83
DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN ................................................1 2. PENGERTIAN YANG TERKAIT DENGAN MASALAH BANJIR..............3 2.1. Pengertian masyarakat tentang banjir pada umumnya 3 2.2. Beberapa istilah dan pengertian teknis yang terkait 7 dengan banjir, masalah banjir dan upaya mengatasi masalah banjir 3. BANJIR, MASALAH BANJIR DAN PROSES TERJADINYA.............14 MASALAH BANJIR 3.1. Banjir dan masalah banjir............................14 3.2. Proses terjadinya masalah banjir.....................16 4. UPAYA UNTUK MENGATASI MASALAH BAN11R.....................28 4.1. Konsep dasar.........................................28 4.2. Upaya fisik atau struktur...........................33 4.2.1. . . .Beberapa jenis kegiatan yang merupakan upaya 33 struktur 4.2.2. ........................Sistem pengendati banjir 41 4.2.3. .......Teknik sungai sebagai dasar perekayasaan 42 sistempengendali banjir 4.3. Upaya nonfisik atau nonstruktur......................44 4.4. Pengelolaan dataran banjir...........................49 4.4.1. .......Prinsip dasar pengelolaan dataran banjir 49 i

Upaya Mengatasi M-banjir_edit

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tess ting

Citation preview

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN

1

2. PENGERTIAN YANG TERKAIT DENGAN MASALAH BANJIR32.1. Pengertian masyarakat tentang banjir pada umumnya3 2.2. Beberapa istilah dan pengertian teknis yang terkait7 dengan banjir, masalah banjir dan upaya mengatasi masalah banjir

3. BANJIR, MASALAH BANJIR DAN PROSES TERJADINYA14

MASALAH BANJIR

3.1.Banjir dan masalah banjir143.2.Proses terjadinya masalah banjir164. UPAYA UNTUK MENGATASI MASALAH BAN11R284.1.Konsep dasar284.2.Upaya fisik atau struktur33 4.2.1. Beberapa jenis kegiatan yang merupakan upaya33

struktur

4.2.2. Sistem pengendati banjir41 4.2.3. Teknik sungai sebagai dasar perekayasaan42

sistempengendali banjir

4.3.Upaya nonfisik atau nonstruktur444.4.Pengelolaan dataran banjir494.4.1. Prinsip dasar pengelolaan dataran banjir494.4.2. Pengelolaan dataran banjir di DKI Jakarta505. RESUME535.1.Upaya mengatasi masalah banjir535.2.Upaya yang perlu segera dilakukan576. PENUTUP59UPAYA MENGATASI MASALAH BANJIR SECARA MENYELURUH

Oleh: Ir. Siswoko Sastrodihardjo, Dipl. HE 11. Pendahuluan.

Hampir seluruh negara di dunia ini mengalami masalah banjir, tidak terkecuali di negara-negara yang telah maju sekalipun. Masalah tersebut sesungguhnya telah mulai muncul sejak manusia bermukim dan melakukan berbagai kegiatan di kawasan yang berupa dataran banjir (flood-plain) suatu sungai. Kondisi lahan di kawasan ini pada umumnya subur serta menyimpan berbagai potensi dan kemudahan sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi untuk dibudidayakan. Oleh sebab itu kota-kota besar serta pusat-pusat perdagangan dan kegiatan-kegiatan penting lainnya seperti kawasan industri, pariwisata, prasarana perhubungan dan sebagainya sebagian besar tumbuh dan berkembang di kawasan ini. Sebagai contoh, di Jepang sebanyak 49 % jumlah penduduk dan 75% properti berada di dataran banjir yang luasnya hanya 10 % dari luas daratan; sedangkan sisanya 51 % jumlah penduduk dan 25 % properti berada di luar dataran banjir yang luasnya 90 % dari luas daratan. Hampir seluruh kotakota besar di Indonesia juga berada di dataran banjir (Tabel 1).

Selain memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, dataran banjir sebenarnya juga mengandung potensi yang merugikan sehubungan dengan terdapatnya ancaman berupa luapan dan genangan banjir yang dapat menimbulkan kerusakan dan bencana. Seiring dengan laju pertumbuhan pembangunan fisik yang sebagian besar berada di dataran banjir maka potensi terjadinya kerusakan dan bencana tersebut mengalami peningkatan pula dari waktu ke waktu._________________________________________________

1Pemerhati masalah banjir dan Sumber Daya Air, Pensiunan Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum (Mei 2005-Juli 2007), Ketua Global Water Partnership-southestAsi (2007-2009).

Tabel 1. Beberapa kota besar di Indonesia yang sebagian atau seluruhnya berada di dataran banjir.

No.KotaSungai

1JakartaKamal, Tanjungan, Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Cideng, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, Cakung.

2SemarangKali Garang/Kali Semarang

3Bandung SelatanSungai Citarum Hulu

4SurabayaKali Brantas

5PalembangSungai Musi

6PadangBatang Arau, Batang Kuranji, BAtang Air Dingin

7PekanbaruSungai Siak

8JambiSungai Batanghari

9MedanSungai Belawan, Deli, Dabura, Percut, Kera

10Banda AcehKrueng Aceh

11PontianakSungai Kapuas

12BanjarmasinSungai Barito

13SamarindaSungai Mahakam

14MakassarSungai Jeneberang

15GorontaloSungai Bone, Bolango, Talamate

Hampir seluruh kegiatan penanganan masalah banjir sampai saat ini dilakukan oleh pemerintah, lewat berbagai proyek pembangunan dengan lebih mengandalkan pada upaya yang bersifat fisik atau struktur (structural measures). Berbagai upaya yang telah dilakukan pada umumnya masih sangat kurang memadai bila dibandingkan dengan laju peningkatan masalah. Masyarakat baik yang secara langsung menderita masalah maupun yang tidak langsung menyebabkan terjadinya masalah masih kurang berperan baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan operasi serta pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana fisik pengendali banjir, maupun terhadap upaya-upaya nonfisik. Hal itu kemungkinan besar disebabkan adanya berbagai kendala yang ada di masyarakat antara lain menyangkut kondisi sosial ekonomi serta belum adanya kesamaan pemahaman terhadap upaya mengatasi masalah banjir.

Masalah banjir berdampak sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu upaya untuk mengatasinya harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai kegiatan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perubahan lingkungan yang terjadi sebagai dampak dari berbagai kegiatan manusia termasuk perubahan iklim berkenaan dengan pemanasan global, berpengaruh sangat signifikan terhadap upaya mengatasi masalah banjir, antara lain dengan terjadinya kenaikan muka air laut dan peningkatan frekuensi curah hujan yang tinggi. Pembangunan fisik baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan membudidayakan kawasan yang berupa dataran banjir yang rawan tergenang banjir masih terus berlangsung, demikian pula perusakan lingkungan di daerah aliran sungai, sehingga masalah banjir masih terus meningkat dari waktu ke waktu. Sehubungan dengan itu maka upaya untuk mengatasinya perlu lebih ditingkatkan. Untuk itu diperlukan penyempurnaan atau bahkan perubahan paradigma, kebijakan, strategi dan kegiatan penanganan masalah banjir ke depan, baik yang menyangkut aspek-aspek teknis maupun nonteknis.

Secara visual genangan dapat terjadi sebagai akibat: luapan air dari sungai (lazim disebut banjir); akibat hujan setempat yang kurang lancar masuk ke saluran drainase atau ke sungai sehingga menimbulkan genangan (lazim disebut genangan); dan genangan akibat air laut masuk ke daratan pada saat air pasang (di Semarang dan Jakarta lazim disebut rob), atau gabungan dari keduanya ataupun ketiganya; seperti halnya yang sering terjadi di Jakarta dan Semarang. Pembahasan rinci tentang genangan yang terkait dengan drainase permukiman dan perkotaan (urban drainage) serta rob tidak masuk dalam buku ini.

Buku ini hanya menguraikan tentang banjir, masalah banjir dan upaya mengatasinya secara umum, dan tidak menguraikan kebijakan, stategi dan upaya mengatasi masalah banjir secara rinci. Beberapa hal yang dikemukakan dalam buku ini terbatas pada hal-hal yang sangat mendasar; antara lain menyangkut istilah dan pengertian, proses terjadinya masalah banjir, dan upaya mengatasi masalah banjir secara menyeluruh, dengan tujuan utama untuk menyamakan pengertian dan pemahaman bagi seluruh stakeholders. Upaya penyamaan pemahaman itu sangat penting agar terjadi sinergi diantara para stakeholders dalam ikut berperan serta mengatasi masalah.2. Pengertian yang terkait dengan masalah banjir.

2.1. Pengertian masyarakat tentang banjir pada umumnya.

Masalah banjir dapat dipastikan selalu muncul pada setiap tahun dan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Namun demikian beberapa istilah, pengertian dan pemahaman yang menyangkut banjir, masalah banjir dan upaya untuk mengatasinya yang telah populer dan beredar luas di masyarakat, media masa, maupun di lingkungan aparatur pemerintah sendiri sampai saat ini tampaknya masih rancu. Kerancuan, ketidak seragaman pengertian dan pemahaman terhadap masalah ini berdampak kurang kondusif terhadap upaya mengatasi masalah banjir. Dampak tersebut antara lain dapat berupa kesalahan dalam menetapkan kebijakan, strategi dan upaya yang dilakukan, serta kurangnya kepedulian dan peran serta masyarakat dalam mengatasi masalah banjir. Sebagian besar masyarakat pada saat ini masih beranggapan bahwa upaya mengatasi masalah banjir adalah merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Demikian pula adanya pemahaman yang tidak tepat terhadap kinerja sistem pengendali banjir, yang menganggap bahwa begitu sistem pengendali banjir selesai dibangun masalah banjir pasti atau harus hilang; dan apabila ternyata masih terjadi maka dianggap ada sesuatu yang tidak beres.

Ada indikasi masih terbatasnya pemahaman masyarakat menyangkut masalah banjir dan upaya mengatasinya, tercermin dari berbagai ungkapan atau pernyataan dan pertanyaan di masyarakat yang sering muncul di berbagai media, antara lain:

Mengapa para insinyur tidak dapat mengatasi masalah banjir dengan tuntas?

Kapankah wilayah DKI Jakarta akan bebas banjir? Berapa milyar/triliun dana yang masih diperlukan untuk itu?

Untuk membebaskan wilayah DKI Jakarta terhadap masalah banjir diperlukan dana untuk proyek sekian triliun rupiah selama sekian tahun.

Wilayah DKI Jakarta bagian timur akan terbebas dari genangan banjir apa bila Banjir Kanal Timur telah selesai dibangun.

Berbagai proyek untuk menangani masalah banjir dengan biaya yang besar telah dilaksanakan, akan tetapi mengapa masalah banjir tetap saja meningkat?

Warga DKI Jakarta yang tempat tinggalnya tergenang pada saat banjir, mendatangi kantor Proyek Pengendalian Banjir untuk mengajukan protes kenapa Proyek tidak mampu membebaskan tempat tinggalnya dari banjir.

Clash action telah beberapa kali dilakukan oleh warga DKI Jakarta dan di kota-kota lain kepada pemerintah daerah setempat yang dinilai tidak mampu mengatasi masalah banjir dengan tuntas.

Bukankah masalah banjir itu justru "dipelihara" oleh para tukang insinyur agar pekerjaannya tidak segera habis?

Pengendalian banjir konon dinyatakan untuk debit banjir periode ulang 25 tahunan, akan tetapi mengapa proyek baru saja selesai dikerjakan telah terjadi banjir lagi?

Harian Pikiran Rakyat, 12-02-94 menulis: "900 ha lahan banjir di Cekungan Bandung untuk kawasan industri". (Catatan: lahan yang berada di "cekungan Bandung" da~i hasil studi "Flood-plain management plan for Upper Citarum Basin (93)" hanya layak untuk kolam ikan atau kolam pemancingan dan bukan untuk permukiman, apa lagi untuk kawasan industri).

Bangunan yang dibuat oleh masyarakat telah mengikuti IMB dan berada di atas "peil banjir" yang resmi ditetapkan oleh pemerintah, tetapi mengapa masih saja tergenang banjir?

Terjadinya genangan dan banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya adalah akibat "kiriman" dari Bogor Jawa Barat, karena pintu air Katulampa dibuka. (Catatan: yang sebenarnya ada di Bogor adalah bendung (weir) Katulampa di Sungai Ciliwung yang dibangun pada zaman Belanda untuk keperluan irigasi. Pintu air yang ada merupakan bangunan pengambilan (intake) untuk irigasi yangjustru ditutup pada saat banjir. Diatas mercu bendung tersebut dipasang alat pencatat atau pengukur tinggi limpasan yang di musim hujan dimonitor terus, dan merupakan bagian dari sistem peringatan dini banjir di Jakarta. Oleh karena itu air banjir Sungai Ciliwung yang mengalir ke Jakarta adalah merupakan aliran alamiah tanpa ada rekayasa. Bendung Katulampa hanya merupakan bangunan peninggi muka air, dan bukan bendungan sehingga di hulu bendung juga tidak terdapat waduk. Istilah banjir kiriman dapat memicu terjadinya konflik antara masyarakat di hulu yang dianggap "mengirim banjir" dengan masyarakat di hilir yang "dikirim banjir"; pada hal air memang mengalir dari hulu ke hilir secara alamiah dan bukan kehendak masyarakat yang tinggal di hulu).

Analog dengan pernyataan diatas: Terjadinya banjir di Riau adalah akibat "banjir kiriman" dari Sumatera Barat. Terjadinya banjir di Bojonegoro adalah akibat "banjir kiriman" dari Solo dan Madiun, dan seterusnya!

Berbagai pengembang real estat yang membangun di dataran banjir dan mengiklankan dagangannya yang konon "bebas banjir sampai tua".

Kebingungan Kasatker (Pimpro) gara-gara dipanggil Pak Jaksa dan atau Pak Polisi karena dianggap melakukan kesalahan sehubungan dengan tanggul yang dibangunnya mengalami jebol terlanda banjir.

Jangan hanya pandai menyalahkan alam. (Catatan: alam ciptaan Tuhan YME memang tidak boleh disalahkan, namun upaya manusia untuk mengendalikannya yang terbatas, dan sering kali fenomena alam termasuk dampak dari berbagai kegiatan manusia itu sendiri lebih dominan dari pada upaya manusia, dan oleh karenanya diperlukan upaya lain yang berupa penyesuaian diri atau adaptasi dengan alam).

Pertanyaan yang ditujukan kepada penulis (tahun 2006): Sebagai seorang Dirjen Sumber Daya Air di Departemen Pekerjaan Umum, kenapa Bapak malah sering mengemukakan penanganan masalah banjir secara nonfisik?.

Pernyataan politis dari seorang pejabat tinggi negara sesaat setelah terjadi bencana banjir di DKI Jakarta pada awal bulan Februari tahun 2007: "Tahun depan (2008) DKI Jakarta tidak boleh tergenang banjir lagi"

Seberapa besar keterlibatan dan kesalahan alumni Fak Teknik Jurusan Sipil Universitas "X" pada Proyek Pengendalian Banjir Sungai Bengawan Solo di bidang perencanaan dan pelaksanaan, sehingga masih terjadi bencana banjir di sungai itu pada akhir bulan Desember 2007?

Genangan banjir di jalan tol Sedyatmo disebabkan hilangnya daerah resapan dan parkir air di sekitarnya. (Catatan: apakah benar daerah rawa di tepi laut merupakan daerah resapan dan parkir air? Parkir air atau detention/retention pond untuk pengendali banjir, pada umumnya berada di bagian tengah dan atau di hulu dan bukan di muara; sedangkan rawa di tepi laut itu jelas bukan merupakan daerah resapan karena muka air alamiahnya sudah lebih tinggi dari permukaan tanah).

Disamping ungkapan dan pertanyaan tersebut diatas, yang agak mengherankan terdapat juga pertanyaan yang disampaikan oleh pakar banjir dari Amerika Serikat di salah satu majalah pada tahun 1993 yang bernadakan kebingungan dan frustrasi, sebagai berikut: "The flood that devastated the Mississippi and Missouri river valleys in 1993 have created two questions: Is our approach to flood control correct? And where do we go from here?" (Catatan: sungai Mississippi dan Missouri pada waktu itu telah dilengkapi prasarana pengendali banjir berupa tanggul untuk debit banjir rencana 100 tahunan; namun banjir yang terjadi pada tahun 1993 konon dengan debit 500 tahunan sehingga 80% tanggul rusak dan runtuh. Terjadi kebimbangan apakah tanggul yang rusak itu perlu diperbaiki dengan resiko bakal runtuh lagi, ataukah dana perbaikan tersebut dibagikan saja kepada warga yang terkena bencana untuk menyesuaikan bangunan atau rumahnya agar adaptif terhadap kemungkinan terjadinya banjir).

Buku ini disiapkan antara lain untuk mencoba mengklarifikasi berbagai ungkapan atau pertanyaan dan pernyataan tersebut diatas tanpa ada maksud untuk menggurui, dengan harapan akan terjadi pencerahan dan penyamaan pemahaman diantara para pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap masalah ini.2.2. Beberapa istilah dan pengertian teknis yang terkait dengan banjir, masalah banjir dan upaya mengatasi masalah banjir.

Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air mulai dari hulu baik yang ada mata air maupun tidak ada mata air sampai muara di laut, dengan dibatasi kanan dan kiri di sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan (Gambar 1).

Daerah aliran sungai (DAS) yang dalam bahasa Inggris disebut river basin atau catchment area, adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (Gambar 1). Istilah DAS di media masa masih sering keliru, dan rancu dengan pengertian sungai.

Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 (Gambar 1).

Gambar 1. Bentuk ideal Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Wilayah Sungai Dataran aluvial yang berada di bagian hilir sungai secara alamiah terbentuk dari endapan sedimen yang terbawa oleh aliran sungai yang meluap pada saat debit sungai melebihi kapasitas palung sungainya. Oleh karena itu dataran aluvial ini juga disebut dataran banjir (flood plain). Sedangkan palung sungai (low water channel) terbentuk secara alamiah oleh aliran air dan angkutan sedimen yang terbawa aliran. Besarnya aliran air pembentuk palung sungai alamiah tersebut disebut debit dominan, yang menurut para pakar morfologi sungai besarannya berkisar antara debit tahunan sampai debit 2 tahunan. Oleh sebab itu pada saat debit sungai di bagian hilir lebih besar dari debit dominan tersebut, pasti terjadi luapan atau banjir yang menggenangi dataran banjir (Gambar 2).

Syair lagu "Bengawan Solo" ciptaan Eyang Gesang yang antara lain menyatakan bahwa air sungai Bengawan Solo pada musim hujan meluap sampai jauh, adalah merupakan ungkapan yang sangat tepat; tanpa menyebutkan apakah luapan itu menimbulkan masalah atau tidak. Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 63/ 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai, batas dataran banjir ditetapkan berdasarkan debit banjir rencana sekurang-kurangnya untuk periode ulang 50 tahunan (Gambar 3 dan 4). Contoh: kurang lebih 40-50% dari wilayah DKI Jakarta berada di dataran banjir ke 14 sungai (Kamal, Tanjungan, Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Cideng, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung). Sesungguhnya real estat, hotel mewah, pertokoan, perkantoran, dan perumahan mewah serta seluruh prasarana perkotaan di DKI Jakarta yang terendam banjir antara bulan JanuariFebruari pada tahun-tahun 1996, 2002, dan 2007, semuanya berada di dataran banjir (Gambar 5).

Gambar 2. Sket definisi Banjir dan Masalah Banjir

Gambar 3. Sket definisi Sungai dan Dataran Banjir

Gambar 4. Sket definisi Sempadan Sungai menurut Peraturan Menteri PU No.63 Tahun 1993.

Gambar 5. Dataran banjir di DKI Jakarta.

Bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sungai sampai dengan tepi tanggul sebelah dalam. Fungsi bantaran sungai adalah tempat mengalirnya sebagian debit sungai pada saat banjir (high water channel). Sehubungan dengan itu maka pada bantaran sungai dilarang membuang sampah dan mendirikan bangunan untuk hunian (Gambar 6).

Gambar 6. Sket pengendalian banjir dengan membangun tanggul

Garis sempadan (GS) sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai (Gambar 2,3,4 dan 6). Dalam RPP Sungai (April 2009) ruang di antara dua garis sempadan tersebut diusulkan untuk disebut "ruang milik sungai".

Daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir, daerah retensi banjir, bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan (Gambar2). Dalam RPP Sungai, dataran banjir diusulkan untuk disebut "ruang pengawasan sungai"

Pengendalian banjir (flood control)adalah upaya mengatasi masalah banjir menggunakan prasarana fisik atau struktur di sungai (on stream), untuk mengatasi masalah banjir secara represif yang didasarkan pada debit banjir rencana tertentu sesuai kelayakannya, dan bukan didasarkan pada debit banjir terbesar yang mungkin dapat terjadi (probable maximum flood/PMF). Prasarana fisik yang dimaksud antara lain: tanggul banjir, waduk, situ, retention basin, detention basin, sudetan, pelindung atau perkuatan tebing sungai, krib, pintu air, pompa, dan sebagainya.

Penanggulangan banjir adalah upaya dalam rangka tanggap darurat yang dilakukan sebeium, pada saat dan sesaat setelah terjadinya bencana banjir. Istilah ini sering dirancukan dengan pengendalian banjir.

Debit banjir rencana dan periode ulang banjir.

Besarnya debit air yang mengalir di sungai selalu berubah dan tidak tetap, oleh karena itu debit air di sungai selain dinyatakan berdasarkan volume air yang mengalir per satuan waktu (m3/dt), juga dinyatakan menurut periode ulangnya. Contoh: Debit banjir sungai Citanduy untuk periode ulang 25 tahunan misalnya sebesar 1.000 m3/dt, dan untuk periode ulang 100 tahunan sebesar 2.500 m3/dt. Pernyataan atau istilah yang biasa digunakan oleh para pakar hidrologi tersebut seringkali menyesatkan masyarakat (misleading), karena masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa debit banjir sebesar 1.000 m3/dt tersebut terjadi setiap 25 tahun sekali secara periodik, demikian pula debit banjir sebesar 2.500 m3/dt terjadi setiap 100 tahun sekali. Dengan anggapan tersebut maka bila tanggul sungai Citanduy direncanakan dan dibangun dengan debit banjir 25 tahunan sebesar 1.000 m3/dt, maka selama 25 tahun kedepan sejak tanggul dibangun, masyarakat yang dilindungi tanggul akan merasa aman dan tidak perlu khawatir terjadi banjir yang lebih besar karena banjir dengan debit 2.500 m3/dt toh akan datang hanya setiap 100 tahun sekali! Pemahaman tersebut salah, dan yang benar adalah: untuk setiap tahun, kemungkinan terjadi debit banjir sama atau lebih besar dari 1.000 m3/dt di sungai Citanduy adalah sebesar 100:25=4 (empat) persen, dan untuk setiap tahun kemungkinan terjadi debit banjir sama atau lebih besar dari 2.500 m3/dt di sungai Citanduy adalah sebesar 100:100=1 (satu) persen. Dengan demikian maka untuk setiap tahun debit banjir dengan besaran berapapun kemungkinan bisa terjadi, dan oleh sebab itu maka masyarakat yang terlindungi prasarana pengendali banjir (yang direncanakan berdasarkan debit banjir tertentu) harus tetap waspada setiap saat, karena selalu terdapat kemungkinan kapasitas prasarana pengendali banjir tersebut terlampaui oleh debit banjir yang lebih besar. Debit banjir rencana untuk beberapa negara di dunia dapat diperiksa pada Tabel 2.Tabel 2. Standar Banjir Rencana di berbagai NegaraCountryCommercialIndustrialResidentalPuralAgricultur

Australia (1)50-10050-10050-1005-50

Bulgaria (1)100-50030-1005-10

China (2)200100

Chechoslova100507-10

Hongkong50-20050-20050-20010-2002-5

India (2)5025

Indonesia (1)5-1005-1005-1005-505-25

Japan (1)10-20010-20010-20010-20010-200

Malaysia (3)5-1005-1005-1005-1005-30

Phillippinest (2)10050-70

Poland (1)1.00050010020-100

Turkey (1)100-500100-500

Thailand (1)25-10025-10025-10050-200

UK (1)10-10010-10010-1001-10

USA (1)25-10025-10025-1005-25

Notes :(1) Standards refer to river training and flood control

(2) These standards are for levee design

(3) Designs also check that 100-year flood line is below ground line of buildings

Sumber : Manual ESCAP

Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada satu pun negaranegara di dunia ini yang menangani masalah banjir atau membangun sistem pengendali banjirnya dengan berdasarkan debit banjir terbesar yang kemungkinan terjadi (probable maximun flood).

Istilah dan pengertian yang kurang pas namun telah "kaprah" yang terlanjur beredar dan berkembang di masyarakat antara lain tentang: banjir kiriman, kawasan bebas banjir, pengamanan banjir, pengendalian banjir yang dirancukan dengan penanggulangan banjir, dan sebagainya. Instilah-istilah yang salah tersebut meskipun telah kaprah seyogyanya tidak digunakan karena dapat menimbulkan salah pengertian atau salah persepsi.3. Banjir, masalah banjir, dan prosesterjadinya masalah banjir.

3.1. Banjir dan masalah banjirBerdasarkan kamus International Commission on Irrigation and Drainage (ICID), banjir ("flood") didefinisikan sebagai berikut: "A relatively high flow or stage in a river, markedly higher than usual; also the inundation of low land which may result there from. A body of water, rising, swelling, and overflowing land not usually thus covered". Definisi banjir menurut kamus tersebut sama sekali tidak mengandung pengertian adanya gangguan, kerusakan, kerugian maupun bencana terhadap umat manusia, dan hanya menggambarkan suatu kejadian/gejala/peristiwa. Kejadian tersebut tidak selalu berakibat buruk terhadap kehidupan manusia, sehingga perlu dibedakan antara banjir yang menimbulkan masalah terhadap kehidupan manusia (masalah banjir), dan banjir yang tidak menimbulkan masalah. Kejadian banjir dapat mendatangkan manfaat bagi manusia dan lingkungan dengan terjadinya proses kolmatase di dataran banjir yang berupa rawa-rawa. Luapan banjir selain membawa sedimen juga membawa unsur hara yang justru dapat menyuburkan tanah di dataran banjir. Genangan yang terjadi di dataran banjir akibat luapan sungai berubah menjadi masalah apabila dataran banjir tersebut mulai dikembangkan/ dibudidayakan oleh manusia untuk memenuhi berbagai keperluannya tanpa memperhatikan atau mempertimbangkan adanya resiko terjadinya genangan banjir (Gambar 2 dan Gambar 7). Genangan yang terjadi sehubungan dengan aliran di saluran drainase akibat hujan setempat yang terhambat masuk ke saluran induk dan atau ke sungai, sering kali juga disebut banjir. Untuk membedakan antara genangan akibat luapan sungai dengan genangan akibat hujan setempat yang kurang lancar mengalir ke saluran drainase atau ke sungai, atau akibat keduanya; sering kali mengalami kesulitan (Gambar 8)

Gambar 7. Skema definisi Banjir dan Masalah Banjir

Gambar 8. Sket terjadinya masalah Genangan3.2. Proses terjadinya masalah banjirMasalah banjir pada umumnya terjadi akibat adanya interaksi berbagai faktor penyebab, baik yang bersifat alamiah maupun berbagai faktor lain yang merupakan akibat/pengaruh/dampak kegiatan manusia (Gambar 9). Seberapa besar peran dari masing-masing faktor penyebab, sangat sulit untuk dianalisis dan ditentukan.

Berbagai faktor yang bersifat alamiah dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok sebagai berikut:

Kelompok pertama menyangkut kondisi alam yang relatif tidak berubah antara lain meliputi: kondisi fisiografi dan alur sungai ( terjadinya pembendungan/ hambatan akibat alur sungai yang bermeander; terdapat bottle-neck; ambal alam; kemiringan dasar sungai yang landai); dan

Kelompok kedua menyangkut peristiwa/kejadian/fenomena alam yang berubah-ubah bersifat dinamis, antara lain: curah hujan yang tinggi; pembendungan di muara sungai akibat pasang dari laut; pembendungan dari sungai induk terhadap aliran di anak sungai; amblesan tanah (land subsidence); dan sedimentasi (agradasi dasar sungai). Fenomena alam seperti halnya hujan (menyangkut intensitas, durasi, kapan dan dimana terjadinya) adalah diluar kendali manusia. Masalah banjir menjadi semakin berat sehubungan dengan fenomena alam yang berupa perubahan iklim (climate change) berkenaan dengan terjadinya pemanasan global. Berbagai gejala perubahan iklim antara lain: frekuensi terjadinya curah hujan yang tinggi (heavy precipitation) meningkat yang berpengaruh terhadap perhitungan debit banjir, dan kenaikan permukaan air laut yang berdampak sangat buruk terhadap upaya mengatasi masalah banjir di wilayah pesisir/pantai, mengingat hampir semua kota besar di Indonesia tumbuh dan berkembang di wilayah ini.

Pengaruh kegiatan manusia antara lain berupa:

Pengembangan atau pembudidayaan dan penataan ruang di dataran banjir yang kurang bahkan tidak mempertimbangkan adanya ancaman atau resiko tergenang banjir. Para planner pada umumnya belum dapat membedakan antara bantaran sungai dengan dataran banjir. Lahan di bantaran sungai memang dilarang untuk dibudidayakan menjadi kawasan permukiman dan lainnya, namun lahan di dataran banjir dapat dibudidayakan dengan mengikuti persyaratan-persyaratan tertentu agar resiko apabila tergenang banjir menjadi sekecil mungkin.

Gambar 9. Skema terjadinya Masalah BanjirKawasan perkotaan sebagian besar tumbuh dan berkembang di dataran banjir. Dengan tingkat urbanisasi yang relatif tinggi maka lahan yang semula berupa rawa dan sawah kenyataannya telah dan kemungkinan akan terus berubah menjadi kawasan permukiman, perdagangan, industri dan lain-lain. Dengan pola pembangunan perumahan yang cenderung ke arah horizontal, bukan rumah susun dan juga bukan rumah panggung, maka masalah banjir terus meningkat dengan cepat. Di kawasan perdesaan (rural) terjadi masalah yang sama, yaitu dengan berkembangnya desa-desa dan kampung yang baru, termasuk lahan permukiman transmigran yang kebanyakan juga berada di dataran banjir. Dataran banjir yang telah dilindungi dengan prasarana fisik pengendali banjir sering kali dianggap oleh masyarakat termasuk para planner sudah aman dan bebas banjir sehingga mereka merasa bebas untuk mendayagunakannya; pada hal resiko terjadinya genangan banjir masih tetap ada (Gambar 10, 11, dan 12)

Gambar 10. Banjir di DKI Jakarta, Februari 2007

Gambar 11. Banjir di DKI Jakarta, Februari 2007

Gambar 12. Banjir di DKI Jakarta, Februari 2007Pembudidayaan dataran banjir tidak hanya terbatas untuk kawasan permukiman atau perkotaan, industri, perdagangan, dan transportasi dengan nilai investasi dan dengan jumlah penduduk yang relatif besar, namun juga untuk kawasan pertanian termasuk perikanan/tambak.

Pembudidayaan dan penataan ruang DAS hulu yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Luas dan jumlah DAS kritis masih terus meningkat dari tahun ke tahun, yang menandakan bahwa upaya konservasi yang dilaksanakan yang antara lain meliputi kegiatan penataan ruang, penghijauan, reboisasi, terasering, dan pengaturan pola bercocok tanam di lahan kering; baik yang dikerjakan secara sektoral maupun lewat berbagai gerakan nasional seperti GNRHL, GERHAN, GNKPA, dan sebagainya, belum sebanding dengan laju perusakan lahan dan penggundulan hutan (Gambar 13 dan Gambar 14). Oleh karenanya debit puncak banjir dan erosi serta sedimentasi masih cenderung meningkat. Angkutan sedimen yang berlebihan menimbulkan pendangkalan danau dan waduk serta agradasi atau pendangkalan dasar sungai terutama di bagian hilir. Dilain fihak debit puncak banjir yang mengalir di sungai semakin membesar, sehingga masalah banjir menjadi semakin besar pula.

Gambar 13. Kerusakan DAS hulu

Gambar 14. Kondisi hutan DAS K. Brantas 2005 Pembudidayaan daerah manfaat atau daerah milik sungai termasuk bantaran sungai untuk permukiman seperti contohnya di sepanjang Kali Krukut di DKI Jakarta. Di lokasi tersebut banyak terdapat rumah permanen yang konon dibangun dengan mendapat IMB resmi dari Pemda setempat. Selain menghambat atau membendung aliran sungai sehingga sungai meluap, penghuni rumah-rumah tersebut hampir setiap tahun terkena masalah banjir.

Semakin lunturnya budaya dan kearifan lokal di bidang pembangunan perumahan tradisional seperti halnya pembuatan rumah panggung yang ramah dan adaptif terhadap lingkungan termasuk terhadap genangan banjir. Tradisi membangun rumah panggung bagi masyarakat yang antara lain bermukim di dataran banjir sungai-sungai di Sumatra (Gambar 15) dan Kalimantan serta di pulau-pulau lain nampaknya semakin ditinggalkan. Sejalan dengan itu, kemandirian masyarakat dalam berupaya dan berperan serta secara langsung ikut mengatasi masalah banjir juga semakin hilang, dan menjadi sangat tergantung pada upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Di lain fihak, pemerintah mengalami kesulitan untuk menangani masalah banjir secara fisik pada sungai-sungai yang relatif besar seperti misalnya Kampar, Inderagiri, Batanghari, Kapuas, dan yang lainnya, karena biaya untuk pembangunan fisik pada sungai-sungai tersebut sangat mahal dan tidak sebanding dengan besarnya kerugian yang diderita masyarakat.

Gambar 15. Rumah panggung di Desa Mekarsari Kec. Kumpeh Ilir, Kab. Muaro Jambi (Kompas, Januari 2005) Pembangunan permukiman dan prasarana publik seperti misalnya jalan dan saluran drainase lingkungan yang kurang atau tidak berwawasan konservasi sehingga debit banjir di sungai membesar sebagai akibat berkurangnya air hujan yang terserap masuk ke dalam tanah;

Bangunan silang seperti bendung, jembatan, bendung gerak, gorong-gorong, sipon, pipa air, pipa gas, saringan sampah, dan lainnya dapat menghambat atau membendung aliran sungai di saat banjir bila tidak direncanakan, dilaksanakan serta dioperasikan dan dipelihara dengan baik dan juga tidak mendapat saran, masukan serta pengawasan dari pengelola sungai (Gambar 16 dan 17);

Gambar 16. Pintu Air Karet di Banjir Kanal Barat, DKI Jakarta,

4 Februari 2007

Gambar 17. Pintu Air Karet di Banjir Kanal Barat, DKI Jakarta,

4 Februari 2007 Sampah padat yang dibuang di sungai mengurangi kapasitas pengaliran sungai (Gambar 16 dan IS). Masalah ini terkait dengan sistem pengelolaan sampah terutama di perkotaan yang pada umumnya belum memadai. Masalah sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat kemungkinan menjadi salah satu faktor penghambat bagi upaya pengelolaan sampah yang baik. Bagi masyarakat yang kurang mampu dan terpaksa tinggal di sepanjang bantaran sungai, sungai dan saluran drainase nampaknya menjadi tempat yang paling pas bagi mereka untuk menaruh sampahnya.

Gambar 18. Sampah di Banjir Kanal Barat di hulu jembatan Jl. Hasyim Ashari, DKI Jakarta, 4 Februari 2007

Amblesan permukaan tanah di kawasan perkotaan yang antara lain akibat penyedotan air tanah yang berlebihan. Di bagian utara DKI Jakarta amblesan permukaan tanah berkisar antara 2cm sampai dengan 9 cm untuk setiap tahun. (Gambar 19). Masalah banjir dan rob di DKI Jakarta semakin berat dengan kejadian ini.

Gambar 19. Peta kontour amblesan permukaan tanah di DKI Jakarta, 1979 - 1989 Keterbatasan pengertian atau pemahaman masyarakat tentang fenomena alam berupa banjir yang bersifat dinamis. Masalah ini tidak hanya terbatas di lingkungan masyarakat yang awam terhadap hal-hal teknis yang menyangkut hujan dan banjir. Banyak para pakar di bidang air sendiri yang nampaknya belum memahami bahwa manusia memang mempunyai keterbatasan, dan kejadian atau fenomena yang menyangkut alam tidak atau belum seutuhnya dapat dijangkau dengan ilmu pengetahuan. Upaya adaptasi atau penyesuaian diri dengan fenomena alam akan sulit diterima dan dilaksanakan, manakala belum ada kesamaan faham. Operasi dan pemeliharaan pada sistem pengendali banjir yang kurang atau mungkin lebih tepat dikatakan tidak memadai. Telah banyak prasarana pengendali banjir yang dibangun dengan biaya yang tidak sedikit, namun kinerja prasarana tersebut seperti yang diharapkan pada saat direncanakan, pada umumnya tidak tercapai karena tidak dioperasikan dan dipelihara dengan baik. Tanggul sungai banyak yang dibiarkan rusak atau dirusak oleh masyarakat dan dijadikan tempat hunian, tempat bercocok tanam, dan sebagainya, bahkan ada tanggul yang sengaja dipotong oleh oknum karena mungkin dianggap tidak ada yang mempunyai, tidak ada yang mengurus, tidak ada manfaatnya dan malah mengganggu jalannya truk dia untuk keluar masuk ke bantaran sungai. Kasus seperti tampak di Gambar 20 terjadi di tanggul kanan sungai Cisedane, padahal luapan banjir dari sungai ini dapat menggenangi Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Gambar 20. Tanggul kanan Sungai Cisadane di dekat Bandara Soekarno-Hatta (1996)Tidak hanya pada sistem pengendali banjir saja, saluran drainase di kawasan perkotaan selain kurang dirawat dan dibersihkan, banyak yang ditutup dengan plat beton oleh masyarakat sehingga tidak dapat dibersihkan dari sampah dan kotoran yang menyumbat. Masalah yang terkait dengan operasi dan pemeliharaan ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang cenderung lebih mengutamakan pembangunan fisik jangka pendek dengan pendekatan proyek, dan kurang memperhatikan kegiatan rutin dan menerus termasuk kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana yang sesungguhnya justru merupakan ujung tombak pelayanan publik. Genangan dan banjir yang terjadi pada awal bulan Februari 2008 di DKI Jakarta (yang konon sampai membuat Presiden RI dan Wakil Presiden turun dari mobil sewaktu melewati JI.MH.Thamrin), kemungkinan besar disebabkan sistem drainase yang lumpuh karena saluran drainase di sekitar Sarinah-Thamrin yang penuh sediman dan sampah. Pada hari yang sama jalan tol Sedyatmo juga tertutup genangan banjir karena pompa banjir di jalan tol itu konon juga lumpuh gara-gara tidak ada aliran listrik.

Tidak semua prasarana yang berada di sungai bermanfaat bagi upaya pengendalian banjir seperti misalnya pada bangunan bendung gerak (barrage). Cara pengoperasian bangunan yang tidak benar justru berpotensi menimbulkan masalah banjir. Sebagai contoh, Bendung Gerak Pasar Baru di sungai Cisedane di dekat kota Tangerang yang dibangun pada zaman Belanda dengan tujuan untuk mengairi daerah irigasi Cisedane dan navigasi lewat saluran Mookervart menuju Jakarta. Saat ini fungsi bendung tinggal untuk irigasi ditambah manfaat lain sebagai penunjang bangunan pengambilan (intake) air baku milik PDAM maupun industri dan perumahan di kota Tangerang yang jumlahnya cukup banyak. Bendung dibuat dengan konstruksi pintu angkat (slide gate) yang berjumlah 10, dengan maksud agar pada saat banjir besar semua pintu harus terangkat dan tidak boleh ada pembendungan yang dapat menimbulkan masalah banjir di kota Tangerang. Kenyataannya pintu air sering macet tidak dapat diangkat, antara lain terjadi sekitar tahun 1996; pada waktu itu sebanyak 5 pintu tidak dapat digerakkan karena terkunci lumpur yang telah memadat. Bagaimana jadinya kota Tangerang seandainya sungai Cisedane pada waktu itu mengalami banjir seperti halnya sungai Ciliwung? Setelah diteliti ternyata pengoperasian bendung (yang pada saat itu dilakukan oleh pengelola irigasi) menyalahi prosedur yang telah ditentukan. Operator bendung konon tidak bebas mengangkat pintu bawah sesuai prosedur secara berkala untuk membilas endapan di hulu bendung agar tidak sampai memadat dan mengunci pintu. Keberatan yang disampaikan masyarakat dengan alasan pembukaan bendung akan menurunkan muka air sungai dan mengganggu pengambilan/ pemompaan air baku.

Kemiskinan menjadi salah satu faktor penyebab tumbuhnya permukiman di kawasan yang terlarang terma5uk di tebing dan bantaran sungai. Selain sangat berbahaya bagi keselamatan penghuninya sehubungan dengan ancaman banjir yang dapat terjadi setiap saat yang dapat menghanyutkan rumah atau gubug mereka, bangunan itu sendiri mempersempit tampang basah sungai dan menghambat atau mengurangi kapasitas sungai untuk melewatkan aliran banjir.

Terbatasnya upaya pengaturan dan pengawasan. Pengaturan dan pengawasan termasuk perizinan adalah merupakan bagian dari tugas umum pemerintahan, yang masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Beberapa kasus seperti: dataran banjir yang terlanjur ditumbuhi berbagai macam prasarana perkotaan dan permukiman tanpa adanya pengaturan yang terkait dengan resiko tergenang banjir; pembangunan di DAS hulu seperti halnya di kawasan Puncak yang lepas kendali dan kurang atau bahkan tidak mengikuti ketentuan tata ruang yang ada; bantaran sungai yang terlanjur dipenuhi hunian baik yang ilegal maupun yang resmi, yang permanen maupun yang berupa gubug kumuh; perusakan dan pemanfaatan atau penggunaan prasarana fisik pengendali banjir yang tidak sesuai peruntukannya oleh masyarakat; pembangunan bangunan-bangunan yang menyilang sungai seperti jembatan, pipa gas, pipa air, saringan sampah dan, sebagainya yang dilakukan oleh berbagai instansi yang tidak mengikuti ketentuan sehingga menimbulkan pembendungan aliran banjir; serta pembuangan sampah di sungai; adalah merupakan indikasi masih lemahnya upaya pengaturan dan pengawasan. Permukiman yang hanyut tersapu banjir bandang yang terjadi beberapa tahun silam di berbagai lokasi seperti: Bahorok Sumatera Utara, Pacet/Mojokerto, Semarang, Jember, serta Situbondo di Jawa Timur kemungkinan besar berada di daerah manfaat sungai yang seharusnya terlarang untuk permukiman.

Terjadinya perubahan iklim sehubungan dengan pemanasan global juga bersumber dari kegiatan manusia baik di tingkat lokal, regional maupun global.

4. Upaya untuk mengatasi masalah banjir.

4.1. Konsep dasar.

Untuk mengatasi masalah banjir sampai saat ini masih mengandalkan upaya yang bersifat represif dengan melaksanakan berbagai kegiatan fisik atau struktur yaitu dengan membangun sarana dan prasarana pengendali banjir dan atau memodifikasi kondisi alamiah sungai, sehingga membentuk suatu sistem pengendali banjir (flood control/ instream). Langkah tersebut telah diterapkan hampir di seluruh negara-negara di dunia yang mengalami masalah banjir. Sedangkan upaya yang bersifat mencegah terjadinya masalah atau yang bersifat preventif yang pada dasarnya merupakan kegiatan nonfisik atau nonstruktur (off-stream) penerapannya masih terbatas. Di beberapa negara upaya fisik telah dikombinasikan dengan upaya nonfisik sehingga membentuk sistem penanganan yang menyeluruh atau komprehensif seperti misalnya di Jepang (Gambar 21 dan Gambar 22). Namun ada juga negara yang mulai meninggalkan upaya fisik dan lebih mengutamakan upaya nonfisik, karena mereka mulai menyadari bahwa upaya fisik ternyata tidak dapat diandalkan dan hanya menciptakan perlindungan yang semu (structural measures tend to create a false sense of security in the population protected by the works).

Gambar 21. Skema mengatasi masalah banjir secara menyeluruhSehubungan dengan faktor penyebab timbulnya masalah banjir yang sangat banyak dan komplek serta menyangkut fenomena alam yang sering kali diluar kendali manusia, maka berbagai jenis upaya baik fisik dan nonfisik, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan hanya berfungsi untuk menekan atau memperkecil besarnya masalah banjir (flood damage mitigation) dan ticlak dapat menghilangkan masalah secara tuntas atau membebaskan dataran banjir terhadap masalah banjir secara mutlak (Gambar 23 dan Gambar 24).

Gambar 22. Perspektif penanganan masalah banjir secara menyeluruh di Jepang.Belajar dari pengalaman yang selama ini dilaksanakan termasuk pengalaman dari negara-negara lain dengan berbagai keberhasilan dan kekurangan yang ada, dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi masalah banjir di Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan upaya yang bersifat fisik atau struktur saja sebagaimana yang selama ini dilaksanakan, namun harus menyeluruh yang merupakan gabungan antara upaya fisik dengan upaya nonfisik.

Gambar 23. Skema mengatasi masalah banjir seara menyeluruh

Gambar 24. Skema mengatasi masalahn banjir secara menyeluruhTerhadap upaya fisik yang telah dilaksanakan masih perlu disempurnakan dan juga dilengkapi dengan upaya nonfisik. Upaya menyeluruh atau integrated flood management pada prinsipnya adalah bagaimana memanfaatkan dataran banjir (yang terbentuk oleh luapan banjir) seoptimal mungkin, dengan mengupayakan agar kerugian atau bencana yang ditimbulkan oleh banjir sekecil mungkin. Upaya menyeluruh tersebut harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan atau harus terpadu dengan pengelolaan sumber daya air pada satu sistem wilayah sungai (integrated water resources management / IWRM).

World Water Forum (WWF) ke III di Kyoto Jepang pada tahun 2003 antara lain menghasilkan pernyataan dan ajakan untuk hidup "berdampingan, bersahabat dan menyesuaikan" dengan kondisi banjir. Dengan paradigma itu diharapkan besarnya masalah banjir dapat ditekan. Beberapa ungkapan atau pernyataan yang cukup menarik yang dihasilkan forum tersebut antara lain:

"WE MUST LEARN TO LIVE WITH FLOODS"

Floods are natural phenomena which can never be fully controlled and so we must learn to live with them, protecting people from their destructive power, while benefiting from the freshwater that they bring and the fertile plains that_they build.

This calls for an integrated approach to flood management which incorporates it into the wider context of integrated water resources management (IWRM) and links it with policies and practices for land management and the reduction of natural disasters.

There is a need to develop innovative approaches, using both structural and non-structural measures supported by the technical, social and economic sciences, and the compilation of the necessary data. These should address the complex problems of flooding , particularly in urban, delta and coastal regions, and give space to the rivers

Local communities and other stakeholders must be encouraged to participate, on a continuous basis in the decision-making processes, which access to appropriate mechanisms for conflict resolution.

First Asia-Pacific Water Summit di Beppu Jepang pada tanggal 3-4 Desember 2007 menyampaikan beberapa pesan kunci (key messages) dan rekomendasi yang berkaitan dengan pengelolaan bencana yang berhubungan dengan air, antara lain: Integrate Water-related Disaster Risk Reduction (DRR) into national development plans, recognizing adaptation to increasing risks from climate change as a "highest" priority issue. Recognize the importance of Integrated Water Resources Management (IWRM) for water-related DRR and the need to strengthen comprehensive structural and nonstructural measures.

Establish national and local goals/targets for water-related DRR, taking the impacts of climate change into consideration. Develop preparedness indices for water-related DRR for the AsiaPacific region.

Develop water-related disaster warning systems and human capacities.

Peran serta masyarakat dalam mengatasi masalah banjir secara fisik masih sangat terbatas, dan pada umumnya hanya untuk mengatasi masalah di kawasan yang terbatas yang dikelola oleh pengembang secara mandiri, seperti misalnya sistem polder di Pantai Indah Kapuk, Pluit dan Sunter utara di DKI Jakarta.

Peran serta masyarakat seara lebih luas harus terus dikembangkan dan ditingkatkan mengingat terjadinya dan berkembangnya masalah banjir terutama adalah disebabkan oleh kegiatan masyarakat itu sendiri. Alangkah naifnya bila masyarakat yang membudidayakan dan memanfaatkan dataran banjir yang subur dan menyimpan banyak kemudahan, justru tidak mau ikut berperan serta mengatasi masalah dan juga ikut menanggung resiko. Bahkan mungkin mereka malah menyalahkan pemerintah dan masyarakat yang tinggal di DAS hulu karena dianggap merusak lingkungan dan "mengirimkan banjir" kepada mereka. Mereka mungkin beranggapan bahwa sebelum ada kerusakan lingkungan tersebut sungai tidak meluap dan tidak menimbulkan masalah.

Mereka mungkin juga kurang atau tidak menyadari, bahwa dataran banjir sesungguhnya merupakan "rumah singgah" yang sah dan dibutuhkan oleh air sungai, yang sejak dahulu kala secara rutin selalu disinggahi pada saat rumahnya sendiri yang minimalis dan sempit yang berupa palung sungai tidak dapat menampungnya. Lagi pula "rumah singgah" itu juga dibangun sendiri oleh air sungai. Mengapa manusia yang belakangan ikut numpang dan melakukan segala macam kegiatan di "rumah singgah" itu malah bersikap sok kuasa, maunya sendiri dan ingin mengusir penghuni yang sah?4.2. Upaya fisik atau struktur4.2.1. Beberapa jenis kegiatan yang merupakan upaya fisik.

Pembangunan tanggul banjir untuk mencegah meluapnya air banjir sampai tingkat atau besaran banjir tertentu.

Dengan dibangun tanggul terbentuk penampang sungai' yang tersusun untuk mengalirkan debit banjir rencana (Gambar 6). Perencanaan tanggul banjir meliputi penetapan tempat kedudukan tanggul terhadap sungainya, elevasi mercu tanggul, struktur bangunan tanggul, serta bangunan pelengkap. Penetapan tempat kedudukan tanggul dilakukan dengan optimasi. Tanggul sebaiknya dibangun dengan jarak yang cukup aman terhadap kemungkinan terjadinya kerusakan yang disebabkan oleh pergeseran alur sungai, dan untuk sungai yang bermeander idealnya berada diluar sabuk meander (meander belt). Namun kondisi ideal tersebut jarang dapat dilaksanakan mengingat permukiman penduduk apalagi di kawasan perkotaan, pada umumnya terlanjur berada sangat dekat dengan sungai. Tanggul yang terpaksa dibangun sangat dekat dengan sungai perlu dilengkapi dengan bangunan pengaman seperti pelindung tebing sungai, perkuatan tebing sungai, pengarah arus atau krib, dan sebagainya. Elevasi mercu tanggul direncanakan berdasarkan elevasi muka air banjir rencana ditambah tinggi jagaan (free board). Tanggul banjir dapat dibangun dengan timbunan tanah homogen, pasangan batu kali, beton bertulang, atau kombinasi berbagai material tersebut. Tanggul timbunan tanah harus diperhitungkan cukup stabil dan tidak boleh bocor, tebing tanggul tidak longsor pada saat terjadi rapid drowdown, tidak mengalami amblesan, dan tidak terjadi piping baik di tubuh tanggul maupun di dasar atau pondasi tanggul. Mercu tanggul harus tetap agar tinggi jagaan dapat tetap terjaga dan tidak semakin berkurang. Tanggul pasangan batu kali atau beton harus diperhitungkan aman terhadap kemungkinan-kemungkinan tergeser, terguling pada saat terjadi limpasan banjir diatas mercu tanggul, patah, dan piping lewat tanah dibawah pondasi tanggul. Penentuan material dan struktur tanggul dilakukan dengan optimasi termasuk dampak sosial yang mungkin timbul terkait dengan pembebasan tanah untuk tapak tanggul.

Perencanaan teknis pembangunan tanggul pada sistem pengendali banjir yang telah dilaksanakan pada umumnya didasarkan pada debit banjir rencana dengan besaran tertentu, tanpa mengantisipasi kemungkinan terjadinya debit banjir yang lebih besar dari debit banjir rencana tersebut yang dapat membobolkan tanggul. Kerusakan dan bencana banjir yang relatif besar dan sering terjadi akhir-akhir ini kemungkian besar disebabkan karena masalah ini. Sungguh merupakan ironi apabila para ahli dibidang perencanaan bendungan saat ini telah dengan fasihnya melakukan analisis tentang keruntuhan bendungan (dam break analysis), termasuk bagaimana mensosialisasikan berbagai skenario tanggap darurat apa bila terjadi kerusakan atau runtuh/jebolnya bendungan kepada masyarakat di hilir bendungan; pada hal bendungan sudah didesain untuk debit banjir rencana diatas 1.000 tahunan, bahkan dengan probable maximm flood (PMF). Namun selama ini perencana tanggul banjir nampaknya belum menyadari hal itu dan belum pernah melakukan analisis tentang keruntuhan tanggul (dyke break analysis), pada hal probabilitas terjadinya keruntuhan tanggul banjir yang hanya didesain dengan debit banjir rencana antara 5 sampai 100 tahunan, jelas jauh lebih besar dari pada bendungan. Oleh karena itu pada sistem pengendali banjir yang telah ada perlu dilakukan penyempurnaan dan atau koreksi. Koreksi yang sering dilaksanakan adalah dengan cara meninggikan tanggul atau memasang parapet wall (Gambar 25). Upaya tersebut tidak dapat dibenarkan karena meskipun tanggul telah ditinggikan toh masih tetap ada kemungkinan terlimpasi banjir, lain halnya apabila debit banjir rencana ditingkatkan menjadi debit banjir maksimum (Probable Maximum Flood) seperti tampak pada Gambar26). Upaya yang terakhir ini belum pernah dilaksanakan di manapun di dunia ini karena selain tidak layak, konstruksi tanggul yang sangat tinggi berpotensi menimbulkan bencana yang lebih dahsyat apabila jebol. Super dyke yang dibangun di Jepang pun bukan tingginya yang super, melainkan lebarnya; sehingga tanggul tidak jebol pada saat terlimpasi banjir. Penyempurnaan yang tepat adalah melengkapi upaya fisik tersebut dengan upaya nonfisik. Upaya lain untuk mengantisipasi terjadinya debit banjir yang lebih besar dari debit banjir rencana adalah, bangunan tanggul untuk daerah permukiman/perkotaan padat harus cukup aman dan stabil serta tidak mengalami kerusakan atau runtuh pada saat terjadi limpasan di atas mercu tanggul; antara lain dengan membangun super dyke seperti halnya di Jepang atau melindungi permukaan tanggul dengan pasangan batu kali atau beton, khususnya pada tanggul dengan konstruksi timbunan tanah.

Gambar 25. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pemahaman yang keliru.

Gambar 26. Pengendalian banjir dengan debit banjir PMF, yang tidak lazim dilakukan.

Normalisasi alur sungai dan penggalian sudetan.

Sampai saat ini jenis kegiatan ini sangat populer baik di kalangan masyarakat maupun para pelaksana proyek fisik di lapangan, dan seakan-akan sudah merupakan "lagu wajib" yang harus dikerjakan di setiap upaya mengatasi masalah banjir. Logika mereka sangat sederhana, karena banjir disebabkan oleh sungai yang meluap, dan meluapnya sungai disebabkan karena palung sungai yang tidak mampu mengalirkan debit banjir; oleh karena itu perlu diperbesar dengan menggali atau mengeruk clasar dan tebing sungai untuk memperbesar tampang basah palung sungai, maupun memperpendek sungai dengan membangun sudetan pada bagian-bagian sungai yang bermeander. Penampang melintang alamiah sungai aseli yang memang tidak seragam (di tikungan luar pasti lebih dalam dari pada di tikungan dalam) dibuat seragam berbentuk trapesium layaknya pada saluran irigasi (Gambar 27). Sesaat setelah selesai dikerjakan memang akan tampak ada manfaatnya, dan terjadi peningkatan kapasitas pengaliran sehingga muka air banjir lebih rendah dibanding sebelumnya. Namun manfaat yang didapat tersebut tidak akan berlangsung lama, apa lagi bila palung sungai (low water channel) didesain untuk menampung seluruh debit banjir yang besarnya jauh lebih besar dari debit dominannya. Untuk sungai-sungai aluvial seperti halnya di Indonesia yang angkutan sedimennya relatif tinggi, selang satu atau dua tahun setelah proyek selesai dikerjakan, penampang melintang sungai pada umumnya telah mengecil kembali seperti sQdia kala. Disamping itu di lokasi sudetan timbul reaksi dari sungai untuk kembali membentuk meander sesuai dengan rejim alamiahnya, kecuali ada upaya "pemaksaan". Normalisasi atau pengerukan alur sungai yang sering dikerjakan di dekat muaranya ke laut hanya menciptakan kantong sedimen/lumpur yang akan segera terisi sedimen/lumpur kembali. Oleh sebab itu agar upaya tidak siasia, normalisasi hendaknya hanya dilaksanakan di tempattempat yang alur sungainya menyempit (bottle-neck) akibat terdapatnya ambal alam atau formasi keras yang membendung atau menghambat aliran; sehingga normalisasi dilaksanakan hanya untuk menghilangkan hambatan itu.

Gambar 27. Sket penampang normalisasi alur sungaiPenampang basah alur sungai (low water channel) yang "dinormalkan" didesain berdasarkan debit dominan dan bukan berdasarkan debit banjir rencana.

Pengendalian banjir pada sungai Citarum Hulu dilakukan dengan menormalisasi sungai mulai dari Curug Jompong atau Nanjung ke hulu sampai Sapan, dengan cara menggali untuk menurunkan dasar sungai, tanpa membangun tanggul di sepanjang sungai. Dasar sungai Citarum di Curug Jompong berupa batuan keras (ambal alam) sehingga di lokasi itu terjadi pembendungan aliran ke arah hulu, dan menimbulkan masalah banjir antara lain di Dayeuh Kolot sampai Sapan. Ke arah hilir, terjadi terjunan/curug sekitar 10-12 meter sebelum aliran masuk ke waduk Saguling. Normalisasi yang dilakukan terutama untuk memotong ambal alam dan sekaligus menurunkan dasar sungainya, dengan penampang palung sungai yang relatif sama dengan palung sungai aselinya; sehingga diharapkan alur sungai akan stabil. Dengan dasar sungai yang lebih rendah, muka air sungai di saat banjir menjadi lebih rendah pula, sehingga luapan dan genangan banjir dapat dikurangi.

Kegiatan mengambil sampah padat yang terlanjur masuk dan mengendap di dasar sungai sering kali juga disebut normalisasi sungai, seperti halnya yang sering dilakukan pada sungai-sungai yang melewati kawasan permukiman/ perkotaan. Istilah yang tepat untuk kegiatan ini adalah pemeliharaan sungai, dan bukan normalisasi yang mempunyai konotasi merupakan kegiatan proyek pembangunan.

Penggalian sudetan sedapat mungkin dihindari karena upaya dan biaya yang diperlukan untuk membangun dan mempertahankannya agar alur sungai tidak kembali ke kondisi/rejim awalnya, serta untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkannya, pada umumnya jauh lebih besar dari manfaat yang didapat. Di banyak negara lain telah ada gerakan untuk mengembalikan sungai ke kondisi alamiah atau kondisi awalnya dengan sebutan river restoration, setelah sebelumnya juga pernah dibangun sudetan, pelindung tebing yang rigid seperti pasangan batu kali, beton dan sebagainya sehingga menjadi unnatural. Contoh kasus normalisasi sungai Ular di Sumatera Utara kiranya dapat dijadikan referensi.

Banjir kanal atau kanal banjir.

Banjir kanal adalah merupakan alur sungai buatan yang berfungsi untuk memindahkan sebagian aliran sungai sedemikian rupa sehingga debit di saat banjir pada sungai aselinya berkurang dan tidak terjadi luapan banjir. Cara ini telah banyak dilaksanakan terutama untuk mengatasi masalah banjir di kawasan perkotaan. Pengaturan pembagian debit yang mengalir baik yang menuju banjir kanal dan yang ke sungai aseli ada yang dilengkapi dengan pintu pengatur dan ada yang tidak. Yang tanpa pintu pengatur, dimensi dan bentuk hidrolis di tempat percabangan termasuk ground sill nya dibuat sedemikian rupa sehingga aliran yang menuju ke sungai aseli tidak akan melebihi kapasitas palung sungai aseli.

Beberapa contoh banjir kanal yang telah ada antara lain: Banjir Kanal Barat di DKI Jakarta dibangun sekitar tahun 1920 untuk mengalihkan sebagian besar aliran Sungai Ciliwung agar menjauhi kota Batavia pada waktu itu, dengan pintu air pengatur di Manggarai; Banjir Kanal Timur di DKI Jakarta yang baru selesai dikerjakan, untuk menampung dan mengalihkan aliran sungai-sungai Cipinang, Sunter, Jatikramat, dan Cakung ke laut; Banjir Kanal Barat di Semarang untuk mengalihkan sebagian besar aliran Kali Garang atau Kali Semarang menjauhi kota Semarang dengan bangunan pengatur di Simongan; Banjir Kanal bagi Kali Brantas yang dikenal dengan nama Kali Porong untuk mengalihkan sebagian aliran Kali Brantas agar aliran di Kali Brantas Hilir atau Kali Surabaya tidak menimbulkan masalah banjir di kota Surabaya, dengan dilengkapi pintu pengatur di Lengkong; Banjir Kanal bagi sungai Cimanuk yang dikenal dengan alur Rambatan untuk mengalihkan sebagian besar aliran sungai Cimanuk agar tidak menimbulkan masalah banjir di kota Indramayu, dengan bangunan groud-sill dan pintu pengatur di Bangkir; Banjir Kanal bagi sungai Arau untuk mengalihkan sebagian debit banjir sungai Arau agar tidak menimbulkan masalah di kota Padang, dengan pintu pengatur di Lubuk Begalung; Banjir Kanal bagi sungai Krueng Aceh untuk mengalihkan sebagian aliran sungai Krueng Aceh agar tidak meninbulkan masalah banjir di kota Banda Aceh dengan bangunan kontrol di Bakoi; Banjir Kanal bagi sungai Bengawan Solo Hilir berupa saluran Sedayu Lawas untuk mengurangi masalah banjir di bagian hilir sungai Bengawan Solo dengan pintu pengatur di Plang Wot; Banjir Kanal bagi sungai Citanduy untuk mengalihkan sebagian aliran banjir sungai Citanduy, dengan dilengkapi bangunan kontrol atau pelimpah di Nusawuluh.

Agar banjir kanal dapat berfungsi sesuai dengan tujuannya dan pola pembagian debit banjir antara sungai aseli dengan banjir kanal tidak mengalami perubahan dan tetap seperti yang direncanakan, maka sistem tersebut harus dijaga agar terhindar dari kerusakan dan gangguan, dan selalu siap di setiap saat. Upaya pemanfaatan alur Kali Porong untuk menyalurkan lumpur Lapindo ke laut adalah merupakan langkah yang cukup berbahaya dan mengandung resiko yang tinggi ditinjau dari fungsi Kali Porong yang setiap saat harus siap menampung kelebihan aliran Kali Brantas untuk menghindari terjadinya masalah banjir di kota Surabaya. Demikian pula dengan membiarkan bangunan kontrol di Bakoi rusak, kota Banda Aceh terancam banjir.

Banjir kanal harus direncanakan dengan sangat hati-hati mengingat perubahan apapun yang dilakukan terhadap sungai alamiah akan selalu menimbulkan reaksi dari sungai yang bersangkutan yang berlangsung secara gradual. Pembagian aliran air antara sungai aseli dengan banjir kanalnya tidak secara otomatis diikuti pembagian aliran sedimen secara proporsional. Pada sungai aseli maupun di saluran banjir kanal akan terjadi reaksi dengan terbentuknya keseimbangan morfologi yang baru, yang dapat menghasilkan kondisi akhir yang tidak seperti yang kita inginkan. Reaksi yang timbul misalnya terjadi pendangkalan yang signifikan pada alur sungai aseli sehingga meskipun debit air sungai telah berkurang namun ketinggian muka air banjir boleh jadi tetap seperti sebelum dibangun banjir kanal. Oleh sebab itu pada banjir kanal yang relatif baru selesai dibangun, diperlukan pemantauan secara rutin terhadap perubahan yang terjadi. Hasil pantauan dipakai untuk melakukan koreksi atau penyempurnaan.

Waduk pengendali banjir.

Waduk yang terbentuk dengan dibangunnya bendungan, dapat berfungsi menampung dan mengendalikan atau memperkecil aliran sungai di hilir bendungan; termasuk aliran sungai pada saat banjir. Namun pembangunan bendungan/waduk ini relatif mahal karena disamping diperlukan biaya untuk pelaksanaan konstruksi bendungannya, juga diperlukan biaya untuk ganti rugi lahan baik untuk tapak bendungannya maupun untuk waduknya sendiri. Selain itu pembangunan bendungan/waduk sering kali menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang cukup berat. Sehubungan dengan itu maka pembangunan bendungan/waduk pada umumnya tidak hanya untuk satu tujuan mengendalikan banjir saja, namun bersifat multifungsi; termasuk untuk menyediakan air baku untuk air minum, air irigasi serta pembangkit tenaga listrik. Bagi waduk serba guna, operasi waduk harus dilakukan secara optimal agar semua manfaat dapat dipenuhi. Sebagai waduk pengendali banjir diingini agar sedapat mungkin waduk dalam keadaan kosong menjelang musim penghujan; namun untuk memenuhi kebutuhan yang lain diingini waduk dalam kondisi yang selalu penuh.

Situ dan embung adalah identik dengan waduk dalam skala kecil yang terbentuk dengan dibangunnya bendungan; yang juga dapat berfungsi menampung dan atau mereduksi aliran banjir di sungai. Sehubungan dengan semakin sulitnya membangun waduk berskala besar karena masalah sosial, maka pembangunan embung atau situ ini merupakan alternatif yang dapat ditempuh. Selain itu, embung-embung dan situ-situ termasuk situsitu peninggalan Belanda yang ada di Jabodetabek yang jumlahnya cukup banyak harus dipertahankan keberadaannya dan dirawat agar dapat dimanfaatkan secara lestari dan tidak malah menimbulkan bencana seperti halnya Situ Gintung.

Waduk-waduk yang telah banyak dibangun di DKI Jakarta seperti misalnya waduk Setiabudi, waduk Melati, waduk Tomang Barat, waduk Pluit, waduk Kodamar, waduk Rawa Badak, dan waduk Sunter meskipun mempunyai sebutan yang sama namun fungsinya tidak untuk mereduksi aliran banjir di sungai seperti halnya waduk tersebut diatas. Waduk-waduk di DKI Jakarta merupakan bagian dari sistem drainase perkotaan yang berfungsi sebagai penampung air sementara yang berasal dari saluran drainase untuk dipompa masuk ke sungai atau langsung ke laut (sistem polder).4.2.2. Sistem pengendali banjirBerbagai jenis prasarana fisik tersebut di atas pada umumnya tidak berdiri sendiri namun dikombinasikan satu dengan lainnya sehingga membentuk satu pola dalam satu kesatuan sistem pengendali banjir. Kondisi dan permasalahan pada setiap sungai selalu berbeda atau tidak ada yang sama, sehingga penetapan sistem pengendali banjir yang optimal pada setiap sungai harus melewati suatu kajian yang menyeluruh dengan membandingkan beberapa alternatif. Kajian harus menyangkut aspek teknis dan nonteknis. Sistem tersebut direncanakan berdasarkan besaran debit banjir tertentu misalnya debit banjir 5 tahunan, 10 tahunan, 25 tahunan, 50 tahunan dan 100 tahunan sesuai dengan tingkat kelayakannya; dan bukan untuk debit banjir yang terbesar. Oleh sebab itu upaya struktur ini selalu mengandung keterbatasan, dan hanya berfungsi mengurangi frekuensi terjadinya limpasan banjir atau tidak dapat membebaskan lahan di dataran banjir terhadap kemungkinan tergenang banjir secara mutlak.

Meskipun telah dilaksanakan upaya fisik, pada lahan dataran banjir tetap beresiko tergenang banjir. Sebagai ilustrasi dapat diperiksa pada Gambar 6 yang menunjukkan satu contoh pengendalian banjir dengan tanggul yang mempunyai keterbatasan. Masyarakat yang tinggal di lahan yang berupa dataran banjir yang dilindungi tanggul harus sadar dan faham bahwa meskipun telah dibangun prasarana fisik pengendali banjir, lahan tersebut sewaktu-waktu masih dapat tergenang banjir. Mereka harus selalu siap dan waspada serta ikut berupaya menekan besarnya kerugian/bencana, antara lain dengan membangun rumah panggung, dan berbagai upaya adaptasi atau penyesuaian lainnya.

Beberapa catatan yang terkait dengan upaya struktur yang ditulis di Manual ESCAP antara lain:

Various structural measures are being employed in order to control an excess flow of water so that a flood may be prevented or, at least its worst effects reduced. These devices include engineering works, embankments, detention reservoirs, river channel improvement and facilities for flood diversion etc.

It should be noted that structural measures tend to create a false sense of security in the population protected by the works. Although these works can provide complete protection against flood damage up to the level of the design flood, catastrophic failure may occur if the design level is exceeded.

Therefore, special provision should be considered at the design stage to incorporate measures which will ensure that the effects of failure are minimized and that the associated damages and disruptions are made no worse than under the pre-protection situation.

Whatever measures of flood protection is provided, it would be futile to expect absolute immunity from flood risk.

4.2.3. Teknik sungai sebagai dasar perekayasaan sistem pengendali banjirSelain menyangkut debit sungai yang berubah-ubah/dinamis, perencanaan teknis sistem pengendali banjir adalah merupakan bagian dari rekayasa di bidang sungai (river engineering) dalam satu kesatuan sistem sungai dan atau wilayah sungai. Kesalahan mendasar yang sering terjadi di lapangan terutama disebabkan adanya keterbatasan pengetahuan perencana di bidang rekayasa sungai; dan mereka merencanakan penanganan sungai seperti layaknya perencanaan jaringan irigasi. Kesalahan dapat juga terjadi pada saat pelaksanaan fisik maupun pengoperasian dan pemeliharaan. Sampai saat ini perencana, pelaksana, pengawas, maupun pengelola seolah-olah tidak pernah berbuat salah, karena segala kekurangan, kerusakan bahkan kegagalan yang mungkin terjadi akibat kesalahan tersebut selalu dinyatakan sebagai akibat bencana alam. Berhubung reaksi si sungai terhadap perlakuan yang salah pada umumnya berlangsung secara gradual, maka untuk mengetahui apakah perlakuan itu salah atau benar diperlukan pemantauan secara rutin dan menerus. Meskipun dirasa sulit, namun agar terdapat tanggung jawab profesional dan akuntabilitas yang jelas bagi perencana, pelaksana, dan pengelola sejalan dengan UU-18/99 tentang Jasa Konstruksi, perlu adanya ketentuan/kriteria/batasan yang jelas tentang penyebab terjadinya kerusakan atau kegagalan bangunan di sungai, yang membedakan akibat terjadinya bencana alam atau akibat kesalahan manusia (Gambar 28). Tanggul dari timbunan tanah yang jebol akibar terjadinya debit banjir yang jauh melebihi kapasitasnya merupakan kejadian bencana alam, namun apa bila debit banjir masih dibawah debit banjir rencana dan tanggul sudah jebol maka kejadian itu merupakan kesalahan manusia.

Gambar 28. Skema evaluasi kerusakan yang terjadi pada bangunan sungaiDi bidang rekayasa sungai, tulisan Margaret S. Peterson dalam bukunya River Engineering (1986) berikut ini dapat dipakai sebagai referensi:

River engineering is concerned with the entire process of planning, design, construction, and operation of works of various kinds for the purpose of modifying natural river conditions to better serve human needs

All river engineering works changes the natural river environment and morphology to a greater or lesser extent.

River improvement schemes always need careful consideration in a scientific and practical approach. Execution of each scheme should be followed by a continuous survey and study of its gradually growing effect on the river and the environment.

It is important to know the characteristic of the river so that engineering works can be designed that will help the river to do what it would do naturally rather than designed to force it into unnatural condition which will fail ultimately.

River engineering is more of an art than a science, because some phenomena in the formation and deformation of river channels are still not yet fully understood, and models some time cannot give fully reliable answers.

River engineering works may vary greatly in size and in their effect on river behaviour.4.3. Upaya Nonfisik atau NonstrukturUpaya nonfisik berupa kegiatan-kegiatan yang bersifat preventif dengan tujuan untuk menghindarkan terjadinya masalah banjir, atau menekan besarnya masalah yang ditimbulkan oleh banjir menjadi sekecil mungkin. Upaya fisik pada umumnya menjadi kewenangan pemerintah, dan pada kasuskasus tertentu dapat melibatkan swasta. Sedangkan pelaku utama upaya nonfisik adalah masyarakat dengan difasilitasi oleh pemerintah. Upaya nonfisik antara lain berupa:

Konservasi tanah dan air di DAS hulu untuk menekan besarnya aliran permukaan dan memperkecil besarnya debit puncak banjir, serta pengendalian erosi untuk mengurangi pendangkalan/sedimentasi di dasar sungai maupun danau dan waduk. Kegiatan ini merupakan gabungan antara rekayasa teknik sipil dengan teknik agro, antara lain dengan membangun terasering, bangunan terjunan, check-dam/dam penahan sedimen, dam pengendali sedimen, kolam retensi, dam parit, penghijauan dan reboisasi, serta sumur resapan. Pengelolaan dataran banjir (flood plain management) berupa penataan ruang dan rekayasa di dataran banjir yang diatur dan menyesuaikan sedemikian rupa, sehingga selaras dengan kondisi dan fenomena alam termasuk kemungkinan terjadinya banjir. Dengan demikian resiko/ kerugian/bencana yang timbul apabila tergenang banjir menjadi sekecil mungkin. Penyesuaian dapat berupa rekayasa bangunan fisik antara lain: rumah tipe panggung (Gambar 15), rumah susun, jalan layang, jalan dengan perkerasan beton, pengaturan penggunaan rumah atau gedung bertingkat yang terlanjur dibangun di dataran banjir, dan sebagainya. Sedangkan rekayasa di bidang pertanian dapat berupa pemilihan varietas tanaman yang tahan genangan. Perangkat lunak yang diperlukan antara lain berupa flood plain zoning, flood risk map, dan ramburambu atau papan peringatan serta monumen yang antara lain menunjukkan ketinggian genangan banjir yang pernah terjadi, yang dipasang di dataran banjir. Penataan ruang dan rekayasa di DAS hulu yang dengan pertimbangan tertentu dapat ditetapkan menjadi kawasan budidaya sedemikian rupa sehingga pembudidayaan atau pendayagunaan lahan tidak merusak kondisi hidroorologi DAS dan tidak memperbesar debit puncak banjir dan masalah banjir.

Penanggulangan banjir (flood-fighting) untuk menekan besarnya bencana dan mengatasinya secara darurat. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan satkorlak penanggulangan bencana, yang dilaksanakan sebelum kejadian banjir (meliputi peronclaan dan pemberian peringatan dini kepada masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir/dataran banjir), pada saat kejadian banjir berupa upaya penyelamatan, pengungsian, penutupan tanggul yang bocor, perkuatan tanggul yang longsor, peninggian tanggul yang limpas dan sebagainya secara darurat, maupun kegiatan pasca banjir yang berupa penanganan darurat perbaikan kerusakan akibat banjir.

Tanggap darurat yang dilakukan sebelum dan pada saat terjadinya banjir di era sekarang ini tampaknya tidak dilaksanakan secara konsisten. Tanggap darurat sering kali hanya merupakan kegiatan pasca banjir yang bertujuan untuk mengembalikan prasarana pada kondisi minimal secara darurat agar fungsinya segera pulih, setelah menga!ami kerusakan akibat banjir. Bencana banjir seperti misalnya akibat jebolnya tanggul banjir sesungguhnya tidak terjadi secara mendadak atau sekonyong-konyong (suddenly), namun melewati suatu proses. Kejadian-kejadian yang menyebabkan jebolnya tanggul seperti misalnya: terjadi rembesan yang berkembang menjadi erosi buluh (piping) dan akhirnya bocor; bocor akibat adanya lubang sarang tikus atau akibat retakan; tebing tanggul longsor akibat erosi pada tebing sungai; gerusan akibat limpasan banjir diatas mercu tanggul; semuanya melewati proses. Upaya darurat dapat dilaksanakan sewaktu proses tersebut berlangsung yang bertujuan untuk mempertahankan tanggul agar tidak menjadi jebol, sehingga bencana serta kerugian masyarakat yang besar dapat dihindari. Agar kejadiankejadian tersebut dapat diketahui secara dini, perlu dilakukan perondaan atau walk through pada seluruh sistem pengendali banjir yang ada, terutama di lokasilokasi yang rawan, yang dimulai sejak adanya indikasi akan terjadi banjir besar sesuai dengan tingkat siaga banjir. Walk through seharusnya juga dilakukan menjelang musim penghujan untuk mengetahui kesiapan seluruh prasarana dan sarana menghadapi kemungkinan terjadinya banjir besar, sekaligus untuk melakukan perbaikan-perbaikan kecil yang diperlukan. Walk through, hendaknya tidak terbatas hanya dilakukan pada prasarana saja, namun juga pada sepanjang sungai mulai dari hulu sampai muara. Beberapa contoh kasus banjir bandang yang pernah terjadi antara lain di Majalengka, Bahorok, dan Banyuwangi beberapa tahun silam konon disebabkan karena ada "bendungan" yang terbentuk secara alamiah mengalami jebol pada saat debit sungai membesar. Struktur "bendungan" tersebut terbentuk secara alamiah dari pohon yang tumbang dan sisa-sisa penebangan termasuk ranting kayu yang hanyut dan menumpuk menjadi rapat, sehingga menyerupai bendungan; atau terbentuk dari material longsoran tebing sungai. Bencana dapat terhindar apabila secara dini proses terbentuknya "bendungan" tersebut diketahui dengan melakukan walk through, sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan.

Kelemahan yang ada menyangkut upaya tanggap darurat yang dilakukan baik sebelum terjadi bencana banjir maupun pada saat terjadinya bencana tersebut diatas, tidak dapat dipisah dengan masalah yang menyangkut ketatalaksanaan, kelembagaan dan sumber daya manusia pengelola sumber daya air. Pengelolaan sumber daya air yang hanya mengutamakan pembangunan fisik dengan pola proyek, menjadi kurang peka dan kurang perhatian terhadap berbagai kegiatan yang bersifat rutin dan menerus.

Penerapan sistem prakiraan dan peringatan dini (flood forecasting and early warning system) untuk menekan besarnya bencana bila banjir benar-benar terjadi. Upaya ini untuk mendukung kegiatan penanggulangan banjir, terutama terkait dengan kegiatan pengungsian. Terdapat berbagai sistem dari yang sederhana atau tradisional sampai yang menggunakan teknologi canggih, namun tingkat kecanggihan sistem ini tidak menjamin tingkat kehandalan kinerja atau efektifitasnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan menoperasikan sistem ini antara lain: 1) kondisi sungaisungai di Indonesia umumnya relatif pendek sehingga tenggang waktu antara jatuhnya hujan di hulu sungai dengan kemungkinan terjadinya banjir di hilir relaif singkat, di beberapa wilayah bahkan sering terjadi banjir bandang (flash flood) seperti halnya galodo di Sumatera Barat; 2) pengelolaan data sesaat (real time) baik data hujan maupun data debit atau ketinggian muka air sungai yang kurang baik sehingga menghasilkan data yang tidak akurat; 3) kondisi lingkungan sosial yang kurang kondusif terhadap keberadaan peralatan di lapangan; 4) masyarakat yang menjadi sasaran peringatan dini sering kali bersikap apatis akibat kurangnya penyuluhan dan juga kurang percaya karena prakiraan yang sering tidak sesuai dengan kenyataan; 5) kelembagaan dan sumber daya manusia pengelola sistem ini yang masih terbatas.

Flood-proofing yang dilaksanakan sendiri baik oleh perorangan, swasta maupun oleh kelompok masyarakat untuk mengatasi masalah banjir secara lokal, misalnya di komplek permukiman/real estat dan komplek industri, antara lain dengan membangunan tanggul keliling, polder dan pompa, serta rumah panggung. Bangunan dan prasarana umum yang penting seperti rumah sakit, gardu listrik, jalan tol, bandar udara seharusnya dibuat flood-proof sampai tingkat besaran banjir tertentu sehingga tidak lumpuh dikala banjir. Beberapa komplek perumahan dan industri di DKI Jakarta telah melaksanakan upaya ini secara mandiri.

Peran masyarakat yang didukung penyuluhan dan penegakan hukum antara lain dalam menaati ketentuan menyangkut tata ruang dan pola pembudidayaan dataran banjir dan pembudidayaan DAS hulu, menghindarkan terjadinya penyempitan dan pendangkalan alur sungai akibat sampah padat, serta tidak mendirikan bangunan/hunian dar menanam tanaman keras di daerah sempadan sungai.

Penyuluhan dan pemberian bimbingan kepada masyarakat dalam rangka upaya penyesuaian diri dengan banjir, antara lain dengan menumbuh kembangkan kembali semangat gotong royong dan kemandirian yang dilandasi budaya dan kearifan lokal, antara lain dalam membangun rumah panggung yang bebas banjir. Pengelolaan sampah.

Pengelolaan sampah yang baik adalah bila dilakukan mulai dari sumbernya (dapur, pasar, dan sebagainya), dan bukan dibiarkan masuk atau dimasukkan ke saluran drainase dan ke sungai. Pembangunan saringan penangkap sampah di saluran drainase dan di sungai yang sering dilaksanakan, justru menimbulkan masalah karena sampah yang terlambat diangkat akan menimbulkan pembendungan aliran sehingga saluran/sungai meluap dan terjadi banjir. Pembangunan saringan sampah di hulu waduk muara sungai Tukad Badung Bali, konon telah menimbulkan banjir besar sehingga saringan tersebut dibongkar paksa oleh masyarakat. Saluran drainase yang tertutup/ditutup di kawasan perkotaan menyulitkan pemeliharaan dan pembersihan terhadap sampah dan sedimen. Penetapan sempadan sungai yang diikuti dengan penegakan hukum. Dasar hukum yang dapat dipakai sebagai acuan adalah Peraturan Menteri PU No. 63 Tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, dan Bekas Sungai. Di daerah manfaat sungai (diantara dua garis sempadan, termasuk bantaran sungai) terlarang untuk dijadikan permukiman karena merupakan bagian dari sungai yang fungsinya untuk mengalirkan banjir. Permukiman di daerah ini sangat membahayakan penghuninya disamping mempersempit alur sungai dan menghambat aliran banjir. Pada setiap sungai harus ditetapkan batas sempadannya yang diatur dengan Peraturan Daerah. Penetapan sempadan sungai tidak hanya pada bagian hilir sungai saja namun harus menyeluruh dari mata air sampai muara. Permukiman yang hanyut tersapu banjir bandang seperti halnya yang pernah terjadi di Majalengka, Bahorok, Pacet/Mojokerto, Jember dan Situbondo kemungkinan besar berada di daerah manfaat sungai yang seharusnya terlarang untuk permukiman.

Penyuluhan dan pendidikan masyarakat lewat berbagai media menyangkut berbagai aspek dalam rangka meningkatkan pemahaman, kepedulian dan peran sertanya dalam mengatasi masalah banjir.

Penanggulangan kemiskinan (poverty alleviation). Masyarakat miskin di perkotaan banyak yang terpaksa menghuni daerah sempadan sungai yang seharusnya bebas hunian karena sangat membahayakan keselamatan jiwanya; demikian pula masyarakat petani lahan kering di DAS hulu pada umumnya miskin sehingga kesufitan untuk melaksanakan pola bercocok tanam yang menunjang upaya konservasi tanah dan air. Upaya penanggulangan kemiskinan ini perlu melibatkan berbagai instansi/sektor terkait dan masyarakat.

4.4. Pengelolaan dataran banjir.

4.4.1. Prinsip dasar pengelolaan dataran banjir

Tingkat kerawanan terhadap genangan pada lahan di dataran banjir bervariasi, tergantung pada ketinggian permukaan tanah setempat. Dengan menggunakan peta kontur ketinggian permukaan tanah, serta melalui analisis hidrologi dan hidrolika, dapat dilakukan pembagian (zoning) lahan di dataran banjir menurut tingkat kerawanannya terhadap genangan banjir (banjir 10 tahunan, 25 tahunan, 50 tahunan dsb). Pembagian zona dataran banjir (flood plain zoning) ini merupakan salah satu masukan dalam perencanaan dan atau revisi perencanaan penataan ruang sedemikian rupa sehingga peruntukan penggunaan lahan disesuaikan dengan tingkat kerawanannya terhadap resiko genangan banjir. Misalnya lahan dibawah zona banjir 10 tahunan hanya untuk kawasan pertanian, lahan diatas zona banjir 50 tahunan layak untuk permukiman/real estat, sedangkan lahan diatas zona banjir 100 tahunan layak untuk bandar udara, dan sebagainya. Dengan mengikuti rencana tata ruang di dataran banjir tersebut maka resiko terjadinya bencana/kerusakan/kerugian akibat genangan banjir yang diderita oleh masyarakat yang membudidayakannya menjadi minimal. Penyediaan informasi untuk masyarakat berupa peta rawan/resiko genangan banjir (flood risk map/flood hazard map) dan pemasangan rambu-rambu/monumen/papan peringatan di dataran banjir yang menunjukkan elevasi/ketinggian genangan untuk berbagai tingkatan/besaran, dan juga data kejadian genangan banjir yang telah lewat sangat bermanfaat untuk memberi informasi sekaligus peringatan kepada masyarakat yang berada di dataran banjir, agar mereka menyadari adanya resiko tinggal di wilayah tersebut dan berupaya menyesuaikan diri. Penyesuaian diri misalnya dengan membangun sistem flood proofing dan atau upaya antisipasi dengan mengatur penggunaan bangunan yang telah terlanjur berada di dataran banjir misalnya ruangan (baik di kantor, rumah dan hotel), sampai ketinggian tertentu tidak dipakai untuk menyimpan dokumen penting dan barang berharga lainnya.

4.4.2. Pengelolaan dataran banjir di DKI Jakarta

Salah satu penyebab mengapa terjadi kerusakan dan kerugian yang relatif besar yang diderita oleh masyarakat di DKI Jakarta sehubungan dengan bencana banjir pada bulan Januari/ Februari di tahun 1996, 2002, 2007 dan 2008 yang lalu adalah akibat terbatasnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan resiko bertempat tinggal dan melakukan berbagai kegiatan di dataran banjir. Kerusakan dan kerugian tidak hanya diderita oleh masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai dan di bantaran sungai yang memang sangat rawan banjir dan genangan, namun juga di kawasan perkantoran penting termasuk hotel dan perumahan mewah seperti misalnya di Kuningan/Rasuna Said dimana dokumendokumen penting dan mobil mewah konon hancur dan rusak terrendam banjir. Masyarakat kemungkinan besar tidak pernah menduga dan menyadari bahwa kawasan perkantoran megah dan hotel serta perumahan mewah yang mereka huni sebenarnya berada di dataran banjir yang rawan dan sewaktuwaktu dapat tergenang banjir.

Dataran banjir pada sungai-sungai di DKI Jakarta memang belum ditetapkan batas-batasnya secara nyata mengikuti peraturan yang ada (Permen PU 63/93); demikian pula batas sempadan sungainya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lahan di dataran banjir telah terlanjur dikembangkan menjadi kawasan budidaya sampai di tepi/tebing sungai dengan jenis peruntukan yang beragam mulai dari permukiman, real estat, pertokoan/ perdagangan, hotel berbintang, sampai perkantoran penting. Meskipun telah didasarkan pada rencana tata ruang, kemungkinan besar rencana tata ruang tersebut belum mempertimbangkan adanya resiko terjadinya genangan banjir. Persyaratan lain yang konon harus dipenuhi pada saat mengajukan izin nampaknya hanya menyangkut ketentuan atau persyaratan tentang peil banjir, fasum dan fasos, serta sumur resapan. Ketentuan tentang peil banjir itupun tidak dilengkapi dengan informasi yang menyangkut besaran banjirnya dan resiko genangan yang masih bisa terjadi; sehingga terjadi persepsi yang keliru (misleading) di masyarakat, yaitu bahwa apa bila mereka telah mengikuti peil banjir maka bangunan dianggap telah bebas banjir.

Berbagai rekayasa teknis berupa prasarana dan sarana fisik pengendali banjir dan genangan yang telah dibangun baik oleh pemerintah dan swasta seperti tanggul banjir, waduk/polder berikut stasiun pompanya, pintu air, stasiun pompa, banjir kanal, dan sebagainya, tampaknya ikut menambah "keyakinan" masyarakat bahwa dataran banjir yang mereka budidayakan telah bebas terhadap genangan banjir sepenuhnya (over confidence).

Jalan tol Sedyatmo yang lama adalah merupakan prasarana transportasi yang sangat vital, namun tingkat kerawanannya terhadap genangan banjir sampai saat ini sangat tinggi. Dalam tujuh bulan terakhir di musim hujan 2007-2008 tercatat telah tiga kali tergenang (Nopember 2007, Februari 2008 dan Mei 2008) sehingga arus transportasi dari dan ke bandara Soekarno-Hatta terputus. Apa bila dipukul rata untuk setiap tahun terjadi dua kali genangan, maka tingkat kerawanan jalan tol Sedyatmo tersebut terhadap kemungkinan tergenang banjir untuk setiap tahunnya sebesar 200%. Sungguh malang nasibnya bila dibandingkan misalnya dengan sawah milik petani di dataran banjir sungai Citanduy di kabupaten Ciamis yang telah dilindungi tanggul banjir dengan debit banjir rencana 25 tahunan, sehingga tingkat kerawanannya terhadap kemungkinan tergenang banjir untuk setiap tahunnya hanya 4 %. Dengan telah dibangunnya jalan tol yang baru yang sebagian besar merupakan jalan layang yang flood proof, maka masalah genangan di jalan tersebut akan jauh berkurang.

Bencana banjir yang semakin sering terjadi dengan tingkat kerusakan dan kerugian yang diderita oleh masyarakat yang semakin besar seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga, baik di kalangan pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan upaya untuk mengatasinya dan tidak hanya mengandalkan upaya fisik saja namun harus merupakan upaya menyeluruh (komprehensif) yang merupakan kombinasi upaya struktur dan non-struktur. Kita perlu menyadari adanya kekurangan yang selama ini telah terjadi dan perlu upaya bersama untuk mengatasinya. Masalahnya menjadi tidak sederhana mengingat sebagian besar dataran banjir di DKI Jakarta telah terlanjur berkembang/dikembangkan tanpa mengikuti pola pengelolaan dataran banjir yang benar. Sehubungan dengan itu untuk mengatasi masalah banjir di DKI Jakarta khususnya yang terkait dengan upaya nonfisik yang berupa pengelolaan dataran banjir (flood plain management) terdapat tiga katagori upaya pemecahan yang kiranya dapat dilaksanakan, sebagai berikut:

Upaya pertama berlaku pada lahan dataran banjir yang relatif masih belum dikembangkan sehingga penataan ruang atau pembudidayaannya dapat mengikuti pola pengelolaan dataran banjir yang benar sehingga resiko atau kerugian apabila terjadi genangan banjir minimal. Perangkat lunak yang diperlukan berupa peta zona banjir untuk beberapa tingkat besaran banjir (flood plain zoning) sebagai masukan bagi revisi penataan ruang yang telah ada, serta peninjauan kembali ketentuan menyangkut peil banjir misalnya untuk banjir 50 tahunan dan/atau 100 tahunan. Upaya kedua berlaku pada lahan di dataran banjir yang telah terlanjur berkembang/dikembangkan dan penataan ruangnya sulit atau tidak mungkin untuk dilakukan revisi. Untuk itu perlu upaya-upaya khusus seperti misalnya dengan melakukan flood proofing terhadap bangunan dan prasarana penting baik secara individual maupun kolektif, serta memodifikasi/menyesuaikan peruntukan bangunan atau ruangan (hotel, perkantoran, rumah tinggal, dan sebagainya) yang beresiko tinggi tergenang banjir; dengan tujuan menekan besarnya bencana/ kerugian apa bila terjadi genangan/banjir. Upaya flood proofing yang perlu dilakukan antara lain untuk rumah sakit dan gardu listrik, misalnya dengan meninggikan lantai bangunan, memodifikasi bangunan termasuk bahan bangunannya, serta membangun tanggul keliling yang dilengkapi pompa. Flood proofing juga perlu dilakukan untuk prasarana transportasi penting seperti misalnya pada jalan protokol dan membangun jalan layang untuk jalan tol Sedyatmo. Perangkat lunak yang diperlukan berupa peta resiko banjir (flood risk/hazard map atau flood-plain zoning) dan rambu-rambu peringatan yang menunjukkan ketinggian/kedalama n genangan banjir yang telah lewat maupun yang kemungkinan bisa terjadi untuk beberapa tingkatan atau besaran banjir. Disadari bahwa upaya pada katagori kedua ini tidak mudah untuk dilaksanakan. Berbagai peraturan daerah yang telah ada yang antara lain menyangkut penataan ruang dan perizinan perlu disesuaikan terlebih dahulu dan disosialisasikan sebelum dilaksanakan. Upaya ketiga berupa penertiban lahan yang berupa daerah manfaat dan daerah sempadan sumber air yang antara lain meliputi sempadan waduk, sempadan situ, dan sempadan sungai termasuk bantaran sungai yang merupakan zona terlarang (terlarang untuk dibudidayakan dan untuk permukiman). Upaya ini boleh jadi merupakan upaya yang paling sulit dilaksanakan mengingat lahan sempadan sungai di sepanjang kanan kiri tebing sungai banyak yang telah terlanjur dipenuhi bangunan baik yang legal (memiliki IMB) maupun yang illegal dari yang permanen maupun yang berupa gubug sangat sederhana. Kompromi dari aspek teknis yang kemungkinan dapat ditempuh untuk mengatasi masalah ini antara lain dengan mengupayakan agar lebar penampang sungai termasuk bantarannya untuk mengalirkan debit banjir rencana dibuat seefisien mungkin.

5. Resume.

5.1. Upaya mengatasi masalah banjir.

Upaya mengatasi masalah banjir dari waktu ke waktu mengalami perubahan yang nampaknya akan menyerupai siklus yang berulang sebagai berikut: 1) Upaya pertama yang dilaksanakan sejak nenek moyang kita adalah menyesuaikan diri dengan fenomena alam yang berupa banjir (Gambar 29), dengan membangun rumah-rumah adat/tradisional yang berupa rumah panggung. 2) Upaya berikutnya adalah dengan rekayasa teknis di sungai berupa pembangunan prasarana fisik pengendali banjir (Gambar 29 dan 30). 3) Menyadari adanya keter