78
WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI’I) Skripsi Diajukan pada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Mujahiddin Nur NIM : 1112044100024 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

WALI MUJBIR

(STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN

MAZHAB SYAFI’I)

Skripsi

Diajukan pada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Mujahiddin Nur

NIM : 1112044100024

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

ii

WALI MUJBIR

(STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN

MAZHAB SYAFI’I)

Skripsi

Diajukan Ke Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Oleh:

Mujahiddn Nur

NIM: 1112044100024

Pembimbing

Dr. Hj. Azizah, M.A.

NIP: 19630409 198902 2 001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDATULLAH

JAKARTA

2019 M / 1440 H

Page 3: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul Wali Mujbir (Studi Perbandingan Antara Mazhab

Hanafi Dan Mazhab Syafi’i) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada

tanggal 24 Juli 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 24 Juli 2019

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi, M.A.

NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua Dr. Mesraini, M.Ag. (…………………….)

NIP. 19760213 200312 2 001

2. Sekretaris Ahmad Chairul Hadi, M.A. (………………….....)

NIP. 19720531 200710 1 002

3. Pembimbing Dr. Hj. Azizah, MA (…………………….)

NIP. 19630409 198902 2 001

4. Penguji I Dr. Moh. Ali Wafa, M.A. (…………………….)

NIP. 19730424 200212 1 007

5. Penguji II Hj. Rosdiana, M.A. (…………………….)

NIP. 19690610 200312 2 001

Page 4: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Mujahiddin Nur

NIM : 1112044100024

Fakultas : Syari‟ah dan Hukum

Jurusan : Hukum Keluarga

Dengan skripsi ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana satu (S1) di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

LEMBAR PERNYATAAN

Jakarta, 24 Juli 2019

Mujahiddin Nur

Page 5: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

v

ABSTRAK

MUJAHIDDIN NUR. NIM 1112044100024, WALI MUJBIR (STUDI

PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI‟I).

Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan

Hukum

Skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan (library reseach) berupa

skripsi komparasi pemikiran mazhab Hanafi dengan mazhab Shafi , tentang

konsep wali mujbir. Penulis menemukan masalah berupa, pertama Bagaimana

persamaan dan perbedaan konsep Wali Mujbir dalam Mazhab Hanafi dan Mazhab

Syafi‟i, kedua Bagaimana metode istinbath Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I

tentang wali mujbir.

Mazhab Hanafi beralasan bahwa, adanya wali mujbir sangat dibutuhkan.

Karena, hal tersebut untuk memberikan kemaslahatan dan mewakili orang yang

berada di dalam perwaliannya dalam bertasarruf. Begitu juga dengan mazhab

syafi‟i bahwa wali mujbir merupakan hal yang sangat penting, karena wali mujbir,

akan membantu anak gadisnya dalam hal perkwainan. Menurut mazhab Hanafi

yang berhak menjadi wali mujbir adalah semua wali dari jalur ayah, sedangkan

wali mujbir hanya bisa diberlakukan untuk anak perempuan yang belum baligh.

Mazhab Hanafi juga memberlakukan persyaratan bagi wali mujbir, yakni harus

bisa mendatangkan calon suami yang sekufu bagi anak perempuanya. Sedangkan

perwalian untuk orang gila semua perwaliannya wali mujbir. mujbir hanyalah

bapak, dan kakek. Menurut mazhab Syafi‟i bahwa selama anak perempuan

tersebut masih berstatus gadis (al-bikr) maka hak seorang wali masih ada, batasan

gadis (al-bikr) menurut mazhab Syafi‟i yaitu selama perempuan tersebut belum

pernah bersetubuh (jima‟), walaupun bersetubuhnya secara zina maka orang

tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i ini

memasukan seorang gadis yang dicerai suaminya tetapi belum pernah disetubuhi

(qobla dukhul), karena secara hakikatnya perempuan tersebut masih berstatus

gadis (al-bikr),

Mujbir memiliki perbedaan, yaitu terkait orang yang berhak menjadi wali

mujbir, serta alasan hukum terkait obyek wali mujbir, persyaratan bagi wali

mujbir, sedangkan persamaan di antara kedua Mazhab tersebut adalah tentang

perwalian mujbir terhadap orang gila.

Untuk Wali mujbir, sebaiknya sebelum menikahkan anak gadisnya dengan

calon suami pilihanya, anak perempuan tersebut, dimintai izin terlebih dahulu,

serta diberi waktu untuk mengenal calon suaminya. Agar rumah tangganya nanti

tentram, penuh dengan cinta kasih, serta sakinah, mawaddah wa rahmah.

Kata Kunci : Perbandingan, Wali Mujbir, Mazhab Syafi‟I dan Hanafi

Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A.

Daftar Pustaka : 1974 sampai 2015

Page 6: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat, hidayah serta nikmat-Nya, baik jasmani maupun rohani sehingga penulis

mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik. Sholawat serta salam

semoga Allah SWT selalu melimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW

selaku pemimpin dari seluruh pemimpin. Sehingga dengan segala perjuangan

Beliau dalam menegakkan agama Islam kita semua dapat menjadikan perjuangan

beliau sebagai suri tauladan bagi kita semua.

Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan rintangan yang

penulis hadapi, tetapi dengan izin Allah SWT, kerja keras serta usaha dan do‟a

dari orang tua, guru dan teman-teman seperjuangan saya mampu menyelesaikan

skripsi dengan baik dan semoga skripsi ini mampu memberi manfaat bagi penulis

dan pembaca.

Oleh karena itu sudah sewajarnya penulis pada kesempatan ini ingin

mengungkapkan rasa terima kasih yang begitu mendalam kepada.

1. Prof. Dr. Amani Lubis, MA selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. H. Ahmad Tholabi, MA selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum

3. Dr. Mesraini, M.Ag. dan Ahmad Chairul Hadi, M.A.selaku Ketua dan

Sekretaris Program Studi Ahwal As-Syakhshiyyah Fakultas Syari‟ah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Dr. Hj. Azizah, MA. selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan

segala perhatiannya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini

5. JM Muslimin, MA., Ph.D selaku dosen penasehat yang telah memberikan

pengaruh serta dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan

skripsi

Page 7: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

vii

6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pada lingkungan Program Studi Ahwal As-

Syakhsiyyah Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan banyak ilmu kepada penulis

selama menjadi mahasiswa.

7. Pimpinan perpustakaan universitas perpustakaan fakultas yang telah

memberi fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan.

8. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Drs. La Sawe, M.Pd.I. dan Ibu

Drs. Zainab selaku pemberi semangat, do‟a dan support, baik materi

maupun non materi kepada penulis, semoga Allah Swt selalu melindungi

mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak dan membalas segala jasa-

jasa beliau yang telah diberikan untuk anak-anaknya.

9. Teruntuk Kakak Hasriwati, Kakak Nur Hasanah, Adik Nur Faizah, dan

adik Nur Asy-syifa Sebagai kakak dan adik penulis yang menjadi obat

pelipur lara di saat penulis mulai jenuh dengan penelitian ini

10. Kepada teman-teman seperjuangan angaktan 2012, khususnya kepada,

Hilmi, Anam dan Al dll yang telah banyak menemani dan memberikan

masukan bagi penulis baik di kosan, perpus pasca maupun perpus fakultas

untuk menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Amal dan kebaikan mereka semua dibalas Allah SWT dengan

balasan yang berlipat ganda dan penulis berharap semoga skripsi ini mampu

memberikan manfaat yang besar bagi penulis maupun bagi pembaca.

Jakarta, 24 Juli 2019

Mujahiddin Nur

Page 8: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 4

C. Pembatasan, dan Perumusan Masalah............................................ 5

D. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6

E. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................. 7

G. Kerangka Teori dan Konseptual..................................................... 9

H. Metode Penelitian......................................................................... 10

I. Sistematika Penulisan ................................................................. 12

BAB II : WALI MUJBIR DALAM MAZHAB HANAFI ............................. 14

A. Profil Mazhab Hanafi ................................................................... 14

1. Biografi Singkat ..................................................................... 14

2. Metode istinbath Hukum Wali Mujbir ................................... 15

B. Pengertian Wali Mujbir ................................................................ 18

C. Syarat-Syarat Wali Mujbir ........................................................... 21

D. Tartib Wali Mujbir dalam Mazhab Hanafi.................................. 23

BAB III : WALI MUJBIR DALAM MAZHAB SYAFI’I .............................. 25

A. Profil Mazhab Syafi‟I ................................................................... 25

1. Biografi Singkat ...................................................................... 26

2. Metode istinbath Hukum Wali Mujbir .................................... 26

B. Pengertian Wali Mujbir ................................................................ 30

Page 9: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

ix

C. Syarat-Syarat Wali Mujbir ........................................................... 31

D. Tartib Wali Mujbir dalam Mazhab Syafi‟I ................................. 33

BAB IV : PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN

MAZHAB SYAFII TENTANG WALI MUJBIR ............................. 36

A. Persamaan Pendapat antara Mazhab Hanafi dan Mazhab

Syafi‟I…………………………………………………………...36

B. Perbedaan Pendapat antara Mazhab Hanafi dan Mazhab

Syafi‟I…………………………………………………………...37

BAB V : PENUTUP .......................................................................................... 63

A. Kesimpulan .................................................................................. 63

B. Saran-saran ................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 66

Page 10: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Madzhab Hanafi berpandangan bahwa seorang wali tidak boleh

memaksa menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa. Hal itu

menunjukkan bahwa wali tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya.

Apabila hal itu dilakukan maka nikahnya dihukumi mauquf (digantungkan

keabsahannya). Oleh karena itu hak wali mujbir yang dikenal dalam

pandangan Abû Hanîfah adalah hanya bagi gadis atau janda yang masih kecil

(belum baligh) karena wanita yang telah dewasa dianggap telah mampu

menentukan pasangan hidupnya tanpa perlu persetujuan dari wali.1 Apabila

anak gadis yang telah baligh tersebut menolak dinikahkan maka akad

pernikahan pun tidak diperbolehkan.2

Sementara mazhab Maliki, Syafi„i dan Hanbali melarang perempuan

menikahkan dirinya dan hanya laki-laki yang boleh menjadi wali nikah.

Konsekuensi lebih jauh dari hal tersebut, hanya Hanafîyah yang tidak

mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai perempuan secara mutlak

untuk menikah, sementara mazhab Maliki, Syafi„i, dan Hanbalî, mengakui

adanya hak ijbar wali, hak wali menikahkan perempuan tanpa persetujuan dari

perempuan tersebut.3 Hak ijbar disini adalah hak memaksa seorang wali

1 Abî Muhammad Mahmȗd bin Muhammad al-ʻAini, Al-Binậyaṫ fi Syarh al-Hidậyaṫ, (Beirut:

Dậr al-Fikr. 1990), cet. Ke-2, Juz IV, h., 584. 2 Syamsuddin al-Syarkhasi, Al-Mabsȗth, (Beirut: Dậr al-Maʻrifah., t.t), Juz V, h., 2.

3 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim

(Yogyakarta : Academia + Tazzafa, 2004), h., 69-126.

Page 11: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

2

terhadap anak perempuannya, dalam hal ini orang yang berhak tersebut

diistilahkan dengan wali mujbir, yang dimaksudkan adalah ayah atau kalau

tidak ada, kakek.4

Secara umum kerangka perwalian pernikahan berada dalam bingkai

pemikiran bahwa penentuan calon pendamping baik istri maupun suami

merupakan masalah yang paling serius bagi yang berhasrat akan menikah.

Proses ini hendaknya dilakukan dengan penuh kehati-hatian, karena akan

mempengaruhi secara langsung terhadap tujuan pencapaian perkawinan yang

diidealkan. Bagaimana ulama modern memandang perwalian, terutama wali

mujbir, dalam pernikahan ?, dalam hal ini, Sahal Mahfudh salah seorang

ulama fiqih Indonesia kontemporer berpendapat bahwa, si anak berhak

menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya,

orang tua juga berhak menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan

laki-laki yang tidak setara. Jika seorang perempuan mempunyai hasrat

menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak

atau melakukan al-adul. Yang dimaksud setara atau dalam bahasa arabnya al-

kufu ialah sederajat atau setingkat dalam aspek, nasab status (kemerdekaan,

profesi, dan agama).5

Persoalan yang muncul kemudian adalah ketika dalam praktiknya,

perbuatan memaksa dari seorang wali yang berlindung dibalik hak ijbār hanya

dijadikan sebagai alat untuk memaksa anaknya menikah dengan pilihan

4 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender

(Yogyakarta : LKiS, 2001), h., 93 5 Sahal Mahfudh,Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista,2010), h., 241

Page 12: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

3

walinya tersebut tanpa disertai izin dan rasa rida dari anak atau orang yang

berada di bawah perwaliannya. Berkenaan dengan ketentuan wali mujbir

tersebut, mayoritas ulama fikih, seperti kalangan Mālikiyah, Syāfi„iyah,

Ḥanabilah serta Ẓahiriyah membolehkan hak ijbār dilakukan seorang wali

terhadap anak maupun orang yang berada di bawah perwaliannya untuk

menikah meskipun tanpa disertai izin anak tersebut.

Alasan lain yang menunjukkan kekuasan seorang ayah untuk

menikahkan anak gadisnya adalah pada hadist yang diriwayatkan oleh

„Aisyah:

ثثذأعجعذعأبثملسو هيلع هللا ىلصاج:ىذذببلعبعهللرضسخشبئعع

اثخرغعأب

Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata, “Nabi SAW menikahiku,

sedang aku berusia enam tahun atau tujuh tahun, dan beliau mulai berkumpul

denganku ketika aku berusia sembilan tahun. 6

Berbeda halnya dengan Mazhab Hanafi (Hanafiyah) yang

membolehkan perempuan dewasa menikahkan dirinya sendiri, dan

membolehkan perempuan menjadi wali nikah7 yang tertuang dalam

pernyataan beliau:

ل٠خ وزاهاىج١شحلبيأثد١فخ: اظغ١شحثىشاوبذأث١جب, ل٠خع اججبسا

شللخ خا اعز

6 As-Syafi‟i, Al-Umm, terj. Rosadi Imron, dkk., h., 433

7 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan:Refelksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender

(Yogyakarta : LKiS, 2001), h., 93

Page 13: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

4

Artinya: Imam Abu Hanifah berkata: “Perwalian ijbar ialah perwalian kepada

wanita kecil baik perawan maupun janda, begitu juga wanita yang telah

dewasa akan tetapi kurang waras , dan perwalian terhadap budak perempuan.8

Hal ini tentunya wali mujbir memiliki peran yang sangat penting

dalam menentukan pernikahan dari anak perempuan yang menjadi

perwaliannya, di kalangan ulama juga masih berbeda pendapat sehingga dalil

dan dasar hukum yang diberikan terhadap permasalahan ini berbeda-beda

pula. Perbedaan tersebut tentunya terlihat dari pernyataan berbagai pandangan

dan pemahaman dari ke dua imam mazhab yang menjadi subjek dalam

penelitian ini yakni Imam Abu Hanifah dan imam syafii. Yang mana kedua

imam mazhab tersebut memiliki metode dan pendekatan yang berbeda dalam

permasalahan wali mujbir. Karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas

“Wali Mujbir (Studi Perbandingan antara Mazhab Hanafi dan Mazhab

Syafi’i)”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas penulis mencoba

mengidentifikasi permsalahan yang ada dalam judul permasalahan ini sebagai

berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan wali mujbir ?

2. Siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai wali mujbir ?

3. Apa saja hal yang menjadi pertimbangan antara Mazhab Hanafi dan

Mazhab Syafi‟I dalam mengemukakan pendapat ?

8 Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah,

1995), h.,246

Page 14: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

5

4. Apa dalil argumentasi yang digunankan Mazhab Hanafi dan Mazhab

Syafi‟i terkait permasalahan wali mujbir ?

5. Bagaimana para ulama memberikan pendapat tentang wali mujbir ?

6. Bagaimana pengaruh pendapat kedua mazhab tersebut terhadap hukum

perkawinan Indonesia ?

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis menganggap

perlu adanya pembatasan masalah yang menjadi focus pembahasan dalam

skripsi ini, guna mengefektifkan dan memudahkan pengolaan data, maka

penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada seputar

pembahasan tentang Sudut pandang Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii

terkait wali mujbir.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi masalah pokok dalam

penelitian ini adalah bagaiaman konsep wali mujbir dalam pandangan

mazhab hanafi dan mazhab syafi‟I. untuk menjawab masalah pokok ini

maka penulis akan merumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana persamaan dan perbedaan konsep Wali Mujbir dalam

Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I ?

2. Bagaimana metode istinbath yang dilakukan Mazhab Hanafi dan

Mazhab Syafi‟I dalam penetapan wali mujbir?

D. Tujuan Penelitian

Page 15: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

6

Sebagaimana rumusan masalah di atas tujuan dari kajian ini adalah:

1. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan konsep Wali Mujbir dalam

Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I

2. Untuk mengetahui metode istinbath yang dilakukan Mazhab Hanafi dan

Mazhab Syafi‟I dalam penetapan wali mujbir

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan kajian ini bermanfaat bagi perkembangan khasanah

ilmu pengetahuan syar’i umumnya berkaitan dengan wali dan lebih

khususnya hukum islam

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi Mahasiswa

Diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan wawasan keilmuan dan

keahlian, khususnya terkait wali mujbir dalam permasalahan umat.

b. Bagi Peneliti

Dapat melatih kemampuan diri dalam menerapkan teori yang telah

diterima selama kuliah memperdalam dan meningkatkan keterampilan

serta kreativitas dalam berfikir dan dapat memecahkan permasalahan

yang dihadapi dengan topik yang diangkat.

c. Bagi Fakultas Syariah dan Hukum

Dapat menambah hasil penelitian yang aktual terhadap permasalahan

umat serta meningkatkan pemahaman secara komprehensif terkait dengan

wali mujbir terhadap permasalahan kontemporer dalam hukum islam.

Page 16: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

7

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Analisis Kedudukan Wali Mujbir dalam Hukum Perkawinan

Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Skripsi yang disusun Imam Puji Dwisatriyo, Fakultas Hukum,

Universitas Pasundan. Skripsi ini mengangkat pembahasan terkait kedudukan wali

mujbir yang terdapat dalam hukum perkawinan di Indonesia yakni UU Nomor 1

tahun 1974 dan hukum islam. Permasalahan utama yang dibahas dalam skripsi ini

bagaimana hukum islam dan UU No. 1 tahun 1974 memberikan gambaran hukum

terkait dengan kedudukan seorang wali mujbir. Sedangkan perbedaannya adalah

pada pola dan metode penelitian dalam skripsi penulis penulis adalah studi

komparatif dimana penulis mencoba membandingkan konsep dua pemikiran

imam mazhab antara Imam Abu Hanifah dan imam syafi‟i

Wali Mujbir dalam Pernikahan (Studi Perspektif Teori Gender)

skripsi disusun oleh Ade Rahma Fakultas Syari‟ah Institut Agama islam Negerii

(IAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa. Skripsi membahas tentang bagaimana wali

mujbir dalam pernikahan dilihat dari perspektif teori gender. Permasalahan utama

yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk keadilan yang disajikan

teori gender terhadap wali mujbir yang pada dasarnya memiliki kekuasaan

terhadap perwaliaannya yakni anak perempuan yang dimilikinya. Adapun

persamaan dengan skripsi yang ditulis penulis adalah adanya pembahasan sub

objek penelitian yang sama yaitu terkati dengan Wali Mujbir, sedangkan

perbedaannya adalah pada objek penelitiannya yaitu dalam skripsi ini penulis

Page 17: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

8

mengkaji pemikiran dua imam mazhab dan disisi yang lain skripsi yang disusun

ole ade rahma ini memberikan gambaran terkait perspektif teori gender mengenai

wali mujbir sedangkan penulis memberikan kajian perbandingan pemikiran antara

Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i.

Wali Nikah dalam Perspektif Dua Mazhab dan Hukum Positif skripsi

yang disusun oleh Achmad Hadi Sayuti, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi ini membahas secara global tentang wali

nikah menurut dua mazhab yaitu Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i dan

Imam Abu Hanifah serta peran hukum positif terkait dengan wali nikah tersebut.

Persamaan dengan skripsi yang penulis tulis terletak pada objek penelitian yaitu

terkait dengan pemikiran Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i dan Imam

Abu Hanifah tentang perwalian, perbedaannya terletak pada pembahasan wali

nikah yang disajikan Achmad Hadi Sayuti, dalam skrispsi tersebut hanya

membahas secara global atau secara umum dari berbagai macam bentuk

perwalian, syarat, penjelasan, serta pandangan menurut Imam Abu Abdullah

Muhammad Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah, sedangkan dalam skripsi yang

penulis sajikan adalah pembahasan secara intens terkait dengan wali mujbir dalam

perbandingan konsep pemikiran Imam Abu Hanifah dan syafi‟i

Studi analisis terhadap pendapat, KH. Ma. Sahal Mahfud tentang

wali mujbir, ditulis oleh Imamul Muttaqin, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam

penelitian kepustakaan ini penulis menggunakan teknik dokumenter dengan

memakai metode deskriptif dan pola pikir deduktif. Hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh terkait dengan wali

Page 18: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

9

mujbir ini, bahwa anak berhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan

setara tanpa persetujuannya serta orang tua juga berhak menolak keinginan anak

gadisnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Sedangkan metode

istinbat KH. MA. Sahal Mahfudh adalah dengan menggunakan metode tekstual

(maz|hab qauly) dan kedua adalah metode kontekstual/metodologis (manhajy)

sekaligus. Di samping itu, nilai maslahah juga dijadikan istinbat KH. Sahal dalam

menggali sebuah hukum. Sementara itu, analisis terhadap pendapat KH. MA.

Sahal Mahfudh tentang wali mujbir menyimpulkan bahwa pendapat KH. MA.

Sahal Mahfudh tentang hak ijbar oleh orang tua lebih mengedepankan maslahah

(kemaslahatan). Persamaan dengan skripsi penulis terletak pada sub objek

penelitiannya yaitu wali mujbir, dan perbedaannya dalam jurnal ini membahas

satu pendapat sedangkan penulis membahas dua pendapat dan

membandingkannya atau disebut dengan studi komparatif.

G. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Studi komparatif: sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari

jawaban secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan menganalisa

faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena

tertentu9

2. Wali, adalah orang yang memiliki kuasa penuh untuk menjalankan suatu

akad nikah atau mengawinkan seseorang perempuan. Wali juga berhak

untuk melangsungkan sendiri sesuatu akad nikah itu ataupun

mewakilkannya kepada juru nikah. Wali nikah terbahagi kepada 2 jenis

9 M. Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.,68.

Page 19: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

10

yaitu wali nasab, wali hakim. Wali nikah menurut Kompilasi Hukum

Islam adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni

Muslim, aqil, baligh.10

Dalam istilah fikih, wali (wilayah) terbagi dua,

yaitu Wilayah „Ammah (umum, yaitu pimpinan pemerintahan), dan

Wilayah Khashshah (khusus), yang di antara bentuknya adalah perwalian

dalam pernikahan.11

Adapun perwalian yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah perwalian dalam pernikahan.

3. Mujbir, yaitu ayah kandung dari perempuan. Hak untuk memaksa anak

perempuan untuk menikah hanya dimiliki oleh ayahnya. Sedangkan wali

selain ayahnya tidak memiliki hak paksa. Ayah dalam hal ini disebut wali

mujbir (wali yang memaksa).12

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis kajian yang digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan

library research atau kajian pustaka yaitu telaah yang dilaksanakan untuk

memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan

kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka dan hasil-hasil penelitian

yang terkait dengan topik (masalah) kajian13

2. Pendekatan Penelitian

10

Instruksi Presiden RI, Nomor 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta

: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h.,

20. 11

Mahmud Abdurrahman Abdul Mun‟im, Mu‟jam al-Mushthalahat wa al-Alfadz al-

Fiqhiyyah, (Kairo: Dar al-Fadhilah, 1401 H/ 1981 M ), j. 3, h., 500 12

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/ 1989 M), j. 6,

h., 245. 13

Departemen Agama STAIN Tulungagung, Pedoman Penyusunan Skripsi, (Tulungagung: Depag,

2009), h.,35.

Page 20: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

11

Pendekatan penelitian pada kajian ini adalah kualitatif, yaitu penelitian

yang dilakukan untuk menghasilkan data deskriptif yang berupa fakta-fakta

tertulis atau lisan dari orang atau pelaku yang diamati.14

3. Sumber Data

a. Data primer : Kitab al-Mabsuth al-Syarkhasy, al-Jum‟i al kabir, al-Jum‟i

as-Shagir, kitab al-Umm, Kitab ar-Risalah.

b. Data Sekunder : kitab al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu karya Wahbah az-

Zuhaili, data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari

data yang kita butuhkan15

, yaitu buku-buku yang mendukung atau

pelengkap, khususnya buku fiqih dan ushul fiqih.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dari hal-hal yang akan

dibahas adalah dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel

yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, fatwa,

lengger, agenda dan sebagainya.16

5. Analisis data

Bentuk analisis data dalam skripsi ini adalah Metode komparatif yakni

dengan cara membandingkan suatu fakta dengan fakta yang lain sehingga

diketahui suatu persamaan dan perbedaannya, sebagaimana yang

dikemukakan Aswari Sudjud bahwa penelitian komparasi akan dapat

menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan- perbedaan tentang benda-

14

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.,18. 15

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h.,122. 16

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka

Cipta, 2006), h.,231

Page 21: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

12

benda, tentang orang-orang, tentang prosedur kerja, tentang ide-ide, kritik

terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur kerja.17

I. Rancangan Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran secara global

mengenai apa yang akan dibahas, penulisan skripsi ini penulis bagi dalam lima

bab. Dalam tiap-tiap bab dibagi kedalam sub bab sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

review terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode penelitian, rancangan

sistematika penelitian

BAB II dalam bab ini penulis memberikan gambaran terkait dengan

mazhab Hanafi yang isi pembahasannya terdiri dari Wali Mujbir Dalam Mazhab

Hanafi, Profil Mazhab Hanafi, Pengertian Wali mujbir, Syarat-Syarat Wali

Mujbir, dan Tartib Wali Mujbir dalam Mazhab Hanafi

BAB III dalam bab ini penulis memberikan gambaran terkait dengan

mazhab Hanafi yang isi pembahasannya terdiri dari Wali Mujbir Dalam Mazhab

Syafi‟i, Profil Mazhab Syafi‟i, Pengertian Wali mujbir, Syarat-Syarat Wali

Mujbir, dan Tartib Wali Mujbir dalam Mazhab Syafi‟i

BAB IV dalam bab ini penulis mencoba memberikan perbandingan

pandangan antara Mazhab Janafi dan Mazhab Syafi‟I yang terdiri dari Persamaan

dan Perbedaan Pendapat Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I, Metode Istinbath

17

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, h., 267.

Page 22: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

13

Hukum yang dipakai Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I dalam penetapan wali

mujbir, dan Penerapan Konsep Wali Mujbir dalam Perkawinan di Indonesia.

BAB V setelah semua pokok pembahasan telah dijelaskan di bab-bab

sebelumnya, maka di dalam bab ini penulis membahas penutup adalah bab

Penutup, terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran.

DAFTAR PUSTAKA

Page 23: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

14

BAB II

WALI MUJBIR DALAM MAZHAB HANAFI

A. Profil Mazhab Hanafi

1. Biografi Imam Abu Hanifah

Pendiri mazhab hanafi adalah imam Abu Hanifah al-Nu‟man bin

Tsabit, lahir di Irak pada tahun 80 H/699 M pada masa pemerintahan Bani

Umayyah, yaitu pada masa Abdul Malik bin Marwan.18

Beliau diberi julukan

Abu Hanifah, karena beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada

Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama, karena

“Hanif” dalam bahasa Arab artinya cenderung atau condong kepada agama

yang benar.19

Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa beliau terkenal

dengan sebutan Abu Hanifah, bukan karena mempunyai putra bernama

Hanifah, akan tetapi asal nama itu dari Abu al-Millah al-Hanifah, diambil dari

ayat “Fattabi‟u Millata Ibrahima Hanifa ”.20

(Maka ikutilah agama Ibrahim

yang lurus. Ali Imran ayat 95).

Imam Abu Hanifah bukan orang Arab, tetapi keturunan orang Persia

yang menetap di Kufah. Ayahnya dilahirkan pada masa Khalifah Ali.

Kakeknya dan ayahnya didoakan oleh Imam Ali agar mendapatkan keturunan

yang diberkahi Allah SWT. Pada waktu kecil beliau menghafal Al-Qurán

seperti yang dilakukan anak-anak pada masa itu, kemudian berguru kepada

18

Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam Madzhab-Imam Abu Hanifah, (Jakarta:

Lentera Hati, Jil.1, 2013), h.,2 19

Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. 5, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1986), h., 19 20

Hadi Hussain M. Imam Abu Hanifah Life and Work, Institute of Islamic Culture,

(Pakistan: Lahore, 1972). H., 10 dikutip dari A. Djazuli, Ilmu Fiqh “Penggalian, Perkembangan

dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, cet. 9, 2013), h., 125

Page 24: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

15

Imam Ashim salah seorang Imam Qiro‟ah Sab‟ah. Keluarganya adalah

keluarga pedagang, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila al-Nu‟man

pun kemudian menjadi pedagang.21

2. Metode Istinbat Hukum Wali Mujbir

Metode istinbat Imam Abu Hanifah tentang wali mujbir, yaitu

pertama beliau menggunakan ayat Al-Qur‟an sebagai dasar hukum, yaitu

pada surat al-Baqarah: 232:

أج فجغ اغبء طمز إرا ث١ ا رشاض إرا اج أص ىذ ٠ أ رعض فال

عشف ثب

Artinya: “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya,

maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan

bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara

yang makruf.”22

Ayat tersebut merupakan dalalah larangan bagi para wali untuk

menghalangi perkawinan seorang wanita dengan laki-laki pilihannya yang

sekufu (setara), akan tetapi wali boleh keberatan jika laki-laki yang dipilihnya

tidak sekufu. Kemudian pada surat al-Baqarah: 230:

أ ب ع١ جبح فال طمب فئ غ١ش جب ص ىخ ر دز ثعذ رذ فال طمب فئ

بدذدللا ٠م١ ظبأ ٠زشاجعبإ

Artinya: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang

kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan

suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka

tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin

21

A. Djazuli. Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Edisi Revisi,

Cetakan ke-VI. Jakarta: Prenada Media Group, 2006., h., 126 22

Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, (Bandung: Jabal Raudlatul Jannah, 2010)

Page 25: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

16

kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum

Allah.” (QS. Al-Baqarah:230)23

Dari kedua ayat diatas, yaitu surat al-Baqarah ayat 232 dan 230

menunjukkan bahwa pernikahan merupakan hak kedua mempelai, dan

diperbolehkan bagi seorang wanita menikah atas dirinya, dengan tanpa wali.

Wali tidak diperbolehkan menghalangi pernikahan tersebut, apabila kedua

mempelai telah bersepakat untuk menikah.24

Kemudian yang kedua, Imam Abu Hanifah menggunakan hadits Nabi

yang sangat populer, yaitu pada hadits:

م عاثعجبطلبي:لبيسطيللاص..: ي أدكثفغب١باجىشرغزأرالأ

ففغبإربطبرب,فسا٠خألثداداغبئ:١ظعاث١تأش

ا١ز١خرغزأ)ساثخشغ(25

Artinya: " Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda: " seorang

Perempuan dewasa lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak

gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu

riwayat Abu Daud dan An- Nasa'I: "Tidak ada urusan wali terhadap janda;

dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)"(HR. Bukhori dan

Muslim)

Lafadz Al-Ayyim diatas, menurut Imam Abu Hanifah bermakna

seorang perempuan yang tidak memiliki suami, baik masih perawan maupun

janda. Oleh karenanya hadits ini menunjukkan bahwa seorang perempuan

memiliki hak untuk melaksanakan sendiri akad perkawinannya.26

Para ulama

23

Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, (Bandung: Jabal Raudlatul Jannah,

2010) 24

Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani, Badai‟Shanai‟, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, Juz III,

1997, h., 373 25

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Terjemah), (Semarang : CV. Asy- Syifa‟, 1990),Cet. Ke-

1, h., 367 26

Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h., 184-185

Page 26: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

17

Kufah dan Zufar juga berpendapat bahwa lafadz al-Ayyim bermakna setiap

perempuan yang tidak bersuami, maka setiap perempuan yang sudah baligh

lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan akad nikah yang ia

laksanakan atas dirinya sendiri adalah sah. Pendapat ini senada dengan Asy-

Sya‟bi dan Az-Zuhri, mereka beralasan bahwa wali itu tidak termasuk rukun

nikah, namun hanya sebatas penyempurna saja.27

Al-Ayyim pada lafadz tersebut termasuk lafadz yang musytarak

(memiliki arti lebih dari satu). Bisa bermakna janda dan bisa juga bermakna

seorang wanita yang tidak bersuami (gadis atau janda). Adanya arti ganda

tersebut itu menghasilkan hukum yang berbeda. Untuk mengetahui

maksudnya secara pasti diperlukan adanya qarinah yang akan

menjelaskannya.

Kemudian pada lafadz al-Bikr, Imam Abu Hanifah memaknai secara

majazi yaitu wanita yang masih kecil. Lafadz al-Bikr secara haqiqi bermakna

perawan. Perawan atau gadis adalah perempuan yang belum mempunyai

suami dan belum pernah melakukan persetubuhan.

Imam Abu Hanifah berhujjah dengan menggunakan qiyas (analogi),

yaitu mengqiyaskan nikah dengan jual beli yang tidak membutuhkan

keberadaan seorang wali, dan mengatakan bahwa hadits yang mensyaratkan

wali tersebut diperuntukkan bagi budak perempuan dan gadis yang masih

kecil. Jadi keumuman hadits ب ١ ثفغب أدك األ٠ .... dikhususkan dengan

27

An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hallaj, terj. Suharlan dan Darwis, Syarah

Shahih Muslim, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013), h., 891

Page 27: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

18

qiyas. Mengkhususkan dalil umum dengan qiyas hukumnya boleh menurut

jumhur ulama ushul fiqh.28

B. Pengertian Wali Mujbir

Perwalian ijbar menurut Imam Abu Hanifah adalah:

وزاهاىج١شح اظغ١شحثىشاوبذأث١جب، ع ل٠خ ا اججبس ل٠خ لبياثد١فخ:

خ عز لخا شل ا29

Artinya: Imam Abu Hanifah berkata: “perwalian ijbar ialah perwalian

kepada wanita kecil baik perawan maupun janda, begitu juga wanita yang

telah dewasa akan tetapi kurang waras , dan perwalian terhadap budak

perempuan. ”

Dari pendapat beliau tersebut dapat dipahami bahwa perwalian mujbir

atau perwalian yang bersifat memaksa ditujukan kepada wanita kecil, baik

wanita tersebut gadis ataupun janda, dan begitu juga wanita yang telah

dewasa namun ia tidak cakap hukum seperti idiot. Syekh Abdurrahman al-

Jaziri mengemukakan pendapat Hanafiyah mengenai wali mujbir sebagai

berikut:

ا اءسض اغ١شع يع ف١زام ل٠خر عا ججشف إل اذف١خلبا:ل

٠ز ججش غ١ش ذ ثئججبس٠شعف١ظع ججش ٠خزضاا . اعمذ لفع١

اظغ١شاظغ١شحطمباجخاىجبس.30

Artinya: “ Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa tidak ada wali kecuali

wali mujbir, karena arti dari perwalian disini adalah memutuskan pendapat

atas orang lain baik ia rela maupun tidak, maka tidak ada wali bagi mereka

28

Dikutip dari An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih.,.., terj. Suharlan dan Darwis, Syarah Shahih

Muslim, h., 894 29

Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, (Beirut:Dar al-Kutub al-

Ilmiyah, 1995), h.,246 30 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Madzahib al-„arba‟ah, h., 720

Page 28: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

19

kecuali wali mujbir yang dapat memutuskan pada akadnya, dan dikhususkan

bagi wali mujbir untuk memaksa anak kecil perempuan secara mutlak, laki-

laki dan perempuan yang majnun (gila) sekalipun mereka telah dewasa.”

Dalam kitab yang berbeda Wali mujbir menurut mazhab Hanafi

adalah seorang wali yang mempunyai hak untuk mengawinkan orang yang

berada di dalam perwaliannya walaupun tanpa seizin darinya.31

Menurut Imam Abu Hanifah tidak ada perwalian kecuali wali mujbir.

Karena menurut beliau seorang wanita yang telah dewasa ia dapat

menikahkan dirinya sendiri. Sebagaimana pendapat beliau:

عاثد١فخ:رجصجبششحاجبغخاعبلخعمذىبدب..32

Artinya: “Seorang wanita yang telah dewasa (balig) dan berakal, ia dapat

mengaqadkan atau menikahkan dirinya sendiri.”

Menurut Abu Hanifah dan Zufar, perwalian kepada perempuan yang

merdeka, berakal, dan telah baligh baik perawan atau janda kedudukannya

adalah sunnah untuk menjaga kebaikan adat dan etika yang dilindungi oleh

Islam. Karena seorang perempuan dalam pandangan mereka harus

melaksanakan sendiri akad pernikahan dirinya dengan pilihan dan

kerelaannya.33

Dalam kutipan pendapat Imam Abu Hanifah:

إججبساجىشاجبغخ ص عاىبحل٠ج34

Artinya: “tidak dibolehkan untuk wali mujbir melarang kepada wanita yang

telah dewasa terhadap pernikahannya.

31 Fakhru Al- Din „Usman Bin Ali, Tabyinu al-Haqoiq, Juz II, (Beirut –Lebanon : Dar Al-

Kutub Al- Ilmiah, tt), 493. 32

Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, h., 246 33 Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Fiqih

Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 179 34 Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, h., 248

Page 29: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

20

Dari beberapa pernyataan kutipan pendapat Imam Abu Hanifah diatas

dapat ditarik kesimpulan bahwa wali mujbir menurut beliau ialah seorang

wali yang dapat menikahkan dengan paksa atau tanpa melalui persetujuan

seseorang yang hendak dinikahkannya, yaitu kepada wanita kecil, wanita

yang telah dewasa namun ghairu „aqil baik dia perawan atau janda, budak

perempuan yang dimerdekakan. Dalam riwayat lain perwalian ijbar juga

terhadap anak laki-laki yang masih kecil dan gila.„Illat dari pendapat beliau

adalah g|airu „aqil. Menurut Imam Abu Hanifah hak ijbar tersebut dimiliki

oleh bapak, kakek serta yang lainnya yang masuk dalam hubungan „asabah.35

Akal bukanlah syarat akad perkawinan menurut kesepakatan fuqaha.

Oleh karenanya, menurut madzhab Hanafi seorang wali yang merupakan

bapak atau yang lainnya boleh mengawinkan orang gila laki-laki dan

perempuan, atau orang idiot laki-laki dan perempuan, baik masih kecil atau

sudah besar, perawan maupun janda.36

Sebab disyariatkannya perwalian

dalam menikahkan anak kecil dan orang gila adalah perwalian yang bersifat

keharusan. Perwalian ini merupakan perlindungan terhadap kepentingan

orang yang dinikahkan, serta untuk menjaga hak-hak mereka akibat

ketidakmampuan dan kelemahannya.

Menurut Abu Hanifah dan Zufar, perwalian terhadap perempuan yang

merdeka, berakal, dan telah baligh baik perawan atau janda hukumnya adalah

sunah. Hal ini untuk menjaga kebaikan adat dan etika yang dilindungi oleh

islam. Seorang perempuan dalam pandangan Abu Hanifah harus

35

Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h., 173 36

Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h., 183

Page 30: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

21

melaksanakan sendiri akad pernikahan dirinya dengan pilihan dan

kerelaannya. Akan tetapi, disunahkan baginya untuk menyerahkan

pelaksanaan akad nikah kepada walinya.37

C. Syarat – Syarat Wali Mujbir

Hak dari wali mujbir adalah bisa menikahkan gadis yang berada di

dalam perwaliannya tanpa harus menunggu izin darinya, tetapi hal itu tidak

berlaku secara mutlak, maksud dari kemutlakan tersebut adalah bahwa semua

wali mujbir terkadang tidak bisa menggunakan hak ijbar tersebut, karena

mazhab Hanafi mensyaratkan bahwa hak ijbar dari wali mujbir mampu

menghadirkan calon suami yang kafa‟ah dengan si gadis, kafa‟ah yang

dimaksud disini mencakup lima hal yaitu sebagai berikut: 38

1) Nasab

Dalam pandangan ini orang non Arab tidak setara dengan orang

Arab. Ketinggian nasab orang Arab itu menurut mereka karena Nabi

sendiri adalah orang Arab. di antara sesama orang Arab, kabilah Quraisy

lebih utama dibandingkan dengan non Quraisy. Alasannya karena Nabi

sendiri orang Quraisy.

Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa

wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan laki- laki Quraisy, dan

perempuan Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab

37

Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h., 188 - 189 38

Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami, Sharkh Fathul …, 280-287

Page 31: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

22

2) Merdeka

Perbudakan menjadikan perbedaan antara orang yang merdeka

dengan seorang budak. Berkenaan dengan perkawinan, tidak sama

perempuan yang merdeka dengan laki-laki yang dimerdekakan. Syarat

kesederajatan dalam kemerdekaan amat penting bagi kaum muslim.

3) Agama

bahwa seorang laki-laki yang beragama Islam dengan seorang

perempuan non muslimah, maka dapat dikategorikan tidak sekufu, yaitu

tidak sepadan. Allah menerangkan di dalam Al-Qur‟an

ل أعججزى ششوخ خخ١ش ؤ خ أل ٠ؤ ششوبددز ىذاا لر

دز ششو١ ا ىذا ئه ر أ أعججى ششن خ١ش ؤ عجذ ا ٠ؤ

غفشح ا جخ ا إ ٠ذع للا ابس إ ٠ذع ع بط آ٠بر ٠ج١ ثئر

٠ززوش

Artinya: “bahwa seorang laki-laki yang beragama Islam dengan seorang

perempuan non muslimah, maka dapat dikategorikan tidak sekufu, yaitu

tidak sepadan. Allah menerangkan di dalam Al-Qur‟an Dan janganlah

kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan

orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,

sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan

Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

manusia supaya mereka mengambil pelajaran

4) Harta, dianggap sekufu ialah seorang laki-laki yang dianggap sanggup

membayar mas kawin dan uang belanja, apabila tidak sanggup membayar

mas kawin dan nafkah atau salah satunya maka tidak dianggap sekufu.

Page 32: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

23

5) Pekerjaan.

Pekerjaan, Seorang laki-laki sepadan dalam hal pekerjaan dengan

keluarga perempuan dan ukuran kesepadananya adalah adat dan tradisi

yang berlaku di masyarakat.

Persyaratan yang diberikan oleh Mazhab Hanafi terhadap

pemberlakuan hak ijbar yang dimiliki oleh wali mujbir mengawinkan

anak gadisnya yang masih kecil dan baligh, tetapi ternyata calon suami

yang dihadirkan tidak kafa‟ah dengan anak gadisnya, maka sigadis berhak

menolak dan apabila tetap dilakukan

aqad nikah maka pernikahan tersebut tidak sah.39

Sedangkan syarat

wali nikah secara umum adalah sebagai berikut :1) Baligh, 2) Berakal, 3)

Bisa mewarisi (beragama Islam).

D. Tartib Wali Mujbir dalam Mazhab Hanafi

Pembagian wali menurut mazhab Hanafi di dalam perkawinan sudah

dijelaskan di atas, tetapi yang menjadi wali mujbir menurut mazhab Hanafi

hanyalah terbatas kepada perwalian dari jalur „asabah, pengertian „asabah

disini sama dengan konteks „asabah waris, tentunya masih

memperhitungkan mahjub dan mendahulukan „asabah yang paling dekat

berikut ini :

1) Bapak sampai nasab ke atas

2) Saudara laki-laki kandung

3) Saudara laki-laki sebapak

39

Muhammad Amin Ibn „Abidin, Raddul Al- Mukhtar „Ala …, 206-207

Page 33: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

24

4) Anak dari saudara laki-lak

5) Anak dari saudara laki-laki seayah

6) Paman kandung

7) Paman sebapak

8) Anak dari paman kandung

9) Anak dari paman sebapak

10) Paman kakek kandung dan anak-anaknya samapai nasab kebawah.40

Mazhab Hanafi menentukan bahwa wali mujbir adalah wali semua

dari jalur „asabah, dan kemudian jika ternyata „asabah tidak ada maka

yang menjadi wali mujbir adalah Imam.41

Sedangkan dalam konteks

perwalian untuk orang gila mazhab Hanafi pendapatnya berbeda dengan

perwalian terhadap orang yang mempunyai akal sehat, bahwa perwalian

terhadap orang gila lebih umum yaitu baik untuk laki-laki atau perempuan,

sudah baligh atau belum baligh semua perwaliannya adalah bersifat ijbar.42

40 Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami, Sharkh Fathul …, h., 268 41 Ibid., 276. 42 Muhammad Amin Ibn „Abidin, Raddul Al-Mukhtar „Ala Al-Dar Al-Mukhtar, Juz IV (Beirut-

Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.t.), 170-171.

Page 34: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

25

BAB III

WALI MUJBIR DALAM MAZHAB SYAFII

A. Profil Imam Abu Abdullah Muhammad Asy-Syafi’i

1. Biografi Singkat

Imam Abu Abdullah Muhammad Asy-Syafi‟i bernama asli Muhammad bin

Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi‟i bin Sa‟ib bin „Ubaid bin Abu Yazid bin

Hasyim bin al-Harits bin „Abdul Manaf.43

Beliau dilahirkan di kota Gaza,

Palestina pada tahun 150 H (767 M). Ayahnya bernama Idris, dan ibunya bernama

Fatimah binti Abdillah al-Mahdh. Beliau masih merupakan keturunan bangsawan

Quraisy dan saudara jauh Rasulullah yang bertemu pada Abdul Manaf (kakek

ketiga Rasulullah), dan dari ibunya Fatimah merupakan cicit Ali bin Abi Thalib

r.a.

Ketika Imam as-Syafi‟i masih dalam kandungan, kedua orang tuanya

meninggalkan Makkah menuju Palestina demi memperjuangkan dan mencukupi

kebutuhan keluarga. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke

rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya yang dalam

kondisi memprihatinkan dan serba kekurangan.44

Pada usia 2 tahun, Imam As-Syafi‟i bersama ibunya kembali ke Makkah.

Setidaknya ada sejumlah alasan yang menjadi latar belakang sang Ibu untuk

memilih kembali ke Makkah. Pertama, disana masih banyak keluarga besar dari

pihaknya sendiri dan keluarga dari pihak suaminya sehingga Muhammad bin Idris

43

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-fikr,1985), cet.

Ke-2, jln. 32 dikutip oleh Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam, Jil.3, h., 4 44

Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. 5, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1986), h., 19

Page 35: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

26

kecil dapat merasakan kehangatan kasih sayang dari keluarga besarnya. Kedua,

yakni menjadi tujuan utama sang Ibu yaitu kota suci Makkah merupakan pusat

pengetahuan dan kemuliaan pada masanya, dimana Masjidil Haram dipenuhi ahli-

ahli hukum Islam, ahli-ahli qira‟ah, ahli Hadits, dan ahli tafsir. Ketiga, di

sekeliling kota Makkah masih banyak terdapat pedesaan dimana tata krama dan

kesopanan masih terjaga dengan baik, yang amat berguna bagi terasahnya

kepekaan sosial, kecerdasan, moral, dan mental. Beberapa hal tadi yang menjadi

pertimbangan sang Ibu untuk meninggalkan Palestina dan kembali ke Makkah.

2. Metode Istinbat Hukum Wali Mujbir

Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa metode istinbat menurut Imam

Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i adalah mengemukakan kaidah-kaidah

dasar dengan menunjukkan bukti-bukti dari nash, kemudian menganalisis secara

cermat dan sempurna dengan melihat adanya keterkaitan antara kaidah-kaidah dan

bukti-bukti dan bukti-bukti yang telah disebutkan. Hasil analisis tersebut

merupakan bukti ketetapan yang telah dijadikan kaidah.45

Metode istinbat hukum yang digunakan oleh Imam Abu Abdullah

Muhammad asy-Syafi‟i tentang pendapat beliau mengenai wali mujbir, tidak jauh

berbeda dengan metode istinbath Imam Abu Hanifah. Imam Abu Abdullah

Muhammad asy-Syafi‟i sebagaimana Imam Abu Hanifah, dalam pendapat beliau

menggunakan Alqur‟an sebagai sumber utama. Sekalipun Alqur‟an tidak

menjeleskan secara tekstual mengenai wali mujbir, namun secara kontekstual

45 Abd. Wahhab Khallaf, Ilm al-Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam 1987), h., 15

Page 36: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

27

ayat-ayat tersebut mengindikasikan adanya wali mujbir, yaitu pada ayat Al-

Qur‟an surat an-Nisa‟ayat 6:

اثز سشذا آغز إراثغااىبحفئ دز ١زب اا

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk

kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai

memelihara harta).”46

Ayat diatas menurut Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i bahwa

urusan anak yatim atau anak yang dibawah perwalian yang masih dibawah umur

adalah berada pada seorang wali. Kedewasaan tersebut setelah usia anak itu

mencapai usia 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, atau ketika anak laki-

laki tersebut mereka sudah mimpi basah sebagai tanda aqil baligh, dan bagi anak

gadis telah menstruasi. Hal ini sesuai dengan pernikahan Aisyah dengan

Rasulullah SAW yaitu ketika Aisyah berusia 6 tahun, maka yang menikahkan

beliau adalah ayahnya yaitu sahabat Abu Bakr as-Shiddiq, karena ayah lebih

berhak daripada gadis dalam pernikahannya.

Metode istinbat yang kedua Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i

adalah al-Hadits. Sekalipun haditsnya sama, namun menghasilkan interpretsi yang

berbeda antara pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Abdullah Muhammad

asy-Syafi‟i tentang wali mujbir. Menurut Imam Abu Abdullah Muhammad asy-

Syafi‟i pada hadits:

ا ب، ١ ثفغب أدك برباأل٠ إربط شففغب، جىشرغزأ

47

Artinya: “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dibandingkan

walinya. Dan seorang perawan dimintakan persetujuannya, dan diamnya adalah

tanda persetujuannya.”

46

Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI..... 47

As-Syafi‟i, Al-Umm, h., 19

Page 37: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

28

Hadis diatas menunjukkan perbedaan antara janda dan perawan untuk

dimintai persetujuan dalam menikah. Bagi seorang gadis tanda persetujuaannya

adalah cukup dengan diam, sedangkan janda lebih berhak atas dirinya, artinya

seorang wali tidak berhak memaksanya menikah tanpa ada persetujuan dengan

lafaz yang sarih dari janda tersebut.48

Imam Abu Abdullah Muhammad asy-

Syafi‟i memaknai lafadz Al-Ayyim diatas adalah janda. Berbeda dengan Imam

Abu Hanifah yang memberi makna seorang wanita yang tidak bersuami baik

janda maupun gadis. Sehingga, hanya seorang janda yang berhak atas dirinya,

atau seorang wali tidak berhak untuk memaksanya menikah. Hal ini menunjukkan

perawan berhak untuk dinikahkan oleh ayahnya dengan tanpa izinnya.

Sabda Nabi Muhammad SAW tentang gadis perawan إربطبرب (“Tanda

ia mengizinkan adalah apabila ia diam”). Dzahirnya hal ini berlaku secara umum

kepada setiap gadis perawan ketika dimintai persetujuan dalam pernikahan, tanda

ia setuju adalah cukup dengan diamnya, karena tabiat dari seorang gadis adalah

pemalu. Sehingga tanda diam sudah memberikan petunjuk bahwa ia tidak

keberatan untuk dinikahkan. Berbeda dengan janda, tanda persetujuannya adalah

dengan ucapan secara jelas. Hal ini disebabkan sifat malu darinya sudah hilang

karena sudah pernah melakukan hubungan suami istri.

Imam Syafi‟i dalam kitabnya Al-Umm menjelaskan wali mujbir, yaitu

seorang wali yang dapat menikahkan anak gadisnya tanpa melalui izinnya.

Adapun pendapat beliau tersebut, penulis kutip sebagai berikut:

48 An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih.,.., terj. Suharlan dan Darwis, Syarah Shahih

Muslim, h., 891

Page 38: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

29

أحاشفع:فألبياشب ثشصجىثث١تا فبىبحرشإ١غب الثبءف،إلبطثب

ىبس،اغالث ١خزادءاثخبحخغبىاجطللاع١عسد،أل١هببدحفا

بأثصج بصرجإذوب،دىببنفزج١ضإثرجشأرشبئأألإم٠بوبسخ،

١حأثأرج١ضإىببأششجأ٠بدبرج١ضأإى لب، ب.١عر٠شدثم

Artinya: Imam Syafi‟i berkata: Siapa saja yang menjadi wali bagi seorang wanita

(janda atau perawan), lalu ia menikahkan wanita itu tanpa izin si wanita, maka

pernikahan dianggap batal, kecuali seorang bapak yang menikahkan anak

perawannya dan majikan yang menikahkan wanita miliknya, karena Nabi SAW

menolak pernikahan Khansa putri Khudzam ketika dinikahkan oleh bapaknya

secara paksa. Nabi tidak memberikan reaksi lain selain mengatakatakan, “Apabila

engkau mau berbakti kepada bapakmu dengan merestui pernikahan yang

dilakukannya.”Apabila restu dari beliau atas pernikahan itu sebagai pembolehan

darinya, maka lebih tepat dikatakan bahwa beliau memerintahkan Al Khansa

untuk merestui pernikahan yang diselenggarakan oleh bapaknya dan tidak

menolaknya, karena besarnya kekuasaan bapak terhadapnya.49

Qaul Imam Syafi‟i tersebut memberikan pemahaman bahwa seorang ayah

dapat menikahkan anak perempuannya yang masih perawan dengan tanpa izin

dari anak tersebut. Sebagaimana pendapat beliau “semua wanita baik gadis

maupun janda yang dinikahkan walinya tanpa izin, maka pernikahannya adalah

batal, kecuali seorang ayah yang mengawinkan anak gadisnya.” Jadi, hak

menikahkan dengan paksa atau dengan istilah lain hak ijbar itu hanya

diberlakukan pada ayah.

Pendapat Imam Syafi‟i diatas berdasarkan hadis tentang kisah

Khansa‟binti Khudzam. Kisah Khansa‟yang dijodohkan dengan laki-laki pilihan

ayahnya dan ia ‟tidak menyukainya, kemudian ia melaporkan kejadian tersebut

kepada Nabi Muhammad SAW. Rasulullah memberikan pilihan kepada Khansa‟

untuk membatalkan perkawinan tersebut atau melanjutkannya. Menurut Imam

49

As-Syafi‟i, Al-Umm, terj. Rosadi Imron, dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), h., 443

Page 39: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

30

Syafi‟i dari riwayat hadits tersebut, secara kontekstual Rasul memberikan nasihat

agar ia menerima perkawinan tersebut, karena seorang ayah lebih berkuasa, dalam

arti lebih mengetahui kemaslahatan bagi putrinya.

B. Pengertian Wali Mujbir

Wali mujbir adalah wali (bapak atau kakek ketika tidak ada bapak), yang

berhak mengawinkan anak gadisnya meskipun tanpa persetujuannya.50

Selain

kedua orang ini (bapak atau kakek) tersebut adalah wali tak mujbir.51

Menurut Mazhab Syafi‟i bahwa yang menjadi obyek wali mujbir adalah

anak perempuan yang masih gadis (al-bikr), baik itu sudah baligh atau belum

baligh, karena menurut Mazhab Syafi‟i yang menjadi „illat (alasan) hukum terkait

berlakunya hak ijbar yang dimiliki wali mujbir adalah, ketika orang yang berada

di dalam perwaliannya masih berstatus anak perempuan yang masih gadis (al-

bikr), tendensi hukum yang dipakai oleh Mazhab Syafi‟i adalah hadith berikut ini

:

اج عجبطأ اث ع جىشرغزأر ا ب ١ ثفغب أدك لبياأل٠ ع ع١ للا ط

برب إربط ففغب

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasannya Rasulullah SAW. Bersabda :‛janda

lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan persetujuannya adalah diam‛

(HR. Abi Dawud).52

Hadith di atas dapat dipahami bahwa seorang janda berhak atas dirinya,

oleh karenanya pemahaman baliknya (mafhum mukholafah) ketika seorang

50

Al-Imam Al- Nawawi, Majmu‟ Sharh al –Muhadhhab, Jilid XVI, (Kairo: Dar al-Hadith,

2010), hal 409. 51 Maman Abd.Djaliel. Fiqh Madzhab Syafi‟i (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat,

Munakahat, Jinayat, Bandung : CV Pustaka Setia, 2007), 274. 52

As-Syafi‟i, Al-Umm, h., 21

Page 40: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

31

perempuan tersebut masih gadis (al-bikr), maka hak perkawinannya dipegang oleh

walinya.

C. Syarat-Syarat Wali Mujbir

Menurut Mazhab Syafi‟i bahwa hak ijbar yang dimiliki oleh wali mujbir

yaitu mengawinkan seorang gadis yang berada di dalam perwaliannya walaupun

tanpa persetujuannya, tetapi tidak semerta-merta hak tersebut mutlak langsung

bisa digunakan, melainkan Mazhab Syafi‟i memberikan syarat yang harus

dipenuhi oleh wali mujbir sebelum haknya digunakan, syarat tersebut adalah

sebagai berikut:53

a. Antara wali dengan sigadis tidak ada permusuhan secara jelas.

b. Antara sigadis dan calon suami tidak adanya permusuhan

c. Calon suami harus sekufu dengan sigadis

d. Mampu membayar mahar

e. Maharnya berupa mahar mithil

f. Maharnya dengan kriteria kebiasaan di daerah tersebut.

g. Mahar harus diserahkan secara langsung (hallan).

Seorang wali mujbir jika mampu menghadirkan calon suami dengan

kriteria di atas, maka hak ijbar dari wali mujbir dapat diaplikasikan, yakni dapat

mengawinkan si gadis tanpa persetujuannya, tetapi sebaliknya apabila seorang

wali mujbir tidak mampu untuk menghadirkan kriteria di atas, maka si gadis dapat

menolak dan jika diteruskan maka aqad-nya tidak sah.54

Tetapi jika wali ingin

mengawinkannya maka harus meminta persetujuannya, bentuk persetujuannya

53 Muhammad Shata al- Dimyati, Hashiyah i‟anatu..., 568. 54

Sulaiman Bin Muhammad Ibn ‟Umar, Hashiyah Bujairomi, Jilid III ..., 564

Page 41: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

32

jika ia janda harus jelas dan apabila gadis maka diam atau tersenyum merupakan

indikasi bahwa si gadis tersebut sudah mau untuk dinikahkan dengan lelaki

pilihan wali.

Nikah karena tekanan atau bukan karena kehendak sendiri dari calon

pengantin yang bersangkutan tidak sah menurut mazhab Syafi‟i bila tidak ada

indikasi kehendak. Dan sekalipun ada perbedaan pendapat tentang wajib bagi wali

untuk terlebih dahulu menanyakan pendapat calon pengantin wanita (istri) dan

mengetahui keridhaannya sebelum diakadnikahkan. Hal ini karena perkawinan

merupakan pergaulan abadi dan persekutuan suami istri, kelanggengan,

keserasian, kekalnya cinta dan persahabatan, yang tidaklah akan terwujud apabila

keridhaan pihak calon istri belum diketahui sebelumnya. Mazhab Syafi‟i

berpendapat bahwa perwalian untuk orang gila baik berjenis kelamin laki-laki

atau perempuan, dan juga statusnya janda atau masih gadis, serta belum baligh

sudah baligh atau menurut mazhab Syafi‟i perwaliannya tetap bersifat mujbir, hal

ini bertujuan agar lebih maslahah.

Dalaam hal Kafaah menurut mazhab syafi‟i seperti di kutip Assegaf,55

adalah persamaan dan kesempurnaan, persamaan ini terbagi kepada empat kriteria

:

1) Nasab, Orang ajam hanya berhak menikah dengan orang ajam, orang

Quraisy hanya berhak menikah dengan orang Quraisy.

Mazhab Syafi‟i memiliki persepsi yang sama dengan mazhab Hanafi

tentang golongan tertinggi di masyarakat Arab.

55

Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafaah Syarifah, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2000), h., 55

Page 42: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

33

2) Agama, Laki-laki harus sama dalam hal istiqamah dan kesucian. Laki-

laki yang fasik tidak sekufu dengan perempuan yang istiqamah kecuali telah

bertaubat, sementara laki-laki pezina tidak

kufu dengan perempuan yang suci meskipun laki-laki tersebut telah

bertaubat.

3). Kemerdekaan, Hanya berlaku pada pihak laki-laki dan tidak pada

perempuan, karena laki-laki dapat menikah dengan siapa saja baik hamba atau

sederajad.

4) Profesi, Laki-laki miskin yang pekerjaannya tergolong rendah tidak

sekufu dengan perempuan yang kaya, namun laki-laki yang miskin dapat sekufu

dengan perempuan yang kaya dengan syarat kerelaan orang tua.

D. Tartib Wali Mujbir

Menurut mazhab syafi‟i yang berhak menjadi wali mujbir adalah hanya

bapak dan kakek apabila tidak ada bapak, selain dari bapak dan kakek tidak dapat

menjadi wali mujbir, hal ini didasarkan pada hadith Nabi sebagai berikut :

يلب ةسطبخلاعشث :لباض اطياعيسع ع١ لر ١ز١خاىخـع

د أثداد()سارغزأشر

Artinya: “Umar Bin Khottob r.a. berkarta: Rasulullah saw bersabda: “jangan

nikahkan anak yatim perempuan kecuali atas izinnya, sedangkan diam adalah

indikasi kerelaannya”. (HR. Abi Dawud).56

Hadith tersebut menjadi sandaran bagi Mazhab Syafi‟i, bahwa yang

menjadi wali mujbir adalah bapak dan kakek apabila tidak ada bapak, hal ini

didasarkan pada asbabul wurud dari hadith tersebut. yakni,pada saat itu „Utsman

56

As-Syafi‟i, Al-Umm, h., 22

Page 43: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

34

Bin Mutghoun mengawinkan keponakan perempuannya, Keponakan Utsman Bin

Mutghoun pada saat itu dalam keadaan yatim, kemudian ibu dari gadis tersebut

datang pada Rasulullah saw dan mengadu atas perkawinan tersebut dan

mengatakan bahwa anak perempuannya tidak suka dengan pilihan pamannya

(„Utsman Bin Mutghoun) akhirnya Rasulullah saw memerintahkan untuk

memisahkan keduanya.

Penjelasan terkait asbabul wurud dari hadith di atas, dapat dipahami

bahwa Mazhab Syafi‟i bahwa selain bapak dan kakek tidak dapat menjadi wali

mujbir karena dari asbabul wurud hadith tersebut, diterangkan bahwa posisi

„Utsman Bin Mutghoun adalah paman dari gadis yang dinikahkan, tetapi

kemudian Nabi menyuruh ibunya untuk memisahkan keduanya, oleh karenanya

dapat diambil kesimpulan bahwa paman tidak termasuk golongan wali mujbir .

Oleh karenanya Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa yang berhak menjadi wali

mujbir hanyalah bapak dan kakek.

Tidak hanya hadith di atas yang dijadikan sandaran hukum oleh Mazhab

Syafi‟i terkait hanya bapak dan kakek saja yang berhak menjadi wali mujbir ,

tetapi ada hadith lain yang dijadikan sandaran hukum oleh mazhab Syafi‟i yakni

hadith dibawah ini:

شبعبـثاشبـخج٠ذابـدذث ٠خع عش ـدذثحث عشبحبعجذـدذثمنريبث

لاع عبئشخ ع رـث١ ضـذ اطثاج ع١ عاع ثثبثذعذ ١

ا )اغبا١)سابثذرغعع

Page 44: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

35

Artinya: ”Dari Yahya bin Yahya, Abu Muawiyah mengabarkan dari

Hisyam dari ibn „Urwah, Numair mengabarkan „Abdah dari Hisyam dari

Bapaknya dari „Aisyah Berkata “Saya dikawinkan dengan Rasulullah saw dan

umur saya enam tahun dan Rasulullah saw membangun rumah tangga denganku

ketika saya umur sembilan tahun”.57

(HR. Al- Nasai Bukhari dan Muslim).

Dari hadith di atas dapat dipahami bahwa siti „Aisyah dikawinkan dengan

Rasulullah saw ketika berumur enam tahun, pernikahan tersebut tanpa meminta

izin kepada „Aisyah terlebih dahulu, dalam artian perwaliannya pada saat itu

adalah wali mujbir, dan beliau „Aisyah dinikahkan oleh ayahnya.

57

Al-Nasa‟i, Sunanu Al-Nasa‟i Al-Sughro, (Riyad: Dar al-Islam, t.t), 2299.

Page 45: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

36

BAB IV

PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFII

TENTANG WALI MUJBIR

A. Persamaan Pandangan Mazhab Hanafi dan Syafi’i Tentang Konsep Wali

Mujbir

Mazhab Hanafi Mazhab Syafi’i

Pengertian :

1. perwalian kepada wanita kecil

2. wanita yang telah dewasa akan

tetapi kurang waras.

Pengertian :

1. Perwalian kepada anak perempuan

yang masih gadis (al-bikr).

2. Perwalian kepada anak gadis yang

tidak waras atau gila

Syarat-Syarat Wali Mujbir:

Kafaah calon suami :

1. Nasab

2. Merdeka

3. Agama

4. Harta

5. Pekerjaan

Syarat – Syarat Wali Mujbir

a. Calon suami harus sekufu dengan

sigadis (Nasab, Agama,

Kemerdekaan, & Profesi)

b. Mampu membayar mahar

c. Maharnya berupa mahar mithil

d. Maharnya dengan kriteria kebiasaan

di daerah tersebut.

e. Mahar harus diserahkan secara

langsung (hallan).

Tartib Wali Mujbir

1. Bapak sampai nasab ke atas

Tartib Wali Mujbir

1. bapak

2. kakek

apabila tidak ada bapak, selain dari

bapak dan kakek tidak dapat menjadi

wali mujbir

Page 46: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

37

B. Perbedaan Pemikiran Mazhab Hanafi dan Syafi’i Tentang Konsep Wali

Mujbir

Pemikiran mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i tentang konsep wali mujbir

memiliki perbedaan pendapat, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

Mazhab Hanafi Mazhab Syafi’i

Pengertian :

1. perwalian kepada wanita kecil baik

perawan maupun janda.

Pengertian :

1. Perwalian kepada anak perempuan

yang masih gadis (al-bikr), baik itu

sudah baligh atau belum baligh.

Syarat-Syarat Wali Mujbir:

Fokus kepada kemampuan wali Mujbir

untuk menghadirkan Suami yang

kafaa‟ah dengan si gadis.

Syarat – Syarat Wali Mujbir

Fokus kepada hubungan antara ketiga

objek yakni wali mujbir, si gadis dan

calon suami :

a. Antara wali dengan sigadis tidak

ada permusuhan secara jelas.

b. Antara sigadis dan calon suami

tidak adanya permusuhan

Tartib Wali Mujbir

1. Saudara laki-laki kandung

2. Saudara laki-laki sebapak

3. Anak dari saudara laki-lak

4. Anak dari saudara laki-laki seayah

5. Paman kandung

6. Paman sebapak

7. Anak dari paman kandung

Tartib Wali Mujbir

1. bapak

2. kakek

apabila tidak ada bapak, selain dari

bapak dan kakek tidak dapat menjadi

wali mujbir

Page 47: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

38

8. Anak dari paman sebapak

9. Paman kakek kandung dan anak-

anaknya samapai nasab kebawah

Metode Istinbath

1. Al-Quran

QS Al-Baqarah Ayat 232

اغبء طمز إرا فال أج فجغ

إرا اج أص ىذ ٠ أ رعض

عشف ثب اث١ رشاض

Artinya: “Apabila kamu menalak istri-

istrimu, lalu habis idahnya, maka

janganlah kamu (para wali)

menghalangi mereka kawin lagi

dengan bakal suaminya, apabila telah

terdapat kerelaan di antara mereka

dengan cara yang makruf.”58

2. Hadits

للا سطي لبي لبي: عجبط اث ع

م ص..: ي فغثأدكالأ ب١ب

رببطإربففغأرزغرىشاج ,ب

١ظف : اغبئ داد ألث سا٠خ

)سا رغزأ ا١ز١خ اث١تأش ع

ثخشغ(59

Metode Istinbath

1. Al-Quran

(QS. An-nisa 6)

فئ اىبح ثغا إرا دز ١زب ا اثزا

سشذا آغز

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu

sampai mereka cukup umur untuk

kawin. Kemudian jika menurut

pendapatmu mereka telah cerdas

(pandai memelihara harta).”60

2. Hadits

ش رغزأ جىش ا ، ب ١ ثفغب أدك األ٠

برب إربط ففغب،61

Artinya: “Seorang janda lebih berhak

terhadap dirinya sendiri dibandingkan

walinya. Dan seorang perawan

dimintakan persetujuannya, dan

diamnya adalah tanda persetujuannya.”

3. Qiyas

ثىش ث١تا فأاشأح فع: اشب لبي

صجبثغ١شإربفبىبحثبط،إلالثبءف

58

Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, (Bandung: Jabal Raudlatul Jannah,

2010) 59

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Terjemah), (Semarang : CV. Asy- Syifa‟, 1990),Cet. Ke-

1, h., 367 60

Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI.....

Page 48: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

39

Artinya: " Dari Ibnu Abbas ra, ia

berkata : Nabi SAW bersabda: "

seorang Perempuan dewasa lebih

berhak terhadap dirinya daripada

walinya dan anak gadis diminta

pertimbangannya dan izinnya adalah

diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu

Daud dan An- Nasa'I: "Tidak ada

urusan wali terhadap janda; dan gadis

yang tidak mempunyai Bapak

(yatimah)"(HR. Bukhori dan Muslim)

3. Qiyas

Imam Abu Hanifah berhujjah

dengan menggunakan qiyas (analogi),

yaitu mengqiyaskan nikah dengan jual

beli yang tidak membutuhkan

keberadaan seorang wali, dan

mengatakan bahwa hadits yang

mensyaratkan wali tersebut

diperuntukkan bagi budak perempuan

dan gadis yang masih kecil. Jadi

keumuman hadits ثفغب أدك األ٠

ب ١ .... dikhususkan dengan qiyas.

Mengkhususkan dalil umum dengan

qiyas hukumnya boleh menurut

jumhur ulama ushul fiqh

اج أل اب١ه، ف اغبدح الثىبس،

اثخ خغبء ىبح سد ع ع١ للا ط

٠مإل وبسخ، أثب د١صجب خزا

أرجشأثبنفزج١ضإىبد،أرشبئ

وبذإجبصرإىبدبرج١ضأشجأ٠أشب

أرج١ضإىبحأث١ب،ل٠شدثمرع١ب.

Artinya: Imam Syafi‟i berkata: Siapa

saja yang menjadi wali bagi seorang

wanita (janda atau perawan), lalu ia

menikahkan wanita itu tanpa izin si

wanita, maka pernikahan dianggap

batal, kecuali seorang bapak yang

menikahkan anak perawannya dan

majikan yang menikahkan wanita

miliknya, karena Nabi SAW menolak

pernikahan Khansa putri Khudzam

ketika dinikahkan oleh bapaknya secara

paksa. Nabi tidak memberikan reaksi

lain selain mengatakatakan, “Apabila

engkau mau berbakti kepada bapakmu

dengan merestui pernikahan yang

dilakukannya.”Apabila restu dari beliau

atas pernikahan itu sebagai pembolehan

darinya, maka lebih tepat dikatakan

bahwa beliau memerintahkan Al

Khansa untuk merestui pernikahan

yang diselenggarakan oleh bapaknya

dan tidak menolaknya, karena besarnya

kekuasaan bapak terhadapnya

1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang menjadi obyek wali mujbir adalah

setiap anak perempuan yang masih kecil, batasan kecil menurut mazhab

Hanafi yaitu ketika seorang anak perempuan tersebut belum baligh, maka

61

As-Syafi‟i, Al-Umm, h., 19

Page 49: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

40

seorang wali mujbir berhak mengawinkan anak perempuan yang berada di

dalam perwalianya tanpa harus menunggu izin dari anak perempuan

tersebut,62

mazhab Hanafi memberikan alasan bahwa anak kecil yang belum

mencapai tingkat baligh anak tersebut belum cakap secara hukum, oleh

karenanya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka seorang

walinya diberi sebuah wewenang yakni mengawinkanya, di sisi lain seorang

anak kecil juga belum mempunyai sebuah pengalaman dibidang perkawinan,

oleh karenanya tidak mungkin untuk bermursyawarah denganya dalam yang

berhubungan dalam hal perkawinan. Jelas bahwa mazhab Hanafi memberikan

argumen mengenai obyek wali mujbir lebih memfokuskan pada argumen

yang bersifat At-Taqdiri (pemikiran) hal ini bisa dilihat dari alasan yang

disampaikan oleh mazhab Hanafi, bahwa seorang anak kecil yang belum

baligh tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sebuah aqad, oleh

karenanya dapat dipahami bahwa ketika seorang anak perempuan tersebut

sudah mencapai baligh maka dengan sendirinya hak ijbar yang dimiliki oleh

wali mujbir akan hilang. Sedangkan menurut mazhab Syafi‟i bahwa yang

menjadi obyek wali mujbir adalah anak perempuan yang masih gadis (al-

bikr), oleh karenanya pendapat mazhab Syafi‟i ini memasukan seorang

perempuan yang sudah dewasa tetapi masih berstatus gadis gadis (al-bikr),

jelas bahwa selama seorang perempuan masih berstatus gadis (al-bikr)

menurut madhahb Syafi‟i perwalianya termasuk ke dalam wali mujbir,

argument dari mazhab Syafi‟i bahwa selama anak perempuan tersebut masih

62

Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami, Sharkh Fathul Al-Qadir, Juz III Beirut-

Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1995), 252.

Page 50: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

41

berstatus gadis (al-bikr) maka hak seorang wali masih ada, batasan gadis (al-

bikr) menurut mazhab Syafi‟i yaitu selama perempuan tersebut belum pernah

bersetubuh (jima‟), walaupun bersetubuhnya secara zina maka orang tersebut

sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i ini

memasukan seorang gadis yang dicerai suaminya tetapi belum pernah

disetubuhi (qobla dukhul), karena secara hakikatnya perempuan tersebut

masih berstatus gadis (al-bikr), walaupun secara pandangan masyarakat

perempuan tersebut sudah janda, tetapi dalam hal menentukan perwalianya

mujbir atau ghoiru mujbir dilihat dari sisi status perempuan tersebut yang

sudah pernah disetubuhi atau belum, dan bukan karena pandangan

Masyarakat umum yang beranggapan bahwa perempuan tersebut telah

berstatus janda.63

2. Tidak semua wali nikah bisa menjadi wali mujbir, menurut mazhab Hanafi

yang berhak menjadi wali mujbir adalah wali nikah dari jalur „asabah,

pengertian ‟asabah yang dimaksud di sini sama pengertianya dengan

„asabah yang berada di dalam konteks waris, yakni tetap menggunakan

adanya mahjub dan mendahulukan jalur „asabah yang lebih dekat,

urutanya adalah sebagai berikut: bapak sampai nasab ke atas, saudara laki-

laki kandung, saudara laki-laki sebapak, anak dari saudara laki-laki, anak

dari saudara laki-laki seayah, paman kandung, paman sebapak, anak dari

paman kandung, anak dari paman sebapak, paman kakek kandung dan

anak-anaknya sampai nasab ke bawah, paman dari kakek sebapak dan

63

Muhammad Shata al-Dimyati, Hashiyah i‟anatu al-Talibin, Juz III, (Beirut-Lebanon:Dar

al-Kutub al-Ilmiah, 2009), 562.

Page 51: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

42

anak-anaknya sampai nasab kebawah.64

Sedangkan menurut mazhab

Syafi‟i yang berhak menjadi wali mujbir adalah bapak dan apabila tidak

ada bapak maka kakek,65

jelas dalam hukum yang ditentukan terkait

subyek dari wali mujbir mazhab Hanafi lebih menggunakan qiyas yaitu

menyamakan perwalian dengan pembagian waris yakni mendahulukan

kerabat yang dekat serta kerabat dekat tersebut mampu menghalangi

(mahjub) kerabat yang jauh, sedangkan mazhab Syafi‟i berargumen

dengan teks hadits.

3. Wali mujbir memiliki hak ijbar (memaksa) kepada seseorang yang berada

di dalam perwalianya, tetapi tidak semerta-merta hak ijbar tersebut

langsung bisa digunakan melainkan menurut mazhab Hanafi bahwa hak

ijbar dapat digunakan apabila seorang wali tersebut mampu menghadirkan

calon mempelai putra bagi anak perempuan yang berada di dalam

perwalianya yang sekufu denganya. Dapat di pahami bahwa mazhab

Hanafi mensyaratkan calon suami harus sekufu dengan perempuan

tersebut, hal ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi perempuan bahwa

hak ijbar dari seorang wali mujbir mutlak harus dan wajib nikah dengan

pilihan walinya tetapi mazhab Hanafi mencoba memberikan barometer

bahwa seorang suami yang sekufu dengan perempuan tersebut mampu

mewakili pilihanya, karena jika tidak disyaratkan harus sekufu, maka

dikhawatirkan seorang wali akan memilihkan jodoh sesuai dengan

64 Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami, Sharkh Fathul Al-Qadir, Juz III

Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1995), 245. 65 Al-Imam Al-Nawawi, Majmu‟ Sharh al-Muhadhhab, Jilid XVI,(Kairo:Dar al-Hadith,

2010),409.

Page 52: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

43

kemuanya sendiri tanpa memandang laki-laki tersebut cocok atau tidak

engan anak perempuanya, sehingga lebih jelas lagi bahwa sekufu yang

maksudkan mazhab Hanafi mencakup lima hal yaitu: nasab, merdeka,

agama, harta, pekerjaan.66

Begitu juga dengan mazhab Syafi‟i juga

mengatakan bahwa hak ijbar yang dimiliki oleh wali mujbir tidak semerta-

merta dapat digunakan melainkan ada sayarat yang harus dipenuhi oleh

wali mujbir, yakni wali mujbir harus mampu menghadirkan calon suami

yang memiliki kriteria sebagai berikut:67

pertama, antara wali dengan

sigadis tidak ada permusuhan secara jelas syarat ini maksudkan agar wali

mujbir tidak memilihkan calon suami sesuka hatinya dan dikhawatirkan

jika ada sebuah permusuhan maka pemilihan suami bukan karena ingin

menjadikan anak tersebut maslahah dalam memilih pasangan tetapi

sebaliknya, karena didasari rasa kebencian. Kedua, antara sigadis dan

calon suami tidak adanya permusuhan, hal ini untuk menghindari adanya

keretakan di dalam rumah tangga nantinya, ketiga calon suami harus

sekufu dengan sigadis hal ini dimaksudkan agar seorang perempuan

tersebut rela dengan pilihan walinya, karena sekufu menurut mazhab

Syafi‟i meliputi selamat dari „aib (cacat) nikah seperti halnya gila,

penyakit baros (penyakit kulit), merdeka, nasab, pekerjaan, tidak fasik.

Keempat mampu membayar mahar, hal ini juga dimaksudkan agar

nantinya di dalam rumah tangga agar suami bertangung jawab untuk

66

Muhammad Amin Ibn „Abidin, Raddul Al-Mukhtar „Ala Al-Dar Al-Mukhtar ,Juz IV

(Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub AL-„Ilmiah,t.t.),170-171. 67

Muhammad Shata al-Dimyati,Hashiyahi‟anatual-Talibin, Juz III, (Beirut-Lebanon:Dar al-

Kutub al-Ilmiah, 2009), 568.

Page 53: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

44

menafkahi isterinya, kelima maharnya berupa mahar mithil. Keenam,

maharnya dengan kriteria kebiasaan di daerah tersebut, ketujuh mahar

harus diserahkan secara langsung (hallan), syarat yang kelima, keenam

serta ketujuh ini memliki hubungan yakni dimaksudkan meskipun jenis

perwalianya adalah mujbir tetapi tidak semua hal yang berada di dalam

perkawinan harus sesuai dengan kemauan wali mujbir melainkan mahar

harus mithil, kemudian sesuai dengan adat kebiasaan daerah hal ini untuk

menghilangkan kekhawatiran karena perwalianya mujbir maka maharnya

juga terserah sesuai keinginan wali, dan harus di serahkan secara langsung

karena hal ini agar si gadis merasa dihormati dan memberikan haknya.

Analisis Pemikiran Mazhab Hanafi dan Syafi‟i Tentang Konsep Wali

Mujbir Pada dasarnya adanya wali mujbir di dalam hal perkawinan merupakan

ijtihad ulama‟ yang didasarkan pada beberapa ayat al-qur‟an di antaranya adalah

Surah Al-Baqarah yaitu ayat ke 232:

ث١ ا رشاض إرا اج أص ىذ ٠ أ رعض فال أج فجغ اغبء طمز إرا

ى وب ث عشفره٠عع ثب للا أطش أصوى ا٢خشرى ١ ا ثبهلل ٠ؤ

لرع ز أ ٠ع

Artinya: ‚Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa

iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi

dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan

cara yang ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di

Page 54: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

45

antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih

suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui‛ (QS: 2:232)68

Ayat ini menjelaskan tentang wanita yang diceraikan oleh suaminya dan

kemudian akan kawin lagi, baik kawin dengan mantan suaminya atau dengan laki-

laki lain. Dalam menanggapi ayat ini terdapat perbedaan di antara ulama‟ fiqih,

bahwa larangan dalam ayat tersebut, ditujukan kepada wali hal itu didasarkan

pada hadith Ma‟qil bin Yasir. Bahwa Ma‟qil mempunyai saudara perempuan yang

dinikahi oleh Abi Baddah . kemudian ia dicerai oleh suaminya itu. Namun setelah

terjadi perceraian, Abi Baddah menyesal dan ingin kembali kepada mantan

isterinya tersebut, tetapi ma‟qil sebagai wali dari perempuan itu menolak hingga

peristiwa ini diketahui oleh Rasulullah dan kemudian turunlah ayat ini.

Dan juga hadith nabi saw sebagai berikut:

69

Artinya: Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari

Ahmad bin Husain bin ‟Abbad al-Nasa-i dari Muhammad bin Yazid bin Sinan

dari ayahnya dari Hisyam bin ‟Urwah dari ayahnya dari ‟Aisyah: ‟Aisyah berkata

bahwa Rasulullah SAW bersabda ‚Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang

adil.‛(H.R. Daruquthni dan Ibnu Hibban)

Bentuk nafi pada kata ىبح ل mendapat interpretasi beragam dari para

ulama‟. Ada yang menyebut bahwa nafi tersebut hanya menunjukkan arti

ketidaksempurnaan. Dengan demikian, hadis di atas dapat diartikan ‚Tidak

68

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an:Terjemahan dan Tajwidnya, (Bandung:Sygma

Examedia, 2010), (2:232), 37 69

Ibn „Umar Al-Daruqutni, Sunanu Al-Daru Qut}ni, Juz IV, ( Beirut-Lebanon:Aresalah

Pubisher, 2004), 322-323

Page 55: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

46

sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil‛. Dalam konteks hukum,

tidak sempurna berarti wali dan atau saksi bukan merupakan syarat sah, sehingga

pernikahan yang tidak dihadiri wali dan atau saksi masih tetap dihukumi sah.

Dengan kata lain, wali dan atau saksi hanya sebatas disunnahkan.70

Keterangan ini

adalah seperti apa yang digunakan oleh mazhab Hanafi. Ada juga ulama‟ yang

menginterpretasikan nafi pada sah dan tidaknya perbuatan. Dengan demikian, ل

berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafi ىبح

diinterpretasikan sebagai hakikat shari‟at, maka pernikahan yang dilaksanakan

tanpa wali dan ataupun saksi maka pernikahan tersebut menjadi tidak sah, dan hal

ini senada dengan argumen dari mazhab Syafi‟i bahwa wali adalah termasuk

rukun dari nikah dan harus ada di dalam sebuah pernikahan tanpanya sebuah

perkawinan tidak sah. Wali mujbir memiliki hak ijbar yakni dapat mengawinkan

anak gadisnya atau seseorang yang berada di dalam perwalianya tanpa harus

menunggu izin darinya,71

mazhab Hanafi maupun Syafi‟i sepakat bahwa

pengertian wali mujbir adalah seperti penulis kutip tersebut, tetapi dari kedua

mazhab tersebut berbeda dalam menentukan obyek, siapa yang menjadi wali

mujbir dan syarat-syarat dari wali mujbir, untuk lebih jelasnya sudah penulis

jelaskan pada bab II dan bab III. Mazhab Hanafi menyatakan bahwa hak ijbar

yang dimiliki oleh orang tua sabatas ketika anak tersebut belum baligh,72

ketika

sudah baligh maka hak ijbar yang dimiliki oleh wali mujbir sudah tidak ada lagi,

70

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr,

1989),83-84 71 Fakhru Al-Din „Usman Bin Ali, Tabyinu al-Haqoiq, Juz II,(Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub

Al-Ilmiah,tt), 493 72

Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami,SharkhFathul Al-Qadir, Juz III

(Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1995), 252

Page 56: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

47

mazhab Hanafi dalam menentukan obyek wali mujbir menggunakan dalil analogi

yaitu menurut pandangan mazhab Hanafi bahwa wanita yang sudah baligh

merupakan wanita yang sudah dianggap cakap hukum, sehingga nantinya dalam

hal aqad nikah dan hal yang berhubungan dengan pernikahan si wanita sudah bisa

bertasaruf sendiri tanpa harus adanya perwalian. Selain dari dalil analogi, mazhab

Hanafi juga memaparkan sebuah Hadith yang dijadikan sandaran, yang terkait

terkait obyek wali mujbir yaitu sebagai berikut:

Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa jariyah, seorang gadis telah menghadap

Rasulullah saw. ia mengatakan bahwa ayahnya telah mengawinkannya, sedang ia

tidak menyukainya. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih.” (HR. Ahmad, Abu

Daud, Ibnu Majah).73

Bahwa hadith tersebut merupakan sandaran bagi mazhab Hanafi , karena

menurut mazhab Hanafi dari hadith tersebut dapat dipahami bahwa yang menjadi

obyek wali mujbir adalah al-Soghiroh (anak perempuan kecil), sesuai hadith

tersebut bahwa ketika seorang al-Bikaroh (gadis) yang sudah baligh seperti yang

disebutkan didalam lafadh hadith maka hak ijbar yang dimiliki wali mujbir tidak

berlaku lagi.

Sangatlah wajar bila mazhab Hanafi menggunakan dalil analogi atau at-

Taqdiri karena hal ini merupakan sebuah identitas dari mazhab Hanafi, karena

pada awal pembentukan mazhab ini, memang pencetus mazhab ini banyak

menggunakan analogi sebagai dasar hukum, tetapi bukan hanya analogi saja yang

73

Dawud Sulaiman, Sunanu Abi Dawud, (Riyad}:Dar al-Islam,t.t.), 1377.

Page 57: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

48

digunakan dalam beristinbat hukum, melainkan mazhab Hanafi juga

menggunakan dalil hadits nabi yang sejalan dengan analogi tersebut. Sedangkan

mazhab Syafi‟i menyatakan bahwa obyek wali mujbir adalah ketika anak wanita

masih berstatus gadis (al-bikr), selama masih gadis maka hak ijbar yang dimiliki

oleh wali mujbir masih berlaku. Dalil yang digunkan oleh madhab Syafi‟i adalah

sebagai berikut:

Artinya: “Dari Yahya bin Yahya, Abu Muawiyah mengabarkan dari Hisyam dari

ibn „Urwah, Numair mengabarkan „Abdah dari Hisyam dari Bapaknya dari

„Aisyah Berkata ‚saya dikawinkan dengan Rasulullah saw dan umur saya enam

tahun dan Rasululah saw membangun rumah tangga denganku ketika saya umur

sembilan tahun.” (HR. Al- NasaiBukhari dan Muslim).74

Dari hadith di atas dapat dipahami bahwa siti „Aisyah dikawinkan dengan

Rasulullah saw ketika berumur enam tahun, pernikahan tersebut tanpa meminta

izin kepada „Aisyah terlebih dahulu, dalam artian perwalianya pada saat itu adalah

wali mujbir, dan beliau „Aisyah dinikahkan oleh ayahnya. Nampak jelas bahwa

kriteria serta karakteristik oleh kedua mazhab ini memiliki perbedaan dari istinbat

hukum maupun illat (alasan) hukum, bahwa alasan yang dipaparkan oleh mazhab

Hanafi dalam maslaah wali mujbir tersebut lebih bercorak pada at-Taqdiri

(pemikiran) meskipun pada akhirnya analogi tersebut tidak bertentangan dengan

hadits nabi, tetapi madhab Syafi‟i nampak lebih menonjolkan penggunaan hadits

nabi, sebelum akhirnya madhab tersebut juga menggunakan qiyas. Secara tidak

74

Al-Nasai, Sunanu Al-Nasai Al-S}ugro, (Riyad}:Dar al-Islam,t.t.), 2299

Page 58: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

49

langsung pendapat mazhab Hanafi dan Syafi‟i tentang konsep wali mujbir

bertolak belakang dengan hadits nabi sebagai berikut :

Artinya : “Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu

'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah

diajak berembuk dengan walinya dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan

kecuali setelah diminta izinnya." Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana

izinnya? Beliau bersabda: "Ia diam." (HR.Abu Dawud )

Komentar dari mazhab Hanafi terkait hadith di atas adalah, bahwa kata ini

diperuntukan ketika dia sudah mencapai kriteria baligh, karena secara akal pikiran

bahwa seseorang yang belum pernah menikah tidak mungkin bisa di ajak

bermusyawarah dalam soal perkawinan, oleh karenanya hadith tersebut diarahkan

untuk balighoh al-bikaroh (untuk gadis yang masih perawan).

Hadith di atas dapat dipahami oleh mazhab Syafi‟i bahwa seorang janda

berhak atas dirinya, oleh karenanya pemahaman baliknya (mafhum mukholafah)

ketika seorang perempuan tersebut masih gadis (al-bikr), maka hak perkawinanya

dipegang oleh walinya.

Sedangkan lafadh yang tertera di dalam matan hadith di atas, dimaknai

oleh mazhab Syafi‟i bahwa hal itu menunjukan adanya perintah yang bersifat

sunnah, karena perintah tersebut menggunakan redaksi yang tidak tegas, berbeda

ketika berbicara tentang masalah janda, dalam matan hadith di atas secara jelas

menjelaskan bahwa seorang janda hak perkawinanya dipegang oleh dirinya

Page 59: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

50

sendiri. Janda yang dimaksud matan hadith di atas menurut mazhab Syafi‟i adalah

janda yang sudah pernah bersetubuh.75

Masing-masing mazhab mensyaratkan kepada wali mujbir, seperti yang

sudah penulis jelaskan di dalam bab II dan bab III, hal tersebut dapat dipahami

bahwa secara tersirat baik mazhab Hanafi maupun mazhab Syafi‟i

memperhitungkan hak-hak perempuan, karena menurut pendapat dari ulama‟

mazhab tersebut jika persyaratan dari wali mujbir sudah dipenuhi, maka secara

umum hak-hak perempuan yang mencakup seperti halnya berhak memilih

pasangan sendiri, secara tidak langsung hal tersebut sudah terwakili oleh syarat

yang diajukan oleh masing-maisng mazhab tersebut. Kemudian jika konsep wali

mujbir dari kedua mazhab tersebut ditarik dalam konteks Indonesia, maka

menurut penulis sependapat dengan pemikiran dari mazhab Hanafi, hal ini

dikarenakan unsur maslahah (kebaikan umum) lebih besar, seperti halnya

pendapat Mazhab Hanafi yang digunakan sandaran hukum oleh KH. MA.Sahal

Mahfudh dalam menyikapi konsep wali mujbir ke-Indonesiaan, beliau

berpendapat bahwa wali mujbir dalam konteks Indonesia, bahwa beliau lebih

setuju dengan pendapat mazhab Hanafi, karena dinilai unsur maslahah (kebaikan

umum) lebih banyak, hal ini dikarenakan pendapat mazhab Hanafi ketika

diparaktikan di dalam hukum Indonesia akan cocok dengan perundang-undangan

yang ada, seperti halnya bahwa usia laki-laki untuk menikah dalam hukum

Indonesia adalah berumur 19 tahun sedangkan usia perkawinan untuk perempuan

75

Muhammad Shata al-Dimyati,Hashiyahi‟anatual-Talibin, Juz III, (Beirut-Lebanon:Dar al-

Kutub al-Ilmiah,2009), 563

Page 60: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

51

adalah 16 tahun,76

sedangkan seorang perempuan yang berusia 16 tahun, menurut

konsep fiqh wanita tersebut sudah baligh, tentunya menurut mazhab Hanafi hak

ijbar bagi wanita yang berusia 16 sudah hilang, sehingga dalam konteks hukum di

indonesia wali mujbir sudah tidak ada lagi. Jika perkawinan mengacu Undang-

Undang No 1 tahun 1974 pasal 7 (1) ‚perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria

sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai

umur 16 (enam belas) tahun, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 (1) ‚

untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal

7 Undang-Undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangya

berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun‛ hal

tersebut dinilai lebih maslahah, karena perempuan bebas memilih pasangan,

karena pada akhirnya hal tersebutlah yang akan menentukan keberlangsungan

serta kelanggengan dalam berumah tangga, maka konsep mazhab Hanafi lebih

cocok, karena apabila pendapat mazhab Syafi‟i dipraktekkan dalam hukum

Indonesia, maka maslahah akan sedikit, hal ini dikarenakan karena apabila wanita

yang sudah dewasa tetapi berstatus masih gadis, maka wali mujbir masih berhak

untuk menikahkan si gadis tersebut walaupun tanpa seizin darinya, tentunya hal

ini dalam perjalanan berumah tangga akan menjadi salah satu penyebab terjadi

banyak perceraian, karena kurang adanya proses mengenal, serta beban dalam

berumah tangga akan besar dikarenakan si gadis berdampimgan dengan suami

yang tidak merupakan pilihanya .

76

Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 7 (1). Kompilasi Hukum Islam Pasal

15 (1)

Page 61: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

52

C. Penerapan Konsep Wali Mujbir dalam Perkawinan di Indonesia

Mazhab-mazhab fiqh yang sedang berkembang, mengalami proses yang

tidak lagi mempersoalkan daerah, kota, atau tempat tinggal, tetapi lebih

menekankan pada aspek personal (nama seseorang), mazhab Hanafi contohnya

yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, yang dikenal sebagai imam

Ahlurra‟yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama pada

zamannya, mazhab ini dikenal banyak menggunakan ra‟yu, qiyas dan istiḥsân,

untuk penyebarannya mazhab Hanafi tersebar di bagian Asia Selatan seperti

Bangladesh dan Pakistan. Demikian juga dengan mazhab Syafi‟i yang dinisbatkan

kepada imam Syafi‟i, yang ahli sebagai ulama fiqh, ushul fiqh dan hadits.

Penyebarluasan pemikiran mazhab Syafi‟I berbeda dengan mazhab Hanafi,

diawali dengan kitab ushul fiqhnya Ar- Risalah, dan kitab fiqhnya al-Umm.

Adapun untuk penyebarannya mazhab Syafi‟i lebih dominan di Negara Asia

Tenggara seperti Brunei, Indonesia, dan Malaysia.77

Seperti yang telah dijelaskan, Indonesia merupakan Negara yang banyak

mengambil rujukan dari mazhab Syafi‟i dalam masalah fiqih. Fiqih Islam

membahas tentang masalah-masalah agama dan amalan-amalan ibadah serta

muamalat dengan segala macam jenis, aturan dan perincianya yang bersumber

pada kaidah-kaidah fiqih, dari penuturan di atas penting untuk dibahas bab

mengenai relevansi pendapat mazhab Syafi‟i dan Hanafi berkaitan dengan wali

mujbir dalam perkawinan di Indonesia.

77

Dedi Supriadi, Perbandingan Madzhab Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Pustaka Setia,

2008.

Page 62: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

53

Sebagaimana yang telah tercantum dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1

Tahun 1974, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka disini dapat dikatakan bahwa

perkawinan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan wanita.

Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki

dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah

bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tentram

dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang, untuk menegakan cita-cita

kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada

ajaran-ajaran Allah dalam al-Qur`an dan Sunnah yang sifatnya global, akan tetapi

perkawinan berkaitan pula dengan hukum Negara, perkawinan baru dinyatakan

sah apabila menurut hokum Allah dan hukum Negara telah memenuhi rukun dan

syarat-syaratnya. Seperti disebutkan dalam pasal 2 ayat 1, UU Perkawinan No. 1

Tahun 1974, yakni; “Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu” Menurut Kompilasi Hukum Islam

(KHI) Bab IV tentang Rukun dan Syarat Perkawinan, Bagian kesatu tentang

Rukun Perkawinan meliputi hal- hal78

:

a. Calon suami;

b. Calon istri;

c. Wali nikah;

d. Ijab dan kabul.

78

Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokus Media, 2012), h., 10.

Page 63: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

54

Lima perkara yang ditetapkan oleh KHI tersebut adalah sesuai dengan

syariat Islam, dikarenakan lima perkara tersebut adalah bagian dari rukun nikah

didalam mazhab Syafi‟i.

Ada perbedaan antara yang tercantum dalam KHI dengan mazhab Hanafi,

sebagaimana diketahui bahwa mazhab Hanafi menyandarkan pada rasionalitas

dalam membuat keputusan hukumnya, hal ini terlihat ketika mereka berpandangan

bahwa status wali hanyalah syarat perkawinan bukan rukun perkawinan.

Ulama Hanafiyah meringkas rukun nikah terdiri atas ijâb dan qabũl.

Rasionalitas tetang wali dalam pandangan mazhab Hanafiyah didasarkan bahwa

akad nikah sama dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup dengan

ijâb dan qabũl. Posisi wali hanya diperuntukan bagi pasangan suami istri yang

masih kecil, selain itu, secara istidhal, Hanafiyah berpandangan bahwa, al-Qur`an

atau Hadits yang dijadikan hujjah terhadap status wali sebagai rukun nikah,

tidaklah memberikan syarat bahwa wali termasuk rukun nikah.79

Perbedaan

tersebut menunjukan bahwa KHI lebih lengkap dan menyempurnakan makna

perkawinan, sehingga wali nikah menjadi sangat penting bagi sahnya sebuah

perkawinan, terutama bagi calon mempelai perempuan, sehingga jika tidak ada

wali dalam perspektif KHI, perkawinan tidak sah.80

Dalam pasal 19 KHI tentang wali nikah, KHI menegaskan sebagai berikut

; “ wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya” Pasal tersebut

79

Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, CV Pustaka setia, Jakarta,. 2011. h., 33 80

Ahmad Saebani, Beni, 2008, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan Undang- undang

(Perspektif Fiqh Munakahat dan UU Nomor 1 1974) h., 16.

Page 64: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

55

merupakan sebuah rukun/syarat menurut mayoritas ulama kecuali mazhab Hanafi.

Menurut mazhab Hanafi, surat al-Baqarah ayat 232 :

ث١ ا رشاض إرا اج أص ىذ ٠ أ رعض فال أج فجغ اغبء طمز إرا

ا٢خشرى ١ ا ثبهلل ٠ؤ ى وب ث عشفره٠عع ثب للا أطش أصوى

لرع ز أ ٠ع

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa

iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi

dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan

cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman

diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih

suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 232)

Ayat tersebut menurut Imam Abu Hanifah ditujukan kepada para wali,

bisa jadi ditujukan pula kepada suami yang mentalak isteri-isterinya atau

kemungkinan lain ditujukan kepada mukmin secara umum, kedua makna ayat ini

ditujukan kepada orang berakal atau lainnya dari kerabat dekat wanita (yang

ditalak) tetapi ayat ini tidak menunjukan hak wali terhadap wanita yang ditalak

tersebut secara mutlak.81

Dan juga dalam Hadits berikut :

ىذذثغ١شأحشا٠با اظذافبطفىبدبثبطفىبدبثبط١بفىبدبثبار

عزذفشجباثبق

Artinya: “Siapa saja diantara wanita yang nikah tanpa izin walinya, maka

nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Wanita itu berhak mendapatkan

mahar sebagai imbalan atas apa yang telah dihalalkan daripada kemaluannya”.

(Riwayat empat ahli hadits kecuali Nasa‟i).

81

Abdur Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh `Ala Al-Mâdzâhib Al-Arba‟ah,(Beirut : Dar Al-Fiqr,

1990), jilid 4, h., 48-49. Selanjutnya ditulis Al-Jaziri, Al-Fiqh.,

Page 65: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

56

Menurut pandangan mazhab Hanafiyah, hadits tersebut diatas adalah

dhoif, karena status perawi adalah Aj-Juhri ketika ditanya masalah itu, dia

menjawab tidak tau. Selain itu, menurut mazhab Hanafiyah, wali dalam hadits

tersebut dikhususkan kepada anak kecil yang belum memahami muamalah.

Karena akad nikah disamakan dengan akad jual beli maka seorang wanita yang

merdeka memiliki kebebasan berkehendak, baik dalam membeli maupun menjual.

Bagaimana seorang perempuan ditahan dalam melaksanakan akad pernikahan

(hanya karena harus adanya wali), sedangkan akad nikah adalah akad yang sudah

umum, yang menghendaki kebebasan. Oleh karena itu, akad nikah diqiyaskan

dengan akad jual beli.82

Sedangkan menurut imam Syafi‟i, ayat dan hadits tersebut diatas adalah

yang paling jelas dalam perlunya wali, sekiranya wali tidak diperlukan, maka

larangan atas wali yang menghalangi pernikahan seperti ayat diatas tidak akan

menimbulkan sembarang makna. Oleh karena itu, KHI tetap menegaskan bahwa

wali adalah termasuk rukun yang harus dipenuhi dalam pernikahan.

Dalam pasal 16 KHI, dinyatakan bahwa;

Pasal 16:

1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai

2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan

nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti

selama tidak ada penolakan yang tegas.

82

Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, CV Pustaka setia, Jakarta,. 2011. h., 35

Page 66: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

57

Secara fiqh, Pasal 16 tersebut berbeda dengan pendapat imam Syafi‟î di

dalam kitab al-`Umm. Menurut imam Syafi‟i; setiap perempuan yang akan

dinikahi dengan pria lain, haruslah dimintai izin, kecuali apabila yang

menikahkannya adalah ayahnya sendiri, apabila seorang ayah dikatakan sebagai

wali mujbir, maka dia adalah orang yang mempunyai kekuasaan untuk

mengawinkan anak perempuannya meskipun tanpa persetujuan dari pihak yang

bersangkutan. Menurut imam Syafi‟i, ayah berhak memilihkan calon pasangan

untuk anak perempuannya, karena jika anak perempuan memilih jodohnya sendiri

dihawatirkan dia memilih pasangan hidup yang salah karena seorang perempuan

menurut mazhab Syafi‟i kurang memiliki kecerdasan dalam hal memilih calon

pasangan hidupnya. Sifat emosionalnya lebih menonjol dibanding kecerdasan

akalnya. Untuk mengatasi hal tersebut maka unsur kerelaan perempuan atas calon

suaminya sudah dianggap cukup sebagai bahan pertimbangan bagi kepentingan

perkawinannya.83

Akan tetapi, KHI ternyata menganut pendapat dari kalangan

mazhab Hanafi yang mengatakan bahwa perempuan yang baligh dan merdeka

tidak boleh dipaksa untuk menikah walaupun ia masih perawan atau pun sudah

janda, malah wajib meminta izin dan berdiskusi dengannya. Menurut mazhab

Hanafi persetujuan seorang gadis atau janda harus ada dalam perkawinan, apabila

mereka menolak maka akad nikah tidak boleh dilakukan meskipun oleh ayah

sendiri,84

Dalam hal penentuan usia dewasa, khususnya untuk perkawinan ulam

Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi‟i mempunyai pandangan sendiri.

83

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: LKiS,2011), h., 88- 89 84 Robbi Arini, Kuasa Hak Ijbar terhadap anak dan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS,2011), h.,

244

Page 67: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

58

Sejalan dengan UU Perkawinan, KHI menyatakan, lelaki yang ingin

menikah sekurang-kurangnya harus berusia 19 tahun sedangkan perempuan 16

tahun. Tentu saja, aturan itu bisa dinego dengan cara meminta dispensasi kepada

pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun

wanita. Akan tetapi harus dipahami batas usia dewasa ternyata buka 19 tahun atau

16 tahun. Pasal 98 KHI menyatakan , batas usia anak yang mampu berdiri sendiri

atau dewasa adalah 21 tahun. Karena itu usia 21 tahun menjadi pertimbangan

penting bagi orang yang hendak melangsungkan perkawinan. Dalam Pasal 15 ayat

(2) KHI mengharuskan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun untuk

medapat izin dari kedua orang tua atau walinya jika hendak menikah, hal tersebut

selaras dengan Pasal 6 UU Perkawinan,85

yakni :

Pasal 6 ayat 2

Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Pasal 20

1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi

syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.

2) Wali nikah terdiri dari :

a. Wali nasab;

b. Wali hakim.

Pasal 20 angka (1) ini telah ditetapkan di dalam fiqh, lebih-lebih lagi didalam

mazhab Syafi‟i. Menurut Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i syarat

85

Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, CV Pustaka setia, Jakarta,. 2011 h., 67

Page 68: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

59

yang harus dipenuhi bagi seorang wali adalah 1. Islam, 2. Baligh, 3. Berakal, 4.

Merdeka, 5. Lelaki, 6. Adil (tidak fasik).86

Dari uraian tersebut ada dua yang tidak dicantumkan KHI; yaitu merdeka

dan adil. Merdeka tidak dicantumkan karena memandang status merdeka sudah

pasti wujud dan tidak perlu diqayyidkan karena memandang sekarang sudah tidak

ada perhambaan. Sedangkan status adil tidak dicantumkan karena berpegangan

pada pendapat kedua didalam mazhab Syafi‟i, bahwa wali fasik tetap dapat

menjadi wali nikah.

Bagi Pasal 20 angka (2) pula ditetapkan pembagian wali menjadi dua, yaitu wali

nasab dan wali hakim. Wali nasab terbagi menjadi dua yakni wali aqrab dan wali

ab‟ad, yang termasuk wali aqrab adalah wali ayah atau orang tua dari anak

perempuan, sedangkan wali jauh adalah kakak atau adik ayah.87

Menurut Imam

Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i urutan perwalian dalam pernikahan berada

pada ayah, dan kalau tidak ada ayah maka diganti oleh kakek, apabila tidak ada

kakek maka diganti dengan buyut, menurut Imam Abu Abdullah Muhammad asy-

Syafi‟i yang paling berhak menikahkan adalah dari jalur bapak, bukan dari jalur

persaudaraan, apabila dari pihak bapak tidak ada maka saudaranya yang berhak

menjadi wali dan saudara kandung lebih didahulukan daripada saudara sebapak,

apabila tidak ada saudara kandung maka saudara sebapaklah yang lebih

didahulukan daripada yang lainnya.

Adapun Imam Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai wali nasab,

menurutnya urutan wali nasab dalam perwalian pernikahan berada pada anak laki-

86

Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta:Siraja,. 2003) h., 82 87

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), cet 1, h., 248.

Page 69: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

60

laki dari wanita yang akan menikah, jika wanita tersebut telah mempunyai anak,

kemudian urutan berikutnya adalah, cucu laki-laki (dari pihak anak laki- laki),

ayah, kakek dari pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-laki seayah, anak

saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah),

anak paman dan seterusnya.88

Terdapat perbedaan pendapat dari pendapat kedua

mazhab diatas, yakni Imam Abu Hanifah menempatkan mendahulukan perwalian

anak laki-laki bagi ibunya dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah

mendahulukan ayah dari si wanita yang akan menikah, karena menurut Imam Abu

Hanifah, anak laki-laki lebih dahulu mendapatkan sisa harta warisan (ashabah)

dibanding yang lainnya. Ibnu Utsaimin menjawab pendapat dari Imam Abu

Hanifah yakni pertama bahwa seorang ayah lebih paham tentang maslahat

puterinya dibanding anak wanita tersebut, dan yang kedua bahwa perwalian ayah

telah ditetapkan dalam syariat ketika wanita belum memiliki anak, maka

dibutuhkan dalil untuk mengubah urutan perwalian tersebut.

Mengenai urutan wali nasab tersebut, KHI menganut pendapat dari

golongan Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i dengan mengatakan

bahwa;

Pasal 21

(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, elompok

yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan

kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

88

Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mażhab (Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I, Hanbali, alih

bahasa Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Cet. Ke 11, (Jakarta, Lentera: 2004). h.,

347

Page 70: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

61

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas, yakni ayah, kakek dari

pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah,

dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat pama, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara

seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah

kakek dan keturunan laki-laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-

sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang

lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Apabila dalam satu kelompok sama sama derajat kekerabatannya maka yang

berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama

derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama

berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi

syarat-syarat wali.

Adapun mengenai wali hakim, KHI juga mencantumkan dalam pasal 23 KHI,

yakni;

Pasal 23

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak

ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya

atau gaib atau adlal atau enggan.

Page 71: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

62

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak

sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Bagi Pasal 23 angka (1), bermaksud bahwa wali hakim hanya dapat

bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin

menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya, gaib, atau adlal

(enggan/tidak mau menikahkan). Ketentuan di dalam pasal ini adalah berdasarkan

fiqh mazhab Syafi‟i yang mengatakan bahwa wali yang berada di tempat hadir

kemudian tidak mau menikahkan maka posisinya tidak boleh digantikan oleh wali

berikutnya dalam hubungan kerabat, dan tidak ada yang boleh menikahkan

wanita tersebut kecuali hakim yang sah.

Page 72: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

63

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Konsep dari Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hanafi terkait konsep wali

mujbir dalam perkawinan sangat berbeda satu sama lain. Syafi‟i

berpendapat bahwasanya otoritas wali mujbir dalam perkawinan sangat

menentukan, karena berdasarkan metode tasfir logika terbaliknya

(Mafhūm Mukhȏlafah) terhadap Ayat Al-qur'an dan Hadis nabi yang

diriwayatkan oleh Bukhori dalam kitabnya Soẖīẖ Bukhȏri Hadis yang

melahirkan perbedaan persetujuan gadis dan janda. Dan cara menjaga anak

gadisnya yang dianggap belum mengerti sama sekali tentang perkawinan

dari kesalahan dalam memilih pasangan (Dar‟u al-Mafāsid).

Sangat berbeda dengan Hanafi yang tidak membeda-bedakan status

gadis dan janda, Hanafi berpendapat bahwa kosep wali mujbir tidak

berlaku kecuali hanya pada anak gadis yang belum baligh dan pada gadis

dewasa yang tidak waras atau gila. Karena menurut Hanafi gadis dewasa

dan janda adalah sama, yakni sama-sama cukup mampu berpikir dan

memilih jalan hidup yang akan dipilih (al-bāligah al-„āqilah). Malah

dikuatirkan kalau adanya paksaaan dari wali mujbir akan terjadi kerusakan

pada perkawinannya kelak. Karena tujuan nikah dianggap sangat

menentukan, maka hendaklah pernikahan tidak didasarkan pada paksaan

demi menjaga keutuhan perkawinan kedua mempelai kelak. Pendapat

Hanafi tersebut perkuat oleh Hadis yang diriwayatkan Ibnu Majjah dalam

Page 73: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

64

kitabnya Sunan Ibnu Majjah bahwasanya persetujuan gadis dan janda

masih dibutuhkan dalam perkawinan.

2. Relevansi konsep wali mujbir dengan konteks pernikahan di Indonesia

sangat erat kaitannya dengan Hak Asasi kaum perempuan, karena dalam

perdebatannya, Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i mefokuskan

pembahasan mereka pada paksaan perkawinan terhadap calon mempelai

perempuan. Sedangkan dalam pasal 6 ayat (1) bab II Undang-Undang

nomor 1 Tahun 1974 mengenai syarat-syarat perkawinan bahwa

perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,

mengindikasikan bahwa kedua calon mempelai harus diposisikan sebagai

subyek perkawinan. Hal ini sangat cocok dengan pendapat Hanafi yang

membebaskan perempuan dalam memilih pasangannya. Karena

perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk

keluarga yang kekal dan bahagia, dan dengan demikian, pendapat Hanafi

sesuai pula dengan hak asasi manusia yang berlaku. Namun tidak

demikian dengan pendapat Syafi‟i yang menjadikan perempuan sebagai

obyek perkawinan dalam konsep wali mujbirnya. Dan demi menjaga Hak

Asasi kaum Perempuan, konsep ini kurang patut digunakan. Meski pada

kenyataannya masih banyak praktik konsep wali mujbir di Indonesia

mengingat madzab Syafi‟i adalah madzab yang paling diikuti di Indonesia.

Tetapi tetap saja hal ini bertolak belakang dengan Undang-undang nomor

1 Tahun 1974 yang tercantum dalam pasal 6 ayat (1) bab II.

Page 74: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

65

B. Saran

1. Pemerintah

Agar dapat memberikan sosialisasi undang-undang pernikahan no.1 tahun

1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) kepada masyarakat untuk memberikan

pemahaman yang mendalam terkait perwalian, sehingga dapat lebih dimengerti

dalam prakteknya dimasyarakat.

2. Lembaga KUA

Agar mensosialisasikan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam

berlangsungnya pernikahan baik wali, calon mempelai suami dan calon mempelai

wanita untuk lebih memahami bagaimana sistem atau proses pernikahan yang

sesuai undang-undang pernikahan yang berlaku, terutama terkait posisi seorang

wali dalam hal ini wali mujbir.

3. Masyarakat

Agar dapat lebih memahami konsep wali mujbir dalam kehidupan

bermasyarakat sesuai dengan tuntunan agama dan peraturan undang-undang yang

berlaku. Untuk seorang ayah dapat menempatkan posisinya kapan seharusnya

mengambil hak posisinya sebagai wali mujbir, dan wanita anak dari ayah tersebut

mampu memposisikan dirinya kapan dan dalam kondisi seperti apa dapat

menangguhkan pernikahan kepada wali mujbir (ayah atau kakek) serta kondisi

seperti bagaiamana ia dapat menikahkan dirinya sendiri, sehingga tidak

memberikan kesan pernikahan yang dipaksakan, karena pada dasarnya pernikahan

bertujuan membina keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.

Page 75: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

66

DAFTAR PUSTAKA

Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, Bandung: Jabal

Raudlatul Jannah, 2010

Abî Muhammad Mahmȗd bin Muhammad al-ʻAini, Al-Binậyaṫ fi Syarh

al-Hidậyaṫ, Beirut: Dậr al-Fikr. 1990, cet. Ke-2, Juz IV

Syamsuddin al-Syarkhasi, Al-Mabsȗth, Beirut: Dậr al-Maʻrifah. t.t, Juz V

Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan

UU Negara Muslim Yogyakarta : Academia + Tazzafa, 2004

Husein Muhammad, Fiqih Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana

Agama dan Gender Yogyakarta : LKiS, 2001

Sahal Mahfudh,Dialog Problematika Umat, Surabaya: Khalista,2010

Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, Beirut:Dar

al-Kutub al-Ilmiyah, 1995

M. Nasir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985

Instruksi Presiden RI, Nomor 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, Jakarta : Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam, 2000

Mahmud Abdurrahman Abdul Mun‟im, Mu‟jam al-Mushthalahat wa al-

Alfadz al- Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Fadhilah, 1401 H/ 1981 M

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr,

1409 H/ 1989 M, j. 6

Departemen Agama STAIN Tulungagung, Pedoman Penyusunan Skripsi,

Tulungagung: Depag, 2009

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2000)

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prenada

Media, 2005

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik,

Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik

Page 76: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

67

Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam Madzhab-Imam Abu

Hanifah, Jakarta: Lentera Hati, Jil.1, 2013

Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. 5,

Jakarta: Bulan Bintang, 1986

Hadi Hussain M. Imam Abu Hanifah Life and Work, Institute of Islamic

Culture, Pakistan: Lahore, 1972. Hlm. 10 dikutip dari A. Djazuli, Ilmu Fiqh

“Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Prenadamedia

Group, cet. 9, 2013

A. Djazuli. Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan

Hukum Islam. Edisi Revisi, Cetakan ke-VI. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.

Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani, Badai‟Shanai‟, Beirut: Dar al-Kutb al-

Ilmiyah, Juz III, 1997

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Terjemah), Semarang : CV. Asy-

Syifa‟, 1990, Cet. Ke-1

An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hallaj, terj.

Suharlan dan Darwis, Syarah Shahih Muslim, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013

Dikutip dari An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih, terjemahan. Suharlan

dan Darwis, Syarah Shahih Muslim

Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, Beirut:Dar

al-Kutub al-Ilmiyah, 1995

Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Madzahib al-„arba‟ah

Fakhru Al- Din „Usman Bin Ali, Tabyinu al-Haqoiq, Juz II, Beirut –

Lebanon : Dar Al- Kutub Al- Ilmiah

Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-

Kattani, dkk, Fiqih Islam, Jakarta: Gema Insani, 2011

Muhammad Amin Ibn „Abidin, Raddul Al-Mukhtar „Ala Al-Dar Al-

Mukhtar, Juz IV Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. 5,

Jakarta: Bulan Bintang, 1986

Abd. Wahhab Khallaf, Ilm al-Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam 1987

Page 77: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

68

An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih terjemahan Suharlan dan Darwis,

Syarah Shahih Muslim

As-Syafi‟i, Al-Umm, terj. Rosadi Imron, dkk. Jakarta: Pustaka Azam,

2009

Al-Imam Al- Nawawi, Majmu‟ Sharh al –Muhadhhab, Jilid XVI, Kairo:

Dar al-Hadith, 2010

Maman Abd.Djaliel. Fiqh Madzhab Syafi‟i Edisi Lengkap Buku 2:

Muamalat, Munakahat, Jinayat, Bandung : CV Pustaka Setia, 2007

Sulaiman Bin Muhammad Ibn ‟Umar, Hashiyah Bujairomi, Jilid III ... Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafaah Syarifah,

Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000

Al-Nasa‟i, Sunanu Al-Nasa‟i Al-Sughro, Riyad: Dar al-Islam, t.t

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemah, Semarang : CV. Asy- Syifa‟,

1990, Cet. Ke-1

Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami, Sharkh

Fathul Al-Qadir, Juz III Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1995

Muhammad Shata al-Dimyati, Hashiyah i‟anatu al-Talibin, Juz III,

Beirut-Lebanon:Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2009

Al-Imam Al-Nawawi, Majmu‟ Sharh al-Muhadhhab, Jilid XVI,

Kairo:Dar al-Hadith, 2010

Muhammad Amin Ibn „Abidin, Raddul Al-Mukhtar „Ala Al-Dar Al-

Mukhtar ,Juz IV Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub AL-„Ilmiah,t.t.

Ibn „Umar Al-Daruqutni, Sunanu Al-Daru Qut}ni, Juz IV, Beirut-

Lebanon: Aresalah Pubisher, 2004

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII, Beirut: Dar

al-Fikr, 1989

Fakhru Al-Din „Usman Bin Ali, Tabyinu al-Haqoiq, Juz II, Beirut-

Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah

Dawud Sulaiman, Sunanu Abi Dawud, Riyad: Dar al-Islam,t.t.

Al-Nasai, Sunanu Al-Nasai Al-Sugro, Riyad: Dar al-Islam,t.t.

Page 78: WALI MUJBIR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i

69

Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 7 (1). Kompilasi

Hukum Islam Pasal 15 (1)

Dedi Supriadi, Perbandingan Madzhab Dengan Pendekatan Baru,

Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Kompilasi Hukum Islam, Bandung : Fokus Media, 2012

Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, CV Pustaka setia, Jakarta,.

2011.

Ahmad Saebani, Beni, 2008, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan

Undang- undang Perspektif Fiqh Munakahat dan UU Nomor 1 1974

Abdur Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh `Ala Al-Mâdzâhib Al-Arba‟ah, Beirut

: Dar Al-Fiqr, 1990, jilid 4, h. 48-49. Selanjutnya ditulis Al-Jaziri, Al-Fiqh.

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2011

Robbi Arini, Kuasa Hak Ijbar terhadap anak dan Perempuan,

Yogyakarta: LKiS, 2011

Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta:

Siraja, 2003 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia, 2001,

cet 1 Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mażhab Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I,

Hanbali, alih bahasa Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Cet. Ke 11,

Jakarta, Lentera: 2004.

An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hallaj, terj.

Suharlan dan Darwis, Syarah Shahih Muslim, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013