1!
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa negara merupakan
organisasi di suatu wilayah yg mempunyai kekuasaan tertinggi yg sah dan ditaati
oleh rakyat; kelompok sosial yg menduduki suatu wilayah atau daerah tertentu yg
diatur di bawah lembaga politik dan pemerintah yg efektif, mempunyai kesatuan
politik, dan berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki dasar negara, yaitu
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila sebagai ideologi negara.
Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa tujuan Negara
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-
ribu pulau yang tersebar dari Sabang hingga Marauke dan memiliki luas total
1.919.440 km2 dan 238 juta jiwa penduduk, yang merupakan negara berpenduduk
terbanyak ke empat di dunia (www.bps.go.id).
Dalam rangka memajukan kesejahteraan segenap masyarakat Indonesia,
pemerintah sudah tentu memiliki berbagai program pembangunan nasional.
Pembangunan nasional hakikatnya merupakan upaya mewujudkan tujuan nasional
!
2!
bangsa Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera, berkeadilan, berdasarkan iman
dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (www.bappenas.go.id). Mengetahui
fakta geografis dan demografis penduduk Indonesia, hal ini menjadi tantangan
besar bagi pemerintah Indonesia untuk membangun negara dengan baik dan adil.
Pemerintah juga membutuhkan dana yang sangat besar demi menjalankan semua
program yang telah dicanangkan. Untuk itu, dibutuhkan suatu anggaran
penerimaan dan pengeluaran setiap tahunnya dan hal ini tertuang pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan
setiap tahun dengan undang-undang. APBN ini yang menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan sesuai
dengan salah satu fungsinya yaitu fungsi otorisasi.
Berdasarkan data yang diambil dari Kementerian Keuangan Republik
Indonesia mengenai Data Pokok APBN 2007-2013, menunjukkan jumlah
penerimaan dan belanja negara selalu meningkat setiap tahunnya, kecuali
penurunan pada tahun 2008 ke 2009 yang disebabkan terjadinya krisis ekonomi
dunia.
!
3!
Gambar 1.1. Ringkasan APBN 2007-2013 (Miliar Rupiah)
sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Di dalam APBN, terdapat dua jenis sumber penerimaan negara, yaitu
penerimaan perpajakan yang terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak
perdagangan internasional serta penerimaan bukan pajak. Sumber dana yang
memberikan proporsi terbesar terhadap penerimaan negara adalah dari sektor
perpajakan. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya Dasar–Dasar
Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan (1992), mendefinisikan pajak sebagai iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang–undang dengan tidak mendapat
jasa–jasa timbal yang langsung dapat dirasakan dan digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Sedangkan menurut Mardiasmo (2009) pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Ia juga
!
4!
menambahkan bahwa terdapat dua fungsi pokok pajak, yaitu sebagai berikut: (1)
Fungsi Penerimaan (Budgetair), pajak berfungsi sebagai sumber dana yang
diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah, dan (2)
Fungsi Mengatur (Regulator), pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.
Berdasarkan data Ringkasan APBN 2007-2013, penerimaan negara dari
sektor perpajakan dari tahun ke tahun menunjukkan tren yang meningkat. Pada
tahun 2007, penerimaan dari sektor ini memberikan kontribusi sebesar Rp 491
triliun dari total penerimaan yang diterima negara sebesar Rp 706 triliun atau
sebesar 69 persen dan persentase ini meningkat signifikan hingga mencapai 78
persen pada tahun 2013 yang memberikan kontribusi sebesar Rp 1.192 triliun dari
total penerimaan negara sebesar Rp 1.525 triliun. Berdasarkan hal itu, dapat
dikatakan bahwa kesuksesan program-program pemerintah untuk
mensejahterakan rakyat dan dalam upaya untuk terus membangun negara sangat
bergantung pada seberapa baiknya realisasi penerimaan negara dari sektor
perpajakan ini.
Menurut data Penerimaan Perpajakan 2012-2013 yang dikeluarkan
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, realisasi penerimaan dari sektor
pajak yang terkumpul hanya sebesar Rp 1.072,1 triliun per 31 Desember 2013.
Padahal Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P)
menentukan target penerimaan dari sektor ini sebesar Rp 1.148,4 triliun yang
artinya hanya terrealisasi sebesar 93,4 persen. Angka ini merupakan penurunan
!
5!
jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2011 sebesar 99,3
persen dan tahun 2012 sebesar 94,3 persen.
Dari data tersebut menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan
membayar pajak oleh wajib pajak. Persentase tingkat kepatuhan wajib pajak di
Indonesia masih tergolong sangat rendah. Menteri Keuangan Agus Martowardojo
mengatakan bahwa pada tahun 2012 wajib pajak orang pribadi yang seharusnya
membayar pajak atau yang mempunyai penghasilan diatas Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) sebanyak 60 juta orang, tetapi jumlah yang mendaftarkan
dirinya sebagai wajib pajak hanya 20 juta orang dan yang membayar pajaknya
atau melapor Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilannya hanya 8,8 juta
orang dengan rasio SPT sekitar 14,7 persen. Sementara badan usaha yang
terdaftar sebanyak 5 juta, yang mau mendaftarkan dirinya sebagai wajib pajak
hanya 1,9 juta dan yang membayar pajak atau melapor Surat Pemberitahuan
(SPT) Pajak Penghasilannya hanya 520 ribu badan usaha dengan rasio SPT sekitar
10,4 persen (www.pajak.go.id).
Jika ditelusuri lebih jauh, pada tahun 1983 terjadi perubahan sistem
pemungutan pajak di Indonesia yang awalnya Official Assessment System berubah
menjadi Self Assessment System. Pada Official Assessment System tanggung jawab
pembayaran pajak berada pada fiskus (aparat pajak), sedangkan dalam Self
Assessment System wajib pajak diberikan tanggungjawab penuh untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan besarnya pajak
terutang dalam jangka waktu tertentu yang sudah diatur dalam peraturan
!
6!
perundang-undangan perpajakan seperti yang tertuang dalam Surat Pemberitahuan
(SPT), kemudian menyetor kewajiban perpajakannya ke kantor pajak.
Dengan sistem pemungutan pajak seperti ini, wajib pajak memiliki celah
untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini yang sering menjadi
hambatan bagi pemerintah dalam upaya mengoptimalkan penerimaan dari sektor
perpajakan. Hambatan-hambatan dalam pemungutan pajak pada dasarnya terjadi
karena adanya perlawanan oleh wajib pajak itu sendiri. Menurut Mardiasmo
(2009) hambatan dalam pemungutan pajak dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Yang dimaksud dengan perlawanan pasif
adalah masyarakat tidak bersedia memenuhi kewajiban perpajakannya
sebagaimana mestinya sedangkan perlawanan aktif meliputi semua usaha dan
perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk
menghindari pajak. Apabila hal ini terus berlanjut maka akan berdampak buruk
pada realisasi penerimaan negara dan pada akhirnya akan mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat Indonesia itu sendiri.
Maraknya kasus-kasus penggelapan pajak yang menjerat beberapa pejabat
maupun pegawai pajak di institusi perpajakan Indonesia, khususnya kasus yang
menimpa Gayus Tambunan, seperti membuka mata semua orang bahwa
penggelapan pajak di negera ini sudah sangat memperihatinkan dan harus segera
diatasi. Hal ini juga mengindikasikan lemahnya sistem perpajakan yang
diterapkan di Indonesia sehingga banyak pejabat pemerintahan yang mencuri
kesempatan untuk memanfaatkan uang rakyat demi kepentingan pribadi.
!
7!
Mardiasmo (2009) mendefinisikan penggelapan pajak (tax evasion)
sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meringankan beban pajak
dengan cara melanggar undang-undang.
Menurut Martin Crowe (dalam Nickerson, 2009) menemukan bahwa ada
beberapa alasan atau kondisi penggelapan pajak dapat dipandang sebagai tindakan
yang etis yaitu ketidakmampuan membayar pajak, pemerintah yang korup, tarif
pajak yang tinggi dan tidak mendapatkan imbalan langsung dari pembayaran
pajak.
Menurut Lars P. Feld dan Bruno S. Frey (2007), masyarakat kurang
tertarik untuk memenuhi tanggungjawab perpajakkannya karena tidak adanya
timbal balik langsung dari negara. Pajak yang telah dibayar juga tidak sebanding
dengan manfaat yang dirasakan masyarakat. Masyarakat akan menyisihkan
sebagian dari penghasilan yang diterimanya untuk membayar pajak apabila
mereka merasakan pelayanan publik sebanding dengan pembayaran pajaknya,
adanya perlakuan yang adil dari pemerintah serta proses hukum yang jelas dari
pemerintah.
Allingham dan Sandmo (1972) menyebutkan kecenderungan masyarakat
tidak mau membayar pajak atau membayar pajak tapi pajak yang dibayar tidak
sesuai dari penghasilan yang sebenarnya disebabkan karena rendahnya
pengawasan pemerintah dan sanksi atau denda yang dikenakan terhadap wajib
pajak yang tidak patuh masih sangat kecil.
!
8!
Selama ini sudah banyak penelitian yang membahas fenomena
penggelapan pajak dari berbagai sudut pandang termasuk dari sisi akuntansi,
keuangan, sektor publik, maupun keagamaan. Namun fokus pada penelitian ini
akan membahas penggelapan pajak dari sudut pandang etika. Hal ini menarik
untuk diteliti karena berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa pandangan kelompok orang terhadap penggelapan
pajak bisa berbeda satu sama lain. Pada awalnya, kita dihadapkan pada pernyataan
bahwa penggelapan pajak merupakan hal yang salah karena selain tindakan
tersebut melanggar hukum, juga dapat merugikan negara dan kesejahteraan
rakyat. Seuatu yang salah atau yang tidak benar biasanya diartikan sebagai
tindakan tidak etis. Tetapi berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya, pada suatu kondisi dan alasan tertentu, penggelapan pajak
bisa dianggap sebagai tindakan etis.
McGee (2006) membagi penggelapan pajak ke dalam tiga pandangan yaitu
tidak pernah etis, kadang-kadang etis tergantung pada keadaan dan fakta-fakta
tertentu, serta etis.
Menurut Pennock (1998) penggelapan pajak juga bisa dipandang etis
ketika wajib pajak dipaksa untuk membayar sesuatu yang keuntungannya tidak
bisa diukur.
Sebuah studi penggelapan pajak di Armenia (McGee, 1999b) menemukan
dua alasan utama untuk menghindari pajak yaitu buruknya mekanisme di tempat
mengumpulkan pajak dan opini umum bahwa pemerintah tidak layak
mendapatkan sebagian atas penghasilan pekerja.
!
9!
Sedangkan Lehmkuhl (1902) menyatakan bahwa tidak etis untuk
menghindari pajak ketika hasilnya mengakibatkan orang-orang yang tidak
menghindari pajak harus membayar lebih. Dengan kata lain, ada beberapa
kewajiban moral kepada wajib pajak lain bahkan jika merasa tidak ada kewajiban
moral kepada pemerintah.
Beberapa penelitian juga mencoba untuk membandingkan persepsi pada
kelompok disiplin ilmu yang berbeda terhadap etika penggelapan pajak.
McGee dan Lingle (2005) dalam surveinya pada mahasiswa ekonomi dan
hukum di Guatemala menemukan bahwa mahasiswa menganggap penggalapan
pajak dapat dikatakan etis apabila pemerintahan korup. Dalam penelitian ini juga
menunjukkan mahasiswa hukum merasa kurang setuju menyalahkan penggelapan
pajak dalam landasan etika dibandingkan dengan mahasiswa.
Hasil survei yang dilakukan kepada mahasiswa bisnis di Rumania
(McGee, 2005b) menemukan bahwa responden sering merasa penggelapan pajak
dapat dibenarkan secara etika.
McGee dan Guo (2006) mensurvei mahasiswa hukum, ekonomi dan
filsafat di Hubei. Mereka menemukan bahwa mahasiswa hukum lebih
bertentangan secara signifikan terhadap penggelapan pajak dibandingkan dua
kelompok lainnya.
McGee dan Ho (2006) mensurvei mahasiswa akuntansi, bisnis dan ilmu
ekonomi di Hong Kong. Mereka menemukan mahasiswa akuntansi lebih
!
10!
bertentangan terhadap penggelapan pajak secara signifikan dibandingkan dengan
mahasiswa bisnis dan ilmu ekonomi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nickerson et al., (2009)
menunjukkan bahwa dari item-item yang diuji dalam instrumen penelitian, secara
keseluruhan penggelapan pajak (tax evasion) dapat dikelompokkan menjadi tiga
dimensi persepsi skala etis yaitu: (1) keadilan, mengenai kegunaan positif atas
uang, (2) sistem perpajakan, mengenai tarif pajak dan kegunaan negatif atas uang
dan (3) diskriminasi, mengenai penghindaran dalam kondisi tertentu.
Dari tinjauan beberapa literatur mengenai etika dalam penggelapan pajak
di atas, menunjukkan bahwa penggelapan pajak bisa saja dianggap etis jika
dikaitkan dalam kondisi atau alasan tertentu. Hasil penelitian lainnya juga
menemukan bahwa persepsi terhadap etika penggelapan pajak berbeda antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya dan dalam hal ini pembagian kelompok
tersebut berdasarkan disiplin ilmu. Penjelasan di atas yang mendorong peneliti
untuk menganalisis apakah faktor perbedaan disiplin ilmu mempengaruhi persepsi
masing-masing kelompok mengenai etika penggelapan pajak, dan diangkat
kedalam sebuah penelitian yang berjudul “ETIKA PENGGELAPAN PAJAK:
PERBEDAAN PERSEPSI MAHASISWA EKONOMI, HUKUM, DAN
PSIKOLOGI”.
!
11!
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan beberapa literatur yang ditinjau sebelumnya, dimungkinkan
akan adanya perbedaan persepsi terhadap etika penggelapan pajak antar kelompok
mahasiswa yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda. Maka dari itu peneliti
menentukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah ada perbedaan persepsi antar kelompok yang berbeda, yaitu
mahasiswa Ekonomi, Hukum dan Psikologi terhadap etika penggelapan
pajak?
2. Kelompok mana yang lebih menentang penggelapan pajak dan mana
yang lebih tidak menentang?
3. Sejauh mana penggelapan pajak dapat dianggap etis dan kapan pula
dianggap tidak etis?
1.3. Batasan Penelitian
Penelitian perlu dijelaskan ruang lingkup yang akan diteliti agar cakupan
bahasan menjadi fokus sehingga akan memberikan hasil penelitian yang sesuai
dengan harapan. Maka dari itu batasan masalah penelitian ini ditentukan sebagai
berikut:
1. Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa di Universitas Gadjah Mada.
2. Responden dari penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ekonomika dan
Bisnis, Hukum, dan Psikologi Universitas Gadjah Mada.
3. Variabel dependen yang ingin diteliti adalah persepsi mahasiswa terhadap
etika penggelapan pajak, sedangkan variabel keadilan, sistem perpajakan,
!
12!
dan diskriminasi merupakan satu kesatuan yang menjadi variabel
independen.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menguji perbedaan persepsi mahasiswa ekonomi, hukum, dan psikologi
mengenai etika penggelapan pajak.
2. Menguji kelompok mana yang lebih menentang penggelapan pajak dan
mana yang lebih tidak menentang.
3. Menguji kapan penggelapan pajak dapat dikatakan etis dan kapan tidak
etis.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak
yaitu sebagai berikut:
1. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan
kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan di
Indonesia sehingga akan berdampak pada meningkatknya penerimaan
negara dari sektor pajak.
2. Menambah wawasan bagi para akademisi maupun masyarakat luas.
3. Menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
!
13!
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini berisikan lima bab yang masing-masing
menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, batasan
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
Pada bab ini menjelaskan landasan teori yang membangun pemahaman
terkait penelitian, penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya
dan perumusan hipotesis penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Pada bab ini menjelaskan metode penelitian yang digunakan, jenis
populasi dan pemilihan sampel serta beberapa pengujian penelitian.
BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN
Pada bab ini berisikan deskripsi data, demografi responden, hasil-hasil
pengujian penelitian dan pembahasan hipotesis penelitian.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini berisikan kesimpulan, keterbatasan penelitian dan saran untuk
penelitian selanjutnya.
!!!