipaparkan: Pokok bahasan (1) teori universal mengenai: pengertian, karakteristik, dan fungsi dari ideologi, agar para mahasiswa memahami konsep internasional mengenai ideologi. Yaitu: pengertian original yang dikemukakan oleh Destutt de Tracy; dan kemudian pengertian-terleceh (discreditel meaning) dari ideologi, brlanjut ke Pokok bahasan (2) yaitu mengenai pengertian ideologi yang diungkapkan oleh para pendiri- negara Republik Indonesia agar para lulusan dari program magister ini mampu menyelenggarakan politik ideologi dalam rangka mencapai keluaran (output) yang memadai dari sistem ketahanan nasional Indonesia pada masa yang bersangkutan. Selain itu, dalam rangka mendapatkan kemampuan analitik yang tajam dan berargumen mapan, akan diperkenalkan 1

PENDAHULUAN · Web viewPENDAHULUAN ... PENDAHULUAN

Embed Size (px)

Citation preview

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

Salah satu gatra sosial dari ketahanan nasional adalah ideologi. Dengan sendirinya, yang dimaksud adalah ideologi dalam gerak dinamiknya dalam seluruhan sistem ketahanan nasional. Program magister ini adalah Program Studi yang bersifat kajian strategik dari ketahanan nasional Indonesia. Berhubung dengan itu, UGM menetapkan lingkup dari gatra ideologi adalah politik ideologi atau the politics of ideology. Artinya, serba kebijaksanaan kenegaraan yang ditetapkan oleh para penyelenggara negara, bersesuaian dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat yang berdaulat. Dari itu UGM menetapkan sebutan matakuliah kita politik ideologi.

Berkenaan dengan itu, sistematik tatap muka bersifat dialogik, tersusun sebagai berikut. Pertama, yang akan dipaparkan: Pokok bahasan (1) teori universal mengenai: pengertian, karakteristik, dan fungsi dari ideologi, agar para mahasiswa memahami konsep internasional mengenai ideologi. Yaitu: pengertian original yang dikemukakan oleh Destutt de Tracy; dan kemudian pengertian-terleceh (discreditel meaning) dari ideologi, brlanjut ke Pokok bahasan (2) yaitu mengenai pengertian ideologi yang diungkapkan oleh para pendiri-negara Republik Indonesia agar para lulusan dari program magister ini mampu menyelenggarakan politik ideologi dalam rangka mencapai keluaran (output) yang memadai dari sistem ketahanan nasional Indonesia pada masa yang bersangkutan.

Selain itu, dalam rangka mendapatkan kemampuan analitik yang tajam dan berargumen mapan, akan diperkenalkan pengertian ideologi dari Corbett yang belum terisi oleh nilai tertentu.

Pokok bahasan ke (3) akan dipaparkan isu tentang debat mengenai matinya ideologi. Daniel Bell maupun Raymon Aron berpendapat bahwa ideologi telah mati, didasarkan pada kajiannya terhadap ideologi Komunisme, yang memuat prediksi kesejarahan yang menjangkau masadepan yang sangat-sangat panjang; yang menurut mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, sekaligus didominasi oleh tujuan politik. Sedangkan Edward Shills berpendapat bahwa fakta yang menunjukkan penindasan militer Uni Soviet terhadap dua negara Eropa Timur, negara sosialis satelitnya, yaitu Jerman Timur pada th 1963 dan Hongaria pada th 1957 membuktikan bahwa masa politik-ideologi telah lewat.

Sebaliknya, Prof Henry David Aken (gurubesar filsafat) menunjukkan bahwa dalam masa perang-dingin, the revolt agains ideology, menunjukkan bahwa semua penelitian adalah atas pesanan lembaga-lembaga pemerintah di berbagai negara Barat sebagai lembaga yang mempunyai dana besar, yang dengan sendirinya dikusai oleh tujuan politik. Prof. Mostafa Rejai (gurubesar di Harvard University) berpendapat bahwa ideologi tidak pernah mati; yang terjadi adalah the emergence, decline, and resurgencence of ideology. Sedangkan Kenneth E Boulding, berpendapat bahwa hanya half truth atau uncertain truth merupakan kandidat utama untuk menjadi ideologi; sedang a whole truth, karena ia diakui oleh seluruh umat manusia, tidak mungkin menjadi ideologi.

Pokok-bahasan ke (4) adalah suatu topik mengenai: ideologi dan metoda berpikir. Berpangkal tolak dari hasil kajian filsafati dari Prof. Mario Bunge, gurubesar filsafat pada MacGill University di Canada, berwujud suatu hipotesis tentang adanya relasi heuristik antara ontologi ke epistemologi; berlanjut ke relasi antara epistemologi ke metodologi. Setelah hipotesis Bunge saya kaji pada ideologi Liberalisme dan ideologi Komunisme, ternyata benar, dan dengan demikian hipotesis Bunge telah menjadi tesis yang didukung oleh fakta empirik.

Ideologi Pancasila belum mempunyai metoda-berpikir khas yang mampu mewujudkan nilai-nilai intrinsik yang terkandung di dalamnya. Dalam kuliah politik ideologi ini didiskusikan metoda-berpikir Integral sebagai metoda-berpikir yang mampu mewujudkan cita-cita intrinsik Pancasila menjadi kenyataan hidup dalam kehidupan nasional maupun antarbangsa.

Untuk terlaksananya serba konsep yang terkandung dalam tiap sila dari ideologi Pancasila, dan interrelasi antarkonsep antarsila, dalam pokok bahasan ke (5) dilakukan refleksi-filsafati pada ideologi Pancasila. Refleksi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan (filsafati) fenomenologik, : (1) mengintuisi muatan-khas (esensi) dari fenomen, melalui bracketing the existence dari obyek yang diteliti, dan prosedur variasi imajinasi bebas. Juga akan dipaparkan bagaimana memperoleh dengan sahih tiap konsep yang terkandung di dalam tiap sila dari ideologi Pancasila, dengan menggunakan penerangan filsafati dari Gotlobb Frege seorang filsuf dan matematikus tentang pengertian konsep, yang ia uraikan dalam karyanya berjudul Sinn und Bedeutung (Sense and Meaning). Konsep yang kita temukan adalah Mantikan Eksistensi Alam Semesta, disingkat MEAS. Selain itu, dalam menjelaskan relasi antarkonsep antarsila, digunakan logika-sistem yang dikerangkai oleh Tiga Tesis Ontologik yang terkandung di dalam Mantikan Eksistensi Alam Semesta (MEAS) yang merupakan the thing refered to the owner of the name (yaitu si subyek dari suatu proposisi) seperti yang dimaksud oleh Frege.

__________

I. IDEOLOGI : Pengertian Original

Kata Inggris ideology berasal dari kata Perancis idologie, yang disosialisasikan pada akhir abad delapan belas, oleh suatu mazab para pemikir yang menyebut dirinya ideologues, untuk menyatakan ilmu fundamental baru, yaaitu : the science of ideas. Hakikat, tujuan, dan hasil dari bentuk original dari ideologi adalah sebagai berikut.

Para ideologues sadar bahwa mereka mendasarkan diri pada perkembangan filsafat yang terjadi sebelumnya.

Secara spesifik dapat dinyatakan bahwa mereka sadar mendasarkan diri pada hasil pemikiran filsafati dari: Francis Bacon, Thomas Hobbes, dan John Locke di Inggeris, dan Rene Descartes di Prancis.

Mazhab ideologues menilai empat filsuf tersebut sebagai empat-filsuf-Barat-modern pertama (the first four Western modern philosophers):

1. Francis Bacon (15911626)

Analisis Bacon mengenai sejumlah prasangka manusia, merupakan kritik-ideologi yang membuat dirinya dikenal sebagi filsuf modern. Dia membedakan empat jenis dari sesatan manusia, yang ia sebut sebagai gambaran-palsu yang ia namai idola. Dia mengidentifikasi bahwa kepampuan-pikir manusia dipengaruhi sekaligus dicemai oleh kemampuan (the skill) dan nafsu (passion), yaitu (1) idola tribus, yang ia maksud sebagai sesatan dari manusia selaku warga dari suatu suku (tribe), (2) idola specus, yaitu sesatan dari goa, (3) idola fori, yaitu sesatan yang ditimbulkan oleh kekacauan-pengaruh dari bahasa yang digunakan dalam interaksi antarmanusia, dan yang terakhir adalah ideola theatri, yaitu sesatan yang ditimbulkan oleh berbagai pandangan-mapan yang telah lama dikemukakan para filsuf senior. Bacon menyatakan pendapat bahwa dengan dihapuskannya 4 macam idola termaksud, ilmu (science) dapat dikembagkan. Dalam hubungan ini, Bacon dalam bukunya berjudul Novum Organon menyatakan bahwa hanya dengan metode induksi sebagai tuntutan bagi pengalaman dan penginderaan yang akan mengantar ilmu yang sejati (Kuypers, 1978:109).

2. Thomas Hobbes (15881679)

Dengan menggunakan metode deduktif Hobbes berusaha menerapkan sistem-pengertian (begrippenstelsel) dari mekanika pada semua bidang ilmu: di satu pihak ia menganggap bahwa geometri adalah ilmu mengenai gerak sederhana yang diperlukan untuk mengkonstruksi garis, dataran (plane), dan lingkaran; di lain pihak ia mencoba gejala-gejala psikhis, seperti penginderaan dapat diterangkan dalam terminologi yang berlaku pada gerak dari bahan-bahan ragawi. Dengan penjelasan ini, juga dapat diperluas berlakunya sampai kehidupan masyarakat yang ia lihat sebagai gerak manusia ke manusia lain, atau gerak manusia memisahkan diri dari manusia lain; maka lahirlah suatu trilogi yang ia lahirlah bukakan dengan judul De Corpore (1655), De Homine (1657), De Cive (1642), yang merupakan metafisika yang mengajarkan bahwa segenap hal materiil, dalam kejiwaan manusia, dan kehidupan sosial politik, diterangkan dengan asas-asas dan kategori yang sama (mekanik), disusun menjadi suatu kesatuan yang sistematik (Kuypers, et.al., 1978:333334).

3. John Locke (16321704)

Karya ilmiah yang utama dari Locke ia tulis dengan judul Essay Concerning Human Understanding (1690), yang menguraikan hasil penelitiannya mengenai asal-mula, kepastian, dan lingkup dari pengetahuan manusia. Dalam buku pertama berisi kritik panjang-lebar terhadap idea-bawaan (inate ideas). Dalam buku kedua, ia mempertahankan tesisinya bahwa pengetahuan manusia diperoleh dari pengelaman empirik (induktif). Buku ketiga dedikasikan pada masalah bahasa dan artinya; menurut Locke arti sebenarnya dari suatu kata terbentuk oleh idea yang ada di dalam jiwa dari si pengguna kata, dan berkorespondensi dengan idea termaksud. Pada akhirnya, buku keempat membahas pengetahuan (knowledge), yang didefinisi sebagai tindak penginderaan mengenai kesesuaian atau bertentangannya antara dua idea.

Bersamaan dengan Essay termaksud, Locke juga mempublikasi buku Two Treatise of Government, yang dalam jilid satu-nya Locke membantah pendapat Sir Robert Filmer yang mempertahankan hak-hak ketuhanan dari para raja mengenai kekuasaan absolutnya, sekaligus dalam jilid keduanya, Locke mengajukan teorinya mengenai monarkhi konstitusional berdasarkan kontrak sosial (Kuypers, 1978:410-411).

4. Rene Descartes (1596-1650).

Adalah seorang filsuf berkebangsaan Perancis. Oleh masyarakat Eropa ia dipandang sebagai bapak dari filsafat modern.

Descartes adalah seorang Katolik saleh, sejak kecil menempuh pendidikan di lingkungan sekolah Ordo Jezuit sehingga merasa berada di rumah sendiri dalam filsafat skolastik yang dalam seluruh hasil karyanya yang kemudian, ditemukan kembali. Setelah selesai dengan studi hukumnya, dan pendidikan militer di Breda ia menjalani dinas militer di negeri Belanda dan berkenalan dengan Beekman yang memberi stimulasi padanya untuk teguh meneruskan karya ilmiahnya: dan baru kemudian pada tahun 1619 mendapat semacam panggilan hati untuk menekuni filsafat. Dia selalu bepergian ke berbagai negara, dan baru ada tahun 1628 dia menyatakan secara terbuka pendirian filsafatinya.

Setelah itu, kembali ke negerai Belanda dan hidup menyendiri dalam menekuni menulis filsafat. Yang pertama selesai adalah Discourse de la Methode pada tahun 1637, yang kedua mengenai kosmologi berjudul Le Monde, ia tidak berani menerbitkannya mengingat nasib Galilei dari Italia yang dihukum dikucilkan untuk selamanya dari masyarakat sampai mati.

Descartes menolak dengan tegas metafisika sebagai metoda filsafat, karena kebenaran yang dihasilkan tidak bisa diandalkan. Berhubung dengan itu, ia bertekad untuk mambangun filsafat yang kebenarannya tidak dapat ditolak oleh nalar manusia.

Untuk itu, Descartes menciptakan suatu metoda baru yang kemudian dikenal dengan nama Peraguan-Metodologik (Methodological Doubting). Semua ilmu dan filsafat yang telah ia pelajari, ia ragukan kebenarannya (termasuk matematika yang menjadi disiplin ilmu yang ia andalkan kebenarannya). Berarti ia mengosongkan diri dari segala referensi, dengan maksud untuk mengetahui apa yang akan terjadi yang sampai masa itu belum pernah diketahui oleh manusia.

Descartes ingin menemukan premis-pertama yang kebenarannya tidak dapat ditolak oleh nalar manusia. Perlu diketahui, bahwa tanpa premis manusia tidak mungkin bisa memikirkan sesuatu. Setelah berbulan-bulan premis pertama tersebut belum ditemukan, Descartes seperti hampir putus asa berada di Amsterdam, sekonyong-konyong mendapatkan idea yang kebenarannya tidak dapat ditolak oleh nalar manusia, dan ia jadikan idea tersebut sebagai premis-pertama untuk membangun filsafat yang kebenarannya tidak dapat ditolak oleh nalar manusia; yang kemudian dinilai oleh masyarakat Eropa sebagai filsafat modern.

Idea tersebut yang ia dapat di Amsterdam, adalah seperti berikut:

Saya sedang berpikir: dua ditambah tiga sama dengan . Belum sempat mengucapkan kata lima, ada setan lewat yang membisikkan pada saya kata empat, maka saya secara spontan mengatakan empat.

Dari isnpirasi ini, saya menemukan idea bahwa :

pada saat saya berpikir, membuktikan bahwa saya ada (eksis). karena kalau saya tidak ada, setan mau menipu siapa?

Jadi : - saya berpikir, karena itu saya ada.

I think, therfore I am

Cogito ergo sum (bhs. Latin)

Inilah premis pertama yang kebenarannya tidak dapat ditolak oleh nalar manusia, dan oleh Descartes dijadikan pangkal-tolak dalam membangun filsafat modernnya.

Kaum Ideolouges berpendapat bahwa para filsuf tersebut sebagai pemikir-mula yang merentang jalan: (1) untuk merestorasi cara belajar, dan (2) yang menetapkan dengan pasti apa yang diartikan dengan kebenaran (truth).?

Pertama, empat filsuf tersebut telah menyerang secara bernalar dan menyeluruh filsafat kuno dan filsafat abad menengah mengenai kegunaan dan metodanya. Kedua, kaum ideolouges percaya bahwa empat orang filsuf termaksud telah meletakkan dasar-dasar yang amat penting dan prinsip-prinsip dasar dari metoda-yang-benar dari semua ilmu. Kaum ideolouges menyebut metoda tersebut analisis. Yang mereka maksud dengan analisis adalah suatu proses intelektual mereduksi tiap idea mengenai tiap fenomen, secara teliti dan sistematik sampai ditemukannya elemen yang tersederhana dan tak bisa direduksi lagi; disusul dengan suatu sintesis dari elemen-elemen termaksud. Perlu saya kemukakan segera bahwa arti dari analisis ini adalah hasil cipta dari Descartes. Proses tersebut dinilai mampu menghasilkan suatu pengetahuan eksak dari tiap idea; dan ilmu itu tidak lain adalah produk-akhir dari proses dua arah ini.

Kekaguman mazab ideolouges mengenai analisis tergambar oleh aplikasi mereka secara: alami atau sosial, fisikal atau spiritual, pada binatang atau manusia. Ungkapan dari P.J.G. Cabanis (1757-1808), salah seorang dari ideolouges yang sangat berpengaruh, merupakan suatu contoh:

Sejak Locke, Helvitues dan Condillac (dua yang terakhir adalah orang Perancis pengikut Locke), metafisika itu secara esensial adalah pengetahuan (knowledge) mengenai prosedur yang berlangsung dalam pikiran manusia, terdiri dari penetapan rinci mengenai aturan yang harus diikuti oleh manusia dalam mencari kebenaran.. . Hal itu berlaku sama pada ilmu fisik dan ilmu moral, dan juga pada kesenian . Metafisika yang benar dapat dinyatakan dengan satu ungkapan singkat : the science of methods (ilmu tentang metoda (s) ) yang didasrkan pada pengetahuan yang ada pada kemampuan intelektual manusia, dan yang diaplikasikan pada sifat-hakikat dari berbagai obyek yang berbeda di dunia. (Cox, 1969:.)

Pernyataan tersebut menunjukkan: pertama bahwa konsep klasik tentang metafisika sebagai filsafat-yang-pertama (the first philosophy) atau ilmu tentang ada (the science of being) telah dijungkir-balikkan secra pasti; kedua, bahwa analisis mengenai idea adalah ilmu yang fundamental. Karena apabila suatu ilmu partikular, seperti fisika atau kimia atau psikologi, mencoba beroperasi tanpa lebih dahulu mengklarifikasi isi-eksak dari idea-dasarnya, ilmu-ilmu tersebut tidak akan mampu mengatasi kesukaran yang menjatuhkan filsafat kuno dan filsafat abad pertengahan.

Bersamaan dengan itu, Descartes mengarah pada perkembangan ilmiah baru -yaitu: geometri dan fisika- dijadikan dasar dari penciptaan ketentuan-ketentuan secara metodik. Ia wujudkan dalam karyanya Discours de La Methode, yang berwujud-empat aturan (rules) sebagai berikut: (1) jangan menganggap sesuatu sebagai benar apabila sesuatu itu tidak membuktikan sendiri sebagai hal yang benar (self-evident), (2) tiap problem-direduksi sampai elemen yang terkecil, yang memang diperlukan untuk mendapatkan solusinya, (3) menjumlahkan (summing up) dari bawah ke atas semua nalaran yang terdapat antara efek ke kausa (sintesis), (4) dengan cara sesempurna mungkin untuk mendapatkan simpulan umum/jawaban terhadap persoalan yang digarap. Inilah empat aturan dari metoda-berpikir ciptaan Descartes yang ia beri sebutan analisis-kausal.

Metoda-berpikir analisis kausal ini oleh Descartes dikaitkan dengan pandangannya mengenai alam semesta, yang darinya ia bangun suatu teori kausalitas yang terdiri dari tiga dalil, yaitu: (a) tiap hal mesti punya kausa, (b) satu kausa memproduksi satu efek; satu efek diproduksi oleh satu kausa; (c) tiap efek tidak mungkin lebih besar nilainya dari kausanya.

Sesuai dengan teori kausalitasnya, dalam proses berpikir analisis-kausal hanya memperhitungkan satu kausa yang paling berpengaruh pada efek yang dipersoalkan; sedang kausa lainnya di-no-kan untuk selama-lamanya, tidak pernah dipersoalkan lagi.

Namun demikian, para ideologues percaya bahwa pemahaman mereka mengenai analisis, melampaui keempat filsuf modern termaksud dalam dua hal. Pertama, meskipun Bacon dan tiga filsuf lain telah menemukan metoda analisis, mereka tidak berhasil dalam mengembangkannya menjadi suatu ilmu yang riil (into real science), seperti yang diyakini oleh para ideolouges bahwa para filsuf termaksud mampu mengembangkannya. Kedua, meskipun Bacon dan filsuf lain menyadari bahwa tiap orang akan mendapatkan manfaat yang menguntungkan dari ilmu baru termaksud, mereka tidak menyebarkan analisis atau pendapatnya mengenai bentuk baru dari ilmu partikular berdasarkan analisis. Secara singkat, para ideolouges merasa bahwa para filsuf moyangnya itu telah berhenti tepat pada saat yang seharusnya dimulai dengan penyebaran corpus of science maupun rincian metoda-proseduralnya pada seluruh masyarakat.

Perhatian kita pada diskusi mengenai para ideolouges adalah mengenai aplikasi dari garis pikiran mereka pada kehidupan politik. Mereka berpendapat bahwa kegagalan untuk memulai dari the science of ideas, maka tiap teori politik sebelumnya adalah defektif mutlak, dan bahwa semua praktik politik di masa lalu maupun sekarang (waktu itu) sedang berlaku, secara keseluruhan atau untuk bagian besar adalah salah. Suatu rezim mungkin secara kebetulan melakukan asas yang benar, tetapi hal ini merupakan kecualian, dan asas termaksud bersifat tidak ilmiah dan karenanya tidak sahih.

Para ideolouges sangat berkepentingan dengan banyak idea-politik, antara lain mengenai: perlakuan sama (equality) atau tak-sama (inequality) di bidang politik dan intelektualitas, sifat hakikat dari kebebasan dan hak atas properti. Tetapi bagi mereka, segenap idea-politik tersebut secara esensial adalah prasangka (prejudice) seperti yang ditemukan dalam tulisan dari para filsuf abad pertengahan atau abad kuno, dalam hukum atau dalam perdebatan politik antara penguasa dan rakyat. Hal ini berarti bahwa karena teknik dari analisis belum diterapkan pada prasangka-prasangka tersebut, maka serba prasangka termaksud eksis dalam pikiran manusia hanya sebagai image yang tersusun oleh campuran informasi yang tak teratur. Konsekuensi praktis darinya adalah manusia yang satu tak mampu memahami manusia yang lain, jatuh pada saling-pertentangan, dan sering diakhiri dengan saling bunuh; pendek kata, akhir dari pertentangan sosial adalah prasangka-salah mengenai hakikat obyek dari kehidupan politik (Cox, 1969:12).

Masalah yang sebenarnya adalah ketegangan antara politik ideal (baru bersifat protektif, tetapi ilmiah dan tercerahkan) dan politik aktual (despotik, tak peduli, dan fanatik). Perbandingan antara wibawa-prospektif dari tak-pedulian (ignorance) dan wibawa-prospektif dari kecerahan (enlightment) diungkapkan oleh Cabanis dengan pernyataan sebagai berikut:

Nir-pedulian itu mengabaikan kesengsaraan dan tergantungan rakyat miskin. Ia mencipta berturut-turut penundukan dan dominasi mereka terhadap orang lain, yang hukum paling bijak pun tidak berdaya mengatasinya. Hal inilah yang hanya dipahami secara benar oleh para filsuf modern, dan karenanya telah membuat ilmu yang sebenarnya mengenai kebebasan (liberty). Karena mereka telah mengajar kita bahwa kebebasan itu meskipun terkadang merupakan produk dari happy instict suatu bangsa, tidak mungkin dipelihara atau disempurnakan kecuali oleh manusia yang mengalami pencerahan (Cox, 1969:13).

Pencerahan yang dilakukan oleh para idelouges tidak hanya berupa skema spekulatif, melainkan meskipun terbatas tetapi merupakan usaha penting yang untuk dilaksanakan dalam dunia praktik yang berlangsung dalam masa Revolusi Perancis dengan wibawa dari suatu Institut Nasional baru, yang didirikan oleh Konvensi Nasional (22 Agustus 1795). Dalam Institut Nasional itu terdapat tiga kelompok mata kuliah yang diajarkan: (1) ilmu matematik dan fisika, (2) moral dan ilmu politik, (3) ilmu sastra dan kesenian. Kelas kedua dibagi menjadi emam seksi, yaitu: analisis mengenai penginderaan dan idea, moral, ilmu sosial dan legislasi, politik ekonomi, sejarah, dan geografi. Sejumlah kaum ideolouges merupakan anggota original dari Institusional Nasional, dan pengaruhnya pada isi dari kelas kedua yang bisa dilihat dari judul matakuliah dan kedudukan utama dari saksi kesatu dalam Institut Nasional.

Obyek dari Konvensi Nasional adalah memasyarakatkan the science of ideas secara luas melalui pendidikan yang teratur dan berencana, dengan tujuan memberi kemampuan kepada generasi muda mengenai menganalisis serba idea yang terkandung di dalam politik, ekonomi, moral, sejarah, geografi, dan ilmu sosial lainnya, serta legislasi. Tujuan tersebut dimaksudkan sebagai tindak-lanjut dari karya para filsuf modern yang seharusnya mereka lakukan.

Untuk beberapa tahun setelah didirikannya, klas kedua yang mengajarkan moral dan ilmu politik, pengaruh mereka sangat luas. Para ideolouges bahkan berhasil mengajak Napoleon menjadi anggota kehormatan dari Institut Nasional, dan dia menunjukkan kesepakatannya pada tujuan dan metoda yang dipergunakan oeh Institut tersebut, dengan kadangkala bicara menggunakan bahasa mereka, seperti : satu-satunya penaklukan sejati yang tak bisa ditolak, adalah penaklukan terhadap mereka yang bersikap tak peduli pada masyarakat. (Hans Barth, 1945:25)

(Hans Barth. 1945, Wahrheit und Ideologies, Manesse Verlag, Zurich. (untuk daftar pustaka di halaman akhir)

Pengertian Terleceh

Namun, pada akhirnya, para ideolouges terperangkap dalam pertentangan intelektual maupun politik dari Revolusi Perancis. Pusat persoalannya adalah: apakah bukan ideologi yang dikembangkan di Perancis yang merupakan penyebab dari berbagai ekses negatif dari revolusi. Bahkan, Napoleon pada bulan Januari 1803, menyimpulkan bahwa teori dari para ideolouges yang pada kenyataannya merupakan doktrin destruktif. Napoleon menutup klas kedua dari Institut Nasional dan melancarkan perang polemik yang berkepanjangan terhadap kaum ideolouges. Perang termaksud disimpulkan dalam pernyataan Napoleon yang ia buat pada tahun 1812, setelah ia mengalami kekalahan dalam perang melawan Rusia, sebagai berikut:

Pada ideologi-lah. -yang merupakan metafisika yang kabur (obscure), tak jelas mencari kausa-pertama untuk dijadikan dasar dari legislasi nasional, ketimbang (in stead of) mengadaptasi hukum pada hati-nurani manusia dan pada pelajaran dari sejarah- yang harus kita tuntut tanggung jawabnya mengenai kesengsaraan (calamity) yang harus dialami oleh Revolusi Perancis. (Cox, 1969:14)

Para ideolouges melawan habis-habisan tidak kenal menyerah terhadap Napoleon dan kelompok-kelompok yang menentangnya, termasuk kelompok religius yang sejak semula merasa dirugikan oleh gerakan mazhab ideolouges.

Perlawanan politik yang tak kenal menyerah dari kaum ideolouges terhadap Napoleon inilah yang kemudian berakibat merubah pengertian ideologi yang murni ilmiah, yaitu the science of ideas, berubah menjadi pengertian-terleceh (disceredited meaning) dari ideologi, dengan rumusan: suatu penteorian yang abstrak visioner yang semata-mata ditujukan untuk menggulingkan sistem politik yang berlaku dengan cara merongrong pendapat-umum mapan (Cox, 1969:14).

Pengertian-terleceh dari ideologi inilah yang sekarang merupakan salah satu rumusan pengertian dari ideologi di semua kamus negara Barat berbahasa Inggris.*

II. IDEOLOGI : Pengertian Para Pendiri Negara R.I.

Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 berkualifikasi sebagai dasarnegara. Sejak diselenggarakannya Rapat Besar pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari tanggal 29 Mei s.d. 1 Juni 1945, apa yang kini kita kenal dengan nama Pancasila, memang sadar diniatkan oleh para pendiri-negara kita untuk dijadikan dasar dari Negara Indonesia Merdeka yang pada waktu itu hendak didirikan. Niat ini terungkap dari tiga hal berikut ini.

1. Rapat Besar pertama itu beracara tunggal, yang berbentuk pertanyaan dari Ketua BPUPKI: Atas dasar apa Negara Indonesia Merdeka akan kita dirikan ?

2. Jawaban pertama dari tiga orang anggota yang satu demi satu menunjukkan nilai kedudukan dari apa yang mereka usulkan adalah per se untuk dijadikan dasar dari negara Indonesia Merdeka :

Muhammad Yamin (29 Mei 1945) menyatakan: Kewajiban untuk menyelidiki bahan-bahan yang akan menjadi dasar dari susunan negara yang akan terbentuk dalam suasana kemerdekaan ..

Supomo (31 Mei 1945) mengemukakan: Jikalau kita hendak membicarakan tentang dasar sistem pemerintahan yang hendak kita pakai untuk negara Indonesia, maka ..

Soekarno (1 Juni 1945) menegaskan : Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda : filosofische grondslag (dasar filsafati) daripada Indonesia Merdeka.

3. Keluaran dari sejumlah rapat besar dan rapat panitia kecil dari BPUPKI, dan rapat Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 yang berwujud Pembukaan UUD yang aliena keempatnya menyatakan:

Kemudian daripada itu ., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baik oleh sifat bawaannya sendiri --yang melekat pada pertanyaan, jawaban dan keluaran itu-- maupun dari diskusi para pendiri-negara dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 1516 Juli 1945 dan sejumlah Rapat Panitia Kecil yang merumuskan Pembukaan maupun yang menyusun batang-tubuh UUD, terungkap apa yang dimaksud oleh para pendiri-negara dengan dasarnegara, yaitu :

seperangkat nilai intrinsik yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Indonesia, dijadikan dasar untuk menata pengorganisasian dirinya dalam negara Indonesia Merdeka.

Apabila partikularitas keindonesiaannya ditanggalkan dan rumusannya diefesiensikan menjadi :

seperangkat nilai intrinsik yang diyakini kebenarannya oleh suatu masyarakat, dijadikan dasar menata dirinya dalam menegara,

maka pengertian dasarnegara itu mendapatkan sifat universal. Pengertian universal dasarnegara ini adalah ekuivalen dengan pengertian ideologi, seperti yang dikemukakan oleh Patrick Corbett.

Berikut ini dikemukakan deskripsi pengertian ideologi oleh Corbett yang masih bersifat umum, belum terisi nilai tertentu. Berhubung dengan itu, definisi ini mampu mengakomodasi semua ideologi partikular.

Ideologi adalah setiap struktur kejiwaan yang tersusun oleh: seperangkat keyakinan mengenai penyelenggaraan kehidupan masyarakat beserta pengorganisasiannya, seperangkat keyakinan mengenai sifat hakekat manusia dan alam semesta dimana ia hidup di dalamnya; suatu pendirian bahwa kedua perangkat keyakinan tersebut interdependen; dan suatu dambaan agar keyakinan-keyakinan termaksud dihayati, dan pernyataan pendirian itu diakui sebagai kebenaran oleh segenap orang yang menjadi anggota penuh dari kelompok sosial yang bersangkutan (Patrick Corbett, 1970 : 14).

Hubungan Hirarkhi antara Filsafat dan Ideologi

Berfilsafat selalu dimulai dengan suatu pertanyaan yang mendasar. Yang dimaksud dengan 'pertanyaan mendasar' adalah pertanyaan yang menghendaki jawaban yang bersifat hakiki. Yang dimaksud dengan 'jawaban hakiki' adalah jawaban yang tak dapat dipertanyakan lagi. 'Jawaban hakiki' itu niscaya bersifat umum universal, dan karenanya belum dapat diaplikasikan menjadi kenyataan konkrit.

Pertanyaan mendasar itu dimunculkan oleh kekaguman atau keraguan manusia mengenai sesuatu. Sebagai contoh tentang 'kekaguman' dapat dikemukakan: teraturnya sekaligus ketepatannya pergantian siang dan malam yang telah berlangsung berabad-abad tanpa pernah cacat; sedang contoh mengenai 'keraguan' antara lain adalah: alam semesta ini ada berkat suatu proses evolusi atau ada yang membuat? Nalaran metafisik atau nalaran fenomenologik yang terbentang antara 'pertanyaan mendasar' d a n 'jawaban hakiki' itulah filsafat.

Ideologi berpangkal-tolak dari jawaban hakiki yang telah didapat oleh filsafat, ditransformasi sampai ke tataran operasional; artinya pertransformasian itu dilakukan sampai didapatkannya serba konsep yang cukup konkrit, sehingga dapat diaplikasikan menjadi kenyataan. Dengan demikian, kita menjadi tahu bahwa ideologi adalah jabaran langsung satu tingkat lebih konkrit dari filsafat; dan inilah hubungan hirarkhi antara filsafat dan ideologi.

Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa: tiap ideologi niscaya bersumber pada aliran filsafat tertentu. Dalam kenyataannya memang demikian. Ideologi Liberalisme bersumber pada filsafat Individualisme, ideologi Komunisme bersumber pada filsafat Materialisme. Dengan sendirinya ideologi Pancasila juga bersumber pada filsafat tertentu; dalam hal ini bersumber pada filsafat --yang kita namai-- filsafat Pancasila.

Berhubung Pancasila dalam kualifikasinya sebagai ideologi berada di dalam Pembukaan (preambul) UUD 1945, perlu kita ketahui kedudukan dan fungsi preambul beserta muatan yang terkandung di dalamnya.

Namun, untuk mendapatkan makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, kita perlu lebih dahulu mempelajari teori tentang kedudukan dan fungsi dari preambul konstitusi. Untuk itu, lebih dahulu dipelajari pengertian dari konstitusi. Dengan merujuk pada pengertian konstitusi termaksud, kita identifikasi kedudukan dan fungsi preambul konstitusi.

Pengertian Konstitusi

1. Pengertian Sempit

Apabila kita pelajari konstitusi dari berbagai bangsa, nampak perbedaan yang menyolok tentang pendirian tiap bangsa mengenai: apa yang selayaknya dimuat di dalam konstitusi. Bangsa Norwegia mencukupkan diri memasukkan semua hal yang mereka anggap perlu dan layak ke dalam konstitusi, hanya dalam 25 halaman. Sebaliknya, bangsa India memerlukan 250 halaman dalam menyusun konstitusinya.

Perbedaan pandangan mengenai apa yang selayaknya dimuat dalam konstitusi menunjukkan garis pemisah yang mendasar antara mereka yang memahamkan konstitusi sebagai dokumen hukum yang bersifat eksklusif: semata-mata merupakan wadah bagi ketentuan-hukum (rules of law), dan karenanya tidak mungkin untuk dimuati materi lain, dan mereka yang berfaham bahwa Konstitusi adalah suatu piagam pernyataan (manifesto) yang berisi pengakuan akan keyakinan tertentu dan pernyataan cita-cita bangsa.

Faham yang pertama dipelopori oleh K.C Wheare seorang penganut tradisi English view of consttitutional law, mengajarkan bahwa: Konstitusi adalah semata-mata merupakan dokumen hukum. Konstitusi dimaksudkan untuk menyatakan ketentuan-ketentuan hukum tertinggi. Karena itu, sesempurna mungkin hanya memuat ketentuan-hukum, dan seketat mungkin tidak memuat: opini, aspirasi, pengarahan (directives), dan kebijakan (policies) (KC Wheare, 1960:73). Ia pertegas ajarannya dengan menyatakan: Konstitusi itu tidak hanya menanamkan penghormatan warganegara kepada hukum, melainkan juga penghormatan kepada hukum tertinggi dalam negara; karenanya pasti bijaksana tidak memuatinya dengan serba hal yang tidak dimaksudkan sebagai ketentuan-hukum (KC Wheare, 1960:73).

Faham yang sama dikemukakan oleh Edward S. Corwin dari Amerika Serikat. Menurutnya, preambul konstitusi secara hukum tidak merupakan bagian dari Konstitusi; ia sekedar berjalan mendahului konstitusi (just walks before the constitution). Karena itu, Preambul sama sekali tidak dapat dijadikan dasarhukum bagi kekuasaan pemerintah maupun bagi hak warganegara (Corwin, 1960:1). Namun, menurutnya: bagaimanapun juga Preambul mempunyai 2 fungsi penting (Corwin, 1960:1):

a. menunjukkan sumber dari mana konstitusi itu menjadi ada, dan sumber tersebut merupakan pula sumber wewenang dari konstitusi untuk menuntut ketaatan segenap subyek kehidupan kenegaraan. Sumber wewenang itu tidak lain adalah rakyat yang berdaulat,

b. mengumumkan tujuan besar yang ditetapkan oleh konstitusi dan pemerintahan negara yang diharapkan untuk diwujudkan.

Fungsi pertama sama dengan yang dikemukakan oleh Wheare, sedang fungsi kedua sepintas nampak bertentangan dengan faham dari Wheare; namun karena faham Corwin pertama-tama justeru mengajarkan bahwa preambul konstitusi tidak dapat digunakan sebagai dasarhukum dari kekuasaan negara maupun hak warganegara, maka tampakan bertentangan itu hanya merupakan kilasan pertama, sedang hakikatnya pertentangan itu tidak ada.

Aliran yang memahamkan konstitusi sebagai dokumen hukum melahirkan pengertian Konstitusi dalam arti sempit dengan rumusan : himpunan aturan-hukum terpilih yang mengatur kehidupan pemerintahan suatu negara, tertuang dalam satu dokumen (K.C. Wheare, 1960:2).

2. Pengertian Luas

Berbagai bangsa yang berpandangan bahwa Konstitusi itu lebih dari sekedar himpunan hukum terpilih, berpendapat bahwa Konstitusi merupakan manifesto atau piagam pernyataan suatu bangsa yang memuat berbagai pengakuan keyakinan dan pernyataan cita-cita bangsa yang bersangkutan. Padangan ini melahirkan pengertian Konstitusi dalam arti luas yang rumusannya menurut Bolingbroke seperti berikut ini : seluruhan hukum, institusi, dan kebiasaan yang dialirkan dari prinsip-prinsip alasan yang pasti dan tertentu, yang membentuk seluruh sistim yang disepakati masyarakat untuk mengatur dirinya (Wheare 1960 :3).

Prinsip-prinsip alasan yang pasti dan tertentu itu dapat berwujud: pandangan-hidup, cita-cita, moralitas, keyakinan filsafati, keyakinan religius maupun keyakinan politik, dari suatu bangsa. Berbagai prinsip ini bila ditransformasi menjadi ketentuan-hukum, akan kehilangan substansinya; sebaliknya bila dibiarkan dalam rumusan aslinya, ia bukan ketentuan-hukum sehingga tidak layak untuk dimuat dalam Konstitusi. Berhubung dengan itu, berbagai bangsa di dunia dalam menyusun Konstitusinya, menempatkannya di dalam Preambul Konstitusi. Wheare mengakui bahwa Konstitusi yang dalam Preambulnya memuat pengakuan keyakinan tertentu yang dipegang teguh oleh bangsa yang bersangkutan dan memuat cita-cita bangsa yang hendak diwujudkan, selain melahirkan respect juga menumbuhkan affection rakyat pada Konstitusi, yang bermuara pada kesediaan bertaat pada Konstitusi demikian rupa yang tidak dapat diharapkan ditimbulkan oleh Konstitusi yang semata-mata memuat ketentuan hukum terpilih saja (Wheare, 1960 : 74).

Prinsip-prinsip non-hukum yang dituangkan dalam Preambul itu, dalam ilmu hukum dinamai sebagai apriori-hukum (rechtsapriorie) yang mendahului- dan sekaligus menjadi sumber dari hukum-positif.

Yang dimaksud dengan apriori-hukum adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi hukum dalam arti : apa yang tidak dapat dipersatukan dengan dirinya adalah bukan hukum. (Larenz, dalam Hommes, 1972 : 145). Tanpa adanya apriori-hukum tidak akan ada hukum yang memiliki watak normatif.

Dalam pengertian ini, prinsip-prinsip termaksud ditransformasi menjadi pasal-pasal dalam konstitusi, dalam bentuk sebagai ketentuan-hukum. Sebagai contoh, Wheare mengemukakan Konstitusi Irlandia yang dalam Preambulnya atara lain mencantumklan keyakinan religius rakyatnya dengan rumusan : The Most Holy Trinity from Whom all authority and to Whom, as our final end all actions both of men and states must be referred. (Wheare, 1960 : 73). Rumusan tersebut menunjukkan sendiri bahwa segenap ketentuan-hukum yang dituangkan dalam batang tubuh Konstitusi dalam bentuk pasal-pasal-- harus dialirkan dari- atau dapat dipertanggungjawabkan kepada keyakinan religius itu. Faham mengenai Konstitusi sebagai piagam pernyataan bangsa dianut oleh sejumlah bangsa di dunia Barat maupun Timur dalam menyusun konstitusinya.

3. Kedudukan dan Fungsi Preambul

Studi mengenai perbedaan pengertian konstitusi tersebut melahirkan 2 aliran faham mengenai kedudukan dan fungsi preambul Konstitusi di lingkungan Teori Konstitusi.

a. Kedudukan Preambul

Konsekuen dengan fahamnya mengenai pengertian Konstitusi dalam arti sempit, Wheare berpendapat bahwa preambul konstitusi yang memang tidak merupakan bagian dari Konstitusi, dan dengan demikian juga bukan bagian dari hukum, apabila diadakan. Ia merupakan tempat yang semata-mata (strictly) untuk menuliskan proses faktual mengenai terjadinya Konstitusi dan untuk menyatakan siapa pembuat Konstitusi, dengan maksud agar Konstitusi memiliki wibawa sebagai hukum tertinggi (KC Wheare, 1960:72). Dalam kaitan ini, Wheare mencontohkan rumusan Preambul Konstitusi Amerika Serikat.

Baik Wheare maupun Corwin adalah penganut faham konstitusi dalam arti sempit. Menurut faham ini, kedudukan Preambul berada di luar Konstitusi; sebagai konsekuensinya tidak memiliki watak normatif.

Alih-alih, para pakar konstitusi yang menganut pengertian konstitusi dalam arti luas berpendapat bahwa Preambul adalah bagian inharent dari Konstitusi; bagian yang tak terpisahkan dari- dan sekaligus yang memberi kualitas pada Konstitusi. Dengan kata lain, Preambul berkedudukan di dalam Konstitusi, dan sebagai pemberi kualitas pada Konstitusi, ia adalah apriori-hukum yang secara imperatif menentukan muatan dari kentuan-hukum yang dituangkan dalam pasal-pasal konstitusi.

b. Fungsi Preambul

Dalam faham konstitusi dalam arti sempit, fungsi Preambul adalah sekadar sebagai tempat untuk menyatakan siapa pembuat Konstitusi, dan ada kalanya dimuati dengan pernyataan mengenai tujuan besar yang telah ditetapkan oleh Konstitusi dan pemerintahan negara yang diharapkan untuk mewujudkannya. Preambul tidak memiliki watak normatif.

Faham konstitusi dalam arti luas mengajarkan bahwa fungsi preambul adalah sebagai apriori-hukum pemberi makna-hukum sekaligus watak-normatif pada ketentuan-hukum yang dituangkan dalam batang-tubuh Konstitusi dalam bentuk sebagai pasal. Semua ketentuan-hukum dalam batang-tubuh konstitusi harus teralir dari-dan dapat dipertanggungjawabkan kepada apriori-hukum. Dengan kata lain, ketentuan-hukum yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada apriori-hukum, adalah bukan hukum, dan secara yuridik batal karena hukum.

4. Pembukaan UUD 1945

Para pendiri-negara Republik Indonesia menganut faham Konstitusi dalam pengertian luas: Konstitusi sebagai piagam pernyataan bangsa. Pembukaan UUD 45 mengandung :

Keyakinan filsafati beserta konsekuensi-politiknya seperti yang tercantum dalam alinea pertama: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa (keyakinan filsafati) dan oleh karena sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan (konsekuensi politik).

Pernyataan historik mengenai p e r j u a n g a n panjang merubut kemerdekaan dari tangan penjajah sekaligus pernyataan teleologik mengenai t u j u a n yang hendak diwujudkan oleh negara, seperti yang tercantum dalam alinea kedua: Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonseia ke depan pintu gerbang kemerdekaan (perjuangan historik) negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (tujuan-negara).

Keyakinan religius bahwa tercapainya kemerdekaan Indonesia adalah berkat dilimpahkanNya rahmat Allah kepada rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya, seperti yang terumus dalam alinea ketiga Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya.

Embanan (mission) yang dilimpahkan oleh rakyat kepada negara yang tercantum dalam alinea keempat seperti yang terumus sebagai 4 fungsi-negara: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Keyakinan filsafati yang tercantum dalam alinea keempat, tersusun oleh 5 nilai intrinsik yang merupakan seluruhan integral: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

yang niscaya dijadikan d a s a r dalam melaksanakan embanan negara menuju terwujudnya tujuan dari didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan memegang teguh keyakinan religius dan keyakinan filsafati bangsa, dan senantiasa mengingati perjuangan para perintis- dan pahlawan kemerdekaan.

Dalam kerangka interaksi sistemik antarsubstansi yang terkandung dalam empat alinea Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila sebagai pembimbing inilah para pendiri-negara menetapkan bahwa : Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini yang tidak lain adalah Pancasila itu sendiri- dalam pasal-pasalnya (Penjelasan UUD 1945, angka III, sebelum diamandemen).

a. Makna Yang Terkandung Dalam Pembukaan UUD 1945

1). Alinea Pertama

Makna filsafati yang terkandung di dalam Alinea Pertama adalah : bangsa Indonesia berkeyakinan semua bangsa di dunia sama derajad; keyakinan ini mengandung konsekuensi-politik : tiap bangsa berhak berpemerintahan sendiri.

Makna politik dari keyakinan ini adalah bahwa bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan politik luar negeri, mengemban kewajiban moral dan kewajiban politik : a-priori berpihak pada bangsa yang berjuang untuk kemerdekaannya. Bersikap netral tidak dimungkinkan lagi apabila bangsa Indonesia tak ingin didakwa ingkar terhadap keyakinannya sendiri.

Makna politik dari alinea Pertama sebagai seluruhan adalah pembelaan terbuka terhadap eksistensi pemerintahan merdeka.

2). Alinea Kedua

Penggalan pernyataan telah sampailah kepada saat yang berbahagia mengungkapkan makna historik bahwa sebelum saat itu tiba, bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan lahir dan batin yang ditimpakan oleh penjajahan Belanda selama 350 tahun dan disusul penjajahan Jepang selama 3,5 tahun.

Penggalan pernyataan saat yang berbahagia mengungkapkan makna sesaat pada waktu itu, yang berwujud rasa syukur bangsa Indonesia atas berhasilnya perjuangan panjang beserta penderitaannya dalam melawan penjajahan Belanda di bumi Indonesia dan atas terbukanya pintu gerbang kemerdekaan untuk dimasuki rakyat Indonesia mendirikan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, yang sejak berpuluh tahun sebelumnya merupakan t u j u a n dari pergerakan kemerdekaan Indonesia yang ditetapkan oleh para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Makna historik yang terkandung di dalam alinea kedua adalah: bahwa embanan (mission) dari perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah mengantarkan rakyat Indonesia sampai di depan pintu gerbang kemerdekaan. Rakyat Indonesia sendirilah yang akan memasuki alam kemerdekaan yang berada di sebelah dalam dari pintu gerbang itu. Berkenaan dengan itu, Alinea kedua ini juga mengandung makna teleologik yaitu: bahwa pewujudan Negara Indonesia yang merdeka, yang bersatu, yang berdaulat, yang adil , dan yang makmur adalah tugas rakyat seterusnya dibawah bimbingan Pancasila dan berdasarkan pada UUD 1945.

3). Alinea Ketiga

Alinea Ketiga mengungkapkan makna religius dan makna moral.

Makna religius yang terungkap dari Alinea Ketiga adalah: pengakuan bangsa Indonesia mengenai kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan sebagai prima kuasa. Segala sesuatu yang ada atau terjadi di dunia niscaya atas kehendakNya. Demikian juga dengan kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia yakin dan sadar bahwa pergerakan kemerdekaan Indonesia yang penuh penderitaan itu sekedar ikhtiar manusia. Tanpa ridho Tuhan, kemerdekaan Indonesia tidak mungkin terwujud.

Makna moral terungkap dari pernyataan: dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,. Artinya, pewujudan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yang diamanatkan oleh para pendiri-negara dalam Alinea Kedua, melalui penyelenggaraan empat fungsi-negara yang tercantum di dalam Alinea Keempat, benar-benar akan membahagiakan bangsa Indonesia, selama bangsa Indonesia memelihara ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan setia pada keinginan yang luhur yang mendorong terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Alinea Ketiga menimbulkan pertanyaan: mengapa pernyataan kemerdekaan masih perlu dicantumkan dalam Pembukaan UUD45 sedang pernyataan yang sama telah dikumandangkan sehari sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam bentuk Proklamasi Kemerdekaan. Memperhatikan antara teks Proklamasi Kemerdekaan dan rumusan Alinea Ketiga, jawaban yang terdekat pada kebenaran adalah: pernyataan kemerdekaan yang tertuang didalam Alinea Ketiga merupakan pertanggungjawaban mengenai dan penegasan terhadap Proklamasi Kemer-dekaan.

Pertanggungjawabannya terletak pada : pernyataan kemerdekaan yang d i s e r - t a i pernyataan apa yang menjadi penyebabnya, yaitu yang terdapat didalam Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945 seperti yang telah dipaparkan di muka, dan d i d a s a r k a n pada keyakinan filsafati bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa yang tertuang didalam Alinea Pertama.

Penegasannya terletak pada pernyataan: bahwa kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Dengan itu bangsa Indonesia menegaskan keyakinannya bahwa tercapainya kemerdekaan bukan semata-mata hasil usaha manusia, melainkan terutama karena ridho Tuhan. Penegasan ini dirasa perlu sebagai pelengkap teks Proklamasi Kemerdekaan, karena dalam teks tersebut tidak terdapat ungkapan keimanan kepada Tuhan. Memang, sesudah Bung Karno selesai membaca teks Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, beliau langsung mengucapkan panjatan doa: Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.

4). Alinea Keempat

Alinea Keempat mengandung 3 makna ketatanegaraan. Petama, tujuan-negara (staatsdoel) yang tercantum dalam Alinea Ketiga, yaitu: terselenggaranya negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, oleh para pendiri-negara ditetapkan melalui penyelenggaraan 4 macam fungsi-negara (staatsfunctie) yang terdapat dalam Alinea Keempat: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpahdarah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kedua, penyelenggaraan keempat fungsi-negara tersebut harus merujuk pada Pancasila sebagai dasarnya. Ketiga, fungsi yang pertama itu tidak mungkin diselenggarakan oleh negara yang menganut citanegara (staatsidee) liberal, yang faham-dasarnya adalah kedaulatan individu, dan karenanya niscaya berpihak pada mayoritas rakyat (Locke, 1965 : 375-376; Book II, Chap. VIII, para : 95,96,97).

Juga tidak mungkin diselenggarakan oleh negara yang menganut citanegara klas, yang berfaham bahwa negara adalah mesin penindas dari klas yang berkuasa terhadap klas yang dikuasai (Afanasyev, 1960 : 297). Karenanya, negara mutlak berfihak pada kelas proletar.

Negara yang sepadan untuk menyelenggarakan fungsi termaksud adalah negara yang menganut citanegara negara perstuan. Sesungguhnya, fungsi-negara yang pertama itu justru yang teralir dari citanegara negara persatuan yang dianut oleh negara Repblik Indonesia, seperti yang dinyatakan dalam Penjelasan UUD 1945 Angka II, butir 1 : Dalam Pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, ..

Makna historik yang terkandung di dalam rumusan fungsi pertama adalah: bahwa selama masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda dalam rangka memelihara kolonialismenya, melakukan politik devide et impera (dipecah untuk dikuasai) melalui jalur budaya secara halus. Dampaknya ditiap daerah lahir himpunan pemuda lokal dengan nama yang mencerminkan kepecahan mental bangsa seperti Jong Java, Jong Sumatera, jong Ambon, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya. Fungsi-negara dengan rumusan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah itu, selain secara konseptual dimaksudkan oleh para pendiri-negara untuk mengintegrasi serba majemukan-obyektif yang melekat pada masyarakat Indonesia, secara ad hoc dimaksudkan untuk menghapus mental perpecahan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.

5. Transformasi Ideologik

a. Transformasi Pancasila menjadi Empat-PP

Para pendiri-negara menyatakan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa Pembukaan UUD 1945 mengandung empat Pokok Pikiran (selanjutnya disingkat menjadi 4-PP). Bila 4-PP itu kita pelajari dengan seksama, kita mendapat pengetahuan bahwa 4-PP itu tak lain adalah Pancasila itu sendiri; artinya 4-PP adalah Pancasila yang oleh pendiri-negara ditransformasi menjadi 4 buah asas yang khusus diproyeksikan pada penyelenggaraan kehidupan bernegara. Berikut ini kita sandingkan 4-PP dengan Pancasila. Menarik perhatian kita bahwa urutan dari 4-PP tidak mengikuti urutan hirarkhik dari lima silanya Pancasila. Mengenai logik dari kebedaan urutan ini akan diterangkan kemudian, setelah selesai membicarakan Pokok Pikiran yang keempat.

PANCASILA

EMPAT POKOK PIKIRAN

3. Persatuan Indonesia

I. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

II. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

III. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Kemanusiaan yang adil dan

beradab.

IV. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Per definisi, transformasi adalah perubahan bentuk atau tampilan ke luar dari suatu obyek tanpa terubah nilainya demikian rupa sehingga dapat dipakai untuk penggunaan baru. Dalam hal tranformasi ideologi Pancasila mejadi 4 asas kenegaraan (4-PP), d e f i n i e n s yang mengungkapkan perubahan tampilan ke luar berwujud rumusan tiap Pokok Pikiran yang berbeda dari Sila yang bersangkutan; sedang d e f i n i e n s yang mengungkapkan 'tanpa terubah nilainya niscaya berwujud: ikut termutasinya nilai intrinsik yang terkandung di dalam ideologi Pancasila ke 4-PP. Termutasinya nilai intrinsik ini masih harus kita buktikan kebenarannya.

D e f i n i e n s yang mengungkapkan dipakai untuk penggunaan baru berwujud penggunaan sebagai empat asas penyelenggaraan negara, dan sebagai empat fungsi negara.

Untuk mengetahui ada atau tidaknya nilai intrinsik yang termutasi dari ideologi Pancasila ke 4-PP, jalan yang terbuka adalah: melakukan proses refleksi untuk mendapatkan pengetahuan: nilai intrinsik apa yang terkandung di dalam ideologi Pancasila; kemudian mengkaji apakah nilai intrinsik termaksud termutasi atau tidak ke 4-PP.

b. Nilai Intrinsik yang Terkandung di dalam Ideologi Pancasila

Seperti telah diketahui, Pancasila itu digali dari bumi budaya Indonesia. Penggali Pancasila -yaitu Ir. Soekarno- menyatakan sendiri bahwa Pancasila digalinya dari bumi budaya Indonesia sampai empat saf dalamnya.

Budaya Indonesia itu kaya akan faham dan pranata sosial yang mengungkapkan nilai k e b e r s a m a a n , seperti antara lain : gotong-royong, yang dikenal oleh masyarakat di seluruh Nusantara, rembug deso, kerapatan adat, dalian na tolu, sebagai pranata sosial yang berlaku secara berturut di lingkungan masyarakat Jawa, Minangkabau, dan Batak; faham Si tou tou tumou tou di lingkungan masyarakat Manado, yang artinya: manusia menjadi manusia karena memanusiakan orang lain; tanggap ing sasmito di lingkungan masyarakat Jawa yang maknanya: tanpa diminta, berpeduli akan kepentingan orang lain; pohon berbuah bukan untuk dirinya sendiri dan masih banyak lagi faham dan pranata sosial di lingkungan semua sub-etnik di Indonesia yang mencerminkan nilai kebersamaan.

Segenap faham dan pranata sosial partikular yang mencerminkan nilai kebersamaan, yang berlaku di lingkungan sub-etnik tertentu itu melalui proses sublimasi yang dilakukan oleh Empu Tantular pada abad XV dan oleh Bung Karno pada abad XX, memunculkan faham yang sama, yaitu faham integrasi. Tantular langsung mendapatkan sublimasian paling tinggi, yaitu suatu faham yang ia ungkapkan dengan bahasa susastera bhineka tunggal ika. Bersamaan berdirinya Negara Republik Indonesia lima abad kemudian, bhineka tunggal ika dijadikan sasanti resmi dari Negara. Bung Karno mendapatkan tiga saf sublimasian secara berjenjang dari bawah ke atas; pada saf pertama didapatkan lima buah sila yang kemudian kita kenal sebagai Pancasila; pada saf kedua di atasnya, didapatkan tiga sila, yaitu: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan; pada saf ketiga di atasnya lagi, didapatkan satu sila, yakni: gotong-royong.

Khusus mengenai sila gotong-royong ini, Bung Karno memberi penjelasan di hadapan Rapat Besar Pertama BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai berikut ini.

Jadi, yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Sebagai tadi telah saya katakan, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua ! bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikusumo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu perkataan g o t o n g - r o y o n g. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara g o t o n g - r o y o n g ! Alangkah hebatnya! N e g a r a g o t o n g - r o y o n g ! (tepuk tangan riuh rendah).

Gotong-royong adalah faham yang d i n a m i s, lebih dinamis dari kekeluargaan, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Sukardjo : satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, secara b e r s a m a - s a m a ! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan k e r i n g a t bersama, semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong-Royong ! (tepuk tangan riuh rendah) (Mualif Nasution, 1949 : 44-45).

Uraian Bung Karno mengenai Gotong-Royong itu mengungkapkan faham i n t e g r a s i dalam pengertian p r o s e s , yaitu proses interaksi saling-membantu, saling-menunjang, saling-memberi antarsegenap subyek dalam ke-hidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, yang pada muaranya atau puncaknya menghasilkan keadilan dan kemakmuran bersama.

c. Bhineka Tunggal Ika

Bhineka Tunggal Ika adalah suatu ungkapan yang sangat terpelajar dari Empu Tantular lima abad yang lalu. Dikatakan sangat terpelajar karena ungkapan termaksud menunjukkan bahwa Tantular telah menempuh proses bernalar yang dalam dunia modern dikategori sebagai matematika modern, dalam menemukan faham bhineka tunggal ika yaitu: bahwa ika adalah fungsi yang daripadanya fungsi lain tertentu adalah derivat atau differensialnya. Fungsi differensial adalah fungsi dari tiap bhin partikular, yang ada di dalam bhinneka. Ika yang demikian itu, dalam matematika didefinisi sebagai i n t e g r a s i .

Bhinneka Tungal Ika adalah ungkapan dalam bahasa sanskerta. Ungkapan itu diciptakan oleh Empu Tantular untuk digunakan sebagai semboyan yang dimaksudkan untuk memadu kemajemukan yang ada di seluruh Nusantara pada masa kerajaan Majapahit.

Arti harfiah dari: bhineka adalah beraneka atau berbeda-beda; tunggal itu sama dengan arti dalam bahasa Indonesia, yaitu tidak jamak, atau diungkapkan secara positif satu yang tertentu, sedang ika adalah kosa kata sanskerta yang artinya satu. Dengan demikian arti harfiah dari ungkapan bhineka tunggal ika adalah :

berbeda beda (tetapi merupakan) satu yang tertentu (yang) satu.

Bubuhan (tetapi merupakan) dan (yang) yang diselipkan diantara tiga arti harfiah tersebut dapat dibenarkan, karena suatu ungkapan yang dijadikan semboyan itu lebih mengutamakan tertangkapnya pesan daripada pemenuhan hukum gramatikal bahasa. Arti harfiah yang telah kita dapatkan di muka demikian harfiahnya hingga belum mengungkapkan makna tertentu. Untuk mendapatkannya, pada tahap berikutnya kita dapat mengubah kosa kata satu tanpa menyimpang dari arti aslinya, menjadi bersatu sehingga kita mendapatkan rumusan kalimat yang berkurang sifat harfiahnya, seperti berikut:

berbeda-beda (tetapi merupakan) satu yang tertentu (yang) bersatu.

Pada tahap berikutnya, (1) kita analisis ungkapan satu yang tertentu (yang) bersatu :satu yang tertentu itu berarti: satu yang khas. (2) (yang) bersatu adalah suatu kondisi yang berkualifikasi persatuan. Suatu kondisi persatuan niscaya mengandung sejumlah komponen. Interaksi saling memberi antar-komponennya itulah yang menghasilkan kondisi persatuan.

Kesimpulan dari (1) dan (2) adalah: kekhasan dari satu yang tertentu itu adalah : bahwa ia menjadi ada berkat interaksi saling-memberi antarkom-ponennya.

Merujuk pada matematika, khususnya teori himpunan, terbentuknya suatu seluruhan oleh sejumlah komponen yang berinteraksi satu dengan yang lain, dikenal dengan figur integrasi. Berhubung dengan itu, sasanti bhineka tunggal ika itu mengandung sekaligus mengungkapkan konsep i n t e g r a s i .

Merujuk pada teori etikal, nilai adalah suatu konsep yang eksplisit atau implisit khas perorangan atau karakteristik dari sekelompok orang mengenai sesuatu yang didambakan, yang berpengaruh pada pemilihan pola, sarana, dan tujuan, dari tindakan. (Clyde Kluckhorn, seperti yang dikutip Talcott Parsons, 1954:395).

Sedangkan yang dimaksud dengan intrinsik dapat digambarkan sebagai berikut: sesuatu yang menjadi dambaan orang, berkat apa adanya dia; berkat ciri-ciri yang dimilikinya, atau relasi antarciri. Jadi, ciri-ciri yang membuat sesuatu menjadi dambaan orang, sama sekali tidak melibatkan apapun dari luar sesuatu yang didamba itu; ciri-ciri termaksud adalah apa adanya dia, tidak tergantung dari semua hal lainnya yang ada di dunia, dalam arti : secara logik ciri-ciri tersebut dimungkinkan merupakan hal yang beda bagi semua hal lainnya di dunia, tetapi baginya sendiri tetap sama. Ciri-ciri yang demikian itu kita kategorikan sebagai intrinsik, dan kita dapat menyatakan bahwa sesuatu hal -dapat berupa peristiwa, kondisi tertentu, atau nilai- didambakan secara intriksik, hanya apabila ia terdamba berkat ciri-cirinya yang intrinsik (Brandt, 1959:102-103). Jadi tiap nilai intrinsik niscaya bersifat khas, tidak ada duanya.

Melalui dua rujukan terakhir, faham integrasi yang terkandung di dalam sasanti Bhineka Tunggal Ika maupun yang dihasilkan oleh proses sublimasi Bung Karno dapat dikualifikasi sebagai nilai intrinsik. Jadi, kita telah mendapat pengetahuan bahwa: nilai intrinsik yang terkandung di dalam ideologi Pancasila adalah integrasi.

d. Mutasi Nilai Integrasi

Merujuk pada definisi pengertian transformasi yang telah dikemukakan pada halaman 23, dan telah teridentifikasinya nilai intrinsik yang terkandung di dalam Pancasila, yaitu : nilai intergasi, pada tahap ini perlu kita kaji benar-tidaknya termutasinya nilai integrasi yang terkandung di dalam Pancasila ke 4-PP melalui tiap PP-nya.

Dalam rangka ini, tiap PP perlu dipelajari secara seksama, dalam arti : mempelajari rumusan formalnya beserta penjelasan resminya ; bila perlu, juga mempelajari penjelasan historik yang dapat diperoleh dari beberapa rapat BPUPKI pada tahun 1945.

Pokok Pikiran I

Rumusan Formal

Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. (Penjelasan UUD 1945, butir II, angka 1).

Penjelasan Resmi

Dalam pembukaan ini diterima aliran pikiran negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi, negara mengatasi segala faham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian pembukaan itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan. (Penjelasan UUD 1945, Butir II, Angka 1).

Penjelasan resmi yang menyatakan : Dalam pembukaan ini diterima aliran pikiran negara persatuan, ., menunjukkan bahwa PP-I adalah rumusan suatu citanegara (staatsidee). Sedang seluruh kalimat yang berada di belakangnya, yaitu :

negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya,

negara mengatasi segala paham golongan,

negara mengatasi segala paham perorangan,

negara menghendaki persatuan (yang) meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya, mengungkapkan muatan dari citanegara termaksud.

Rumusan pasal dari Penjelasan Resmi di atas, meskipun tak dimaksudkan sebagai rumusan suatu definisi, namun ditinjau dari strukturnya, ia menggunakan bentuk definisi, yaitu: negara persatuan sebagai definiendum dan semua ungkapan yang bersifat formal yang berada di belakangnya adalah definiens-nya. Bila beberapa frase kalimat yang bersifat informal, seperti: Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian , .menurut pengertian pembukaan itu , dan kata sambung : Jadi , ditanggalkan, maka ia menampilkan diri sebagai definisi mengenai pengertian negara persatuan.

Ternyata, semua definiens-nya mengungkapkan nilai integrasi. Kunci dari konsep integrasi adalah kata sifat persatuan yang melekat pada definiendum negara persatuan. Kata sifat persatuan itu menunjuk pada suatu kondisi terintegrasi sebagai suatu keluaran dari interaksi saling-memberi antarkomponen konstitutifnya. Dalam hal negara, komponen konstitutif termaksud adalah individu warga negara, golongan yang ada dalam masyarakat dengan berbagai bentuknya, dan wilayah beserta segenap kekayaan alamnya, yang satu dengan lainnya saling terkait. Kondisi terintegrasi tersebut, oleh negara diniatkan untuk dilindunginya secara integratif yang diungkapkan oleh definiens meliputi seluruhnya.

Definiens mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perorangan juga mengungkapkan nilai integrasi. Definiens tersebut menyatakan bahwa yang menjadi perhatian negara adalah segenap golongan, maupun segenap individu warga-negara dalam keadaan kebersamaannya ; bukan golongan tertentu saja, dan bukan individu tertentu saja. Pernyataan tersebut adalah pernyataan integratif.

Definiens menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya juga mengungkapkan nilai integrasi. persatuan dalam definiens ini adalah keadaan ter-integrasi sebagai suatu keluaran. Sedang meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya mengungkapkan sosok suatu seluruhan integral atau suatu totalitas dari obyek yang di-persatukan. Dari refleksi tersebut, kita mendapat pengetahuan bahwa : defeniendum dan semua definiens dari Penjelasan Resmi mengungkapkan nilai integrasi.

Berkenaan dengan itu, tipe dari citanegara yang dianut UUD 1945 adalah citanegara integratif, yang oleh Prof. Supomo pada Rapat Besar BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 diperkenalkan dengan nama citanegara integralistik. Dalam rumusan PP-I, citanegara integralistik itu mendapat sebutan resmi : Citanegara Negara Persatuan.

Pokok Pikiran II

Rumusan Formal

Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Penjelasan Resmi

Rumusan PP-II demikian lugas dan bahasanya begitu sederhana sehingga makna yang terkandung di dalamnya mudah dipahami. Para pendiri-negara merasa tidak perlu memberi penjelasan resmi.

Penjelasan Historik

Saudara-saudara, saya usulkan : kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yani politiek-economische demokratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial ! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil ? Yang dimaksud dengan Ratu Adil ialah sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial). Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan dibawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. (Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, di hadapan Rapat Besar BPUPKI ; Mualif Nasution, 1949:39-40).

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat. Kita telah menentukan di dalam sidang yang pertama (29 Mei s.d. 1 Juni 1945), bahwa kita menyetujui kata keadilan sosial dan preambule. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme. (Pidato Bung Karno, tanggal 15 Juli 1945, di hadapan Rapat Besar ke-2 BPUPKI ; Himpunan Risalah Sidang-sidang BPUPKI, Reproduksi Sekretariat Negara RI, 1978 : 230).

Perlu diketahui bahwa dalam seluruh sidang BPUPKI, yang mengajukan pikiran mengenai keadilan sosial hanyalah Bung Karno. Sedang Bung Hatta mengajukan konsep ekonomi yang didasarkan pada asas kekeluargaan, yang kemudian dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Bila Pasal 33 itu benar-benar terlaksana seperti yang dimaksudkan oleh Bung Hatta, akan menghasilkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari penjelasan-historik yang pertama, yang menerangkan bahwa keadilan sosial adalah kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya, kita mendapatkan pengetahuan bahwa keadilan sosial itu adalah keadilan intersubyektif, keadilan yang lahir dari interaksi antar-manusia yang saling peduli. Dari penjelasan-historik yang kedua, yang menyatakan bahwa: keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme, kita mendapat pengetahuan bahwa keadilan sosial bukanlah keadilan yang bersubyek individual, seperti yang diajarkan oleh para filsuf liberal, antara lain Thomas Hobbes dan John Locke yang berpangkal tolak dari premis: aku adalah milik diriku sendiri, tidak pernah berhutang budi kepada masyarakat! (Macpherson, 1972:3), John Locke yang berpendapat bahwa hak-pemilikan (posession) adalah barang-jadi (ready-made thing) yang original individual (Locke, 1960: Vol II, State of Nature, passim).

Bahwa keadilan sosial adalah keadilan intersubyektif, ke-adilan hasil interaksi antara manusia yang saling peduli, menunjukkan sendiri bahwa ia adalah keadilan integratif. Dengan demikian, kita mendapat pengetahuan bahwa PP-II yang menyatakan: Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat mengungkapkan nilai integrasi yang terkandung di dalam ideologi Pancasila.

Pokok Pikiran III

Rumusan Formal

Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.

Penjelasan Resmi

Oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.

Penjelasan Historik

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat ! Kita rancangkan Undang-undang Dasar dengan kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan individu.

Kedaulatan rakyat sekali lagi, dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut paham Panitya Perancang Undang-undang Dasar, satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian hari. Jikalau faham inipun dipakai oleh bangsa-bangsa lain, itu akan memberi jaminan akan perdamaian dunia yang kekal dan abadi. (Bung Karno, dihadapan Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 ; Moh. Yamin, 1960 : 297).

Kedaulatan adalah ditangan rakyat. Artinya sebagai penjelmaan rakyat, tadi Panitya Perancang menyebut Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan rakyat. Jadi dengan lain perkataan, Majelis Permu-syawaratan Rakyat yalah penyelenggara negara yang tertinggi, maka oleh karena itu harus bersifat penjelmaan rakyat sendiri, penjelmaan seluruh rakyat. Dan oleh karena itu juga, yang dikehendaki oleh panitya, ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat itu hendak dibentuk sedemikian, sehingga betul-betul seluruh rakyat mempunyai wakil di situ. (Supomo, di hadapan Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945; Moh. Yamin, 1960:308).

Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi disebelah itu janganlah kita memberi kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu, ada baiknya dalam salah satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga di sebelah hak yang sudah diberikan kepada rakyat, misalnya tiap-tiap warga-negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebutkan disini hak untuk berkumpul, dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Formulering-nya atau redaksinya kita serahkan kepada Panitia Kecil. Tetapi tanggungan (jaminan) ini perlu untuk menjaga, supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat. Tetapi kedaulatan rakyat bisa dipergunakan oleh negara, apalagi menurut susunan Undang-Undang Dasar sekarang ini yang menghendaki kedaulatan rakyat yang kita temui di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan penyerahan kekuasaan kepada Presiden, ialah Presiden jangan sanggup menimbulkan suatu negara kekuasaan. (Bung Hatta, di hadapan Rapat Besar BPUPKI, tanggal 15 Juli 1945 ; Moh. Yamin, 1960:299).

Penjelasan yang dikemukakan oleh Bung Karno memberi pengetahuan mengenai apa yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat. Yaitu yang berdaulat adalah seluruh rakyat ; artinya yang berdaulat adalah para individu warganegara dalam keadaan kebersamaannya, bukan dalam keadaan solitaire, terpisah dari individu yang lain. Sedang penjelasan Supomo memberi pengetahuan kepada kita bahwa sebagai konsekuensi dari faham kedaulatan rakyat yang bersifat integral, MPR sebagai lembaga pelaku kedaulatan rakyat, niscaya merupakan penjelmaan dari rakyat sebagai seluruhan,dari seluruh rakyat dalam keadaan kebersamaannya; bukan dari mayoritas rakyat yang niscaya merupakan figur dari kedaulatan individu. Penjelasan Bung Hatta memberi pengetahuan kepada kita bahwa: kedaulatan seluruh rakyat yang dijelmakan menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan pada gilirannya Majelis memberikan mandat kekuasaan kedaulatan rakyat kepada Presiden untuk melaksanakan kehendak rakyat yang berdaulat (dalam bentuk GBHN) dan menjalankan pemerintahan negara, harus dijaga jangan sampai Presiden berpeluang untuk merubah negara pengurus menjadi negara kekuasaan.

Kedaulatan seluruh rakyat adalah kedaulatan rakyat yang bersifat integral; MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat adalah majelis yang komposisi anggotanya mencerminkan integrasi dari segenap golongan rakyat yang ada dalam masyarakat Indonesia. Jaminan hukum yang diusulkan Bung Hatta (Pasal 28 UUD 1945) bertujuan untuk menjaga kedaulatan rakyat integral, yang berada ditangan Majelis, maupun yang dikuasakannya kepada Presiden, tidak bisa disalahgunakan untuk menimbulkan negara kekuasaan. Ketiga institusi yang terkandung di dalam Pokok-Pikiran III tersebut mengungkapkan bahwa nilai integrasi yang terkandung di dalam ideologi Pancasila ternyata termutasi ke Pokok Pikiran III.

Pokok Pikiran IV

Rumusan Formal

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Penjelasan Resmi

Oleh karena itu, Undang-undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur (Penjelasan UUD 1945, Butir II, Angka 4).

Penjelasan Historik

Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Perkataan ini kita ambil dari Pembukaan. Sesuai dengan gentlement agreement itu sebetulnya ketentuan dalam Pembukaan sudah cukup. Tetapi kita maju selangkah, maju dengan ketentuan dalam Undang-undang Dasar yaitu ayat (1) Negara berdasar ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut kepercayaan masing-masing. Ayat (2) masuk dalam Pembukaan itu, dan dimajukan juga dalam kompromis itu. Sekali-kali bukan maksudnya akan mengganggu dan membatasi golongan-golongan lain yang beragama lain, sama sekali tidak. Memang kita menghendaki dasar ke-Tuhanan dan dasar kemanusiaan, dan atas dasar-dasar itu dengan sendirinya kita harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing.

Ini adalah suatu kompromis, artinya bahwa kaum kebangsaan atau salah seorang yang bukan beragama Islam tidak boleh --umpamanya-- minta atau mendesak supaya mengurangi jaminan kaum Islam, sebab sudah menjadi kompromis, perjanjian moral yang sangat luhur; dan begitu juga sebaliknya, seperti kemarin diuraikan oleh Tuan Abikusno, dan tuan-tuan sekalian bulat mufakat ; janganlah golongan agama minta jaminan lebih lagi untuk ditambahkan dalam pasal apapun, supaya dikemukakan jaminan kepada agama Islam. Jadi, kedua belah pihak sudah cukup terjamin kepentingannya. (Uraian Supomo dihadapan Rapat Besar BPUPKI, tanggal 15 Juli 1945; Moh. Yamin, 1960 : 304-305).

Penjelasan historik tersebut mengungkapkan bahwa PP-4 itu ditinjau dari proses perumusannya, merupakan kompromi antara golongan kebangsaan yang menghendaki negara Indonesia yang akan didirikan ber-t i p e negara sekuler dan golongan Islam yang menginginkan t i p e negara klerikal (negara keagamaan), yaitu: negara Islam. Ditinjau dari substansi materinya, PP-4 merupakan integrasi dari kedua t i p e negara termaksud, seperti berikut ini:

Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa membersitkan nuansa negara keagamaan, dalam arti: segenap kebijaksanaan negara tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan keduniawian yang merupakan asas-pokok dari negara sekuler- melainkan juga melibatkan pertimbangan moral keagamaan, t a n p a menjadikan hukum dari agama tertentu sebagai hukum negara; menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab membersitkan nuansa negara sekuler, dalam arti: negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya t a n p a memberlakukan doktrin sekularisme.

Penjelasan historik dari PP-4 seperti yang telah dikutip di halaman 33, mengungkapkan relasi integratif antara: Tipe negara yang terrumus sebagai PP-4 dan citanegara yang terumus sebagai PP-1.

Relasi integratif termaksud ditunjukkan sendiri oleh para pendiri-negara seperti yang terumus sebagai implikasi normatif pada kehidupan kenegaraan; dalam hal ini pada para penyeleng-gara negara :

Oleh karena itu, Undang-undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. (Penjelasan UUD 1945, angka I, butir 4).

'Kewajiban memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur itu tertuju pada keharusan pemerintah dan lain penyelenggara negara, untuk memelihara keinsyafan bahwa : kekuasaan yang mereka emban adalah milik rakyat yang berdaulat seperti yang terumus sebagai PP-3. Kewajiban memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur itu tertuju pada keharusan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk setia pada tujuan yang hendak dicapai dengan menggunakan kekuasaan yang berasal dari rakyat yang berdaulat; dalam hal ini adalah: keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang terumus sebagai PP-2.

Dari segenap uraian tersebut di muka, kita mendapat pengetahuan bahwa PP-4 itu :

- adalah integrasi dari dua tipe-negara, yaitu : negara sekuler dan negara klerikal ;

-adalah integrasi dari tipe-negara : Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, dan citanegara: Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

- mengandung implikasi normatif yang teralir dari kondisi terintegrasinya tipe-negara dan cita-negara.

Dari segenap uraian itu, kita mendapat pengetahuan bahwa nilai intergrasi yang terkandung di dalam ideologi Pancasila t e r m u t a s i ke Pokok Pikiran 4.

Dengan demikian, kita telah mendapat pengetahuan bahwa nilai integrasi yang terkandung di dalam ideologi Pancasila benar termutasi ke dalam tiap Pokok Pikiran. Berarti: empat Pokok Pikiran yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah benar t r a n s f o r m a s i a n dari ideologi Pancasila.

e. Beda Urutan

Meskipun 4-PP yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan transformasian dari 5 silanya Pancasila, terdapat kebedaan antara urutan Sila dalam Pancasila dan urutan 4-PP. Kebedaan urutan itu menunjukkan bahwa yang berubah adalah urutan sila, sedang penyebabnya adalah semacam n i s c a y a a n (necessity) urutan yang melekat pada 4-PP.

Selama ini, urutan sila itu secara nalar maupun sebagai keyakinan, kita fahamkan sebagai urutan hirarkhik. Dalam hal ini, sangat terkenal ajaran almarhum Prof. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada mengenai susunan sila Pancasila yang bersifat hirarkhis piramidal. Artinya, sila pada urutan yang lebih atas mengkualifikasi sila yang berada di urutan satu tingkat lebih bawah ; dan secara transitif, sila pertama mengkualifikasi sila ke-2, sila ke-3, sila ke-4, dan sila ke-5. Sila yang berkedudukan pada puncak piramida atau pada jenjang hirarkhi tertinggi adalah sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ada suatu dalil yang menyatakan: sesuatu yang tersusun hirarkhik niscaya tidak mengakomodasi perubahan urutan kedudukan unsur-unsur konstitutifnya. Bila demikian halnya, yang perlu kita pelajari adalah niscayaan yang melekat pada urutan 4-PP ; atau dengan rumusan yang lebih tajam: logik yang terkandung di dalam niscayaan itu. Untuk itu, kita perlu melihat kembali sandingan dua buah urutan termaksud, dengan urutan 4-PP sebagai penjurunya, seperti yang telah disajikan pada halaman 23 di muka.

Bila kita pelajari urutan 4-PP dengan seksama, ternyata ia menunjukkan dua hal yang esensial, yaitu (1) tiap PP mengungkapkan satu aspek dari eksistensi negara, dan (2) urutan-nya mengungkapkan sistematik dari seluruhan eksistensi negara.

1). Aspek Eksistensi Negara

a). Citanegara

Ibarat orang akan membangun rumah, niscaya ditentukan lebih dahulu model rumah yang diidamkan untuk dihuni: rumah Joglo arsitektur Jawa, rumah Gadang arsitektur Minangkabau, atau rumah Villa arsitektur Barat, dan sebagainya. Tiap jenis arsitektur memiliki karakter tersendiri yang bersumber pada budaya dari kelompok masyarakat yang bersangkutan. Sesuaian antara budaya penghuni dan arsitektur rumah itulah yang membuat penghuni merasa sejuk, tenteram, bahagia, hidup di dalam rumah itu. Singkat kata benar-benar merasa betah berasa di rumah sendiri.

Negara adalah ibarat rumah besar dari suatu bangsa; dan tiap bangsa niscaya berbudaya khas; bahkan budaya itulah yang memelihara bangsa tetap bersatu. Dalam disiplin Ilmu Negara arsitektur negara dikenal dengan sebutan citanegara (staatsidee). Namun, karena negara itu bukan rumah dalam arti fisik, melainkan rumah dalam pengertian idea, maka karakteristik kultural yang ditransformasi ke dalam citanegara, tidak hanya berpengaruh pada bentuk dan struktur dari negara, seperti yang terjadi pada rumah fisik, melainkan juga menentukan sifat-sifat dari negara dan bagaimana seharusnya negara bekerja dalam mewujudkan tujuannya.

Melalui analogi pembangunan rumah, mendirikan negara itu, juga didahului dengan penetapan arsitektur, dalam hal ini penetapan citanegara dari negara yang akan didirikan. Pernyataan Prof. Supomo dalam pidatonya tanggal 31 Mei 1945 di hadapan Rapat Besar BPUPKI mengungkapkan hal itu. Berikut ini kutipan bagian pidatonya mengenai hal dimaksud.

Jikalau kita hendak membicarakan tentang dasar sistem pemerintahan yang hendak kita pakai untuk Negara Indonesia, maka dasar pemerintahan itu bergantung pada Staatsidee, pada bergrip staat (negara) yang hendak kita pakai untuk pembangunan Negara Indonesia. Menurut dasar apa Negara Indonesia akan didirikan ? (Moh. Yamin, 1960:100).

Uraian Supomo tersebut di atas mengungkapkan bahwa citanegara itu secara logik merupakan aspek pertama dari eksistensi negara. Inilah penjelasannya, mengapa citanegara itu mendapat status sebagai PP-pertama.

b). Tujuan Negara

Setelah citanegara Negara Persatuan ditetapkan dalam PP-1, maka tujuan dari didirikannya negara Indonesia merupakan hal yang kedua yang harus ditetapkan oleh para pendiri-negara. Memang, secara logik, tujuan-negara baru bisa ditentukan setelah diketahui: bentuk, struktur, sifat, dan cara-kerja negara yang akan didirikan, yang kesemuanya itu tercakup di dalam citanegara. Antara citanegara dan tujuan-negara terdapat relasi fungsional. Logik ini mengungkapkan pengetahuan: bahwa tujuan-negara merupakan aspek kedua dari eksistensi negara, dan oleh para pendiri negara dikemas menjadi PP-kedua.

c). Sistem Negara

Setelah tujuan-negara ditetapkan dalam PP-kedua, niscaya diperlukan suatu sistem sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan-negara itu. Dalam kaitan ini, terlibat sebuah dalil tentang relasi antara sarana dan tujuan (means and end relations). Dalil ini mengandung dua arti. Arti pertama, tiap tujuan niscaya membutuhkan sarana untuk mewujudkannya. Untuk mewujudkan suatu tujuan-negara diperlukan sarana yang berbentuk sistem ; dalam hal ini sistem negara. Arti pertama ini sekaligus menunjukkan bahwa sistem negara adalah aspek ketiga dari eksistensi negara. Arti kedua, tujuan yang baik hanya dapat diwujudkan dengan sarana yang baik; tujuan yang baik, yang diwujudkan dengan menggunakan sarana yang buruk, niscaya menghasilkan keluaran yang buruk. Dalam kerangka arti yang kedua ini, para pendiri-negara menetapkan sistem negara yang mengandung moral yang sama mulianya dengan moral dari tujuan-negara yang telah mereka tetapkan di PP-kedua, sebagai PP-ketiga.

d). Moral Negara

Negara adalah organisasi yang dicipta oleh manusia untuk kepentingan manusia. Berkenan dengan itu, wajarlah apabila m a n u s i a menjadi pusat perhatian dari kehidupan negara. Negara sebagai suatu struktur, bereksistensi dalam keadaan diam. Negara menjadi hidup berkat digerakkan oleh manusia, yang dalam khasanah istilah Indonesia dikenal dengan sebutan penyelenggara-negara.

Dalam negara demokrasi, penyelenggara-negara berasal dari rakyat, yang melalui seleksi pemilihan umum mewakili rakyat secara sah untuk menjalankan kekuasaan negara. Manusia adalah makhluk-berfikir yang mampu mengetahui apa yang benar dan apa yang salah; ia juga makhluk-bernafsu yang dapat mengaburkan apa yang baik dan apa yang jelek. Dalam pengertian dwi-fitrah manusia ini, tiap sistem yang dikelola oleh manusia perlu dilindungi dengan kaidah moral. Tanpa perlindungan moral, sistem tidak terjamin keberhasilannya dalam mewujudkan tujuan. Bila sistem itu berwujud negara, maka kaidah moral itu niscaya sepadan dengan cita-negaranya, dengan tujuan yang hendak diwujudkan, dan dengan sifat negara beserta metoda-kerja yang diberlakukan dalam negara. Tanpa kaidah moral yang sepadan, negara tidak terjamin keberhasilannya dalam mewujudkan tujuannya. Bila hal ini yang terjadi, berarti tiga aspek eksistensi-negara yang telah ditetapkan sebelumnya, menjadi tidak berarti.

Uraian yang mutakhir ini menunjukkan bahwa moral-negara merupakan aspek keempat dari eksistensi negara. Jauh-jauh hari, para pendiri-negara telah menetapkan moral negara yang dituangkan dalam PP-keempat.

2). Sistematik Eksistensi Negara

Per definisi, sistematik itu berarti: suatu seri linier deduktif, yang seluruh rentangannya mengungkapkan suatu makna tertentu. Bila definisi ini kita pelajari dengan seksama, ia mengungkapkan suatu figur hirarkhi yang khas. Hirarkhi-nya ditunjukkan oleh kinerja dari deduksi, yaitu: seri-yang-kemudian teralir secara logik dari seri-yang-sebelumnya, sebagai padanan dari relasi kendali a-simetrik dari jenjang-atas terhadap jenjang-bawahnya. Khasannya diungkapkan oleh interposisi antarseri yang bersifat linier, tidak vertikal seperti interposisi antar-jenjang dalam pengertian konvensional hirarkhi.

Pada waktu menguraikan aspek eksistensi negara, sekaligus telah ditunjukkan bahwa aspek pertama dituangkan menjadi PP-1, aspek kedua dikemas sebagai PP-2, dan seterusnya. Uraian itu bersifat deskriptif. Pada tingkat ini, setelah dipaparkan definisi mengenai pengertian sistematik beserta kandungan hirarkhi liniernya, kita menjadi tahu bahwa u r u t a n dari 4-PP mengikuti hirarkhi dari sistematik eksistensi negara; dan itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan urutan 5 Sila dari Pancasila dalam transformasiannya sebagai 4-PP.

Dari nalaran mengenai eksistensi negara itu, kita mendapat pengetahuan bahwa perubahan urutan Sila dalam 4-PP bersifat internal; terjadi karena adanya tuntutan dari hirarkhi yang terkandung di dalam sistematik eksistensi negara, dan tidak mengubah urutan sila dari Pancasila sebagai dasarnegara.

Pengertian dan Fungsi Citanegara

1. Pengertian

Dalam perjalanan sejarah dunia, citanegara (staatsidee) itu telah mewujudkan diri dengan berbagai cara. Manusia ingin membedakan berbagai perwujudan termaksud dengan menggunakan bentuk negara sebagai tolok ukurnya. Yang didapat adalah : monarkhi absolut atau konstitutional, republik oligarkhik atau demokratik, negara kependetaan theokratif, dan lain sebagainya. Perbedaan yang didapat ini tidak mengungkapkan hakekat dari citanegara, karena penelitiannya hanya diarahkan pada kenyataan historik, tidak berpangkaltolak dari citanegara itu sendiri yang memberlakukan diri dalam sejarah. Berikut ini paparan mengenai teori citanegara yang dikemukakan oleh Bierens de Haan (Bodlaender, 1947: Introduksi)

a. Tolak Ukur.

Kita dapat membedakan tiga tipe citanegara bila kita dalam melakukan penelitian menggunakan kekuasaan penyelenggara negara yang memang merupakan substansi dari citanegara, sebagai tolok ukurnya. Tipe suatu citanegara akan tertentukan oleh apa yang menjadi d a s a r dari kekuasaan, dan apa yang menjadi t u j u a n dari penggunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara. Tiga tipe citanegara yang kita kenal dalam sejarah didasarkan pada idea transenden, pada idea empiri, dan pada idea immanen.

Pada citanegara yang pertama, penyelenggara negara maupun rakyat beranggapan bahwa kekuasaannya didasarkan pada dunia transenden. Kekuasaan berasal dari Tuhan dan diembankanNya kepada Raja atau Ratu selaku penyelenggara negara. Penyelenggara negara mewakili Tuhan dan karenanya tujuan dari penggunaan kekuasaan ada di dalam diri penyelenggara negara, dan rakyat sekedar merupakan hamba pengabdi kepada Raja atau Ratu selaku penyelenggara negara.

Tipe kedua, yaitu yang didasarkan pada idea empiri, menganggap bahwa yang menjadi dasar dari kekuasan penyelenggara negara dan sekaligus menjadi tujuan dari penggunaan kekuasaan, adalah masyarakat dalam keadaannya yang aktual empirik.

Tipe ketiga, adalah yang didasarkan pada idea immanensi. Yang dimaksud dengan immanensi adalah : bersemayamnya nalaran Tuhan di dalam sejarah, mengejawantah dalam diri masyarakat. Dalam faham ini dasar dari kekuasaan penyelenggara negara adalah nalaran tersebut dan tujuan dari penggunaan kekuasaan adalah: memberi bentuk (hukum) pada