Click here to load reader
Upload
dokiet
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH BEDSIDE TEACHING
Tuberkulosis Paru
Disusun oleh:
Benedicta Mutiara Suwita 0906639713
Calvin Kurnia Mulyadi 0906639726
Christopher Rico Andrian 0906554251
Deriyan Sukma Widjaja 0906554270
Dwi Wicaksono 0906487764
Evan Regar 0906508024
Faradila Keiko 0906508062
Farah Asyuri Yasmin 0906552611
Hanifah Rahmani Nursanti 0906487814
Herliani Dwi Putri Halim 0906487820
Rombongan E
Modul Praktik Klinik Pulmonologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular kronis yang sampai saat ini masih
menjadi masalah kesehatan utama yang belum terselesaikan. Pada tahun 1993, World Health
Organization (WHO) mencanangkan TB paru sebagai salah satu kegawatdaruratan dunia
(global emergency) dan merupakan bentuk re-emerging disease seiring dengan
berkembangnya resistensi kumar multidrug-resistance (MDR) TBdan seringkali berkomorbid
dengan infeksi HIV yang justru memperburuk perjalanan penyakit tersebut.
Indonesia termasuk ke dalam kelompok negara dengan beban penyakit tertinggi (high
burden countries) dalam hal prevalensi TB, yang menempati urutan ketiga setelah India dan
China berdasarkan laporan WHO tahun 2009. Kasus TB ditemukan sebanyak 275 kasus per
100.000 penduduk per tahun pada tahun 2006 dan turun menjadi 244 kasus per 100.000
penduduk per tahun pada tahun 2010. Namun, mengalami peningkatan pada tahun 2011
menjadi 289 kasus per 100.000 per tahun.
Besarnya masalah kesehatan TB ini telah menarik perhatian dunia sehingga WHO
mencanangkan tujuan keenam dari Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015,
yaitu untuk melawan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya termasuk TB. Diharapkan
kemampuan mendiagnosis kasus TB dan kesuksesan dengan pengobatan berbasis Directly
Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dapat meningkat. Pada tahun 2014, target case
detection rate (CDR) dan success rate (SR) masing-masing sebesar 90% dan 88%. Target
umum dari stop TB strategy adalah untuk menurunkan beban global dari TB pada tahun 2015
dibandingkan dengan prevalensi dan kematian dasar pada tahun 1990 sebanyak 50%. Pada
tahun 2050, tujuan akhir yang ingin dicapai adalah untuk mengeliminasi TB sebagai
problema kesehatan publik.
Meningkatnya kasus TB, disertai dengan bahaya resistensi, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya membutuhkan perhatian dan usaha lebih dari petugas kesehatan, termasuk peran
dokter umum sebagai lini pertama dalam upaya kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu, lembar
kerja ini dibuat sebagai bentuk pembelajaran berkesinambungan mengenai kasus-kasus TB
yang ditemukan dalam praktik klinik sehari-hari.
2
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn YP
Usia : 31 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Suku : Betawi
Status : Menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Tanggal masuk RSP 5 November 2012
2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Batuk darah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien batuk darah pada hari Jumat, 2 November 2012 sehingga dibawa ke RS
Rawamangun. Pasien masuk RS Persahabatan di ruang Soka hari Senin, 5 November
2012. Sebelumnya pasien batuk selama satu minggu dengan dahak berwarna
kehijauan. Kemudian, 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami batuk
darah. Pasien demam dengan suhu naik turun, tidak ada mual dan muntah. Pasien
merasa sesak ketika berjalan dengan jarak dekat seperti ke toilet. Sesak memberat
dengan aktivitas (Dyspnea on Effort, DOE (+)), mereda dengan istirahat. Namun,
sesak pada malam hari disangkal (Paroxysmal Nocturnal Dyspnea, PND (-)) dan tidur
dengan 2-3 bantal disangkal (Orthopnea, OP -). Pasien juga mengeluhkan adanya
nyeri dada, terutama ketika pasien sedang batuk. Pada saat pasien bernapas, tidak
terdapat mengi, dan keluhan sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca/suhu. Pasien tidak
mengeluhkan adanya kaki bengkak, dan tidak ada keringat malam. Pasien pun
mengatakan mengalami penurunan berat badan yang awalnya 51 kg, dan sekarang
ketika berat badannya 44 kg. Pasien belum pernah diberikan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) sebelum masuk RS Persahabatan. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang
tidak terkontrol.
3
Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes Mellitus (-), asma (-), alergi (-), gastritis (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), riwayat kontak pada keponakan yang
tuberkulosis (+), penyakit jantung (-)
Riwayat Sosial
Pasien tinggal dengan istri, dua anak, dan ibu pasien.
Di lingkungan rumah pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
Merokok (+): 3 bungkus/hari
2.3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : sakit ringan
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan darah : 150/110 mmHg
Nadi : 110 kali/menit
Suhu : 36,9oC
Pernapasan : 22 kali/menit
BB/TB : 44 kg/160 cm
Kepala : normal
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
THT : tidak diperiksa
Leher : JVP 5-2 cmH2O
KGB : tidak teraba
Dada : asimetris, kanan tertinggal
Jantung : BJ 1/2 N, murmur (-), gallop (-)
Paru :
- Inspeksi : bentuk dada pectus excavatum, asimetris dinamis
- Palpasi : pergerakan dada asimetris, kanan lebih tertinggal, fremitus kanan
lebih lemah dari kiri, tidak teraba massa.
- Perkusi : redup/sonor
- Auskultasi : vesikular (↓/+), ronkhi basah kasar (+/-), wheezing (-/-)
4
Abdomen : supel, lemas, hati dan limpa tidak teraba, bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, tidak terdapat edema
2.4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil Laboratorium pada tanggal 5 November 2012
Leukosit : 10110/mm3 (5-10)
Hitung Jenis
o Neutrofil : 67.8 % (50-70)
o Limfosit : 15.8 % (25-40)
o Monosit : 15.6 % (2-8)
o Eosinofil : 0.5 % (2-4)
o Basofil : 0.3 % (0-1)
Eritrosit : 3.92 juta/uL (4.5-6.5)
Hb : 10.3 g/dL (13.0-18.0)
Ht : 34 % (40-52)
MCV : 86.2 fL (80-100)
MCH : 26.3 pg (26-34)
MCHC : 30.5 % (32-36)
RDW-CV : 14.0 % (11.5-14.5)
Trombosit : 382 ribu/mm3 (150-440)
Analisa gas darah
o pH : 7.492 (7.34-7.44)
o pCO2 : 39.7 mmHg (35-45)
o pO2 : 70.4 mmHg (85-95)
o HCO3 : 29.8 mmol/L(22-26)
o TCO2 : 31.0 mmol/L(23-27)
o Base excess : 6.0 (-2.5-2.5)
o Std HCO3 : 29.9 mmol/L(22-26)
o Saturasi O2 : 95.3 % (96-97)
Gula darah sewaktu : 130 mg/dL (<180)
Elektrolit
o Natrium (Na) : 138.0 mmol/L (135-145)
5
o Kalium (K) : 2.05 mmol/L (3.5-5.5)
o Klorida (Cl) : 101.0 mmol/L (98-109)
Protein total : 7.3 g/dL (6-8)
Albumin : 2.6 g/dL (3.4-5)
Globulin : 4.7 g/dL (1.3-2.7)
Bilirubin total : 0.26 mg/dL (0.1-1.1)
Bilirubin direk : 0.15 mg/dL (0.1-0.4)
Bilirubin indirek : 0.11 mg/dL (0.1-0.7)
SGOT : 32 U/L (0-37)
SGPT : 55 U/L (0-40)
Ureum : 10 mg/dL (20-40)
Kreatinin : 0.7 mg/dL (0.8-1.5)
2.5. DIAGNOSA KERJA
- TB paru dengan hemoptisis
- Efusi pleura ec TB paru
2.6. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN
Sputum mikroorganisme, gram, kultur resistensi
Sputum BTA 3x, kultur resistensi
DPL, AGD
2.7. RENCANA PENGOBATAN
IVFD NaCl 500 cc 0.9 %/12 jam + asam traneksamat
Vitamin K 3x1 amp IV
Vitamin C 3x1 amp IV
Diet TKTP 1500 kkal
Edukasi batuk darah
BPMO
2.8. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
6
Ad sanasionam : bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tuberculosis (TB) merupakan suatu penyakit yang disebabkan bakteri kompleks
Mycobacterium tuberculosis dan biasanya mengenai paru, meskipun organ-organ lain terlibat
dalam satu per tiga kasus. Jika diterapi dengan benar, TB yang disebabkan oleh galur yang
sensitif terhadap obat dapat disembuhkan pada hampir semua kasus. Penularan TB terjadi
melalui droplet nuclei yang dikeluarkan penderita TB yang disebarkan melalui udara
(airborne). Jika tidak diterapi, penyakit ini dapat menjadi fatal dalam 5 tahun pada 50-65%
kasus.
3.1 Epidemiologi TB
Gambar di bawah ini menyajikan penyebaran prevalensi TB di dunia pada tahun 2011
menurut laporan WHO.
Gambar 3.1 Penyebaran Prevalensi TB di Dunia pada tahun 2011
Merujuk pada peta persebaran prevalensi tersebut, Indonesia terletak pada rentang
prevalensi 150-299 per 100.000 populasi. Dengan jumlah populasi penduduk sekitar 242 juta,
angka mortalitas TB mencapai 27 per 100.000 penduduk, prevalensinya mencapai 281 per
100.000, insidensi sebesar 187 per 100.000 penduduk, disertai persentase komorbid infeksi
HIV sebesar 3,3%.
7
3.2 Definisi Kasus TB
Ada beberapa definisi yang harus diketahui dalam memperdalam kasus TB, yaitu sebagai
berikut:
Suspek TB: seseorang dengan gejala atau tanda TB.
Gejala umum: batuk produktif lebih dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan
dan/atau gejala tambahan
Kasus TB: Seseorang yang setelah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk TB dan
didiagnosis TB oleh dokter dan diobati dengan paduan dan lama pengobatan yang
lengkap
Kasus TB pasti: pasien TB yang telah ditemukan Mycobacterium tuberculosis complex
yang diperoleh dari spesimen klinik dan biakan
3.3 Klasifikasi TB
Kasus TB juga diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, hasil pemeriksaan dahak
atau bakteriologi, riwayat pengobatan sebelumnya, dan status HIV dari pasien.
A. Berdasarkan lokasi anatomisnya
TB paru merujuk pada kasus TB yang melibatkan parenkim paru. Tuberkulosis milier
merupakan TB paru karena terdapat lesi pada paru. Pasien dengan TB paru dan TB
ekstraparu harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
TB ekstra paru merujuk pada TB yang mengenai organ selain paru.
B. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
Terbagi dua, yakni TB paru dengan BTA (+) dan TB paru dengan BTA (-)
C. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Pasien baru: pasien yang belum pernah memperoleh pengobatan untuk TB, atau yang
telah memperoleh obat anti-TB selama kurang dari 1 bulan.
Pasien yang telah memperoleh pengobatan sebelumnya: telah memperoleh
pengobatan TB selama 1 bulan atau lebih pada masa lampau.
D. Berdasarkan status HIV dari pasien (apakah positif atau negatif)
3.4 Patogenesis TB
Patogenesis TB pada orang yang imunokompeten dan sebelumnya tidak pernah terpajan
bergantung pada perkembangan imunitas selular terhadap mycobacterium, yang memberikan
pertahanan terhadap bakteri dan juga mengakibatkan munculnya hipersensitivitas terhadap
8
antigen mycobacterium. Granuloma kaseosa dan kavitasi yang terjadi pada TB merupakan
akibat dari hipersensitivitas yang berkembang bersamaan dengan respon imun protektif host.
TB primer merupakan suatu bentuk TB yang terjadi pada orang yang sebelumnya tidak
pernah terpajan (unsensitized person). Sekitar 5% orang yang baru terinfeksi TB primer
menunjukkan gejala klinik yang signifikan. Pada TB primer, sumber organismenya berasal
dari luar (eksogen). Pada sebagian besar orang, infeksi primer dapat diatasi, tetapi pada
sebagian kecil, TB primer bersifat progresif. Diagnosis dari TB primer progresif pada orang
dewasa sulit, sebab TB primer progresif seringkali mirip dengan pneumonia bakterial akut
(konsolidasi lobus bawah dan tengah, adenopati hilus, efusi pleura).
TB sekunder merupakan pola penyakit yang muncul pada host yang sebelumnya sudah
tersensitisasi. TB sekunder dapat terjadi mengikuti TB primer, tetapi seringkali TB sekunder
terjadi setelah beberapa tahun setelah infeksi pertama kali, biasanya ketika resistensi host
melemah. Seringkali berasal dari reaktivasi dari infeksi laten, tetapi juga dapat disebabkan
oleh reinfeksi eksogen bersamaan dengan melemahnya imunitas host atau ketika terpajannya
host dengan basil virulen dalam jumlah besar. Reaktivasi lebih sering terjadi pada area
dengan prevalensi rendah, sementara reinfeksi pada area dengan prevalensi tinggi.
TB paru sekunder mengenai apeks lobus atas pada satu atau kedua paru. Karena adanya
hipersensitivitas, basil mycobacterium menimbulkan respon jaringan yang kuat dan
cenderung untuk membatasi fokus infeksi. Oleh karena itu, kelenjar getah bening regional
tidak terlalu terlibat pada TB sekunder, berbeda dari TB primer. Namun, kavitas seringkali
muncul pada TB sekunder, berbeda dari TB primer. Erosi dari kavitas merupakan sumber
infeksi karena orang tersebut akan mengeluarkan batuk dengan dahak yang mengandung
bakteri.
3.5 Diagnosis TB
Diagnosis TB ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang lain.
- Gejala Klinis
TB merupakan penyakit kronis yang dapat menyerang banyak organ dan salah
satu manifestasi terseringnya adalah TB paru. TB ekstraparu juga dapat ditemukan
sebagai bentuk persebaran hematologi dari TB paru atau akibat infeksi langsung
kuman terhadap organ target. Dengan demikian, gejala yang ditimbulkan dapat
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik.
9
Apabila organ targetnya adalah paru, maka gejala lokal yang timbul adalah gejala
respiratori. Gejala respiratori khas yang sering ditemukan adalah batuk produktif
lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Pada awal
perjalanan penyakit, batuk dapat bersifat nonproduktif, namun perlahan-lahan,
seiring dengan terjadinya nekrosis, maka sputum akan diproduksi. Bila bronkus
belum terlibat, maka gejala batuk mungkin belum ada. Batuk pertama terjadi
akibat iritasi bronkus dengan tujuan untuk membuang dahak ke luar. Batuk darah
(hemoptisis) terjadi akibat keterlibatan parenkim paru yang lebih ekstensif, namun
tidak mengindikasikan proses TB aktif. Hemoptisis juga dapat disebabkan oleh
bronkiektasis dari lesi TB residual atau yang sudah mengalami penyembuhan
ataupun dari ruptur pembuluh darah yang mengalami dilatasi pada kavitas.
Gejala sistemik yang sering ditemukan antara lain demam subfebris (low grade,
intermitten fever), malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun.
Gejala TB ekstraparu sering bermanifestasi sebagai limfadenitis TB, meningitis
TB, pleuritis TB, dan sebagainya.
- Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan kelainan yang sering bermanifestasi pada
regio lobus superior daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Kelainan yang ditemukan dapat berupa suara napas
bronkial, amforik, suara napas yang melemah, ronki basah, hingga tanda-tanda
penarikan paru yang dinilai dari deviasi trakea. Pada pleuritis TB, kelainan
pemeriksaan bergantung pada banyaknya cairan yang berefusi di rongga pleura,
diserta suara perkusi yang kerap menjadi redup/pekak, dan pada auskultasi suara
napas yang melemah sampai tidak terdengar. Pada limfadenitis TB, dapat
ditemukan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) yang lambat dan tidak nyeri.
- Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan pemeriksaan laboratorium bakteriologis untuk TB dapat berasal dari mana
saja, termasuk dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, kurasan
bronkus, urin, feses, maupun jaringan hasil biopsi. Untuk TB paru, dilakukan
10
pemeriksaan dahak minimal sebanyak 2 spesimen yang berasal dari pengambilan
dalam waktu yang berbeda dan minimal salah satu di antaranya harus merupakan
dahak pagi hari. Spesimen dahak yang diperoleh dapat digunakan untuk
pemeriksaan mikroskopis dan biakan (kultur). Pemeriksaan mikroskopis yang
rutin dilakukan adalah pewarnaan basil tahan asam (BTA) dengan metode Ziehl-
Nielsen, sedangkan metode biakan kuman M. Tuberculosis rutin dilakukan dengan
media dasar telur Lowenstein-Jensen.
Hasil pemeriksaan mikroskopis dinilai dengan skala International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD), sebagai berikut:
Lebih dari 10 BTA per lapang pandang dalam 20 lapang pandang 3+
1-10 BTA per lapang pandang dalam 50 lapang pandang 2+
10-99 BTA per 100 lapang pandang 1+
1-9 BTA per 100 lapang pandang - Tuliskan jumlah eksak dari BTA
Tidak ada BTA ditemukan pada 100 lapang pandang
- Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis sering dilakukan secara rutin setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Kelainan radiologis sering ditemukan pada lobus superior pada
salah satu atau kedua paru. Kavitasi merupakan kelainan yang paling sering
ditemukan, dengan situs tersering di apeks dan segmen posterior dari lobus kanan
atas dan segmen apikoposterior pada lobus kiri atas. Lesi yang sembuh biasanya
akan berlanjut pada pembentukan jaringan fibrotik dengan penyusutan parenkim
paru, serta seringkali kalsifikasi. Pada progresi penyakit, dapat terjadi penyebaran
bronkogenik ke lobus yang lebih bawah dari paru yang terlibat. Selain itu, erosi
dari fokus parenkimal tuberkulosis ke dalam aliran darah atau limfatik akan
menyebabkan diseminasi dari organisme tersebut dan pola miliar pada foto toraks.
- Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan dalam penatalaksanaan pasien
TB adalah analisis cairan pleura dengan uji Rivalta, pemeriksaan histopatologis
jaringan melalui biopsi, serta pemeriksaan darah, khususnya laju endap darah
(LED).
11
3.6 Tatalaksana Tuberkulosis Paru
Tatalaksana Farmakologis
Tujuan tatalaksana TB paru adalah sebagai berikut:
- Untuk menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas
- Untuk mencegah kematian dari TB aktif atau efek jangka panjangnya
- Untuk mencegah kekambuhan TB
- Untuk mengurangi transmisi TB kepada orang lain
- Untuk mencegah perkembangan dan transmisi dari resistensi obat
Regimen standar jangka pendek dibagi dua fase, yakni fase inisial/bakterisidal dan fase
lanjutan/sterilisasi. Selama fase inisial, mayoritas basil tuberkel dieliminasi, gejala
menghilang, dan biasanya pasien menjadi tidak infeksius lagi. Fase lanjutan diperlukan untuk
mengeliminasi mycobacterium yang persisten dan mencegah kekambuhan. Pada umumnya
lama pengobatan adalah 6-8 bulan.
OAT terbagi menjadi obat lini pertama dan obat lini kedua. Obat lini pertama adalah INH,
rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Sementara itu obat lini kedua adalah
kanamisin, kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin, etionamid/protionamid, dan para-
amino salisilat. Penggunaan OAT lini kedua hanya untuk kasus resisten obat, terutama TB
multidrug resistant (MDR).
Pengobatan TB standar dibagi menjadi:
Pasien baru
Regimen yang dianjurkan adalah 2HRZE/4HR
Pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama
Pengobatan berdasarkan hasil uji kepekaan antibiotik secara individual. Selama
menunggu hasil uji kepekaan diberikan paduan 2HRZE/HRZE/5HRE
Pasien MDR – rujuk ke pusat rujukan TB-MDR
Tatalaksana Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis meliputi pengobatan suportif dan simptomatis dan pembedahan.
- Pengobatan suportif dan simptomatis
Pengobatan suportif diberikan melalui asupan nutrisi yang adekuat. Prinsip
pemberian nutrisi adalah melalui makanan yang bersifat tinggi kalori dan protein,
12
di mana protein hewani lebih superior. Mikronutrien yang diperlukan antara lain
zink, vitamin A, D, C, dan zat besi. Peningkatan pemakaian energi dan penguraian
jaringan akibat infeksi dapat meningkatkan kebutuhan mikroutrien seperti vitamin
A, E, B6, C, D, dan folat. Pada pasien yang demam, dapat diberikan obat penurun
panas, begitu pula dengan obat untuk mengatas gejala batuk, sesak napas, dan
keluhan lainnya.
- Terapi Pembedahan
Terapi ini diindikasikan secara mutlak bagi pasien batuk darah masif yang tidak
dapat diatasi secara konservatif atau pada pasien dengan fistula bronkopleura dan
empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. Indikasi relatif untuk bedah
antara lain dahak negatif dengan batuk darah berulang, kerusakan satu paru atau
lobus disertai keluhan, serta sisa kavitas yang menetap.
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
- Evaluasi klinis
Pada evaluasi ini, pasien dievaluasi secara periodik mengenai respon pengobatan,
ada tidaknya efek samping, serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi ini
meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik.
- Evaluasi bakteriologis
Evaluasi bakteriologi dilakukan pada bulan ke-0, ke-2, dan ke-6/8 pengobatan
dengan tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Evaluasi ini
dilakukan sebelum pengobatan di mulai, setelah 2 bulan pengobatan, dan pada
akhir pengobatan.
- Evaluasi radiologi
Evaluasi foto toraks dilakukan saat sebelum pengobatan di mulai, setelah 2 bulan
pengobatan, dan pada akhir pengobatan. Evaluasi setelah dua bulan fase
pengobatan tidak dilakukan seperti panduan TB bilamana terdapat kecurigaan
akan keganasan.
13
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 ANAMNESIS
Pada anamnesis, pasien datang dengan keluhan utama batuk darah bercampur lendir
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien telah mengalami batuk produktif
dengan lendir berwarna kehijauan selama 1 minggu yang lalu. Dari batuk yang
dideskripsikan oleh pasien, dapat diperkirakan bahwa batuknya tidak masif dan
menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi dengan adanya riwayat batuk berdahak kehijauan.
Selain adanya batuk darah, pasien juga mengalami sesak napas yang memberat saat aktivitas
serta nyeri dada pada saat batuk, akan tetapi tidak berpengaruh dengan posisi tubuh sehingga
sesak akibat gagal jantung dapat disingkirkan. Pasien juga mengakui adanya penurunan berat
badan yang cukup signifikan yaitu sebanyak 7 kg. Melihat dari gejala-gejala yang dialami
pasien maka, tuberkolosis baru dapat dipikirkan sebagai diagnosis karena pasien belum
pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya ataupun pernah mendapatkan OAT kurang
dari satu bulan.
4.2 PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat sakit ringan, dengan kesadaran kompos mentis,
dari hasil tanda vital menunjukan sedikit peningkatan pada laju pernapasan dan jantung. Pada
pemeriksaan konjungtiva, terlihat anemis. Selain itu, pada inspeksi ditemukan bahwa bentuk
dada pasien adalah pectus excavatum. Pada palpasi, teraba pergerakan dada pasien asimetris
dimana bagian kanan terlihat lebih tertinggal daripada bagian kiri walaupun tidak teraba
adanya masa. Perkusi yang tidak terlalu menunjukkan bunyi yang jelas antara redup dan
sonor. Pada auskultasi, terdengar bunyi pernapasan yang vesikular menurun, dengan adanya
ronki basah kasar pada paru kanan tanpa adanya mengi.
4.3 LABORATORIUM
Leukosit : 10.11 ribu/mm3 (5-10)
Hitung jenis
o Limfosit : 15.8 % (25-40) limfositopenia
14
o Monosit : 15.6 % (2-8) monositosis
o Eosinofil : 0.5 % (2-4) eosinopenia
Eritrosit : 3.92 juta/uL (4.5-6.5)
Hb : 10.3 g/dL (13.0-18.0) anemia
Ht : 34 % (40-52)
MCHC : 30.5 % (32-36) hipokromik
Analisa gas darah
o pH : 7.492 (7.34-7.44) alkalosis
o pO2 : 70.4 mmHg (85-95)
o HCO3 : 29.8 mmol/L(22-26) alkalosis metabolik
o TCO2 : 31.0 mmol/L(23-27)
o Base excess : 6.0 (-2.5-2.5)
o Std HCO3 : 29.9 mmol/L(22-26)
Elektrolit
o Kalium (K) : 2.05 mmol/L(3.5-5.5) hipokalemia
Albumin : 2.6 g/dL (3.4-5) hipoalbumin
Globulin : 4.7 g/dL (1.3-2.7)
SGPT : 55 U/L (0-40)
Interpretasi
Alkalosis metabolik dengan kompensasi respiratorik
4.4 KESIMPULAN
Pada pasien ini, terdapat kecurigaan kuat untuk TB karena gejala-gejala umum TB
telah terpenuhi. Akan tetapi, belum adanya hasil BTA ataupun hasil biakan menyebabkan
diagnosis TB belum dapat ditegakkan. Selain itu, dibutuhkan pemeriksaan radiologi foto
thoraks pada pasien tersebut untuk dapat menunjang diagnosis TB. Dengan demikian, sambil
menunggu hasil pemeriksaan sputum BTA, pasien ini masih tergolong kasus suspek TB.
4.5 TATALAKSANA
Pasien datang diberikan beberapa pengobatan yaitu:
IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam + asam traknesamat
Vitamin K 3x1 amp IV
Vitamin C 3x1 amp IV
15
Diet TKTP 1500 kkal
Edukasi batuk darah
BPMO
Pemberian asam trakneksamat yang merupakan anti fibrinolitik ditujukan untuk
menghentikan pendarahan pada batuk darah pasien, begitu juga dengan pemberian vitamin K.
Diet TKTP (tinggi kalori tinggi protein) pada pasien ini bertujuan untuk mengimbangi
penurunan berat badan yang dialami oleh pasien dan mencukupi kebutuhan kalori dan protein
pada pasien.
16
Daftar Pustaka
Hopewell PC, Kato-Maeda M. Tuberculosis. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR,
Schraufnagel DE, Murray JF, editors. Murray and Nadel Textbook of Respiratory
Medicine. 5th ed. 2010. Philadelphia: Saunder Elsevier.
Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, et al. Tuberkulosis:
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC, editors. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. 8th ed. 2010. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18th ed. 2011. USA: The McGraw-Hill Companies.
Riset Kesehatan Dasar. Dinas Kesehatan. 2010. Available on:
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/buku_laporan/lapnas_riskesdas2010/
Laporan_riskesdas_2010.pdf
World Health Organization. Global Tuberculosis Report. 2012. Available on:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75938/1/9789241564502_eng.pdf
WHO. Treatment of Tuberculosis: GUIDELINES. 4th ed. 2010. Geneva: WHO Press.
17