31
Utang Pemerintah dan Kesinambungan Fiskal Sejarah dan Latar Belakang Utang Indonesia A. Utang Indonesia pada Masa Orde Lama. Pada masa Orde Lama, pinjaman luar negeri digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat politis, bukan untuk pembangunan secara nyata. Pada masa pemerintahan orde lama, Indonesia telah menerima pinjaman luar negeri jangka pendek yang akhirnya menimbulkan kesulitan pembayaran kembali sehingga ditempuh upaya penyelesaian berupa penundaan kembali atau pengalihan bentuk pinjaman. Disamping penggunaan pinjaman luar negeri yang kurang terencana, perkembangan di bidang politik juga berperan menciptakan kondisi lemahnya pengawasan terhadap penggunaannya. Laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 di bawah 2 persen. Investasi di sektor produktif sangat kecil dan pembangunan proyek-proyek monumental yang tidak produktif semakin bertambah. Deficit anggaran belanja pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dari bank Indonesia melalui pencetakan uang telah memacu tingkat inflasi yang mencapai puncaknya sebesar 635 persen pada tahun 1966. Adanya kurs mata uang yang beragam (multiple) dan sistem devisa yang sangat ketat, menyebabkan cadangan devisa semakin langka dan timbulnya pasar gelap devisa yang nilainya sangat tinggi. Hal ini berakibat terjadinya pelarian modal ke luar negeri dan kegiatan spekulatif. B. Utang Indonesia pada Masa Orde Baru.

Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

  • Upload
    hitzi

  • View
    28

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

utang

Citation preview

Page 1: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Utang Pemerintah dan Kesinambungan Fiskal

Sejarah dan Latar Belakang Utang Indonesia

A. Utang Indonesia pada Masa Orde Lama.

Pada masa Orde Lama, pinjaman luar negeri digunakan untuk membiayai

proyek-proyek yang bersifat politis, bukan untuk pembangunan secara nyata.

Pada masa pemerintahan orde lama, Indonesia telah menerima pinjaman luar

negeri jangka pendek yang akhirnya menimbulkan kesulitan pembayaran

kembali sehingga ditempuh upaya penyelesaian berupa penundaan kembali atau

pengalihan bentuk pinjaman. Disamping penggunaan pinjaman luar negeri yang

kurang terencana, perkembangan di bidang politik juga berperan menciptakan

kondisi lemahnya pengawasan terhadap penggunaannya.

Laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 di bawah 2 persen.

Investasi di sektor produktif sangat kecil dan pembangunan proyek-proyek

monumental yang tidak produktif semakin bertambah. Deficit anggaran belanja

pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dari bank Indonesia melalui

pencetakan uang telah memacu tingkat inflasi yang mencapai puncaknya

sebesar 635 persen pada tahun 1966. Adanya kurs mata uang yang beragam

(multiple) dan sistem devisa yang sangat ketat, menyebabkan cadangan devisa

semakin langka dan timbulnya pasar gelap devisa yang nilainya sangat tinggi.

Hal ini berakibat terjadinya pelarian modal ke luar negeri dan kegiatan spekulatif.

B. Utang Indonesia pada Masa Orde Baru.

Orde baru diawali dengan suatu keadaan yang sarat beban. Pada tahun 1966

merupakan permulaan tahun-tahun dimana utang-utang pemerintah mulai jatuh

tempo. Utang pemerintah tersebut relatif sangat tinggi dibandingkan dengan

kemampuan membayar kembali pada waktu itu. Strategi terpenting yang diambil

pada saat itu adalah melakukan proses stabilisasi perekonomian dan rehabilitasi

berbagai prasarana yang menunjang kegiatan ekonomi. Salah satu program

penting dari program normalisasi tersebut adalah normalisasi hubungan yang

sempat merenggang dengan berbagai lembaga multilateral, terutama IMF dan

Page 2: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Bank dunia. Kedua lembaga multilateral tersebut akhirnya membantu

pemerintah indonesia dalam melakukan penjadwalan kembali utang-utang yang

terakumulasi pada periode sebelumnya. Selain melakukan penjadwalan kembali

utang-utang pemerintah, melalui paris club dan perundingan bilateral, berbagai

lembaga maju dan lembaga multilateral menyepakati terbentuknya suatu forum

konsorsium negara/lembaga dnor yang kemudian disebut sebagai Inter-

Governmental Group for Indonesia (IGGI) yang pada awal tahun 1990-an

digantikan dengan forum baru yang serupa yang disebut Consultative Group for

Indonesia (CGI).

Dengan perkembangan dari Pelita I ke Pelita V yang dijalankan pada masa orde baru, perekonomian

indonesia dapat dikatakan mengalami perkembangan yang luar biasa. Perkembangan yang sedemikian pada

akhirnya menghasilkan suatu kemampuan pengumpulan penerimaan pemerintah yang besar, sehingga dapat

membiayai berbagai kegiatan yang dilakukan, termasuk diantaranya pembayaran cicilan utang dan bunganya

secara tepat waktu dalam suatu periode dua puluh lima tahun secara terus menerus. Oleh karena itu, periode

tersebut mengambarkan bahwa utang luar negeri menjadi sumber pembiayaan pembangunan ekonomi yang

penting walaupun tidak sedikit yang berpendapat bahwa jumlah pinjaman Indonesia sudah menimbulkan

ketergantungan bagi Indonesia, sehingga kalau bisa agar diupayakan pengurangannya. Pada akhir Pelita V

jumlah utang luar negeri Indonesia sudah mencapai jumlah lebih dari 50 miliar dolar. Posisi hutang Indonsia

pada masa orde baru dapat digambarkan dengan tabel berikut:

Perkembangan Ekonomi Indonesia Pelita I – Pelita VPosisi utang pemerintah akhir Pelita

(juta$)

Pertumbuhan ekonomi

rata-rata

Inflasi Cadangan Devisa

Akhir Pelita (juta$)

Ekspor Akhir Pelita (juta$)

Penerimaan Dalam

Negeri (Rp

Triliun)Pelita I 4.426 7,3% 14,3% 930 2.957 1,0Pelita II 11.330 7,2% 17,1% 2.917 11.020 4,3Pelita III 19.953 6,1% 13,2% 5,145 18.689 14,4Pelita IV 38.983 5,2% 7,8% 6.011 19.509 23,0Pelita V 52.462 8,3% 8,2% 12.708 36.607 52,8

Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah

Strategi pembangunan dengan memanfaatkan pembiayaan utang pada

akhirnya telah berhasil membangun basis yang kuat pada perekonomian untuk

menciptakan kemampuan dalam melakukan pelunasan utang tersebut.

Kemampuan negara dalam mengumpulkan penerimaan pajak serta kemampuan

perekonomian dalam mendukung ekspor adalah dua hal penting yang

Page 3: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

dibutuhkan dalam memupuk kemampuan pemerintah untuk melakukan

pelunasan kewajiban bunga dan cicilan utang luar negeri. Secara kronologis,

perkembangan utang luar negeri Pemerintah Indonesia dalam juta dolar AS dapat

diikuti dari tabel berikut ini.

TahunTotal Utang LN

Pemerintah (juta dolar AS)

Tahun

Total Utang LN Pemerintah (juta

dolar AS)Tahun

Total Utang LN Pemerintah (juta

dolar AS)1966 2.015 1978 11.330 1990 45.1001967 2.076 1979 11.775 1991 45.7251968 2.174 1980 12.994 1992 48.7691969 2.437 1981 13.945 1993 52.4621970 2.778 1982 16,767 1994 58.6161971 3.225 1983 19.953 1995 59.5881972 3.617 1984 21.589 1996 55.3031973 4.426 1985 25.321 1997 53.8651974 4.851 1986 31.251 1998 67.3151975 6.611 1987 38.417 1999 75.7201976 8.295 1988 38.983 2000 74.8911977 9.654 1989 39.577

Berdasarkan gambaran keseluruhan tersebut dapat dilihat bahwa

perkembangan utang luar negeri pemerintah memang mengalami fluktuasi

meskipun trendnya tetap menunjukan peningkatan. Pada pertengahan

dasawarsa 1990-an sebetulnya sudah tampak terjadinya penurunan utang

pemerintah, yang sebagian disebabkan juga oleh perubahan nilai tukar mata

uang. Namun demikian, trend penurunan ini akhirnya berbalik menjadi lonjakan

tajam pada tahun 1998 dan 1999 karena terjadinya krisis di Indonesia maupun

terjadinya perubahan kurs antara mata uang utama. Pada tahun 1998 kenaikan

pinjaman tersebut sebesar 13,45 miliar dolar AS sedangkan pada tahun 1999

masih terjadi kenaikan lagi sebesar 8,4 miliar dolar AS. Namun demikian, tahun

2000 jumlah utang kembali mengalami sedikit penurunan. Perkembangan

tersebut merupakan satu bahan renungan yang menarik mengenai strategi

pembiayaan pembangunan dengan memanfaatkan utang luar negeri.

Pinjaman IMF: Upaya Memperkuat Neraca Pembayaran

Pinjaman IMF umumnya diberikan dalam “balance of payment support”, atau

pinjaman yang dipergunakan untuk memperkuat cadangan devisa suatu negara.

Page 4: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Pinjaman ini dimaksudkan agar tercipta kepercayaan yang lebih besar kepada

kemampuan negara tersebut dalam menghadapi berbagai kewajiban

pembayaran ke luar negeri, termasuk untuk impor, dengan memunculkan angka

yang lebih baik pada cadangan devisa negara peminjamnya. Karena itu,

tujuannya memang bukan untuk dipergunakan Pemerintah untuk menomboki

defisit APBN.

Dengan sifat yang sedemikian, pinjaman IMF tersebut masuk sebagai

cadangan devisa Bank Indonesia, yang kemudian oleh Bank Indonesia akan

ditanamkan kembali dalam berbagai bentuk penanaman valuta asing di luar

negeri. Karena itu, dalam proses ini “biaya” yang harus ditanggung oleh

Indonesia pada akhirnya harus juga diperhitungkan dengan penerimaan yang

diperoleh oleh Bank Indonesia dari penanaman dana tersebut. Dengan sifat

demikian, dimana pinjaman IMF tersebut pada akhirnya merupakan pinjaman

yang diterima oleh Bank Indonesia, maka pembayaran kembalinya pun mestinya

berada di luar APBN dan langsung masuk sebagai beban bank Indonesia (kecuali

kalau ada kesepakatan lain antara BI dan Pemerintah). Oleh karena itu, tidak

salah apabila ada pendapat yang mengatakan bahwa pinjaman IMF tersebut

tidak termasuk dalam komponen keseluruhan pinjaman luar negeri Pemerintah.

Suatu hal yang penting dari pinjaman IMF adalah fungsinya sebagai katalis

bagi mengalirnya pinjaman dari sumber-sumber ofisial lainnya maupun dari

pasar modal internaisional. Sebagaimana dimaklumi, pinjaman IMF tersebut

umumnya diberikan bersamaan dengan suatu program reformasi yang dijanjikan

oleh pemerintah negara penerima pinjaman. Program ini secara rinci termuat

dalam suatu dokumen yang disebut “Letter of Intent” (LOI). Pinjaman IMF pada

umumnya dicairkan jika LOI tersebut telah ditandatangani oleh pemerintah yang

bersangkutan, setelah isi dari programnya disepakati bersama antara Pemerintah

dan IMF. Karena itu, pencairan pinjaman IMF berarti secara implisit program yang

akan dijalankan oleh pemerintah telah memperoleh stempel dari IMF. Sifat

sebagai katalis inilah yang pada akhirnya membuat beberapa negara tetap

menginginkan kehadiran IMF meskipun pada akhirnya mereka tidak

membutuhkan dana dari IMF itu sendiri.

Page 5: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Pinjaman dari IMF kepada Indonesia pada saat ini diberikan dalam bentuk

“Extended Fund Facility” (EFF). Fasilitas ini merupakan suatu bentuk pinjaman

yang diberikan oleh IMF kepada negara anggota yang sedang melakukan

program reformasi ekonomi yang bersifat struktural, sehingga memerlukan

waktu yang lebih panjang untuk penyelesaiannya maupun jangka waktu untuk

pelunasannya. Sebelumnya, pada saat terjadi krisis pada tahun 1997, bentuk

pinjaman yang diberikan ke Indonesia berupa Stand-by Arangement (SBA).

Fasilita ini diberikan kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca

pembayaran sehingga diperkirakan jangka waktunya tidak terlalu lama.

Indonesia juga pernah memperoleh pinjaman dari IMF dalam bentuk

“Compensatory Financing Facility” (CFF) pada saat terjadi penurunan harga

minyak di pertengahan dasa warsa 1980-an. Pinjaman ini ditunjukan kepada

negara-negara yang sedang mengalami kemrosotan ekspor karena terjadinya

perubahan harga di pasar internasional. Ketiga pinjaman tersebut (EFF, SBA, dan

CFF) merupakan suatu bentuk pinjaman yang reguler sehingga hanya dikenai

tingkat bunga pinjaman umum (Rate of Charges). Sampai akhir tahun 2001,

jumlah pinjaman IMF kepada Indonesia mencapai 10,9 miiliar dolar AS. Jumlah

pinjaman IMF dalam dolar AS ini selalu berubah dari waktu ke waktu karena

adanya perubahan nilai tukar mata uang. Seiring perkembangan waktu, saat ini

utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) diklaim telah dipangkas habis

pada masa pemerintahan presiden SBY. Pada tahun 2006, dua tahun setelah

memimpin Indonesia, Presiden SBY berhasil melunasi seluruh utang kita sebesar

7.8 miliar dolar AS.

C. Utang Indonesia pada Masa Krisis

Kebijakan pinjaman luar negeri yang utama sejak terjadi krisis pertengahan

tahun 1997 adalah upaya mengurangi jumlah pinjaman luar negeri (debt stock)

dan beban pengembalian pinjaman luar negeri (debt burden). Sementara itu,

strategi yang dijalankan pemerintah untuk mengurangi debt burden adalah

melalui restrukturisasi pinjaman luar negeri pemerintah dan memfasilitasi

penyelesaian pinjaman luar negeri sector swasta.

Page 6: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Pada tanggal 9 Januari 1998 Presiden RI mengeluarkan Keppres No. 4 Tahun

1998 tentang Pembentukan Tim Penanggulangan Masalah Hutang-Hutang

Perusahaan Swasta Indonesia yang tugas-tugasnya adalah:

1. Mengkoordinasikan dan membantu upaya penanganan penyelesaian utang

swasta Indonesia termasuk cara restrukturisasi atau reorganisasi perusahaan;

2. Mengkoordinasikan badan atau lembaga yang menangani penyelesaian utang

perusahaan swasta Indonesia;

3. Mengajukan pertimbangan kepada Presiden mengenai kebijakan yang perlu

ditempuh pemerintah dalam menangani masalah tersebut di atas.

Lembaga Penyelesaian Pinjaman Perusahaan Swasta (LPHS)

Lembaga ini dibentuk dengan menunjuk Keppres No. 17/1998 tentang Dewan

Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan dan Keppres No. 4/1998 tentang

Tim Penyelesaian Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia. Lembaga

ini berfungsi untuk mengkoordinasikan penanganan pinjaman-pinjaman

perusahaan swasta serta membantu penyelesaian perselisihan antara debitur

dan kreditur.

Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA)

INDRA adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dengan Keppres No.

95/1998 yang disempurnakan dengan Keppres Bo. 31/1999. Lembaga ini adalah

lembaga non-profit yang terpisah dari Bank Indonesia namun beroperasi di

bawah pengawasan Bank Indonesia.

Program INDRA bertujuan untuk memberikan ruang gerak yang lebih leluasa

bagi para debitur dalam mengembalikan pinjaman luar negerinya, terutama

dalam bentuk rescheduling dengan jangka waktu menjadi minimal 8 tahun

dengan masa tenggang (grace period) minimal 3 tahun.

Page 7: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Strategi Pengelolaan Utang Pemerintah Indonesia

A. Tujuan Pengelolaan Utang

Page 8: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Tujuan umum pengelolaan utang negara dapat dibagi per periode waktu yaitu:

1. Tujuan jangka panjang

a. Mengamankan kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang dengan biaya

minimal pada tingkat risiko terkendali, sehingga kesinambungan fiskal

dapat terpelihara.

b. Mendukung upaya untuk menciptakan pasar Surat Berharga Negara (SBN)

yang dalam, aktif dan likuid.

2. Tujuan jangka pendek

Memastikan tersedianya dana untuk menutup defisit dan pembayaran

kewajiban pokok utang secara tepat waktu dan efisien.

B. Unit Pengelola Utang Negara

Organisasi pengelola utang telah mengalami beberapa kali perubahan seiring

dengan semakin besar dan beragamnya jumlah dan jenis utang Pemerintah,

yang secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sebelum tahun 1998, utang Pemerintah hanya berupa pinjaman luar negeri

yang pengelolaannya dilakukan oleh Direktorat Dana Luar Negeri pada

Direktorat Jenderal Anggaran (DJA).

2. Pada tahun 1999 dibentuk Debt Management Unit (DMU) yang berada di

bawah Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, yang pada awal

pembentukannya difokuskan untuk mengelola obligasi rekap yang diterbitkan

untuk menyehatkan perbankan akibat krisis tahun 1998.

3. Pada tahun 2001 DMU berubah menjadi Pusat Manajemen Obligasi Negara

(PMON) sebagai unit eselon II di bawah Sekretariat Jenderal yang secara

khusus mengelola SUN.

4. Pada tahun 2004 terjadi reorganisasi pada Kementerian Keuangan yang

menyatukan pengelolaan utang dalam satu unit eselon I di Direktorat Jenderal

Perbendaharaan (DJPB). PMON diubah namanya menjadi Direktorat

Pengelolaan SUN, sedangkan Direktorat Dana Luar Negeri dengan nama baru

menjadi Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri.

Page 9: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

5. Pada tahun 2006, seiring dengan berkembangnya ruang lingkup pengelolaan

utang dan dalam rangka memusatkan pengelolaannya dalam satu unit

tersendiri, dibentuklah unit eselon I bernama Direktorat Jenderal Pengelolaan

Utang (DJPU).

C. Strategi Pengelolaan Utang

Strategi Umum Pengelolaan Utang dan Kewajiban Kontijensi tahun 2013-2016

adalah:

1. Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dalam negeri dan

memanfaatkan sumber utang dari luar negeri sebagai pelengkap;

2. Melakukan pengembangan instrumen dan perluasan basis investor utang

agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih sumber utang yang lebih sesuai

kebutuhan dengan biaya yang minimal dan risiko terkendali;

3. Memanfaatkan fleksibilitas pembiayaan utang untuk menjamin terpenuhinya

pembiayaan APBN dengan biaya dan risiko yang optimal;

4. Memaksimalkan pemanfaatan utang untuk belanja modal terutama

pembangunan infrastruktur;

5. Melakukan pengelolaan utang secara aktif dalam kerangka ALM Negara;

6. Menghentikan kebijakan pemberian jaminan pemerintah yang bersifat blanket

guarantee, seperti penerbitan support letter untuk proyek-proyek

Independent Power Producer (IPP) PT. PLN;

7. Mendukung peningkatan modal perusahaan yang didirikan oleh Pemerintah

untuk melaksanakan penjaminan infrastruktur agar mampu memberi jaminan

tanpa melibatkan Pemerintah;

8. Meningkatkan transparansi pengelolaan utang dan kewajiban kontinjensi

melalui penerbitan informasi publik secara berkala;

9. Melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan

efisiensi APBN, mendukung pengembangan pasar keuangan, meningkatkan

sovereign credit rating, dan mengidentifikasi potensi risiko penjaminan serta

rekomendasi langkah mitigasinya.

Page 10: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

D. Kebijakan Pengelolaan Risiko dan Portofolio Utang

Target Capaian Risiko Portofolio

Resiko Tingkat Bunga

Pada akhir tahun 2009, kondisi environment tingkat bunga dan inflasi relatif

rendah dan terkendali, bahkan merupakan yang terendah dalam 5 tahun

terakhir. Di pasar domestik tingkat bunga acuan BI (BI rate) pada bulan Juni 2010

ditetapkan sebesar 6,5 persen dengan tingkat inflasi tahunan sekitar 5,05 persen

meningkat sebesar 2,27 persen dibanding akhir tahun 2009. Sementara di pasar

internasional, tingkat suku bunga USD Libor enam bulan berada di bawah 0,75

persen, lebih tinggi 0,32 persen dibanding akhir tahun 2009. Tingkat bunga yang

rendah ini pada tahun-tahun yang akan datang akan berpotensi untuk naik

seiring dengan perbaikan/recovery kondisi keuangan global.

Page 11: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Kenaikan ini berpotensi meningkatkan risiko tingkat bunga dalam

pengelolaan utang. Upaya yang perlu dilakukan dalam periode 2010 – 2014

untuk memitigasi risiko tersebut adalah sebagai berikut.

1) Memprioritaskan bunga tetap dalam penerbitan/pengadaan utang baru, untuk

memberikan tingkat kepastian terhadap bunga yang harus dibayarkan di

masa yang akan datang.

2) Melakukan restrukturisasi utang baik SBN maupun pinjaman.

Restrukturisasi pinjaman dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas yang

ditawarkan oleh pemberi pinjaman maupun yang tersedia dalam klausul

perjanjian pinjaman. Restrukturisasi SBN dilakukan dengan menukar surat

berharga yang memiliki tingkat bunga yang lebih tinggi dengan yang lebih

rendah melalui program debt switch dan cash buyback. Restrukturisasi ini

dilakukan untuk memanfaatkan momentum rendahnya tingkat bunga dan

menghindari tambahan beban bunga yang harus dibayar Pemerintah, jika

terjadi kenaikan tingkat bunga di pasar keuangan pada masa yang akan

datang.

3) Memanfaatkan instrumen derivatif yang tersedia di pasar keuangan untuk

tujuan lindung nilai, antara lain dengan menggunakan interest rate swap.

Dalam struktur portofolio yang akan datang, utang dengan tingkat bunga

mengambang tetap diperlukan dalam jumlah yang tidak terlalu besar untuk

menjadi penyeimbang, terutama apabila tingkat bunga tetap telah menjadi

relatif mahal

Dalam pengadaan utang baru, untuk instrumen pinjaman akan cenderung

menggunakan tingkat bunga mengambang dengan referensi bunga pasar

ditambah margin tertentu. Sementara untuk penerbitan SBN, akan

diprioritaskan pada penerbitan dengan tingkat bunga tetap. Penerbitan

dengan tingkat bunga mengambang diperlukan terutama dalam hal terdapat

jenis investor tertentu yang hendak dijangkau untuk menambah kapasitas

penyerapan dan perluasan basis investor.

Risiko nilai tukar

Page 12: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Dalam lima tahun terakhir, volatilitas mata uang asing terhadap rupiah telah

berpengaruh cukup signifikan pada pembayaran kewajiban bunga dan cicilan

pokok utang valas. Berdasarkan hasil analisis data historis nilai tukar mata uang

asing terhadap rupiah dalam lima tahun terakhir, JPY merupakan mata uang

asing yang paling volatile terhadap rupiah diikuti EURO, GBP dan USD. Namun

mengingat porsi utang dalam bentuk JPY dan USD yang cukup dominan, maka

volatilitas kedua mata uang tersebut akan menjadi fokus utama dalam

pengelolaan.

Berdasarkan struktur portofolio utang bulan Juni 2010, sensitivitas struktur

portofolio terhadap pergerakan dua mata uang utama, yaitu USD dan JPY,

menunjukkan bahwa setiap perubahan Rp.100,00 per USD akan meningkatkan

utang sebesar Rp.3,89 triliun atau 0,07 persen terhadap PDB ceteris paribus.

Sementara setiap pergerakan Rp.1.00 dari nilai tukar JPY akan meningkatkan

utang sebesar Rp.2,6 triliun atau 0,04 persen terhadap PDB ceteris paribus.

Sementara terhadap kewajiban utang baik pokok maupun bunga untuk tahun

2010 masing-masing akan mengalami peningkatan sebesar Rp.377 miliar untuk

USD dan Rp.260 miliar untuk JPY.

Semakin volatile suatu mata uang asing, maka akan semakin besar

ketidakpastian struktur portofolio utang dan jumlah anggaran yang diperlukan

untuk membayar kewajiban utang valas. Data historis dalam periode 5 tahun

sejak Januari 2005, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dalam portofolio

utang terutama JPY, EURO dan USD menunjukkan tingkat volatilitas masing-

masing sebesar 1,2 persen, 0,9 persen dan 0,6 persen.

Untuk mengurangi eksposur utang terhadap volatilitas mata uang terutama JPY

dan USD, upaya yang dilakukan adalah sebagai berikut.

1) Menurunkan porsi utang valas terhadap total utang melalui pengurangan

nominal utang valas dan/atau peningkatan porsi utang rupiah dengan

memprioritaskan penerbitan/pengadaan utang Rupiah.

Pengurangan nominal utang valas dapat dilakukan melalui restrukturisasi

atas denominasi utang maupun prepayment atas utang tersebut. Namun

demikian, terdapat kendala dalam melakukan restrukturisasi maupun

Page 13: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

prepayment tersebut, terutama terhadap pinjaman lunak (Official

Development Assistance) yang bersumber dari lembaga bilateral. Hal ini

disebabkan karena pinjaman lunak dimaksud merupakan bentuk kerjasama

antar negara yang sudah menjadi komitmen dari negara lender baik kepada

debiturnya maupun rakyat (taxpayer) di negara lender.

Untuk itu, penurunan nominal utang valas dapat dilakukan apabila utang

valas baru lebih kecil dari pada utang valas yang jatuh tempo. Hal ini

ditempuh dengan memberikan prioritas dan porsi yang lebih besar pada

utang dalam mata uang rupiah. Upaya peningkatan porsi rupiah ini harus

diimbangi dengan beberapa langkah strategis yang dapat mendukung

pelaksanaannya.

2) Penerbitan utang dengan mata uang asing diprioritaskan pada mata uang

utama yang memiliki volatilitas yang lebih rendah dengan

mempertimbangkan ALM.

Di antara utang valas utama (USD, JPY dan EUR), JPY merupakan mata uang

yang paling volatile sehingga diperlukan mitigasi risiko dengan mengurangi

porsinya secara aktif. Untuk itu, penerbitan/pengadaan utang baru yang

berdenominasi JPY diupayakan lebih kecil daripada pembayaran pokoknya.

3) Mengutamakan penerbitan/pengadaan utang tunai dalam mata uang yang

sama dengan mata uang untuk pembayaran kewajiban utang yang jatuh

tempo.

4) Melakukan lindung nilai (hedging) melalui pemanfaatan instrumen forward

atau currency swap yang tersedia di pasar keuangan.

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan target porsi utang valas yang

ditetapkan pada akhir tahun 2014 adalah maksimum sebesar 43 persen.

Risiko refinancing

Risiko refinancing berpotensi semakin meningkat dalam periode tahun 2010–

2014. Pada periode ini, berdasarkan posisi outstanding utang akhir tahun 2009

sekitar 33 persen dari total utang akan jatuh tempo. Utang yang akan jatuh

tempo pada periode tersebut sulit digeser terutama untuk pinjaman luar negeri

Page 14: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

mengingat jumlah dan proporsinya cukup signifikan. Di sisi lain, kebutuhan

pembiayaan melalui utang pada periode tersebut menunjukkan peningkatan.

Untuk memitigasi risiko refinancing selama tahun 2010–2014 upaya yang dapat

dilakukan, antara lain:

1) Melakukan penerbitan SBN yang diprioritaskan pada tenor jangka menengah

ke panjang, untuk menjaga keseimbangan portofolio utang;

2) Melakukan pengaturan tenor penerbitan/pengadaan utang baru dan

restrukturisasi dan/atau reprofiling utang lama secara terukur.

Dari assesment terhadap portofolio saat ini dan kebutuhan pembiayaan serta

kapasitas pengelolaan utang dalam periode 2010-2014, target risiko refinancing

yang ditetapkan pada akhir tahun 2014 adalah:

1) ATM ditetapkan minimal 8 tahun;

2) Porsi utang jatuh tempo dalam 3 tahun sebesar 18 persen dari total utang;

dan

3) Durasi SBN yang dapat diperdagangkan minimal 4 tahun.

Page 15: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Indikator Biaya Utang

Pencapaian tujuan pengelolaan utang untuk meminimalkan biaya utang

dalam jangka panjang antara lain diukur dari perkembangan rasio pembayaran

bunga utang terhadap penerimaan atau belanja negara, dan perkembangan rasio

pembayaran bunga utang terhadap outstanding utang.

Berdasarkan data historis, perkiraan struktur portofolio optimum yang akan

datang, proyeksi atas indikator-indikator pasar yang berpengaruh pada biaya

utang, dan upaya untuk menjaga kesinambungan fiskal serta mendukung peran

investasi Pemerintah bagi pertumbuhan ekonomi, maka indikator biaya pada

akhir tahun 2014, ditargetkan sebagai berikut:

a. Rasio biaya terhadap outstanding sebesar 6 persen;

b. Rasio biaya terhadap penerimaan sebesar 8 persen; dan

c. Rasio biaya terhadap belanja sebesar 7,6 persen.

Rasio bunga utang terhadap penerimaan atau belanja negara diupayakan

menurun agar Pemerintah dapat meningkatkan keleluasaan dalam pengelolaan

belanja negara yang bersifat non-discretion. Dengan demikian, maka akan

Page 16: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

tersedia cukup ruang untuk melakukan investasi dalam bentuk pembangunan

infrastruktur produktif yang dapat meningkatkan kapasitas perekonomian dan

mendorong pertumbuhan ekonomi.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menurunkan bunga utang, antara lain

adalah sebagai berikut:

a. Mengurangi biaya diskon yang dikeluarkan dengan pemilihan seri dan waktu

yang tepat dalam setiap penerbitan;

b. Memaksimalkan tawaran konversi bunga pinjaman luar negeri;

c. Penggunaan hedging untuk meningkatkan kepastian terhadap pembayaran

kewajiban utang baik dari Pinjaman maupun SBN; dan

d. Melakukan buyback dan debt switching terhadap SBN yang mempunyai

tingkat kupon tinggi

Page 17: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Indikator Risiko FIskal

Agar kinerja kebijakan fiskal dapat dijaga dan bahkan ditingkatkan untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi, maka beban utang bagi perekonomian harus

dijaga sedemikian rupa agar berada pada kondisi yang mampu dikelola.

Kesinambungan fiskal diantaranya ditunjukkan oleh dua indikator utama yaitu

defisit terhadap PDB dan tingkat utang terhadap PDB. Untuk itu, rasio utang

terhadap PDB diupayakan tetap menurun hingga di bawah 24 persen

pada akhir tahun 2014.

Upaya yang perlu dilakukan untuk mencapai target tersebut adalah:

a. Memanfaatkan utang terutama untuk membiayai kegiatan/proyek yang dapat

mendorong pertumbuhan ekonomi.

b. Melakukan efisiensi biaya utang yang akan berdampak pada penurunan

deficit sehingga mengurangi pengadaan utang baru.

c. Penerbitan/pengadaan utang valas dilakukan secara terukur untuk

mengurangi dampak peningkatan outstanding utang dalam rupiah akibat

depresiasi nilai tukar rupiah.

Page 18: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Strategi Pengelolaan Surat Berharga Negara (SBN)

A. Strategi SBN Domestik

Secara khusus, strategi peningkatan likuiditas dan daya serappasar SBN

domestik dilakukan melalui:

Pengembangan pasar perdana SBN

a. Melanjutkan dan meningkatkan metode penerbitan SBN yang telah

dilaksanakan selama ini, baik yang dilakukan melalui lelang maupun non

lelang. Peningkatan metode penerbitan dilakukan untuk menarik jumlah

investor yang lebih besar dan meningkatkan kualitas pengelolaan portofolio

risiko dan biaya utang negara. Peningkatan metode penerbitan, antara lain

dengan:

1) Melakukan kajian atas metode penerbitan SBNmelalui metode lelang,

misalnya penggunaanmetode lelang dengan uniform price (tingkat harga

yang sama dengan yang dibayarkan oleh seluruh investor yang pemesanan

pembeliannya dimenangkan) atau dengan opsi green shoe;

2) Membuka kemungkinan penjualan SBN padainvestor ritel melalui media on

line;

Page 19: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

3) Melakukan penerbitan dengan metode private placement secara selektif

terutama pada saat likuiditas pasar tidak cukup memadai dan ditujukan

pada investor yang potensial yangmemiliki horizon investasi yang panjang;

4) Dalam hal penerbitan dilakukan secara book building (penjualan SBN

kepada investor melalui agen penjual dimana agen penjual mengumpulkan

pemesanan pembelian dalam periode penawaran yang telah ditentukan),

perlu dilakukan upaya penyempurnaan strategi eksekusi antara lain dalam

hal strategipenentuan harga dalam price whisper, price guidance dan final

pricing, serta strategi komunikasi efektif pada investor potensial.

b. Meningkatkan kualitas penetapan jadwal lelang penerbitan SBN melalui:

1) Publikasi jadwal lelang penerbitan setiap awaltahun anggaran dan menjaga

konsistensi besaran yang ditargetkan dengan realisasipenerbitannya.

Jadwal tersebut setidaknyameliputi indikasi instrumen/tenor danmengarah

pada besaran target penerbitan;

2) Dalam hal terjadi perubahan target SBN netodalam APBN-P, diupayakan

untuk melakukan revisi atas jadwal lelang penerbitan dandipublikasikan

segera setelah penetapan APBN-P;

3) Penetapan waktu dan besaran target penerbitan, terutama untuk SBN

jangka pendek, dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan BI dalam

rangka harmonisasi dengan kebijakan moneter;

4) Meningkatkan koordinasi dengan pengelolaankas agar waktu dan besaran

target penerbitanSBN lebih terukur dan mempertimbangkanpengelolaan

kas jangka pendek.

c. Meningkatkan kualitas penetapan benchmark series SBN yang dapat

mendorong pengembangan pasar sekunder SBN, antara lain dengan

berdasarkan pada:

1) Tenor penerbitan instrumen baru/reopeningdiupayakan tetap setiap tahun.

Waktu bulanjatuh tempo SBN yang diterbitkan diupayakankonsisten,

sehingga dalam jangka panjang tenorSBN jatuh tempo dapat terkonsentrasi

padabulan-bulan tertentu denganmempertimbangkan posisi kas

Pemerintah dankebutuhan pasar untuk adanyareferensi/benchmark; dan

Page 20: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

2) Karakteristik benchmark series yang diterbitkan telah mempertimbangkan

likuiditas pasar SBN domestik, serta persebaran dan preferensiinvestor.

Pengembangan pasar sekunder SBN

a. Melaksanakan transaksi langsung yang lebihintensif terutama untuk menjaga

stabilisasi pasardan kebutuhan pengelolaan portofolio.

b. Pengembangan lebih lanjut trading platform yang efisien.

c. Memaksimalkan fungsi primary dealers sebagai counterpart dalam melakukan

assesment terhadap likuiditas dan minat investor serta market making,

dengan secara terus-menerus mengevaluasi hak dan kewajiban primary

dealers secara seimbang.

d. Mendorong pengembangan pasar repo dan produkturunan misalnya STRIPS

(Separately Traded Interest and Principle Securities) yang dapat mendorong

likuiditas.

e. Secara aktif melakukan koordinasi dengan instansiterkait dalam rangka

mengevaluasi/mengkajiperaturan yang berhubungan denganpengembangan

pasar sekunder.

f. Meningkatkan efektifitas pemantauan pasar SBN, sehingga dapat diambil

langkah-langkah yang cepat dan tepat dalam rangka mengantisipasi

kondisikrisis, di antaranya melalui Crisis Management Protocol 3.

Pengembangan dan penguatan basis investor

Pengembangan dan penguatan basis investor

Basis investor SBN yang telah ada saat ini telah cukup beragam, mulai dari

investor ritel sampai institusi, investor jangka pendek sampai panjang, investor

domestik dan asing, serta investor SBN tradable dan non tradable. Namun

demikian dari sisi kapasitas dan per sebarannya, masih perlu dilakukan berbagai

upaya untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik diantara para pelaku.

Untuk itu, pada tahun 2010–2014, pengembangan dan penguatan basis

investor akan difokuskan pada investor yang memiliki karakteristik horizon

Page 21: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

investasi jangkapanjang, dengan tidak mengabaikan pengembanganbasis

investor ritel dan pengembangan pasar sekunder.

Pengembangan dan penguatan basis investor dilakukan dengan:

a. Meningkatkan komunikasi dan koordinasi terutama dengan regulator industri

keuangan dan investorinstitusi yang potensial menyerap SBN jangkapanjang

seperti dana pensiun dan asuransi;

b. Meningkatkan komunikasi terutama kepada investorritel untuk berinvestasi

pada SBN dengan tenor yang lebih panjang;

c. Mendukung penyusunan aturan hukum yangdiperlukan oleh investor tanpa

melanggar ataubertentangan dengan aturan yang relevan;

d. Meningkatkan komunikasi dan persebaran informasidengan investor asing

yang memungkinkan investorlebih memahami karakteristik pasar domestik,

danmemungkinkan untuk membuka partisipasi di pasardomestik.

Pengembangan instrumen SBN

Membuka peluang penerbitan instrumen barusesuai kebutuhan investor

tertentu dengan tetapmempertimbangkan faktor risiko dan biaya yangdihadapi

Pemerintah serta efisiensi pasar, misalnya:

1) Bonds dengan embedded option berupa fasilitas tertentu diantaranya call/put

option;

2) Sukuk project;

3) Saving bonds, dan lain-lain.

Melakukan kajian, evaluasi dan/atau inovasi atas instrumen yang sudah ada,

antara lain:

1) Obligasi Ritel dengan tingkat bungamengambang;

2) Treasury Inflation Protected Securities (TIPS);

3) Separately Traded Interest and Principle Securities(STRIPS).

B. Strategi SBN Valas

Strategi penerbitan SBN valas di pasar internasional dilakukan dengan:

Page 22: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

a. Menerbitkan SBN valas secara terukur. Penerbitan SBN valas dilakukan

sebagai pelengkap (complementary sources) untuk membiayai kewajiban

valas, membuat benchmark di pasar internasional, dan menghindari

crowding-out di pasar domestik.

Penerbitan dalam mata uang asing lainnya secara selektifdapat

dipertimbangkan untuk dilaksanakan, terutamadalam hal adanya kebutuhan

pembiayaan yang sangattinggi dan diimbangi dengan likuiditas pada jenis

mata uang dimaksud yang mencukupi dan appetite investor yang memadai

b. Mengembangkan metode/format penerbitan yang lebih fleksibel untuk

mengakomodasi perubahan target pembiayaan, kebutuhan ketersediaan

pembiayaan sepanjang tahun dan kemampuan untuk memanfaatkan

momentum pasar, misalnya dengan menerbitkan obligasi global dengan

format Security and Exchange Commission (SEC) registration, melanjutkan

penerbitan dengan metode Global Term Medium Note (GMTN) dengan terus

meningkatkan kualitas eksekusi agar tercipta price tension.

c. Dalam kondisi ketidakpastian di pasar keuangan dibuka kemungkinan untuk

menerbitkan instrumen yang tidak standar, misalnya melalui private

placement.

Dalam proses eksekusi dan penjatahan dilakukan upayauntuk meningkatkan

kualitas investor SBN valas melalui penjatahan pemenang secara selektif,

misalnyamenekankan pada real money account

Page 23: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Rating Indonesia

Rating investasi di Indonesia mengalami peningkatan diikuti dengan stabilitas

perekonomian. Faktor penentu perbaikan rating:

1. Ketahanan perekonomian Indonesia dalam krisi global 2007-2008

2. Kestabilan politik dan perbaikan law enforcement

3. Pengelolaan utang pemerintah yang prudent (penurunan rasio terhadap PDB,

ketepatan waktu pembayaran, dan meningkat kepercayaan investor)

Page 24: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal

Diantara lembaga pemeringkat kredit adalah Standard & Poor (S&P), yaitu per 8

April 2011 menaikkan peringkat kredit Indonesia dari BB menjadi BB+ dengan

outlook positive, satu tingkat di bawah investment grade. Fitch per tanggal 15

Desember 2011 menaikkan peringkat kredit Indonesia dari BB+ menjadi BBB-.

OECD pada tanggal 30 Maret 2012 menaikkan peringkat CRC Indonesia dari

klasifikasi 4 menjadi klasifikasi 3. Pada saat ini Indonesia satu kelompok dengan

negara-negara seperti Thailand, Uruguay, Afrika Selatan, Rusia, India, Brasil, dan

Peru.

Page 25: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal
Page 26: Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal