Upload
jihaad
View
53
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
v
Citation preview
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
79 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
UPAYA PERENCANAAN KAWASAN INDUSTRI TERPADU DI
KABUPATEN BREBES SEBAGAI IMPLIKASI PELAKSANAAN OTONOMI
DAERAH
Oleh
Dra. Suemi, M.Si.
Universitas Sultan Fatah (UNISFAT) Demak Jawa Tengah
PENDAHULUAN
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
sebagai sub-sistim pemerintahan negara,
dimaksudkan untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan masyarakat (UU No. 33
tahun 2004). Sebagai daerah otonomi
daerah mempunyai wewenang dan
tanggungjawab menyelenggarakan
kepentingan masyarakat. Prinsip dasar
pemberian otonomi daerah didasarkan
atas pertimbangan bahwa daerahlah
yang mengetahui kebutuhan dan standar
pelayanan bagi masyarakat di
daerahnya. Atas dasar pertimbangan ini,
maka pemberian otonomi daerah
diharapkan mampu memacu
pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat pada
akhirnya.
Salah satu sektor yang berperan
dalam perekonomian secara global
adalah sektor industri, oleh karena itu
pembangunan kawasan industri di
daerah diharapkan dapat meningkatkan
perekonomian daerah setempat yang
berdampak pada peningkatan
perekonomian nasional.
Berawal dari pemikiran tersebut,
maka Pemerintah Kabupaten Brebes
dalam hal ini melalui Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah
merencanakan Kawasan Industri
Terpadu (KIT) sebagai upaya
peningkatan pendapatan daerah dalam
mendukung pelaksanaan otonomi
daerah yang akan berdampak pada
peningkatan perekonomian di daerah
dan juga nasional.
Kawasan Industri Terpadu di
Kabupaten Brebes diperlukan karena
dalam jangka panjang kawasan industri
yang saat ini berlokasi di kota - kota
besar pada waktu yang akan datang
akan mengalami fase jenuh, disamping
itu daerah Kabupaten Brebes dan
sekitarnya memerlukan adanya akses
yang dapat membuka sekaligus memicu
pertumbuhan perekonomian daerah.
Di Kabupaten Brebes sebelumnya
sudah dialokasikan lahan untuk
Kawasan Industri Terpadu yaitu di Desa
Cimohong Kecamatan Bulakamba.
Namun karena kurangnya sosialisasi
serta infrastruktur pendukung maka
sampai saat ini belum ada investor yang
tertarik untuk menanamkan modalnya di
kawasan tersebut.
TUJUAN
Adapun Tujuan dari penelitian ini
adalah:
a. Mengetahui dampak
pengembangan Kawasan Industri
Terpadu Kabupaten Brebes dari
sisi ekonomi, infrastruktur, teknis
dan lingkungan;
b. Mengetahui hasil Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan
Pengembangan Kawasan Industri
Terpadu Kabupaten Brebes;
c. Merumuskan kebijakan model /
pola kerjasama investasi
infrastruktur yang sesuai dan perlu
dikembangkan di Kawasan Industri
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
80 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Terpadu Kabupaten Brebes;
d. Mengembangkan pengaturan dan
kelembagaan yang diperlukan
dalam pengembangan Kawasan
Industri Terpadu Kabupaten
Brebes.
KAJIAN TEORI
1). LANDASAN HUKUM
Landasan hukum dalam penyusunan
Perencanaan Kawasan Industri Terpadu
Kabupaten Brebes antara lain :
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian;
b. Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
c. Undang-undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung;
d. Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah;
e. Undang-undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang;
f. Undang-undang Nomor 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah;
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1986 tentang Kewenangan
Pengaturan, Pembinaan dan
Pengembangan Industri;
i. Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan;
j. Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 1995 tentang Izin Usaha
Industri;
k. Peraturan Daerah Kabupaten Brebes
Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Evaluasi dan Revisi Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Brebes;
l. Peraturan Daerah Kabupaten Brebes
Tahun Nomor 5 Tahun 2006
tentang Kemitraan Daerah;
m. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun
2006 tentang Pedoman Penyusunan
Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan;
n. Serta produk hukum lainnya yang
dapat menjadi landasan hukum
dalam penyusunan Pekerjaan
Perencanaan Kawasan Industri
Terpadu Kabupaten Brebes.
2). DEFINISI INDUSTRI
A. TERMINOLOGI
INDUSTRI
Kata industri berasal dari kata
dalam bahasa Inggris yakni
“Industry”. Dalam kamus
“The Scribner Bantam
English Dictionary”, cetakan
ke – 18 tahun 1900, tertera
sebagai berikut, Industri
berasal dari kata latin
“industria” yang bermakna :
a. Siap melaksanakan suatu
tugas pekerjaan atau
bidang usaha atau
karyawan yang siap
melakukan atau
menerapkan sesuatu tugas
atau pekerjaan yang
bersifat tetap, terus
menerus dan secara teratur
(Steady application to a
task, business or labor)
b. Industri adalah berbagai
bentuk kegiatan ekonomi
(Any form of economic
activity)
c. Industri adalah
perusahaan-perusahaan
yang produktif
menghasilkan sesuatu
barang atau jasa yang
dapat dijual (Productive
enterprises generally)
d. Industri adalah tempat atau
pekerjaan yang produktif
(Productive occupations
as distingnished from
finance and commerce)
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
81 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
e. Industri adalah cabang
pekerjaan atau
perdagangan yang khusus
(Particular branch of work
or trade)
B. PERMAHAMAN
PENGERTIAN-
PENGERTIAN YANG
TERKAIT DENGAN
INDUSTRI MENURUT
PERATURAN
PERUNDANGAN RI
Beberapa pemahaman
pengertian yang terkait
dengan industri menurut
peraturan perundangan
Republik Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Perindustrian adalah
tatanan dan segala
kegiatan yang bertalian
dengan kegiatan industri.
b. Industri adalah kegiatan
ekonomi yang mengolah
bahan mentah, bahan baku,
barang setengah jadi,
dan/atau barang jadi
menjadi barang dengan
nilai yang lebih tinggi
untuk penggunaannya,
termasuk kegiatan rancang
bangun dan perekayasaan
industri.
c. Kelompok industri adalah bagian-bagian
utama kegiatan industri,
yakni kelompok industri
hulu atau juga disebut
kelompok industri dasar,
kelompok industri hilir,
dan kelompok industri
kecil.
d. Cabang industri adalah
bagian suatu kelompok
industri yang mempunyai
ciri umum yang sama
dalam proses produksi.
e. Jenis industri adalah
bagian suatu cabang
industri yang mempunyai
ciri khusus yang sama
dan/atau hasilnya bersifat
akhir dalam proses
produksi.
f. Bidang usaha industri adalah lapangan kegiatan
yang bersangkutan dengan
cabang industri atau jenis
industri.
g. Perusahaan industri adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan di
bidang usaha industri.
h. Rancang bangun industri adalah kegiatan industri
yang berhubungan dengan
perencanaan pendirian
industri/pabrik secara
keseluruhan atau bagian-
bagiannya.
i. Perekayasaan industri adalah kegiatan industri
yang berhubungan dengan
perancangan dan
pembuatan
mesin/peralatan pabrik dan
peralatan industri lainnya.
j. Standar industri adalah
ketentuan-ketentuan
terhadap hasil produksi
industri yang di satu segi
menyangkut bentuk,
ukuran, komposisi, mutu,
dan lain-lain serta di segi
lain menyangkut cara
mengolah, cara
menggambar, cara menguji
dan lain-lain.
k. Standardisasi industri adalah penyeragaman dan
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
82 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
penerapan dari standar
industri.
l. Tatanan industri adalah
tertib susunan dan
pengaturan dalam arti
seluas-luasnya bagi
industri.
m. Kawasan industri adalah
kawasan tempat
pemusatan kegiatan
industri yang dilengkapi
dengan prasarana dan
sarana penunjang yang
dikembangkan dan
dikelola oleh Perusahaan
Kawasan Industri yang
telah memiliki Izin Usaha
Kawasan Industri.
n. Kawasan peruntukan industri atau zona industri
adalah bentangan lahan
yang diperuntukan bagi
kegiatan industri
berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah yang
ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota yang
bersangkutan.
o. Kompleks Industri adalah suatu konsentrasi
kegiatan sejumlah
“industri di suatu tempat
yang diantaranya banyak
yang mendasarkan pilihan
lokasinya yang saling
berdekatan atas
pertimbangan adanya
saling keterkaitan
teknis/ekonomis atau
integrasi hulu-menengah-
hilir.
p. Sentra industri adalah
sentra industri kecil yang
merupakan sekumpulan
kegiatan industri kecil
sejenis yang lokasinya
mengelompok pada jarak
yang tidak terlalu
berjauhan.
q. Kawasan Industri
Terpadu merupakan
kawasan pusat kegiatan
industri yang didukung
dengan penyediaan
fasilitas dan utilitas
internal, yang juga
menyatu dengan sistem
utilitas eksternal
(kawasan) seperti
pembangkit tenaga listrik,
pembuangan limbah dan
sistem transportasi, serta
dilengkapi dengan
pelayanan prosedur yang
cepat dan mudah untuk
semua perijinan investasi,
industri perdagangan,
ekspor-impor, pajak
maupun tenaga kerja.
Pembangunan industri
terpadu dimaksudkan untuk
mewujudkan suatu kompleks
industri yang didalamnya
terdapat unsur riset, inovasi,
pabrik, pemasaran dan
penjualan atau distribusi.
Pengembangan industri
manufaktur pada beberapa
sub sektor yang memenuhi
satu atau lebih kriteria di
antaranya menyerap banyak
tenaga kerja, memenuhi
kebutuhan dasar dalam negeri
seperti makanan-minuman
dan obat-obatan, selain itu
juga mengolah hasil pertanian
dalam arti luas termasuk
perikanan dan sumber-
sumber daya alam lain dalam
negeri, serta memiliki potensi
pengembangan ekspor.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
83 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Dengan dibangunnya
kawasan industri terpadu
diharapkan akan mampu
menampung tenaga kerja
sesuai dengan yang
dibutuhkan oleh kawasan
industri tersebut. Di samping
itu, pencemaran dari limbah
industri yang berada disekitar
kawasan dapat dilokalisir dan
dipantau tingkat
pencemarannya, sehingga
tidak merugikan masyarakat
sekitarnya.
(Pengertian Kawasan
Industri Terpadu diolah,
bersumber pada Depkominfo,
Depdagri dan Disperindag,
Tahun 2008)
C. KLASIFIKASI INDUSTRI
SECARA UMUM
1. Klasifikasi Industri
Berdasarkan Hubungan
Vertikal
Hubungan vertikal adalah
adanya hubungan dalam
bentuk penggunaan
produk hasil akhir suatu
kelompok perusahaan
sebagai bahan baku pada
kelompok perusahaan
lain. Misalnya hasil
barang yang dibuat suatu
perusahaan X dijadikan
bahan baku oleh
perusahaan lain. Dalam
hal ini, antara perusahaan
X dengan perusahaan Y
mempunyai hubungan
vertikal. Hubungan
vertikal tersebut terdiri
dari: Industri Hulu dan
Industri Hilir.
a. Industri Hulu
Perusahaan yang
membuat produk yang
dapat dipergunakan
oleh perusahaan lain
disebut kelompok
industri hulu.
b. Industri Hilir
Industri hilir adalah
kelompok perusahaan
yang menggunakan
produk perusahaan
lain sebagai bahan
baku untuk kemudian
diproses menjadi
barang setengah jadi
atau barang jadi.
Misalnya: Perusahaan
X menggunakan
produk perusahaan Y,
maka perusahaan X
merupakan pabrik
industri hilir dari
perusahaan Y.
2. Klasifikasi Industri
Berdasarkan Hubungan
Horizontal
Pengertian horizontal di
sini adalah peninjauan
atas dasar hubungan
sejajar antara produk
yang dihasilkan masing-
masing perusahaan.
Contoh:
Perusahaan H1, H2, dan
H3 merupakan hotel
motel, dan losmen,
sedangkan perusahaan
A1, A2 dan A3 masing-
masing merupakan
perusahaan agen
penjualan tiket pesawat,
perusahaan jasa
angkutan pariwisata dan
tempat rekreasi.
Perusahaan H1, H2, H3,
A1, A2, dan A3
merupakan kelompok
industri jasa pariwisata.
3. Klasifikasi Industri Atas
Dasar Skala Usahanya
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
84 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Selain klasifikasi industri
seperti dipaparkan di
atas, ternyata industri pun
dapat diklasifikasikan
atas dasar skala atau
besar kecilnya usaha.
Adapun besar kecilnya
suatu usaha bisnis
ditentukan oleh besar
kecilnya modal yang
ditanamkan. Oleh karena
itu klasifikasi industri
berdasarkan skala usaha
dapat dibagi menjadi 3
kriteria sebagai berikut :
a. Industri skala usaha
kecil (small scale
industry)
b. Industri skala usaha
menengah (medium
scale industry)
c. Industri skala usaha
besar (large scale
industry)
Kasifikasi industri atas
dasar skala usahanya
dapat dilakukan
berdasarkan modal usaha
atau jumlah tenaga kerja
yang ada. Berdasarkan
kriteria Disperindag,
penggolongan industri
berdasarkan skala
usahanya dapat
dibedakan sebagai
berikut :
• Usaha kecil bila
modal usahanya di
bawah Rp 500 juta,
• Usaha menengah bila
modal usahanya
antara Rp 500 juta s/d
1 milyar,
• Usaha besar bila
modal usahanya di
atas Rp 1 juta.
(Kriteria ini akan
berubah sesuai
dengan perubahan
nilai uang)
Berdasarkan jumlah
tenaga kerja,
penggolongan industri
dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
• Industri Rumah
Tangga adalah usaha
kerajinan rumah
tangga yang
mempunyai pekerja
antara 1-4 orang.
• Industri Kecil adalah
perusahaan yang
mempunyai pekerja 5-
19 orang
• Industri Sedang
adalah perusahaan
yang mempunyai
pekerja 20-99 orang
• Industri Besar adalah
perusahaan yang
mempunyai pekerja
100 orang atau lebih
D. TUJUAN
PEMBANGUNAN
INDUSTRI
Menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1984
Pembangunan industri
bertujuan untuk :
a. Meningkatkan
kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat
secara adil dan merata
dengan memanfaatkan
dana, sumber daya alam,
dan/atau hasil budidaya
serta dengan
memperhatikan
keseimbangan dan
kelestarian lingkungan
hidup;
b. Meningkatkan
pertumbuhan ekonomi
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
85 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
secara bertahap, mengubah
struktur perekonomian ke
arah yang lebih baik, maju,
sehat, dan lebih seimbang
sebagai upaya untuk
mewujudkan dasar yang
lebih kuat dan lebih luas
bagi pertumbuhan
ekonomi pada umumnya,
serta memberikan nilai
tambah bagi pertumbuhan
industri pada khususnya;
c. Meningkatkan kemampuan
dan penguasaan serta
mendorong terciptanya
teknologi yang tepat guna
dan menumbuhkan
kepercayaan terhadap
kemampuan dunia usaha
nasional;
d. Meningkatkan
keikutsertaan masyarakat
dan kemampuan golongan
ekonomi lemah, termasuk
pengrajin agar berperan
secara aktif dalam
pembangunan industri;
e. Memperluas dan
memeratakan kesempatan
kerja dan kesempatan
berusaha, serta
meningkatkan peranan
koperasi industri;
f. Meningkatkan penerimaan
devisa melalui
peningkatan ekspor hasil
produksi nasional yang
bermutu, disamping
penghematan devisa
melalui pengutamaan
pemakaian hasil produksi
dalam negeri, guna
mengurangi
ketergantungan kepada
luar negeri;
g. Mengembangkan pusat-
pusat pertumbuhan
industri yang menunjang
pembangunan daerah
dalam rangka pewujudan
Wawasan Nusantara;
h. Menunjang dan
memperkuat stabilitas
nasional yang dinamis
dalam rangka
memperkokoh ketahanan
nasional.
E. PENGEMBANGAN
KAWASAN INDUSTRI
1. Konsep Pengembangan
Kawasan
Perwujudan strategi
pembangunan daerah
bertujuan untuk
meningkatkan kinerja
pembangunan dan
memperoleh hasil yang
lebih optimal terletak
pada kemampuan
aktualisasi konsep
pembangunan wilayah
secara utuh dan terpadu
(comprehensive and
integrated area
development concept).
Pendekatan
pembangunan wilayah
yang utuh dan terpadu
akan mampu
mewujudkan efisiensi
dan efektivitas fungsi
perencanaan
pembangunan daerah.
Dengan kata lain,
pendekatan tersebut
menganut azas
keseluruhan sektor
(comprehensive) secara
terpadu, bukan lagi
penjumlahan (agregatif)
masing-masing sektor
secara terpisah.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
86 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Dengan konsep demikian
maka pelaksanaan
pembangunan masing-
masing sektor secara
otomatis akan
berakumulasi
(bersinergi) dalam
mendukung sasaran
pembangunan wilayah
yang menjadi konsep
induknya. Disamping itu,
diantara masing-masing
sektor secara signifikan
akan saling terkait
(linkage), mengingat
semua sektor berada
dalam satu kerangka
pembangunan wilayah
yang utuh. Ada tiga
indikator keberhasilan
pengembangan wilayah
yang dapat dilihat
sebagai kesuksesan
pembangunan daerah,
adalah produktivitas,
efisiensi, partisipasi
masyarakat, yang
semuanya dapat
menjamin
kesinambungan
pelaksanaan suatu
program di suatu wilayah
atau kawasan.
Dalam pengembangan
kawasan industri,
terdapat beberapa
pengertian yang terkait
dengan kawasan ini,
yaitu :
a. Zone Industri;
b. Kawasan Industri;
c. Kawasan Berikat;
d. Industrial Estate;
e. Lingkungan Industri
Kecil;
f. Kluster Industri
2. Konsep Pengembangan
Kawasan IndustrI
Untuk menghadapi
persaingan di pasar
global maupun pasar
domestik serta
memanfaatkan
keunggulan lokasional
(locational advantage),
pengembangan industri
kita harus diarahkan dan
dipersiapkan melalui
pembentukan kawasan
industri guna mendorong
peningkatan kemampuan
bersaing secara
menyeluruh, dari
kemampuan bersaing
berdasarkan factor driven
ke arah investment driven
dan innovation driven.
Untuk itu, semua
stakeholders dalam
industri harus
dikelompokkan dalam
suatu lokasi untuk
memfasilitasi dan
mendukung proses
investasi dan inovasi. Ini
berarti harus ada
interaksi antara industri
utama (core industry),
penyedia bahan baku,
industri pendukung, serta
fasilitas pendukung
lainnya, seperti layanan
Riset dan Pengembangan
(R & D), layanan diklat,
layanan distribusi dan
transpotasi, layanan
finansial, dan sebagainya.
Untuk
mengakomodasikan
semua ini, Kluster
Industri (industrial
cluster) adalah salah satu
konsep yang dapat
digunakan. Industri dan
stakeholders berada pada
satu lokasi geografi
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
87 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
untuk menghadapi
globalisasi dan
memanfaatkan efek
keterkaitan (linkage) dan
networking secara
interaktif.
Sehingga pengertian
kluster industri adalah
pengelompokan industri
yang saling berhubungan
secara interaktif yang
merupakan aglomerasi
perusahaan-perusahaan
yang membentuk
patnership, baik sebagai
industri pendukung
maupun sebagai industri
terkait.
Manfaatnya untuk
mendorong spesialisasi
produksi pada suatu
daerah/wilayah dan
mendorong keunggulan
komparatif menjadi
keunggulan kompetitif.
Keunggulan dibentuknya
kluster industri adalah
meningkatkan efisiensi,
mengurangi biaya
transpotasi dan transaksi,
mengurangi biaya sosial,
menciptakan aset secara
kolektif, dan
meningkatkan
terciptanya inovasi.
3. Konsentrasi Spasial Kawasan
Industri
Konsentrasi spasial merupakan
pengelompokkan dari aktivitas
ekonomi secara spasial dalam
suatu lokasi tertentu dan saling
terkait. Hal ini dapat ditemui pada
konsentrasi industri tekhnologi
tinggi di Silicon Valley (Ellison
dan Glaeser, 1997), Konsentrasi
spasial pada kota tepi air (Fujita
dan Mori, 1996), kluster industri
(Porter, 1990; 1998 a; 1998 b),
serta aglomerasi perkotaan (Fujita
dan Thiesse, 2002).
Krugman (1991) menyatakan
bahwa konsentrasi spasial
merupakan aspek yang ditekankan
dari aktivitas ekonomi secara
geografis dan dan sangat penting
dalam penentuan lokasi industri.
Menurut Krugman, dalam
konsentrasi aktivitas ekonomi
secara spasial, terdapat 3 hal yang
saling terkait yaitu interaksi antara
skala ekonomi, biaya transportasi
dan permintaan. Untuk
mendapatkan dan meningkatkan
kekuatan skala ekonomis,
perusahaan-perusahaan cenderung
berkonsentrasi secara spasial dan
melayani seluruh pasar dari suatu
lokasi.
Sedangkan untuk meminimalisasi
biaya transportasi, perusahaan
perusahaan cenderung berlokasi
pada wilayah yang memiliki
permintaan lokal yang besar, akan
tetapi permintaan lokal yang besar
cenderung berlokasi di sekitar
terkonsentrasinya aktifitas
ekonomi, seperti komplek industri
maupun perkotaan.
Menurut Weber (Fujita et
al,1999;26-27), ada 3 faktor yang
menjadi alasan perusahaan pada
industri dalam menentukan lokasi,
yaitu:
A) Perbedaan biaya transportasi.
Produsen cenderung mencari
lokasi yang memberikan
keuntungan berupa
penghematan biaya transportasi
serta dapat mendorong efisiensi
dan efektivitas produksi.
Dalam perspektif yang lebih
luas, Coase (1937)
mengemukakan tentang
penghematan biaya transaksi
(biaya transportasi, biaya
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
88 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
transaksi, biaya kontrak, biaya
koordinasi dan biaya
komunikasi) dalam penentuan
lokasi perusahaan.
B) Perbedaan biaya upah.
Produsen cenderung mencari
lokasi dengan tingkat upah
tenaga kerja yang lebih rendah
dalam melakukan aktivitas
ekonomi sedangkan tenaga
kerja cenderung mencari lokasi
dengan tingkat upah yang lebih
tinggi. Adanya suatu wilayah
dengan tingkat upah yang
tinggi mendorong tenaga kerja
untuk terkonsentrasi pada
wilayah tersebut. Fenomena ini
dapat ditemui pada kota -kota
besar dengan keanekaragaman
tinggi seperti Jakarta maupun
kota yang terspesialisasi seperti
Kudus maupun Kediri.
C) Keuntungan dari konsentrasi
industri secara spasial.
Konsentrasi spasial akan
menciptakan keuntungan yang
berupa penghematan lokasi dan
penghematan urbanisasi.
Penghematan lokasi terjadi
apabila biaya produksi
perusahaan pada suatu industri
menurun ketika produksi total
dari industri tersebut
meningkat (terjadi increasing
return of scale). Hal ini terjadi
pada perusahaan pada industri
yang berlokasi secara
berdekatan. Penghematan
urbanisasi terjadi bila biaya
produksi suatu perusahaan
menurun ketika produksi
seluruh perusahaan pada
berbagai tingkatan aktivitas
ekonomi dalam wilayah yang
sama meningkat. Penghematan
karena berlokasi di wilayah
yang sama ini terjadi akibat
skala perekonomian kota yang
besar, dan bukan akibat skala
suatu jenis industri.
Penghematan urbanisasi telah
memunculkan perluasan
wilayah metropolitan (extended
metropolitan regions).
Dalam perspektif yang sedikit
berbeda tentang keuntungan
konsentrasi spasial, Marshal
(1920) mengemukakan pemikiran
tentang externalitas positif dan
menjelaskan mengapa produsen
cenderung berlokasi dekat dengan
produsen lain (dorongan untuk
berlokasi dekat dengan
perusahaan lain disebut dengan
agglomerasi). Menurut Marshal,
konsentrasi spasial didorong oleh
ketersediaan tenaga kerja yang
terspesialisasi dimana
berkumpulnya perusahaan pada
suatu lokasi akan mendorong
berkumpulnya tenaga kerja yang
terspesialisasi, sehingga
menguntungkan perusahaan dan
tenaga kerja. Selain itu,
berkumpulnya perusahaan atau
industri yang saling terkait akan
dapat meningkatkan efisiensi
dalam pemenuhan kebutuhan
input yang terspesialisasi yang
lebih baik dan lebih murah. Yang
terakhir, Marshal menyatakan
bahwa jarak yang tereduksi
dengan adanya konsentrasi spasial
akan memperlancar arus informasi
dan pengetahuan (knowledge
spillover) pada lokasi tersebut.
Pandangan Marshal tentang
industri yang terkonsentrasi di
suatu tempat dan saling terkait
disebut industrial cluster atau
industrial district. Menurut
Marshal, kluster industri pada
dasarnya merupakan kelompok
aktifitas produksi aktifitas
produksi yang amat terkonsentrasi
secara spasial dan kebanyakan
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
89 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
terspesialisasi pada satu atau dua
industri utama saja.
Senada dengan pendapat Marshal,
Porter menyatakan bahwa kluster
adalah perusahaan-perusahaan
yang yang terkonsentrasi secara
spasial dan saling terkait dalam
industri. Perusahaan-perusahaan
dalam industri yang terkonsentrasi
secara spasial tersebut juga terkait
dengan institusi-institusi yang
dapat mendukung industri secara
praktis. Kluster meliputi
kumpulan perusahaan dan hal
yang terkait dalam industri yang
penting dalam kompetisi. Kluster
selalu memperluas aliran menuju
jalur pemasaran dan konsumen,
tidak ketinggalan juga jalur
menuju produsen produk
komplementer, dan perusahaan
lain dalam industri yang terkait,
baik terkait dalam keahlian,
teknologi maupun input. Dalam
kluster juga tercakup pemerintah
dan institusi yang lain
(Porter,1990; 1998 a; 1998 b).
Kluster menginterprestasikan
jaringan yang terbentuk dan
menjadi semakin kokoh dengan
sendirinya tidak hanya oleh
perusahaan dalam kluster tetapi
oleh organisasi yang lain yang
terkait sehingga menciptakan
kolaborasi dan kompetisi dalam
tingkatan yang tinggi sehingga
dapat meningkatkan daya saing
berdasarkan keunggulan
kompetitif. (Raines P, 2002).
Ada 3 bentuk Kluster berdasarkan
perbedaan tipe dari eksternalitas
dan perbedaan tipe dari orientasi
dan intervensi kebijakan
(Kolehmainen,2002).
1) The industrial districts cluster.
Industrial district cluster atau
yang biasa disebut dengan
Marshalian Industrial District
adalah kumpulan dari
perusahaan pada industri yang
terspesialisasi dan
terkonsentrasi secara spasial
dalam suatu wilayah
(Marshal,1920). Pandangan
Marshal mengenai industrial
district masih relevan sampai
saat ini dan secara empiris
masih dapat dijumpai. Dalam
perpektif lebih modern
(Krugman,1991; Porter,1990),
industrial district cluster
berbasis pada eksternalitas
sebagai berikut:
a) Penurunan biaya transaksi
(misalnya, biaya
komunikasi dan
transportasi).
b) Tenaga kerja yang
terspesialisasi (misalnya,
penurunan biaya
rekruitment tenaga kerja
yang terspesialisasi dan
penurunan biaya untuk
pengembangan sumber daya
manusia).
c) Ketersediaan sumber daya,
input dan infrastruktur yang
spesifik dan terspesialisasi
(misalnya pelayanan spesial
dan tersedia sesuai dengan
kebutuhan lokal).
d) Ketersediaan ide dan
informasi yang maksimal
(misalnya mobilitas tenaga
kerja, knowledge spillover,
hubungan informal antar
perusahaan).
Intinya, industrial district,
terjadi secara alamiah dan
bersifat “open membership”.
Dalam industial district tidak
memerlukan investasi dalam
membangun relationship. Hal
ini menunjukkan bahwa jenis
kluster ini dapat muncul tanpa
memerlukan usaha untuk
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
90 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
memunculkannya. Selain itu
Ciri-ciri dari industrial district
dapat teridentifikasikan dalam
area metropolitan dan kota -
kota lain yang memprodusi
jasa dalam skala yang tinggi.
(Gordon dan McCann, 2000).
2) The industrial complex
cluster.
Industrial complex cluster
berbasis pada hubungan antar
perusahaan yang teridentifikasi
dan bersifat stabil yang
terwujud dalam perilaku
spasial dalam suatu wilayah.
Hubungan antar perusahaan
sengaja dimunculkan untuk
membentuk jaringan
perdagangan dalam kluster.
Model kompleks industri pada
dasarnya lebih stabil daripada
model distrik industri, karena
diperlukannya investasi dalam
menjalin hubungan antara
perusahaan – perusahaan dalam
kluster ini, dimana hubungan
yang terjadi berdasarkan atas
pertimbangan yang mantap
dalam pengambilan keputusan.
Dengan kata lain kluster ini
(komplek industri) terjadi
karena perusahaan -
perusahaan ingin
meminimalkan biaya transaksi
spasial (biaya transportasi dan
komunikasi) dan memiliki
tujuan - tujuan tertentu baik
secara implisit ataupun
eksplisit dengan menempatkan
perusahaannya dekat dengan
perusahaan-perusahaan lain.
Dalam beberapa kasus,
terjadinya kluster industri
didorong oleh adanya suatu
perusahaan yang mengekspor
produk akhir ke pasar
internasional, yang menjadi
mesin penggerak bagi
perusahaan - perusahaan lain
untuk berada pada kluster
tersebut.
Komplek industri tidak
terbangun secara alami dan
berbasis pada hubungan saling
ketergantungan yang tidak
simetris antara perusahaan
besar dan kecil. Keadaan ini
dapat menghalangi penyerapan
dan pengembangan inovasi dan
menempatkan perusahaan kecil
pada kedudukan yang yang
rendah dalam menciptakan
investasi dalam penelitian dan
pengembangan serta
pemasaran. Dominasi dari
perusahaan besar yang menjadi
motor dalam kluster tersebut
dapat berdampak negatif bagi
iklim usaha dan peluang pada
kluster secara keseluruhan.
3) The Social Network cluster.
Social Network cluster
menekankan pada aspek sosial
pada aktifitas ekonomi dan
norma - norma institusi dan
jaringan. Model ini
berdasarkan pada kepercayaan
dan bahkan hubungan informal
antar personal. hubungan
interpersonal dapat
menggantikan hubungan
kontrak pasar atau hubungan
hirarki organisasi pada proses
internal dalam kluster.
Harrison (1992) menyatakan
bahwa konsentrasi spasial pada
kluster ini merupakan konteks
alami yang terbentuk karena
adanya hubungan informal dan
modal sosial yang berupa
kepercayaan, karena hal
tersebut yang membentuk dan
menjaga melalui persamaan
sosial dan sejarah dan terus
menerus melakukan kegiatan
bersama dan saling berbagi.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
91 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Perlu diingat bahwa jaringan
sosial antar perusahaan tidak
perlu dibentuk dalam ruang
lingkup regional ataupun lokal
karena kedekatan wilayah dan
budaya dapat memfasilitasi
terbentuknya proses tersebut.
DAMPAK PENGEMBANGAN
KAWASAN INDUSTRI
Kawasan industri adalah suatu
zona/wilayah yang ditetapkan oleh
pemerintah sebagai kegiatan industri. Di
dalam zona perindustrian tersebut,
terdapat industri yang sifatnya
individual (yang berdiri sendiri) dan
industri - industri yang sifatnya
mengelompok dalam kawasan industri
(Industrial Estate). Di Indonesia sendiri,
pada tahun 2005 sudah terdapat 203
kawasan industri yang tersebar di
berbagai wilayah Indonesia dengan luas
±67.000 Ha. Dari jumlah tersebut baru
beroperasi 64 kawasan dengan total area
±20.000 Ha, dan rata-rata tingkat
pemanfaatan ±44% yang di dalamnya
terdapat ±60.000 industri.
Pemerintah sendiri telah banyak
mengeluarkan kebijakan - kebijakan
untuk mendorong terciptanya Kawasan
Industri di berbagai daerah - daerah
untuk menarik para investor asing untuk
menanamkan modalnya di kawasan
perindustrian yang sudah ada. Salah
satu kebijakan pemerintah adalah
dengan strategi pengembagan FTZ
(Free Trade Zone) atau SEZ (Special
Economic Zone). Dimana kebijakan ini
diberlakukan di suatu kawasan Industri
berupa pemberian fasilitas dan insentif
fiskal yang amat menarik dan bersifat
khusus sehingga investor dapat tertarik
untuk membuka pabriknya pada
kawasan industri tersebut. Selain itu
usaha pemerintah yang lain untuk
pengembangan kawasan Industri adalah
dengan pembangunan kelengkapan
infrastruktur yang menunjang usaha -
usaha produksi di kawasan industri ini.
Setiap perkembangan yang terjadi
mempunyai dampak atau pengaruh
terhadap lingkungan disekitarnya maka
dalam hal ini perkembangan kawasan
mempunyai dampak terhadap
perkembangan kota disekitarnya.
Keseriusan pemerintah dalam
pengembangan Kawasan Industri
bukanlah suatu hal yang mengherankan
melihat dampak positif/keuntungan
yang dapat diperoleh dari
pengembangan Kawasan Industri bagi
perkembangan lingkungan di
sekitarnya.
Keuntungan pengembangan kawasan
industri :
a. Memacu pertumbuhan Ekonomi
yang lebih tinggi.
Contoh terhadap hal ini dapat
dilihat di Propinsi Banten, dimana
pencapaian pertumbuhan ekonomi
Propinsi Banten pada akhir 2006
mencapai 6,24%, atau lebih tinggi
dari pertumbuhan ekonomi rata -
rata nasional, sedangkan PDRB
(Produk Domestik Nasional Bruto)
daerah pada tahun 2006 mencapai
94 trilliun. Besarnya PDRB ini
berasal dari sektor industri yang
memberikan kontribusi hingga
49,75%. Pertumbuhan ekonomi
Propinsi Banten hampir
setengahnya dipengaruhi oleh
sektor industri, bahkan
pertumbuhan ekonomi daerahnya
dapat melebihi perumbuhan
ekonomi rata - rata nasional, yang
tentu saja tidak dapat terlepas dari
peranan sektor industri.
b. Kemudahan dalam hal penyediaan
sarana infrastruktur yang
diperlukan oleh pabrik - pabrik
dalam melakukan produksinya.
Dengan menggabungkan beberapa
industri dalam satu kawasan, maka
pemenuhan fasilitas sarana dan
prasarana yang menunjang dan
diperlukan untuk proses industri
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
92 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
dapat dipenuhi lebih mudah karena
dikumpulkan dalam satu kawasan.
Berbeda halnya apabila tidak
terdapat kawasan industri, dimana
lokasi industri yang satu dengan
yang lain terletak berjauhan, maka
sarana yang diperlukan untuk
proses produksi cenderung susah
dilakukan dan lebih mahal karena
penggunaannya yang cenderung
untuk keperluan sendiri. Namun
dengan adanya kawasan industri
yang merupakan
aglomerasi/pengumpulan dari
beberapa Industri, maka pemenuhan
kebutuhan sarana dan prasarana
industri dapat lebih mudah, karena
dikelompokkan pada satu kawasan,
dan lebih murah sifatnya, karena
dapat digunakan secara bersama -
sama.
c. Membuka lapangan pekerjaan
baru.
Dengan bertumbuhnya Kawasan
Perindustrian, maka akan membuka
lapangan pekerjaan baru di pabrik
yang dapat menyerap ribuan
buruh/tenaga kerja. Dengan
tambahnya lapangan kerja tersebut,
maka pendapatan masyarakat dapat
menjadi meningkat yang disertai
juga dengan peningkatan SDM-nya.
Masyarakat akan memperoleh
pekerjaan dan memperoleh
pelatihan dan peningkatan
pengetahuan dengan bekerja di
pabrik - pabrik perindustrian. Untuk
bekerja di suatu pabrik, pekerja
tentu saja harus memiliki keahlian
dan keterampilan. Untuk memenuhi
hal ini, maka salah satu usaha yang
dilakukan pemerintah berupa
Program Magang di Kawasan
Industri yang dikhususkan kepada
para masyarakat di sekitar
lingkungan Kawasan Industri.
Dengan program tersebut, SDM dan
ketrampilan masyarakat diharapkan
dapat meningkat yang nantinya
dapat menghasilkan tenaga - tenaga
kerja yang terampil dan siap
bekerja.
d. Peningkatan pendapatan daerah
melalui pajak daerah.
Meningkatnya pertumbuhan
ekonomi suatu daerah maka juga
akan meningkatkan pendapatan
pajak daerahnya. Dengan
bertambahnya pajak daerah, maka
pemerintah dapat lebih
mengembangkan pembangunan di
sekitar kawasan.
e. Pemudahan pengelolaan
lingkungannya
Pengelolaan limbah secara
terintegrasi dengan mudah bisa
dilakukan. Dengan
dikelompokkannya industri dalam
satu kawasan, maka AMDAL-nya
berupa AMDAL kawasan, sehingga
lebih mempermudah dalam
pengecekan dan pengontrolan
lingkungannya. Pengeloaan limbah
secara terintegrasi (integrated waste
management) dapat dengan mudah
dilakukan sehingga
pengontrolannya juga dapat lebih
mudah dilakukan.
f. Mengurangi arus urbanisasi.
Masyarakat dari desa tidak lagi
hanya menargetkan kota sebagai
tempat mencari pekerjaan, tetapi
cukup ke Kawasan Industri yang
menyediakan lapangan kerja cukup
banyak. Para warga kota yang
bekerja di Kawasan Industri juga
cenderung akan memilih tinggal di
daerah Kawasan Industri apabila
Kawasan Industri telah
menyediakan fasilitas hunian yang
memadai. Sehingga peluang arus
transmigrasi dari kota ke daerah
pinggiran kota menjadi semakin
besar yang tentu saja dapat
mengurangi kepadatan penduduk
kota sebagai nilai positifnya.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
93 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Selain memberikan dampak - dampak
positif, pengembangan Kawasan
Industri juga memiliki dampak -
dampak yang negatif. Dampak yang
negatif/kerugian ini kebanyakan
berkaitan dengan aspek lingkungan.
Misalnya saja terjadinya pencemaran
dan kerusakan lingkungan akibat polusi
dan limbah yang dihasilkan dari pabrik -
pabrik di Kawasan Industri. Polusi dari
pabrik - pabrik di Kawasan Industri ini
biasanya berupa polusi udara, air,
kebisingan, ataupun tanah, yang
umumnya menerima dampak negatif
dari polusi ini adalah warga yang
tinggal di Kawasan Industri dan di
sekitar Kawasan Industri.
METODE PENELITIAN
A. LOKASI
Lokasi Perencanaan Kawasan
Industri Terpadu Kabupaten
Brebes adalah Desa Cimohong
Kecamatan Bulakamba Kabupaten
Brebes.
B. ALAT ANALISIS
Menurut Mulyadi (1997: 284)
yang menulis teori investasi yang
dalam hal ini dikaitkan dengan
kelayakan program dan
epidemologi dan kelayakan
ekonomi dari aspek keuangan.
Kelayakan ekonomi ditinjau dari
sudut aspek keuangan
menggunakan metode yang
dilakukan untuk menilai investasi,
dilakukan dengan cara:
1. Analisis net present value
(NPV)
Analisis ini untuk menilai
kelayakan investasi dengan
menghitung selisih antara nilai
sekarang dari penerimaan kas
bersih yang akan datang
dengan nilai sekarang investasi
awal. Semakin besar NPV
positif, investasi semakin
menguntungkan. NPV dapat
dihitung dengan rumus seperti
berikut:
∑ = +=
n
0I I
t
k)(1
ANPV
k = discount rate
At = cashflow periode k
N = usia ekonomi
2. Analisis payback period
Analisis ini untuk mengetahui
periode yang diperlukan dalam
pengembalian investasi
seluruhnya. Semakin pendek
payback period-nya, proyek
akan semakin baik. Payback
period dihitung dengan;
(1) Membagi jumlah investasi
dengan penerimaan kas
bersih (proceeds) tiap
periode, bila proceeds
sama setiap periodenya.
(2) Mengurangkan jumlan
investasi dengan
penerimaan kas bersih
(proceeds) yang diterima,
bila besar proceeds tidak
sama setiap periodenya.
3. Analisis Return on
Investment (ROI)
Analisis ini untuk melihat
apakah suatu proyek layak
sampai pada tahap
pengembangan dan pengujian.
Perhitungan ROI dapat
ditakukan dengan bermacam-
macam cara, salah satunya
yang paling terkenal adalah
dengan membandingkan
penghasilan tahunan rata-rata
sesudah pajak dan depresiasi
dengan investasi rata-rata.
ROI = E/I
ROI = Return on
investment
E = Penghasilan tahunan
rata-rata
I = Investasi rata-rata yang
diperlukan untuk sebuah
proyek.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
94 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Pendekatan ini memerlukan
adanya estimasi tentang
kelangsungan hidup yang
diharapkan dari produk
tersebut dan pendapat tentang
kemungkinan penjualan serta
biaya yang berkaitan dengan
produk tersebut setiap
tahunnya.
4. Analisis hasil pengembalian
(internal rate of return)/IRR
Yaitu tingkat bunga yang
menyamakan nilai sekarang
arus kas dengan pengeluaran
investasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Perhitungan
Dalam pembangunan Kawasan
Industri Terpadu di Desa
Cimohong, investasi yang
dibutuhkan untuk pembangunan
kawasan industri Cimohong
adalah sebesar Rp
905.159.154.520,-
Dari investasi tersebut,
didapatkan hasil perhitungan
kelayakan finansial sebagai
berikut :
A. Estimasi harga jual masing-
masing Kavling berdasarkan
skala industrinya:
1) Kavling Industri Kecil
(15%)
� Tipe 1 (1920 m2) 1
unit Rp
3,072,000,000,- / unit
� Tipe 2 (2000 m2) 36
unit Rp
3,200,000,000,- / unit
� Tipe 3 (2400 m2) 5
unit Rp
3.840.000.000,- / unit
2) Kavling Industri Sedang
(35%)
� Tipe 1 (5000 m2) 44
unit Rp
8.000.000.000,- / unit
� Tipe 2 (5920 m2) 2
unit Rp
9.472.000.000,- / unit
� Tipe 3 (7000 m2) 2
unit Rp
11.200.000.000,- /
unit
3 ) Kavling Industri Besar
(50%)
� Tipe 1 (9700 m2) 13
unit Rp
15.520.000.000,- /
unit
� Tipe 2 (10000 m2) 11
unit Rp
16.000.000.000,- /
unit
� Tipe 3 (12000 m2) 2
unit Rp
19.200.000.000,- /
unit
B. Estimasi penerimaan sewa
dari beberapa fasilitas
� Persewaan Penginapan
(unit) Rp 600.000,-
/tahun
� Kantor Perbankan (m2)
Rp 100.000/m2
� Show Room (m2)
Rp 100.000/m2
� Kantin(m2)
Rp 100.000/m2
� Minimarket (m2)
Rp 100.000/m2
Estimasi biaya dalam pengelolaan
kawasan industri tersebut,
meliputi biaya operasional, biaya
pemeliharaan,biaya gaji, biaya
asuransi, biaya depresiasi dan
lain-lain.
Hasil estimasi cash flow, dengan
asumsi masa konstruksi satu
tahun, dan umur ekonomis adalah
25 ( duapuluh lima) tahun.
Dengan discount factor 10 %, 12
% dan 14 %, didapatkan hasil
sebagai berikut:
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
95 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
1. Net Present Value :
a. Df = 10 % : Rp
291.723.259.253.575,-
b. Df = 12 % : Rp
98.236.030.931.190,-
c. Df = 14 % : Rp
(50.159.980.993.680),-
2. Internal Rate Return : 13,266
%
3. Benefit Cost Ratio :
a. Df = 10 % : 1,32
b. Df = 12 % : 1,11
c. Df = 14 % : 0,94
4. Pay Back Periode : 15 tahun
Dari hasil perhitungan di atas,
dapat disimpulkan bahwa secara
finansial proyek bisa dilaksanakan
atau layak. Hal ini bisa dilihat dari
nilai NPV yang positif, Benefit
Cost Ratio di atas 1, Nilai IRR
masih di atas tingkat bunga yang
berlaku. (Hasil perhitungan secara
keseluruhan bisa lihat lampiran).
Kawasan industri Cimohong
direncanakan merupakan kawasan
atau pusat pengembangan
berbagai industri dengan
pengelolaan secara terpadu.
Prospek Pasar Kawasan Industri
Terpadu Desa Cimohong
Kabupaten Brebes potensial untuk
pengembangan industri terutama
industri berbahan baku pertanian
(agroindustri).
Kawasan industri Terpadu di Desa
Cimohong diharapkan menjadi
pemicu utama dalam memperkuat
Kabupaten Brebes untuk menarik
investor, dengan beberapa
keuntungan yang bisa didapatkan,
yaitu:
a. Rencana pengawasan perizinan
dalam satu atap,
b. Promosi investasi, dengan
adanya usaha resmi diharapkan
investasi yang dilakukan oleh
pengusaha/ investor dapat
berkembang dengan baik,
didukung oleh suasana
kondusif dari berbagai aspek,
terutama keamanan dan tidak
adanya demonstrasi buruh di
Kabupaten Brebes.
B. Rencana Kerja Sama Dengan
Pemerintah - Swasta
Investasi merupakan salah satu
faktor yang penting untuk
meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah. Makin besar arus
investasi, dapat memberikan
peluang munculnya kegiatan-
kegiatan usaha yang lain.
Implikasinya adalah
meningkatnya kesempatan kerja
dan peluang terjadinya
peningkatan PAD.
Namun, bagaimana usaha Pemda
untuk meningkatkan PAD tanpa
harus membebani rakyatnya,
sehingga dapat mengembangkan
otonominya. Masih terdapat
peluang yang dapat dimanfaatkan
oleh daerah untuk mendukung
sumber pembiayaan dan investasi
daerah untuk mendukung
implementasi otonomi daerah
yang pelaksnaannya dapat
dilakukan oleh para pelaku
ekonomi daerah termasuk BUMN,
BUMD, Swasta dan Masyarakat.
Diperlukan adanya perhatian
yang serius dalam upaya
meningkatkan efisiensi sektor
publik, sekaligus mengupayakan
agar administrasi negara mampu
menelurkan berbagai kiat dan
terobosan dalam menciptakan
iklim yang kondusif bagi
berkembangnya sektor swasta.
Keterbatasan yang membelengu
sektor publik bukannya
merupakan halangan jika kita
mampu mendayagunakan
kekuatan dan potensi sektor
swasta yang mulai berkembang.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
96 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Pola kemitraan sektor publik dan
swasta merupakan harapan baru
dalam mendobrak keterbatasan.
Acapkali daerah memiliki aset
yang sangat potensial untuk
dimanfaatkan atau dikembangkan,
namun upaya-upaya ke arah itu
terhalang oleh terbatasnya sumber
dana atau akses ke sumber dana
atau keterbatasan kemampuan
SDM dalam menggunausahakan
aset tersebut. Di sisi lain swasta
atau masyarakat merupakan pihak
yang dalam banyak hal,
mempunyai potensi pendanaan
dan teknologi yang perlu
diproduktifkan, dengan demikian
melalui kerjasama antara
Pemerintah daerah dengan swasta
atau masyarakat dapat
memberikan nilai tambah dan
keuntungan kedua belah pihak
Kerjasama antara pemerintah
daerah dan swasta tidak hanya
akan dapat memberikan
keuntungan berupa uang, tetapi
juga merupakan strategi
diversifikasi resiko, dimana
dengan kerjasama ini resiko
Pemerintah Daerah menjadi kecil
atau bahkan tanpa ikut
menanggung resiko sama sekali.
Di Indonesia, pola kerjasama
antara diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah
Daerah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan infrastruktur.
C. Bentuk Kerja Sama Antara
Sektor Publik Dan Swasta
Kerja sama Pemerintah daerah
dengan swasta idealnya
didasarkan pada win-win solution
partnership, artinya kerjasama
tersebut dilakukan dengan
kesadaran dari dua belah pihak
atas keuntungan timbal balik yang
akan dihasilkan dalam kerjasama
tersebut. Pemerintah Daerah
dalam pengertian kerja sama
Pemerintah Daerah termasuk di
dalamnya BUMD/Perusahaan
Daerah. Oleh karena itu
perusahaan daerah mempunyai
peluang untuk mengembangkan
dan meningkatkan usaha melalui
kerjasama dengan pihak swasta.
Pihak ketiga menurut
Permendagri Nomor 3 Tahun
1986 adalah instansi atau badan
usaha atau perorangan yang
berada di luar organisasi
Pemerintah Daerah, antara lain
Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah lainnya, BUMN, BUMD,
Koperasi, Swasta Nasional atau
Swasta Asing yang tunduk pada
hukum Nasional
Bentuk Kerja sama secara garis
besar dikelompokkan adalam 2
bentuk, yaitu
1. Kerjasama Pengelolaan (Joint
Operation). Kerja sama ini
dapat dilakukan melalui
berbagai model, yaitu :
a. Sewa Tambah Guna (
Contract Add and Operate
/CAO)
b. Rehabilitasi Guna Serah
(Rehabilitate, Operate and
Transfer/ROT)
c. Bangun Serah (Built and
Transfer/ BT)
d. Bangun Guna Serah (
Built, Operate and
Transfer/BOT)
e. Bangun Serah Sewa (
Built, Transfer and Rent
/BTR)
f. Bangun Sewa Serah (
Built, Rent and
Transfer/BRT)
g. Bangun Kelola Miliki (
Built, Operate and
Own/BOO)
h. Kerjasama Operasi
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
97 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
2. Kerjasama Usaha Patungan
(Joint Venture). Pemda
bersama-sama dengan swasta
dapat mendirikan Perseroan
Terbatas yang mengacu pada
Undaag-undang Nomor 1
Tahun 1995.
D. Langkah Strategis Pemilihan
Kerja Sama
Untuk dapat mencapai
sasaran secara optimal, maka
pilihan untuk melakukan
kerjasama perlu diletakkan dalam
suatu kerangka strategis.
Sebagaimana dilakukan oleh
perusahaan dalam rangka menjalin
kerjasama strategis untuk
mengembangkan bisnisnya.
Kerangka pikir yang biasa dipakai
adalah menggunakan model
manajemen strategis. Menurut
Usman ( 1996 ) beberapa kekuatan
dan kelemahan pemanfaatan dana
sektor swasta dapat dilihat sebagai
berikut:
Tabel 1
KEKUATAN DAN KELEMAHAN KERJA SAMA DENGAN SEKTOR SWASTA
Aspek Kekuatan Kelemahan
Efisiensi Dengan Masuknya Kantor
Swasta maka perusahaan akan
beroperasi dengan lebih
efisien
Tidak ada kelemahan yang
menonjol
Persiapan Dilakukan bersama-sama
dengan pihak swasta,
sehingga mudah
memperhatikan berbagai
aspek
Akan lebih ketat adanya
keterlibatan ihak swasta
Pendanaan Pemda/Perusda tidak perlu
menyediakan dana dalam
jumlah yang besar dalam
penyertaan modal
Apabila modal sawsta banyak
berasal dari Luar Negeri, maka
perlu diperha-tikan resiko nilai
tukar
Pembagian
Resiko
Terjadi pembagian resiko
antara Pemda/Perusda dengan
swasta
Tidak ada kelemahan yang
menonjol
Desentralisasi Meningkatkan kewenangan
Pemda
Tambah wewenang
menyebabkan tambahan
tanggung jawab
Patyisipasi
Swasta
Meningkatkan peran swasta
dalam pembangunan daerah
Tidak ada kelemahan yang
menonjol
Penentuan Tarif Pemerintah tetap mempunyai
kekuatan dalam menentukan
tarif
Tanpa danya konrol yang kuat
dari pemerintah, swasta dapat
menerapkan tarif yang
memberatkan masyarakat
Alih Teknologi Akan terjadi alih teknologi
dari sektor swasta ke sektor
emerintah
Tidak ada kelemahan yang
menonjol
Makro Ekonomi Pinjaman Pemerintah diganti
dengan sumber swasta
Tidak ada kelemahan yang
menonjol
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
98 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Berdasarkan tabel 1 di atas, walaupun
terdapat beberapa kelemahan yang
mungkin timbul dengan adanya kerja
sama Pemerintah Daerah dengan
Swasta, namun secara umum aspek
positif yang ditimbulkannya lebih
dominan dibandingkan dengan aspek
negatifnya yaitu Bangun Guna Serah
(BOT)
� BANGUN GUNA SERAH (Built,
Operate And Transfer)
Bentuk kerjasama BOT dikenal
pada transaksi-transaksi yang
obyeknya berupa tanah. Kekayaan
daerah yang berupa tanah dan
fasilitas-fasilitas yang ada di
atasnya yang memiliki potensi
ekonomi yang tinggi dialihkan
pemanfaatannya kepada swasta,
dengan cara pihak swasta tersebut
atas biayanya sendiri membangun
bangunan berikut fasilitas
komersiilnya serta
mendayagunakan bangunan dan
fasilitas tersebut untuk suatu jangka
waktu tertentu.
Biasanya pada awal kerjasama
Pemda juga akan menerima
kompensasi berupa uang dari pihak
swasta dan mempunyai hak untuk
memanfaatkan suatu area dari
bangunan tersebut tanpa
pembayaran apapun ke pihak
swasta.
Selama masa BOT, resiko yang
terjadi atas bangunan dan fasilitas
yang dibangun swasta akan
merupakan tanggungan swasta
karena secara hukum kepemilikan
bangunan dan fasilitas masih
menjadi milik pihak swasta.
Gambar 1
STRATEGI DIVERSIFIKASI RESIKO KERJASAMA BOT
Berdasarkan tabel 1 di atas,
walaupun terdapat beberapa kelemahan
yang mungkin timbul dengan adanya
kerja sama Pemerintah Daerah dengan
BOT Transfer Resiko
Resiko Pembangunan
Resiko Konstruksi
Resiko Operasi
100%
dari resiko
100%
dari resiko
100%
dari resiko
Pemerintah Swasta
resiko rendah
Resiko tinggi
resiko rendah
Resiko tinggi
Resiko sangat rendah
Resiko sangat tinggi
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
99 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Swasta, namun secara umum aspek
positif yang ditimbulkannya lebih
dominan dibandingkan dengan aspek
negatifnya.
Di Indonesia, pola kerjasama antara
Pemerintah Daerah dengan swasta
sebenarnya diatur dalam :
a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan
Daerah
b. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 50 Tahun 2007
Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kerja Sama Daerah
c. Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2005 tentang kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam penyediaan Infrastruktur,
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 61 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum
Daerah.
e. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 69 Tahun 2007 Tentang
Kerja Sama Pembangunan
Perkotaan
Tujuan utama pelaksanaan kerjasama
antara Pemerintah Daerah/Perusda
dengan Pihak Ketiga adalah untuk
meningkatkan perekonomian daerah
dan menembah pendapatan daerah.
Secara umum, tujuan dilakukannya
kerjasama adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pembiayaan, melalui
dana dari masyarakat untuk
kepentingan pembangunan,
b. Usaha untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah
melalui perluasan dan peningkatan
pembangunan,
c. Meningkatkan pendapatan daerah
dengan memanfaatkan hasil-hasil
pembangunan masyarakat,
d. Mendorong partisipasi masyarakat
dalam pembangunan daerah,
e. Mendayagunakan aset daerah
secara optimal, khususnya aset
yang masih dapat ditingkatkan
penggunaannya,
f. Adanya alih teknologi yang
digunakan dalam pengelolaan
proyek yang dapat dimanfaatkan
SDM di Pemda,
g. Terhindarinya penjualan aset
daerah yang potensial kepada
swasta,
h. Terciptanya lapangan pekerjaan
yang dapat mendorong dan
mendayagunakan tenaga kerja
setempat untuk bekerja di sektor
industri,
i. Sebagai katalisator penyerapan
tenaga kerja ke kota-kota besar.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil analisis
pada pembahasan sebelumnya adalah
sebagai berikut L
1). Pembangunan Kawasan Industri
Terpadi di Desa Cimohong
dinyatakan layak secara finansial.
Hal ini bisa dilihat dari hasil
perhitungan, didapatkan hasil :
o NPV
Df = 10 % = Rp
291.723.259.253.575,-
Df = 12 % = Rp
98.236.030.931.190,-
Df = 14 % = (Rp
50.159.980.993.680)
o IRR = 13,266
o B/C Ratio
• Df = 10 % = 1,32
• Df = 12% = 1,11
• Df = 14 % = 0,94
o Pay Back Period = 15 tahun
Proyek dikatakan layak secara
finansial, jika NPV positif, B/C
ratio di atas 1, dan IRR di atas
tingkat bunga yang berlaku.
Dengan hasil perhitungan, proyek
dinyatakan layak untuk dibangun.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
100 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
2). Kemitraan dengan pihak ketiga,
dilakukan dengan pertimbangan
terdapatnya keterbatasan pihak
Pemda. Bentuk kemitraan seperti
yang diatur dalam Perda
Kabupaten Brebes No 5 tahun
2006 tentang Kemitraan Daerah.
Dengan melihat beberapa
alternatif, yang paling
menguntungkan adalah bentuk B –
O – T (Build, Operate and
Transfer), dicirikan dengan
adanya investasi swasta,
pembangunan sarana, biaya
rendag, kualitas tinggi,
menguntungkan, efisiensi tinggi.
PENUTUP
Dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah seperti yang
diamanatkan oleh Undang-undang
Nomor 33 tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah dan Undang-
undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa
suatu daerah yang tidak mampu
membiayai sumber pelaksanaan
otonomi daerah akan di-merger
(digabungkan) atau dihapuskan.
Berdarakan kebutuhan dan tuntutan
zaman maka perlu adanya perluasan
wilayah dalam rangka menambah
sumber penerimaan daerah, yaitu salah
satu cara untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Brebes adalah membuat
perencanaan Kawasan Industri Terpadu.
Daftar Pustaka
Abdul Halim, 2001, Manajemen
Keuangan Daerah,
Yogyakarta : AMP YKPN
Agung Riyadi, Anton A, Didit P, 2002,
Laporan Penelitian Potensi
Pajak dan Retribusi Daerah
di Kabupaten Sukoharjo,
Surakarta : FE UMS.
Agus Wantara, 1995, Analisis
Pendapatan Asli Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun
1970-1980 (tesis yang tidak
dipublikasikan), Yogyakarta
: UGM
Alfian Lians, 1985, Pendapatan Daerah
Dalam Ekonomi Orde Baru,
Prisma No. 4 Tahun XIV.
Andi Mustari, 1999, Otonomi Daerah
dan Kepala Daerah
Memasuki Abad XXI, Jakarta
: Gaya Media Pratama
Asnafiah Yulianti, 2001, Kemandirian
dan Pertumbuhan Ekonomi
Dalam Menyongsong
Otonomi Daerah, Kajian
Ekonomi dan Bisnis Stiekers,
Vo. 5 , No. 29, Tahun 2001.
B.Usman, 1977, Pajak-pajak Indonesia,
Jakarta : Majalah Mingguan Pajak.
Bagus Santosa, 1995, Evaluasi Peran
Retribusi Pasar Terhadap
Pendapatan Daerah : Studi
Kasus Kabupaten Sleman
(laporan penelitian yang
tidak dipublikasikan),
Yogyakarta : UGM
Bahl, Roy, 1999, Implementation Rule
Fiscal Desentralisation,
Atlanta : International
Studies Program School of
Policy Studies, Georinia
State University.
Balai Penerbitan Panca Usaha, 2001,
Undang-Undang No. 34
Tahun 2000 Tentang
Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 18 Tahun
1997 Tentang Pajak dan
Retribusi Daerah, Bandung :
CV. Laksana Mandiri
Caroline, 2004, Analisis Penerimaan
Retribusi Pasar Kota
Salatiga, Semarang : UNDIP
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
101 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
(tesis yang tidak
dipublikasikan)
Dadang Solihin, 2001, Kamus Istilah
Otonomi Daerah, Jakarta :
Lembaga Pemberdayaan
Ekonomi Kerakyatan
Davey, 1988, Pembiayaan Pemerintah
Daerah, Terjemahan
Amanullah, Jakarta : UI
Press
Deddy Supriady, 2001, Otonomi
Penyelenggara Pemerintah
Daerah, Jakarta : Gramedia
Fisher,Ronald, 1996, State and Local
Publik Finance, A Time
Higher Education Group,
Inc. Company.
Guritno Mangkoesoebroto, 1995,
Ekonomi Publik, Yogyakarta
: BPFE
Harry Waluya, 2001, Analisis Rasio
PAD/APBD Terhadap
Kebijakan Kemandirian
Keuangan Daerah Otonom,
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
FE Universitas Katolik
Indonesia Atmajaya, Vol. 1,
No. 2, Edisi Agustus 2001
Husein Umar, 2003, Strategic
Management In Action,
Percetakan : PT. SUN
Jakarta
Ibnu Syamsi, 1993, Dasar-dasar
Kebijakan Keuangan
Negara, Jakarta : Bima
Aksara.
Indah Susantun, 2000, Fungsi
Keuntungan Cobb Douglas
Dalam Pendugaan Efisiensi
Ekonomi Relatif, Jurnal
Ekonomi Pembangunan,
Vol. 5, No. 2, Edisi 2000.
J.B. Kristiadi, 1985, Masalah Sekitar
Peningkatan Pendapatan
Daerah, Prisma No. 12,
Tahun XIV, Jakarta : LP3ES
John Suprihanto, 1997, Pengukuran
Tingkat Kepuasan
Pelayanan, Jakrta : Rineka
Cipta
Jones, Bernard, 1995, Local
Government Financial
Management, ICSA
Publishing Limited.
Josep Riwu Kaho, 1998, Prospek
Otonomi Daerah Negara
Republik Indonesia “
Identifikasi Faktor Yang
Mempengaruhi
Penyelenggaraannya “,
Jakarta : Rajawali Press
Kadariyah,1992, Pengantar Evaluasi
Proyek. Jakarta : Lembaga
Penerbitan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Krisna D. Darumurti dan Umbu
Raunta, 2000, Otonomi
Daerah “ Perkembangan,
Pemikiran dan Pelaksanaan
“, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti
Mardiasmo, 2001, Manajemen
Penerimaan Daerah dan
Struktur APBD dalam Era
Otonomi Daerah, Kajian
Ekonomi dan Bisnis Stiekers,
Vo. 5, No. 29, Tahun 2001.
Mardiasmo, 2001, Pengawasan,
Pengendalian dan
Pemeriksaan Kinerja
Pemerintah Daerah Dalam
Melaksanakan Otonomi
Daerah, Jurnal Bisnis dan
Akuntansi, Vol. 3, No. 2,
Tahun 2001.
Mardiasmo, 2001, Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah :
Permasalahan dan
Kebijakan, makalah yang
disampaikan dalam Sidang
Pleno Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia Ke-10 di
Batam
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan
manajemen Keuangan
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
102 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Daerah, Yogyakarta :
Penerbit Andi.
Marzuki, 1995, Metodologi Riset,
Yogyakarta : FE-UII
Moh. Nazir, 1999, Metode Penelitian,
Penerbit : Ghalia Indonesia
Mudrajat Kuncoro, 1995, Desentralisasi
Fiskal di Indonesia, Prisma,
No. 4 Tahun. XXIV
Mulyanto, 2002, Potensi Pajak dan
Retribusi Daerah di
Kawasan Subosuko
Wonosraten Propinsi Jawa
Tengah, Kerjasama IRIS dan
LPEM UI, Jakarta.
Musgrave, 1990, Keuangan Negara
Dalam Teori dan Praktek
(Edisi 5), Jakarta : PT.
Erlangga
Nick Devas, Brian Binder, Anne Booth,
Kennet Davey dan Roy
Kelly, 1989, Keuangan
Pemerintah Daerah di
Indonesia, Terjemahan
Masri Maris, Jakarta :
Penerbit UI Press.
Pontjowinoto, Didit, MP,1991,
“Alternatif Reformasi
Kebijakan dan Manajemen
Keuangan Daerah”, Prisma,
Jakarta : LP3ES
Rustian Kamaludin, 1992, Bunga
Rampai Pembangunan
Nasional dan Pembangunan
Daerah, Jakarta : FE-UI.
S. Pamudji, 1980, Pembinaan
Perkotaan di Indonesia,
Jakarta : Ichtiar
S. Pamudji, 1990, Makna Dati II
Sebagai Titik Berat
Pelaksanaan Otonomi
Daerah, Jakarta : CSIS
Sadono Sukirno, 1982, Pengantar Teori
Ekonomi Mikro, Jakarta :
Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas
Indonesia.
Shaw, G.K, 1989, Hubungan Fiskal
Antara Pemerintah,
Penerjemah Silvia Rilwon,
Jakarta : Gramedia
Sidik Jatmika, 2001, Otonomi Daerah :
Perspektif Hubungan
Internasional, Yogyakarta :
Bigraf Publising.
Soejamto, 1992, Otonomi Birokrasi
Partisipasi, Jakarta : Sinar
Grafika
Soelarso, 1998, Modul Mata Pelajaran
Administrasi Pendapatan
daerah Dalam Terapan,
Yogyakarta : UGM
Soesilo, 2001, Perspektif Politik
Ekonomi Otonomi Daerah
Dibawah Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999, Ekuitas,
Vol. 5, No. 4, Tahun 2001.
Soetrisno, PH, 1986, Ekonomi Publik II,
Jakarta : Karunika.
Soetrisno. 1981. Evaluasi Project Jilid I.
Yogyakarta : Fakultas
Ekonomi Universitas Gajah
Mada.
Suparmoko, 1996, Keuangan Negara
Dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta : BPFE
Suparmoko, 2002, Ekonomi Publik :
Untuk Keuangan dan
Pembangunan Daerah,
Penerbit Andi Yogyakarta.
Susijati, B Hirawan, 1986, Analisa
Tentang Keuangan Daerah
di Indonesia, EKI Vo.
XXXIV No. 1
Syarif Hidayat, 2000, Reflektifitas
Realitas Otonomi Daerah
dan Tantangan ke Depan,
Jakarta : Pustaka Quantum
Zulkarnain Djamin. 1992. Perencanaan
dan Analisa Proyek, Jakarta :
Lembaga Penerbitan
Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
103 Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT)
Tjahya Supriyatna, 1992, Sistim
Administrasi Pemerintahan
di Daerah, Jakarta : Bumi
Aksara
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang No. 34 Tahun 2004
Tentang Perimbangan
Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah