32
1 UPAYA PENUNTASAN KESENJANGAN DAN PERLUASAN AKSES PENDIDIKAN MELALUI PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMATIKA DAN KOMUNIKASI (Suatu Pengalaman Nyata di Kabupaten Keerom, Papua)* Oleh: Fasli Jalal dan M.Munir Wakil Menteri Pendidikan Nasional dan Ketua POKJA Digital Learning, Kemendiknas Pendahuluan Bahwa pendidikan merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang harus terpenuhi, oleh karena itu setiap warga negara Indonesia berhak untuk memperoleh kesempatan belajar sebaik- baiknya dengan ditunjang oleh sarana dan prasarana yang layak. Sehingga dimanapun mereka berada harus dapat dijangkau oleh fasilitas pendidikan yang layak sebagai hak-hak asasi bagi mereka. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diberikan karunia Allah SWT berupa tanah dan air yang berwujud jajaran pulau-pulau besar dan kecil yang tersambung antara satu dengan lainnya oleh laut. Kondisi NKRI yang demikian unik tersebut mempunyai konsekwensi terhadap perbedaan suasana dan lingkungan belajar bagi siswa-siswi yang terpencar dari puncak gunung sampai dengan lembah. Perbedaan lingkungan belajar tersebut bukanlah sebagai kendala atau dijadikan alasan untuk tidak memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk belajar, melainkan harus dipandang sebagai peluang dan kesempatan untuk menghadapi kondisi nyata di lapangan. Heterogenitas faktor lingkungan belajar di Propinsi Papua adalah suatu fakta yang harus dicarikan solusinya. Heteroginitas tersebut jangan dianggap sebagai kendala untuk melayani masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak, melainkan harus dipandang sebagai peluang dan sekaligus tantangan untuk menyelesaikannya. Semua pihak yang berkepentingan dan terpanggil untuk mencarikan solusi cerdas untuk memperkecil bahkan kalau mungkin menghilangkan sama sekali kemungkinan disparitas pelaksanaan pendidikan dari pulau ke pulau lainnya atau dari pedalaman ke pedalaman lainnya. Sebagai akibat dari keaneka-ragaman bentangan kepulauan NKRI, maka

SALINANmmunir.lecture.ub.ac.id/.../04/Pendidikan-di-Keerom1.docx · Web viewPada saat ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat dan salah satu teknologi yang dapat

  • Upload
    others

  • View
    21

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

SALINAN

3

UPAYA PENUNTASAN KESENJANGAN DAN PERLUASAN AKSES PENDIDIKAN MELALUI PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMATIKA DAN KOMUNIKASI

(Suatu Pengalaman Nyata di Kabupaten Keerom, Papua)*

Oleh: Fasli Jalal dan M.Munir

Wakil Menteri Pendidikan Nasional dan

Ketua POKJA Digital Learning, Kemendiknas

Pendahuluan

Bahwa pendidikan merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang harus terpenuhi, oleh karena itu setiap warga negara Indonesia berhak untuk memperoleh kesempatan belajar sebaik-baiknya dengan ditunjang oleh sarana dan prasarana yang layak. Sehingga dimanapun mereka berada harus dapat dijangkau oleh fasilitas pendidikan yang layak sebagai hak-hak asasi bagi mereka.

Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diberikan karunia Allah SWT berupa tanah dan air yang berwujud jajaran pulau-pulau besar dan kecil yang tersambung antara satu dengan lainnya oleh laut. Kondisi NKRI yang demikian unik tersebut mempunyai konsekwensi terhadap perbedaan suasana dan lingkungan belajar bagi siswa-siswi yang terpencar dari puncak gunung sampai dengan lembah. Perbedaan lingkungan belajar tersebut bukanlah sebagai kendala atau dijadikan alasan untuk tidak memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk belajar, melainkan harus dipandang sebagai peluang dan kesempatan untuk menghadapi kondisi nyata di lapangan. Heterogenitas faktor lingkungan belajar di Propinsi Papua adalah suatu fakta yang harus dicarikan solusinya.

Heteroginitas tersebut jangan dianggap sebagai kendala untuk melayani masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak, melainkan harus dipandang sebagai peluang dan sekaligus tantangan untuk menyelesaikannya. Semua pihak yang berkepentingan dan terpanggil untuk mencarikan solusi cerdas untuk memperkecil bahkan kalau mungkin menghilangkan sama sekali kemungkinan disparitas pelaksanaan pendidikan dari pulau ke pulau lainnya atau dari pedalaman ke pedalaman lainnya.

Sebagai akibat dari keaneka-ragaman bentangan kepulauan NKRI, maka akan diperoleh beberapa daerah dengan situasi dan kondisi proses pembelajaran pada jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di Papua belum dapat berlangsung secara optimal, permasalahan utama yang menjadi kendala pokok proses pembelajaran di Propinsi terbesar ini antara lain: (1) faktor geografis yang kurang menguntungkan, dengan kondisi alam berbukit dan bergunung, sehingga akses transportasi menjadi sulit, apalagi belum tersedia infrastruktur akses jalan yang memadai, (2) terbatasnya sumber daya manusia, baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya dan (3) kendala lainnya yang menjadi faktor pembatas proses pembelajaran yang ideal. Ketiga faktor tersebut menyebabkan adanya kesenjangan antara daerah pendalaman dengan daerah perkotaan.

*) Laporan Hasil Kunjungan kerja ke Kabupaten Keerom, Propinsi Papua pada tanggal 12-13

Oktober 2009.

Berdasarkan kondisi riil NKRI tersebut, maka Kementerian Pendidikan Nasional berkewajiban untuk mencari solusi yang tepat untuk memperkecil kemungkinan adanya disparitas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Papua merupakan contoh konkrit kemungkinan adanaya disparitas penyelenggaran pendidikan yang dimaksud.

Pada saat ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat dan salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kesenjangan pelaksanaan pendidikan tersebut adalah dapat diselesaikan dengan penggunanan Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK). Bahwa Teknologi informatika dan komunikasi (TIK) merupakan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk memperkecil kesenjangan proses pembelajaran. Dengan teknologi informatika dan komunikasi, diharapkan faktor kendala seperti letak geografis, kendala waktu dan tempat yang terpencar maupun keterbatasan sumberdaya manusia guru dan tenaga kependidikan lainnya dapat diatasi dengan baik. Gambar 1 menyajikan skema sistem TIK berkerja untuk satu kelompok sekolah yang mendapatkan informasi yang sama.

Kegiatan di Keerom

Kementerian Pendidikan Nasional sejak tahun 2009 telah melakukan kegiatan nyata untuk menguraangi disparitas (kesenjanagan) dan uapya meningkatakan akeses pendidikan telah dilakaukan di kabupaten Keeron, Propinsi Papua. Kabupaten Keerom adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua, Indonesia. Sebelum berdiri sendiri sebagai kabupaten otonom, Keerom pernah menjadi bagian dari Kabupaten Jayapura.

Keerom dalam pemahaman yang harfiah dimengerti sebagai ungkapan: "Mari ke sini, kita pergi akan kembali" ini dikemukakan oleh seorang misionaris Belanda bernama P. Frankenmolen pada tahun 1939 yang pada waktu itu bersama dengan orang atau masyarakat asli akan pergi ke suatu tempat dengan tujuan tertentu.

Kabupaten Keerom merupakan salah satu bagian dari Provinsi Papua. Kelima distrik yang masuk dalam wilayah Keerom-Arso, Waris, Senggi, Skamto dan Web-semula bagian dari Kabupaten Jayapura. Memiliki luas wilayah 8.390 km2 yang terbagi menjadi 5 kecamatan dengan Arso sebagai ibukota kabupaten. Wilayahnya sendiri berbatasan dengan Kabupaten Jayapura di sebelah utara, Kabupaten Pegunungan Bintang di sebelah selatan, Kota Jayapura di sebelah barat, dan Negara Papua Nugini di sebelah timur.Saat masih menjadi bagian Kabupaten Jayapura, kelima distrik yang kini berinduk di Kabupaten Keerom, merupakan wilayah pengembangan III. Ketika itu, Kabupaten Jayapura membagi daerahnya menjadi lima wilayah pengembangan. Sebagai wilayah pengembangan III, Arso, Waris, Senggi, Skamto dan Web antara lain diprioritaskan menjadi daerah transmigrasi, daerah tanaman pangan dan perkebunan. Dari lima distrik tersebut, Distrik Arso dikenal sebagai daerah penghasil sayur mayur. Selain sayur mayur, ada pula buah-buahan seperti salak dan jeruk. Di sektor perkebunan, komoditas unggulannya berupa kelapa sawit dan kakao.

Letak Keerom yang berada pada ketinggian 1.000 meter dpl, memungkinkan lahan di wilayah ini cocok untuk kelapa sawit dan kakao. Distrik Arso dan Skamto menjadi daerah sentra penanaman tanaman perkebunan tersebut. Pada saat panen, kelapa sawit dikirim ke pabrik pengolah sawit milik PTPN II. Setelah diolah menjadi setengah minyak sawit mentah, dikirim menggunakan kapal ke Kota Bitung, Sulawesi Utara untuk diolah menjadi minyak kelapa sawit. Pengiriman dilakukan melalui pelabuhan di Kabupaten Jayapura.Selain kelapa sawit, tanaman perkebunan yang menjadi unggulan adalah kakao. Benih kakao yang ditanam di kabuaten ini berasal dari kebun benih kakao di Jember, Jawa Timur. Kakao ini dipasarkan ke Makassar dan Surabaya.

Kabupaten Keerom memiliki luas 9.365 Km2, terletak antara 1400 15' 0'' - 1410 0'0'' Lintang Selatan dan 20  37' 0'' - 40  0' 0'' Bujur Timur. Distrik Senggi merupakan daerah terluas yaitu 3.088 Km2 atau sebesar 32,98 persen dari total luas Kabupaten Keerom. Sedangkan Distrik Waris merupakan daerah terkecil dengan luas 911,94 Km2 atau sebesar 9,74 persen dari total luas Kabupaten Keerom.

Distrik Towe memiliki jarak terjauh dari Ibukota Kabupaten yaitu sejauh 200 Km dan hingga  saat ini cara tercepat untuk mencapai distrik tersebut masih harus ditempuh lewat jalur udara.Dari 7 (tujuh) distrik di Kabupaten Keerom, 5 (lima) distrik diantaranya berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Kelima distrik tersebut adalah Waris, Senggi, Web, Arso Timur, dan Towe. Berdasarkan data Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Kabupaten Keerom, sebagian besar wilayah seluas 1.177.250 Ha. Sedangkan  Kabupaten Keerom adalah hutan yaitu Perkebunan Besar seluas 16.405 Ha, pertanian lahan kering seluas 4.055  dan kebun rakyat seluas 424 Ha. Untuk wilayah pemukiman, area yang digunakan adalah seluas 686 Ha. Ketinggian Kabupaten Keerom berkisar antara 0 – 2000 M diatas permukaan laut, dimana Distrik Arso, Arso Timur dan Skanto merupakan daerah terendah dengan ketinggian 0 – 1000 meter diatas permukaan laut. Sedangkan Distrik Waris, Senggi, Web dan Towe berada pada ketinggian 500 – 2000 meter dari permukaan laut.

Berdasarkan catatan dari Balai Meteorologi dan Geofisika, rata-rata suhu udara  di Kabupaten Keerom pada tahun 2008 sebesar  27,3 oC. Suhu Udara maksimum terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 33,0oC. Sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan Juli dengan suhu 21,9oC.

Sektor Pendidikan

Salah satu hal penting yang harus tersedia dalam rangka meningkatkan partisipasi penduduk usia sekolah terhadap pendidikan adalah tersedianya sarana fisik pendidikan berupa tenaga guru dan sekolah yang memadai. Pada tahun 2008, jumlah TK, SD, dan SLTP mengalami penambahan dibandingkan jumlahnya di tahun 2007. Jumlah TK dan SLTP masing-masing bertambah 2 sekolah menjadi 34 dan 14 unit. Jumlah SD bertambah 3 unit menjadi 60 sekolah. Sedangkan jumlah SLTA dan SMK masih sama dengan tahun sebelumnya, yaitu 6 dan 1 unit. Jumlah murid SD di Kabupaten Keerom tahun 2008 tercatat sebanyak 7.903 siswa. Sedangkan jumlah murid SLTP dan SLTA masing-masing sebanyak 2.379 dan 1.208 siswa. Sementara jumlah murid SMK hanya sebanyak 196 siswa. Rasio murid SD terhadap jumlah SD di Keerom tahun 2008 adalah 130 yang berarti bahwa tiap Sekolah Dasar rata-rata menampung 130 siswa didik. Sedangkan rasio murid SD terhadap ruang belajar dan guru adalah 24 dan 13. Ini berarti bahwa tiap kelas rata-rata menampung 24 siswa dan tiap guru mendidik 13 siswa.

Pada tingkat SLTP, rasio murid terhadap sekolah, ruang belajar, dan guru masing-masing adalah sebesar 152, 28, dan 8. Sedangkan rasio murid terhadap sekolah, ruang belajar, dan guru pada tingkat SLTA adalah 234, 29, dan 8. Meskipun secara umum rasio murid terhadap sekolah, ruang belajar, dan guru mengalami penurunan dibandingkan rasio tahun sebelumnya, namun penurunan tersebut bukan disebabkan oleh turunnya angka partisipasi penduduk usia sekolah terhadap pendidikan. Penurunan tersebut disebabkan oleh adanya penambahan jumlah sekolah, ruang kelas, dan guru di tahun 2008. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan fasilitas belajar-mengajar yang memadai di Kabupaten Keerom.

Sektor Kesehatan dan Keluarga Berencana

Guna meningkatkan derajat kesehatan bagi masyarakat diperlukan pembangunan sarana dan prasarana kesehatan secara kontinu. Salah satu cara pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut adalah dibangunnya Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), dan balai pengobatan lainnya. Di tahun 2008, terdapat 34 Pustu di Kabupaten Keerom. Jumlah tersebut sama dengan jumlah Pustu tahun 2007. Jumlah tenaga kesehatan yang bertugas di Kabupaten Keerom tahun 2008 secara umum mengalami penurunan. Jumlah dokter pada tahun 2008 sebanyak 12 orang atau berkurang 10 orang dibandingkan jumlahnya pada 2007. Begitu juga dengan jumlah perawat, dari 133 orang pada tahun 2007 menjadi 106 pada tahun 2008. Sedangkan jumlah tenaga non medis justru bertambah signifikan, dari 6 orang menjadi 42 orang.

Secara umum, realisasi semua jenis imunisasi mengalami sedikit penurunan. Realisasi jumlah penduduk yang mendapat vaksinasi BCG sebanyak 1.084 orang atau mencapai 93,1 persen dari jumlah yang ditargetkan. Adanya peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Keerom memberikan hasil positif yang ditunjukkan dari turunnya jumlah penderita berbagai penyakit yang dilaporkan kepada Dinas Kesehatan, yaitu dari 100.214 orang pada 2007 menjadi 71.311 orang pada tahun 2008. Dari kasus yang dilaporkan, penyakit yang paling banyak diderita masyarakat adalah ISPA yang mencapai 22.906 penderita. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan jumlah persalinan, yaitu dari 625 pada tahun 2007 menjadi 785 pada tahun 2008. Sebesar 99,36 persen dari jumlah persalinan tersebut (780 persalinan) merupakan bayi lahir hidup. Angka tersebut naik 27,66 persen dibandingkan angka tahun sebelumnya. Sementara angka bayi lahir mati turun cukup signifikan, dari 16 kasus pada 2007 menjadi hanya 5 kasus pada 2008.

Kesejahteraan Sosial

Pada tahun 2008, terdapat 174 penyandang cacat di Kabupaten Keerom. Jenis cacat yang dialami sebagian besar penyandang cacat tersebut adalah cacat tubuh, yaitu sebanyak 47 orang (27,01 persen). Jumlah anak terlantar pada tahun 2008 turun 21,01 persen dibandiingkan jumlahnya pada 2007 menjadi 94 orang. Begitu juga dengan jumlah jompo terlantar, dari 87 orang pada tahun 2007 menjadi 57 orang pada 2008.

Pertanian

Pada tahun 2008 produksi padi di Kabupaten Keerom adalah sebanyak 1.177 ton atau mengalami kenaikan 8,66 persen dibandingkan produksi tahun 2007 yang tercatat sebanyak 1.224 ton. Meskipun 88,5 persen dari produksi padi tersebut disumbang oleh padi ladang, namun rata-rata produksi padi sawah (2,68 ton/ha) lebih tinggi dibandingkan rata-rata produksi padi ladang (2,59 ton/ha). Ubi jalar merupakan jenis tanaman pertanian dengan produksi terbesar sepanjang tahun 2008, yakni sebanyak 2.848 ton. Sedangkan produksi terendah terjadi pada tanaman kacang hijau yang hanya 22 ton.

Produksi seluruh jenis sayur-sayuran yang terdapat di Kabupaten Keerom mengalami kenaikan di tahun 2008. Salah satu pendorong kenaikan tersebut adalah adanya peningkatan luas tanam yang berkisar antara 0,45 persen hingga 4,30 persen. Kenaikan produksi tertinggi terjadi pada tanaman Kubis/Kol yang naik 22,07 persen menjadi 531 ton. Jika dilihat dari nilai produksinya, jenis sayuran dengan produksi terbesar adalah tomat yang mencapai 663 ton. Pada kelompok Buah-buahan, produksi pisang merupakan yang tertinggi yang mencapai 904 ton. Kemudian diikuti Jeruk sebanyak 308 ton.

Produksi tanaman perkebunan masih di dominasi perkebunan sawit dan perkebunan kakao. Luas panen sawit seluas 10.195 ha dengan jumlah produksi sebesar 77.070 ton, sedangkan luas panen kakao seluas 2 584 ha dengan jumlah produksi sebesar 4 833 ton.

Luas panen kelapa sawit yang dikelola PTPN II Arso tahun 2008 seluas 8.459 Ha. Secara umum selama tahun 2008 produksi inti sawit turun, hanya pada bulan oktober dan Desember produksi inti sawit meningkat dibanding tahun sebelumnya.

Kabupaten Keerom memiliki hutan dengan berbagai jenis penggunaan sebesar 942.157,31 Ha. Sebesar 34,96 persen (329.370,09 Ha) merupakan hutan lindung. Sedangkan kawasan Suaka Alam/Pelestarian Alam hanya seluas 2.490,54 Ha (0,26 persen).

Peternakan

Populasi ternak yang terdapat di Kabupaten Keerom adalah sapi, kambing, dan babi. Populasi sapi turun 2,76 persen dibandingkan jumlahnya di tahun 2007 menjadi 7.669 ekor. Sedangkan populasi Kambing dan Babi mengalami kenaikan masing-masing 10,66 persen dan 8,72 persen. Sementara populasi unggas di Kabupaten Keerom tahun 2008 terdiri atas ayam buras sebanyak 39.221 ekor dan itik/entok sebanyak 3.427 ekor. Kedua populasi unggas tersebut meningkat 11,46 persen dan 9,59 persen dibandingkan populasinya pada tahun sebelumnya.

Pembangunan SDM

Besarnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Keerom tahun 2008 adalah 68,55. IPM tersebut mengalami kenaikan dibandingkan IPM Keerom tahun sebelumnya yang hanya 68,0. Kenaikan IPM tersebut dipicu oleh kenaikan 2 komponen IPM, yaitu angka Harapan Hidup naik dari 66,69 tahun menjadi 66,8 tahun; dan Pengeluaran Riil yang disesuaikan naik dari Rp. 609,4 ribu menjadi Rp. 615,84 ribu. Kenaikan kedua komponen tersebut menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat Keerom. Sedangkan besarnya 2 komponen IPM lainnya tidak mengalami perubahan, yaitu angka Melek Huruf sebesar 91,1 persen dan Lama Sekolah 7,3 tahun.

Gambar 1. Cakupan dan Pola Kerja TIK

Maksud dan Tujuan

Maksud dari kegiatan pemanfaatan TIK untuk proses pembelajaran di Propinsi Papua adalah untuk membantu Pemerintah Propinsi Papua dalam mengurangi kesenjangan pendidikan antara daerah pedalaman dan daerah perkotaan.

Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah:(1) Memanfaatkan TIK untuk membantu keberlangsungan proses belajar tanpa dibatasi oleh tempat, jarak dan waktu; (2) Memberikan bantuan teknis kepada pihak-pihak yang berkepentingan (pemerintah daerah, sekolah, guru dan masyarakat) untuk menyelesaikan masalah kesenjangan pendidikan melalui TIK; (3) Meningkatkan pengetahuan para guru dan/atau tenaga kependidikan dalam mengaplikasikan TIK dalam proses pembelajaran dan (4) Melakukan transformasi dan perubahan pola berfikir/cara pandang tentang sistem pembelajaran melalui TIK.

Manfaat yang akan diperoleh dari kegiatan ini adalah: (1) Menyelesaikan masalah keterbatasan SDM guru dan tenaga kependidikan lainnya; (2) Para siswa dapat mengikuti pelajaran tepat waktu, tepat sasaran dan tepat materi; (3) Efisiensi dan efektifitas pembelajaran dapat dicapai dengan mudah dan (4) Dapat menurunkan tingkat kesenjangan pendidikan antara di pedalaman dan di perkotaan di Propinsi Papua;

Tugas pokok kelompok ini adalah mempersiapkan dan mengkondisikan secara sosio-kultural masyarakat agar penggunaan TIK dalam proses pembelajaran dapat diterima, difahami dan dapat menjadi kebutuhan mendasar untuk penyelenggaraan pendidikan di Papua. Serta merubah cara pandang dan pola pikir semua pihak bahwa TIK bukan barang mewah dan sulit, melainkan suatu teknologi tepat guna yang dapat membantu masyarakat.

Hari ini hari Ahad, kalau masih sekolah dulu sangat menantikan hari ini karena dapat nonton dengan puas serial-srial kartun. Pun terlepas sejenak dari riuh beban belajar di sekolah. Kali ini, Ahad (22/8), saya menepi di rumah lagi, tak ada lagi kartun, hari libur pun menjadi kian kabur. Sebab, tiap detik merupakan waktu untuk belajar, baik ilmu maupun sebentuk pengertian tentang diri dan lingkungan. Yah, ahad ini saya ingin mengkristalkan sedikit pikiran yang saya sibukkan dua pekan yang lalu, yakni tentang Indonesia mengajar, khususnya tentang pendidikan di daerah terpencil.

Permasalahan Daerah Terpencil

Permasalahan utama daerah terpencil yakni rendahnya sumberdaya manusia, terhambatnya akses informasi atau belum tersentuh oleh modernitas (perubahan sosial). Sehingga masyarakat tak mampu memberdayakan alam secara maksimal. Daerah tersebut sangat terisolasi dari keramaian informasi, terletak di kaki gunung yang sulit ditempuh, sehingga arus migrasi atau perbauran penduduk dari daerah lain jarang terjadi. Daerah yang terisolasi membuat mereka terkurung dalam keterbelakangan bak katak dalam tempurung.

Sebenarnya mereka dapat mengoptimalkan hasil padi, perkebunan, perikanan, namun karena kurangnya penyuluhan atau informasi tadi, sehingga teknologi yang digunakan sangat sederhana. Teknologi itu pun tak berganti sejak puluhan tahun silam. Tak ada inovasi, tak ada pupuk, atau teknologi terbaru, sehingga hasil panennya hanya bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Kurang untuk bisa diperjualbelikan. Ada pun yang bisa diperjualbelikan terbatas dalam hal pasar. Sehingga, kurang memacu perekonomian daerah tersebut.

Hal yang paling urgen yang mesti dilakukan khususnya oleh pemerintah, yaitu memperbaiki infrastruktur daerah berupa jalan, bangunan-bangunan penting seperti rumah sakit, puskesmas, serta sekolah-sekolah. Namun, biasanya pemenuhan hal tersebut butuh waktu lama, serta masih minimnya perhatian pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan kemiskinan di daerah tersebut. Bisa disebabkan karena kurangnya anggaran belanja daerah, dimana anggaran tersebut lebih difokuskan untuk pengembangan daerah pusat kota saja. Kekurangan itu salah satu penyebabnya karena kurangnya sumberdaya alam.

Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa masyarakat tersebut bisa jadi merupakan masyarakat tipikal pekerja keras, namun karena minimnya informasi sehingga alamnya tidak terkelola dengan baik. Jadi hal penting yang harus segera dituntaskan akarnya yakni persoalan ketertinggalan tadi melalui pendidikan. Dengan pendidikan, secara cermat dapat merubah pola pikir masyarakat untuk selalu mencari solusi yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi. Namun, terletak pula masalah di sini, sebab pendidikan pun ternyata kurang dipedulikan oleh pemerintah, sementara makna pendidikan belum terlalu mendekam di benak warga. Padahal, siswa telah sangat antusias untuk mengenyam pendidikan tersebut.

Permasalahan pendidikan di daerah terpencil, kita terlebih dahulu harus memahami seluk beluk daerah itu, mengenali karakter masyarakatnya, sejarah, adat istidat, hukum sosial serta kepercayaan atau alam magisnya. Dengan pengenalan itu, kita dapat dengan mudah mendekati dan mencari solusi alternatif persoalan ketertinggalan daerah tersebut. Dengan pendekatan yang intens kita dapat mengajak mereka bersama-sama untuk membangun pendidikan di daerah tersebut. Sehingga yang ditimbulkan bukan ketergantungan, tapi kemandirian.

Sambil mempelajari mereka, kita bisa memulai dengan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat, membuka jalan berpikirnya. Dari tokoh-tokoh ini kemudian menjalar ke masyarakat daerah tersebut. Kalau sudah menampakkan titik terang kita bisa mengadakan pertemuan dengan pembicara adalah tokoh-tokoh adat tersebut, untuk bersama-sama memajukan sekolah.

Setelah kesadarannya telah terbentuk, masyarakat pun dituntut untuk memberikan kontribusi, misalnya dengan melakukan renovasi sekolah, kerja bakti sama-sama membersihkan sekolah, menyumbangkan perlengkapan yang dibutuhkan sekolah, misalnya bambu atau papan, serta dapat membantu dalam memotivasi anaknya agar selalu belajar di rumah. permasalahan utama pendidikan anak-anak di daerah terpencil yaitu, rendahnya peranan orang tua dalam membimbing anak-anak. Anak-anak betul-betul menghabiskan waktu untuk bermain sejadinya. Atau malah ada orang tua yang melarang anaknya untuk bersekolah, sehingga angka putus sekolah juga dapat dibilang tinggi. Yang harus diperhatikan juga adalah bagaimana meningkatkan pendidikan dengan pendekatan budaya, misalnya dengan memasukkan pelajaran mengenai pesan-pesan orang terdahulu atau biasa disebut dengan Paseng. Bisa pula diadopsi permaianan lokal, lagu-lagu lokal, sehingga tidak memupus warisan budaya tersebut. Dengan bersekolah, mereka dimotivasi untuk mencintai budayanya sendiri yang bisa saja sangat penduli terhadap lingkungan, memiliki muatan nilai saling menghormati antar sesama. Budaya daerah terpencil tersebut pun kita harus sadari merupakan unsur-unsur kekayaan negeri ini, yang tak boleh sirna tergerus oleh budaya global.Saya berkeyakinan bahwa jika kita mampu menarik tegas makna dari budaya lokal kita, kita dapat dengan tegar berhadapan dengan budaya asing.

Budaya ini pun, meski terkesan kolot lantaran bersentuhan dengan nuansa magis dan tak logis, setidaknya dapat menjadi rem prilaku kita yang selalu saja tergoda untuk bertindak curang. Semangat kompetisi yang kebablasan membuat kita melirik orang lain sebagai musuh yang harus dijatuhkan, kita dihadapkan pada prinsip persaingan, dimana untuk bisa menonjol harus menindih kawan-kawan kita. Itu tak lain merupakan buah pemahaman ala evolusi Darwin yang sangat eksploitatif, menimbulkan perpecahan dan kerusakan di muka bumi. Setelah beberapa kali menyambangi daerah-daerah di Sulawesi Selatan, saya yakin bahwa ilmu lokal kita lebih arif terhadap kemanusiaan, juga terhadap alam. Satu contoh, kita dapat belajar bagaimana perlakuan warga suku kajang terhadap hutannya. Yang sangat harmonis, serta perlakuan antar warga yang saling menghormati dan tolong menolong.

Kita pun tak mesti tergoda dengan para konglomerat yang dengan rakus menggerus hutan, sibuk mencari celah untuk mendapat izin pengelolaan hutan yang pada dasarnya diperuntukkan untuk kelompoknya sendiri, sementara rakyat kebanyakan hanya memperoleh getahnya. Borok itu berupa asap yang berasal dari kebakaran hutan, kesengsaraan para penghuni hutan baik itu suku pedalaman yang kian kebingungan akan nasib masa depannya serta para hewan-hewan yang mati tercekik asap dengan sia-sia. Belum lagi dampak jangka panjang berupa bencana longsor dan banjir yang pada akhirnya menyengsarakan penduduk di daerah kawasan pinggiran hutan.

Yah.. begitulah efek dari watak rakus sebagian manusia, yang jiwanya sudah kering akan keprihatinan terhadap sesama. Mereka tak dapat lagi merasakan pedihnya perasaan orang lain. Justru, mereka lebih tertarik pada benda mati, dibanding benda bernyawa sesama spesiesnya.Kita masuk dari budaya lokal itu untuk memupuk semangat belajarnya, bahwa untuk menjadi besar kita harus berjuang keras. Menginspirasi mereka dengan kisah kepahlawanan pejuang lokal dalam mendirikan peradaban, atau menggiatkan semangat nasionalismenya dengan sejarah orang-orang terdahulu yang ternyata jauh lebih Berjaya dibanding bangsa-bangsa di barat sana. Sementara untuk menjadi berdaya juga harus ditempuh lewat jalur ilmu pengetahuan, kesadaran akan kemanusiaan pun dapat dilalui lewat ilmu pengetahuan. Akal ini harus jernih membedakan, sehingga menjadi pertimbangan hati untuk memtuskan baik dan buruk itu.

Pemahaman akan keselarasan itu kita pupuk dengan langsung bersentuhan dengan alam, belajar dari lingkungan. Mengamati kemegahan kekuasaan tuhan, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sederhana, kenapa pohon itu begitu tinggi, kenapa langit itu berwarna biru, kenapa tanah ini berwarna merah, kenapa burung dapat terbang????? Dan siapakah Ia yang menciptakan semua ini??? Dari pertanyaan-pertanyaan mengusik itu, anak didik pun tersadar akan keberadaan di tengah-tengah alam, bahwa hidup ini untuk mengetahui, dengan mengetahui mereka kian aktif memelihara diri, masyarakat dan lingkungannya. Ilmu dan pengetahuan itu akan terpental di benak murid jika hanya bersandar di bangku-bangku kelas, tanpa menyibukkannya langsung mengamati alam sekitar.

Tentu, penyampaian pemahaman itu mesti mempertimbangkan psikologi anak didik, menyesuaikan dengan tingkat perkembangan mentalnya, serta menelusuri alam bakatnya. Kita tak boleh memaksakan sebuah pengertian tanpa melibatkan emosinya. Kita harus memberikan penghargaan setinggi-tingginya terhadap kemampuan yang telah mereka miliki. Akan berbeda pengaruhnya antara guru yang memberi nilai angka 10 pada anak didik dengan guru yang memberi angka 2, tentu guru yang memberi angka 10 lebih berkesan di hati anak didik, mereka pun terinspirasi dengan tingkah laku dan kata-kata guru tersebut. Hingga kini, saya masih terkesan dengan guru Biologi SMA saya, katanya kamu tak boleh kembali ke sekolah kalau kamu belum sukses..!! itu yang teringat jika mengenang sekolah. Atau dengan kata lain, perspektif atau paradigma kurikulum lama yang bernuansa instruktur atau orientasi ke guru diarahkan ke nuansa fasilitatif dengan berorientasi ke siswa.. saya pikir, pemahaman seperti ini sudah menjadi pemikiran bersama, untuk mengembangkan sumberdaya manusia Indonesia kita sejak dini.

Pendekatan lewat cerita saya pikir menarik untuk mengembangkan imajinasi mereka, namun kendala utama pendidikan di daerah-daerah tertinggal adalah minimnya stok buku bacaan di perpustakaan mereka. Sehingga ini pun menjadi tugas pemerintah daerah serta pengusaha dermawan untuk membantu mereka. Keberadaan buku-buku tersebut, akan meningkatkan minat baca mereka, sehingga kemampuannya memahami alam serta jiwa manusia pun meningkat. Serta pada nantinya mereka akan mahir menuangkan gagasannya lewat torehan-torehan kata. Untuk jangka panjang, mereka-mereka lah yang akan mengembangkan desanya sendiri, dengan bekal pengetahuan dan mental yang telah mereka miliki.

Selain itu, guru-guru yang ditempatkan adalah mereka yang betul-betul gigih dalam dunia pendidikan. Bukan guru yang lebih mementingkan kenyamanannya saja, sehingga format yang mesti diterapkan adalah membina pemuda-pemudi daerah setempat untuk menjadi guru lewat program beasiswa daerah, setelah mereka belajar di sekolah tinggi, mereka pun dapat mengabdi untuk pengembangan sumbedaya manusia di desanya.

Lagi-lagi menuju pendidikan yang bermutu, butuh keseriusan dari semua pihak dari bangsa kita. Anggaran untuk pendidikan pun mesti ditambah, kesejahteraan guru harus lebih diperhatikan, serta kurikulum harus lebih mendewasakan anak didik, tidak hanya berisi muatan doktrin yang mengokohkan sebuah rezim. Namun, dari hari ke hari, kita menyaksikan penindasan yang berkepanjangan, berbagai belahan negeri ini menjerit, entah akibat kekerasan fisik, kelaparan, kefakiran dan lebih utama ketidakadilan. Yah, negeri ini masih disibukkan untuk menumpas para koruptor, para wabah yang menjadi parasit bangsa, tapi, tak dapat dipungkiri bahwa wabah itu hadir karena memang lingkungannya yang jorok, dapat menyuburkan mereka. Dan Presidenlah titik tumpuan awal, dialah yang paling bertanggungjawab. Tapi, alangkah sedihnya mendengar isu bahwa masa kepresiden akan bertambah satu priode lagi, entah apa dibenak orang itu, membiarkan orang lemah memimpin bangsa yang luarbiasa hebatnya ini..!!!

Selain memunculkan kompetisi inovasi yang kian sengit, Otonomi Award (OA) 2008 menasbihkan jawara baru yang semula tak masuk hitungan. Daerah yang selama ini dicap tertinggal, justru menyabet anugerah utama. Seperti apa profil inovasi mereka? Berikut paparan ringkas Wawan Sobari dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).

Gambaran Masyarakat Suku Anak Kubu

Neng Butet! Bolehlah perempuan Batak bernama Saur Marlina Manurung itu, disapa demikian? Maklumlah, beberapa tahun ia sempat menetap di tatar Sunda, sebagai mahasiswa Universitas Padjadjaran, Jatinangor, sebelum memutuskan hidup di belantara hutan di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Propinsi Jambi, sekitar 225 km dari Kota Jambi ke arah barat.

Sebelumnya, orang tak begitu mengenal sosoknya. Namun, pemunculannya dalam sebuah iklan surat kabar nasional di layar kaca, orang kerap panasaran dibuatnya. Bagaimana tidak, di usianya yang terbilang muda, lajang satu ini justru memilih hidup di kawasan pedalaman yang dihuni Suku Anak Dalam–orang banyak menyebutnya Suku Kubu. Tapi mereka lebih senang disebut Orang Rimba–Jambi, yang jauh dari hingar-bingar kehidupan kota.

“Kubu artinya bau, jorok, dan bodoh. Makanya, mereka sering marah jika disebut Suku Kubu. Mereka lebih senang bila dipanggil dengan sebuatan Orang Rimba,” kata Butet menjelaskan arti Kubu, saat ditemui di Hotel Mulia, Jakarta, belum lama ini.

Pilihan yang sulit dimengerti dengan cara mengabdi di “jalan sunyi”. Tapi itulah hebatnya Butet. Ia memilih tugas mulia: Mengajar baca-tulis kepada bocah-bocah Suku Anak Dalam. Harapannya cuma satu. “Saya ingin meyakinkan mereka, bahwa bagaimanapun pendidikan dapat memproteksi mereka dari ketertindasan dunia luar,” katanya.

Cerita pilu masyarakat Orang Rimba cukuplah membuat Butet trenyuh. Mereka sering dijadikan objek penipuan orang-orang luar, terang Butet. Dengan sejumlah iming-iming, lahan mereka ditebang. “Tapi, akhirnya mereka justru tidak mendapatkan apa-apa,” ungkapnya.

Kondisi itulah yang justru menarik Butet untuk mengajari anak-anak Suku Anak Dalam membaca dan menulis. Terang Butet, ia mulai masuk kawasan hutan tersebut sejak tahun 1999. Sejak itulah mulai banyak dari mereka yang kini sudah bisa membaca, menulis dan menghitung. “Anak-anak di sana ada yang sudah bisa baca akta perjanjian, melakukan proses jual-beli dan menghitung,” terang Butet.

Inilah yang membuat Butet bahagia. Padahal, usaha untuk bisa meyakini kehadirannya di masyarakat Suku Anak Dalam, tidaklah mudah. Berkali-kali, kehadiran Butet ditolak, bahkan tidak segan-segan mereka mengusirnya. “Penolakan itu barangkali karena mereka punya pengalaman buruk,” katanya.

Alasan tersebut bisa dipahami Butet. Tapi, darah Batak yang mengalir dari tubuhnya, tak segera membuatnya menyerah. Secara sembunyi-sembunyi ia mengajar sejumlah bocah. Satu-satunya orang yang percaya akan kehadirannya adalah seorang bocah bernama Gentar. “Dia orang yang pertama kali percaya kepada saya. Dia juga yang meyakinkan anak-anak lainnya,” ungkapnya.

Lama kelamaan, usaha untuk meyakinkan masyarakat Suku Anak dalam akhirnya berbuah. “Saya sempat disumpah. Saya juga sempat yakinkan mereka bahwa kehadiran saya di sana bukan untuk menyebarkan agama baru atau merusak hutan mereka,” ungkap anak sulung dari empat bersaudara itu.

Kesenangannya kepada kegiatan pencinta alam, justru yang membuat perempuan Batak kelahiran Jakarta 21 Februari 1972 jatuh cinta kepada belantara hutan kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Propinsi Jambi. Lima tahun lalu, ia mulai masuk-keluar hutan Bukit Dua Belas. “Keberadaan saya di Jambi, sebenarnya lebih karena kecelakaan saja. Tadinya saya ingin menetap di belantara hutan Irian,” terang Butet, tanpa merinci lebih jauh. Nasib juga lah yang menggiringnya dikenal masyarakat luas. Dedikasi Butet dalam mencerdaskan anak-anak pedalaman mulai tampak jejaknya, ketika beberapa wartawan dan wartawati menemuinya di lokasi pedalaman Propinsi Jambi. “Waktu itu, dengan menggunakan motor trail, saya sempat menjadi penunjuk jalan mereka. Setelah sampai lokasi yang dituju, mereka baru sadar kalau saya ini perempuan. Kita ngobrol banyak. Ya, akhirnya oleh salah satu wartawati dari Kompas saya sempat dihubungi untuk dijadikan bintang iklan surat kabarnya,” katanya. Satu tahun mengajar anak-anak Suku Anak Dalam, usaha Butet mendapat perhatian. Ia dianugerahi penghargaan Man and Biosfer yang diberikan LIPI bekerja sama dengan UNESCO pada tahun 2000.

Empat tahun kemudian, sejarah kembali terulang

Senin (8/3) pekan ini, anak dari pasangan Victor Manurung dengan Anar Tiur Samosir ini kembali dianugerahi penghargaan 1st antv Women of The Year Award untuk kategori bidang pendidikan. Menyisihkan Dra. Hj. Nurlaila Nuzulul Qur’any dan Ria Winanti, yang juga menjadi nomine kuat di kategori tersebut.

Butet dianggap perempuan yang memiliki konsep pendidikan alternatif. Ia juga dianggap telah memberi manfaat bagi masyarakat di pedalaman. “Sebenarnya, saya risau menerima penghargaan semacam ini karena takut memunculkan banyak ekspektasi,” tuturnya.

Disinggung soal pola pendidikan semacam apa yang pas untuk anak Indonesia, dengan enteng Butet memberi jawaban singkat dan tak berbelit-belit. “Yang tepat guna,” katanya usai menerima penghargaan malam itu.

Apa yang dimaksud dengan tepat guna, tak lain adalah pendidikan yang bisa diterapkan dan disukai oleh anak-anak. “Anak-anak bisa memahami dan memanfaatkan ilmu yang telah didapatnya,” katanya.

Pola pendidikan yang dicoba diterapkan Butet kepada anak-anak di pedalaman Suku Anak Dalam, tentulah sangat berbeda dengan guru kebanyakan di tanah air. Dengarkan saja penuturannya. Ungkap Butet, pola belajar yang dikembangkan lebih mengikuti mood murid. “Kalau jam 12 malam mereka masih mood, ya kita terus saja jalan. Pokoknya, jam belajar tidak terbatas. Asalkan, tidak melupakan unsur bermain. Proses belajar-mengajar sekarang kebanyakan justru meninggalkan unsur bermain,” kata bu guru Butet, yang terinspirasi film petualangan Indiana Jones itu.

Selain menjadi guru, sewaktu-waktu Butet juga bisa menjadi murid. Banyak pelajaran yang ternyata bisa diperoleh dari mereka, seperti bagaimana mengenali jejak sampai mengobati secara tradisional. Hal-hal itulah yang tidak pernah didapatnya ketika masih sekolah maupun di perguruan tinggi.

Disinggung soal cita-citanya ke depan, Butet pun enggan muluk-muluk. Dengan enteng ia berharap bisa jadi konsultan pendidikan untuk anak-anak di suku pedalaman lainnya. “Saya ingin jadi konsultan bagi mereka yang peduli kepada pendidikan anak-anak di pedalaman,” katanya mantap.

Pengalaman India

Adalah ITITI (Information Technology for the Tibes of India) yang mendirikan sebuah lembaga pendidikan bagi masyarakat suku di Dehra Dun, Uttaranchak, India. Keterbelakangan masyarakatnya karena posisi geografis yang terisolisasi (wilayah itu di kelilingi pegunungan) membuat wilayah tersebut terasing dan sulit terjangkau peradaban modern. Jangankan bicara tentang komputer, kereta api yang menjadi alat transportasi utama masyarakat India saja masih banyak yang belum pernah melihatnya.

Lembaga pendidikan ini didirikan dengan tujuan agar masyarakat suku didaerah tersebut bisa mendapatkan pendidikan yang layak, seperti halnya masyarakat lain di negaranya. Lembaga tersebut mengajarkan pengetahuan kepada kaum muda, dengan alasan generasi muda yang kelak meneruskan keahlian ke generasi selanjutnya. ITITI lebih memfokuskan diri pada kemampuan teknologi informasi (TI), pelatihan wirausaha, serta peningkatkan respons kepekaan terhadap pembangunan sosial.

Para anak muda dari suku pedalaman ini ditempatkan dalam sebuah asrama. Hidup mereka di asrama tidak dipungut ongkos sepeser pun, begitu juga dengan biaya belajar mereka. Budaya pendidikan tradisional bangsa India secara tidak langsung juga turut andil dalam mendukung pola pendidikan asrama. Sistem kuno yang terkenal dengan julukan Gurukula, konon mengajarkan belajar di dalam rumah. Filosofinya rumah dianggap sebagai guru. Pola asrama dikembangkan meniru sistem tersebut dan menjadi ciri khas lembaga pendidikan yang dijalankan itu.

Pemimpin Institut Dr Bharat Bhasker, mengungkapkan bahwa tujuan dari pendidikan ini adalah membekali masyarakat suku-suku pedalaman agar mampu mengikuti perubahan zaman. Selain itu mereka juga diharapkan menjadi manusia yang siap dalam menghadapi dunia kerja, membangun karakteristik diri, dan menjadi manusia yang disiplin.

Pola pendidikannya dimulai dari kelas 6 hingga 12 dengan lama belajar 3 tahun. Kurikulum Teknologi informasi (TI) dilalui dengan 5 tingkat yang juga disesuaikan dengan kurikulum regional CBSE (Central Board of Secondary Education), sebuah sistem standar kurikulum pendidikan ekstra formal di India. Di dalam kurikulum TI tersebut terdapat berbagai macam mata pelajaran seperti pengembangan web, manajemen data, program, membuat jaringan, dasar-dasar pengoperasian TI, multimedia, dan perangkat keras.

Aturan untuk bersaing satu sama lain membuat sistem pendidikannya cenderung progresif. Institut memberikan kebebasan Budaya pendidikan tradisional bangsa India secara tidak langsung juga turut andil dalam mendukung pola pendidikan asrama. Sistem kuno yang terkenal dengan julukan Gurukula, konon mengajarkan belajar di dalam rumah. Filosofinya rumah dianggap sebagai guru. Pola asrama dikembangkan meniru sistem tersebut dan menjadi ciri khas lembaga pendidikan yang dijalankan itu.

Pemimpin Institut Dr Bharat Bhasker, mengungkapkan bahwa tujuan dari pendidikan ini

adalah membekali masyarakat suku-suku pedalaman agar mampu mengikuti perubahan zaman. Selain itu mereka juga diharapkan menjadi manusia yang siap dalam menghadapi dunia kerja, membangun karakteristik diri, dan menjadi manusia yang disiplin.

Pola pendidikannya dimulai dari kelas 6 hingga 12 dengan lama belajar 3 tahun. Kurikulum Teknologi informasi (TI) dilalui dengan 5 tingkat yang juga disesuaikan dengan kurikulum regional CBSE (Central Board of Secondary Education), sebuah sistem standar kurikulum pendidikan ekstra formal di India. Di dalam kurikulum TI tersebut terdapat berbagai macam mata pelajaran seperti pengembangan web, manajemen data, program, membuat jaringan, dasar-dasar pengoperasian TI, multimedia, dan perangkat keras.

Aturan untuk bersaing satu sama lain membuat sistem pendidikannya cenderung progresif. Institut memberikan kebebasan siswa untuk mengembangkan diri di dalam sekolah. Bukan hanya itu saja, agar siswa tergugah untuk selalu belajar, para pengajar sering memotivasi mereka dengan slogan-slogan yang memberi semangat bagi para siswa, seperti “pelajari dari belajarmu” atau “belajar, maka kamu akan mendapatkan upah”. Dengan slogan-slogan tersebut siswa diajak agar giat belajar sampai akhinya dihadapkan pada dua pilihan, menjadi wirausaha atau kembali meneruskan pendidikan yang lebih tinggi.

Banyak suku pedalaman yang belajar di ITITI, seperti suku Dimapur, Kohima, Gangtok, Kachar, dan Haflong. Walaupun bahasa dan budaya mereka berbeda, namun ada satu mimpi yang mengikat mereka, yakni kuch karke dikhana hai (kita punya sesuatu yang bisa kita pamerkan kepada dunia).

Pengalaman di Aceh

Pendidikan daerah terpencil di Aceh dinilai amburadul. Selain masalah kekurangan guru, Qanun pendidikan juga tidak diterapkan secara baik oleh Pemerintah Aceh.

Dunia pendidikan hingga saat ini masih sangat memprihatinkan. Selian masalah infrastruktur yang tidak layak, masalah ketersediaan guru juga tidak merata dan seimbang antara daerah perkotaan dan daerah pedalaman atau terpencil.“Melihat kondisi yang tidak seimbang dan buruknya dunia pendidikan ini, seharusnya pemerintah Aceh melihat kembali Qanun pendidikan. Karena, apa yang termaktub dalam Qanun Pendidikan nyatanya tidak terealisasi,” ungkap Moharriadi, anggota dewan dari Komisi F, DPR Aceh, Selasa (9/6).

Pendapat anggota dewan itu didasarkan pada kondisi dunia pendidikan di daerah terpencil saat ini. Moharriadi mencontohkan kondisi yang terjadi di SMP 3 Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Hingga saat ini hanya memiliki satu orang guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

Itu pun, sebut Moharriadi, guru PNS tersebut merangkap sebagai kepala sekolah. Sedangkan guru lainnya masih berstatus guru honorer dan guru kontrak. “Parahnya, di sekolah-sekolah Tapak Tuan, justru terjadi kelebihan guru yang luar biasa,” ungkap sekretaris Komisi F, yaitu Komisi yang menaungi masalah keistimewaan seperti Pendidikan dan Agama.

Kondisi yang sama, ternyata juga terjadi di daerah-daerah terpencil lainnya di seluruh Kabupaen. Aceh Timur salah satunya. Jumlah guru sangat sedikit dan sebagian besar hanya berstatus honorer. “Jika hal ini dibiarkan, tentu sangat membahayakan dunia pendidikan Aceh. Padahal, Dalam Qanun Pendidikan sudah dijelaskan bahwa Pemerintah harus melakukan peningkatan mutu pendidikan, salah satu caranya adalah melakukan pemerataan jumlah guru antara daerah perkotaan dan daerah terpencil. Namun, hingga kini, nyatanya pemerintah Aceh khususnya Dinas pendidikan belum melakukan hal ini secara baik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan menjadi factor yang sangat penting terhadap kemajuan sebuah bangsa. Kondisi Geografis Indonesia yang cukup luas dengan negara kepulauan ternyata menjadi salah satu penghambat pemerataan pembangunan pendidikan. Hal tersebut berakibat bahwa pembangunan pendidikan tidak dapat terlaksana dengan maksimal khususnya di daerah terpencil. Ketimpangan pembangunan pendidikan antara di Wilayah perkotaan (terutama jawa) dengan Wilayah-wilayah di Luar Jawa sangat jomplang. Padahal pembangunan daerah terpencil tidak boleh tertinggal dengan wilayah perkotaan.

Ketika disodori data pendidikan, pasti akan banyak ditemukan permasalahan-permasalahan klasik yang terjadi di daerah terpencil. Masalah-masalah tersebut antara lain : kekurangan jumlah pengajar, fasilitas gedung sekolah yang tidak layak, jauhnya jarak tempuh untuk murid sendiri ataupun murid dan pasti masih banyak ditemukan masalah-masalah lain. Masalah-masalah tersebut menjadi factor kualitas pendidikan di daerah terpencil karena pembangunan pendidikan di daerah tersebut yang dapat dikatakan kurang.

Pengalaman UGM

Ini adalah menjadi pekerjaan rumah kita bersama bagaimana caranya agar pembangunan pendidikan di daerah terpencil dapat berjalan baik. Memang bukan hal yang mudah tentunya. Tapi, perlu adanya strategi dan perhatian khusus pemerintah terkait dengan hal tersebut. Sejumlah mahasiswa UGM berhasil mengembangkan aplikasi pembelajaran yang mampu menebus batasan ruang, waktu, dan bahasa. Ferro Ferizka (Teknik Elektro), Iqbal Satrio Nindito (Ekonomi Manajemen), Riza Oktavian (Ilmu Komputer), dan Gathot Fajar (Ilmu Komputer) menciptakan sebuah aplikasi guna mengatasi minimnya penyelenggaraan pendidikan di daerah terpencil di Indonesia.

Berbagai persoalan, seperti minimnya sarana dan prasarana pendidikan serta kelangkaan tenaga pengajar, mendorong keempat mahasiswa tersebut mengembangkan aplikasi untuk mentransfer ilmu. Aplikasi yang dimaksud adalah Multiuser Interactive Multitouch Box (Mimbo). Aplikasi ini mengantarkan sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Tim Wolfgang meraih juara III dalam kompetisi Imageni Cup 2010. Kegiatan digelar pada 11 Mei lalu di Jakarta.

Ferro Feriza selaku ketua tim menjelaskan Mimbo terdiri atas dua aplikasi yang saling berhubungan, yaitu aplikasi untuk siswa dan aplikasi untuk pengajar dan komunitas. Aplikasi untuk siswa berupa komputer dengan menggunakan teknologi layar sentuh multipoint, yang dapat digunakan oleh empat siswa secara bersamaan.

Lebih lanjut disebutkan Ferro, Mimbo memiliki fitur-fitur yang menarik, misalnya streaming class dan global consulting room yang dilengkapi dengan translated chat. Dengan adanya streaming class, dimungkinkan terlaksananya kegiatan belajar mengajar secara virtual menembus ruang dan waktu. "Kami mengembangkan aplikasi ini guna mengatasi masalah kelangkaan sekolah di pedalaman yang menyebabkan para siswa harus menempuh jarak yang jauh, yang sering menyebabkan siswa datang terlambat. Misal ada yang datang terlambat, guru jadi mengulang kembali sehingga kegiatan belajar mengajar menjadi tidak efektif.

Fasilitas translated chat pada global consulting room, lanjut Ferro, mempermudah siswa yang ingin berkonsultasi dengan guru di seluruh belahan dunia tanpa ada halangan bahasa. Translated chat adalah sebuah program yang secara otomatis menerjemahkan bahasa yang digunakan dalam konsultasi. "Fitur ini kami sertakan untuk menjembatani kesulitan komunikasi/bahasa dalam proses konsultasi. Jadi, semisal siswa Indonesia ingin berkonsultasi dengan guru dari Jepang, tinggal menuliskan pertanyaan dalam bahasa Indonesia. Pertanyaan yang diosampaikan siswa tersebut secara otomastis akan diterima guru dalam bahasa Jepang, begitu pula sebaliknya," urainya.

Ditambahkan oleh Iqbal Satrio Nindito, dengan aplikasi Mimbo ini, di samping membantu kelancaran transfer pengetahuan, juga mampu menghemat anggaran pendidikan. "Dengan pengimplementasian aplikasi ini mampu menghemat 40% biaya pendirian sekolah yang kurang lebih berkisar 800 juta rupiah," terangnya.

Wacana budaya unggul yang dimunculkan Stephen Covey dan pernah diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal Desember 2005, dapat dimulai dalam proses pendidikan nasional di Indonesia. Pendidikan, menurut peraih nobel dari Princeton University, John Nash, memberikan kontribusi tertinggi dalam perekonomian suatu bangsa. Di Republik Indonesia, bidang pendidikan dan pendidikan tenaga kerja berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia masing-masing sebesar 17 dan 19 persen. Angka tersebut jauh di atas kontribusi investasi yang hanya empat persen saja.

Terkait dengan hal itu, berbagai upaya dilakukan baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan, mulai dari pembuatan Undang-Undang, perubahan kurikulum, lokakarya para guru sampai dengan standarisasi pendidikan. Bahkan untuk tahun anggaran 2009, pemerintah berani memenuhi amanat konstitusi mengalokasikan 20 persen anggaran APBN untuk bidang pendidikan tersebut, walaupun harus menempuh cara berhutang. Pada saat yang sama, walaupun banyak lokakarya, penataran dan musyawarah yang menghabiskan banyak dana serta energi telah digelar pemerintah maupun kelompok masyarakat untuk meningkatkan mutu guru, namun belum tampak perubahan yang positif dan signifikan dalam praktik-praktik pengajaran di sekolah-sekolah.

Kelemahan utama dari lokakarya, penataran, musyawarah ini adalah pendekatan "top-down" yang seringkali mengabaikan realita pengalaman guru di sekolah serta metodologi yang tidak melibatkan guru sebagai partisipan aktif. "Memang pernah pemerintah mengadakan pelatihan-pelatihan, tetapi sifatnya hanya umum saja. Beberapa instruktur hadir dan kasih ceramah setelah itu selesai," kata Sugimun (40), seorang guru SMPN I Lumbis, Nunukan, Kaltim. Selain itu, katanya lagi, waktunya juga terlalu singkat dan tidak ada simulasi-simulasi yang sebenarnya dibutuhkan para guru tersebut.

Sugimun bersama 45 orang guru dan kepala sekolah dari 18 SD dan lima SMP yang berlokasi di daerah terpencil di Kabupaten Nunukan, Bulungan, Tana Tidung dan Malinau, Kaltim, mengikuti program pelatihan profesionalisme guru dan kepala sekolah di Tarakan, Kaltim, belum lama ini. Program kegiatan yang diselenggarakan Tanoto Foundation, organisasi nirlaba yang didirikan keluarga Sukanto Tanoto itu, didesain dengan memperhatikan latar belakang pendidikan dan pengalaman nyata para guru beserta segala sumber daya dan hambatan yang ada di tingkat lokal.

"Kita memerlukan suatu program yang holistik dan komprehensif yang bisa memberdayakan guru untuk melakukan pengembangan profesionalisme bagi diri mereka sendiri," ujar Prof Dr Anita Lie, salah seorang instruktur dalam pelatihan tersebut.

Hasil dari proses refleksi dan evaluasi ini nantinya bisa menjadi masukan berharga dan bahan bagi penyusunan strategi pembelajaran yang efektif dan benar-benar dilaksanakan di sekolah. Pada tahap selanjutnya, para guru di daerah terpencil yang telah berhasil membuat perubahan positif di kelas diharapkan untuk menjadi agen perubahan dan membawa "multiplier effect" bagi guru-guru lainnya di sekitarnya. Diharapkan pula "best practices" yang juga merangkum keberhasilan nyata berlatarbelakang sumber daya dan hambatan-hambatan dalam tingkat lokal yang bisa didokumentasikan serta digunakan sebagai referensi untuk pengembangan profesionalisme guru yang berkelanjutan.

Salah satu materi yang menjadi fokus dalam pelatihan itu adalah bagaimana menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang telah digariskan Kementerian Pendidikan Nasional sejak 2007 lalu. Pelaksanaan KTSP mengasumsikan guru mempunyai kompetensi untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan konteks siswa mereka di tingkat satuan pendidikan masing-masing. Menurut Anita Lie, banyak kepala sekolah dan guru di daerah-daerah terpencil yang tidak paham tentang KTSP yang telah digariskan pemerintah itu.

Faktanya, sejak setahun KTSP itu diluncurkan dan diterapkan, ternyata belum tampak adanya perubahan yang signifikan dalam pola pengajaran di sekolah-sekolah, apalagi untuk daerah terpencil. "Untuk menyusun saja mereka belum tahu, lalu bagaimana mereka mengembangkannya. Karena itu kami mencoba mengajak mereka untuk menyusun bagaimana kurikulum itu disusun," katanya. Untuk kepentingan itu, pelatihan lebih banyak diisi dengan simulasi-simulasi permainan quiz yang menarik dan bisa diterapkan untuk berbagai mata pelajaran untuk merangsang murid mengetahui materi yang ditanyakan gurunya ataupun praktek berdemokrasi dalam skala kelas.

Berbagai simulasi itu dimaksudkan agar para guru mampu menerapkan pola belajar yang menarik bagi murid serta kreatif dalam melakukan perubahan bagi praktek-praktek pengajaran di kelas ataupun manajerial di sekolah. Terkait penyusunan KTSP, para guru diwajibkan menyusun strategi pembelajaran untuk bidang studi pilihan, yakni matematika dan IPA atau IPS dan bahasa serta selanjutnya menuangkannya dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan silabus sekolah yang akan mereka laksanakan seusai pelatihan tersebut.

Marson, guru di SDN 017 Sembakung, mengatakan bahwa melalui RPP yang dikontrol oleh setiap kepala sekolah itu sangat membantunya dalam memberikan materi pelajaran kepada murid-muridnya. "Sebelumnya kita hanya mengajar dengan materi yang diambil dari buku-buku saja. Sekarang guru dituntut untuk menyusun RPP ini. Dengan begitu ada pedoman yang bisa kita gunakan," katanya. Pasca pelatihan, program pengajaran yang telah disusun masing-masing guru itu harus dilaksanakan di sekolah masing-masing selama periode September 2008 hingga Januari 2009.

"Nanti pada tahap kedua kita akan melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah peserta pelatihan ini dan memantau apakah RPP yang mereka buat kali ini dilaksanakan atau tidak," ujar Anita Lie. Selanjutnya pada tahap akhir program, para peserta pelatihan profesionalisme guru akan saling mengevaluasi dan berbagi pengalaman atas berbagai program yang telah mereka lakukan tersebut. Pesan yang ingin ditekankan adalah berada di daerah terpencil bukanlah hambatan bagi sebagian guru untuk mengembangkan berbagai teknik mengajar siswa dengan pola yang menarik dan diminati murid-murid dibangku sekolahnya. Selain itu para "pahlawan tanpa jasa" dari daerah-daerah terpencil yang telah mendapatkan pembekalan dan pemberdayaan tersebut, diharapkan menjadi agensia-agensia perubahan yang efektif bagi komunitas yang sama.(Antara)

Definisi mengenai kelompok minoritas sampai saat ini belum dapat diterima secara universal. Namun demikian yang lazim digunakan dalam suatu negara, kelompok minoritas adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk. Minoritas sebagai ‘kelompok’ yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya dari negara bersangkutan dalam posisi yang tidak dominan. Keanggotaannya memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit sikap solidaritas yang ditujukan pada melestarikan budaya, tradisi, agama dan bahasa.

Sehubungan dengan hal tersebut beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini sering muncul kerusuhan sosial yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Hal ini merupakan masalah yang sangat serius apabila tidak segera diselesaikan akan dapat mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi berbagai daerah di Indonesia adalah masih banyak terjadi diskriminasi terhadap hak-hak kelompok minoritas, baik agama, suku, ras dan yang berkenaan dengan jabatan dan pekerjaan bagi penyandang cacat, sehingga sampai saat ini dirasakan masih ‘belum terpenuhinya hak-hak kelompok minoritas’.

Permasalahan yang dihadapi di berbagai daerah Indonesia adalah masih banyak diskriminasi terhadap kelompok minoritas baik etnis maupun agama, padahal mereka sebagai masyarakat atau suku bangsa harus diberlakukan sama dengan kelompok mayoritas lainnya.

Dalam rangka pemajuan dan perlindungan kaum minoritas antara lain adanya larangan diskriminasi karena diskriminasi berdampak negatif pada kaum minoritas secara politik, sosial, budaya dan ekonomi serta merupakan sumber utama terjadinya ketegangan. Diskriminasi berarti menunjukan perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pengistimewaan apapun berdasarkan alasan seperti ras, warna kulit, bahasa, agama atau asal-usul kebangasaan atau sosial, status kelahiran atau status lainnya, yang mempunyai tujuan atau pengaruh untuk meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan, pemenuhan semua hak dan kebebasan dari semua orang yang setara.

Rambu-rambu perlindungan yang penting yang akan menguntungkan kaum minoritas mencakup pengakuan sebagai pribadi dihadapan hukum, persamaan dihadapan badan-badan pengadilan, persamaan dihadapan hukum, perlindungan hukum yang sama disamping hak penting seperti kebebasan beragama, menyatakan pendapat dan berserikat.

Dalam hubungan ini telah banyak diberlakukan berbagai peraturan perundangan sebagai instrumen hukum dan HAM nasional disamping instrumen HAM Internasional, seperti: (a) Konvenan Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras 1965 (Pasal 1); (b) Deklarasi UNESCO tentang Ras dan Prasangka Ras 1978 (Pasal 1, 2 dan 3); dan (c) Deklarasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan 1981 (Pasal 2).

Sedangkan penjelasan ketentuan umum Undang-undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999, diskriminasi adalah pembatasn, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.

Secara normatif bentuk perlindungan hukum telah diatur melalui instrumen internasional maupun nasional yang berkaitan dengan HAM terhadap kelompok minoritas, namun dalam implementasi masih dinilai perlu untuk menjadi perhatian bersama. Hal ini mencakup pola interaksi antara kelompok minoritas dengan kelompok lainnya untuk dilakukan dengan baik berlandaskan azas keterbukaan dan toleransi terhadap tata nilai semua kelompok yang ada di masyarakat.