1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Di wilayah Papua dan Papua Barat terdapat beberapa daerah yang dianggap
sebagai daerah yang damai, sebab situasi sosial-politik dan keamanannya cenderung
stabil dan kondisi perekonomiannya juga terjaga dengan baik. Daerah-daerah yang
dimaksud antara lain, Kaimana, Bintuni, Raja Ampat dan Fakfak yang tersebar di
sekitar wilayah “Kepala Burung” pulau Papua, yang sering dilambangkan seperti
seekor Burung Kasuari raksasa yang sedang duduk1. Di daerah-daerah itu jarang
terjadi konflik dan kekerasan, sebagaimana sering digambarkan dalam berbagai studi
tentang Papua (LIPI, 2009, CSIS, 2011). Isu-isu sensitif seperti “Papua Merdeka”
yang menimbulkan demonstrasi dan mobilisasi massa, tidak serta merta menimbulkan
kekerasan di masyarakat. Fenomena yang terjadi justru sebaliknya, yakni situasi
damai dan harmonis seperti yang dapat kita jumpai di wilayah Fakfak. Secara umum
kondisi keamanan di Fakfak cukup stabil dan jarang terjadi konflik dan kekerasan.
Hubungan antar masyarakat berlangsung dengan dengan baik dan harmonis,
meskipun banyak kelompok etnis dan agama yang menetap di Fakfak. Fakfak
menjadi salah satu contoh penting tentang potensi “Papua damai” di masa depan.2
1 Kajian Tim Universitas Papua dan UNDP-Papua Capacity Needs Assessment, tetang
Kapasistas Pemerintah Daerah di Delapan Kabupaten terpilih di Papua, menunjukkan bahwa daerah-
daerah yang kondisi keamanannya terjaga dengan baik, kondisi perekonomiannya cenderung tumbuh
dengan baik dan stabil (Tim Unipa, 2005). 2 Para pemimpin agama di Papua pernah mendeklarasikan “Papua Tanah Damai” pada
tanggal 5 Februari 2003. Menurut para pemimpin agama di Papua, damai dipahami sebagai
2
Beberapa catatan menunjukkan bahwa sejak tahun 1998 hingga 2011, hanya
terjadi 2 kali peristiwa kekerasan dengan skala yang cukup besar di Fakfak, baik dari
segi jumlah korban jiwa dan masa yang terlibat, maupun dampak sosial politik yang
ditimbulkan. “Pertama”, pada tahun 1999 ketika terjadi mobilisasi massa dan
demonstrasi besar-besaran di Fakfak oleh kelompok yang mendukung gerakan
kemerdekaan Papua (pro-M) dan mereka yang menyebut diri sebagai Barisan Merah
Putih (BMP) dan mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Peristiwa tersebut selain memicu ketegangan antara kelompok masyarakat juga
memiliki implikasi sosial politik. Catatan Neles Tebay (2009:110), menunjukkan
bahwa ada 45 orang yang ditahan aparat keamanan Fakfak dalam aksi bentrokan
tersebut. “Kedua”, pada tahun 2003, ketika terjadi pertikaian antara masyarakat
pendatang dari Seram-Maluku dan Masyarakat Ayamaru yang berasal dari wilayah
Sorong. Dalam peristiwa tersebut beberapa orang menjadi korban dan memicu
ketegangan sosial antara warga masyarakat (Wihel, 2011). Namun konflik dan
demonstrasi yang dilaporkan tersebut dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan
pendekatan-pendekatan kultural sehingga tidak berkembang menjadi konflik sosial
yang luas dan berkepanjangan.
Secara tradisional masyarakat Fakfak menganut nilai-nilai lokal yang
menghidupkan perdamaian dalam masyarakat. Kearifan lokal di Fakfak terbentuk
dari proses akulturasi agama dan budaya yang telah berlangsung dalam waktu yang
menguatnya nilai-nilai dasar, seperti hilangnya kekerasan, penghormatan pada perbedaan, tegaknya
persatuan dan keadilan, serta terbentuknya harmoni dan solidaritas sosial di antara warga masyarakat
(Tebay, 2009:40-41).
3
cukup lama. Salah satu yang terpenting adalah filosofi satu tungku tiga batu yang
merekatkan berbagai kelompok sosial di Fakfak. Satu tungku tiga batu adalah
penggambaran persaudaraan kultural tentang hubungan persaudaraan antara tiga
agama besar di wilayah Fakfak; Islam, Kristen dan Katolik (Iribaram, 2011).
Semangat satu tungku tiga batu dipraktikkan bukan hanya dalam konteks hubungan
antar umat beragama, namun juga dalam membangun hubungan sosial antar
masyarakat yang berbeda etnis dan budaya. Kearifan lokal tersebut juga mewarnai
hubungan antar masyarakat asli Fakfak dan masyarakat pendatang. Bahkan secara
luas diakomodasi kedalam sistem politik lokal, dimana konfigurasi kepemimpinan
lokal seperti Bupati, Wakil Bupati dan Sekretaris Daerah dijabat oleh tokoh politik
dan birokrat yang berbeda agama. Pada tingkat tertentu, spirit satu tungku tiga batu
telah menjadi nilai identitas kolektif yang membentuk masyarakat Fakfak sebagai
masyarakat yang toleran dan saling menghormati.
Selain faktor budaya, faktor sejarah juga memiliki pengaruh yang cukup
penting dalam membentuk jati diri masyarakat Fakfak. Masyarakat di wilayah ini
merupakan komunitas lokal di Papua yang paling awal berinteraksi dengan berbagai
kelompok etnis dan kebudayaan di nusantara. Menurut catatan sejarah, sejak Abad
ke 15, Jazirah Onin di Fakfak merupakan wilayah yang sudah sering dikunjungi oleh
para pelaut dan pedagang dari berbagai negara dan bangsa. Kegiatan perdagangan
semakin ramai dan intensif ketika Kerajaan Tidore dari Maluku Utara melakukan
ekspansi di wilayah ini (Putuhena 2006, Musaad 2007). Hal ini mempertegas fakta
bahwa persinggungan budaya yang terjalin lama, telah membentuk watak
4
keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa
bertemu dan berinteraksi dengan orang lain dengan budaya yang berbeda-beda. Oleh
sebab itu upaya untuk tetap menjaga harmoni dan perdamaian di Wilayah Fakfak,
diyakini sebagai bagian dari kesadaran sejarah dan karakter budaya yang telah
terbentuk sejak lama.
Saat ini kota kecil Fakfak yang menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial,
budaya dan politik di bagian Selatan Papua Barat, merupakan kota yang dinilai
toleran terhadap berbagai perbedaan. Wilayah ini seakan menjandi penanda wajah
lain dari Papua yang jamak diketahui sebagai wilayah penuh konflik dan kekerasan.
Masyarakat pendatang yang sering menjadi sasaran kekerasan di tempat lain di
Papua, dapat menjalankan aktifitas dengan aman di Fakfak. Demikian halnya dengan
masyarakat lokal (asli Papua) juga tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis yang
mengintimidasi kelompok lain. Meskipun pada beberapa momentum terakhir, terjadi
demonstrasi dari eksponen Pemuda Papua yang menuntut pengakuan terhadap hak-
hak orang Papua bahkan juga kemerdekaan Papua, namun aksi-aksi tersebut tidak
menimbulkan kekerasan. Menurut Cristian Warta (2010), saat ini Fakfak yang dihuni
71.069 jiwa dan tiga agama besar serta 14 etnis dari berbagai daerah, merupakan
wilayah yang telah dikenal secara luas sebagai daerah yang aman dan menjadi contoh
yang terus menerus ditekankan tentang bagaimana sebagian wilayah di Papua dapat
menciptakan perdamaian di tengah berbagai perbedaan. Suatu fakta yang selama ini
belum banyak diketahui publik dan diungkap melalui studi akademis.
5
Sejauh ini studi tentang perdamaian di Papua masih dianggap sebagai sesuatu
yang tidak menarik dan “kurang seksi”, karena keluar dari opini dominan yang telah
menempatkan Papua sebagai salah satu wilayah konflik yang paling panas di
Indonesia. Para peneliti ilmu sosial dan dunia akademik seakan terjebak pada
diskursus konflik yang cenderung hegemonic itu. Berbagai penelitian tentang Papua
lebih banyak menyoroti dinamika konflik dan kekerasan, dibandingkan mempelajari
secara mendalam kondisi yang spesifik dari masing-masing daerah di Papua. Isu
Papua sering digeneralisasi secara berlebihan bahwa masyarakat Papua adalah
masyarakat yang sulit untuk diajak berdamai karena mereka menghendaki
disintegrasi dan senang berkonflik, sebagamana ritual perang suku yang sering
divisualisasi di media secara tidak kritis dan berimbang. Masyarakat Papua masih
dilihat sebagai objek yang diam atau tidak punya prakarsa untuk menggagas
perdamaian. Rentetan konflik politik, sosial dan ekonomi yang memanjang sejak
integrasi Papua dengan Indonesia, dikonstruksi sebagai narasi dominan yang
memperlihatkan kesulitan untuk membangun perdamaian Papua berdasarkan inisiatif
lokal. Padahal masyarakat Papua pada dasarnya memiliki kekuatan dari dalam untuk
mengelola konflik sosial dan kekerasan dengan cara-cara local, yang kemudian
terbukti sukses mengendalikan konflik dan kekerasan sebagaimana yang terjadi di
wilayah Fakfak.
Situasi damai di Fakfak dan sekitarnya menunjukkan bahwa terdapat
dinamika konflik dan integrasi yang terjadi secara berbeda pada setiap wilayah di
Papua. Pada kasus Fakfak, integrasi sosial dapat berjalan dengan baik karena ada
6
berbagai faktor yang mendukungnya. Integrasi di bangun secara kultural di atas
kesadaran dan inisiatif lokal, sehingga memiliki makna dan kekuatan dari dalam
untuk merawat berbagai keragaman, baik agama, budaya, maupun perbedaan
kepentingan ekonomi dan politik. Hal ini berbeda dengan konsepsi integrasi sosial
yang dipahami dan dipraktikkan selama kurun waktu kekuasaan Orde Baru (1971-
1998). Keragaman di dalam masyarakat selalu dipersepsikan sebagai sumber koflik
yang mesti ditangani dengan cara-cara yang hegemonic. Pendekatan ini menganggap
masyarakat yang beranekaragam, senantiasa berada dalam proses perubahan yang
ditandai dengan konflik dan pertentangan terus menerus di antara unsur-unsurnya,
dan setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Tertib sosial
(social order) hanya bisa tercipta melalui tekanan kekuasaan, hukum yang tegas serta
peran-peran keamanan dari aparatur negara. Integrasi sosial versi rezim Orde Baru
adalah tersatukannya Indonesia baik secara kewilayahan, politik, ekonomi, social
maupun budaya. Sebuah identitas nasional tunggal pun diberlakukan untuk mencapai
integrasi itu, dan secara tidak langsung keragaman pun disederhanakan.
Misalnya dalam bidang politik, dua partai politik, yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya
(Golkar), telah dianggap cukup untuk mewakili keberagaman aspirasi politik warga
Negara. Sedangkan dalam bidang sosial keagaman juga terjadi penyederhanaan,
ribuan kepercayaan lokal dikelompokkan menjadi penghayat kepercayaan atau
dipaksa masuk dalam lima agama yang menjadi agama resmi Negara (Hasse J, 2012).
7
Dalam pandangan rezim Orde Baru, identitas yang tunggal adalah jaminan stabilitas
politik dan kekuasaan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung integrasi nasional.
Dalam pentas sejarah Indonesia, pemahaman otoritarian seperti ini terbukti
ikut bertanggung jawab pada suatu struktur damai yang negativ, yang dalam jangka
panjang –di penghujung era Orde Baru- berhasil menggoyang sendi-sendi persatuan
bangsa Indonesia. Pendekatan integrasi berbasis identitas yang diseragamkan
(tunggal), membantu melahirkan perasaan keterikatan dan bahkan ketertiban dan
perdamaian. Tetapi jelas keterikatan ini tidak melahirkan toleransi pada perbedaan,
kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan dan kerjasama yang melintasi batas-batas
identitas primordial (Rita Pranawati (ed), 2011:14). Bahkan pada akhirnya meledak
menjadi konflik antar kelompok sosial yang terjadi di berbagai tempat. Misalnya
konflik yang terjadi di Ambon, Poso, Sambas, Sampit dan beberapa daerah lainnya.
Jacques Betrands (2004), menyebut fenomena ini sebagai bukti paradox Orde Baru,
yaitu berusaha menerapkan integrasi social dalam kehidupan masyarakat, namun
mengingkari fakta tentang keragaman yang justru ingin dibelanya.
Model integrasi sosial yang dipaksakan melalui berbagai instrument
kekuasaan, tentu menafikkan kemungkinan adanya nilai-nilai tertentu yang mampu
mendorong masyarakat untuk mengelola perbedaan dengan cara-cara yang tepat,
sehingga melahirkan integrasi dan harmoni sosial yang otentik dalam masyarakat.
Dalam banyak kasus, masyarakat di berbagai daerah berhasil membangun dan
menciptakan harmoni sosial melalui mekanisme kultural yang dibangun di atas
norma-norma, nilai-nilai dan moralitas budaya yang mengikat mereka dalam
8
keseimbangan sosial. Sebut saja misalnya tradisi Bela Baja di Pantar Nusa Tenggara
Timur yang menjadi pengikat persaudaraan antara umat Islam dan Kristen, atau
tradisi Pela Gandong di Maluku Tengah yang membantu proses penyelesaikan
konflik di Maluku. Demikian juga tradisi Satu Tungku Tiga Batu di Fakfak Papua
Barat. Namun berbagai kearifan lokal tersebut masih dipandang sebelah mata, karena
dianggap tidak cukup kuat dan teruji untuk menyelesaikan konflik. Cara pandang
seperti ini menyebabkan pemerintah cenderung mengabaikan cara-cara lokal dalam
penyelesaian konflik. Selain itu, berbagai kearifan lokal tersebut akhirnya harus
tergerus oleh modernisasi sistem politik dan sikap represif kekuasaan yang lebih suka
menggunakan pemaksaan dalam menyelesaikan konflik.
Padahal kecenderungan tentang adanya kemampuan lokal atau cara-cara “dari
dalam” untuk memecahkan persoalan keragaman sangat dibutuhkan dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk. Kecenderungan ini menurut
Irwan Abdullah (2008:6) memperlihatkan dua hal penting. “Pertama”, peneliti dan
dunia akademik belum berhasil memetakan kemampuan masyarakat dalam
mengantisipasi konflik yang dalam banyak catatan etnografis menunjukkan bahwa
penduduk suku-suku di berbagai tempat dengan penuh kesadaran menumbuhkan
sensifitas mereka dalam mengidentifikasi bahaya yang mengancam. “Kedua”, banyak
yang belum mengetahui tentang cara-cara yang dikembangkan dalam menyelesaikan
konflik di berbagai tempat, walaupun hal ini memperlihatkan kemandirian
masyarakat (lokal) di dalam memecahkan konflik. Ketiadaan kesadaran semacam ini
tentu menjauhkan publik dari usaha-usaha pemecahan konflik yang bersifat subtansial
9
dan mandiri. Kritik Irwan Abdullah, sangat relevan untuk mencermati berbagai upaya
penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah konflik, termasuk
di wilayah Papua selama beberapa tahun terakhir. Secara faktual pemerintah sering
terjebak pada mekanisme kekuasaan (top down), sehingga cenderung menafikkan
pola-pola kultural. Padahal konflik yang terjadi Papua memiliki dinamika yang
sangat kompleks dan panjang sehingga membutuhkan penyelesaian yang
komprehensif, baik secara politik kekuasaan (top down) maupun melalui mekanisme
kebudayaan (botton up).
Hal ini misalnya dapat diamati secara jelas dalam proses penanganan
masalah-masalah di Papua yang berlangsung selama ini. Pemerintah cenderung
mengedepankan proses politik dan kekuasaan. Padahal konflik Papua merupakan
jenis konflik yang telah berkembang dengan dinamika yang sangat kompleks. Dalam
sejumlah penelitian dan tulisan yang membahas tentang konflik Papua, seperti
penelitian Tim LIPI (2009) menyebut empat penyebab konflik di Papua. “Pertama”,
konflik di Papua berkaitan dengan sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan
identitas politik orang Papua. Ada perbedaan tajam tentang konstruksi identitas Papua
yang sepesifik dan diklaim telah hadir sebagai bangsa yang bebas sejak era kolonial
Belanda. Sebagaimana pendapat Chauvel (2005) bahwa ke-Papuaan merupakan
identitas politik yang dibentuk oleh pengalaman pada masa kolonial dan dikonstruksi
sebagai anti-thesis dari ke-Indonesiaan. Hal ini melahirkan “nasionalisme Papua”
yang dibentuk oleh akumulasi kekecewaan sejarah, diksriminasi politik selama masa
10
intrgerasi dengan Indonesia, pembangunan ekonomi yang tidak adil hingga proses
migrasi yang melahirkan perasaan marginalisasi di kalangan orang Papua.
“Kedua”, konflik Papua direproduksi oleh kekerasan politik dan pelanggaran
HAM yang terjadi secara sitematis selama kurun waktu kekuasaan Orde Baru. Rezim
Orde Baru menggunakan kekuatan represif untuk membungkam para pengkritik
negara, dan menangkap para aktor-aktor utama. Sedangkan kekuatan separatis
bersenjata seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) dihadapi dengan kekuatan
militer yang menimbulkan korban jiwa dan kekerasan sosial yang luas. Kekerasan
politik adalah pengalaman obyektif yang dialami orang Papua sebagai akibat dari
strategi utama Pemerintah Pusat untuk memerangi OPM pada saat itu. Publikasi
penelitian LIPI yang dipimpin Muridan S. Widjoyo (2005), mengidentifikasi
kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua secara lebih detail dalam beberapa bentuk:
(1) kekerasan terhadap individu, (2) kekerasan terhadap masyarakat pada suatu
daerah, (3) kekerasan psikologis, (4) kegiatan bisnis yang berpeluang melanggar
HAM, (5) kekerasan struktural yakni kebijakan Negara yang berpeluang melanggar
HAM. Hingga saat ini aspirasi rakyat Papua agar kekerasan politik dan pelanggaran
HAM selama masa kekausaan Orde Baru dibuka kembali untuk diadili, tampaknya
belum membuahkan hasil karena negara masih sangan dominan.
“Ketiga”, konflik Papua juga merupakan cermin yang terang dari kegagalan
pembangunan di Papua, dimana terjadi disparitas pembangunan Papua dengan
daerah-daerah lainnya di Indonesia. Pemberian Otonomi Khusus untuk Papua pada
tahun 2001, yang diikuti dengan pemberian sejumlah kewenangan politik dan budaya
11
serta alokasi dana Otsus yang bernilai Triliunan Rupiah, sejauh ini belum
menyelesaikan masalah. Bahkan secara kuantitatif justru meningkatkan angka
kemiskinan dan kesenjangan sosial di sebagaian besar wilayah Papua. Mayoritas
orang Papua masih hidup dalam jerat kemiskinan yang ekstrim. Data BPS tahun 2011
menunjukkan fakta bahwa angka kemiskinan di Papua dan Papua Barat adalah yang
tertinggi di Indonesia atau mencapai 38,8 % untuk Papua dan 34,68% untuk Papua
Barat. Sementara itu mayoritas penduduk Papua yang mendiami desa dan pedalaman
adalah penduduk miskin, mereka terpinggirkan dari proses pembangunan3. Suatu
kondisi yang sangat ironis karena mereka hidup di sebuah wilayah yang memiliki
kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Sementara itu mereka menyaksikan
masyarakat pendatang memiliki status sosial-ekonomi yang lebih baik dan menguasai
sumber daya ekonomi sehingga menimbulkan kecemburuan orang Papua (Heru
Nugroho, dkk., 2006:16-17). Konflik-konflik berskala lokal yang berkaitan
pengusiran kelompok pendatang, perebutan tanah ulayat, pembakaran pasar dan
lainnya, memperlihatkan upaya orang Papua untuk menunjukkan kekuasaan dan
kepemilikan mereka terhadap sumber daya ekonomi di Papua.
“Keempat”, konflik di Papua juga disebabkan oleh diksriminasi dan
marjinalisasi yang dialami orang-orang Papua dalam kurun waktu yang cukup lama.
3 Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (P2K), tahun 2011. Data yang sama
juga dapat diakses pada Data BPS Tahun 2011; Jumlah dan Presentasi Penduduk Miskin, Garis
Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut
provinsi, 2011, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1+id_subyek=23¬ab=4
(diakses 5 Desember 2011)
12
Kebanyakan orang Papua sering memperoleh stigma-stigma yang negatif;
merendahkan dan diskriminatif. Mereka di-sterotipe sebagai masyarakat yang bodoh,
terbelakang, barbar dan sulit diajak berdialog. Kondisi ini menjadikan kebanyakan
orang Papua dilihat sebagai others, yakni sebagai entitas yang berbeda dari
kebanyakan suku bangsa di Indonesia (Nugroho, 2006). Sebagai bangsa Melanesia,
orang Papua memiliki identitas kultural yang spesifik, yakni berambut kriting dan
berkulit hitam legam. Hal ini mengakibatkan orang Papua melihat etnis lainnya yang
mendatangi Papua sebagai kelompok luar (out group) yang mencoba menguasai
Papua. Perasaan seperti ini sering melahirkan konflik dan ketegangan etnis antara
orang Papua dan masyarakat pendatang.
Pada beberapa waktu terakhir, eskalasi konflik di Papua juga merambat ke
soal-soal keagamaan, sebagaimana tergambarkan dalam sejumlah hasil penelitian.
Laporan International Crisis Group (ICG) tahun 2008, atau studi Cahyo Pamungkas
(2008) dan hasil penelitian Idrus Alhamid (2014), menyebutkan bahwa potensi
konflik yang disebabkan oleh sentimen keagamaan cenderung semakin meningkat di
Papua. Munculnya beberapa kelompok keagamaaan baru baik dikalangan Islam
seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan Gerakan Salafi, dan dikalangan Kristen seperti
kelompok Pantekosta dan Gereja Charismatic telah memicu ketegangan baru dalam
hubungan antar agama di Papua. Hal ini terlihat pada aksi-aksi penolakan
pembangunan Masjid Raya di Manokwari, penolakan pendirian Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) di Jayapura. Orang Papua yang mayoritas beragama
Kristen, menganggap para pendatang yang beragama Islam sedang berusaha
13
menaklukkan Papua dengan melakukan praktek Islamisasi. Dalam konteks ini
Islamisasi sering dilihat sebagai perwujudan politik dari apa yang disebut “Proyek
Indonesianisasi”, sehingga sering mendapatkan perlawanan. Usaha untuk
mewujudkan Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat sebagai Kota Injil,
menunjukkan resistensi terhadap isu islamisasi yang semakin sensitif (Warta, 2010).
Saat ini orang Papua semakin meningkatkan kekuatan politik kebudayaannya
dengan memanfaatkan kewenangan Undang-undang Otsus Tahun 2001, yang
membatasi jabatan-jabatan politik seperti Gubernur, Walikota dan Bupati sebagai hak
prevelege orang asli Papua (Ginuni, 2008:5). Di sisi lain, gejala etnosentrisme ini
melahirkan kecemasan bagi sebagian masyarakat pendatang karena dianggap dapat
melahirkan sikap primordialisme sempit yang dapat memicu konflik sosial di tengah
masyarakat Papua (Levaan, 2012). Hal ini tampak pada beberapa momentum Pilkada
di Papua Barat, dimana sejumlah tokoh yang mencalonkan diri sebagai Wakil
Gubernur, Wakil Walikota atau Wakil Bupati digugat identitas ke-Papuan-nya,
meskipun ayah atau ibu mereka dan mereka sendiri merupakan generasi yang lahir
dan dibesarkan di Papua.
Bagi sebagian kalangan, konflik di Papua yang berlarut-larut juga merupakan
alat komodifikasi politik dan bisnis yang melibatkan berbagai aktor, baik dari dalam
maupun luar negari. Perhatian dunia internasional dan negara-negara yang memiliki
investasi ekonomi di Papua, juga dicurigai sebagai niat baik untuk menyelesaikan
konflik Papua. Karena dalam prakteknya perhatian sejumlah negara barat seperti
Amerika Serikat, Inggris dan Australia justru berkaitan erat dengan praktek ekonomi
14
politik yang diterapkan untuk melanggengkan investasi dan penguasaan atas berbagai
sumberdaya ekonomi yang melimpah di Papua (Lina Yulianti, Kompas, 23 Juni
2012).
Penggambaran tentang perkembangan konflik Papua di atas menunjukkan
bahwa konflik Papua secara faktual tampak bersifat vertikal, yakni antara Pemerintah
Pusat dan masyarakat politik di Papua. Namun akibat metode penyelesaian yang
koersif maka tumbuh akar-akar baru yang berlipat serentang waktu konflik itu
sendiri. Otto Syamsuddin Ishak (2012:15), menganalogikan anatomi konflik Papua
secara teoritis berkembang seperti Ubi Jalar Papua, ketika dahannya menyentuh tanah
maka muncul akar-akar baru dengan umbi yang besar. Dari waktu ke waktu selalu
muncul konflik baru sebagai hasil dari kegagalan kebijakan dalam menangani Papua.
Proses penyelesaian konflik dengan pendekatan kekuasan yang cenderung koersif
telah menjadikan masalah Papua seperti sulit untuk diselesaikan.
Sejauh ini proses penanganan masalah Papua masih dikuasai oleh opini
dominan yang telah menempatkan Papua sebagai wilayah konflik yang paling panas
di Indonesia. Hampir setiap saat publik disuguhkan berbagai berita dan informasi
tentang penembakan-penembakan misterius, penculikan, serangan terhadap orang
luar, perang antar kelompok suku hingga dinamika politik lokal di Papua yang
cenderung destruktif. Peran Media masa turut menjadikan Papua sebagai objek
informasi negatif tentang konflik yang tidak pernah usai. Oleh sebab itu, pemerintah
lebih suka menggunakan pola-pola kebijakan penanganan konflik yang bersifat top
down, dimana Papua dilihat sebagai wilayah konflik yang berbahaya, sehingga harus
15
diintervensi dan ditolong melalui inisiatif dari luar. Logika ini menempatkan
pemerintah sebagai penafsir tunggal konflik Papua, sehingga selalu berusaha
mengendalikan konflik melalui politik kekuasaan. Maka konflik Papua pun dihadapi
dengan penguatan peran militer di hampir berbagai lini kehidupan.4 Berbagai upaya
penegakan hukum untuk menjamin keamanan dan ketertiban juga dilakukan secara
tegas. Sejumlah tokoh masyarakat yang menuntut keadilan dan menyuarakan aspirasi
Papua Merdeka, ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan makar. Pemerintah juga
mendorong pelaksanaan Otonomi Khusus (UU Otsus, 2001) yang disertai sejumlah
kewenangan politik budaya, serta ekonomi. Kebijakan ini mendorong aliran dana
yang cukup besar ke Papua sebagai konsekwensi dari pembagian hasil-hasil
eksplorasi sumber daya alam yang cukup besar di wilayah Papua. Namun
tampaknya, kebijakan pemerintah masih belum mampu mengendalikan konflik secara
komprehensif, sebab dinamika social dan politik masyarakat Papua masih sering
diliputi konflik dan kekerasan. Dalam satu dasawarsa terakhir masih terjadi kekerasan
politik, sosial dan ekonomi di hampir sebagian besar wilayah Papua seperti di
Wamena, Jayapura, Manokwari, Sorong dan lainnya.
Kegagalan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang saling terkait
dengan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama di Papua yang telah berlangsung
selama ini, semestinya mendorong kita untuk mengkaji berbagai alternatif lain dalam
4 Beberapa waktu yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudoyono menunjuk Bambang Dramono
(seorang Jenderal senior yang pernah bertugas dalam konflik Aceh) untuk memimpin sebuah unit
khusus penyelesaian masalah Papua. Dalam banyak kasus pemerintah pusat selalu memprioritas
kekuatan militer dalam upaya penyelesaian masalah-masalah di Papua.
16
menyelesaikan masalah Papua. Dalam dimensi tertentu kita dapat belajar dari
pengalaman masyarakat Fakfak dan sekitarnya, dimana perdamaian dan hamonisasi
melibatkan masyarakat dan nilai-nilai lokal yang mengikat mereka dalam
keseimbangan, sehingga relasi sosial yang terbentuk adalah keberadaan (ko-
eksistensi), kerjasama (kolaborasi) dan kerekatan (kohesi) yang membentuk integrasi
sosial. Apa yang terjadi di Fakfak tentu sangat menarik untuk dikaji dan diteliti, di
tengah harapan untuk mengelola konflik yang terjadi di Papua dengan cara-cara yang
lebih baik, demokratis dan bisa diterima oleh semua kekuatan sosial politik. Apalagi
dalam perkembangan mutakhir telah muncul keinginan untuk menyelesaikan konflik
Papua secara demokratis dan bermartabat melalui dialog yang damai antara Papua
dan Jakarta. Berkaitan dengan proses tersebut, maka studi-studi yang
mempromosikan perdamaian dan inisiatif pembentukan integrasi di tingkat lokal,
sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Fakfak, memiliki makna penting dalam
studi ilmu sosial di Indonesia dewasa ini. “Pertama”, karena hal ini akan memberi
peluang untuk menemukan alternatif atas konsepsi lama tentang integrasi sosial yang
cenderung dikuasai oleh tafsir Negara. Sebagaimana ditegaskan Heru Nugroho
(2011:178)
“...kita memerlukan perimbangan wacana public secara seimbang dengan cara
ikut serta dan terlibat dalam diskursus tentang isu-isu SARA (keragaman),
tanpa harus ada pemaksaan dari negara terhadap masyarakat sipil”.
“Kedua”, meyakinkan bahwa kemajemukan selain berpeluang menciptakan konflik,
dapat juga menjadi energy positif dalam mewujudkan proses pemberdayaan atau
demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. “Ketiga”, kajian ini berpeluang
17
menemukan factor-faktor penunjang perdamaian yang dapat mendukung
pembangunan ideologi kebangsaan (national unity and integrity) di atas
keanekaragaman struktur sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini bisa dicapai dengan
menggali strategi dan metode integrasi sosial yang telah dikembangkan oleh
masyarakat melalui kebijaksanaan lokalnya (lokal wisdom) di berbagai daerah di
Indonesia, termasuk di wilayah Papua.
1.2. Rumusan Masalah
Penggambaran tentang integrasi sosial dan perdamaian pada sebagian
masyarakat Papua, khususnya yang terjadi pada masyarakat Fakfak menunjukkan
bahwa meskipun terdapat perbedaan kepentingan politik, keanekaragaman budaya,
etnis dan agama, namun kondisi tersebut tidak serta merta menimbulkan konflik dan
kekerasan di tengah masyarakat. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, sebab
fenomena perdamaian dan harmonisasi kehidupan sosial yang berlangsung di Fakfak
dan sekitarnya dapat disebut sebagai sebuah anomali sosial, di tengah berbagai
pertentangan politik, ekonomi, etnis, agama dan budaya yang sering terjadi di Papua.
Perkembangan di Fakfak tentu positif dan memberikan sumbangan berharga pada
menguatnya integrasi sosial masyarakat Papua. Mengingat saat ini konflik politik di
Papua semakin menjauhkan wilayah tersebut dari nasionalisme Indonesia.
Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana integrasi
sosial dalam masyarakat Papua khususnya dinamika yang terjadi pada masyarakat di
wilayah Fakfak dan facktor-faktor determinan apa yang menjadi penentu di
18
dalamnya. Untuk memetakan lebih rinci permasalahan tersebut maka pertanyaan
penelitian (research question) yang diajukan dalam disertasi ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengapa masyarakat Fakfak secara spesifik memiliki nilai-nilai dasar dalam
integrasi sosial? Faktor-faktor apa saja yang melahirkan nilai dan norma
tersebut?
2. Bagaimana pelembagaan nilai (institusionalization value) dan proses
kontestasi dalam integrasi sosial masyarakat Fakfak, dan sejauhmana
kontribusinya dalam penguatan perdamaian?
3. Apa saja tantangan yang dihadapi masyarakaat Fakfak dalam
mempertahankan integrasi sosial masyarakatnya di tengah perubahan sosial
yang terus terjadi di Papua?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang dikemukakan di
atas, maka ada tiga hal yang menjadi tujuan dalam penelitian disertasi ini. “Pertama”,
penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi factor-faktor determinan yang
berperan dalam mengintegrasikan sebuah masyarakat. Faktor-faktor determinanan
yang dimaksud di sini bisa agama, budaya (tradisi) ataupun sistem politik yang
bekerja secara alamiah untuk memperkuat perdamaian. “Kedua”, penelitian ini juga
dimaksudkan untuk menganalisis proses penguatan (pelembagaan) nilai-nilai
integrasi sosial dalam masyarakat Fakfak dan menjelaskan dampaknya terhadap
19
pembentukan masyarakat yang damai untuk memperkuat integrasi nasional di
wilayah Papua. Hal ini secara praksis diharapkan akan memberikan masukan bagi
proses penyelesaian berbagai permasalahan sosial yang terjadi di Papua. “Ketiga”,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tantangan-tantangan yang
dihadapi oleh masyarakat Fakfak dalam mempertahankan integrasi sosial yang telah
terjalin baik di antara mereka.
Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat ganda baik
secara teoritis maupun praksis dalam pembangunan masyarakat yang damai dan
harmonis di Indonesia. “Pertama”, secara teoritis penelitian ini akan memberi
kontribusi penting dalam hal memeriksa dan mengkonsepsikan kembali teori-teori
sosial tentang integrasi sosial yang cenderung hegemonik, serta relevansinya
terhadap penguatan perdamaian dan harmoni sosial di masyarakat. Sebab konflik-
konflik sosial bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang terjadi
pasca reformasi perlu mendapatkan penjelasan teortis yang tepat sesuai dengan
konteks perubahan sosial yang sedang beralngsung. “Kedua”, penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan mafaat praksis yakni sebagai masukan informasi
kepada para pengambil kebijakan untuk mencari solusi terbaik mengatasi berbagai
konflik sosial, ekonomi dan politik yang sering terjadi di Papua. Konflik di Papua
sudah saatnya dikelola dengan pendekatan-pendekatan yang demokratis, partisipatif
dan memberdayakan, sehingga masyarakat diharapkan terlibat secara aktif dalam
setiap usaha untuk menciptakan perdamaian di Papua. Demikian pula pada aras
nasional, studi ini akan memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengelola
20
keragaman dengan bijaksana dan tidak perlu ragu mengadopsi berbagai kearifan lokal
sebagai bagian dari kebijakan pengendalian konflik sehingga memberi sumbangasih
pada menguatanya integrasi nasional di seluruh Indonesia.
1.4. Studi Pustaka.
Studi tentang integrasi sosial di Indonesia bukan merupakan topik atau tema
yang baru. Studi tentang hal ini telah berlangsung lama, namun menjadi penting dan
mengemuka setelah muncul konflik sosial bernuansa SARA yang melanda Indonesia
sejak gerakan reformasi tahun 1998. Gerakan reformasi seakan membuka “Kotak
Pandora”, sehingga berbagai potensi konflik yang selama ini dapat diredam melalui
kekuatan represif Orde Baru, akhirnya muncul ke permukaan dalam bentuk konflik
dan kekerasan yang terjadi di hampir semua tempat.
1.4.1. Studi Tentang Integrasi Sosial
Sejauh ini terdapat sejumlah studi yang mencoba menjelaskan tentang
fenomena konflik dan kekerasan dari berbagai persepektif, terutama perspektif
sosiologi. Pendekatan sosiologi (konflik) biasanya menempatkan masyarakat dalam
suasana yang selalu antagonistic, sehingga konflik dan disintegrasi sosial dipandang
sebagai sesuatu yang akan selalu hadir (omni present) dan tidak bisa dihindari. Oleh
sebab itu diperlukan intervensi sosial untuk dapat menciptakan stabilitas sosial dan
perdamaian. Pendekatan ini tentu menafikkan adanya kenyataan bahwa masyarakat
juga memiliki mekanisme sosial dan modal sosial untuk selalu menciptakan integrasi
sosial secara mandiri. Hal ini sejalan dengan paradigma baru integrasi sosial yang
21
didasari alam pikiran demokratis, dimana integrasi sosial dipahami sebagai suatu
penerimaan sukarela terhadap setiap individu maupun kelompok untuk berperan aktif
dalam kehidupan masyarakat tanpa membedakan etnisitas, agama, budaya dan juga
jenis kelamin.
Belum banyak yang mencoba mencermati dinamika masyarakat dewasa ini
dengan menggunakan konsep baru tentang harmoni dan integrasi yang lebih
demokratis. Sebagai gambaran dapat disebut beberapa studi di antaranya. Misalnya
studi paling awal yang dilakukan oleh Nazaruddin Syamsudin (1989), tentang
integrasi politik di Indonesia. Nazaruddin melakukan studi yang serius tentang factor-
faktor yang mempengaruhi integrasi nasional di Indonesia. Menurut Nazaruddin,
konsep integrasi nasional pada dasarnya mencakup dua persoalan mendasar.
“Pertama”, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan dan
kepentingan Negara. “Kedua”, bagaimana meningkatkan consensus normatif yang
mengatur tingkalaku positif masyarakat atau individu-individu yang ada di dalamnya.
Studi Nazaruddin banyak mengulas tentang gerakan-gerakan politik yang
mengancam integrasi nasional yang terutama di bahas adalah PRRI, Gerakan Aceh
Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka yang kesemuanya didasari oleh kesetiaan
terhadap kelompok primordial.
Penelitian Erni Budiwanti 1996, tentang Minoritas Islam dalam perspektif
integrasi nasional di Desa Pengayam Bali Utara. Menurut temuan Erni, sebetulnya
setiap masyarakat biasanya memiliki mekanisme sosial untuk mendorong integrasi
sosial pada masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan komunitas
22
Muslim di Desa Pengayam yang mampu menyesuaikan diri dengan budaya Hindu
Bali yang mayoritas. Mereka mampu menerima tradisi dan budaya Bali sebagaimana
tercermin dalam nama-pertama maupun dalam jabatan-jabatan cultural di tingkat
desa. Komunitas minoritas muslim Bali juga dapat menunjukkan penghormatan yang
tinggi pada tradisi, kepercayaan dan berbagai taboo yang ada dalam kepercayaan
masyarakat. Mereka, misalnya, turut memelihara suasana hening selama upacara
Nyepi dan bergembira bersama dalam hari bersamaan seperti Galungan. Sementara
itu beberapa penelitian terakhir yang berhubungan dengan integrasi sosial, misalnya
yang dilakukan oleh Liber Siagian, Hedi Sri Ahimsa dan Syafiq Efendi di Kota
Medan tentang integrasi sosial antar etnik dalam konteks ketahanan nasional pada
tahun 2004. Berdasarkan penelitiannya, Liber dan kawan-kawannya berkesimpulan
bahwa integrasi sosial yang terjadi dikota Medan merupakan hasil dari semangat
toleransi yang terbangun dari komunikasi yang baik antar etnis-etnis yang berbeda di
Kota Medan.
Kajian yang sama juga pernah juga dilakukan oleh kelompok peneliti yang
tergabung dalam Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2011. CSRC mempublikasikan hasil kajian yang
berjudul Kebebasan Beragama dan Integrasi Sosial yang menegaskan bahwa
sebetulnya masih banyak praktik-praktik terbaik (best practices) dalam masyarakat
Indonesia yang berhasil melindungi kekebasan beragama dan berkeyakinan yang
mendorong terciptanya integrasi sosial yang lebih baik. Seperti tradisi Bela Baja di
Pantar, Nusa Tenggara Timur yang mampu membentengi masyarakat dari provokasi
23
yang ingin memecah belah umat Islam dan Kristen di sana. Atau praktik Pecalang di
Bali yang berfungsi mengjaga ruma-rumah ibadah pada saat hari-hari besar agama
lain. Kajian ini secara sepesifik ingin mempromosikan Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (KBB) di Indonesia.
1.3.1. Studi Integrasi Sosial dalam Konteks Papua
Dalam konteks lokal di Papua, ada beberapa studi dan hasil penelitian yang
memiliki relevansi dengan penelitian ini. Penggambaran paling awal tentang
masyarakat Papua yang identik dengan ras Melanesia dikemukakan oleh para
Antropolog, seperti; Kondjaraninggrat, Sutarga, dan Ajamiseba (1994). Dalam Seri
Etnografi Indonesia 5, “Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk,”
Koendjaraninggrat dan Sutarga (1994:110-116) menulis tentang kebinekaan ras
penduduk Papua, sedangkan Ajamiseba menulis tentang kebinekaan bahasa di
Papua. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kebinekaan ciri-ciri ras
penduduk Irian Jaya sangat jelas terlihat pada ciri-ciri ras fenotip mereka seperti
warna dan bentuk rambut. Sementara itu, Ajamiseba (dalam Koencaraningrat,
1994:119-122) mengatakan adanya 234 bahasa orang Papua dimana sebagian
(19,5%) termasuk rumpun bahasa Melanesia. Berdasarkan data tersebut maka
Koencaraningrat, Sutarga, Ajamiseba berpendapat bahwa masyarakat Papua bersifat
majemuk berdasarkan ciri-ciri fisik dan bahasa.
Studi berikutnya yang dilakukan oleh tim peneliti Centre for Strategic and
Internasional Studies (CSIS) di Wamena, sebagaimana telah dipublikasikan pada
tahun 2006, dengan Judul Partisipasi, Kohesi Sosial, dan Resolusi Konflik;
24
Pengalaman dari Wamena Papua. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa
kondisi masyarakat dengan kohesi sosial yang rendah sebagaimana yang terjadi di
Wamena merupakan hasil kontenstasi berbagai factor yang kompleks dan saling
terkait; seperti lumpuhnya kepemimpinan tradisional, kesenjangan ekonomi serta
diskriminasi sosial dan politik. Artinya rendahnya kohesi sosial di Papua, bukan
merupakan suatu hal yang “given”, tetapi merupakan by product dari persoalan-
persoalan di tingkat nasional dan lokal. Dengan kata lain, kebijakan nasional yang
dituangkan dalam program-program pembangunan, yang dirumuskan di tingkat pusat
sangat berpengaruh terhadap kondisi integrasi maupun disintegrasi masyarakat di
Papua.
Penelitian tentang faktor-faktor penyebab konflik di Papua dapat dilihat pada
hasil penelitian Tim LIPI (2008) yang dipublikasikan dengan judul Papua Road
Map; Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future.
Penelitian tersebut menjelaskan secara komprehensif bahwa konflik di Papua
mencakup empat isu strategis yang saling terkait sebagai berikut: sejarah integrasi
Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua; kekerasan politik dan
pelanggaran HAM; gagalnya pembangunan di Papua; dan inkonsistensi dalam
implementasi Otsus serta marjinalisasi orang Papua. Tim LIPI menawarkan
Rekognisi dan pemberdayaan orang asli Papua, merubah paradigma pembangunan
yang lebih melayani dan menghormati orang Papua, mebangun dialog yang
partisipatoris hingga membuat rekonsiliasi yang mengungkap secara jelas kebenaran
dan pertanggungjawaban hokum berbagai pelanggaran HAM di Papaua.
25
Disertasi Bernarda Materay (2012) yang diterbitkan dengan judul
Nasionalisme Ganda Orang Papua, juga mengungkapkan sejarah konflik Papua yang
berakar pada kontestasi pengaruh pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah
republik Indonesia. Pengaruh tersebut malahirkan nasionalisme ganda di kalangan
orang-orang Papua. Persemaian nasionalisme Papua oleh pemerintah kolonial melalui
partai politik dan kampanye cultural yang menegaskan edintitas ras melanesia yang
berkulit hitam legam dan berambut keriting. Sedangkan kampanye nasionalisme
Indonesia menurut Bernard, tidak sistematis dan sangat terbatas tanpa klaim kultural
yang jelas. Inilah yang menjelaskan mengapa kelompok nasionalis Papua cenderung
militan dan dapat bertahan dalam tekanan kekuasaan pemerintah Indonesia.
Tesis Cahyo Pamungkas (2008) tentang Papua Islam dan Otonomi Khusus
menjelaskan tentang usaha orang-orang Papua Islam yang minoritas untuk
menegosiakaan identitas keagamaan mereka di tengah masyarakat Papua yang
mayorotas beragama Kristen. Usaha terus ditunjukkan dengan merumuskan jati
dirinya secara fleksibel, yaitu memadukan antara ke-Islaman dan ke-Papuan,
mengkontestasikan identitas budayanya dengan Muslim pendatang dan Kristen Papua
dalam arena politik identitas. Studi ini menunjukkan bahwa identitas budaya seperti
etnik dan agama, tidak hanya berfungsi sebagai penanda objektif, tetapi juga
kekuasaan simbolik. Identitas tersebut dikonstruksi, dikontestasikan dan digunakan
sebagai instrumen politik. Implikasinya, konstruksi identitas diperlukan untuk
melegitimasi relasi dominasi dalam ranah kekuasaan objektif.
26
1.3.2. Studi Spesifik tentang Fakfak
Selama ini kajian-kajian tentang Fakfak belum banyak dilakukan, terdapat dua
kemungkinan yang menyebabkan kondisi tersebut. “Pertama”, studi-studi tentang
Papua lebih fokus pada isu konflik dan wacana-wacana besar yang menjadi
perbincangan di pusat-pusat kekuasaan di Jayapura atau Manokwari, sehingga kurang
memberi tempat pada daerah-daerah “pinggiran” seperti Fakfak. “Kedua”, hal ini
membuat banyak peneliti sangat minim pengetahuan dan kurang mengenal berbagai
suku bangsa di Papua dengan dinamika sosial dan keunikan budayanya yang berbeda-
beda. Akan tetapi penelusuran literatur yang dilakukan dalam penelitian ini
menemukan publikasi yang telah dihasilkan oleh dua orang peneliti asli Fakfak
sebagai bagian dari tesis dalam studi pascasarjana.
“Pertama”, studi yang dilakukan J.F. Onim (2006) tentang sejarah perjumpaan
Islam dan Kristen di tanah Papua yang mengambil lokasi di wilayah Fakfak.
Peneltian Onim memberikan banyak informasi penting tentang bagaiamana interaksi
kedua agama tersebut sejak awal kedatangannya di Papua. Bahwa perjumpaan Islam
dan Kristen telah melahirkan sebuah hubungan keagamaan yang unik, karena dari situ
justru muncul toleransi antara umat beragama di Fakfak. Namun Onim tidak
menjelaskan bagaimana masyarakat Fakfak mempertahankan dan melembagakan
nilai-nilai tersebut dalam praktik kehidupan mereka.
“Kedua”, studi antropologis yang dilakukan oleh Suparto Iribaram (2011),
yang berjudul Satu Tungku Tiga Batu (Kerjasama Tiga Agama dalam Kehidupan
Beragama di Fakfak), memiliki relevansi yang cukup penting dengan penelitian ini.
27
Iribaram menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mendukung kerukunan
beragama di Fakfak adalah filosofi Satu Tungku Tiga Batu. Tradisi ini merupakan
pengejawantahan dari hubungan yang harmonis antara tiga agama; Islam, Kristen dan
Katolik di Wilayah Fakfak. Studi Iribaram merupakan salah satu pintu masuk untuk
mengkaji lebih jauh tentang bagaimana kebijaksanaan lokal (local wisdom) tersebut
melembaga dan berperan dalam memperkuat integrasi sosial di Kabupaten Fakfak
Papua Barat.
Bila kita memperhatikan paparan berbagai studi dan penelitian tersebut, maka
paling tidak terdapat dua hal yang belum memperoleh perhatian secara memadai.
“Pertama”, studi tentang integrasi sosial masih mengedepankan model integrasi
politik yang menjadikan hubungan antara negara dan masyarakat sebagai objek
kajian. Integrasi sosial model ini (versi Orde Baru) berkembang menjadi politik
penundukan yang memaksa individu dan kelompok kecil melebur dalam kelompok
arus besar. Dalam hal ini keragaman dalam masyarakat belum dilihat sebagai modal
sosial dan kultural yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang
demokratis di Indonesia. “Kedua”, Berbagai penelitian tentang Papua yang ada
selama ini, masih didominasi oleh wacana dominan tentang konflik. Papua masih
dilihat sebagai wilayah penuh konflik sehingga perlu ditangani secara sistematis
melalui kebijakan politik semata. Padahal berbagai narasi kegagalan kebijakan
tentang Papua, seharusnya mendorong kita untuk mengkaji lebih mendalam tentang
alternatif lain untuk mengelola potensi konflik di Papua dengan mengedepankan
spirit sosio-kultural yang selama ini telah berkembang di Papua. Oleh sebab itu untuk
28
mengisi ruang kosong tersebut maka penulis memandang perlu untuk melakukan
penelitian tentang integrasi sosial pada masyarakat Papua dengan menetapkan fokus
pada dinamika perdamaian yang terjadi pad masyarakat Fakfak di Propinsi Papua
Barat.
1.5. Kajian Konsep dan Teori
Reformasi politik 1998 membawa berbagai perubahan politik yang cukup
mendasar bagi kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk
memberikan otonomi dan kewenangan yang lebih luas kepada daerah, dalam banyak
hal telah membuka ruang bagi tumbuhnya kesadaran-kesadaran identitas; etnisitas,
agama dan budaya. Di tingkat lokal, menguatnya politik identitas yang disertai
kekecewaan sosial politik, sering melahirkan ketegangan, konflik sosial, disintegrasi
dan disharmoni yang meluas di tengah masyarakat. Segera tampak bahwa bangunan
politik perdamaian yang dibangun rezim Orde Baru ternyata memiliki kelemahan dan
menyimpan berbagai potensi destruktif yang muncul bersamaan dengan melemahnya
negara.
Beberapa jawaban kuncinya adalah, “pertama”, karena politik integrasi dan
harmoni yang dibangun oleh rezim Orde Baru cenderung mengedepankan asas
persamaan dan penyeragaman. Sebab itu slogan yang muncul adalah persatuan dan
kesatuan dengan menampilkan simbol-simbol tunggal yang didominasi oleh tafsir
negara. “Kedua”, untuk membungkam perbedaan maka digunakan pendekatannnya
represif dari unsur-unsur keamanan, demikian juga sentralisasi terhadap semua proses
29
sosial, politik dan ekonomi. Daerah-daerah hanya menjadi perpanjangan tangan
negara yang direpresentasikan oleh pemerintah pusat dalam sebuah hubungan yang
bersifat komando. Maka begitu keran kebebasan dibuka terkuaklah semua kelemahan
sistemik tersebut, dan bersamaan dengan itu muncul konflik dan kekerasan yang
terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Namun demikian, beberapa daerah berhasil
mengelola keragamannya dengan cara-cara yang tepat sehingga berhasil
mempertahankan perdamaian di tengah keragaman masyarakatnya.
Dalam studi ini konsep damai atau perdamaian dipakai untuk menjelaskan
satu situasi dimana kekerasan dapat dicegah dalam relasi sosial masyarakat.
Kekerasan merupakan bentuk yang paling nyata dari rusaknya perdamaian dalam
masyarakat, sebagai akibat dari ketidakmampuan mengelola perbedaan. Namun lebih
fundamental lagi perdamaian pada dasarnya bukan saja terkait dengan absentnya
kekerasan, tetapi lebih dari itu perdamaian berkaitan dengan meningkatnya kualitas
kehidupan karena keadilan dan kesejahteraan sosial berhasil diwujudkan. Itulah
sebabnya dalam studi perdamaian, misalnya yang dilakukan Jhon Galtung (2011),
perdamaian dibedakan menjadi dua katogeri. Pertama adalah perdamaian negatif,
yaitu pengendalian terhadap konflik dan kekerasan, dan kedua, perdamaian positif
dimana terdapat kebebasan dan keadilan yang dirasakan wrga masyarakat tanpa
memandang suku, agama, budaya atau kelas sosial.
Selain konsep perdamaian juga digunakan konsep harmoni yang dimaknai
sebagai sebuah konsep sosial yang menjelaskan situasi dimana berbagai suku, agama
dan budaya dapat mengekspresikan identitas sosialnya tanpa ada dominasi atau
30
intimidasi dari kelompok lain. Masyarakat harmonis yang dimaksudkan di sini adalah
sebuah kondisi masyarakat yang meskipun berbeda-beda (suku, agama, bahasa dan
golongan), tetapi dapat bekerjasama dan saling berinteraksi dalam sebuah kehidupan
sosial yang saling menjaga. Dalam masyarakat yang harmonis masing-masing
individu memiliki kesadaran yang tinggi tentang keragaman dan berusaha untuk lebih
mengedepankan kepentingan bersama daripada mempermasalahkan perbedaaan-
perbedaan. Konsep harmoni yang akan dikonseptualisasi dalam tulisan ini adalah
sebuah situasi yang terbentuk secara partisipatif, sebab masyarakat terlibat
didalamnya dengan penuh kesadaran. Hal ini untuk membedakan konsep harmoni
hegomonik yang terhadi selama kekuasaan Orde Baru5.
Studi ini dilakukan untuk memahami dan menjelaskan fenomena perdamaian
pada sebuah masyarakat lokal di Papua, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat
Fakfak di Propinsi Papua Barat dalam konteks integrasi sosial. saat ini wilayah
Fakfak dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat yang aman, damai dan harmonis
di tengah situasi sosial dan politik di Papua yang penuh konflik dan kekerasan.
Masyarakat Fakfak ternyata memiliki semacam strategi pertahanan diri sehingga
mampu mengelola berbagai perbedaan dan potensi konflik di wilayahnya. Menurut
penulis, fenomena Fakfak tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, tetapi banyak
faktor yang saling terkait dan memberikan kontribusi pada perdamaian, seperti nilai-
5Dalam studi ini konsep harmoni tetap dipakai, namun dibedakan secara tegas dengan konsepsi
harmoni yang dipersepsikan rezim Orde Baru. Harmoni sosial dalam pendekatan rezim Orde Baru
adalah sebuah proyek politik yang dibangun untuk menjamin keberlangsungan pembangunan dan
eksistensi kekuasaan. Harmoni sosial dibentuk dan dirawat lewat tangan-tangan kekuasaan yang
menetralisir semua perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik. Negara menjadi dominan dan
penafsir utama apa yang disebut harmoni sosial.
31
nilai kearifan lokal, agama, sejarah, ekonomi dan politik. Penting pula untuk
menjelaskan adalah bagaimana faktor-faktor integratif tersebut melembaga dan
membentuk praktik-praktik sosial.
Oleh sebab itu untuk menganalisis dan menjelaskan fenomena Fakfak tidak
bisa dengan satu pendekatan teoritik tertentu saja, tetapi harus melibatkan sejumlah
teori dan konsep yang saling terkait untuk membangun sebuah landasan teoritis yang
kuat. Secara umum teori utama yang dipilih sebagai grand theory dalam memahami
fenomena yang menjadi locus penelitian ini adalah teori integrasi sosial (sosial
integration). Namun untuk menjelaskan fenomena integrasi sosial yang terjadi di
Papua, maka grand theory tersebut akan diperkuat oleh beberapa teori dan konsep
lain yang memiliki relevansi dalam studi ilmu sosial tentang masyarakat, seperti teori
tentang konflik dan teori tentang konstruksi reproduksi sosial. Berikut ini akan
dijelaskan konsep-konsep kunci dari teori tersebut sehingga membentuk sebuah
kerangka teoritik yang diperlukan untuk menjelaskan fenomena integrasi sosial yang
terjadi pada masyarakat Fakfak Papua Barat.
1.5.1. Konsepsi Integrasi Sosial
Integrasi (integration) merupakan kata serapan dalam bahasa Inggris yang
mempertahankan makna kata aslinya integrat dalam bahasa Latin, berarti
menyatukan berbagai komponen dalam satu entitas (Nazarudin, 1989). Istilah
integrasi sosial pertama kali digunakan sebagai konsep ilmiah oleh Emile Durkheim,
sosiolog Perancis yang disebut-sebut memulai tradisi fungsionalisme dalam sosiologi.
Menurut Masumura (1977), Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan
32
fenomena lebih tingginya tingkat bunuh diri di lingkungan masyarakat Protestan
dibandingkan masyarakat Katolik. Durkheim menyimpulkan bahwa tingkat integrasi
sosial berperan dalam menjelaskan perbedaan ini. Masyakat Protestan lebih tinggi
tingkat bunuh dirinya karena tingkat integrasi sosial mereka rendah, sementara
masyarakat Katolik tingkat integrasi sosial mereka normal. Durkheim tidak
memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang apa yang dimaksudnya dengan
integrasi sosial, tetapi para pengulas pemikirannya menyimpulkan bahwa integrasi
sosial yang dimaksud Durkheim adalah kondisi dimana masyarakat bisa mengaitkan
dirinya dengan anggota kelompok masyarakat lain.
Secara sosiologis teori integrasi sosial merupakan bagian dari paradigma
fungsionalisme yang diperkenalkan Talcot Parson (1927-1979). Paradigma ini
mengandaikan bahwa masyarakat berada dalam sebuah sistem sosial yang mengikat
mereka dalam keseimbangan (equilibrium). Masyarakat merupakan sebuah sistem
yang terdiri dari berbagai unit sosial yang merupakan sebuah kesatuan. Hal ini
tercermin dari dua pengertian dasar integrasi sosial yaitu, “pertama”, pengendalian
terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu, dan
“kedua”, menyatukan unsur-unsur tertentu dalam suatu masyarakat sehingga tercipta
sebuah tertib sosial (social order) (Ritzer, 2009:258). Dari sini bisa dilihat bahwa
konsep integrasi sosial merupakan sebuah proses horizontal yang berlangsung dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Proses ini ingin mengintegrasikan antara
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, dengan cara menjembatani perbedaan–
perbedaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor teritorial/kultur, agama, kepentingan,
33
kelas sosial dan sebagainya, dengan mengurangi kesenjangan yang ditimbulkan oleh
factor-faktor tersebut. Integrasi sosial lazim dikonsepsikan sebagai suatu proses
ketika kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling menjaga keseimbangan
untuk mewujudkan kedekatan hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan politik.
Kelompok-kelompok sosial tersebut bisa terwujud atas dasar agama dan kepercayaan,
suku, ras dan kelas.
Selama ini integrasi sosial merupakan sebuah konsep yang cukup dilematis,
dan banyak mendapat kritik. Konsep integrasi sosial sering dipengaruhi oleh wacana
kekuasaan tentang penyatuan dalam sebuah kesatuan identitas. Suatu tafsir sosial
yang menonjolkan adanya penundukan terhadap kekuatan-kekuatan minoritas untuk
tunduk dan menyatu di bawah kuasa identitas yang mayoritas. Maka sebagai
kelanjutan dari cara pandang yang demikian itu, dikedapankan konsep asimilasi,
dimana identitas dan kebudayaan yang minoritas lebih diharapkan menyatu dengan
identitas budaya yang mayoritas. Dalam studinya tentang Integrasi nasional,
Nazaruddin Syamsudin (1989) menyebutkan bahwa integrasi sosial adalah bagian
dari konsep integrasi nasional yang pada dasarnya mencakup dua persoalan
mendasar. Pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan dan
kepentingan bersama yakni berbangsa dan bernegara. Kedua, bagaimana
meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku positif masyarakat
atau individu-individu yang ada di dalamnya. Pandangan Nazaruddin, sejatinya
mewakili banyak ilmuwan politik pada zamannya yang memandang negara sebagai
satu-satunya entitas sosial politik yang harus dirawat eksistensinya, meskipun dalam
34
proses tersebut secara tidak terelakkan mengabaikan keragaman dan perbedaan yang
telah menjadi fakta sosial di Indonesia.
Paradigma semacam ini yang kemudian mendorong lahirnya kebijakan politik
asimilasi (pembauran) nasional. Pembauran harus dilakukan untuk menghilangkan
sentimen-sentimen primordialisme. Pendeknya politik asismilasi adalah jembatan
untuk meretas perbedaan dan antagonisme di dalam masyarakat. Melalui kebijakan
ini diharapkan sentimen dan semangat kolektif atau segala atribut politik identitas
yang tidak bersebadan dengan negara diluruhkan. Setiap warga negara pada saat yang
sama adalah sebuah warga bangsa, dimana sentimen kebangsaan tidak boleh berada
di luar jangkar politik negara. Itulah pijakan paling mendasar bagi eksistensi negara
yang dalam kata-kata Ernest Gellner (John Hall (ed.), 1998), merupakan prinsip
ideologi yang utama, suatu prinsip ideologi yang mau tidak mau pasti akan
berlangsung melalui proses homogenisasi kultural.
Sejak reformasi 1998 yang ditandai dengan demokrasi dan demokratisasi
yang mendorong wacana keterbukaan, maka banyak ilmuan mengkritik konsep
integrasi sebagai bagian dari wacana kekuasaan yang cenderung hegemonik itu.
Secara sarkarstis konsep integrasi sosial dianggap sebagai konsep ilmu sosial yang
telah kehilangan konteksnya, di tengah tuntutan demokrasi dan penghormatan
terhadap perbedaan. Maka setiap studi yang mempromosikan integrasi sosial
dianggap sebagai aktifitas teoritis yang membosankan dan tidak menarik, sebab
cenderung mengesahkan adanya status quo. Padahal menurut penulis, yang
diperlukan oleh ilmuan sosial adalah melepaskan sebuah konsep keilmuan dari tafsir
35
kekuasaan yang selama ini menghegemoninya. Sebagaimana ditegaskan oleh sosiolog
Heru Nugroho (2011:178), para ilmuan sosial dewasa ini memerlukan perimbangan
wacana publik secara seimbang dengan cara ikut serta dan terlibat dalam diskursus
tentang keragaman, tanpa harus ada pemaksaan dari negara terhadap masyarakat sipil.
Pada dasarnya studi ini merupakan upaya untuk melakukan kritik terhadap
konsepsi integrasi sosial rezim Orde Baru yang masih kuat dengan paradigma
fungsionalisme Parsonian tentang keseimbangan sosial (social equilibrium) yang
menyederhanakan masyarakat berdasarkan fungsi-fungsi yang bekerja secara statis.
Studi ini mencoba mendudukan kembali konsep integrasi sosial dalam alam pikiran
demokratis, yang melihat perbedaan sebagai realitas politik dalam masyarakat
sebagai sesuatu yang given, dan oleh sebab itu mesti dikelola dengan cara-cara yang
demokratis pula. Pandangan demokratis terhadap konsep integrasi sosial
meniscayakan bahwa perbedaan tidak boleh dibunuh tetapi dibiarkan saling
berinteraksi, meskipun dalam proses tersebut terjadi dinamika yang kontestatif.
Dengan begitu keseimbangan sosial yang tercipta bukanlah sebuah konsep yang statis
karena dikendalikan oleh sebuah sistem yang dominan dan hegemonik, namum
merupakan sebuah keseimbangan yang dinamis yang menghubungkan unsur-unsur
dalam masyarakat. Melalui dinamisasi yang terjadi maka tercipta nilai-nilai bersama
yang menjadi dasar bagi proses integrasi sosial yang genuin dalam masyarakat.
Berkaitan dengan cara pandang tersebut, maka studi ini akan memanfaatkan konsep-
konsep sosial dari beberapa ilmuan yang mengusulkan nilai-nilai baru yang
demokratis sebagai dasar bagi integrasi sosial.
36
1.4.1.1 Sumber Nilai Integrasi Sosial;
Moral Contract, Kearifan Lokal dan Agama
Salah satu ilmuan sosial yang membicarakan integrasi sosial dengan
pendekatan yang baru adalah Biku Parekh. Dalam bukunya A New Politics of
Identity, Parekh menjelaskan bahwa proses integrasi sosial dalam sebuah masyarakat
hanya dapat tercipta bila terdapat kesepakatan dari sebagian besar anggotanya
terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental dan krusial (2008:84-
87). Parekh menyebut nilai-nilai fundamental itu dengan istilah a moral contract
(kontrak moral). Kontrak moral adalah ketaataan terhadap nilai-nilai yang menjadi
platform bersama dalam masyarakat, sehingga membentuk semacam kepemilikaan
bersama atas nilai-nilai tersebut. Ia menjadi titik temu perbedaan yang harus ditaati
dalam sebuah masyarakat untuk menjamin tegaknya perdamaian. Parekh (2008:87)
menulis,
“..... how immigrant (society) can be assimilated or integrated, we should ask
how they can become equal citizens and be bound to the rest by the ties of
common belonging. Common belonging refers to abroadly shared feeling
among the citizens that they form part of the same community, belong
together, share common interests, are bound to each other by common
systems of right and obligation, depend on each other for their well-being, and
wish to live together on peace for the foreseeable future”.
Nilai-nilai moral yang menjadi norma bersama bisa berasal dari nilai-nilai agama atau
budaya yang telah berkembang dalam sebuah masyarakat dalam waktu yang lama.
Nilai-nilai tersebut bisa merupakan hasil negosiasi dalam sebuah realasi sosial yang
saling mempengaruhi.
37
Meskipun pandangan Parekh sejalan dengan pandangan para penganut
fungsionalisme yang mempercayai bahwa struktur sistem sosial senantiasa
terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar
anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental
(Ritzer, 1992). Namun bagi Parekh, proses pembentukan nilai tidak boleh direpresi
oleh sebuah kekuatan dominan. Pembentukan nilai bersama haruslah merupakan
sebuah proses yang dinamis dalam masyarakat yang multikultur, sehingga terbentuk
nilai-nilai secara alami yang melahirkan rasa memiliki (belonging) dalam masyarakat.
Seperti konsepsi tentang nilai-nilai lokal yang selama ini menjadi dasar bagi
hubungan sosial di tingkat lokal.
Kearifan lokal adalah suatu sintesis budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor
lokal melalui proses yang dinamis dan berulang-ulang, melalui internalisasi dan
interpretasi terhadap budaya dan ajaran-ajaran agama yang disosialisasikan dalam
bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat (Ahmad, 2006: 102). Dalam pengertian yang lain, Syamsul Maarif (2013)
memberikan devinisi yang singkat tentang kearifan lokal sebagai berikut:
A systematic means consisting of a set of values and practices that a
community uses to reach its communal ideals, i.e. cohesiveness and solidarity.
Jadi kearifan lokal bisa menjadi alat kohesifitas dan solidaritas dalam sebuah
masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan ideal mereka. Kearifan lokal dapat berupa
institusi, simbol-simbol, ritual adat, kata-kata bijak, dan pepatah yang memiliki
makna tertentu. Di sejumlah daerah, sebagian kearifan lokal ada yang masih dalam
38
bentuk aslinya, ada juga yang merupakan reka cipta kearifan lokal baru (institutional
development), dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa
tertentu, yang terus menerus direvisi dan direkacipta ulang sesuai dengan perubahan
kebutuhan sosial-politik dalam masyarakat (Amri Marzali, 2005). Pengembangan
institusi ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal secara partisipatif, dengan
melibatkan unsur pemerintah dan unsur-unsur non-pemerintah, dengan kombinasi
pendekatan top-down dan bottom-up. Konsensus berdasarkan nilai-nilai lokal
merupakan sumber moralitas bersama yang diyakini sebagai salah satu faktor yang
memungkinkan masyarakat berada dalam keseimbangan.
Sementara itu agama juga menjadi sumber nilai yang sangat penting dalam
integrasi sosial, karena menurut Emile Durkheim (2008), hakikat agama secara
fungsional merupakan sumber pembentuk solidaritas mekanis. Ia berpendapat bahwa
agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat
individu menjadi satu kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus.
Melalui simbol-simbol yang sifatnya suci, agama mengikat orang-orang yang
terpecah kedalam berbagai kelompok masyarakat untuk terikat dalam satu kesamaan
identitas. Bahkan dalam The Elementary Forms of Religious Life (2001), Durkheim
mengatakan “pada dasarnya ide tentang masyarakat adalah jiwa dari agama”.
Agama sebagai sumber nilai dalam masyarakat juga disebutkan sosiolog
seperti Max Weber (1958) yang mengakui bahwa nilai-nilai etik Protestanisme
tentang keselamatan telah menjadi pendorong tumbuhnya kapitalisme di Eropa Barat.
Demikian juga Robert N. Bellah (1967:3-4), ketika mengidentifikasi elemen-elemen
39
umum oriantasi keagamaan yang dimiliki mayoritas terbesar orang Amerika. Bellah
menunjukkan bagaimana dimensi keagamaan menjadi dasar bagi kearifan teologi dan
sosial, yang selanjutnya dijadikan dasar keagamaaan publik (civic religion). Apa yang
bisa dicatat dari studi Bellah adalah bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal bisa
membentuk struktur kehidupan masyarakat yang akan menjadi perspektif baru bagi
bentuk konseptualisasi teologi dengan kerangka dan konteks kultur lokal. Dalam
kultur masyarakat Indonesia yang religius dan multi agama, peluang untuk
mengembangkan nilai-nilai agama yang postif untuk membangun masyarakat yang
integratif dimungkinkan dengan mengidentifikasi nilai-nilai keagamaaan yang bisa
menyumbang pada kerjasama, kerukunan dan perdamaian. Meskipun dalam satu
dasawarsa terakhir kita menyaksikan wajah agama yang menyeramkan karena dibalut
amarah umatnya yang cenderung membangun militansi dan radikalime atas nama
agama.
1.4.1.2 Relasi dalam Proses Integrasi sosial; Civic Association
Secara sosiologis masyarakat bisa terintegrasi bila mereka menjadi anggota
dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation), sehingga selalu terhubungkan
dalam sebuah sistem sosial yang mengikat mereka. Setiap kemungkinan konflik yang
terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera
dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota
masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Dalam hal ini agama bisa menjadi alat
afiliasi sosial yang kuat, kesamaan agama memungkinkan individu-individu yang
berbeda etnis, bahasa dan budaya bisa saling menerima dan bekerjasama. Di daerah
40
transmigrasi seperti di Bomberay Kab. Fakfak, masyarakat yang berasal dari Jawa,
meyakini bahwa mereka bisa diterima oleh masyarakat pribumi yang tinggal di
sekitar lokasi transmigrasi karena adanya kesamaan agama. Solidaritas atas nama
agama Islam menyelamatkan mereka pada saat terjadi ketegangan sosial yang luas di
Papua pada tahun 2000-2002. Akan tetapi agama sebagai alat afiliasi sosial memiliki
kelemahan, karena membangun integrasi dalam masyarakat yang memiliki kesamaan
identitas agama, cenderung mengkesampingkan kelompok lain yang berbeda agama.
Oleh sebab itu, dalam masyarakat yang memiliki integrasi sosial yang kuat, kesatuan-
kesatuan sosial dalam masyarakat harus tersedia dalam jumlah yang banyak dan
beragam. Masyarakat juga memerlukan kesatuan sosial yang lain yang melintasi
sekat-sekat agama.
Masyarakat memerlukan sebuah struktur social yang mengikat seperti
diidentifikasi Petter Blau (1984) sebagai social circle affiliation, karena perbedaan-
perbedaan etnis, agama bahkan kelas social dapat dicairkan oleh sistem social yang
mengikat tersebut. Penelitian Asutosh Varsney (2003) tentang konflik social antar
Hindu dan Muslim di India, menjelaskan mengapa sebagian kota di India begitu
rentan dengan konflik komunal sementara yang lainnya bisa mempertahankan
kerukunan antar kelompok. Ada satu faktor yang dimiliki oleh hampir semua kota
yang damai itu, yang disebut Varsney sebagai civic association, yaitu pola relasi
lintas etnik, baik yang terorganisasi (organized civic network) atau yang muncul
dalam kehiduapan sehari-hari (everyday civic network). Varsney sebagaimana dikutip
41
Iqbal Ahnaf (2013) menjelaskan kedua bentuk civic association tersebut sebagai
berikut:
The former (everyday civic network) include a variety of assocional forms of
engagement between different etnics groups, as realized through bussiness
association., profesional organization, reading clubs, film clubs, non-
governmental organization, trade unions, and political parties. By contrast,
everydays form of engagement includ simple routine interaction of
neighbourhood lifes, such us families from different etnic groups sharing
meals together or visiting each other, participating in joint festival, and
permitting their children to play together. If robust, both form of engagement
promote etnic peace. Of the two, however, assocional forms are sturdier than
everyday forms us bulwarks against etnic violence. Vigorous associatonal or
organizational life can act as a serious constraint against the polarizing
strategies of political elites intent on manipulating ethnic conflict for thei
owen political purposes (Varsney, 2003)
Masyarakat di kota-kota tersebut terlibat dalam organisasi-organisasi yang
anggotanya beragam (lintas kelompok). Selain itu, tersedia ruang public yang bebas
untuk manfasilitasi keterikatan antar kelompok warga yang memiliki latar belakang
agama, identitas dan kelompok social yang berbeda. Tidak hanya itu ada kesadaran di
tingkat massa maupun pemuka masyarakat untuk berpaling pada dialog. Di sini
dialog terjadi karena adanya kepercayaan (trust), pengakuan (recognition) dan
kesetaraan (equality) antar warga masyarakat.
Modal utama lahirnya integrasi sosial dalam masyarakat adalah adanya
kepercayaan (Trust). Jika ada kepercayaan maka kelompok yang berbeda dalam
masyarakat tidak akan terlibat dalam aksi kekerasan kepada yang lain. Kepercayaan
juga akan membuat masyarakat yang berbeda akan bersedia untuk mendirikan
organisasi-organisasi yang anggotanya beragam dan mau bekerjasama dengan
mereka. Saling percaya juga akan menimbulkan iklim dialog terlebih dahulu dalam
42
menyelesaikan perselisihan karena yakin kelompok yang lain juga berfikir hal yang
sama. Penelitian Varsney jelas menunjukkan bahwa trust adalah modal utama bagi
penduduk kota-kota yang rukun untuk mempertahankan kerukunan dan perdamaian
di tempat mereka (Pranawati, 2011:11). Integrasi sosial juga membutuhkan nilai
lainnya yakni pengakuan (recognition) terhadap absahnya perbedaan dan hak bagi
perbedaan itu untuk hidup dalam masyarakat. Dengan adanya pengakuan seperti itu,
maka lahir sikap yang toleran terhadap perbedaan.
1.5.2. Teori Konflik dan Konsensus
Meskipun studi ini secara faktual adalah studi perdamaian, tetapi penulis
menganggap perlu untuk menggunakan konsep tertentu dari teori konflik untuk
menganalisis masyarakat yang semakin dinamis. Konflik dalam masyarakat yang
dinamis adalah bagian yang tak terpisahkan dari fenomena social, atau dalam bahasa
Ralf Dahrendrof (Ritzer, 2009) konflik adalah fenomena social yang selalu hadir
(inherent omni presence) dalam setiap masyarakat manusia. Perbedaan pandangan
dan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat merupakan fenomena
sosial yang alamiah dan tidak terhindarkan. Konflik dipercaya sebagai konsekwensi
dari adanya perbedaan yang sudah merupakan hukum alam (sunnatullah) yang
berlaku pada semua ciptaan Tuhan, termasuk manusia. Hakekat perbedaan watak dan
kecenderungan manusia itulah yang sering mengakibatkan terjadinya konflik. Para
teoritisi Marxian menganggap konflik dibutuhkan -bahkan perlu diciptakan- agar
terjadi proses dialektika untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
43
Pandangan tersebut mengandaikan bahwa konflik adalah fenomena yang
selalu hadir, sekalipun dalam sebuah masyarakat yang sangat harmonis. Di sini
terdapat dua kemungkinan, “pertama”, pada masyarakat yang harmonis konflik tidak
menimbulkan kekerasan dan hanya muncul dalam bentuk pertentangan, kontestasi
dan kompetisi. Atau seperti yang dibayangkan Pierre Bourdieu (1991) konflik hanya
terjadi dalam bentuk symbolic, dimana terjadi perebutan wacana, dominasi dan
hegemoni. “Kedua”, sejatinya ditemukan potensi konflik namun suatu kelompok
masyarakat memiliki kemampuan untuk mengelola situasi konfliktual tersebut
dengan baik, sehingga tidak menimbulkan ekses kekerasan. Hal ini sejalan dengan
padangan Giddens (2002:116) yang menyebutkan bahwa kekerasan pada dasarnya
adalah manifestasi dari suatu konflik yang tidak terlembaga (un-institutionalized
conflict). Sementara keadaan sebaliknya, yaitu konflik yang terlembaga dengan baik
(institutionalized conflict), akan dapat diselesaikan dengan cara-cara damai dan
demokratis.
Dengan demikian studi terhadap terhadap konflik tidak mesti berpusat pada
manifestasi kekerasan, namun juga mencermati proses-proses relasi sosial yang
terjadi dalam masyarakat yang sering diwarnai kontestasi dan negosiasi untuk
menemukan keseimbangan. Seperti yang didevinisikan dalam International
Dictionary, “Clash, competition, or mutual interference or incompatible, force or
qualities (as idea, interest, will)”. (Bahwa konflik memiliki cakupan yang cukup luas
meliputi pertentangan atau bentrokan, persaingan atau gangguan oleh kelompok
secara fisik atau benturan antara kekuatan-kekuatan yang sulit didamaikan atau
44
pertentangan-pertentangan dalam tataran kualitas seperti ide-ide, kepentingan-
kepentingan atau kehendak-kehendak).6 Pengertian ini menghendaki agar
pembahasan teoritik tentang konflik harus dianalisis dari berbagai paradigma (sudut
pandang).
Para sosiolog biasanya memahami konflik dalam paradigma fakta. Yaitu
sebuah pemahaman yang mempercayai bahwa manusia pada prinsipnya tunduk dan
mengikuti fakta sosialnya. Pandangan seperti ini menyoroti bahwa wewenang dan
posisi dalam fakta sosial merupakan sumber pertentangan sosial, karenanya
merupakan sentral dari teori konflik (Robert A. Levine dan Donalt T. Campbell,
1972:17). Perbedaan posisi itu pada gilirannya dapat memicu timbulnya konflik
dalam masyarakat.
Ide-ide pokok dari teori konflik, menurut Ritzer (2009) dapat dirinci menjadi
tiga hal, yaitu “pertama”, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang
ditandai oleh adanya pertentangan terus menerus di antara unsur-unsurnya. “Kedua”,
Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. “Ketiga”,
keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya
tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa7. Jadi
sekali lagi harus ditegasan bahwa konflik tidak selalu hadir dalam bentuk-bentuk
6 lihat, International Dictionary, Meriam – Webster Inc. Publisher, 1993
7 Perspektif sosiologis ini berbeda dengan perspektif strukturalis yang bersandar pada tiga pemikiran
pokok. Pertama, masyarakat berada dalam kondisi statis atau bergerak dalam kondisi keseimbangan.
Kedua, setiap elemen atau institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas. Ketiga, anggota
masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum (Ritzer, 1992:
72)
45
kekerasan, karena ia bisa hadir dalam bentuk-bentuk pertentangan yang bersifat
simbolik.
Tampaknya teori konflik merupakan resistensi atas konservatisme
fungsionalisme struktural yang dianggap sulit untuk menjelaskan proses perubahan
sosial yang dinamis dalam sebuah masyarakat. Namun seperti yang diungkap
Dahrenrof (Ritzer, 2009:282) teori konflik memiliki sisi yang lain yaitu konsensus.
Konflik hanya dapat dikelola dengan memperkuat konsensus dalam sebuah
masyarakat. Teori konsensus digunakan untuk menelaah negosiasi dan relasi yang
terjadi dalam masyarakat yang menghadirkan nilai-nilai yang mendorong mereka
pada struktur sosial yang damai (Maswadi Rauf, 2000:15). Dengan kata lain konflik
yang hebat sekalipun memiliki peluang untuk dapat dipadamkan atau didamaikan
dengan mengkombinasikan dua pola sekaligus. “Pertama”, membangun konsensus
yang mempertemukan “kepentingan-kepentingan” kelompok yang bertikai tersebut
kedalam sebuah tatanan kekuasaan yang bisa mengurangi perbedaan. “Kedua”,
dibutuhkan usaha yang serius untuk mendorong penguatan kembali nilai-nilai
kebersamaan yang disebut Parekh (2008:87) sebagai “contract moral” antar kelompok
dan individu dalam sebuah masyarakat majemuk.
Berbagai studi tentang konflik dan kekerasan di Indonesia menunjukkan
bahwa penanganan konflik (resolusi konflik) di daerah-daerah yang dilanda konflik
horisontal (seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi tengah,
Maluku dan Maluku Utara) memperlihatkan kecenderungann yang masih berpola
elitis dengan keterlibatan aktor atau kelompok dominan tertentu saja dengan men-
46
exlude publik (tidak melibatkan masyarakat), yang justru paling menderita akibat
konflik. Hal yang sama dapat dilihat pada pola penanganan konflik di Papua yang
cenderung didominasi kekuatan negara yang hegemonik. Negara menjadi institusi
yang memegang kendali atas konflik Papua sekaligus usaha penyelesaian konflik.
Negara berusaha membangun konsensus untuk mempertemukan kepentingan negara
dan elit Papua melalui serangkaian kebijakan politik dan ekonomi yang diyakini akan
mengurangi ketegangan dan konflik di Papua. Namun proses tersebut tenyata belum
berhasil karena mengabaikan kekuatan-kekuatan lokal yang sebetulnya mendukung
tegaknya perdamaian. Fenomena kelompok masyarakat yang harmonis di wilayah
Fakfak di Propinsi Papua Barat, bisa menjadi pintu masuk untuk mendiskusikan
teorisasi konflik dan konsensus yang telah dijelaskan di atas.
Secara paradigmatik pemanfaatan teori konflik merupakan sesuatu yang
bertentangan dengan teori integrasi sosial. Namun penjelasan teori konflik tetap
diperlukan untuk menjelaskan fenomena Fakfak, karena sebagai salah satu wilayah di
Papua, Fakfak tentu memiliki potensi konflik yang hampir sama dengan daerah di
sekitarnya. Misalnya isu tentang wacana kemerdekaan Papua, diskriminasi dan
peminggiran sosial. Dengan kata lain potensi konflik di Fakfak merupakan fakta
yang mesti juga diakui sebelum membicarakan integrasi sosial. Perbedaannya ada
pada sistem nilai yang mampu mendorong masyarakat untuk mengelola berbagai
potensi konflik tersebut sehingga tidak memunculkan ekses kekerasan yang
destruktif.
47
1.5.3. Teori Konstruksi dan Reproduksi Sosial
Sebagaimana telah dikemukakan dimuka bahwa konsep integrasi sosial dapat
digunakan untuk menjelaskan penyatuan yang dapat mengintegrasikan kelompok-
kelompok sosial dalam masyarakat, dengan cara menjembatani perbedaan–perbedaan
yang ditimbulkan oleh faktor-faktor teritorial; kultur, agama, kepentingan, kelas
sosial dan sebagainya, dengan mengurangi kesenjangan yang ditimbulkan oleh factor-
faktor tersebut. Namun konsep integrasi sosial memiliki kelemahan untuk
menjelaskan bagaimana proses-proses tersebut terjadi, sehingga diperlukan konsep-
konsep lain untuk memperkuat penjelasan tentang dinamika kemasyarakatan.
Kompilasi teoritis teoritik diperlukan untuk menkonseptualisasi gagasan bahwa
perdamaian dalam masyarakat pada dasarnya adalah sebuah konstruksi sosial (social
construction) yang melibatkan berbagai aktor untuk membentuk makna tertentu, yang
dibangun bahkan diubah dalam suatu ruang dengan serangkaian pilihan nilai dan
kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing aktor dengan tingkat kekuasaan yang
berbeda (Irwan Abdulla, 2006;2). Proses pemaknaam itu yang menjadikan
masyarakat sebagai produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus
(Berger dan Luckman, 1967). Pernyataan ini menegaskan satu bentuk konstruksi
sosial bahwa dinamika kemasyarakatan bukan merupakan sebuah keseimbangan yang
tunggal dan statis, sebagaimana dibayangkan oleh para penganut fungsionalisme
tentang equilibrium dalam integrasi sosial. Ternyata keseimbangan dalam masyarakat
adalah keseimbangan yang dinamis, bahkan juga kontestatif.
48
Oleh sebab itu, meskipun disertasi ini mengetengahkan pendekatan integrasi
sosial dalam memotret dinamika perdamaian di Fakfak, namun integrasi sosial yang
dipahami bukanlah sesuatu yang statis dan tunggal, tetapi dinamis dan kontestatif.
Masyarakat beserta segenap produknya adalah hasil konstruksi sosial, yang
mengalami reproduksi dalam ruang-ruang budaya yang kompleks. Cara pandang
seperti ini membutuhkan kerangka teoritis yang lebih kritis seperti konstruksi dan
reproduksi sosial untuk menganalisis dinamika integrasi sosial yang terjadi. Upaya
memahami fenomena sosial kemasyarakan di Fakfak dengan pendekatan kontruksi
dan reproduksi sosial, dapat menjadi solusi teoritik terhadap kritik yang menyebutkan
bahwa konsep integrasi sosial adalah penguatan pada status quo. Untuk memenuhi
kebutuhan konseptual tersebut, maka dalam disertasi ini penulis akan memanfaatkan
pandangan Berger dan Luckman (1994) tentang konstruksi sosial dan pandangan
Pierre Bourdieu (2002) tentang reproduksi sosial. Kedua teori tersebut akan
membantu untuk melihat sejauhmana norma-norma sosial di Fakfak dibentuk,
dimanfaatkan dan dilembagakan dalam sebuah proses sosial yang dinamis.
Konstruksi sosial yang diperkenalkan oleh Berger dan Luckman (1990),
menggambarkan bahwa proses pelembagaan nilai dalam dalam sebuah masyarakat
terjadi dalam tiga tahapan yang saling terintegrasi, yakni eksternalisasi-objektivasi-
internalisasi. Eksternalisasi ialah proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural
sebagai produk manusia. Sebab setiap individu dalam masyarakat yang diakui mesti
menyerap nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat “society is a human
product”. Sedangkan objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang
49
dilembagakan atau mengalami institusionalisasi, “Society is an objective reality”.
Adapun internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga
sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “man is a
social product” .
Proses antara eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi berjalan simultan,
artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu
berada di luar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam
(internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada
dalam diri atau kenyataan subyektif. Konstruktivisme Berger ini bisa dilihat sebagai
sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena
terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di dekitarnya.
Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu
berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh
Berger dan Luckman (1990) disebut dengan konstruksi sosial.
Pendekatan konstruksi sosial sebagaimana yang digambarkan Berger dan
Luckman dapat dilihat dalam fenomena masyarakat Fakfak. Hubungan antar manusia
dalam kehidupan masyarakat di Fakfak telah melahirkan lembaga-lembaga sosial
sebagai realitas. Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi di sisni, ketika semua
kegiatan masyarakat Fakfak mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya
tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang
kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang
dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi yang timbal-balik dari
50
tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain,
tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga sosial (Sukidin Basrowi, 2002:206)
Sebagai tindak lanjut dari pelembagaan nilai terdapat proses reproduksi sosial
untuk menjamin kehidupan sosial tetap dalam satu keseimbangan. Piere Bourdieu
(1977) memperkenalkan konsep habitus dan field (ranah) untuk menganalisis
reproduksi sosial dalam masyarakat. Pemanfaatan kerangka teoritis Bourdeu untuk
menganalisis keterlibatan individu dalam sebuah proses sosial, diperlukan untuk
memverifikasi apakah struktur damai yang terjadi di Fakfak dikembangkan
berdasarkan kesadaran yang bebas atau karena tunduk pada suatu struktur sosial yang
teratur dan dominatif.
Dalam Outline of a Theory of Practice Bourideu (1977:72) mendefinisikan
habitus sebagai berikut:
Habitus adalah sistem yang terdiri dari struktur yang bertahan lama. Sebuah
struktur yang cenderung berfungsi sebagai struktur yang memberikan struktur,
atau sebagai asas yang melahirkan dan menyusun kebiasaan dan
penggambaran yang dapat disesuaikan secara objektif pada hasilnya, tanpa
mensyaratkan tujuan yang sadar terhadap hasil-hasil atau penguasaan terhadap
langkah-langkah yang perlu untuk dicapai.
Dalam bahasa yang lebih sederhana habitus bisa ditafsirkan sebagai struktur mental
atau kognitif yang dengannya orang-orang berhubungan dengan dunia sosial.
Individu menggunakan habitus untuk berhubungan dengan realitas sosial karena ia
telah dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk
mempersepsi, memahami, mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial (Ritzer,
2010:577). Seperti benar-salah, baik-buruk, berguna-tidak berguna, terhormat-terhina
51
(Adib, 2012:97). Skema-skema tersebut berhubungan sedemikain rupa sehingga
membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka tindakan kepada individu
dalam hidup kesehariannya bersama orang-orang lain.
Habitus bekerja di bawah level kesadaran dan bahasa, diluar jangkauan
pengawasan dan kontrol introspeksi kehendak. Dengan demikian habitus adalah
produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan
masyarakat dalam ruang waktu tertentu. Bourdieu meyakini bahwa kebiasaan
seseorang bukan diturunkan dari bakat tetapi oleh habitus yang merupakan hasil
pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain dan juga pendidikan masyarakat
dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tidak disadari dan tampil
sebagai hal yang wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah (Richad Harker,
(edit.), 2009:xix).
Bourdieu melihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena ia
bersifat sentral dalam membangkitkan serta mengatur praktik-praktik yang
membentuk kehidupan social. Misalnya ketika berjalan di lajur sebelah kiri,
kebanyakan dari kita tidak lagi memperhatikan petugas polisi. Tidak diperlukan lagi
pemasangan rambu-rambu lalulintas yang mengingatkan kita untuk berjalan di
sebelah kiri. Sebab berjalan disebelah kiri telah menjadi kebiasaan yang bersifat
teratur dan berpola, tetapi bukan merupakan ketundukan pada peraturan tertentu
(Adib, 2012:101). Tegasnya berjalan disebelah kiri merupakan habitus atau kebiasaan
sosial yang menjadi sebuah tindakan.
52
Kerangka pikir Bourdieu tentang habitus sebagaimana dijelaskan di atas pada
dasarnya bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena keteraturan sosial dalam
sebuah masyarakat yang harmonis, sebagaimana akan ditunjukkan dalam penelitian
ini. Nilai-nilai tentang harmoni dan perdamaian seperti kearifan-kearifan lokal
sebetulnya adalah habitus yang berproses secara tidak disadarai dan dilaksanakan
mayarakat sebagai sebuah bentuk kebiasaan yang tidak terikat dengan berbagai aturan
formal yang ada. Tetapi ia menjadi sebuah struktur yang menundukkan kehidupan
sosial. Dalam kasus Fakfak, habitus perdamaian yang kuat memungkinkan siapapun
yang datang ke Fakfak, tanpa menyadari turut menjalankan berbagai norma lokal
yang mempromosikan toleransi, harmoni dan perdamaian. Hal ini pula yang
menejelaskan mengapa masyarakat Fakfak memiliki kecenderungan untuk menolak
kekerasan, termasuk institusi-institusi yang berpeluang melahirkan kekerasan di
wilayahnya. Habitus sosial di Fakfak mewujud dalam serangkaian modal kultural
yang dimaknai oleh masyarakat dalam relasi sosial sehingga membentuk kebiasaan
yang positif dan mendukung perdamaian.
Konsep habitus tidak bisa dipahami tanpa melihat hubungannya dengan
konsep field (ranah). Bourdieu memandang rana sebagai jaringan relasional antar
posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaram
indvidual. Oleh karena itu ranah bukan ikatan intersubektif antara individu, namun
semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi
individu. Ranah merupakan metafora yang digunakan Bourdieu untuk
menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya
53
yang dikandungnya. (Ritzer dan Goodmanm 2010:582-590). Posisi-posisi dalam
ranah ini ditentukan oleh banyaknya volume kapital yang dimiliki masing-masing
pelaku atau kelompok sosial. Dengan kata lain, struktur distribusi kekuasaan dalam
Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk
memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu
yang dekat dengan kekuasaan; (2) semacam hubungan terstruktur yang tanpa disadari
mengatur posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk
secara spontan. Ranah menjadi pasar kompetitif yang didalamnya berbagai jenis
modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan dimanfaatkan (Adib,
2012).
Bourdieu melihat pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam
mereproduksi dan melestarikan relasi kekuasaan dan hubungan kelas dalam
masyarakat. Dalam menekankan pentingnya habitus dan ranah, Bourdieu menolak
untuk memisahkan anatara metodologi individualis dan metodologi menyeluruh.
Dengan kata lain ranah menkondisikan habitus; di pihak lain, habitus menyusun
ranah, sebagai sesuatu yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai. Ranah yang
dimaksud Bourdieu adalah sistem yang telah berkembang menjadi kebiasaan. Sebuah
contoh menarik, misalnya dikemukkaan Adib (2012:106), terkaitkan dengan pola
kebersihan dan atau cara orang membuang sampah di Singapura yang memang sudah
terbentuk dan terkondisikan tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungannya.
Di Singapura tidak ada orang yang membuang sampah di sembarangan tempat.
Merek sudah terbiasa membuang sampah di tempat yang telah disediakan. Ranah
54
serta sistem yang telah berkembang sudah menyiapkan segala sesuatunya sehingga
pola hidup bersih sudah menjadi hal yang wajar dan seharusnya dijaga oleh semua
pihak. Di sini field atau ranah yang dimaksud Bourdieu telah terbentuk dengan baik.
Adapun field (ranah) yang dimaksud dalam studi ini adalah struktur
perdamaian dalam masyarakat Fakfak. Ranah bisa mewujud pada keberadaan
pemerintah, institusi adat, institusi agama, civil society, yang dalam perspektif
Bourdieu, merupakan agen yang menyerap nilai-nilai budaya untuk menstrukturkan
struktur sosial masyarakat Fakfak agar tetap harmonis. Proses menstrukturkan dan
distrukturkan tersebut bisa terjadi melalui kontestasi, negosiasi atau kompromi.
Dalam bentuk yang nyata bisa dilihat pada berbagai upacara keagamaa, ritual-ritual
adat, aturan-aturan perudangan-undangan, praktik politik lokal yang dilembagakan
ataupun kebiasaan berbahasa dan simbol-simbol kutural lainnya.
Dengan demikian praksis dari kerangka konseptual Bourdieu tentang habitus
dan field (ranah), memiliki relevansi untuk menjelaskan fenomena harmoni sosial
yang tebentuk pada masyarakat Fakfak. Situasi harmonis yang tejadi merupakan
produk kultural yang telah terbingkai dalam modal kultural masyarakat setempat,
sepertinya adanya kearifan lokal satu tungku tiga batu, yang tanpa disadari menjadi
habitus dalam pikiran dan tindakan masyarakat. Hal ini ditambah dengan keberadaan
kepemimpian adat yang kuat, struktur pemerintahan lokal yang cenderung
akomodatif pada perbedaan dan adanya dukungan berbagai kelompok sosial lain yang
mendukung pelembagaan nilai-nilai kultural masyarakat Fakfak tersebut kedalam
arena politik, ekonomi, budaya dan pemerintahan. Arena politik (pemerintahan) dan
55
ekonomi yang selama ini menjadi medan kontestasi yang melahirkan berbagai kisah
konflik di seluruh Papua, dalam kasus Fakfak berhasil distrukturkan oleh habitus
sosial setempat yang bermodalkan nilai-nilai kearifan lokal. Proses pembentukan
struktur harmoni dan perdamaian pada masyarakat Fakfak tentu bukan merupakan
sesuatu stagnan, tetapi juga dinamis dan kontestatif. Melalui relasi sosial yang
demikian, masyarakat Fakfak membangun kehidupan sosialnya yang terus
berkembang dari waktu ke waktu.
1.6. Metode Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (studi kasus) yang menggunakan
metode fenomenologi dengan pendekatan kualitatif. Objek yang dikaji adalah
integrasi sosial di Papua, khususnya yang terjadi pada masyarakat Fakfak di Propinsi
Papua Barat. Asumsi-asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah bahwa
integrasi sosial yang terjadi di Fakfak tampaknya disebabkan oleh beberapa faktor
atau variabel yang saling berkaitan, yaitu (1) Fakfak memiliki sejumlah karakteristik
dan keunikan dibandingkan wilayah lainnya di Papua, sehingga dinamika intergasi
sosial yang tercipta memiliki keberhasilan yang sangat tinggi; (2) adat dan agama
dalam masyarakat Fakfak merupakan elemen-elemen sosial yang sangat penting dan
strategis yang mampu merekatkan perbedaan-perbedaan agama, etnisitas, pandangan
politik hingga kepentingan-kepentingan ekonomi dalam satu hubungan sosial yang
harmonis; (3) nilai-nilai kultural tersebut sudah dapat dilembagakan dalam aktifitas
56
politik pemerintahan dan praktik-praktik ekonomi lokal sehingga memberikan
jaminan yang kuat pada keberlanjutan harmoni dan perdamaian.
Melalui metode fenomenologi diharapkan deskripsi atas fenomena yang
tampak di lapangan dapat diiterpretasi makna dan isinya secara lebih baik dan
mendalam. Selain itu berbagai fenomena sosial yang menjadi objek penelitian ini
dapat diluksikan melalui penyederhaan dan klasifikasi dengan memanfaatkan konsep-
konsep yang bisa menjelaskan secara analitis dan sistematis (J. Vredenbregt,
1983:345). Karena tujuan penelitian adalah interpretasi terhadap makna, maka
penelitian ini dilakukan secara kualitatif tanpa uji hipotesis. Namun demikian, asumsi
diperlukan dalam rangka merumuskan hubungan dan keterkaitan antar-variabel, yaitu
antar variabel-variabel independen (pengaruh) dan variabel dependen (terpengaruh),
sehingga komlpeksitas realitas sosial yang diteliti menjadi lebih sederhana dan relatif
mudah untuk dilakukan analisis.
Adapun data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui
model penelitian lapangan (field research) yang akan didukung oleh penelitian
pustaka (library research). Penelitain lapangan merupakan pengambilan data
lapangan tentang bagaimana proses integrasi sosial yang terjadi dalam masyarakat
Fakfak di Papua Barat. Mengingat penelitian ini merupakan qualitative research,
maka data-data yang tersaji dikumpulkan dengan cara-cara dan strategi pengumpulan
data yang lazim digunakan dalam pengumpulan data yang bersifat qualitative. Seperti
pengamatan (observation), wawancara mendalam (indepth-interview), serta studi
57
dokumentasi. Berikut akan dijelaskan secara singkat beberapa aspek signifkan dari
empat tahapan tersebut.
1) Pengamatan (observation)
Fokus observasi dalam penelitian ini adalah masyarakat fakfak yang
berada di Sembilan Distrik (kecamatan) di Kabupaten Fakfak Propinsi Papua
Barat. Observasi langsung ke lapangan bertujuan untuk menggali data tentang
kehidupan sosial masyarakat Fakfak, dengan memperhatikan beberapa hal
pokok. “Pertama”, bagaimana proses interaksi antar masyarakat yang berbeda
agama, suku, bahasa dan status ekonomi. “Kedua”, mengidentifikasi factor-
faktor apa saja yang membuat masyarakat dapat tetap hidup, rukun dan damai
dalam perbedaan-perbedaan tersebut. Hal-hal yang diamati adalah aktifitas
sosial-budaya, agama, ekonomi, politik dan pemerintahan. Dalam hal ini saya
penulis melakukan pengamatan secara partisipatif melalui penelusuran
lapangan untuk mengetahui kehidupan sehari-hari, serta ikut serta dalam
berbagai aktifitas, baik praktek budaya, sosial, agama, ekonomi dan lain
sebagainya. Selama satu tahun penulis telah mengunjungi Papua sebanyak dua
kali dan berdiam diri selam 3 bulan pada masing-masing kunjungan tersebut.
Proses ini penting untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang sistuasi
politik, sosial, ekonomi dan budaya setempat.
2). Wawancara mendalam (indepth interview)
Wawancara mendalam merupakan proses menggali informasi dari
informan kunci yang ditemukan dalam proses penelitian di lapangan
58
berdasarkan kebutuhan penelitian lapangan (Denzin dan Lincoln, 1994:12).
Dalam hal ini penulis telah melakukan wawancara mendalam dengan 28
tokoh masyarakat Fakfak yang terdiri dari kalangan intelektual, raja yang
pemimpin kerajaan lokal (pertuanan), kepala suku, pemimpin agama,
pemimpin politik dan pejabat birokrasi.
Wawancara akan dilakukan secara langsung, dengan memanfaatkan
dua akses secara simultan. Yakni proses tatap muka (face to face) dengan
informan dan proses komunikasi yang memanfaatkan kemajuan teknologi saat
ini seperti wawancara melalui handphone dan jejaring sosial yang tersedia
secara on-line di internet. Pertanyaan-pertanyaan dan pengayaan topik
pertanyaan akan dikembangkan oleh peneliti menurut situasi dan kondisi yang
berlangsung ketika penelitian dilakukan. Oleh sebab itu, wawancara
mendalam dapat dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terstruktur
maupun tidak terstruktur terhadap para informan yang dianggap mengetahui
data-data yang dibutuhkan dalam penelitian. Peneliti dalam melakukan
penelitian akan dituntut untuk selalu mengembangkan keterampilan
mengembangkan gagasan dan mengujinya melalui wawancara secara terus-
menerus, sehingga dapat diperoleh gambaran komprehensif dan data teoritis
final terhadap objek yang diteliti. Sehingga tidak ada lagi keterangan empiris
yang bertentangan dengan gagasan yang dibangun dalam proses penelitian.
Selain model wawancara yang bersifat formal, dimana para informan
mengetahui posisi penulis sebagai peneliti, penulis juga melakukan
59
perbincangan-perbindangan ringan dengan masyarakat Fakfak, baik
masyarakat asli maupun pendatang untuk mendengarkan kisah-kisah mereka,
kesan (persepsi) mereka tentang kondisi Fakfak dan kesaksian-kesaksian
mereka yang terkait dengan tema yang dikembangkan dalam disertasi ini.
Penulis harus mengakui bahwa, seringkali melalui perbincangan informal
tersebut banyak hal-hal baru yang tidak terungkap melalui wawancara dengan
para informan kunci.
3). Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen
yang terkait dengan masyarakat Fakfak. Termasuk membuat perbandingan
(comparasi) dengan masyarakat lainnya di Indonesia yang memiliki
kesamaan dengan permasalahan yang dihadapi dalam objek penelitian ini.
Berbagai dokumen tersebut akan mendukung dan memperkaya analisis
tentang dinamika masyarakat dan interaksi sosial yang produktif dan positif.
Setelah proses pengumpulan data dalam penelitian ini sudah dianggap cukup
dan telah dilakukan pencatatan secara seksama atas semua data tersebut secara
lengkap, maka tahapan terakhir yang dilakukan adalah melakukan analisis terhadap
data-data tersebut. Meskipun dalam proses penelitian, penulis telah menempatkan diri
sebagai bagian dari masyarakat Fakfak, namun pada tahapan analisis, penulis tetap
menjaga netralitas dan sikap kritis sehingga proses ini berlangsung secara objektif.
Proses analisis yang dimaksud adalah sebagai berikut. “Pertama”, menelaah data-data
yang telah dikumpulkan dalam penelitian dan dikelompokkan secara tematis sesuai
60
topic-topik yang menjadi pertanyaan utama dalam penelitian. “Kedua”, mengkaji
kaitan data dengan konteks eksternal, seperti lingkungan social, politik, ekonomi dan
budaya. Pada bagian ini ditentukan factor-faktor yang membentuk harmoni dan
perdamaian, nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama (comman platform), actor-
aktor dan isntitusi yang terlibat serta proses-proses negosiasi yang terjadi. “Ketiga”,
dilanjutkan dengan menyusun/memproses data dalam satuan (unitizing), serta
melakukan kategorisasi dan penafsiran terhadap data. Metode interpretatif
fenomenologis digunakan untuk melihat makna yang telah didapatkan dari data-data
yang terkumpulkan. Dalam perspektif integrasi sosial di Fakfak, data-data yang telah
terkumpul dalam penelitian selanjutnya dinventarisir, dikelompokkan sesuai
pertanyaan penelitian dan dideskripsikan dalam tulisan, sehingga menghasilkan
sebuah pemahaman yang utuh.