27
Siapa yang tak kenal Kab. Fakfak di Papua? Di daerah inilah Islam mayoritas untuk daerah Papua. Sejauhmana perkembangan Islam di sana? Sejarah masuknya Islam di Fakfak? Bagi yang berkeinginan mengetahui tentang Islam di Fakfak, silahkan di download filenya.pdf. Kabupaten Fakfak Kabupaten Fakfak adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat , Indonesia . Ibukota kabupaten ini terletak di Kota Fakfak . Kabupaten Fakfak terletak pada 131°30' - 138°40' BT dan 2°25' - 4° LS dan berbatasan dengan: Teluk Bintuni di utara ; Laut Arafura di selatan ; Laut Seram dan Teluk Berau di barat ; serta Kabupaten Kaimana di selatan dan timur . [2] Kabupaten ini terkenal dengan hasil buah palanya sehingga dijuluki sebagai "Kota Pala." Ibukotanya, Kota Fakfak, merupakan salah satu kota tertua di Papua. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa sebanyak 722,52 ha lahan di Kabupaten Fakfak digunakan untuk perumahan/pemukiman, 6274,58 ha untuk jasa/perkantoran, 9,9 ha untuk ladang/tegalan, dan sisanya digunakan untuk yang lain. [2] Kabupaten Fakfak terdiri dari 9 distrik yang dibagi lagi ke dalam 7 kelurahan dan 118 kampung . [2] Distrik Karas merupakan distrik terluas, sedangkanDistrik Fakfak Tengah merupakan distrik terkecil. Distrik Kokas merupakan distrik dengan kelurahan/kampung terbanyak, sedangkan Distrik Karas adalah distrik dengan kelurahan/kampung tersedikit. Kelurahan hanya terdapat di 3 distrik, yaitu Distrik

Sejarah Islam Di Fakfak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sejarah masuknya Islam di Kabupaten Fakfak

Citation preview

Page 1: Sejarah Islam Di Fakfak

Siapa yang tak kenal Kab. Fakfak di Papua?

Di daerah inilah Islam mayoritas untuk

daerah Papua. Sejauhmana perkembangan

Islam di sana? Sejarah masuknya Islam di

Fakfak?

Bagi yang berkeinginan mengetahui tentang

Islam di Fakfak, silahkan di download

filenya.pdf.

Kabupaten Fakfak

Kabupaten Fakfak adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua

Barat, Indonesia. Ibukota kabupaten ini terletak di Kota Fakfak. Kabupaten Fakfak

terletak pada 131°30' - 138°40' BT dan 2°25' - 4° LS dan berbatasan dengan: Teluk

Bintuni di utara; Laut Arafura di selatan; Laut Seram dan Teluk Berau di barat;

serta Kabupaten Kaimana di selatan dan timur.[2] Kabupaten ini terkenal dengan hasil

buah palanya sehingga dijuluki sebagai "Kota Pala." Ibukotanya, Kota Fakfak,

merupakan salah satu kota tertua di Papua. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa

sebanyak 722,52 ha lahan di Kabupaten Fakfak digunakan untuk

perumahan/pemukiman, 6274,58 ha untuk jasa/perkantoran, 9,9 ha untuk

ladang/tegalan, dan sisanya digunakan untuk yang lain.[2]

Kabupaten Fakfak terdiri dari 9 distrik yang dibagi lagi ke dalam 7 kelurahan dan

118 kampung.[2] Distrik Karas merupakan distrik terluas, sedangkanDistrik Fakfak

Tengah merupakan distrik terkecil. Distrik Kokas merupakan distrik dengan

kelurahan/kampung terbanyak, sedangkan Distrik Karasadalah distrik dengan

kelurahan/kampung tersedikit. Kelurahan hanya terdapat di 3 distrik, yaitu Distrik

Page 2: Sejarah Islam Di Fakfak

Fakfak, Fakfak Tengah, dan Kokas. Berikut ini merupakan daftar distrik dan distribusi

kelurahan serta kampung yang ada di Kabupaten Fakfak.

Nama Distrik Ibukota Luas Kelurahan Kampung

Bomberay Onim Sari 1.910 km2 - 11

Fakfak Dolan Pokpok 820 km2 3 8

Fakfak Barat Werba 1.685 km2 - 10

Fakfak Tengah Raduria 705 km2 1 11

Fakfak Timur Weri 1.721 km2 - 14

Karas Malakuli 2.491 km2 - 7

Kokas Kokas 1.786 km2 1 22

Kramongmongga Kramongmongga 1.478 km2 - 16

Teluk Patipi Patipi Pasir 1.724 km2 - 19

Mayoritas penduduknya beragama Islam, tingkat asimilasi dengan dunia luar sangat

tinggi sejak lama (sebelum penjajahan Belanda). Di Kabupaten Fakfak terdapat

masjid2 tua peninggalan abad ke-17, salah satunya adalah masjid Patambura yang

terletak di Kecamatan Kokas. Hal ini menunjukan bahwa Agama Islam telah mesuk ke

Papua sebelum abad ke-17, sebagain ahli memprediksikan bahwa telah masuk sejak

abad ke-15. Masyarakat Kabupaten Fakfak sangat menjunjung tinggi nilai

Page 3: Sejarah Islam Di Fakfak

keagamaan, terbukti dengan terciptanya sebuah semboyan yang sudah ada sejak

turun temurun di kabpaten Fakfak yaitu Satu Tungku Tiga Batu.

Kerajaan Islam Yang Tenggelam di Tanah Papua

Siapa nyana, Papua pernah diterjang tsunami yang menenggelamkan sebuah Kerajaan

besar Islam. Yang terselamatkan hanyalah mushaf tua. Kini, mushaf yang hilang itu

telah kembali.

Ada hal yang menarik, saat Sabili melakukan perjalanan jurnalistik ke Kabupaten

Fakfak, Papua Barat. Dari sejumlah tokoh masyarakat yang dijumpai, ternyata, tak ada

keseragaman pendapat saat mereka bercerita tentang sejarah masuknya Islam di

Tanah Papua. Acapkali terjadi perdebatan panjang dari berbagai kalangan, baik

masyarakat, agamawan maupun akademisi.

Pembentukan Panitia Seminar Penetapan Sejarah Masuknya Agama Islam di Bumi

Papua, khususnya di Kabupaten Fakfak, nampaknya menemui jalan buntu. Hal tersebut

disebabkan kurangnya dukungan data/fakta otentik, baik pada tataran penyebarannya

maupun pada fase perkembangannya.

Sebagai sebuah kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masyarakat

Fakfak memerlukan sebuah dokumen sejarah untuk dapat mengungkapkan tentang

masuknya agama Islam di Kabupaten Fakfak sehingga dapat memperkuat eksistensi

serta peran Islam di Kabupaten Fakfak, sekarang dan masa yang akan datang.

Ketika bicara tentang wilayah manakah di Tanah Papua yang pertama kali mendapat

sentuhan syiar Islam, banyak versi yang mengungkapnya, masing-masing wilayah

punya cerita yang berbeda. Karena itu perlu di telusuri jejak historisnya dengan

melakukan penelitian ilmiah dan studi-studi intensif, bukan berdasarkan pandangan

masyarakat yang telah di pengaruhi oleh pemikiran mistik atau cerita-cerita rakyat

(legenda) dan paham-paham (mitos) yang dapat mengaburkan Historiografi Islam di

Tanah Papua.

Ketiadaan literatur tertentu tentang Historiografi Islam di Tanah Papua untuk memahami

proses penyebaran dan perkembangannya, mendorong para peneliti menelusuri

catatan-catatan sejarah yang ditulis oleh para ilmuwan Islam dan non-Muslim (Barat)

ihwal penyebaran agama Islam di bumi cendrawasih ini. Setidaknya, catatan-catatan

perjalanan itu dapat dijadikan referensi awal dalam penyusunan Historiografi Islam di

Tanah Papua.

Page 4: Sejarah Islam Di Fakfak

Perjalanan Mushaf Tua

Sebelum wafat, Syekh Iskandar Syah (Sultan Kerajaan Pasai) mengamanatkan kepada

keturunannya agar mengembalikan mushaf (al-qur‘an) kepada keturunan Raja Patipi di

Papua (ketika itu disebut Kerajaan Mes). Seorang keturunan Iskandar Syah yang

bernama Burhanudin, kemudian menyerahkan mushaf itu ke Jakarta melalui Ustadz

Fadzlan Garamatan setelah menghilang selama kurang lebih 800 tahun. Kini mushaf

tua itu disimpan oleh H Ahmad Iba di kediamannya di Fakfak. Ahmad Iba adalah Raja

Patipi ke-XVI yang diamanahkan untuk menyimpan lima buah manuskrip berbentuk

kitab dengan berbagai ukuran.

Yang terbesar berukuran sekitar 50x40 cm, berupa mushaf al-qur‘an tulisan tangan.

Mushaf itu ditulis di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi seperti sebuah kitab di

zaman sekarang. Empat lainnya, salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab

hadits, ilmu tauhid dan kumpulan doa. Ada ―tanda tangan‖ dalam kitab itu berupa

gambar tapak tangan dengan jari terbuka. Tapak tangan yang sama juga dijumpai di

Teluk Etna (Kaimana) dan Merauke.

Sedangkan tiga kitab berikutnya dimasukkan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas

daun koba-koba, pohon asli Papua yang kini mulai punah. Ada pula manuskrip yang

ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontar, di Fakfak disebut daun

pokpok.

Berdasarkan cerita turun temurun, lima manuskrip pertama diyakini masuk ke Papua

tahun 1214. Dalam rangka penyebaran agama Islam, kitab-kitab itu dibawa oleh Syekh

Iskandar Syah dari Kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang datang menyertai

rombongan ekspedisi Kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk lewat Mes yang

berada di wilayah Kerajaan Teluk Patipi saat itu. Jika diperkirakan, al-qur‘an itu sudah

ada sejak 800 tahun yang lalu

Menurut Muhammad Sya‘ban Garamatan (tokoh masyarakat Fakfak) yang didampingi

oleh Ahmad Iba dan Fadzlan Garamatan, ketika Islam masuk ke Indonesia pada abad

ke-7, Syekh Abdul Rauf yang merupakan putra ke-27 dari waliyullah Syekh Abdul Qadir

Jailani dari Kerajaan Pasai mengutus Tuan Syekh Iskandar Syah untuk melakukan

perjalanan dakwah ke Nuu War (Papua). Sekitar abad ke-12, 17 Juli 1224 , tibalah

Syekh Iskandar Syah di Mesia atau Mes -- kini masuk wilayah Kabupaten Fakfak,

tepatnya di distrik Kokas. Orang pertama yang diajarkan Iskandar Syah adalah seorang

yang bernama Kriskris.

Page 5: Sejarah Islam Di Fakfak

―Saat itu Syekh Iskandar Syah mengatakan, jika kamu maju, mau aman, mau

berkembang, maka kamu harus mengenal Alif Lam Lam Ha (maksudnya Allah) dan

Mim Ha Mim Dal (maksudnya Muhammad). Singkat cerita Kriskris mengucapkan dua

kalimat syahadat. Tiga bulan kemudian, Kriskris diangkat menjadi imam pertama dan

beliau sudah menjadi Raja di Patipi pertama.‖

Jadi yang bawa mushaf ini, kata Sya‘ban Garamatan, bukan Sultan Iskandar Syah. Tapi

salah satu dari keturunannya, namanya sama, yakni Syekh Iskandar Syah. Sampai ke

Teluk Patipi, mushaf ini sudah dalam bentuk seperti ini.

Beberapa tahun kemudian, masih abad ke-12, bencana alam tsunami

menenggelamkan Mes, sehingga menyebabkan sebagian penduduk dan seluruh

kerajaan Mes habis musnah, tak terkecuali masjid dan isinya tenggelam di dasar laut,

kecuali mushaf al-qur‘an dan sejumlah Kitab Fiqih-Tauhid. Yang menyelamatkan

mushaf tersebut adalah Tuan Syekh Iskandar Syah.

Bagaimana al-qur‘an ini bisa terselamatkan? ―Kitab ini dibawa kembali ke Aceh oleh

Iskandar Syah. Sebelum ke Aceh, konon, kitab ini sempat singgah di Maluku, tepatnya

Kampung Sinisore. Menurut kepercayaan masyarakat kampung Sinisore, Islam masuk

bukan dari Arab, tapi dari Papua. Bahkan, konon, mushaf ini juga sampai ke Kalimantan

karena dianggap membawa berkah. Singkatnya, al-qur‘an berikut dengan kitab tauhid

dan fiqih terselamatkan, dan disimpan di Aceh oleh keturunan keluarga Syekh Iskandar

Syah, bernama Burhanuddin.‖

Menurut cerita, pasca bencana, Syekh Iskandar Syah kembali ke Mes tanpa membawa

mushaf. Iskandar Syah kemudian wafat di sini, makamnya berada di Pulau Kokorap,

Batu Kudus. Konon, ia sendiri yang menggali kuburnya, setelah itu wafat di tempat itu

pula. Bahkan sebelum wafat, beredar cerita di masyarakat setempat, ia mandi dan

mengkafani dirinya sendiri di dasar laut yang dalamnya mencapai 3 meter. Begitulah

cara wafat pembawa al-qur‘an pertama di Papua, tepatnya di Fakfak (distrik Kokas

yang dulu bernama Mesia atau Mes).

―Pastinya, makam Syekh Iskandar Syah ada di dasar laut. Sebagai simbolik, dibuat

makamnya di darat. Inilah bukti otentik Islam masuk ke Fakfak. Selama ini banyak

daerah lain mengaku-ngaku Islam masuk ke wilayahnya, tapi tak punya bukti otentik,‖

tukas Sya‘ban Garamatan.

Mushaf itu Telah Kembali

Page 6: Sejarah Islam Di Fakfak

Setelah bencana, Kerajaan Mes kemudian terbentuk lagi, penduduk yang

terselamatkan kemudian turun ke Teluk Patipi (awalnya disebut kampung Patupa, kini

Patipi I). Seorang keturunan Syekh Iskandar Syah yang bernama Burhanuddin seperti

mendapat petunjuk melalui mimpinya. Dalam mimpinya itu, Burhanudin didatangi

leluhurnya dan memintanya agar mengembalikan mushaf itu ke Papua, tepatnya

kepada anak keturunan Raja Kriskris, raja pertama yang menganut Islam di Papua dan

kemudian menjadi imam di wilayahnya.

Kontak batin pun terjadi. Tanggal 17 Juli 2004, atau enam bulan sebelum musibah

tsunami di Aceh (26 Desember 2004), Burhanudin bertemu dengan Ustadz Fadzlan

Garamatan, dai asal Fakfak, yang menjadi wakil keluarga Raja Teluk Patipi. Saat itu,

Jakarta disepakati sebagai tempat bertemu. Subhanallah, kedua keturunan raja itu pun

seperti menemukan rangkaian yang selama ini mereka cari untuk melengkapi sejarah

yang hilang.

Saat serah terima, Burhanudin menyatakan, ini amanat dari Tuan Syekh Iskandar Syah,

sewaktu-waktu mushaf ini harus dikembalikan ke tempat asalnya. Selanjutnya, Ustadz

Fadzlan menyerahkan mushaf ini kepada Ahmad Iba (Raja Teluk Patipi XVI) untuk

disimpan dan dijaga dengan baik. ―Kitab ini memang harus disimpan oleh keturunan

Raja Patipi. Sebab, jika kitab ini dipegang dengan orang yang bukan ahli warisnya atau

keturunannya, bisa-bisa orang itu jadi gila,‖ kata Ahmad Iba memperingati.

Siapa kira, mushaf itu kembali terselamatkan untuk kedua kalinya dari bencana alam

tsunami Aceh. ―Sejak tsunami menimpa Papua, tepatnya di wilayah Mes, kami sebagai

masyarakat Muslim Papua sudah intropeksi diri sebelum bencana tsunami menimpa

Aceh,‖ ujarnya. Wallahu a‘lam bishshawab. (Adhes Satria/Sabili) http://ilalang-

pagi.blogspot.com/2010/01/kerajaan-islam-yang-tenggelam-di-tanah.html

Meniti Jejak Islam di Kokas

Menyambangi Kokas, Fakfak, Papua Barat, nuansa kehidupan Islami akan terasa

begitu kental. Tak heran, karena di sini sebagian besar masyarakatnya memang

memeluk agama Islam.

Sebagai salah satu pusat agama Islam di Kabupaten Fakfak maka Kokas menyimpan

bukti sejarah yang mereka banggakan. Salah satu peninggalan sejarah Islam di Kokas

adalah masjid tua di Kampung Patimburak.

Masyarakat setempat mengenal masjid ini sebagai Masjid Tua Patimburak. Menurut

Page 7: Sejarah Islam Di Fakfak

catatan sejarah, masjid ini telah berdiri lebih dari 200 tahun yang lalu, bahkan

merupakan masjid tertua di Kabupaten Fakfak. Bangunan yang masih berdiri kokoh dan

berfungsi hingga saat ini dibangun pada tahun 1870, seorang imam bernama Abuhari

Kilian.

Aura tradisional muncul saat menyambangi lokasi masjid tua ini. Di kampung yang

dihuni tak lebih dari 35 kepala keluarga tersebut anda akan mendapati kesederhanaan

yang menyatu dari bangunan masjid dan kehidupan masyarakatnya.

Sekilas bangunan masjid seluas tidak lebih dari 100 meter persegi ini tampak biasa.

Namun coba perhatikan lebih seksama. Masjid ini memiliki keunikan pada arsitekturnya,

yaitu perpaduan bentuk masjid dan gereja. Musa Heremba, imam Masjid Patimburak

mengaku bangunan masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Meski

mempertahankan bentuk aslinya, namun material asli yang belum diganti adalah empat

buah pilar penyangga yang terdapat di dalam masjid.

Pada masa penjajahan, masjid ini bahkan pernah diterjang bom tentara Jepang. Hingga

kini, kejadian tersebut menyisakan lubang bekas peluru di pilar masjid.

Menurut Musa Heremba, penyebaran Islam di Kokas tak lepas dari pengaruh

Kekuasaan Sultan Tidore di wilayah Papua. Pada abad XV, Kesultanan Tidore mulai

mengenal Islam. Sultan Ciliaci adalah sultan pertama yang memeluk agama Islam.

Sejak itulah sedikit demi sedikit agama Islam mulai berkembang di daerah kekuasaan

Kesultanan Tidore termasuk Kokas.

Di pelataran masjid, sebuah pohon mangga kokoh berdiri. Namun, bukan sembarang

pohon mangga. Dari ukuran batangnya, bisa dipastikan usia pohon raksasa ini tak

terpaut jauh dengan usia masjid. Syahdan, perlu empat rentang tangan orang dewasa

untuk merengkuh keseluruhan batang pohon ini.

Tertarik ziarah ke masjid ini? Untuk mencapai lokasi Masjid Tua Patimburak, anda

sebelumnya harus menempuh perjalanan darat dari Fakfak ke Kokas. Tersedia

angkutan luar kota dari terminal kota Fakfak. Selama 2 jam anda akan menyusur jalan

berkelok dan segarnya udara pegunungan. Tiba di kota Kokas, perjalanan menuju

Kampung Patimburak harus dilanjutkan menggunakan longboat sewaan.

Pemandangan selama 1 jam mengendarai long boat rasanya sayang jika dilewatkan.

Anda bisa menikmati keindahan pulau-pulau karang yang masih perawan di sepanjang

perjalanan.

http://regional.kompas.com/read/2009/04/06/2047536/Meniti.Jejak.Islam.di.Kokas

Page 8: Sejarah Islam Di Fakfak

Nafas Islam di Tanah Papua ( Part 1 ) Ada tiga kesalahan orang memandang Papua. Pertama, Papua identik dengan koteka, Kedua, hanya orang-orang primitiv dan Ketiga, Identik dengan Kristen. Padahal, itu keliru.

Untuk poin pertama dan kedua, fakta itu boleh jadi benar, bahwa di kawasan-kawasan tertentu di pedalaman bumi cenderawasih ini, hingga hari ini masih diketemukan masyarakat dengan pola hidup primitif, sebagian masih mengenakan koteka, serta menjalani hidup secara kanibal. Hal itu terjadi karena beberapa faktor, seperti terbatasnya akses informasi—atau bahkan ketiadaan informasi yang mereka terima--serta luasnya kawasan tersebut yang hampir 4 kali luas pulau Jawa. Bahkan, Papua, termasuk pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland di Denmark. Maka wajar bila fakta-fakta seperti koteka dan kehidupan primitif masih ditemui di Papua. Namun tentu saja hal itu tidak semuanya, mengingat sebagian dari mereka, kini, sudah terbiasa dengan pola kehidupan maju dan melek teknologi, utamanya mereka yang tinggal di kawasan perkotaan dan hidup di daerah pantai, baik penduduk asli maupun perantau dari luar Papua. Fakta lain yang selama ini terselimuti kabut tebal adalah perihal komunitas Muslim di kawasan ini. Selama ini pula, banyak orang yang bertanya-tanya, adakah orang Islam di Papua? Adakah komunitas pribumi (penduduk asli Papua) yang memeluk Islam sebagai agama mereka? Ironisnya, belum lagi pertanyaan itu terjawab, seolah ada ungkapan pembenaran bahwa: Papua identik dengan Kristen. Atau dengan bahasa yang lebih lugas lagi: setiap orang Papua ya mesti Kristen. Tentu saja statemen seperti ini membawa dampak negative yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan dan dakwah Islam di kawasan yang masih menyimpan hasil kekayaan alam yang sangat melimpah ruah ini. Bahkan saat ini jumlah komunitas Muslim di Papua sudah mencapai angka 900 ribu jiwa dari total jumlah penduduk sekitar 2.4 juta jiwa, atau menempati posisi 40 % dari keseluruhan jumlah penduduk Papua. 60% penduduk merupakan gabungan pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Animisme. Namun, di antara imej yang kurang menguntungkan seperti itu, juga ―tekanan psikologis‖ suasana serba Kristen, dimana setiap mata memandang begitu banyak gereja-- sebagai buah dari kerja keras para missionaries, yang didukung dengan dana yang nyaris tak terbatas, serta ditunjang sarana teknologi komunikasi dan transportasi canggih, pelan-pelan komunitas Islam tumbuh dan menyinari bumi cenderawasih yang di lingkungan kaum muslimin menyebutnya sebagai kawasan Jabal an Nuar.

Page 9: Sejarah Islam Di Fakfak

Ismail Saul Yenu (67), seorang pendeta sekaligus kepala suku besar di Yapen Waropen telah masuk Islam dengan diikuti istri dan anaknya. Ismail yang juga Ketua Benteng Merah Putih pembebasan Irian Barat dan Ketua Assosiasi Nelayan Seluruh Papua telah menunaikan ibadah haji pada tahun 2002. Seorang pendeta di Biak Numfor bernama Romsumbre (Abdurrahman) juga telah masuk Islam beserta keluarga dan 4 orang anaknya. Wilhelmus Waros Gebse Kepala suku Marin, Merauke juga telah meninggalkan agama lamanya Katolik dan memilih masuk Islam bersama Istri dan anak-anakknya. Kini Wilhelmus sedang merintis sebuah pondok pesantren di kampung halamannya di Merauke. Saat ini, di desa Bolakme, sebuah distrik di Lembah Baliem, seorang pendeta dan kepala suku bersama 20 orang warganya ingin sekali memeluk Islam. Berkali-kali keinginan itu disampaikan ke tokoh masyarakat Muslim, akan tetapi pihak MUI agaknya sangat berhati-hati dalam menerima mereka. Alasannya, di samping faktor keamanan, juga pembinaan terhadap mereka setelah itu, tidak ada. ―Inilah tantangan bagi kita. Tidak sedikit penduduk asli yang ingin masuk Islam, tapi kita kekurangan dai.‖ tutur H.Burhanuddin Marzuki, ketua MUI Kabupatern Jayawijaya yang sudah 30 tahun tinggal di Lembah Baliem. Berita yang sempat meramaikan media massa adalah dengan masuk Islamnya ―kepala suku perang‖ H. Aipon Asso pada tahun 1974.Sebelum itu, seorang tetua di desa Walesi bernama Marasugun telah lebih dulu masuk Islam setelah berinteraksi dengan para perantau di kota Wamena yang berasal dari Bugis-Makassar, Jawa, Madura maupun Padang. Keislaman Aipon Asso lalu diikuti oleh 600 orang warganya di desa Walesi. H. Aipon yang kini sudah berusia 70 tahun menjadi kepala suku yang sangat di segani di seluruh lembah Baliem. Wilayah kekuasaannya membentang hampir 2/3 cekungan mangkuk lembah Baliem. Ia benar-benar sosok kepala suku mujahid yang sangat diperhitungkan di kawasan ini. Bahkan ketika ia baru pulang dari menunaikan ibadah haji (1985), dengan mengenakan surban dan baju gamis panjang, secara demonstratif ia turun ke jalan dan melakukan pawai di pusat kota Wamena sambil mengerahkan ratusan warganya yang masih mengenakan koteka dan bertelanjang dada. Teringatlah kita pada kisah sahabat Nabi Muhammad yakni Umar bin Khattab ketika akan melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah yang tilakukannya tanpa sembunyi-sembunyi dan tanpa ada rasa takut. Saat kerusuhan menimpa Wamena tahun 2000 lalu, sebagian pendatang baik Muslim maupun Kriten dicekam rasa takut. Tidak terkecuali Muslim pribumi pun mengalami hal serupa. Untuk meredam situasi, pihak pemerintah menyelenggarkan pertemuan dengan

Page 10: Sejarah Islam Di Fakfak

kepala-kepala suku dan tokoh-tokoh agama. Dalam pertemuan dengan jajaran pemerintah daerah tersebut H.Aipon mengusulkan ditempatkannya aparat keamanan secara permanen di kawasan ini dan itu disetujui. Di ibukota provinsi Papua, Jayapura, seperti juga di kota-kota lain seperti Fak-Fak, Sorong, Wamena, Manukwari, Kaimana, Merauke, Timika, Biak dan Merauke, suasana keislaman semakin tampak, khususnya di kalangan pendatang. Selain jumlah rumah ibadah yang semakin bertambah, kegiatan halaqah juga tumbuh tidak kalah subur. Selain itu, bila kita jalan-jalan di pusat kota Jayapura tidak sulit kita menemui Muslimah berjilbab lalu lalang di antara keramaian. Termasuk di kampus ternama di Papua Universitas Cenderawasih, para wanita berjilbab juga dengan mudah kita temui. Penduduk Muslim di kota terdiri dari para pedagang, pagawai, pengusaha, pelajar/mahasiswa, guru, atau buruh. Secara keseluruhan jumlah komunitas Muslim di Papua mengalami peningkatan yang cukup pesat, utamanya di kota kabupaten atau provinsi. Dalam catatan yang dikeluarkan oleh LP3ES, Papua, termasuk dari 7 kantong-kantong Kristen di seluruh Indonesia yang semakin penyusutan. Sebaiknya jumlah penduduk Muslim semakin tumbuh. Sebenarnya potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Muslim di Papua tidak kalah banyak di banding dengan ummat lain. Akan tetapi nampaknya ada semacam perasaan ‗tidak PD‖ di kalangan mereka untuk tampil dan terlibat langsung dalam lingkar pemerintahan. Akibatnya, mereka hanya menjadi penonton, atau—katakanlah-- turut terlibat, namun ada di ‗wilayah yang tidak menentukan‘. ―Ini tentu saja menjadi PR kita ke depan. Ummat Islam Papua harus menghalau rasa tidak PD-nya, dan selanjutnya bersama yang lain terlibat langsung membangun Papua,‖ tutur Mohammad Abud Musa‘ad MSi(42), intelektual Muslim Papua yang juga anggota tim penyusun UU otonomi khusus Papua. ―Secara historis, keberadaan ummat Islam sebagai pendatang awal di Tanah Papua, sudah klir. Dan itu sudah tertuang dalam buku putih yang dikeluarkan oleh Pemerintah Papua.‖ jelas Musa‘ad yang tinggal di bilangan Abepura, Jayapuran ini. ―Namun yang terpenting, kita harus segera berkarya dan tidak boleh asyik bernostalgia dengan sejarah,‖pesannya pada Muslim Papua. Musa‘ad juga menyadari, kendati sejumlah pertemuan tentang kedudukan ummat Islam di Papua pernah dilakukan, akan tetapi karena tidak adanya sosialisasi dan tindak lanjut dalam program, semua seolah lenyap tanpa bekas. Masih kata Musa‘ad, bahwa peran politik ummat Islam Papua saat ini masih terlalu kecil, yakni tidak lebih dari 10 %. Kenyataan ini tentu saja sangat memperihatinkan.

Page 11: Sejarah Islam Di Fakfak

Bahkan dapat dibayangkan dari 900 ribu jiwa Muslim yang tersebar dalam 29 kabupaten/kota yang ada saat ini, hanya terdapat dua kabupaten yang dipimpin oleh pejabat Muslim yakni di Fak-Fak dan di Kaimana. Bahkan di kantong-kantong kabupaten berpenduduk asli mayoritas Muslim seperti Babo dan Bintuni, misalnya, saat ini dipimpin oleh non-Muslim. Senada dengan Musa‘ad, menurut DR (desertasi) Toni Vm Wanggai yang juga Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Yapis Jayapura, bahwa sosialisasi dan pelurusan sejarah Islam di Papua harus dilakukan terus menerus. Hal itu perlu dilakukan agar ummt Islam di Papua mengetahui jati diri mereka, sekaligus menginformasikan kepada fihak lain yang belum faham, untuk tidak menganggap kaum Muslimin sebagai ‗tamu di Papua‘. Muslim adalah juga pemilik sah kawasan ini, sehingga mereka memiliki porsi keterlibatan yang sama untuk membangun Papua. Islam hadir di Papua abad ke-XV sedang Kristen masuk Papua pertengahan abad ke-XIX (5 Februari 1855). Kegelisahan Toni, adalah seiring dengan adanya upaya dari kelompok Kristen yang ingin menghapuskan jejak Islam di kawasan ini, khusunya di kawasan Raja Ampat Di mana hama ―Raja Ampat‖ akan dihilangkan dan diganti dengan nama lain. Padahal, nama Raja Ampat adalah se-monumental sejarah Papua sendiri. ―Nama Raja Ampat diambil dari eksistensi kerajaah-kerajaan Islam yang berkuasa di kawasan Indonesia timur saat itu yakni: Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.‖ tegas Toni yang mengambil desertasinya tentang ‗Rekontruksi Sejarah Islam Papua‘. Kendati masih sebatas wacana yang dipublikasikan di media lokal, namun tak urung informasi nyeleneh seperti itu membuat gelisah sejumlah tokoh Muslim. ―Itu sama dengan bunuh diri.‖ kata M Shalahuddin Mayalibit, SH, mengomentari gagasan itu. ― Sekalipun dipublikasikan seribu kali, itu tidak akan terwujud.‖ kata dosen Fakultas Hukum di Universitas Cenderawasih ini menjelaskan. ― Raja Ampat dan Muslim sudah menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan,‖ tegas cucu Muhammad Aminuddin Arfan, tokoh Muslim dari kerajaan Salawati yang ditugasi Raja Tidore untuk mengantar CW. Ottow dan GJ Geissler si bapak Kristen ke Papua. Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus, peluang keterlibatan Muslim di pemerintahan semakin terbuka lebar. (baca: Peluang dan Tantangan di Era Otonomi) Hanyasaja diperlukan kekompakan dari segenap elememen Muslim baik para intelaktualnya, ormas Islam, alim ulama, tokoh pemuda, mahasiswa dan remaja, pondok-pondok pesantren, dll.

Page 12: Sejarah Islam Di Fakfak

Tanpa dengan itu mereka akan tetap terpinggirkan, dan bahkan tidak mustahil akan menjadi ‗kambing hitam politik‘ oleh kelompok kepentingan yang sudah lama ingin menguasai Papua (Kristen). http://ilalang-pagi.blogspot.com/2010/01/nafas-islam-di-tanah-papua-part-1.html

Nafas Islam di Tanah Papua ( Part 2 )

Pada tahun pertama penjajah Belanda di Papua, hampir seluruh tenaga yang ditempatkan di sana adalah missionaries. Islam Atau Kristen Agama Orang Papua?

Habis Manis Sepah Dibuang

Para sejarawan Barat seperti Thomas W. Arnold maupun WC.Klein dalam bukunya ―The Preaching Of Islam‖ dan ―Neiuw Guinea‖ menjelaskan bahwa Islam hadir di kawasan Papua ini 3 abad lebih dulu (1520) dari para missionaris Kristen yang pertama yakni C.W.Ottow dan G.J. Geissler yang mendarat di Pulau Mansinam, Manukwari pada tanggal 5 Februari 1855. Uniknya kedatangan para missionaris itu justru diantar oleh tokoh Muslim dari kerajaan Ternate dan Salawati, yang pada saat itu sangat berpengruh di kawasan Timur Indonesia khususnya di Maluku dan Papua(baca buku: Islam atau Kristen Agama Orang Irian? Pustaka Dai: 2004). Saat itu setiap orang yang akan memasuki Papua harus meminta izin penguasa dari kerajaan Muslim tersebut. Ottow dan Geissler yang berasal dari Gereja Protestan Jerman, adalah murid Ds. OG. Heldring yang membentuk perhimpunan ―Pengijil Tukang‖ yakni juru injil yang sekaligus memiliki keahlian di bidang pertukangan dan pertanian, pada tahun 1847. Selain Ottow dan Geissler, delapan orang utusan di kirim oleh institusi tersebut ke Sangir dan Talaud, sebuah kawasan di bagian utara pulau Sulawesi Utara. Mereka itulah missionaries-missionaris handal pada masanya, yang telah sukses menancapakan tonggak Kristenisasi secara permanen di kawasan timur Indonesia, khususnya Papua. Dalam bukunya "Neiuw Guinea", WC. Klein juga menjelaskan fakta kapan kedatangan Islam di tanah Papua. Di sana dia menulis: In 1569 Papoese hoof den bezoeken Batjan. Ee aanterijken worden vermeld. ( pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan dimana dari kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan)

Page 13: Sejarah Islam Di Fakfak

Kerajaan-kerajaan yang dimaksud itu adalah: Kerajaan Raja Ampat, Kerajaan Raja Rumbati, Kerajaan Atiati dan Kerajaan Fatagar. Begitupun adanya fakta dan data yang tak terbantahkan dengan jelas menyebutkan bahwa, sebelum kedatangan dua orang missionaris tersebut, beberapa daerah di Papua seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati dll telah memeluk agama Islam. Catatan dari Kitab Klasik

Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik Negarakertagama, misalnya, di sana dijelaskan sebagai berikut: " Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur". Menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud Ewanin adalah nama lain untuk daerah Onin dan Sran adalah nama lain untuk Kowiai. Semua tempat itu berada di Kaimana, Fak-Fak. Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh Periplus Inc. Berkeley, California 1991, sebuah wadah sosial milik misionaris menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam: Dalam kitab Negarakertagama, di abad ke-14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, dimana di sana disebutkan dua wilayah di Irian yakni Onin dan Seran. Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan barangkali dari pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh sebelumnya.

....Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di antara keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan di seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana.”

Dari data tersebut jelaslah bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk milayah kekuasaan Majapahit. Seiring dengan runtuhnya kerajaan Majapahit (1527) yang pernah menguasai sejumlah kawasan di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Brunai, hingga Thailand, hadirlah kekuatan kerajaan Islam Demak. Dapat dikatakan sejak zaman baru itu, atau bahkan jauh sebelumnya, pengaruh kerajaan Islam Demak menyebar ke Papua. Melalui jalur perdagangan para saudagar dan dai Muslim sudah berdakwah ke sana. Bahkan menilik dari catatan di Troloyo, sebagaimana diungkapkan oleh Prof.DR. Habib Mustopo, seorang Guru Besar Bidang Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, yang sekaligus Ketua Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia (AAEI) Jawa Timur menjelaskan bahwa dakwah Islam sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Page 14: Sejarah Islam Di Fakfak

Pada saat Majapahit eksis dakwah Islam juga sudah eksis. Apalagi dengan diketemukanya data artefaktual yang waktunya terentang antara 1368-1611M yang membuktikan adanya komunitas Muslim di sikitar Pusat Keraton Majapahit, di Troloyo, yakni sebuah daerah bagian selatan Pusat Keraton Majapahit yang waktu itu terdapat di Trowulan. Kedigjayaan Majapahit sendiri runtuh secara total tahun 1527 M. Itu artinya, satu setengah abad sebelum keruntuhan Majapahit Islam sudah berkembang, justru di jantung Majapahit. Fakta ini tentu saja menepis anggapan yang ada selama ini bahwa perkembangan dan bertumbuhan Islam, khususnya di Pulau Jawa, ada setelah keruntuhan Majapahit. Para dai Muslim juga menyebar ke mana-mana baik yang dari tanah Jawa maupun dari Timur Tengah termasuk ke Pulau Burung Papua. Lalu munculah tentara kolonial Belanda. Di awal kedatangannya ke Papua, hampir sebagian besar pasukan kolonial Belanda yang diterjunkan ke kawasan ini adalah merangkap rohaniawan gereja (missionaries). Catatan di bawah ini menjelaskan tentang hal itu. "Sejak tahun 1855 CW.Ottow dan GJ. Geissler menetap sebagai penyiar agama Kristen di daerah Doreri, lambat laun jumlah golongan orang-orang Belanda di Irian Barat(Papua) bertambah dengan para penyiar agama yang berusaha menyebarkan agama Kristen di kalangan penduduk pribumi. Malah pada tahun-tahun pertama dari masa penjajahan Belanda di Irian Barat [Papua] hampir seluruh golongan orang-orang Belanda di daerah tersebut, terdiri dari para penyiar agama Kristen‖. (Penduduk Irian Brat hal. 105) Artinya, di samping sebagai tentara, dokter atau perawat, ya juru rohani juga. Maka sangat wajar jika mereka dengan gigih berjuang meski menghadapi medan yang sulit, menguasai dan mengontrol wilayah jajahan, sekaligus mengajak warga pribumi kepada Kristen. Terhadap penduduk pribumi mereka menanamkan mitos-mitos meyesatkan bahwa nenek moyang mereka sesungguhnya berwarna kulit putih dan akan kembali datang (messiah) dalam bentuk kulit putih. Sangat jelaslah bahwa semboyan pereka (Barat) yang dikenal dengan tiga G (Gold, Glory, Gospel; Emas, Kebebasan dan Injil) bukan lagi suatu rahasia. Mereka dengan penuh semangat mendatangi negeri-negeri jajahan demi memenuhi ambisinya itu. Bahkan Indonesia, bagi mereka(missionaris) disebutnya sebagai lahan yang sangat subur untuk Injil. Secara sistematis kemudian para zending ini bekerja menyebarkan agama Kristen dengan melalui organisasi yang berpusat di negeri Belanda yang benama: Utrechtsehe Zendingvereeniging. Begitu pula kemudian kegiatan yang dilakukan oleh kaum missionaris Kristen Katolik, yang juga berpusat di Belanda, yakni suatu ordo Franciscan di Tilberg yang merupakan suatu cabang dari pusat missi di Vatikan yaitu: Sacra Congregatio de Propaganda Fide.(Penduduk Irian barat hal. 344-355)

Page 15: Sejarah Islam Di Fakfak

Akan tetapi nampaknya dalam proses penginjilan di Papua, para missionaris itu mengalami ketidakakhuran. Akhirnya mereka membagi Papua menjadi kedua wilayah penggarapan, dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen Katholik di Selatan. Pembagian seperti itu kelihatannya identik dengan keadaan di Negeri Belanda di mana di sana diterapkan sistem seperti itu. Menyangkut kondisi ummat Islam kalau itu, menilik penelitian antropologis yang pernah dilakukan oleh Harsja W.Bachtiar pada tahun 1963 misalnya melaporkan sbb:

....beberapa daerah di Irian Barat(Papua) menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore dan Sultan Banda. Sayang sekali karena tidak ada peninggalan-peninggalan berupa keterangan-keterangan tertulis, kita tak mengetahui bilamana dan di mana didapati pula orang-orang Indonesia yang berasal dari pulau-pulau Indonesia di luar wilayah Irian barat(Papua). Pada umumnya mereka menganut agama Islam.

Lain halnya dengan penyebaran para pendatang yang non-Muslim, laporan tersebut memberikan gambaran yang sedikit jelas dengan melaporkan antara lain sbb:

“Sejak diadakan usaha-usaha menyiaran agama Nasrani di Irian Barat(Papua.pen) oleh penyiar-penyiar agama dari Negeri Belanda jumlah orang Indonesia bukan pribumi bertambah di Irian Barat(Papua.pen), karena penggunaan tenaga-tenaga kerja yang berasal dari pulau-pulau sekitarnya untuk membantu para penyiar agama, terutama sebagai guru sekolah dan perawat. Banyak orang-orang yang menganut agama Nasrani ini didatangkan dari pulau-pulau Maluku seperti Kei, Ianimbai, Banda dan Sangir.”

Tentang komposisi pemeluk-pemeluk agama di Papua, berdasarkan catatan yang dibuat tahun 1963, di dapat angka-angka sebagai berikut:

Kristen Protestan................... 130.000 Katolik Roma.......................... 47.000 Islam..................................... 11.000 Agama Tionghoa..................... 3.000 Agama-agama pribumi… ....... 500.000

Terhadap data dan komposisi ragam pemeluk agama tersebut, laporan itu memberikan penjelasan: Angka-angka 500.000 yang menunjukkan jumlah penganut agama-agama pribumi bukanlah angka pasti, karena didasarkan atas taksiran jumlah orang-orang pribumi di daerah pedalaman yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Kotabaru (kini Jayapura). Golongan penganut agama Kristen Protestan tersebar di seluruh daerah yang pernah dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Golongan penganut agama Katolik Roma terutama didapati di daerah pantai selatan. Golongan penganut agama Islam amat

Page 16: Sejarah Islam Di Fakfak

banyak di daerah semenanjung Doreri dan Merauke, sedangkan golongan menganut agama Tionghoa didapati diberbagai tempat. Tentang kesulitan melacak gerakan dakwah Islam di Papua, juga dimungkinkan oleh faktor internal ummat Islam sendiri, yaitu karena faktor kurang terbiasanya ummat Islam setempat melakukan pencatatan yang menyangkut kegiatan mereka. Berbeda dengan para missionaris Belanda. Secara rutin dan teliti mereka mendata jumlah penduduk setempat agar dapat mengikuti perkembangan jumlah penduduk di wilayah kerja masing-masing. Kaum missionaris memiliki "Buku Jiwa" sedang kaum Zending memelihara "Buku Serani" yang berisi catatan tentang penduduk di wilayah kerjanya itu. Dari catatan tersebut kemudian dilaporkan dan diolah oleh pusat-pusat organisasi mereka. Air Susu Dibalas dengan Pengusiran Mengenai bagaimana watak dan corak pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia dalam hubungannya dengan persoalan agama, telah menjadi pengetahuan umum yang luas. Mereka menekan dan memenjarakan tokoh-tokoh Islam di tanah Papua. Sebutlah misalnya Alwi Racham dan Raja M Rumangseng Al-Alam Umar Sekar yang berasal dari daerah Kokas. Beliau bersama pejuang Papua lainnya seperti Silas Papure, Markus Indeu, Lukas Rumkorem memperjuangkan Papua dari cengkeraman penjajahan Belanda. Mereka ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Kolonial Belanda karena tidak mau dibujuk untuk menyerahkan uang tambang minyak kepada Belanda Bahkan mereka tidak segan mengusir atau membuang tokoh-tokoh Muslim. Muhammad Aminuddin Arfan seorang tokoh Muslim dari Kerajaan Islam Salawati yang turut mengantar kedatangan OC.Ottow dan GJ.Geissler –Sang Bapak Gereja di Papua--di Pulau Mansinam, dibuang dan diasingkan ke Maros karena menentang penjajahan Belanda dan meninggal di sana. Habis manis sepah dibuang. Muhammad Aminuddin Arfan adalah orang penting di Kerajaan Salawati. Ia adalah adik kandung Raja Salawati. Pada saat itu Kerajaan Salawati merupakan bagian dari kekuasaan kerajaan Islam Ternate. Sesuai prosedur wilayah, setiap tamu yang akan berkunjung ke Papua, mereka harus minta izin ke penguasa kawasan di Salawati yang merupakan bagian kekusaan Ternate. Itu pula yang dilakukan Kerajaan Ternate. Sembari membawa dua orang missionaris berkebangsaan Jerman, Ottow dan Geissler dengan kapal khusus berwarna putih, utusan Kerajaan Ternate pamit dulu dengan Penguasa Kerajaan Salawati, sekaligus meminta beberapa orang untuk mendampingi missionaris yang akan melakukan tugas penginjilan di pulau Mansinam, Manukwari. Pulau Mansinam dipilih lantaran dianggap masih dihuni mayoritas Animisme. Setelah dua bulan ―memperkenalkan‖ Ottow dan Geisler kepada kepala-kepala adat, barulah Muhammad Aminuddin Arfan kembali ke Salawati.

Page 17: Sejarah Islam Di Fakfak

Ironisnya, selang berapa waktu setelahnya, Muhammad Aminuddin Arfan yang memang anti Belanda ditangkap dan diasingkan di Maros. Beliau tidak diperkenankan pulang, dan dibiarkan di sana hingga wafatnya. Di sinilah liciknya para penjajah Salibis. Ditulung malah Mentung (dibantu malah melukai), kata peribahasa Jawa. Air susu dibalas dengan air tuba. Mungkin karena keadaan yang demikian itulah maka perkembangan dakwah Islam di Papua menjadi amat lambat, bahkan mungkin (pernah) terhenti sama sekali. ( Tamat ) Sumber:

Ali Athwa. Penulis adalah wartawan Majalah Hidayatullah dan penulis buku “Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)”. Tulisan diambil dari Majalah Hidayatullah

http://ilalang-pagi.blogspot.com/2010/01/nafas-islam-di-tanah-papua-part-2.html

Proses Masuknya Islam Di Papua

A. Pendahuluan

Kajian oleh L.C. Damais dan de Casparis dari sudut paleografi membuktikan bahwa telah terjadi saling pengaruh antara dua kebudayaan yang berbeda (yakni antara Hindu-Budha-Islam) pada awal perkembangan Islam di Jawa Timur. Melalui data-data tersebut, Habib ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya dakwah Islam sudah terjadi terjadi jauh sebelum keruntuhan total kerajaan Majapahit yakni tahun 1527M. Dengan kata lain, ketika kerajaan Majapahit berada di puncak kejayaannya, syiar Islam juga terus menggeliat melalui jalur-jalur perdagangan di daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Majapahit di delapan mandala (meliputi seluruh nusantara) hingga malaysia, Brunei Darussalam, hingga di seluruh kepulauan Papua.

Masa antara abad XIV-XV memiliki arti penting dalam sejarah kebudayaan Nusantara, di mana pada saat itu ditandai hegemoni Majapahit sebagai Kerajaan Hindu-Budha mulai pudar. Se-zaman dengan itu, muncul jaman baru yang ditandai penyebaran Islam melalui jalur perdagangan Nusantara. Melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru. Sebagai kerajaan tangguh masa itu, kekuasaan Kerajaan Majapahit

Page 18: Sejarah Islam Di Fakfak

meliputi seluruh wilayah Nusantara, termasuk Papua. Beberapa daerah di kawasan tersebut bahkan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, sebagai wilayah Yurisdiksinya.

Menurut Thomas W. Arnold : "The Preaching of Islam”, setelah kerajaan Majapahit runtuh, dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak, pemegang kekuasan berikutnya adalah Demak Islam. Dapat dikatakan sejak zaman baru itu, pengaruh kerajaan Islam Demak juga menyebar ke Papua, baik langsung maupun tidak. Dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad ke XVI sejumlah daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo, Missool, Waigama, dan Salawati, tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku.

Bertolak dari kenyataan ini maka berdasarkan ceritera populer dari masyarakat Islam Sorong dan Fak – fak, bahwa agama Islam masuk di Irian Jaya sekitar abad ke 15 yang di lalui oleh pedagang – pedagang Muslim. Daerah – daerah yang sudah mengenal dan memeluk Agama Islam itu tidak ada pembinaan terus menerus, cukup di tanamkan oleh pedagang – pedagang muslilm yang singgah di tempat – tempat itu kemudian mereka meninggalkan tanpa pembinaan seterusnya. Untuk daerah Merauke, Islam di kenal melalui pembuangan – pembuangan yang beragama Islam oleh penjajahan Belanda yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Jawa, sehingga sampai saat ini ada istilah yang populer di Merauke dengan nama JAMER ( Jawa Merauke ).

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa proses Islamisasi di Papua di lakukan melalui jalur perdagangan yang di kembangkan oleh para pedagang – pedagang dari suku Bugis melalui Banda ( Maluku Tengah ) dan di teruskan oleh para pedagang Arab dari Ambon yang melalui Seram Timur. Selain melalui jalur perdagangan, kedatangan Islam ke Papua pun bisa terjadi melalui pembuangan orang – orang yang beragama Islam oleh Belanda yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Jawa. Karena pada saat itu Islam telah berkembang pesat di Nusantara, dan daerah – daerah tersebut telah di kuasai oleh kerajaan – kerajaan Islam. Namun pada masa tersebut juga para penjajah Belanda telah mengusai wilayah kepulauan Indonesia, dan siapa saja yang memberontak kepada belanda akan di tangkap dan di penjarakan atau di buang dan di asingkan ke wilayah lain.

B. Letak Geografis Wilayah Papua

Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan strategis, dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau Papua. Kabupaten Pucuk Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan kota yang terendah adalah kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah kepulauan, pulau Papua memiliki kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990 penduduk di pulau Papua berjumlah 1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada tahun 2006.

Page 19: Sejarah Islam Di Fakfak

Perkembangan asal usul nama pulau Papua memiliki perjalanan yang panjang seiring dengan sejarah interaksi antara bangsa-bangsa asing dengan masyarakat Papua, termasuk pula dengan bahasa-bahasa local dalam memaknai nama Papua.

Jika dilihat dari karakteristik budaya, mata pencaharian dan pola kehidupannya, penduduk asli Papua itu dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu Papua pegunungan atau pedalaman, dataran tinggi dan Papua dataran rendah dan pesisir.

Pola kepercayaan agama tradisional masyarakat Papua menyatu dan menyerap ke segala aspek kehidupan, mereka memiliki suatu pandangan dunia yang integral yang erat kaitannya satu sama lain antar dunia yang material dan spiritual, yang sekuler dan sacral dan keduannya berfungsi bersama-sama.

C. Proses Awal Islamisasi di Papua

Mengenai kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan yang panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok yaitu mengenai tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.

Tanah Papua secara geografis terletak pada daerah pinggiran Islam di Nusantara, sehingga Islam di Papua luput dari kajian para sejarahwan lokal maupun asing, kedatangan Islam di tanah Papua juga masih terjadi silang pendapat di antara pemerhati, peneliti maupun para keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, fak-fak, kaimana dan teluk Bintuni-Manokwari, diantara mereka saling mengklaim bahwa Islam lebih awal dating kedaerahnya yang hanya di buktikan dengan tradisi lisan tanpa didukung dengan bukti-bukti tertulis maupun bukti-bukti arkelogis.

Penelusuran sejarah awal Islamisasi di tanah Papua, setidaknya dapat digali dengan melihat beberapa versi mengenai kedatangan Islam di tanah Papua, terdapat 7 versi yaitu:

1. Versi Papua

Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagaian rakyat asli Papua, khususnya yang berdiam di wilayah fakfak, kaimana, manokwari dan raja ampat (sorong). Teori ini memandang Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan bukan di bawa dan disebarkan oleh kerejaan ternate dan tidore atau pedagang muslim dan da’I dari Arab, Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Namun Islam berasal dari Papua itu sendiri sejak pulau Papua diciptakan oleh Allah Swt. mereka juga mengatak bahwa agama Islam telah terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri, dan mereka meyakini kisah bahwa dahulu tempat turunya nabi adam dan hawa berada di daratan Papua.

2. Versi Aceh

Studi sejarah masukanya Islam di Fakfak yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten Fakfak pada tahun 2006, menyimpulkan bahwa Islam datang pada tanggal 8 Agustus 1360 M, yang ditandai dengan hadirnya mubaligh Abdul Ghafar asal Aceh di Fatagar Lama, kampong Rumbati Fakfak. Penetapan tanggal awal masuknya Islam tersebut berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati XVI (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali Bauw), mubaligh Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374 M) di Rumbati dan sekitarnya, kemudian ia wafat dan di makamkan di belakang masjid kampong Rumbati pada tahun 1374 M.

Page 20: Sejarah Islam Di Fakfak

3. Versi Arab

Menurut sejarah lisan Fakfak, bahwa agama Islam mulai diperkenalkan di tanah Papua, yaitu pertamakali di Wilayah jazirah onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab, yang di perkirakan terjadi pada abad pertengahan abad XVI, sesuai bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitat 400 tahun atau di bangun sekitar tahun 1587.

Selain dari sejarah lisan tadi, dilihat dalam catatan hasil Rumusan Seminar Sejarah Masuknya Islam dan Perkembanganya di Papua, yang dilaksanakan di Fakfak tanggal 23 Juni 1997, dirumuskan bahwa:

Islam dibawa oleh sultan abdul qadir pada sekitar tahun 1500-an (abad XVI), dan diterima oleh masyarakat di pesisir pantai selatan Papua (Fakfak, Sorong dan sekitarnya)

Agama Islam datang ke Papua dibawa oleh orang Arab (Mekkah).

4. Versi Jawa

Berdasarkan catatan keluarga Abdullah Arfan pada tanggal 15 Juni 1946, menceritakan bahwa orang Papua yang pertama masuk Islam adalah Kalawen yang kemudian menikah dengan siti hawa farouk yakni seorang mublighat asal Cirebon. Kalawen setelah masuk Islam berganti nama menjadi Bayajid, diperkirakan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1600. Jika dilihat dari silsilah keluarga tersebut, maka Kalawen merupakan nenek moyang dari keluarga Arfan yang pertama masuk Islam.

5. Versi Banda

Menurut Halwany Michrob bahwa Islamisasi di Papua, khusunya di Fakfak dikembagkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui banda yang diteruskan ke fakfak melalui seram timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama haweten attamimi yang telah lama menetap di ambon. Microb juga mengatakan bahwa cara atau proses Islamisasi yang pernah dilakuka oleh dua orang mubaligh dari banda yang bernama salahuddin dan jainun, yaitu proses pengIslamanya dilakukan dengan cara khitanan, tetapi dibawah ancaman penduduk setempat yaitu jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh tadi akan dibunuh, namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.

6. Versi Bacan

Kesultanan bacan dimasa sultan mohammad al-bakir lewat piagam kesiratan yang dicanangkan oleh peletak dasar mamlakatul mulukiyah atau moloku kie raha (empat kerajaan Maluku: ternate, tidore, bacan, dan jailolo) lewat walinya ja’far as-shadiq (1250 M), melalui keturunannya keseluruh penjuru negeri menyebarkan syiar Islam ke Sulawesi, philipina, Kalimantan, nusa tenggara, Jawa dan Papua.

Menurut Arnold, raja bacan yang pertama masuk Islam bernama zainal abiding yang memerintah tahun 1521 M, telah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-pulau disebelah barat lautnya, seperti waigeo, misool, waigama dan salawati. Kemudian sultan bacan meluaskan kekuasaannya sampai ke semenanjung onin fakfak, di barat laut Papua pada tahun 1606 M, melalui pengaruhnya dan para pedagang muslim maka para pemuka masyarakat pulau – pulau tadi memeluk agama Islam.

Page 21: Sejarah Islam Di Fakfak

Meskipun masyarakat pedalaman masih tetap menganut animisme, tetapi rakyat pesisir menganut agama Islam.

Dari sumber – sumber tertulis maupun lisan serta bukti – bukti peninggalan nama – nama tempat dan keturunan raja bacan yang menjadi raja – raja Islam di kepulauan raja ampat. Maka diduga kuat bahwa yang pertama menyebarkan Islam di Papua adalah kesultanan bacan sekitar pertengahan abad XV. Dan kemudian pada abad XVI barulah terbentuk kerajaan – kerajaan kecil di kepulauan raja ampat itu.

7. Versi Ternate dan Tidore

Dalam sebuah catatan sejarah kesultanan Tidore yang menyebutkan bahwa pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur ( Sultan Tidore X atau sultan Papua I ) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar ( Papua ). Setelah tiba di wilayah pulau Misool, raja ampat, maka sultan ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawar putra sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi ( Kapita Gurabesi ). Kapita Gurabesi kemudian di kawinkan dengan putri sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan dikepulauan Raja Ampat tersebut adalah kerajaan Salawati, kerajaan Misool/kerajaan Sailolof, kerajaan Batanta dan kerajaan Waigeo. Dari Arab, Aceh, Jawa, Bugis, Makasar, Buton, Banda, Seram, Goram, dan lain – lain.

Di peluknya Islam oleh masyarakat Papua terutama didaerah pesisir barat pada abad pertengahan XV tidak lepas dari pengaruh kerajaan – kerajaan Islam di Maluku ( Bacan, Ternate dan Tidore ) yang semakin kuat dan sekaligus kawasan tersebut merupakan jalur perdagangan rempah – rempah ( silk road ) di dunia. Sebagaimana ditulis sumber – sumber barat, Tome pires yang pernah mengunjungi nusantara antara tahun 1512-1515 M. dan Antonio Pegafetta yang tiba di tidore pada tahun 1521 M. mengatakan bahwa Islam telah berada di Maluku dan raja yang pertama masuk Islam 50 tahun yang lalu, berarti antara tahun 1460-1465. Berita tersebut sejalan pula dengan berita Antonio Galvao yang pernah menjadi kepala orang – orang Portugis di Ternate (1540-1545 M). mengatakan bahwa Islam telah masuk di daerah Maluku dimulai 80 atau 90 tahun yang lalu.

proses masuknya Islam ke Indonesia tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan militer. Penyebaran Islam tersebut dilakukan secara damai dan berangsur-angsur melalui beberapa jalur, diantaranya jalur perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan pesantren dan lain sebagainya, akan tetapi jalur yang paling utama dalam proses Islamisasi di nusantara ini melalui jalur perdagangan, dan pada akhirnya melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas hanya di sekitar kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru itu.

Bukti-bukti peninggalan sejarah mengenai agama Islam yang ada di pulau Papua ini, sebagai berikut:

terdapat living monument yang berupa makanan Islam yang dikenal dimasa lampau yang masih bertahan sampai hari ini di daerah Papua kuno di desa Saonek, Lapintol, dan Beo di distrik Waigeo.

tradisi lisan masih tetap terjaga sampai hari ini yang berupa cerita dari mulut ke mulut tentang kehadiran Islam di Bumi Cendrawasih.

Page 22: Sejarah Islam Di Fakfak

Naskah-naskah dari masa Raja Ampat dan teks kuno lainnya yang berada di beberapa masjid kuno.

Di Fakfak, Papua Barat dapat ditemukan delapan manuskrip kuno brhuruf Arab. Lima manuskrip berbentuk kitab dengan ukuran yang berbeda-beda, yang terbesar berukuran kurang lebih 50 x 40 cm, yang berupa mushaf Al Quran yang ditulis dengan tulisan tangan di atas kulit kayu dan dirangkai menjadi kitab. Sedangkan keempat kitab lainnya, yang salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid, dan kumpulan doa. Kelima kitab tersebut diyakini masuk pada tahun 1912 dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari kerajaan Samudra Pasai yang datang menyertai ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk melalui Mes, ibukota Teluk Patipi saat itu. Sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis di atas daun koba-koba, Pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas bentuknya mirip dengan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia Timur.

Masjid Patimburak yang didirikan di tepi teluk Kokas, distrik Kokas, Fakfak yang dibangun oleh Raja Wertuer I yang memiliki nama kecil Semempe.

Pengaruh Islam terhadap penduduk Papua dalam hal kehidupan social budaya memperoleh warna baru, Islam mengisi suatu aspek cultural mereka, karena sasaran pertama Islam hanya tertuju kepada soal keimanan dan kebenaran tauhid saja, oleh karena itu pada masa dahulu perkembangan Islam sangatlah lamban selain dikarnakan pada saat itu tidak generasi penerus untuk terus mengeksiskan Islam di pulau Papua, dan merekapun tiadak memiliki wadah yang bias menampungnya.

Namun perkembangan Islam di Papua mulai berjalan marak dan dinamis sejak irian jaya berintegrasi ke Indonesia, pada saat ini mulai muncul pergerakan dakwah Islam, berbagai institusi atau individu-individu penduduk Papua sendiri atau yang berasal dari luar Papua yang telah mendorong proses penyebArab Islam yang cepat di seluruh kota-kota di Papua. Hadir pula organisasi keagamaan Islam di Papua, seperti muhammadiyah, nahdhalatu ulama, LDII, dan pesantren-pesantren dengan tradisi ahli sunnah wal jamaah.

Kesimpulan

Selama ini persepsi yang berkembang di masyarakat yaitu penduduk Papua identik dengan penduduk yang memeluk agama Kristen dan katolik, padahal pada kenyataannya Islamlah yang pertama datang ke Papua, yaitu sekitar abad XV, sedangkan Kristen dan katolik baru dikenalkan oleh para zending dan misionaris pada pertengahan abad XIX di tanah Papua. Sangat di sayangkan, pada saat itu agama Islam tidak memiliki wadah yang dapat mengembangkan ajaran Islam lebih lama di tanah Papua sehingga tidak ada penerus – penerusnya. Islam di Papua berkembang di sekitar pesisir, Fakfak, Sorong, Misool, Mimika, dan lain – lain. Dalam hal dakwah Islam melalui beberapa jalur yaitu : perdagangan, pendirian mesjid, perkawinan dan peperangan.

Daftar Pustaka

Monografi daerah Irian Jaya. Proyek media kebudayaan departemen pendidikan dan kebudayaan.

Santoso, s budhi, dkk. Masyarakat terasing amungme di Irian Jaya. CV eka putra. 1995.

Page 23: Sejarah Islam Di Fakfak

Wanggai, toni victor M. Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua. Badan litbang dan diklat departemen agama RI. 2009.

Http://Islamthis.wordpress.com.

Http://www.papuabaratnews.com

http://ajiraksa.blogspot.com/2012/06/proses-masuknya-islam-di-papua.html

Jejak Prajurit Islam Majapahit dari Bali hingga Australia

Oleh: SUFYAN AL JAWI Arkeolog di Numismatik Indonesia Mengagumkan, ternyata wilayah Majapahit lebih luas dari yang diperkirakan selama ini oleh sejarawan. Riset terbaru tentang penempatan prajurit Majapahit di luar Jawa menemui fakta yang menakjubkan. Uniknya, pleton-pleton kawal Majapahit beranggotakan prajurit beragama Islam. Peninggalannya pun masih bisa dibuktikan hingga sekarang. Adanya penempatan prajurit Majapahit di Kerajaan Vasal (bawahan) yang terdiri dari 40 prajurit elite beragama Islam di Kerajaan Gelgel-Bali, Wanin-Papua, Kayu Jawa-Australia Barat, dan Marege-Tanah Amhem (Darwin) Australia Utara pada abad ke 14 memperkuat bukti bahwa Gajah Mada adalah seorang Muslim. Silakan anda berkunjung ke daerah tersebut, terutama ke Bali Utara sebelum anda memberi komentar tanpa dasar. Prajurit Islam ini berasal dari basis Gajah Mada dalam merekrut prajurit elite yang terdiri dari 3 (tiga) kriteria: Mada; Gondang (Tenggulun-Lamongan) dan Badander (Jombang) yang diketahui sebagai basis teman-teman lama beliau. Dari desa-desa ini pemudanya direkrut menjadi Bhayangkara angkatan II dan seterusnya. Tuban, Leran, Ampel, Sedayu sebagai basis Garda Pantura. Pahang-Malaya, Bugis-Makasar, dan Pasai sebagai basis tentara Laut Luar Jawa.

Hal ini adalah wajar, karena di Jawa, Islam telah berbaur sejak abad ke 10 yang dibuktikan dengan penemuan Prasasti nisan Fatimah binti Maimun (wafat 1082 M) di Leran, Gresik yang bertuliskan huruf Arab Kufi. Dan Prasasti Gondang - Lamongan yang ditulis dengan huruf Arab (Jawi) dan huruf Jawa Kuno (Kawi). Keduanya merupakan peninggalan zaman Airlangga. Sedangkan orang Islam sudah masuk ke Jawa sejak zaman Kerajaan Medang abad ke 7. Islam baru berkembang dengan pesat di Jawa pada abad ke 15, atas peran tak langsung dari politik Gajah Mada, putra desa Mada-Lamongan, politikus abad ke 14. Pembentukan Satuan Elite, Pabrik Senjata dan Dinar Emas Satuan tentara elite Majapahit sudah dibangun sejak masa Jayanegara (1319), yaitu pasukan kawal raja – Bhayangkara, yang dipimpin oleh bekel Gajah Mada. Pada masa

Page 24: Sejarah Islam Di Fakfak

selanjutnya satuan elite terus berkembang, terutama pada masa Gajah Mada menjabat sebagai mahapatih amangkubhumi dari tahun 1334 sampai 1359, sejak masa Tribhuwana Tunggadewi hingga masa Hayam Wuruk. Menurut ―Hikayat Raja-raja Pasai‖, ketika Majapahit menyerang Pasai, dan dipukul mundur (1345), lalu menyerang kembali dan meluluh lantakan istana Sultan Ahmad Malik Az Zahir (1350), Gajah Mada yang juga seorang muslim, membawa tawanan orang Pasai yang terdiri dari para ahli, insinyur lulusan Baghdad, Damaskus dan Andalusia. Sedangkan Sultan Pasai melarikan diri dari istana. Setibanya di Majapahit, Gajah Mada membebaskan tawanan tersebut setelah bernegosiasi dengan Prabu Hayam Wuruk. Kemudian orang Pasai ini bekerjasama dengan Gajah Mada untuk membangun kejayaan Majapahit. Sebagai balas jasa, Majapahit memberi otonomi kepada Kerajaan Pasai Darussalam, dan menempatkan orang Pasai di komplek elite di ibukota Majapahit – Trowulan. Hal ini dibuktikan, pada 1377 Majapahit menghancurkan Kerajaan Budha Sriwijaya dan menguasai seluruh Pulau Sumatera, kecuali Pasai. ―Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, mana kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu‖ (Kutipan dari ―Hikayat Raja-raja Pasai‖). Dengan adanya orang Pasai yang ahli dalam bidang tempa logam, baik itu baja maupun emas, maka didirikanlah bengkel senjata dan alat pertanian yang sempurna (standar baja Damaskus) , saluran irigasi model Andalusia di Trowulan dan pabrik koin dinar emas Majapahit. Seiring dengan perluasan wilayah Majapahit untuk mewujudkan ―Sumpah Palapa‖, Gajah Mada membentuk pleton-pleton khusus yang didominasi oleh prajurit Islam. Prajurit Islam Majapahit di Bali Penempatan 40 orang prajurit Islam Majapahit di Kerajaan Gelgel – Klungkung, Bali dimulai ketika Raja Gelgel I, Dalem Ketut Ngulesir (1320 – 1400) berkunjung sowan abdi ke Trowulan, tak lama setelah deklarasi pendirian Kerajaan Gelgel tahun 1383. Beliau didampingi oleh Patih Agung, Arya Patandakan dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh) yang menghadap Prabu Hayam Wuruk saat upacara Cradha dan rapat tahunan negeri-negeri vasal imperium Majapahit. Ketut Ngulesir memohon dukungan dari Maharaja Majapahit, yang dikabulkan dengan pemberian 1 (satu) unit pleton khusus binaan Almarhum Gajah Mada. (―Kitab Babad Dalem‖, manuskrip tentang Raja-raja Bali). Prajurit Islam ini menikah dengan wanita Bali, dan beranak-pinak disana. Mereka sangat setia membentengi Puri Gelgel – Klungkung. Bahkan meskipun pada akhirnya imperium Majapahit runtuh (1527), tapi Prajurit Islam tetap menjadi tentara elite Kerajaan Gelgel, dari generasi ke generasi. Begitu pula di Kerajaan Buleleng, prajurit Islam membentengi Puri Buleleng dari serangan Raja Mengwi dan Raja Badung dari Kerajaan di Bali Selatan.

Page 25: Sejarah Islam Di Fakfak

Faktanya, saat ini kita masih dapat saksikan di Bali, keturunan prajurit Islam Majapahit yang telah mencapai ribuan orang Islam asli Bali (mereka menggunakan nama Bali, untuk membedakan dengan muslim pendatang) tepatnya di desa Gelgel, Klungkung dan di desa Pegayaman, Buleleng – 70 km arah utara Denpasar. Mereka adalah penduduk mayoritas di desa-desa kuno tersebut. Pertanyaannya : Kenapa Hayam Wuruk mengirimkan pleton prajurit Islam untuk mengawal negeri bawahan Majapahit ? Jawabannya: Pertama, almarhum Gajah Mada (wafat 1364) telah membangun sistem perekrutan satuan tentara elite yang beranggotakan prajurit Islam, dibekali dengan senjata pamungkas, dan berperang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. Kedua, Prabu Hayam Wuruk diduga telah mengetahui bahwa Gajah Mada bukan Sudra, melainkan seorang Muslim. Kemungkinan info yang rahasia ini diperoleh dari Ibunda Ratu Tribhuwana Tunggadewi.

Untuk menghormati almarhum Gajah Mada, beliau tidak mencerai-beraikan pleton-pleton Muslim yang berjumlah 40 orang, karena dalam Madzhab Imam Syafi‘i, syarat minimal untuk mendirikan sholat Jumat adalah 40 orang. Ketiga, kemampuan tempur 40 orang prajurit Islam dapat menghancurkan 200-400 orang tentara reguler musuh. Karena mereka dibekali kemampuan militer yang menguasai berbagai jenis senjata. Hal ini dibuktikan dalam perang mempertahankan Puri Buleleng dari serbuan pasukan gabungan dua Kerajaan Mengwi dan Badung, yang terletak di Bali Selatan. Keempat, Hayam Wuruk kagum atas kesetiaan dan ketetapan janji orang Islam. Mereka tidak terpengaruh godaan harta, wanita dan tahta yang bukan haknya. Mereka tidak pernah mabuk, berjudi, maling dan berzina ( kebiasaan buruk di Majapahit adalah mabuk dan berjudi, dan agak permisif dalam hal seks ). Panutan mereka adalah Gajah Mada, yang diklaim oleh orang-orang Majapahit sebagai orang Hindu berkasta Sudra? Ketika pleton prajurit Islam Majapahit ini mengawal pulang rombongan Raja Gelgel, Ketut Ngulesir, mereka dibekali oleh Hayam Wuruk berupa puluhan ribu koin cash Cina dan koin Gobog Wayang (koin kepeng tembaga) serta ratusan koin dinar emas Majapahit. Ini sebagai balasan atas penyerahan upeti dari Kerajaan Gelgel Klungkung berupa hasil bumi, hewan ternak dan tangkapan, perhiasan dan kerajinan tangan rakyat Gelgel. Hayam Wuruk berharap, stok koin-koin tersebut mampu merangsang tumbuhnya ekonomi di Gelgel. Sejak saat itu Pura Klungkung dan Pura Buleleng telah akrab dengan koin dinar emas dalam ritual ibadah mereka. Prajurit Islam Majapahit di Wanin – Papua Saat Prof. JH Kern dan NJ Krom meneliti kitab Nagarakertagama yang ditemukan (dijarah) oleh JLA Brandes dari istana Cakranagara, Lombok (1894). Prof. Kern dan Krom, 1920, mendapati fakta bahwa kekuasaan Majapahit di Papua Barat dibuktikan dengan adanya penempatan prajurit Islam di Wanin – Papua. Berdirinya Kerajaan Wanin di Fak-fak hingga Biak merupakan vasal Majapahit. Sampai sekarang, Raja-raja dan rakyat di Wanin dan Fakfak sangat kental nuansa Islamnya dan sangat fasih

Page 26: Sejarah Islam Di Fakfak

menghafal ayat-ayat suci Al-Qur‘an. Tak seperti di Bali, prajurit Islam Majapahit ini membawa istri mereka yang dinikahi di Jawa, Bugis, Seram dan pulau Maluku, sebelum akhirnya menetap di Wanin. Saat Majapahit runtuh, pada abad ke 16, Kerajaan Wanin bergabung dengan Kerajaan Ternate Darussalam di Maluku Utara, yang dulunya juga merupakan bawahan Majapahit. Diperkirakan situs Majapahit di Papua tersebar luas di Fak-fak, Biak dan Raja Ampat. Keturunan mereka berbeda dengan ras Papua. Prajurit Islam Majapahit di Marege – Australia Sejarah resmi negeri kangguru, sepertinya harus segera direvisi. Sebab Prof. Regina Ganter, sejarawan dari University of Griffith, Brisbane, Australia – belum lama ini meriset suku Aborigin Marege yang berbahasa Melayu Makasar. Marege adalah desa kuno di tanah Arnhem, di daerah Darwin, Australia Utara. Regina mendapat fakta yang menakjubkan , bahwa komunitas Muslim kuno Aborigin berasal dari Kerajaan Gowa Tallo, Makasar, sudah ada sejak abad ke 17 (1650 an), dan menyebarkan Islam di Australia Utara hingga ke desa Kayu Jawa di Australia Barat. Orang Marege hingga hari ini menyebut rupiah untuk kata ganti uang, padahal mata uangnya adalah dollar. Juga menyebut dinar untuk koin emas Australia. Dahulu sempat ditemukan koin Gobog Wayang di desa Marege Darwin. Padahal koin Gobog merupakan koin resmi Majapahit. Dan ini menunjukkan adanya jejak prajurit Majapahit abad ke 14 yang dikirim ke Marege, namun hal itu masih perlu pembuktian lebih lanjut. Dalam risetnya, Prof. Regina menuturkan bahwa sejak masa Sultan Hasanuddin (1653-1669) kapal-kapal Pinisi dari Makasar menguasai perairan teluk Carpentaria – Darwin, mereka mencari tripang. Di tanah Arnhem, Marege, orang Makassar berhubungan dengan suku Aborigin, menikah dan beranak pinak membentuk komunitas Aborigin Muslim. Dalam kebudayaan Marege, nampak jelas mereka menggambar kapal Pinisi Makasar dalam karya seni kuno mereka. Uniknya, kapal bercadik Majapahit pun terpahat dalam seni ukir dan lukis mereka yang berusia ratusan tahun. Ketika orang Inggris menjajah rayah desa Marege dan desa Kayu Jawa, mereka nyaris menghancurkan budaya Islam suku Aborigin Marege pada abad ke 20 seiring arus Westernisasi di negeri Kanguru. Karya seni Marage banyak yang diboyong ke Eropa. Orang Marege menyebut orang Inggris sebagai ‗Balanda‘, sedangkan orang Kayu Jawa menyebutnya ‗Walanda‘, dan perang melawan orang Inggris disebut ‗Jihad Kaphe‘. Semoga riset yang akan dilakukan oleh Tim Riset Yamasta ( beranggotakan Viddy Ad Daery, Sufyan Al-Jawi, Drs. Mat Rais dan Farhaz Daud ) untuk program yang akan datang, dapat mengungkap keberadaan situs Majapahit di Marege, Kayu Jawa dan tempat lainnya di Australia. Sesungguhnya kita adalah Bangsa yang besar dan jaya, pernah membangun perdaban Superpower – Nusantara. Mari bersatu, hilangkan egoisme SARA dan sinisme, marilah kita bangkit dan membangun kembali Nusantara [SF].